Anda di halaman 1dari 5

Sungguh ironi memperingati hari ketahanan dunia yang jatuh pada 16 Oktober kemarin.

Indonesia yang katanya tanah surga tetapi pada kenyataannya Indonesia masih terkategorikan
bangsa yang miskin. Sebagai contoh kita melihat banyak orang miskin yang tak mampu
membeli beras sebagai makan pokok.

Di sisi lain kita dikejutkan dengan sebuah krisis pangan yang siap mengancam Indonesia. Hal
ini diperburuk dengan temuan Sensus Pertanian Badan Pusat Statistik (BPS) 2013 mencatat
adanya penyusutan 5,04 juta keluarga tani dari 31,17 juta keluarga per tahun 2003 menjadi
26,13 juta keluarga per tahun 2013.

“Ini artinya jumlah keluarga tani susut rata-rata 500 ribu rumah tangga per tahun,” menurut
ketua umum serikat tani Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih dalam siaran
persnya yang dilansir di Media Indonesia, Selasa (3/9).

Henry menuturkan hal ini terjadi akibat Indonesia menjalankan praktik ekonomi liberal
sehingga menempatkan korporasi sebagai aktor utama dalam segala sektor pertanian, mulai
dari alat produksi, cara produksi, hingga distribusi pertanian.

Alhasil banyak rakyat kecil enggan menjadi petani, hal ini cukup beralasan bahwa pada akar
permasalahannya kebijakan ekonomi bangsa Indonesia lebih banyak menguntungkan para
pemodal, pemerintah pun seakan menutup mata tidak peduli terhadap kesejahteraan petani.

Terlebih rezim SBY selama 10 tahun berkuasa dinilai gagal memberikan kesejahteraan bagi
para petani, karena kebijakan SBY malah lebih banyak berpihak pada kaum liberal. Janjinya
SBY akan mendistribusikan lahan bagi para petani akan tetapi itu semua hanyalah bualan
semata. Pada kenyataannya pemerintah malah mengeluarkan kebijakan impor beras, kedelai
dan daging sapi.

Parahnya kebijakan impor beras dinilai pemerintah sebagi solusi dari krisis ketahanan
pangan, padahal hal tersebut menyebabkan para petani kita kalah bersaing dengan barang
impor. Lantas dipasaran kita melihat banyak produk pertanian yang memang didatangkan
dari luar. Bagimana nasib para petani? Tentunya mereka gulung tikar beralih profesi.

Kondisi seperti inilah yang memperburuk ketahanan pangan kita. Lalu solusi apakah yang
dapat mengatasi krisis pangan?

Harus kita sadari bersama akar permsalahan ini memang datangnya dari sebuah ekonomi
kapitalis yang melahirkan kelas. Dimana orang atau pemodal sebagai penguasa dan yang kuat
adalah mereka yang mempunyai modal.

Sistem ini berlawanan dengan Islam, Islam mempunyai solusi yang jitu mengatasi krisis
ketahanan pangan. Syaikh Abdurrahman al-Maliki dalam kitab As-Siyâsah al-Iqtishâdiyyah
al-Mustlâ mengungkapan, dalam Islam, pada dasarnya politik pertanian dijalankan untuk
meningkatkan produktivitas pertanian. Untuk hal ini bisa ditempuh dua jalan. Pertama:
dengan jalan intensifikasi (peningkatan produksi), seperti melakukan berbagai usaha untuk
meningkatkan produktivitas tanah.

Kedua: dengan ekstensifikasi (perluasan), seperti menambah luas area yang akan ditanam.
Intensifikasi pertanian dapat dicapai dengan menggunakan obat-obatan, penyebarluasan
teknik-teknik modern di kalangan para petani, dan membantu pengadaan benih serta
budidayanya, termasuk melakukan bioteknologi untuk bidang pertanian.

Adapaun ekstensifikasi pertanian bisa dicapai dengan mendorong agar masyarakat


menghidupkan tanah yang mati caranya pemerintah memberikan tanah secara cuma-cuma
kepada mereka yang mampu bertani tetapi tidak memiliki tanah.

Sebaliknya, pemerintah harus mengambil tanah secara paksa dari orang-orang yang
menelantarkannya selama tiga tahun berturut-turut. Dalam hal ini, Rasulullah saw. pernah
bersabda:

Siapa saja yang memiliki sebidang tanah, hendaklah dia menanaminya, atau hendaklah ia
memberikan kepada saudarnya. Apabila ia mengabaikannya, hendaklah tanahya diambil. (HR
al-Bukhari dan Muslim).

Kiranya solusi di atas merupakan kebikajakan politik pangan yang efektik yang mampu
mengatasi problem ketahanan krisis pangan.

Penulis: Anastasia Sp.d (Alumni Pendidikan Bahasa Jerman UPI Bandung)

krisis pangan. Hal ini terungkap dalam berita yang dirilis Organisasi Pangan dan Pertanian
(FAO), Selasa (4/9).

Adalah José Graziano da Silva, Direktur Jenderal FAO, Kanayo F. Nwanze, Presiden
International Fund for Agricultural Development dan Ertharin Cousin, Direktur Eksekutif
Program Pangan Dunia yang bersama-sama menulis artikel berjudul “Tackling The Root
Causes Of High Food Prices and Hunger” guna merespon situasi krisis ini.

Mereka menyatakan, krisis pangan akan berdampak pada puluhan juta penduduk dalam
beberapa bulan ke depan, jika dunia tidak berkoordinasi mengatasinya.

Menurut pengamatan mereka, ada dua masalah utama yang perlu diatasi. Yang pertama
adalah masalah jangka pendek yaitu melonjaknya harga pangan (jagung, gandum dan
kedelai) di pasar dunia. Masalah ini berdampak pada penduduk miskin dan semua negara
yang mengandalkan pada impor pangan. Yang kedua adalah masalah jangka panjang yaitu
cara dunia memroduksi, memerdagangkan dan mengomsumsi pangan di tengah terus
meningkatnya permintaan, populasi dan perubahan iklim.

Kabar baiknya, menurut ketiga penulis, dunia saat ini lebih siap menghadapi krisis pangan
dibanding lima tahun yang lalu. PBB telah membentuk Unit Kerja Tingkat Tinggi untuk
Keamanan Pangan Dunia (United Nations High-Level Task Force on Global Food Security)
sementara organisasi negara-negara maju, G20, membentuk Agricultural Markets
Information System (AMIS) guna meningkatkan transparansi di pasar global. Mereka juga
memiliki Forum Tanggap Darurat terkait AMIS, guna mengatasi kekacauan pasar dengan
melibatkan produsen dan pedagang pangan besar.

Kenaikan harga pangan, di satu sisi bisa menciptakan bencana bagi penduduk miskin, namun
di sisi lain merupakan sumber pendapatan bagi petani kecil. Untuk itu, menurut ketiga
penulis, dunia harus mampu menerapkan pendekatan ganda yaitu membantu para petani kecil
berinvestasi dalam jangka panjang dan memastikan tersedianya jaring pengaman (safety net)
bagi konsumen dan produsen pangan kecil yang terancam kehilangan aset mereka (seperti
lahan pertanian) karena jebakan kemiskinan.

Banyak negara yang telah memiliki sistem jaring pengaman sosial ini yang bisa membantu
petani kecil dan memberikan bantuan nutrisi bagi para ibu dan anak-anak guna memastikan
mereka tidak kelaparan. Ketiga ahli ini juga meminta negara untuk tidak panik membeli
pangan secara berlebihan (panic buying) serta tidak menciptakan kebijakan yang membatasi
ekspor yang akan semakin memersulit krisis pangan.

Kenaikan harga pangan telah terjadi tiga kali dalam lima tahun terakhir. Penyebabnya tidak
lain adalah fenomena iklim yaitu kekeringan di satu wilayah dan banjir di wilayah lain yang
merusakkan produksi pertanian. Ancaman ini akan terus berlanjut sampai dunia bisa
menemukan solusi menghadapi perubahan iklim.

Dalam jangka pendek, kerugian ini tidak hanya diderita oleh mereka yang langsung terkena
dampaknya, namun juga diderita oleh komunitas internasional. Menurut perkiraan Program
Pangan Dunia (WFP), jika harga pangan naik 10%, dunia internasional harus mencari
tambahan dana sebesar US$200 juta per tahun guna menyediakan bantuan pangan. Artikel
lengkap dari ketiga penulis bisa dibaca di tautan berikut ini.

Redaksi Hijauku.com

Sinar Harapan, June 23, 2011


Masalah utama krisis pangan ada pada bagaimana pangan tersebut digunakan dan dibagi.
Peningkatan produksi dapat mengantarkan pada ketersediaan pangan yang banyak, namun
isu mengenai distribusi yang merata dan keseimbangan antara pangan dan bahan bakar
kemudian menjadi lebih penting saat ini.
Click here for English Version Print   Download PDF
....................................................................................................................................................
............................................................................................
Dalam publikasi terbaru yang diterbitkan oleh Food and Agriculture Organization (FAO)
PBB mengenai “indeks harga makanan”, indeks yang mengukur perubahan harga
sekeranjang komoditas pangan dunia secara bulanan, secara jelas menunjukkan bahwa harga
komoditas tersebut mengalami kenaikan terus-menerus dalam beberapa tahun terakhir di
berbagai belahan dunia.

Harga pangan dianggap sebagai “tsunami bisu” yang akan mempengaruhi kehidupan jutaan
orang, karena tampaknya era makanan murah telah berakhir dan beban dari harga-harga
baru ini akan semakin membuat dunia “tenggelam” seiring dengan semakin bertambahnya
jumlah penduduk dunia.
Meningkatnya harga pangan ini secara nyata bertepatan dengan meningkatnya kekhawatiran
mengenai ketersediaan pangan dunia, pada indeks harga berapa pun. Hal ini
mengkhawatirkan terutama bagi negara-negara berkembang di mana sejumlah lapisan
masyarakat yang paling rentan semakin dihadapkan pada ketidakpastian apakah mereka
mampu memperoleh makanan berikutnya atau tidak.

Keluarga miskin yang pendapatannya terbatas cenderung menghabiskan sebagian besar


pendapatannya pada makanan, dan karena kenaikan harga pangan tidak disertai dengan
kenaikan upah, akibatnya kaum miskin sering menjadi pihak yang harus membayar
konsekuensi tertinggi akibat kenaikan harga tersebut.

Beberapa faktor berkontribusi terhadap kenaikan harga pangan saat ini. Kenaikan jumlah
populasi dunia secara keseluruhan mengindikasikan akan bertambahnya jumlah individu
yang harus diberi makan, kenaikan permintaan jumlah makanan dan kualitas makanan yang
lebih baik dari negara-negara seperti India atau China.

Seiring dengan semakin meningkatnya kualitas kehidupan mereka, pergeseran global ke


arah konsumsi makanan yang berprotein tinggi (lebih mahal untuk diproduksi),
meningkatnya penggunaan biofuel yang menghapus sejumlah lahan untuk pertanian dan
mengurangi kuantitas lahan yang digunakan untuk pangan secara keseluruhan,
berkembangnya isu mengenai perubahan iklim, kegagalan panen dan penurunan
produktivitas pertanian seiring dengan semakin banyaknya penduduk yang pindah ke kota
dan mencari pekerjaan di sektor non-pertanian.

Kecenderungan-kecenderungan ini terlihat relevan untuk jangka waktu dekat maupun


panjang dan hal ini mengindikasikan bahwa harga pangan akan cenderung terus meningkat,
tidak akan menurun seiring waktu berjalan. Dengan tidak adanya solusi yang cukup untuk
mengatasi isu ini sekarang, pada akhirnya kelaparan akan menjadi isu yang paling penting di
seluruh dunia untuk beberapa tahun ke depan.

Meningkatnya kekhawatiran terhadap harga pangan dan bagaimana hal ini berdampak pada
tingkat kemiskinan dan pembangunan, terbukti oleh kerusuhan dan revolusi yang terjadi di
Timur Tengah. Harga pangan merupakan pendorong terjadinya kerusuhan sosial yang
menyebar di Tunisia dan selanjutnya berkembang menjadi isu di beberapa negara lain.
Tingginya harga pangan menyebabkan jutaan orang jatuh ke jurang kemiskinan,
mengakibatkan kerusuhan, ketidakstabilan ekonomi dan meruntuhkan kekuasaan pemerintah
di negara-negara berkembang tersebut.

Permasalahan ketahanan pangan, di antara yang lainnya, merupakan salah satu isu sentral
dari peringatan ke-20 tahun World Economic Forum (WEF) yang dilangsungkan di Jakarta
pertengahan Juni ini, di mana pemerintah, pebisnis, dan pemangku kebijakan
menggarisbawahi kebutuhan akan adanya usaha keras untuk mengembangkan solusi yang
berkelanjutan mengenai masalah ketahanan pangan global.

Akan tetapi, hal yang dapat menjadi sebuah kejutan adalah ketika WEF tidak berupaya
menambah produksi pangan secara keseluruhan, karena pada dasarnya dunia saat ini telah
memproduksi pangan lebih dari cukup untuk setiap orang.

Masalah utamanya ada pada bagaimana pangan tersebut digunakan dan dibagi. Sejumlah
pangan diproduksi, tidak untuk dimakan, namun diproses menjadi biofuel dan jumlah yang
besar terbuang di meja makan kita sehari-hari. Peningkatan produksi dapat mengantarkan
pada ketersediaan pangan yang banyak, namun isu mengenai distribusi yang merata dan
keseimbangan antara pangan dan bahan bakar kemudian menjadi lebih penting saat ini.

Krisis pangan yang sedang terjadi mengingatkan kita bahwa isu ketahanan pangan adalah
isu permasalahan sosial dan merupakan permasalahan ekonomi. Dalam kasus Indonesia,
kebijakan di bidang pertanian saat ini telah menghasilkan beberapa poin yang beralasan
mengenai swasembada beberapa pangan utama, mengembangkan diversifikasi pangan,
meningkatkan kapasitas dan efisiensi yang produktif, dan kebijakan-kebijakan ini juga telah
mampu meningkatkan standar kehidupan bagi sejumlah penduduk.

Negara seperti Indonesia telah membuat perkembangan yang signifikan dalam usaha
mengurangi kemiskinan sejak krisis finansial Asia di tahun 1998, dan dengan
pengembangan produktivitas di bidang pertanian, Indonesia telah memperoleh predikat
sebagai salah satu negara yang mengalami perkembangan di sektor pertanian tercepat.

Namun, saat ini dunia telah menjadi satu kesatuan yang rumit. Apa yang terjadi di luar
mempengaruhi keadaan domestik Indonesia. Investasi di produksi pangan secara nyata perlu
ditingkatkan untuk jangka waktu dekat dan panjang. Selain itu, pembatasan dunia terhadap
ekspor pangan atau subsidi, terutama oleh negara-negara maju, perlu dimonitor karena
mereka memainkan peranan yang krusial dalam mendorong harga pangan meningkat ke
atas.

Terlebih lagi, kerja sama antara pemerintah dan organisasi internasional serta berbagai
forum seperti WTO Doha Round dapat menghasilkan beberapa solusi jangka panjang bagi
masalah ini. Panggilan terhadap kerja sama global di bidang pangan sudah mulai terdengar.
Sejauh ini telah banyak yang dikatakan, namun begitu sedikit yang dilakukan.

Penulis bekerja sebagai Associate Researcher di Strategic Asia Indonesia,salah satu


perusahaan konsultansi Indonesia di bidang kebijakan dan fasilitasi bisnis ke bisnis di
antara negara China, India, dan Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai