Anda di halaman 1dari 5

Hakikat Iman Menurut Ahlu Sunnah dan Firqoh Sesat

PENJELASAN RINGKAS TENTANG HAKIKAT IMAN MENURUT AHLUS SUNNAH


DAN FIRQAH-FIRQAH SESAT

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas ‫حفظه هللا‬

Pendapat Ahlus Sunnah wal Jama’ah


Ahlus Sunnah meyakini bahwa iman adalah meyakini dengan hati, mengucapkan dengan
lisan, dan mengamalkan dengan anggota badan.

Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Iman adalah perkataan dan perbuatan, bertambah dan
berkurang.”[1]

Imam Abu ‘Utsman Isma’il ash-Shabuni rahimahullah berkata, “Dan di antara madzhab Ahlul
Hadits bahwa iman adalah perkatan, perbuatan, dan pengetahuan. Bertambah dengan
melakukan ketaatan dan berkurang dengan melakukan maksiat.”[2]

Imam al-Ajurri t berkata, “Sesungguhnya pendapat ulama kaum Muslimin ialah bahwa iman
wajib atas seluruh makhluk; yaitu membenarkan dengan hati, menetapkan dengan lisan, dan
mengamalkan dengan anggota badan.”[3]

Kesimpulannya, iman menurut Ahlus Sunnah terdiri dari tiga pokok, yaitu keyakinan hati,
perkataan lisan, dan perbuatan anggota badan. Dari tiga pokok inilah bercabangnya cabang-
cabang iman.

Pendapat Murji’ah
Inti dari pendapat Murji’ah dalam masalah iman ialah, mengeluarkan amal perbuatan dari
nama iman, dan bahwasanya iman tidak bercabang-cabang dan tidak terbagi-bagi, tidak
menerima tambahan maupun pengurangan, bahkan iman itu sesuatu yang satu, seluruh orang
Mukmin sama keimanannya. Inilah pokok pendapat mereka yang telah disepakati oleh
seluruh firqah mereka.[4]

Pendapat Al Wa’iidiyyah (Khawarij dan Mu’tazilah)


Khawarij dan Mu’tazilah masing-masing meyakini bahwa, al-iman al-mutlaq (pokok
keimanan) mencakup hal melakukan seluruh amalan ketaatan dan meninggalkan seluruh hal
yang diharamkan. Bila sebagian dari hal ini hilang pada diri seseorang, maka batallah
keimanannya, dan ia berada di dalam neraka, kekal selama-lamanya.

Kemudian kedua firqah ini berselisih mengenai penamaan orang fasiq (pelaku dosa besar) di
dunia. Khawarij mengatakan, pelaku dosa besar adalah kafir. Sedangkan Mu’tazilah
mengatakan, bahwa pelaku dosa besar berada dalam satu kedudukan di antara dua kedudukan
(tidak mukmin dan tidak juga kafir).[5]

SUMBER KESALAHAN FIRQAH-FIRQAH SESAT DALAM MASALAH IMAN SERTA


KERANCUAN (SYUBHAT) MEREKA
Sumber kesalahan firqah-firqah sesat yang menyelisihi Ahlus Sunnah dalam masalah iman,
kembali pada satu syubhat, yaitu keyakinan mereka bahwa iman adalah sesuatu yang satu,
tidak terbagi-bagi atau bercabang.

Sisi-Sisi Perbedaan Antara Ahlus Sunnah dan Ahlul Bid’ah Dalam Masalah Iman
Perbedaan secara umum antara Ahlus Sunnah dan firqah-firqah sesat dalam masalah iman,
terdapat pada tiga masalah.

Masalah Pertama. Ahlus Sunnah berpendapat bahwasanya iman itu terbagi-bagi dan
bercabang-cabang. Apabila sebagiannya hilang, maka sebagian lain tetap ada. Berbeda
dengan firqah-firqah sesat secara umum, karena mereka tidak berpendapat seperti itu,
sebagaimana yang telah dijelaskan.

Masalah Kedua. Iman menurut Ahlus Sunnah dapat bertambah dan berkurang. Dan dalam hal
ini, orang yang beriman itu bertingkat-tingkat. Sedangkan kebanyakan ahlul bid’ah tidak
berpendapat demikian, karena didasari pokok pendapat mereka, yaitu iman tidak dapat
dibagi-bagi dan tidak bercabang-cabang.

Baca Juga  Kaidah Mengkafirkan Orang Tertentu


Masalah Ketiga. Menurut Ahlus Sunnah, terkadang pada diri seseorang terkumpul antara
kufur dan iman, syirik dan tauhid, dan ini sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh berbagai
nash. Contohnya firman Allah Ta’ala, yang artinya: Dan tidaklah sebagian besar dari mereka
beriman kepada Allah, melainkan (mereka) dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan
sembahan-sembahan lain). (Yusuf/12:106).
Dalam masalah ini, sebagian besar ahlul bid’ah menyelisihi dan mengingkarinya. Bahkan,
Khawarij berpendapat, bahwa tidak mungkin terkumpul keimanan dan maksiat pada diri
seseorang.[6]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,”Dan di sini ada pokok yang lain, yaitu
terkadang terkumpul pada diri seseorang kekafiran dan iman, syirik dan tauhid, takwa dan
maksiat, nifaq dan iman. Inilah di antara pokok Ahlus Sunnah yang agung. Selain mereka,
yaitu dari kalangan ahlul bid’ah menyelisihinya, seperti Khawarij, Mu’tazilah, dan
Qadariyyah. Dan permasalahan keluarnya pelaku dosa besar dari neraka dan kekekalan di
dalamnya, dibangun di atas pokok ini.”[7]

Makna perkataan mereka (Ahlus Sunnah) berkumpul di dalam dirinya kufur dan keimanan,
maksudnya, berkumpul di dalamnya cabang-cabang kufur dan cabang-cabang iman; karena
perbuatan maksiat merupakan cabang dari kekufuran. Adapun perbuatan ketaatan, termasuk
cabang keimanan. Setiap cabang dari cabang-cabang kekufuran disebut kufur, dan setiap
cabang dari cabang-cabang keimanan disebut dengan iman.[8]

Perbedaan Yang Bersifat Khusus Antara Ahlus Sunnah dan Murji’ah Dalam Masalah Iman,
Terdapat Pada Tiga Masalah

Masalah Pertama. Ahlus Sunnah berpendapat, amal perbuatan masuk ke dalam nama iman.
Adapun Murji’ah, mereka, tidak berpendapat demikian.

Imam Sufyan ats-Tsauri t berkata,”Murji’ah menyelisihi kita dalam tiga hal: (1) kita
mengatakan, iman adalah perkataan dan perbuatan; sedangkan mereka mengatakan, iman
adalah perkataan tanpa amal. (2) kita mengatakan, iman bertambah dan berkurang; sedangkan
mereka mengatakan, iman tidak bertambah dan tidak berkurang. (3) kita mengatakan, kami
beriman dengan menetapkan; sedangkan mereka berkata, kami beriman di sisi Allah.”[9]

Masalah mengeluarkan amal dari iman merupakan pegangan pokok pendapat Murji’ah, yang
mereka semua sepakat tentang masalah itu. Oleh karena itu, Imam al-Barbahari (wafat 329
H) t berkata: “Barangsiapa yang berkata bahwa iman adalah perkataan dan perbuatan,
bertambah dan berkurang, maka sungguh ia telah keluar dari irja’ (Murji’ah) dari awal sampai
akhir.”[10] Artinya, ia bukan orang Murji’ah.

Masalah Kedua. Ahlus Sunnah tidak menetapkan dengan pasti terhadap seseorang dari kaum
Muslimin dengan keimanan yang sempurna, dan tidak pula menafikan (meniadakan) pokok
iman darinya. Sedangkan Murji’ah, mereka, menjadikan setiap orang yang mewujudkan
pokok keimanan sebagai seorang mukmin yang sempurna imannya, bahkan mereka
(Murji’ah) menjadikan orang yang fasiq sebagai seorang mukmin yang sempurna imannya.

Ini yang dimaksud oleh Imam Sufyan ats-Tsauri t pada masalah pertama: “Kami beriman
dengan iqrar,” sedangkan mereka (Murji’ah) mengatakan, “Kami beriman di sisi Allah”. [11]

Masalah Ketiga. Ahlus Sunnah membolehkan memberi istitsna’ (pengecualian) pada


keimanan yang sempurna (maksudnya, mengucapkan, “Saya beriman, insya Allah”) dan
melarang hal itu pada pokok keimanan. Mereka tidak memberi kesaksian atas diri mereka
dengan keimanan yang sempurna, dan mereka tidak meragukan pokok keimanannya. Adapun
Murji’ah, mereka, mengharamkan istitsna’ (mengucapkan insya Allah) dalam iman, karena
didasari pendapat mereka bahwa, iman adalah sesuatu yang satu. Yaitu pembenaran hati. Dan
mereka menamakan orang yang memberi istitsna’ sebagai orang yang ragu-ragu (dalam
keimanan).[12]

Baca Juga  Bahaya Fitnah Takfir


Perbedaan Ahlus Sunnah dengan al-Wa’idiyyah (Khawarij dan Mu’tazilah) Terdapat Pada
Tiga Masalah
Masalah Pertama. Ahlus Sunnah berkeyakinan bahwa, tetapnya pokok iman bersamaan
dengan adanya dosa. Sedangkan Khawarij dan Mu’tazilah meyakini lenyapnya iman secara
keseluruhan, bersamaan dengan adanya sebagian dosa. Karena inilah Ahlus Sunnah tidak
mengeluarkan pelaku dosa besar dari agama Islam, sedangkan Khawarij dan Mu’tazilah
mengeluarkan mereka dari Islam.

Masalah Kedua. Ahlus Sunnah memisahkan antara Islam dan iman ketika (penyebutan)
keduanya berkumpul. Adapun Khawarij dan Mu’tazilah tidak memisahkan antara Islam dan
iman.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata mengenai orang-orang fasiq di kalangan agama ini:
“Adapun Khawarij dan Mu’tazilah, mereka mengeluarkan pelaku dosa besar dari nama iman
dan Islam, karena menurut mereka, iman dan Islam itu adalah satu”.[13]

Masalah Ketiga. Perbedaan Ahlus Sunnah dengan Khawarij dan Mu’tazilah tentang
penamaan orang fasiq (pelaku dosa besar) dan hukumnya.

Ahlus Sunnah berkata: “Ia muslim dan hukumnya di akhirat di bawah kehendak Allah. Jika
Allah menghendaki, Dia akan mengazabnya, dan jika Dia menghendaki, Dia akan
mengampuninya”.
Khawarij berkata: “Dia (pelaku dosa besar) adalah kafir dan hukumnya di akhirat berada di
dalam neraka, dan kekal selama-lamanya”.

Sedangkan Mu’tazilah mengatakan bahwa, dia berada pada satu kedudukan di antara dua
kedudukan (manzilah bainal manzilataini), yaitu tidak mukmin dan tidak kafir. Hukumnya di
akhirat, ia kekal di dalam neraka.[14]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XI/1428H/2007M. Diterbitkan Yayasan


Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183
Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647,
081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Kitabus Sunnah, Imam ‘Abdullah bin Imam Ahmad (I/307).
[2] ‘Aqidatus-Salaf Ashabil-Hadits, halaman 82 no. 104.
[3] Kitabusy-Syari’ah (II/611).
[4] Majmu’ Fatawa’  (XII/471, XIII/38).
[5] Majmu’ Fatawa’  (VII/222, XVIII/270-271).
[6] Majmu’ Fatawa’  (VII/353).
[7] Ash-Shalah wa Hukmu Tarikhiha, Tahqiq: Bassam ‘Abdul Wahhab al-Jabi, Dar Ibni
Hazm, Cetakan I Tahun 1416 H, halaman 78. Lihat juga Majmu’ Fatawa’ (XIII/48).
[8] Majmu’ Fatawa’  (VII/520) dan kitab ash-Shalah wa Hukmu Tarikhiha, halaman 79.
[9] Syarhus-Sunnah, Imam al-Baghawi (I/41).
[10] Syarhus-Sunnah, Tahqiq: Khalid bin Qasim ar-Raddady, halaman 123, no. 161.
[11] At-Takfir wa Dhawabithuhu, halaman 27.
[12] Majmu’ Fatawa’ (VII/429) dan Syarah ‘Aqidah ath-Thahawiyyah, halaman 494-497.
[13] Majmu’ Fatawa’ (VII/242).
[14] Majmu’ Fatawa’ (VII/241-242, XII/470-474, 479). Lihat Syarah ‘Aqidah ath-
Thahawiyyah (halaman 442).
Referensi : https://almanhaj.or.id/2392-hakikat-iman-menurut-ahlu-sunnah-dan-firqoh-
sesat.html

Anda mungkin juga menyukai