Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

PENDEKATAN FENOMENOLOGI

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Studi Agama

Dosen Pembimbing :Wasil, S. Th. I. M.Ag

Disusun Oleh :

Muhammad Faiz Hanan 11180380000016


Luluk Dwi Masruroh 11210380000007

PROGRAM STUDI ILMU TASAWUF

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
kami kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.
Tanpa pertolongan – Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah
ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta
kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti – nantikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat – Nya,
baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Pengantar Studi Agama
dengan judul “Pendekatan Fenomonologi’’

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik serta saran yang membangun dari pembaca untuk makalah ini, supaya
makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khusunya kepada dosen
Media Pengajaran kami Wasil, S. Th. I, M.Ag yang telah membimbing kami. Demikian semoga
makalah ini bermanfaat.

Terimakasih.

Ciputat, Juni 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................................i

DAFTAR ISI..................................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................................................1

1.1 Latar Belakang ....................................................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah ..............................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN ...............................................................................................................3

2.1 Pengertian Pendekatan Fenomenologis ..............................................................................3


2.2 Akar dan perkembangan pemikiran Fenomenologis ..........................................................5
2.3 Definisi Fenomenologi Agama ...........................................................................................6
2.4 Asal Mula Fenomenologi Agama .......................................................................................8
2.5 Pendekatan dalam studi Fenomenologi ..............................................................................9

BAB III PENUTUP ..................................................................................................................... 14

3.1 Simpulan ........................................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai metode, fenomologi membentangkan langkah-langkah yang harus diambil sehingga
kita sampai pada fenomonologi yang murni. Fenomenologi mempelajari dan melukiskan ciri-ciri
intrinsik fenomena-fenomena sebagaimana itu sendiri menyingkapkan diri kepada kesadaran. Kita
harus bertolak dari subjek (manusia) serta kesadaran dan berupaya untuk kembali kepada
kesadaran murni Untuk mencapai bidang kesadaran murni, kita harus membebaskan diri dari
pengalaman serta gambaran kehidupan sehari-hari. Sebagai filsafat, fenomenologi menurut
Husserl memberikan pengetahuan yang perlu dan esensial mengenai apa yang ada. Dengan
demikian fenomenologi dapat dijelaskan sebagai metode kembali ke benda itu sendiri (Zu den
Sachen Selbt), dan ini disebabkan benda itu sendiri merupakan objek kesadaran langsung dalam
bentuk yang murni.
Mengkaji fenomena keagamaan berarti mempelajari periaku manusia dalam kehidupannya
beragama. Ilmu pengetahuan sosial dengan caranya masing-masing, atau metode, teknik, dan
peralatannya, dapat mengamati dengan cermat perilaku manusia itu, sehingga dimungkinkan
ditemukannya segala unsur yang menjadi komponen terjadinya perilaku itu, juga “makna terdalam
dan substansi sejati” ysng tersembunyi dibalik gejala tersebut. Hal ini sudah tentu berlaku juga
untuk fenomena keberagaman (religious phenomenon) manusia.
Fenomenologi adalah sebuah studi dalam bidang filsafat yang mempelajari manusia sebagai
sebuah fenomena. Ilmu fenomenolgi dalam filsafat biasa dihubungkan dengan Ilmu Hermeneutik,
yaitu ilmu yang mempelajari arti dari pada fenomenolgi. Secara harfiah, fenomenologi
fenomenalisme adalah aliran atau paham yang menganggap bahwa fenomenalisme (gejala) adalah
sumber pengetahuan dan kebenaran. Seorang fenomenalisme suku melihat gejala tertentu dengan
ahli ilmu positif yang mengumpulkan data, mencari korelasi dan fungsi, serta membuat hukum-
hukum dan teori. Salah seorang tokoh fenomenologi adalah Endmund Husserl (1859-1938), ia
selalu berupaya mendekati realitas tidak melalui argumen-argumen, konsep-konsep, atau teori
ilmu, kembali kepada benda-benda itu sendiri merupakan inti dari pendekatan yang dipakai untuk
mendeskripsikan realitas menurut apa adanya.

1
Secara umum pandangan fenomenologi bisa dilihat pada dua posisi. Pertama ia merupakan
reaksi terhadap dominasi positivisme, dan kedua ia sebenarnya sebagi kritik terhadap pemikiran
Immanuel Kant, terutama konsepnya tentang fenomena-fenomena. Kant menggunakan kata
fenomena untuk menunjukan penampakan sesuatu dalam kesadaran, sedangkan fenomena adalah
realitas yang berada diluar kesadaran. Menurut Kant, manusia hanya dapat mengenal fenomena-
fenomena yang tampak dalam kesadaran.
Setiap objek memliki hakikat, dan itu berbicara kepada kita jika kita membuka diri kepada
gejala-gejala yang kita terima. Fenomenologi banyak diterapkan dalam epistimology, antropologi
dan studi-studi keagamaan (kajian atas Kitab Suci).

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari fenomenologi?
2. Asal mula fenomenolgi agama dan definisi fenomenologi agama?
3. Apa saja pendekatan-pendekatan dalam studi Fenomenologi?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Fenomenologi

Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, “phainein,” yang berarti “memperlihatkan,”


yang dari kata ini muncul kata phainemenon yang berarti “sesuatu yang muncul.” Atau
sederhananya, fenomenologi dianggap sebagai “kembali kepada benda itu sendiri” (back to the
things themselves). Istilah fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, yang asal katanya adalah
“phenomenon’’ dan “logos”. Phenomenon berarti: yaitu yang muncul dalam kesadaran manusia.
Sedangkan logos, berarti ilmu. Phenomenologi berarti studi tentang phenomenon, atau yang
muncul dengan sendirinya1 Istilah ini diduga pertama kali diperkenalkan oleh seorang filosof
Jerman, Edmund Husserl. Namun, menurut Kockelmas, istilah fenomenologi digunakan pertama
kali pada tahun 1765 dalam filsafat dan kadang-kadang disebut pula dalam tulisan-tulisannya
Kant, namun hanya melalui Hegel makna teknis yang didefinisikan dengan baik tersebut
dibangun.

Bagi Hegel, fenomenologi berkaitan dengan pengetahuan sebagaimana ia tampak kepada


kesadaran, sebuah ilmu yang menggambarkan apa yang dipikirkan, dirasa dan diketahui oleh
seseorang dalam kesadaran dan pengalamannya saat itu. Proses tersebut mengantarkan pada
perkembangan kesadaran fenomenal melalui sains dan filsafat “menuju pengetahuan yang absolut
tentang Yang Absolut Filsafat Hegel memberikan dasar bagi studi agama nantinya. Dalam
bukunya, The Phenomenology of Spirit (1806), Hegel mengembangkan tesis bahwa esensi
(Wesen) dipahami melalui penyelidikan terhadap tampilan-tampilan dan perwujudanperwujudan.
Maksud Hegel adalah ingin memperlihatkan bagaimana ini mengantarkan kepada suatu
pemahaman bahwa semua fenomena, dalam keberagamannya, berakar pada esensi atau kesatuan
yang mendasar (Geist atau Spirit). Permainan tentang hubungan antara esensi dan manifestasi ini
memberikan dasar bagi pemahaman tentang bagaimana agama, dalam keberagamannya, dapat
dipahami sebagai entitas yang berbeda. Ia juga, berdasarkan pada realitas transenden, yang tidak
terpisah dari namun dapat dilihat dalam dunia, memberikan kepercayaan kepada pentingnya

1
Maraibang Dulay, Filsafat Fenomenologi,Panjiaswaja Press 2010. Hlm. 17

3
agama sebagai sebuah obyek studi karena kontribusi yang bisa diberikan kepada pengetahuan
“saintifik”2
Sedangkan, menurut Husserl, fenomenologi merupakan sebuah studi tentang struktur
kesadaran yang memungkinkan kesadaran-kesadaran tersebut menunjuk kepada obyekobyek dil
uar dirinya. Studi ini membutuhkan refleksi tentang isi pikiran dengan mengenyampingkan
segalanya. Husserl menyebut tipe refleksi ini “reduksi fenomenologis.” Karena pikiran bisa
diarahkan kepada obyek-obyek yang non-eksis dan riil, maka Husserl mencatat bahwa refleksi
fenomenologis tidak mengganggap bahwa sesuatu itu ada, namun lebih tepatnya sama dengan
“pengurungan sebuah keberadaan,” yaitu mengenyampingkan pertanyaan tentang keberadaan
yang riil dari obyek yang dipikirkan.
Husserl memunculkan beberapa poin penting. Namun, yang nantinya menjadi titik tolak
metodologis yang bernilai bagi fenomenologi agama adalah: epoché dan eidetic vision. Epoché
merujuk kepada makna “menunda semua penilaian”, atau ia sama dengan makna “pengurungan”
(bracketing). Ini berarti ketiadaan praduga-praduga yang akan mempengaruhi pemahaman yang
diambil dari sesuatu. Dengan kata lain, membawa konsep-konsep dan konstruk-konstruk
pandangan seseorang kepada penyelidikannya dilihat sebagai sebuah pengaruh yang merusak
terhadap hasil-hasilnya. Eidetic vision berhubungan dengan kemampuan untuk melihat apa yang
sebenarnya ada di sana. Ia mengharuskan tindakan epoché, memperkenalkan kapasitas untuk
melihat secara obyektif esensi sebuah fenomena, namun juga mengarahkan isu tentang
subyektifitas persepsi dan refleksi. Ia juga menganggap benar kapasitas untuk memperoleh
pemahaman intuitif tentang suatu fenomena yang bisa dibela sebagai pengetahuan yang
“obyektif”.
Untuk lebih jelas dan singkatnya, akan diringkas beberapa karakteristik fenomenologi
filosofis yang memiliki relevansi dengan fenomenologi agama.
 Watak deskriptif. Fenomenologi berupaya untuk menggambarkan watak fenomena, cara
tentang tampilan mewujudkan dirinya, dan struktur-struktur esensial pada dasar
pengalaman manusia.

2
Dua orang lainnya adalah Cornelis P. Tiele dan Pierre D. Chantapie De la Saussare yang dianggap sebagai three
founders of the study of religion. Lihat Jacques Waardenburg (ed), Classical Approaches to the Studies of Religions,
Vol. I (Paris: Mouton – The Haque, 1973), 13 -17.

4
 Antireduksionisme. Pembebasan dari prakonsepsi-prakonsepsi tidak kritis yang
menghalangi mereka dari menyadari kekhususan dan perbedaan fenomena, lalu
memberikan ruang untuk memperluas dan memperdalam pengalaman dan menyediakan
deskripsi-deskripsi yang lebih akurat tentang pengalaman ini.
 Intensionalitas. Cara menggambarkan bagaimana kesadaran membentuk fenomena. Untuk
menggambarkan, mengidentifikasi, dan menafsirkan makna sebuah fenomena, seorang
fenomenolog perlu memperhatikan struktur-struktur intensional dari datanya, dan
strukturstruktur intensional dari kesadaran dengan rujukan dan maknanya yang diinginkan.
 Pengurungan (epoché). Diartikan sebagai penundaan penilaian. Hanya dengan mengurung
keyakinan-keyakinan dan penilaian-penilaian yang didasari pada pandangan alami yang
tidak teruji, seorang fenomenolog dapat mengetahui fenomena pengalaman dan
memperoleh wawasan tentang struktur-struktur dasarnya.
 Eidetic vision. Adalah pemahaman kognitif (intuisi) tentang esensi, seringkali
dideskripsikan juga sebagai eidetic reduction, yang mengandung pengertian “esensi-esensi
universal”. Esensiesensi ini mengekspresikan “esensi” (whatness) dari sesuatu, ciri-ciri
yang penting dan tidak berubah dari suatu fenomena yang memungkinkan kita mengenali
fenomena sebagai fenomena jenis tertentu.

yang menangkap realitas itu sendiri. Objek fenomenologi adalah fakta atau gejala, atau
keadaan, kejadian, atau benda, atau realitas yang sedang menggejala. Phenomenologi berpegang
atau berpendirian bahwa segala pikiran dan gambaran dalam pikiran kesadaran manusia
menunjuk pada sesuatu, hal atau keadaan.3

B. Akar dan perkembangan Pemikiran Fenomenologi


Sekitar abad 15 dan 16 M, di Eropa telah terjadi suatu perubahan terbesar dalam
perspektif manusia tentang dirinya. Hal ini dikarenankan di abad pertengahan, manusia
memandang segala hal dari sudut pandangan ketuhanan. Kaitannya dengan Tuhan yang
menciptakan, mengarahkan, mempertahankan, serta penyelamat manusia dan seluruh alam raya.
Selanjutnya, munculnya modernitas mengubah paradigma berpikir ini, bahkan peralihan tersebut
±pada satu keadaan± bersifat dekonstruktif; reformasi abad-16 yang menolak banyak klaim

3
Maraibang Dulay, Filsafat Fenomenologi,Panjiaswaja Press 2010. Hlm. 18

5
Gereja, serta dasardasar atheism yang dirumuskan oleh filsuf era itu. Hal ini yang mengantarkan
peradaban Eropa menuju masa pencerahan4

Dengan demikian, pada abad ke-15 dan 16 M, selain masa revitalisasi agama dan masa
kebangkitan Eropa berlangsung, pada saat itu pula muncul penekanan segala hal pada sudut
pandang manusia; antroposentris (al-Ittijâh al-Insânî). Dari sinilah awal mula muncul dua aliran
besar yang saling bertentangan, yakni rasionalisme dan empirisme. Kemudian, pertentangan ini
berlanjut pada perseteruan dua aliran besar filsafat Eropa, yakni; idealis dan realis. Immanuel
Kant pernah berupaya menyatukan dua kecenderungan ini, namun yang terjadi justru
pengunggulan idealistik atas realistik. Pun Hegel, ia malah terjebak pada prioritas ide dan konsep
atas materi. Efeknya, tesis yang dikemukakannya lebih mirip ke mitos, serta konsepsi dari pada
ke realitas. (Hanafi)

Kehadiran Edmund Husserl, empat kurun setelah muculnya kesadaran Eropapada abad
ke-19, dan disebut-sebut sukses menyatukan kecenderungan idealis dan realis. Husserl berupaya
membongkar filsafat Barat, dengan menghancurkan ketertutupan kesadaran. Karena, “
kesadaran” sesuai kodratnya mengarah ke realitas. Kemudian Husserl menciptakan pendekatan
filsafat yang menganalisa “kesadaran” dan obyek-obyeknya secara sistemik dan berdasarkan
pengalaman. Pendekatan ini kemudian dinamakan pendekatan “Fenomenologis”. Secara
genealogis, fenomenologi juga merupakan bentuk respon dari dominasi rasio yang terjadi pada
abad 17 dan 18. Dominasi rasio terejawantahkan dalam pertimbangan segala hal, termasuk alam
raya, pada sikap matematis. Sehingga pada tahap ini rasio telah menjadi kesadaran serta
penggerak kehidupan5

C. Asal Mula Fenomenologi


Asal mula kajian ilmiah tentang agama umumnya dapat dilacak pada akhir abad 19 dan
awal ke-20, khususnya karena pengaruh Renaisans, dalam disiplin-disiplin keilmuan yang berbeda
seperti linguistik, kajian-kajian tekstual, bidang-bidang studi yang sedang muncul seperti
antroplogi, sosiologi, arkeologi, dan dalam bidang kelimuan yang dikenal sebagai
Religionswissenchaft (sains agama). Tujuan utama dari keilmuan tersebut pada masa-masa awal

4
Abdul Mujib, Pendekatan Fenomenologi Dalam Studi Islam, Al-Tadzkiyyah 2015. Hlm. 20
5
Abdul Mujib, Pendekatan Fenomenologi Dalam Studi Islam, Al-Tadzkiyyah 2015. Hlm. 21

6
adalah untuk memberikan deskripsi yang obyektif, khususnya untuk komunitas akademis Barat,
tentang berbagai aspek kehidupan beragama di seluruh dunia, biasanya untuk membuat
perbandingan-perbandingan yang akan mendemostrasikan superiotas budaya dan agama Barat
ketimbang agama dan budaya dari belahan dunia yang lainnya.
Yang memasukkan istilah fenomenologi ke dalam Ilmu Agama adalah Pierre David
Chantepie de la Saussaye (1848-1920). Menurut Saussaye fenomenologi adalah “pensisteman dan
klasifikasi aspek-asoek yang terpenting dari prilaku keagamaan dan dari ide-ide keagamaan”,
bukan tentang renungan mengenai ide-ide keagamaan, karena hal ini menjadi tugas para filsuf
agama. Di tangan Saussaye ini, Fenomenologi Agama secara definitif menjadi bagian cabang dari
Ilmu Agama.
Para ilmuan agama modern saat itu bersikukuh untuk membebaskan pendekatan dan
disiplin mereka dari penyelidikan-penyelidikan pramodern yang penuh dengan asumsi-asumsi dan
penilaian-penilaian subyektif dan normatif, ketergantungan pada supranatural dan otoritas
eksternal lainnya, serta kehilangan perhatian terhadap standar-standar pengetahuan obyektif Para
ilmuan agama modern saat itu bersikukuh untuk membebaskan pendekatan dan disiplin mereka
dari penyelidikan-penyelidikan pramodern yang penuh dengan asumsi-asumsi dan penilaian-
penilaian subyektif dan normatif, ketergantungan pada supranatural dan otoritas eksternal lainnya,
serta kehilangan perhatian terhadap standar-standar pengetahuan obyektif yang akurat.6
Namun, kajian agama awal mereka dibentuk oleh asumsi-asumsi, praduga-praduga, dan
penilaian-penilaian apologetis, religius, politis dan ekonomi. Kajian komparatif terhadap agama
lebih memaparkan superioritas agama dan budayanya sendiri, dan jarang melihat dan mengkajinya
dari perspektif orang lain. Misalnya, kajian awal tentang agama-agama “animistik”, yang
dilakukan oleh “antropolog belakang meja”, seperti E. B. Taylor, mencoba menentukan
perkembangan evolusioner mereka dengan satu pandangan untuk memaparkan watak “primitif”
dari ritus-ritus dan keyakinan-keyakinan mereka.
Selain itu, pendekatan dan metode penelitian agama yang digunakan mengadopsi
pandangan positivistik tentang “fakta-fakta” empiris dan pengetahuan “obyektif” yang bisa
diamati. Para ilmuan agama mengadopsi gagasan evolusi-nya Darwin dan menerapkannya pada
bahasa, agama, budaya, dan isu-isu lainnya. Secara tipikal, mereka mengorganisir data agama

6
W.C. Smith, “Perkembangan dan Orientasi Ilmu Perbandingan Agama”, dalam Ahmad Norma Permata,
Metodologi Studi Agama, 77.

7
dalam suatu kerangka yang telah ditentukan sebelumnya, unilinear, yang dimulai dari tingkatan
agama-agama primitif yang terendah, tidak berkembang dan berevolusi pada puncak monoteisme
Barat khususnya Kristenitas. Dalam kerangka ilmiah, manusia berevolusi melampaui semua
agama hingga tahap perkembangan yang lebih tinggi yang ilmiah dan rasional. Pendekatannya
bersifat sangat normatif, dengan menerapkan standar-standar mereka untuk membuat penilaian-
penilaian ilmiah. Contoh, manusia berulang kali mengklaim bahwa mereka mempunyai
“pengalaman-pengalaman tentang Tuhan”. Para psikolog agama berupaya menganalisa dan
menjelaskan pengalaman-pengalaman tersebut dan fenomena-fenomena religius dengan
penjelasan psikologis. Para sosiolog agama menjelaskannya dalam terma-terma kebutuhan, fungsi
dan struktur sosial. Para filosof mengajukan pertanyaan-pertanyaan filosofis normatif.
Fenomenologi agama muncul berupaya untuk menjauhi pendekatan-pendekatan sempit,
etnosentris dan normatif ini. Ia berupaya mendeskripsikan pengalaman-pengalaman agama
seakurat mungkin. Dalam penggambaran, analisa dan interpretasi makna, ia berupaya untuk
menunda penilaian tentang apa yang riil atau tidak riil dalam pengalaman orang lain. Ia berupaya
menggambarkan, memahami dan berlaku adil kepada fenomena agama seperti yang muncul dalam
pengalaman keberagamaan orang lain.

D. Definisi Fenomenologi Agama


Fenomenologi agama muncul sebagai salah satu disiplin keilmuan dan pendekatan modern
terhadap agama. Terkadang para ilmuan agama mengidentifikasi fenomenologi agama dalam
wilayah umum Religionswissenchaft (sains agama). Dalam hal ini, ada empat pengertian yang
diberikan untuk mendefinisikan “fenomenologi agama”, seperti yang dikemukakan oleh Douglas
Allen.7
Pertama, fenomenologi agama diartikan sebagai ebuah investigasi terhadap fenomena atau
obyek-obyek, fakta-fakta dan peristiwa-peristiwa agama yang bisa diamati. Kedua, fenomenologi
diartiksan sebagai sebuah studi komparatif dan klasifikasi tipe-tipe fenomena agama yang berbeda.
Pengertian ini berkembang di kalangan ilmuan Belanda, dari P. D. Chantepie de la Saussaye
hingga sejarawan agama Skandinavia Geo Widengren dan Ake Hultkrantz). Ketiga, fenomenologi
agama diartikan sebagai cabang, disiplin atau metode khusus dalam kajian-kajian agama.

7
Istilah Religionswissenschaft pertama kali digunakan pada tahun 1867 oleh Max Muller, dia menggunakan istilah
ini dalam rangka mengidentifikasikan bahwa disiplin ini lepas dari filsafat agama dan teologi. Joseph M. Kitagawa,
“Sejarah Agama-agama di Amerika”, dalam Ahmad Norma Permata, Metodologi Studi Agama, 126 - 127.

8
Pengertian ini diajukan oleh W. Brede Kristensen, Gerardus van der Leeuw, Joachim Wach, C.
Jouco Bleeker, Mircea Eliade, Jacques Waardenburg. Keempat, ada ilmuan yang fenomenologi
agamanya dipengaruhi oleh fenomenologi filsafat. Beberapa ilmuan, seperti Max Scheler dan Paul
Ricoer, mengidentifikasi banyak karyanya dengan fenomenologi filsafat. Yang lainnya, seperti
Rudolf Otto, Gerardus van der Leeuw dan Mircea Eliade, menggunakan metode filsafat dan
dipengaruhi oleh filsafat fenomenologi. Ada juga pendekatan-pendekatan teologis berpengaruh
yang menggunakan fenomenologi agama sebagai satu tingkatan dalam formulasi teologi, seperti
Friedrich Schleirmacher, Paul Tillich dan Jean-Luc Marion.
Pengertian-pengertian di atas pada dasarnya masih bersifat umum, karena tidak
memasukkan unsur-unsur khas pendekatan fenomenologi dalam kajian itu. Definisi yang paling
tepat untuk menggambarkan fenomenologi agama adalah pengertian yang diberikan oleh James L.
Cox. Dengan menggunakan konsep-konsep Husserl,
Cox mendefinisikan fenomenologi agama dengan pengertian adalah A method adapting
the procedures of epoché (suspension of previous judgments) and eidetic intuition (seeing into the
meaning of religion) to the study of the varied of symbollic expressions of that which people
appropriately respond to as being unrestricted value for them yang artinya (Sebuah metode yang
menyesuaikan prosedur-prosedur epoché (penundaan penilaian-penilaian sebelumnya) dan
intuisi eidetis (melihat ke dalam makna agama) dengan kajian terhadap beragam ekspresi
simbolik yang direspons oleh orang-orang sebagai nilai yang tidak terbatas buat mereka.)8
Dari pengertian ini, ada dua unsur pokok yang melekat dalam pendekatan fenomenologi,
yaitu epoché, yang berarti “pengurungan semua anggapan dan penilaian sebelumnya”, dan eidetic
intuition yang mengandung arti “melihat ke dalam jantung makna agama”. Dengan kedua cara ini,
fenomena agama dan pengalaman keberagamaannya dapat diketahui struktur-struktur
mendasarnya.
E. Studi Agama dengan Pendekatan Fenomenologi
Termasuk dalam studi agama, pendekatan fenomenologi menjadi suatu metode dalam
memahami agama lain dengan sudut pandang netral serta menanggalkan identitas diri sendiri
(epoche) serta berusaha menghadirkan pengalaman keagamaan dari orang lain.9

8
Fazlur Rahman, “Approaches to Islam in Religious Studies, Review Essay”, dalam Richard Martin (ed.),
Approaches to Islam in Religious Studies, 190.
9
Abdullah, Amin. (1996). Studi Agama Normativitas atau Historisitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

9
Orientasi kajian fenomenologi agama ialah pengalaman keagamaan dari seseorang yang
dijelaskan atau digambarkan fenomena tersebut secara konsisten yang berpatokan pada keimanan
atau kepercayaan dari objek penelitian. Fenomenologi melihat suatu agama menjadi sebuah
komponen yang berbedabeda lalu diteliti secara hati-hati sesuai dengan tradisi maupun ritual
keagamaan yang dijalankan pemeluk agama tersebut. Penekanannya adalah, fenomenologi agama
timbul sebagai usaha untuk menghindarkan seseorang memakai pendekatan yang sempit, normatif
dan etnosentris terhadap agama serta berusaha mengelaborasikan semua pengalaman agama
seakurat mungkin.
Jika dicermati lebih jauh dari cara kerja pendekatan fenomenologi, seseorang akan merasa
sulit menghindari pengaruh dari pendekatan filsafat dalam pendekatan fenomenologinya.
Sebenarnya yang terjadi ialah,justru dengan pendekatan fenomenologi inilah yang berjasa dalam
mendapatkan pengetahuan baru saat mencari esensi dari keberagamaan manusia. Seiring
berjalannya waktu, pendekatan ini dikembangkan kembali oleh W.B Kristensen, Rudolf Otto,
MirceaEliade dan juga oleh G. VanderLeeuw yang samasama bahwa fokus utama dari
fenomenologi ialah pencarian makna dan struktur fundamental dari pengalaman beragama. Lebih
lanjut, Rudolf Otto menemukan sesuatu yang mengagumkan dan benar-benar menarik serta
menggetarkan hati dari pengalaman keberagamaan seseorang. Sementara itu, MirceaEliade
menekankan adanya sesuatu yang dikultuskan “thesacred” yang tidak bisa dipisahkan dari
seseorang yang memeluk agama.10
Setiap penelitian tentang agama pokok bahasannya pasti seputar fakta dan cara
pengungkapannya. Temuan-temuan ini digali dari pengamatan atas realitas kebiasaan tata cara
beragama dari seseorang, secara lebih rinci sikap maupun tindakan keagamaan seseorang sangat
terlihat jelas pada saat mereka melakukan ritual-ritual agama, keyakinannya terhadap mitos-mitos
maupun simbol-simbol agama, kepercayaan terhadap kitab suci dan sejauh mana ia menjadikan
agama sebagai tuntunan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari11
Hegel menambahkan bahwa pendekatan fenomenologi ini berhubungan dengan hal yang
sedang digambarkan oleh seseorang dari apa yang dia pikir, kemudian nampak dalam realitas
kesadaran serta dirasakan menjadi sebuah pengalaman dari seseorang tersebut. Lebih lanjut

10
Joachim Wach, (2000). “Perkembangan dan Metode Studi Agama”, dalam Ahmad Norma Permata (Ed. dan pent),
Metodelogi Studi Agama, Cet. 1. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
11
Dhavamony, Mariasusai. (1995). Fenomenologi Agama.

10
Husserlmenganggap bahwa fenomenologi ini menjadi suatu kajian studi yang berasaldari struktur
kesadaran manusia dimana kesadaran tersebut mengarahkan pada objek di luar diri manusia
tersebut. Tidak berhenti disitu, Husserl bahkan menemukan poin-poin penting yang menjadi tolak
ukur dari metodologi fenomenologi agama itu sendiri, yaitu epochedan eideticvision. Makna dari
epochedisini ialah “penundaan dari sebuah penilaian” yang bermaksud bahwa menghilangkan
praduga yang muncul dan bisa berpengaruh pada pemahaman seseorang dari suatu hal tertentu.
Sedangkan makna dari eideticvisionyaitu kemampuan dalam menerawang lebih jauh dari yang
sebenarnya terjadi pada objek yang nampak. Penggunan baik epochemaupun eideticvisionini
menjadi sebuah keharusan dari peneliti fenomenologi untuk mendapatkkan hasil penelitian yang
benar-benar objektif.12 Dari penjelasan yang sudah dipaparkan dapat disimpulkan bahwa, terdapat
dua unsur fundamental yang harus ada dalam pendekatan fenomenologi yaitu apoche atau
penangguhan anggapan awal dan eideticvision yang berarti melihat lebih jauh dari apa yang
terlihat. Dari dua cara inilah pengalaman keagamaan maupun fenomenafenomena dari suatu
agama akan diketahui sampai pada struktur yang paling mendasar.
Terdapat istilah fenomenologi historis agama, yaitu penelitian secara sistematis yang
mencoba mencari jawaban dari sejarah suatu agama. Penyelidikan ini ditugaskan untuk
mengelompokkan atau mengklarifikasi beberapa data yang telah tersebar luas sehingga menjadi di
satu pandangan yang utuh yang dapat diambil isi dan makna religius dari agama tertentu tersebut.
Perilaku dan keyakinan keberagamaan seseorang kadangkala terlihat mirip antara agama satu
dengan yang lain, sedangkan dalam tinjauan sejarah agama yang menjadi pembahasan adalah
aspek kekhususan yang melekat dari agama tertentu. Sedangkan dalam kajian fenomenologi
agama justru memperlihatkan perspektif yang sistematis dari gejala-gejala yang muncul dari suatu
agama, hal ini bukan berarti bahwa fenomenologi mencoba untuk menyamaratakan ataupun
memperbandingkan berbagai agama sebagai kesatuan-kesatuan yang besar tetapi justru akan
menarik fakta dan gejala yang sama yang muncul dari agama yang berbeda-beda, kemudian
dikumpulkan dan dipelajari secara berkelompok. Tujuan dari hal ini tidak lain adalah untuk
memperoleh suatu perspektif yang sangat mendalam, detail dan terukur karena merupakan hasil
dari pembahasan kelompok yang saling memperbandingkan antara satu data dengan data yang
lain.

12
Khoir, Tholhatul. (2009). Islam Dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer.

11
Dalam fenomenologi agama dimasukkan pula pendekatan insider(prioritas perspektif
penganut agama) yang pada dasarnya membawa rasa empati yang besar sehingga dapat membawa
seseorang merasa ikut mengerti dan mengalami dari apa yang sedang dirasakan oleh penganut
agama lain. Sehingga akan menimbulkan pemahaman yang netral (menghilangkan pemikiran
kurang percaya) dan membuang reaksi penilaian awal dari diri sendiri.Pendekatan semacam ini
berusaha menghindari sejauh mungkin penilain-penilain teologis atau metafisis yang biasanya
cenderung merusak atau mengaburkan usaha memahami apa yang harus ditemukan dan dinilai
dalam istilah-istilahnya sendiri. Contohnya, haruskah seorang Muslim menafikan semua yang sah
dan pantas bagi orang-orang Hindu hanya karena penganut Hindu tidak mengakui otoritas al-
Qur’an dan terlihat lebih mementingkan pemujaan berhala? Dari sini tidak boleh ada pemahaman
keliru dan harus menggunakan pendekatan empati yang ketat lewat fenomenologi agama. Atau
peneliti dapat masuk ke dalam objek penelitian sehingga ia dapat mengatasi jarak sebagai subjek
dengan penganut agama sebagai objek (insider-outsider).
Menurut NoengMuhadjir, secara ontologis pendekatan fenomenologi dalam penelitian
agama mengakui empat kebenaran (sensual, logik, etik, transendental). Namun, hanya kebenaran
transenden yang dibedakan menjadi dua yaitu kebenaranIlahiyah dan insaniyah. Kebenaran
Ilahiyah didapat dari menafsirkan suatu teks serta mengembangkan maknanya tetapi tidak akan
pernah bisa menjangkau kebenaran substansial dari ilahiyah tersebut, sedangkan kebenaran
insaniyah merupakan hasil dari interaksi sesama manusia. Muhajir menambahkan, fenomenologi
ini memiliki orientasi serta landasan pada nilainilai (valuebound) seperti nilai kemanusiaan, nilai
keadilan dan lain sebagainya. (Muhadjir, 1989) Hal ini berbeda dengan positifisme yang selalu
fokus pada objektivitas melalui metode natural science dan bebas nilai.
Berdasarkan pada hal-hal yang telah dijelaskan di atas, maka sudah jelas bahwa
fenomenologi ini dilarang untuk menghasilkan suatu kontradiksi antara agama yang dianggap
benar dengan yang tidak benar. Namun, dalam situasi terpaksa fenomenologi bisa membedakan
antara agama yang dianggap murni dengan religius yang tidak murni, tetapi ini harus dilakukan
dengan penuh kewaspadaan. Maka dari itu, bidang kajian fenomenologi ini sebenarnya tidak sulit
meliputi:
a. Menjelaskan dari apa yang sudah diketahui bersama cari sejarah agama, maka
fenomenologi agama ini tidak akan pernah membedakan dirinya dengan agama manapun.

12
b. Fenomenologi bertugas untuk menyusun bagian fundamental agama ataupun sifat alamiah
dari agama tertentu, dimana hal ini ini merupakan faktor yang menjadi asal usul penamaan
dari semua agama.
c. Fenomenologi tidak akan pernah mempermasalahkan apakah gejala yang timbul dari suatu
agama itu merupakan suatu kebenaran atau sesuatu yang memiliki nilai serta bagaimana
hal tersebut bisa terjadi atau bahkan sampai menentukan besar kecilnya nilai dari
keagamaan yang dianut oleh setiap manusia. Namun, apabila sampai mencoba untuk
menentukan nilai keagamaan, maka nilai tersebut tidak pernah bersifat relatif tetapi selalu
memiliki nilai absolut. Maka dari itu, titik tekan dari pembicaraan fenomenologi ialah
Bagaimana fenomena tersebut nampak dan bagaimana cara ia menempatkan dirinya di
hadapan kita.
Oleh karena itu, fenomenologi menegaskan bahwa setiap gejala yang tidak terikat tuntutan-
tuntutan terhadap hal yang nyata maka dianggap tidak memiliki arti sama sekali. Meskipun begitu,
fenomenologi agama di sini tidak akan menjelaskan suatu nilai (makna) serta kebenaran (fakta
yang nampak) dari agama tertentu. Selajutnya sudah jelas bahwa, fenomenologi agama
memposisikan diri di antara dua kurung, menangguhkan serta menunda untuk menetapkan sesuatu
(epoche).

13
PENUTUP

Kesimpulan

 Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, “phainein,” yang berarti “memperlihatkan,”


yang dari kata ini muncul kata phainemenon yang berarti “sesuatu yang muncul.” Atau
sederhananya, fenomenologi dianggap sebagai “kembali kepada benda itu sendiri” (back
to the things themselves). Istilah ini diduga pertama kali diperkenalkan oleh seorang
filosof Jerman, Edmund Husserl.
 Fenomenologi agama muncul sebagai salah satu disiplin keilmuan dan pendekatan
modern terhadap agama. Terkadang para ilmuan agama mengidentifikasi fenomenologi
agama dalam wilayah umum Religionswissenchaft (sains agama). Dalam hal ini, ada
empat pengertian yang diberikan untuk mendefinisikan “fenomenologi agama”, seperti
yang dikemukakan oleh Douglas Allen.

14
DAFTAR PUSTAKA

W.C. Smith, Perkembangan dan Orientasi Ilmu Perbandingan Agama, dalam Ahmad Norma

Permata, Metodologi Studi Agama

Abdullah, Amin. Studi Agama Normativitas atau Historisitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996.
Joachim Wach, Perkembangan dan Metode Studi Agama, dalam Ahmad Norma Permata (Ed.
dan pent), Metodelogi Studi Agama, Cet. 1. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Maraibang Dulay, Filsafat Fenomenologi,Panjiaswaja Press 2010.

Abdul Mujib, Pendekatan Fenomenologi Dalam Studi Islam, Al-Tadzkiyyah 2015.

Fazlur Rahman, Approaches to Islam in Religious Studies, Review Essay

Khoir, Tholhatul, Islam Dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer, 2009.


Dhavamony, Mariasusai, Fenomenologi Agama, 1995.

15

Anda mungkin juga menyukai