Anda di halaman 1dari 14

BAB I

ORIENTASI MENGENAI WARIGA

A. Pengertian Wariga

Arti Kata Wariga Dalam hal pengungkapan arti kata wariga, sebetulnya masih banyak
menemukan kesukaran-kesukaran, karena sampai saat ini para sarjana maupun para cendekiawan
belum ada kesatuan pendapat apa sebenarnya arti kata wariga itu. Namun demikian kami akan
mencoba pula mengetengahkan arti kata wariga berdasarkan keterangan dari beberapa informan
yang langsung berkecimpung dalam hal ini dan juga melalui keterangan yang kami peroleh dari
dalam rontal, majalah, kitab-kitab yang ada kaitannya dengan hal tersebut diatas. Bapak I Ketut
Bangbang Gde Rawi menyebutkan kata “wariga” adalah asal kata dari wara dan ika. Wara
artinya hari, sedangkan ika artinya itu. Kata “ika” disamakan dengan kata “iga” sebab huruf “k”
dan “g” itu masih dalam satu warga yang tersebut dengan warga gutural. Jadi wariga adalah
suatu ilmu yang menguraikan tentang persoalan hari-hari baik dan hari-hari yang buruk bagi
suatu pekerjaan yang akan dimulai yang disebut pula perhitungan hala hayuning dewasa. Yang
kami sucikan Ida Pedanda Oka Telaga Sawang memberikan penjelasan bahwa kata “wariga” itu
tidak perlu diuraikan, kata wariga itu adalah memang kata dasar yang artinya yaitu suatu ilmu
tentang hari baik dan buruk untuk melaksanakan yadnya bagi umat Hindu di Bali.

Sedangkan Bapak I Ketut Guweng menyampaikan kata “wariga” dapat diperkirakan berasal dari
kata wara + i + ga.

Wara berarti mulia (sempurna)

i berarti menuju (mengarah)

ga berarti jalan

Jadi kata “wariga” berarti jalan menuju yang mulia (sempurna). Di dalam Lontarl ada pula
diuraikan mengenai arti kata wariga sebagai berikut : Petikan :

“Ika pawaking sang wiku, wruning wariga gemet wa,


nga, apadhang, ri, nga, tungtung.
ga, nga, carira. Ika carira, tanpa carira, nga.
Tan padwe buddhi, hala hayu, Wwang ring kasaman tasak ring padhartta
, dhiksita, blahaning hango buddhi”.

Artinya : Itu bagaikan badan sang pandita, yang mengetahui tentang wariga gemet. Wa adalah
terang. Ri adalah ujung/puncak. Ga adalah badan. Itu adalah badan yang tidak berwujud,
namanya. Tidak mempunyai budhi, buruk baik. Orang yang demikian adalah mateng dalam
kebijaksanaan, 7201 (1027 Caka = 1105 Masehi).

Jadi arti kata wariga adalah ujung / puncak badan yang terang. Maksudnya adalah dapat
mencapai sinar suci dalam diri sendiri yaitu Hyang Widhi wasa.
Yang dimaksudkan adalah perhitungan hari sebagai petunjuk jalan untuk menuju atau mencapai
yang terbaik (mulia) yaitu Moksartham jagadhitaya ca iti dharmah. Demikianlah arti kata wariga
yang dalam pelaksanaannya memiliki ketentuan atau dasar hukum tersendiri. Adapun ketentuan
hukum dari wariga termuat dalam rontal Wariga Gemet seperti dibawah ini :

 Wewaran halah dening wuku


 Wuku halah dening tanggal / panglong
 Tanggal / panglong halah dening cacih
 Cacih halah dening dawuh
 Dawuh halah dening wetu
 Wetunya Sanghyang Tridaca cakti

Maksud daripada ketentuan diatas pada akhirnya semua dapat diatasi oleh adanya 13 (tiga belas)
kekuatan atau manifestasi Tuhan yaitu Sanghyang Tridaca cakti. Tuhan adalah Mahasuci. Jadi
kalau dinilai dasar hukum perumusan wariga itu, yang memegang peranan utama adalah
kesucian bathin. Kesucian adalah perwujudan dari Hyang Widhi melalui 13 (tiga belas)
manifestasinya yaitu Tridacacakti yang disebut pula Sanghyang Trayodasha sakti : Aditya
(Surya), Candra (Sasih), Anila (Angin), Agni (Api), Apah (Toya), Akasa (Langit), Pretiwi
(Tanah), Atma (Sanghyang Dharma), Yama (Sabdha), Ahas (Rahina), Ratri (Wengi), Sandhya
(Sanja), Dwaya (Semeng). Peranan kedua dalam wariga adalah dawuh, ketiga adalah casih,
peranan keempat tanggal / (panglong dan kelima perhitungan wuku serta yang terakhir
memegang yang peranan adalah wewaran

Bila ajaran wariga itu diselidiki dengan teliti sesungguhnya adalah sistem pembagian wuku
untuk melakukan pekerjaan berdasarkan pertimbanganpertimbangan yang bijaksana sehingga
menimbulkan keharmonisan dengan hasil yang memuaskan. Untuk itu padewasan dapat
dibedakan sebagai berikut :

1. Untuk kepentingan sehari-hari (padewasan hari) cukuplah diperhitungkan baik buruknya hari
dan pawukon saja.

2. Untuk kepentingan jangka lama (padewasan berkala) hendaknya diperhitungkan hari dan
ditambah dengan perhitungan baik buruknya tanggal / pangelong maupun cacih. Jika
memungkinkan ditepati dengan perhitungan dawuh.

3. Untuk mencapai tujuan dalam mencari padewasan berkala sebaiknya diadakan pertimbangan
terlebih dahulu kepada para “Sulinggih” pihak yang berwewennag dan memang bertugas dalam
hal tersebut. Karena sesuatu akan terlaksana dengan baik, apabila ada kerjasa (mufakat) dari
Sang Tri Manggalaning Yadnya antara lain :

a) Sang Yajamana : orang yang memiliki kerja atau yadnya


b) Sang Widya : orang menyelenggarakan (tukang)
c) Sang Sadaka : Sang Sulinggih yang akan menyelesaikan (muput)
B. Latar belakang timbulnya wariga

Agama Hindu yang berkembang di Indonesia khususnya Agama Hindu di Bali


berpangkal pada Agama Hindu di India yang mengambil sumber dari kitab suci Catur Wedha
yaitu Reg Wedha, Sama Wedha, Yajur Wedha dan Atharwa Weda. Selain dari Catur Wedha
(Cruti) itu diambil pula dari kitab yang merupakan tafsir dari pada Wedha yang disebut Sruti
yang memuat berbagai penjelasan mengenai hal-hal tertentu yang terdapat dalam Wedha. Jadi
Surti itu merupakan “manual”, buku pedoman yang isinya tidak bertentangan dengan Cruti.
Adapun berbagai aspek kebudayaan di Bali yang meliputi filsafat, ethika, upacara, tata
kemasyarakatan dan seni budaya sebenarnya dipancari oleh sinar suci Agama Hindu. Tujuan
yang ingin dicapainya mencakup dua segi kehidupan yang meliputi lahiriah dan batiniah.
Tujuan lahirnya adalah menginginkan kemakmuran makhluk hidup (jagadhita) atau
kemakmuran duniawi dan tujuan bathiniahnya adalah menginginkan kebahagiaan bathin sebagai
landasan untuk mencapai kebahagiaan jiwa yang kekal dan abadi yaitu “Moksa”. Dengan
demikian tujuan Agama Hindu dapat dibedakan menjadi dua yaitu dalam kehidupan ini adalah
untuk mencapai kesejahteraan atau kemakmuran dan pada akhirnya adalah untuk mencapai
Moksa. Di dalam kitab suci Wedha hal ini diungkapkan dengan suatu formula : “Moksartham
jagadhitaya ca iti dharmah”, artinya tujuan Agama ini (Hindu) adalah untuk mencapai
kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat manusia dan makhluk) dan Moksa (bersatunya
Jiwatma dengan Paramatma)”. Berkenaan dengan hal itulah Agama Hindu di Bali selain
mengajarkan atau memberikan tuntunan hidup spiritual, namun juga menuntun umatnya untuk
mencapai kemakmuran hidup dan menyelaraskan kehidupan lahiriah dengan kehidupan batiniah
sehingga terwujudnya keharmonisan dalam kehidupan ini.

Sesungguhnya tingkah laku, gerak, langkah, amal dan bakti dari umat Hindu di Bali
dijiwai oleh Agama Hindu itu sendiri. Ajaran Agama Hindulah menjadi sumber tuntunan hidup
dalam menempuh kehidupan ini dan membimbing umatnya, bagaimana hendaknya
berpendirian, bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan ethika Agama. Pedoman hidup yang
dipegangnya disebut “Caturpurusartha” yaitu empat kepentingan pokok dalam menempuh
kehidupan ini yakni : Dharma, Artha, Kama dan Moksa. Dharma berarti kebenaran. Artha
artinya benda/materi. Kama artinya kesenangan atau kenikmatan. Moksa artinya kebahagiaan
yang kekal dan abadi. Secara biologis manusia adalah suatu organik yang memerlukan artha dan
kama. Tetapi di dalam mencapai artha, kama itu, hendaknya selalu berlandaskan atau
berpedoman kepada dharma (kebenaran). Dengan perkataan lain, dharmalah senantiasa sebagai
dasar untuk mendapatkan artha dan kama sehingga nantinya menuju kepada tingkatan Moksa
sebagai tujuan Agama Hindu yang terakhir. Caturpurusartha yang sebagai pedoman hidup itulah
merupakan landasan untuk berjalannya inti ajaran Agama Hindu adalah : “Panca Craddha”
artinya lima keyakinan pokok atau kepercayaan pokok yaitu Widhi Cradha, Atma Cradha,
Karmaphala Cradha, Punarbhawa Cradha dan Moksa Cradha.

Ajaran Astronomi sesungguhnya adalah bersumber dari wahyu Tuhan yang melalui sabda
suciNya diterima oleh para Rsi kita yang nantinya dihimpun dalam Wedha Smrti yaitu kelompok
Wedangga yang disebut dengan Jyotisa (Astronomi). Rsi penerima wahyu yang dimaksudkan
adalah Sapta Rsi yang telah dikemukakan diatas terutama Maha Rsi Atri. Maha Rsi Atri
disebutkan guru dari Bagawan Garga. Kiranya ilmu Astronomi itu pertama kali diterima melalui
wahyu Tuhan oleh Maha Rsi Atri dan selanjutnya pengetahuan tentang Astronomi itu banyak
diajarkan kepada Bagawan Garga. Ajaran-ajaran Astronomi yang telah disampaikan oleh Maha
Rsi Atri tergolong sebagai penerima wahyu pertama itu kemudian dihimpun dan disebarluaskan
oleh Bagawan Garga. Jadi Bagawan Gargalah sebagai penghimpun dan menyebarkan ajaran
Astronomi atau Jyotisa (Wariga) itu yang berguru kepada Maha Rsi Atri. Hal ini ada
diungkapkan di dalam rontal sebagai berikut : Petikan :

“Bagawan Garga sumanggraheng rikang utpata, ulihnira mangaji ring Bagawan Atri.
Na siptan ikang utpata apinda bawa ri jatinya wyaktinya : yan hana gelap tan panangkan
udan lindu pater; aditya akalangan, candra takalangan, udan lebu. Raditya bang ri kalaning
sumurup, kalanya metu kunang’

Artinya : “Bagawan Garga menyambut kelahirannya itu, oleh beliau belajar (berguru) kepada
Bagawan Atri. Demikianlah tersebut tentang kelahirannya berupa suatu wujud nyata yang
sesungguhnya : bila ada petir tanpa disebabkan oleh hujan, gempa dan suara gumuruh, matahari
dilingkari oleh garis embun (teja makalangan), hujan debu. Matahari berwarna merah ketika
menjelang terbenam, juga waktu terbitnya demikian.

Oleh karena masih adanya zat api pada inti bumi (magma) itulah sebabnya bumi tetap
berpusing mengelilingi bumi. Sekali pusingan bumi lamanya 16 dawuh atau 24 jam sedangkan
bumi mengelilingi matahari lamanya 365 ½ hari, tepatnya 365 hari, 5 jam, 48 menit, 46 detik
dinamai atemuang atau setahun. Atemuang atau setahun inilah lalu dibagi menjadi 12 masa
yaitu namanama bulan menurut sistim Hindu antara lain :

1. Sasih I (Kasa) – Srawana (Juli)

2. Sasih II (Karo) – Bhadrawada (Agustus)

3. Sasih III (Katiga) – Asuji (September)

4. Sasih IV(Kapat) – Kartika (Oktober)

5. Sasih V(Kalima) – Marggasira (Nopember)

6. Sasih VI (Kanem) – Posya (Desember)

7. Sasih VII (Kapitu) – Magha (Januari)

8. Sasih VIII (Kawulu) – Phalguna (Februari)

9. Sasih IX (Kasanga) – Caitra (Maret)

10. Sasih X (Kadasa) – Waisaka (April)

11. Sasih XI (Desta) – Jyesta (Mei)

12. Sasih III (Sada) – Asadha (Juni)


Selain dari pembagian bulan-bulan tersebut diatas juga muncul hari-hari berdasarkan perhitungan
planet-planet pada alam ini. Ada pasukan bintang dengan planet-planetnya yang dinamai :
Watangcista atau Bima – Cakti (Melkweg) juga disebut Tata Surya Kita artinya sistim matahari
kita. Dalam hal ini mataharilah menjadi pusat dan induk dari Tata Surya Kita ini, sedangkan
planet-planet mengelilinginya dengan teratur. Planet yang terpenting mengelilingi matahari kita
yaitu :

1. Venus (Bahasa Sansekerta : Cukra) adalah planet yang terdekat dengan bumi, jauh
peredarannya 40 juta km. Jaraknya dari matahari  108 juta km, beredar mengelilingi matahari
dalam waktu 224,5 hari. Garis tengahnya 12.200 km, hanya kurang sedikit dari garis tengah
bumi. Letaknya terdekat dengan bumi, hingga dialah paling terang kelihatan dari bumi. Venus
mempunyai satelit yang dianggap mempunyai hurip (neftu) 6 buah.

2. Mercurius (Bahasa Sansekerta : Budha) adalah planet yang lebih besar dari Venus (Cukra).
Jarak rata-ratanya dari matahari  58 juta km. Beredar mengelilingi matahari dalam 88 hari.
Garis tengahnya kira-kira 4.800 km. Ia hanya satu sisi menghadapi matahari, sebab-sebab itulah
sisinya itu amat panas. Mempunyai satelit yang dianggap hurip 7 buah.

3. Mars (Bahasa Sansekerta : Anggara) padang-padang tandus didalamnya. Jaraknya dari


matahari 226 juta km; lama peredarannya 687 hari, garis tengahnya 6.800 km. Panasnya kurang
dari bumi. Sesudah Venus, planet inilah yang terang cahayanya kelihatan dari bumi. Warnanya
agak merah, maka dapat dengan mudah mengenalnya. Mars diselubungi atmosfer seperti bumi.
Mempunyai satelit yang dianggap hurip 3 buah.

4. Yupiter (Bahasa Sansekerta : Wrhaspati) adalah planet yang terbesar dengan garis tengahnya
143.000 km, jadi 10 kali lebih besar dari bumi. Jarak rataratanya dari matahari 778 juta km;
lintas peredarannya diselesaikan dalam waktu 12 tahun, mempunyai 12 satelit, 4 buah
diantaranya kecil sebesar bulan, sebab itulah Wrhaspati dianggap mempunyai hurip 8 buah. 5.
Saturnus (Bahasa Sansekerta : Saniscara) : planet ini hampir sama dengan Yupiter mempunyai
gelang (cincin) yang mengelilinginya. Garis tengahnya 120.000 km. Jauhnya dari matahari 
1.426 juta km dan beredar mengelilinginya dalam waktu 29 ½ tahun. Saturnus banyak satelit-
satelitnya tetapi mempunyai hurip 9 buah. Planet-planet ini lanjut dipergunakan sebagai
peringatan hari digabung dengan matahari dan bulan menjadi Saptawara yakni :

1. Raditya simbulis dari Matahari

2. Soma simbulis dari Bulan

3. Anggara simbulis dari Mars

4. Budha simbulis dari Mercurius

5. Wrhaspati simbulis dari Yupiter

6. Sukra simbulis dari Venu

7. Saniscara simbulis dari Saturnus


Demikianlah nama hari-hari yang dihubungkan dengan Tata Surya Kita yang disebut dengan
Bhima – Sakti yaitu matahari sebagai pusat, sedangkan planet-planet yang lain dengan setia
sebagai pengiringnya berputar-putar berkeliling dengan baik dan teratur. Setelah sanghita itu
berlangsung, maka bintang dan planet-planet berarti telah ada dan peredarannya sudah teratur
menurut kekuatan tarikan api yang ada di masing-masing matahari, tidak ada lagi sesuatu
perpecahan atau tabrakan satu sama lainnya, maka keadaan alam yang sedemikian itu dinamai
Swastika.

Swastika artinya telah berdiri sendiri-sendiri dengan selamat menurut sifat dan gaya
peredarannya sendiri-sendiri. Swastika itulah menjadi lambang suci Agama Hindu, yang
mengandung makna : matahari ditengah-tengah mempunyai 4 tangan memutar peredaran planet-
planet termasuk bumi dan bulan dengan teratur dan sejahtera. Sebab itu pula lukisan Swastika itu
dipergunakan sebagai jimat untuk memohon keselamatan dan kesejahteraan serta menolak
bahaya yang akan datang dengan tanda :

Gambar swastika

oleh masyarakat Hindu kedudukan Swastika itu dilukiskan dengan padmaangalayang, artinya
yang pokok adalah tunjung terbang melayang-layang di awang-awang dengan berdaun delapan.
Yang dianggap padma-angalayang ialah bumi berpusing-pusing melayang di awang-awang
mengedari matahari (Suryacewana). Daunnya delapan ialah 8 arah dari bumi yaitu :

1. Purwa (Timur)

2. Gneyan (Tenggara)

3. Daksina (Selatan)

4. Nairiti (Barat daya)

5. Pascima (Barat)

6. Wayabya (Barat laut)

7. Uttara (Utara)

8. Airsanya (Timur laut)

Selanjutnya matahari, bulan dan planet yang penting yang dijadikan hari diletakkan di – 8
penjuru dunia yang juga disebut asta-deca yaitu :
Raditya (Matahari) di Timur dengan hurip 5;

Coma (Bulan) di Utara dengan hurip 4;

Anggara (Mars) di Barat daya dengan hurip 3;

Budha (Mercurius) di Barat dengan hurip 7;

Wrhaspathi (Yupiter) di Tenggara dengan hurip 8;

Sukra (Venus) di Barat kaut dengan hurip 1 (satu) dan di Timur laut dengan hurip 6;

Saniscara (Saturnus) di Selatan dengan hurip 9


BAB II
PEMBAHASAN
DASAR-DASAR PENGETAHUAN TENTANG WARIGA
A.Wuku

Wuku adalah bagian dari suatu siklus dalam penanggalan Jawa dan Bali yang berumur


tujuh hari (satu pekan). Siklus wuku berumur 30 pekan (210 hari), dan masing-masing wuku
memiliki nama tersendiri. Perhitungan wuku (bahasa Jawa: pawukon) masih digunakan
di Bali dan Jawa, terutama untuk menentukan "hari baik[1]" dan "hari buruk[2]" serta terkait
dengan weton / nepton. Weton dalam bahasa Bali disebut oton/otonan. Seorang bayi yang
berusia 1 siklus wuku (210 hari) disebut 1 oton.

ide dasar perhitungan menurut wuku adalah bertemunya dua hari dalam
sistem pancawara (pasaran) dan saptawara (pekan) menjadi satu. Sistem pancawara atau pasaran
terdiri dari lima hari, sedangkan sistem saptawara terdiri dari tujuh hari. Dalam satu wuku,
pertemuan antara hari pasaran dan hari pekan sudah pasti, misalkan hari Sabtu Pon terjadi dalam
wuku Wugu. Menurut kepercayaan tradisional orang Bali dan Jawa, semua hari-hari ini memiliki
makna khusus.

Disamping adanya mitologi wuku, neftu (urip) serta tempat wuku dalam pangider-ider,
disebutkan pula bahwa wuku-wuku tersebut ada dewanya sebagai berikut :

1. Wuku Sinta : Dewanya Bhatara Yamadipati

2. Wuku Landep : Dewanya Bhatara Mahadewa

3. Wuku Ukir : Dewanya Bhatara Mahayekti

4. Wuku Kulantir : Dewanya Bhatara Langsur

5. Wuku Tolu : Dewanya Bhatara Bayu

6. Wuku Gumbreg : Dewanya Bhatara Cakra

7. Wuku Wariga : Dewanya Bhatara Asmara

8. Wuku Warigadean : Dewanya Bhatara Maharesi

9. Wuku Julungwangi : Dewanya Bhatara Sambu

10. Wuku Sungsang : Dewanya Bhatara Gana

11. Wuku Dungulan : Dewanya Bhatara Kamajaya

12. Wuku Kuningan : Dewanya Bhatara Indra

13. Wuku Langkir : Dewanya Bhatara Kala


14. Wuku Medangsia : Dewanya Bhatara Brahma

15. Wuku Pujut : Dewanya Bhatara Guritna

16. Wuku Pahang : Dewanya Bhatara Tantra

17. Wuku Krulut : Dewanya Bhatara Wisnu

18. Wuku Mrakih : Dewanya Bhatara Surenggana

19. Wuku Tambir : Dewanya Bhatara Ciwa

20. Wuku Medangkungan : Dewanya Bhatara Basuki

21. Wuku Matal : Dewanya Bhatara Sakri

22. Wuku Uye : Dewanya Bhatara Kuwera

23. Wuku Menahil : Dewanya Bhatara Citragotra

24. Wuku Prangbakat : Dewanya Bhatara Bisma

25. Wuku Bala : Dewanya Bhatara Durgha

26. Wuku Ugu : Dewanya Bhatara Singajalma

27. Wuku Wayang : Dewanya Bhatara Sri

28. Wuku Kulawu : Dewanya Bhatara Sadana

29. Wuku Dukut : Dewanya Bhatara Baruna

30. Wuku Watugunung : Dewanya Bhatara Antaboga

B. Wewaran

Wewaran adalah bentuk jamak dari kata wara yang berati hari. Secara arti
kata Wewaran berasal dari bahasa Sansekerta dari akar kata wara (diduplikasikan/\ dwipura) dan
mendapat akhiran –an (we + wara + an) sehingga menjadi wewaran, yang berati istimewa,
terpilih, terbaik, tercantik, mashur, utama, hari. Dalam menentukan wariga, pengetahuan tentang
wewaran menjadi dasar yang sangat penting. Dalam hubungannya dengan baik buruknya hari
dalam menentukan wariga dewasa, wewaran mempunyai urip, nomor atau bilangan, yang
disesuaikan dengan letak kedudukan arah mata angin, serta dewatanya Berikut adalah nama-
nama wewaran yang berlaku di masyarakat Hindu Bali antara lain :

1. Eka wara : luang


2. Dwi wara : menga, pepet
3. Tri wara : pasah, beteng, kajeng
4. Catur wara : sri, laba, jaya, mandala
5. Panca wara : umanis, pahing, pon, wage, kliwon
6. Sad wara : tungleh, aryang, wurukung, was, maulu
7. Sapta wara : redite, coma, anggara, budha, wrehaspati, sukra, saniscara
8. Asta wara : sri, indra, guru, yama, ludra, brahma, kala, uma
9. Sanga wara : dangu, jangur, gigis, nohan, ogan, erangan, tulus, dadi
10. Dasa wara : pandita, pati, suka, duhka, sri, manuh, manusa, raja, dewa, raksasa.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
Dalam kepercayaan masyarakat Hindu di Bali, setiap bagian dari perhitungan ‘Lontar
Wariga’ memiliki nilai hidup atau urip, bahkan dipercayai sebagai milik dewa-dewa tertentu
sehingga suatu hari dibedakan dengan hari lainnya. Perhitungan yang rumit atas urip
rahina, wuku dan sasih menghasilkan sebuah sistem yang disebut ala ayuning dewasa (baik-
buruknya hari). Jika diamati dengan teliti padewasan yang tertulis dalam kelender Bali maka kita
akan melihat hari baik (dewasa ayu) yang lebih banyak berguna bagi masyarakat agraris,
misalnya tentang menanam padi, menanam palawija, membuat alat penangkap ikan, berburu,
mendirikan rumah, menggali sumur, dan sebagainya. Dalam bidang sosial mungkin dapat dilihat
beberapa hari baik untuk membentuk organisasi, mengadakan rapat, memulai usaha, dan lain-
lain.Artinya, wariga pada awalnya adalah cocok bagi masyarakat agraris yang memiliki cara
hidup sederhana, sosial, religius, tenteram dan damai. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa masyarakat Bali pra-Hindu yang dimaksudkan adalah masyarakat agraris dan masyarakat
Bali percaya bahwa lontar memiliki arti yang penting dan sangat bermanfaat untuk
kehidupannya. Dalam kurun waktu yang cukup lama ilmu wariga tetap hidup dalam masyarakat
Bali.  Lontar merupakan salah satu warisan budaya dan intelektual yang harus dijaga dan
dilestarikan, meskipun jika dilihat sepintas memerlukan perhitungan yang cukup rumit.

MAKALAH
WARIGA
OLEH :

Leni Rahayu
20.10.00006
PAH (Non Reguler)
Dosen : Ida Rsi Govinda

Yayasan Bhuwana Ashram


Sekolah Tinggi Agama Hindu Lampung
2023

Anda mungkin juga menyukai