Anda di halaman 1dari 11

Rangkuman Putusan PKPU Supermal Karawaci

1. Perkara 470/Pdt.Sus-PKPU/2021/N.Niaga.Jkt.Pst

Pihak:

 Investment Opportunities V Pte. Limited (Pemohon PKPU)


 PT Dewata Wibawa (Termohon I PKPU)
 PT Supermal Karawai (Termohon II PKPU)

Latar belakang

Para Termohon PKPU dan Pemohon PKPU (beserta kreditor lainnya) telah membuat dan
menandatangani Facility Agreement dated 26 Februaru 2020, sebagaimana terakhir
mengalami perubahan melalui Amendment and waiver letter dated 25 March 2020
(“Perjanjian Fasilitas”) dengan nilai USD200,000,000 , dengan rincian nilai pinjaman
sebagai berikut:

Nama Pemberi Pinjaman Awal

Tor Asia Credit Master Fund LP USD78.000.000

TACF Institutional Credit Master Fund LP USD22.000.000

Investment Opportunitities V Pte. Limited USD 100.000.000

Sehubungan dengan nilai fasilitas kredit tersebut, berdasrakan surat Utilisation Request
dated 24 March 2020, Termohon PKPU I menerima USD140.000.000 dan Termohon
PKPU II menerima USD60.000.000, dengan periode jatuh tempo selama 12 bulan setelah
tanggal penarikan.

Mengigat periode jatuh tempo, nilai utang para Termohon PKPU ialah sebagai berikut:

PT Dewata Wibawa (Termohon PKPU I) USD 90.624.705,58,-

PT Supermal Karawaci (Termohon PKPU II) USD 38.839.159,54,-

Seluruh utang para Termohon PKPU berdasarkan Perjanjian Fasilitas telah jatuh tempo
dan dapat ditagih terhitung sejak tanggal 26 Maret 2021. Selanjutnya Pemohon PKPU
telah menegeur dan mengingatkan Para Termohon PKPU untuk melunasi seluruh
utangnya kepada Pemohon PKPU melalui surat-surat.
Argumen Klien

Eksepsi Kompetensi Absolut

Para pihak telah terikat dalam perjanjian dimana berdasarkan klausula 43 di perjanjian
tersebut, setiap sengketa, kontroversi, atau klaim yang timbul sehubungan perjanjian
diselesaikan melalui SIAC.

Para pihak telah setuju mengesampingkan setiap hak untuk megnajukan permohonan ke
pengadilan hukum dan/atau otoritas peradilan lainnya berdasarkan Klausula 43.1 huruf g
perjanjian.

Termohon PKPU I dan II telah terbukti mendaftarkan atau menginisiasi atau memulai
proses perkara arbitrase pada SIAC, sehingga terdapat fakta dan keadaan yang tidak
sederhana sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat 4 UU No 37 tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU KPKPU”).

Mengingat perjanjian diatur berdasarkan hukum Inggris maka para termohon telah
mengambil posisi hukum bahwa perjanjian ini telah FRUSTRATED berdasarkan hukum
Inggris, yang mana SIAC akan menguji dan memutus permohonan arbitrase dari para
Termohon. Apabila SIAC nantinya mengabulkan permohonan tersebut akan timbul
kerancuan hukum sebab Pemohon PKPU mendalilkan dasar utang berdasarkan
perjanjian.

Dalam rangka menghargai keberadaan hukum inggris yang mengatur perjanjian para
pihak ini, maka sudah sepatutnya Maejlis Hakum Pengadilan Niaga Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat menyatakan tidak berwenang mengadili perkara PKPU a quo.

Pemohon PKPU dan kreditor lain yang termasuk dalam perjanjian yang menjadi dasar
permohonan PKPU tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai kreditor,
karena masih memerlukan pembuktian lebih lanjut berdasrkan perkara arbitrase di SIAC
yang sebelumnya didaftarkan para termohon PKPU.

Dalam pokok perkara

Perjanjian diatur dengan hukum Inggris, sehingga sudah sepatutnya Majelis Hakim yang
memeriksa menghormati pilihan hukum Inggris dan menyatakan diri tidak berwenang
memeriksa perkara PKPU a quo sebab terdapat sengketa arbitrase di SIAC yang
melibatkan para pihak dalam perjanjian.
Termohon PKPU I dan II telah mengambil posisi hukum perjanjian telah FRUSTRATED
berdasarkan Hukum Inggris, yang sedang dalam proses pemeriksaan di SIAC.

Pemohon PKPU tidak berhak menerbitkan surat pernyataan wanprestasi dan surat
peringatan berdasarkan ketentuan klausula 25.26 juncto 29.2 perjanjian sehingga
Pemohon PKPU beritikad tidak baik, berdasarkan klausula tersebut penerbitan surat
pernyataan wanprestasi dan surat peringatan harus melalui agen yaitu MADISON
PACIFIC TRUST LIMITED

Pertimbangan Majelis Hakim

Bahwa didukung ketentuan pasal 303 UU No 37 Tahun 2004, Majelis Haim Pengadilan
Niaga Jakarta Pusat berwenang memeriksa dan mengadili permohonan PKPU, walaupun
pokok permohonan yang dijadikan dasar utang-piutang terkait perjanjian memuat klausul
arbitrase, sepanjang utang yang menjadi dasar pemohonan PKPU tersebut memenuhi
ketentuan dalam pasal 2 ayat (1) UU No 37 Tahun 2004;

Menimbang, bahwa dengan demikian dalil eksepsi para Termohon yang menyatakan
bahwa Majelis Hakim Pengadilan Niaga yang mengadili perkara a quo tidak berwenang
mengadili, tidaklah beralsan dan harus ditolak;

Dalam Pokok Perkara

Menimbang bahwa untuk dapat dikabulkannya suatu permohonan PKPU, secara tegas
Undang-Undang No 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, telah mensyaratkan
bahwa permohonan tersebut harus memenuhi ketentuan Pasal 222 ayat (10 dan (3) jo.
Pasal 8 ayat (4), diantaranya:

a) Debitur mempunyai lebih dari 1 (satu) kreditur;


b) Ada sedikitnya satu utang dari Debitur kepada Kreditur yang telah jatuh waktu
dan dapat ditagih dan Kreditur memperkirakan bahwa Debitur tidak mampu
membayar utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih tersebut;
c) Ada sedikitnya sau utang debitur yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih paling
sedikit kepada 2 (dua) Krediturnya yang dapat dibuktikan secara sederhana.

Menimbang, bahwa dalam perjanjian yang telah disepakati tersebut, dalam klausul 25.26
terdapat aturan yang menyatakan dimana pihak yang berwenang untuk mewakili
kepentingan Pemohon PKPU berdasarkan perjanjian adalah MADISON PACIFIC
TRUST LIMITED selaku agen, yang mana ketentuan tersebut harus ditaati oleh para
pihak yang membuatnya, oleh karena itu seharusnya penagihan juga dilakukan agen baru
dalam tahap menyampaikan surat pernyataan wanprestasi dan memepringatkan termohon
I dan termohon II, tetapi belum sampai tahap penagihan, tapi di sisi lain Pemohon PKPU
telah langsung melakukan peringatan kpeada termohon PKPU I dan II.
Menimbang bahwa, bahwa disamping itu sehubungan dengan didaftarkannya oleh
Termohon PKPU I dan II di arbitrase singapur (SIAC), yang masih berproses dan masih
membutuhkan pembuktian lebih lanjut, dengan kata lain untuk mengetahui apakah para
Termohon PKPU telah melakukan wanprestasi atau tidak, harus dibuktikan dengan
adanya putusan SIAC, oleh karena itu yang demikian membuktikan bahwa permohonan
a quo pembuktiannya tidak sederhana;

Menimbang bahwa pertimbangan diatas Majelis Hakim menilai fakta atau keadaan
adanya utang Termohon PKPU sebagai debitur kepada Pemohon PKPU sebagai Kreditur
yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih tersebut tidak sederhana, sehingga salah satu
syarat yang ditentukan Pasal 222 ayat (1) dan (3) jo. Pasal 8 ayat (4) UU No 37 Tahun
2004 tidak terpenuhi, maka permohonan PKPU dari Para Pemohon PKPU tersebut tidak
beralasan hukum dan harus ditolak;

2. Perkara PKPU No 43/PDt.Sus-PKPU/2022/PN Niaga Jkt Pst

Pihak:

 Investment Opportunities V Pte. Limited (Pemohon PKPU)


 PT Dewata Wibawa (Termohon I PKPU)
 PT Supermal Karawai (Termohon II PKPU)

Latar belakang

Para Termohon PKPU dan Pemohon PKPU (beserta kreditor lainnya) telah membuat dan
menandatangani Facility Agreement dated 26 Februaru 2020, sebagaimana terakhir
mengalami perubahan melalui Amendment and waiver letter dated 25 March 2020
(“Perjanjian Fasilitas”) dengan nilai USD200,000,000 , dengan rincian nilai pinjaman
sebagai berikut:

Nama Pemberi Pinjaman Awal

Tor Asia Credit Master Fund LP USD78.000.000

TACF Institutional Credit Master Fund LP USD22.000.000

Investment Opportunitities V Pte. Limited USD 100.000.000

Sehubungan dengan nilai fasilitas kredit tersebut, berdasrakan surat Utilisation Request
dated 24 March 2020, Termohon PKPU I menerima USD140.000.000 dan Termohon
PKPU II menerima USD60.000.000, dengan periode jatuh tempo selama 12 bulan setelah
tanggal penarikan.

Mengigat periode jatuh tempo, nilai utang para Termohon PKPU tertanggal 24 FEbruari
2022, ialah sebagai berikut:
PT Dewata Wibawa (Termohon PKPU I) USD 95.391.319,30,-

PT Supermal Karawaci (Termohon PKPU II) USD 40.881.993,99,-

Seluruh utang para Termohon PKPU berdasarkan Perjanjian Fasilitas telah jatuh tempo
dan dapat ditagih terhitung sejak tanggal 26 Maret 2021. Selanjutnya Pemohon PKPU
telah menegeur dan mengingatkan Para Termohon PKPU untuk melunasi seluruh
utangnya kepada Pemohon PKPU melalui surat-surat baik secara langsung oleh Pemohon
PKPU dan juga agennya.

Argumen Klien

Eksepsi Kompetensi Absolut

Para pihak telah terikat dalam perjanjian dimana berdasarkan klausula 43 di perjanjian
tersebut, setiap sengketa, kontroversi, atau klaim yang timbul sehubungan perjanjian
diselesaikan melalui SIAC.

Para pihak telah setuju mengesampingkan setiap hak untuk megnajukan permohonan ke
pengadilan hukum dan/atau otoritas peradilan lainnya berdasarkan Klausula 43.1 huruf g
perjanjian.

Termohon PKPU I dan II melalui kuasa hukumnya Gabriel Law Corporation telah
terbukti mendaftarkan atau menginisiasi atau memulai proses perkara arbitrase pada
SIAC tertanggal 6 Desember 2021, sehingga terdapat fakta dan keadaan yang tidak
sederhana sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat 4 UU No 37 tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU KPKPU”).

Mengingat perjanjian diatur berdasarkan hukum Inggris maka para termohon telah
mengambil posisi hukum bahwa perjanjian ini telah FRUSTRATED berdasarkan hukum
Inggris, yang mana SIAC akan menguji dan memutus permohonan arbitrase dari para
Termohon. Apabila SIAC nantinya mengabulkan permohonan tersebut akan timbul
kerancuan hukum sebab Pemohon PKPU mendalilkan dasar utang berdasarkan
perjanjian.

Dalam rangka menghargai keberadaan hukum inggris yang mengatur perjanjian para
pihak ini, maka sudah sepatutnya Maejlis Hakum Pengadilan Niaga Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat menyatakan tidak berwenang mengadili perkara PKPU a quo.

Pemohon PKPU dan kreditor lain yang termasuk dalam perjanjian yang menjadi dasar
permohonan PKPU tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai kreditor,
karena masih memerlukan pembuktian lebih lanjut berdasrkan perkara arbitrase di SIAC
yang sebelumnya didaftarkan para termohon PKPU.

Dalam pokok perkara


Bahwa permohonan PKPU 30 November 2021 dan Permohonan PKPU 2 maret 2022
bagaolam “PINANG DIBELAH DUA” dengan modifikasi minor.

Perjanjian diatur dengan hukum Inggris, sehingga sudah sepatutnya Majelis Hakim yang
memeriksa menghormati pilihan hukum Inggris dan menyatakan diri tidak berwenang
memeriksa perkara PKPU a quo sebab terdapat sengketa arbitrase di SIAC yang
melibatkan para pihak dalam perjanjian.

Termohon PKPU I dan II telah mengambil posisi hukum perjanjian telah FRUSTATION
berdasarkan Hukum Inggris, yang sedang dalam proses pemeriksaan di SIAC, sehingga
pemphon PKPU sangat premature dalam mengajukan Permohonan PKPU 2 Maret 2022
sebelum dijatuhkannya keputusan yang berkekuatan hukum tetap atas perkara arbitrase
pada SIAC degan nomor ARB 417 tahun 2021.

Mengingat antara Pemohon PKPU dan Termohon PKPU I dan II sedang


mempermasalahkan mengenai apakah para Termohon PKPU telah melakukan
wanprestasi atau tidak atas perjanjian, yang mana sampai saati ini masih dalam proses
persidangan Arbitrase SIAC ARB 471 tahun 2021 tersebut, maka dengan demikian
terbukti terdapat suatu keadaan yang tidak dapat dibuktikan secara sederhana, sehingga
berdasarkan hal tersebut permohonan PKPU oleh Pemohon PKPU tersebut tidak
memenuhi seluruh unsur atau kriteria yang diatur dalam Keputusan Mahkamah Agung
Nomor 109/2020 Nomor 5.2.2.

Permohonan PKPU yang diajukan Pemohon PKPU telah memenuhi pertimbangan


hukum untuk ditolak berdasarkan ketentuan yang diatur dalam KMA No 109/2020.

Pertimbangan Hakim

Menimbang, bahwa berdasrkan pertimbangan tersebut diatas oleh karena para pihak
dalam perjanjian fasilitas kredit telah sepakat menggunakan hukum Inggris, maka tentu
saja hukum materiil untuk penyelesaian permohonan penundaan PKPU a quo harus
menggunakan hukum materiil hukum Inggris;

Menimbang, bahwa oleh karena untuk penyelesaian permohonan PKPU harus


menggunakan hukum materiil hukum Inggris maka Majelis Hakim berpendapat terhadap
keberadaan utang yang didalilkan oleh Pemohon memerlukan pembuktian lebih lanjut
dan menjadi tidak sederhana lagi;

Menimbang, bahwa dengan demikian terhadap dalil pemohon adanya utang yang telah
jatuh waktu dan dapat ditagih, masih mengandung sengketa dan memerlukan pembuktian
lebih lanjut, sehingga syarat Debitor tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah
jatuh waktu dan dapat ditaguh menjadi tidak terpenuhi, sehingga Majelis hakim tidak
perlu lagi memeprtimbangkan syarat Debitor memiliki dua kreditor atau lebih;
Menimbang, bahwa oleh karena syarat debitor tidak membayar sedikitnya satu utang
yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih tidak terpenuhi karena masih mengandung
sengketa dan memerlukan pembuktian lebih lanjut, maka syarat “terdapat fakta atau
keadaan yang terbukti secara sederhana” disebutkan dalam penjelasan Pasal 8 ayat (4) U
No 37 tahun 2004 tidak terpenuhi pula;

Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum sebagaimana tersebut


diatas, Majelis Hakim berpendapat permohonan PKPU dari Pemohon tidak memenuhi
ketentuan Pasal 222 ayat (3) UU No 37 Tahun 2004, sehingga berdasarkan Psal 225 ayat
(3) dan ayat (4) UU No 37 Tahun 2004, permohonan PKPU sementara dari Pemohon
harus ditolak;

Menimbang, bahwa oleh karena syarat pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU tidak
terpenuhi maka eksepsi Termohon II mengenai Pengadilan Niaga tidak berwenang
memeriksa dan mengadili dapat dikabulkan.
UU Kepailitan dan PKPU

UU No 37 Tahun 2004

Dalam bagian penjelasan umum disampaikan ada beberapa faktor perlunya pengaturan
mengenai Kepailitan dan PKPU1:

Pertama, untuk menghindari perebutan harta Debitor apabila dalam waktu yang sama ada
beberapa Kreditor yang menagih piutangnya dari Debitor

Kedua, untuk menghindari adanya Kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang
menuntut haknya dengan cara menjual barang milik Debitor tanpa memperhatikan
kepentingan Debitor atau Kreditor lainnya.

Ketiga, untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah


seorang Kreditor atau Debitor sendiri. Misalnya, Debitor berusaha untuk memberi
keuntungan kepaada seorang atau beberapa orang Kreditor tertentu sehingga Kreditor
lainnya dirugikan, atau adanya perbuatan curang dari Debitor untuk melarikan semua
harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggungjawabnya terhadap para
Kreditor.

Pendapat ahli

Menurut Fred B.G Tumbuan, tujuan dari Kepailitan adalah pembagian kekayaan debitur
oleh kurator kepada semua kreditur dengan memperhatikan hak – hak mereka masing –
masing.2 Dengan demikian hukum kepailitan dibutuhkan sebagai alat collective
proceeding, dalam rangka mengatasi collective action problem yang timbul dari
kepentingan masing – masing kreditur. Artinya, hukum kepailitan memberikan suatu
mekanisme dimana para kreditur dapat bersama – sama menentukan apakah sebaiknya
perusahaan atau harta kekayaan debitur diteruskan kelangsungan usahanya atau tidak,
dan dapat memaksa kreditor minoritas mengikuti skim karena adanya prosedur
pemungutan suara.3

1
UU No. 37 Tahun 2004 tengang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Citra Umbara, Bandung,
2007, hlm. 127-128.
2
Fred B.G.Tumbuan, “Menelaah Konsep Dasar Dan Aspek Hukum Kepailitan,” dalam Emmy Yuhassarie dan Tri
Harwono, Tim Editor (2), Kepailitan dan Transfer Aset Secara Melawan Hukum: Prosidings Rangkaian Lokakarya
Terbatas Masalah – Masalah Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya Tahun 2004, Cet. 2, (Jakarta: Pusat
Pengkajian Hukum, 2005), hal. 96.
3
Emmy Yuhassisarie dan Tri Harnowo, “Pendahuluan : Pemikiran Kembali Hukum Kepailitan Indonesia,” dalam
Emmy Yuhassarie dan Tri Harnowo, (Tim Editor) (1), Undang – undang Kepailitan dan Perkembangannya :
Prosidings Rangkaian Lokakarya Terbatas Masalah – masalah Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya tahun
2004, Cet. 2, (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005), hal. Xx.
Louis E. Levinthal, sebagaimana yang dikutip dalam Sutan Remy Sjahdeini, menyatakan
kepailitan memiliki 3 (tiga) tujuan umum. Pertama, hukum kepailitan mengamankan dan
membagi hasil penjualan harta milik Debitor secara adil kepada semua Kreditornya.
Kedua, adalah mencegah agar Debitor yang insolven tidak merugikan kepentingan
Kreditornya. Ketiga, memberikan perlindungan kepada Debitor yang beriktikad baik dari
para Kreditornya.4

Sutan Remy Sjahdeini menyatakan apabila syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang
sangat longgar dengan mudah suatu Debitor yang seharusnya belum dalam keadaan tidak
mampu membayar utang-utangnya dinyatakan pailit oleh Pengadilan, maka sistem
perekonomian dan bisnis negara yang bersangkutan akan rentan terhadap kehancuran.5

Menurut Dr. Yuhelson, S.H., M.H., M.Kn dalam bukunya Hukum Kepailitan Indonesia,
tujuan hukum kepailitan adalah:6

1) Agar debitur tidak menbayar utangnya dengan sukarela walaupun telah ada
putusan pengadilan yang menghukumnya supaya melunasi utangnya, atau karena
tidak mampu untuk membayar seluruh utangnya, maka seluruh harta bendanya
disita untuk dijual dan hasil penjualan itu dibagikan kepada semua krediturnya
menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali ada alasan-alsan yang sah
untuk didahulukan.
2) Untuk menghindari kreditur pada waktu yang bersamaan meminta pembayaran
kembali piutangnya dari si debitur.
3) Menghindari adanya kreditur yang ingin mendapatkan hak istimewa untuk
menuntut hak-haknya dengan cara menjua sendiri barang milik debitur, tanpa
memperhatikan kepentingan kreditur lainnya.
4) Menghindarkan kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh si debitur sendiri.
Misalnya debitur yang melarikan atau menghilangkan semua harta kekayaanya
dengan maksud melepaskan tanggungjawabnya terhadap para kreditur, debitur
menyembunyikan harta kekayaanya, sehingga para kreditur tidak akan
mendapatkan apa-apa.
5) Menghukum pengurus yang karena kesalahannya telah mengakibatkan
perusahaanya mengalami keadaan keuangan yang buruk sehingga perusahaan
mengalami keadaan insolvensi.

4
Sutan Remy Sjahdeini, Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan, Memahami Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Edisi Kedua, Prenadamedia Group, Jakarta,
2016, hlm. 4
5
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, hlm. 127
6
Dr. Yuhelson, S.H., M.H., M.Kn, Hukum Kepailitan Indonesia, Ideas Publshing, Gorontalo, 2019 hlm. 15-16.
Kritik ahli terhadap sistem PKPU di UU Kepailitan dan PKPU

Beberapa pendapat ahli yang mengkritik sistem pengaturan Penundaan Kewajiban


Pembayaran Utang yang justru sering digunakan untuk mempreteli aset-aset debitor:

Menurut Munir fuady:7

Kehadiran Pasal 222 ayat (3) adalah salah, dikarenakan lazimnya pihak yang meminta
PKPU adalah si berutang. Yang mengetahui kondisi keuangan Debitor adalah Debitor
sendiri. Yang meminta utangnya ditunda pembayarannya seharusnya Debitor, bukan
Kreditor.

Menurut M. Hadi Subhan:8

PKPU yang diajukan oleh Kreditor adalah aneh, dan melihat adanya kepalsuan apabila
PKPU diahukan oleh Kreditor. Sebab, ujung dari PKPU adalah Pailit. Setalah Debitor
Pailit, Debitor tidak dapat mengajukan upaya hukum apapun, dikarenakan lewat PKPU
tidak ada upaya hukum.

Menurut Hotman Paris Hutapea:9

Tidak masuk akal sehat dan logika hukum apabila Kreditor yang mengajukan
permohonan PKPU akan tetapi yang dipaksa untuk mengajukan proposal perdamaian
adalah Debitor. Selain itu, tidak masuk akal sehat dan logika hukum apabila dalam
prakteknya yang memohonkan PKPU adalah 1 (satu) Kreditor akan tetapi Debitor
dipaksa untuk mengajukan proposal perdamaian bukan hanya terhadap 1 (satu) Kreditor
Pemohon PKPU akan tetapu harus memasukkan proposal perdamaian terhadap seluruh
Kreditor.

Yurisprudensi MK mengenai permasalahan dalam UU Kepailitan dan PKPU

Putusan Mahkamah Konstitusi dalam uji materil UUK PKPU dalam Putusan Nomor
071/PUU-II/2004 dan Nomor 001-002/PUU-III/2005 dalam pertimbangan hukumnya
menyatakan longgarnya syarat mengajukan permohonan pailit merupakan kelalaian
pembuat undang-undang dalam merumuskan Pasal 2 ayat (1), dengan tidak adanya
persyaratan “tidak mampu membayar”, maka Kreditor dapat dengan mudah mengajukan
permohonan pernyataan pailit tanpa harus membuktikan bahwa perusahaan dalam
keadaan tidak mampu.10

7
www.hukumonline.com/berita/baca/lt520c4b3dd4bc2/salah-kaprah-pkpu-oleh-Kreditor, diakses tanggal 10
september 2018
8
Ibid.
9
Hotman Paris Hutapea, makalah Wacana Revisi UU No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang sebagai upaya antisipasi ancaman pailit bagi pengusaha di tengah instabilisasi roda
perekonomian di Indonesia,Makalah usulan Perubahan UU Kepailitan, 2015.
10
Putusan Mahkamah Konstitusi dalam uji materil UUK PKPU dalam Putusan Nomor 071/PUU-II/2004 dan Nomor 001-
002/PUU-III/2005, hlm. 157-158

Anda mungkin juga menyukai