Anda di halaman 1dari 7

Pembelajaran IPA merupakan belajar tentang alam dan lingkungan sekitar dimana siswa

akan mengamati, memahami, menalar, dan menyimpulkan suatu konsep dengan pembuktian
– pembuktian sehingga dalam belajar IPA, siswa harus aktif, kreatif, dan bekerjasama untuk
menemukan serta membuktikan konsep – konsep yang dipelajari melalui keragaman kegiatan
pembelajaran. Namun, faktanya masih banyak ditemukan dalam kegiatan pembelajaran IPA
terutama di sekolah dasar yang belum mampu memfasilitasi kebutuhan belajar siswanya
sehingga pembelajaran masih pasif dan umpan balik pembelajaran di dalam kelas juga
minim. Hal ini sejalan dengan hasil observasi dan wawancara beberapa siswa kelas V beserta
guru kelas V terkait permasalahan yang sering muncul ketika belajar IPA di SDN 2 Sengon
Trenggalek yang diperoleh bahwa data siswa kelas V berjumlah 15 siswa, terdiri dari 7 laki-
laki dan 8 perempuan. Kegiatan wawancara dilakukan bersama guru kelas V terkait profil
belajar siswa kelas 5 sebelum kegiatan observasi dilaksanakan, dan wawancara dengan
beberapa siswa terkait kesulitan belajar di dalam kelas dilakukan ketika melakukan
pengenalan di dalam kelas. Adapun hasil wawancara bersama guru kelas V terkait
pembelajaran di dalam kelas dimana siswa kelas V sering ramai ketika diminta mengerjakan
lks dan hasil belajar yang kurang pada materi tertentu karena siswa ketika diminta
mengerjakan tugas tidak semuanya mau mengerjakan dengan sungguh – sungguh dan sering
mengabaikan tugas-tugas kelompok. Sesuai hasil wawancara dengan guru kelas V, hasil
belajar siswa untuk mata pelajaran IPA pada materi siklus air hanya ada 7 siswa yang
mencapai Ketuntasan Kriteria Minimal (KKM), sedangkan 8 siswa belum mencapai KKM
dari mata pelajaran IPA yaitu 75. Jadi ketuntasan belajar IPA siswa kelas V SDN 2 Sengon
Trenggalek hanya mencapai 46,6%. Sedangkan wawancara dengan beberapa siswa
didapatkan data berupa siswa sering malas jika dilakukan diskusi dan sering bosan dengan
media teks bacaan di buku lks. Siswa juga menyatakan jika mereka sering mengantuk kalau
mendengarkan gurunya menjelaskan materi di lks dan terkadang menonton video yang
panjang.
Namun dalam pembelajaran belum terjadi proses tanya jawab antara guru dan siswa.
Materi pembelajaran disampaikan hanya dengan metode ceramah, dan belum adanya
penggunaan metode yang lainnya. Kegiatan pembelajaran yang demikian masih bersifat
teacher center/ teacher oriented dimana guru hanya mentransfer pelajaran pada siswa
sedangkan siswa hanya mendengarkan dan mencatat saja yang akan menyebabkan mereka
menjadi pasif , tidak kreatif dan tidak inovatif (Simanjuntak et al., 2023). Sedangkan
pembelajaran yang maksimal adalah pembelajaran yang menerapkan metode bervariasi dan
menciptakan pembelajaran yang menyenangkan bagi siswa.
Kegiatan pembelajaran kemudian dilanjutkan dengan pemberian tugas secara individu
yaitu membaca teks bacaan yang sama di buku lks. Ketika mengerjakan tugas kebanyakan
siswa bermain sendiri, bermalas-malasan, terlihat mengantuk, dan sering mencontek milik
temannya yang lebih pandai. Sehingga guru sering menegur dan memahari siswa yang ramai
sendiri dan tidak mau mengerjakan tugas tersebut. Kebanyakan siswa juga mengeluh karena
teks bacaan terlalu panjang yang membuat mereka menjadi bosan dan mengantuk. Hal itu
membuat semangat belajar siswa sudah menurun. Penggunaan teks bacaan sebagai media
belajar siswa yang notabenenya teks tersebut terlalu panjang tidak sesuai dengan karakteristik
belajar siswa kelas V yang secara keseluruhannya adalah kinestetik dan visual. Banyak siswa
yang berlarian kesana kemari dan gaduh di dalam kelas. Seharusnya, dalam pembelajaran
yang dapat menimbulkan dan menjaga semangat siswa ketika belajar sesuatu adalah dengan
menggunakan media dan metode yang bervariasi. Pembelajaran akan menjadi lebih menarik
dan menyenangkan jika media sebagai alat bantu dalam belajar benar – benar disiapkan
memenuhi kebutuhan dan karakteristik belajar siswa kelas V sehingga mereka akan terus
berpartisipasi aktif dalam pembelajaran, mereka akan merasa senang karena belajar sesuai
dengan keinginan dan kemampuannya (Simanjuntak et al., 2023).
Setelah pengerjaan tugas individu, siswa diminta mengerjakan tugas kelompok bermain
peran dalam contoh jenis – jenis usaha yang ada di lingkungan sekitar mereka. Siswa dibagi
kelompok dengan guru memberikan kebebasan siswa untuk memilih sendiri anggota
kelompoknya. Kebanyakan siswa memilih anggota kelompok yang disukainya dan sering
berteman dengannya. Hal ini menimbulkan kesenjangan sosial di dalam lingkup kelas bagi
yang bukan teman dekat mereka tidak mau menjadi satu kelompok. Selain itu, yang terjadi
pada kelompok adalah terdapat kelompok yang anggotanya pandai semua, terdapat kelompok
yang anggotanya pandai dan sedang, namun juga terdapat anggota kelompok yang kurang
saja. Hal ini juga menyebabkan siswa tidak berkembang dan merasa tidak adil, karena bagi
siswa yang kelompoknya pandai akan lebih cepat menyelesaikan tugas dan pasti mendapat
nilai bagus, sedangkan bagi kelompok yang kurang akan lamban dalam menyelesaikan tugas
dan rendah nilainya. Hal ini sejalan dengan pendapat (Wibowo, 2015) dimana siswa yang
memiliki kemampuan rendah tidak akan mampu berpartisipasi secara maksimal jika mereka
berada dalam kelompok yang juga berkemampuan rendah. Siswa yang berkemampuan tinggi
tidak akan menurun performanya jika harus bekerja sama dengan siswa berkemampuan
rendah, dan siswa yang berkemampuan sedang juga dapat bekerja sama secara maksimal
asalkan mereka berada dalam satu kelompok atau dalam kelompok yang berkemampuan
berbeda. Jadi, sudah sepantasnya kelompok belajar yang dibagi secara merata beranggotakan
anak berkemampuan pandai, sedang, dan rendah.
Pelaksanaan tugas kelompok siswa kelas V, banyak siswa yang kurang memperhatikan
pembelajaran. Terdapat beberapa yang ramai sendiri, acuh dengan tugas kelompoknya,
mengandalkan temannya mengerjakan sehingga hasil kerja kelompok belum maksimal dan
ketika presentasi hanya beberapa peserta didik yang menguasai materinya, waktu presentasi
pun hanya satu anak yang berani sebagai perwakilan kelompok dan yang tampil hanya anak
itu saja tidak mau bergantian dengan teman kelompok lainnya. Teman kelompok yang tidak
presentasi tugas hanya diam saja dan tidak mau membantu temannya ketika presentasi di
depan kelas. Sehingga kegiatan diskusi sering memakan waktu yang lama. Siswa yang
demikian, dikarenakan kurangnya minat dalam dirinya terhadap pembelajaran dan kurangnya
perhatian. Selain itu, sikap tanggung jawab dan sikap saling membantu dalam bekerja sama
pada kerja kelompok belum tertanam kuat dalam diri siswa. Padahal kerjasama internal yang
berlangsung di dalam lingkup sekolah sangat penting, khususnya dalam kelas diharapkan
dapat menjadi dorongan untuk menumbuhkan kreativitas siswa dalam berinteraksi sehingga
tujuan akhir dari proses belajar mengajar dapat mencapai hasil yang optimal. Sikap kerjasama
juga sangat penting bagi kelangsungan hidup, karena tanpa adanya kerjasama semua
pekerjaan akan terbengkalai, hubungan interaksi sosial sesama manusia menjadi renggang.
Sikap kerjasama perlu ditumbuhkembangkan pada diri anak sejak dini, terutama dalam
lingkungan sekolah yang sehari-hari anak akan berbaur dengan teman-temannya dan para
guru. Sikap kerjasama dapat diajarkan guru melalui kegiatan proses belajar mengajar yang
menyatu dengan sejumlah mapel yang ada di sekolah, sehingga sudah selayaknya dalam
kegiatan belajar mengajar siswa dididik dan dilatih memiliki sikap kerjasama yang tinggi
(Bawe, 2015).
Berdasarkan sikap kerjasama siswa yang kurang selama diskusi, guru sudah melakukan
pendekatan kepada siswa-siswa tersebut dengan memberikan pertanyaan pemantik
menggiring ia menemukan solusi dari masalahnya dan masuk kembali ke topik pembelajaran,
menegur dan memperingatkan untuk tidak mengulanginya kembali. Namun, siswa juga masih
sering mengulangi pada kegiatan-kegiatan selanjutnya. Guru menyikapi kejadian tersebut
dengan memarahi kemudian memerintahkan untuk diam. Selama pembelajaran guru
berkeliling melihat pekerjaan siswa dan membantu untuk menyelesaikan. Kebanyakan siswa
mengalami kesulitan pada saat mengerjakan soal dari teks bacaan yang memerlukan proses
analisis terlebih dahulu, dan kegiatan diskusi yang saat memahami tugas masing-masing
kelompok. Sehingga peran guru sebagai pembimbing sangat diperlukan dalam proses
pembelajaran. Disini, guru dapat memerankan dirinya sebagai fasilitator yang berkewajiban
memfasilitasi pembelajaran dengan baik dimana guru mampu membimbing, mengarahkan
agar siswa menjalin hubungan yang baik, interaksi yang baik dalam kelompok, dan menjalin
komunikasi yang baik dengan guru dalam kegiatan tanya jawab untuk memantau
perkembangan belajar siswa (Naibaho, 2018).
Kemudian, kegiatan pembelajaran diakhiri dengan membahas bersama hasil pekerjaan
siswa. Guru membacakan soalnya kemudian siswa menjawab. Banyak siswa yang tidak
tertarik dengan diskusi kelas ini karena mereka merasa sudah tahu jawabannya dimana
seluruh kelas jawabannya sama. Seharusnya supaya lebih menantang dan membuat menarik
perhatian siswa konten yang dibahas dalam pembelajaran berbeda-beda. Hal ini selain
membuat siswa tertarik karena yang dikerjakan satu kelas berbeda, juga dapat memunculkan
pemahaman yang berbeda sehingga akan mendorong siswa –siswa mengungkapkan banyak
pandangan dan menjadikan suasana kelas menjadi aktif. Namun, pada diskusi kelas V hanya
ada lima siswa yang aktif berpendapat. Sedangkan siswa yang pasif menyelesaikan tugas
dengan menulis dari jawaban temannya. Jika siswa tidak bisa menjawab guru langsung
membantu menyelesaikan. Guru tidak memberikan kesempatan kepada siswa membangun
pengetahuannya sendiri untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Tidak ada penilaian dan
pemberian penguatan dari guru terhadap tugas yang telah dikerjakan siswa.
Hasil observasi dan wawancara menunjukkan bahwa siswa kelas V SDN 2 Sengon
belum mengikuti pembelajaran dengan baik. Siswa memilih untuk bermain dan asik
berbincang dengan teman ketika pembelajaran berlangsung. Hal ini dikarenakan siswa
merasa bosan dengan kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Siswa kurang diberi
kesempatan untuk mengembangkan ide dan pikirannya dalam membangun pengetahuannya
dikarenakan guru hanya memberikan materi dengan ceramah, meminta siswa mengerjakan di
lks saja, dan metode diskusi yang tidak berjalan dengan baik pada siswa kelas V. Hal ini
mengakibatkan siswa sering lupa dengan materi yang sudah dipelajari sebelumnya. Selama
pembelajaran guru belum menanamkan pentingnya sikap kerjasama yang harus siswa
terapkan selama pembelajaran agar proses belajar mencapai tujuan belajar yang maksimal.
Seperti, saat siswa tidak mau mengerjakan tugas kelompok dan suka mengganggu teman
yang sedang mengerjakan tugas, seharusnya guru tidak hanya menegur untuk diam namun
mengarahkan siswa tersebut membantu teman kelompoknya yang mengalami kesulitan. Guru
hendaknya memberikan wawasan bahwa membantu teman termasuk pencerminan dari sila
Pancasila dan merupakan perilaku moral yang baik. Selain itu, siswa kelas V belum
menunjukkan sikap bertanggung jawab, hal ini terlihat ketika diberikan tugas siswa banyak
yang asik bermain sendiri. Hanya ada 1 atau 2 siswa yang mengerjakan dalam kelompok dan
mampu menyelesaikan semua tugas. Siswa lainnya hanya diam saja tidak mau memberikan
ide atau pendapatnya hanya ikut dengan temannya yang pandai saja.
Berdasarkan permasalahan kurangnya sikap kerjasama siswa dan rendahnya hasil belajar
siswa kelas V dalam pembelajaran terutama pada materi siklus air maka diperlukan suatu
model pembelajaran yang tidak hanya mampu menjadikan pembelajaran yang
menyenangkan, menjadikan siswa lebih aktif, menjadikan siswa lebih memahami materi,
namun model pembelajaran tersebut juga mampu mengarahkan siswa pada pemahaman
bahwa sikap bekerjasama juga perlu ditanamkan dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-
hari guna terjalinnya hubungan yang harmonis dengan masyarakat. Hubungan tersebut dapat
tercapai ketika individu mampu memahami diri sendiri dan orang lain dengan cara
mengetahui perannya dan pelaksanaan peran tersebut (Widayati, 2016). Individu juga harus
mampu memahami adanya peran orang lain yang berbeda-beda. Sehingga ketika berinteraksi
dengan masyarakat, individu dapat menempatkan dirinya dengan baik. Penerapan model
pembelajaran TSTS (Two Stay Two Stray) berbasis pembelajaran diferensiasi konten sangat
cocok digunakan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam mengenal perasaannya
sendiri, perasaan orang lain dan mempelajari perilaku yang mencerminkan nilai-nilai karakter
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yaitu sikap bekerjasama dengan sesama manusia.
Kegiatan belajar siswa dapat meningkat melalui proses berpikir dan melalui interaksi
sosial dalam pembelajarannya. Sehingga, untuk memfasilitasi proses berpikir dan interaksi
sosial siswa maka digunakannya model pembelajaran yang memberikan kesempatan siswa
untuk memupuk kecakapan interaksi sosial yaitu Coperative Learneng tipe TSTS (Two Stay
Two Stray). Model pembelajaran TSTS (Two Stay Two Stray) adalah merupakan
pembelajaran kooperatif dimana siswa akan berbagi pengetahuan dan pengalaman degan
kelompok lain (Gianistika et al., 2021). Siswa akan melakukan kerja kelompok lalu dua siswa
dalam kelompok tersebut akan bertamu pada kelompok lainnya dan siswa lainnya tetap di
kelompoknya menerima tamu dua siswa dari kelompok lain. Kemudian, setelah selesai
berputar atau berkeliling ke kelompok lain siswa akan kembali lagi ke kelompok asal untuk
menginformasikan yang diperoleh pada temannya dan menyusun laporan kelompok. Jadi,
dalam pembelajaran model kooperatif tipe TSTS (Two Stay Two Stray) siawaa dapat berbagi
pengalaman dan pengetahuan dan pemahmannya yang dimiliki dengan siswa di kelompok
lain. Sehingga, pemahaman siswa tidak sebatas apa yang mereka ketahui tapi bisa dari yang
kelompok lain ketahui melalui kegiatan diskusi atau tutor sebaya.
Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS (Two Stay Two Stray) mampu
meningkatkan sikap kerjasama dan hasil belajar siswa. Hal ini telah dibuktikan oleh Selfia
(2021) pada pembelajaran Tematik kelas IV
Sekolah Dasar Negeri 021 Serapung. Pada tahap pratindakan, hasil kemampuan kerjasama
siswa hanya mencapai 47,2% atau berada pada kategori cukup. Setelah dilakukan tindakan
pada siklus I, kemampuan kerjasama siswa meningkat menjadi 56,6% atau berada pada
kategori cukup. Selanjutnya pada siklus II, kemampuan kerjasama siswa mengalami
peningkatan menjadi 77,2% atau berada pada kategori baik. Peningkatan hasil belajar siswa
menggunakan model pembelajaran TSTS (Two Stay Two Stray) juga terjadi pada penelitian
Gianistika (2021) pada pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial/ IPS kelas V SDN Parungjaya.
Pada tahap pratindakan, hasil belajar siswa yang tuntas sebanyak enam siswa dengan
persentase 37,5 %. Setelah dilakukan tindakan pada siklus I, siswa yang tuntas sebanyak 12
siswa dengan persentase 37,5%. Kemudian pada siklus II, siswa yang tuntas sebanyak 14
siswa dengan persentase 87,5 %. Peningkatan hasil belajar siswa menggunakan model
pembelajaran TSTS (Two Stay Two Stray) juga terjadi pada penelitian Hidayat (2018) pada
pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam/ IPA kelas V SDN Tegalwangi 01 Kecamatan Talang
Kabupaten Tegal. Pada tahap pratindakan, hasil belajar siswa yang tuntas persentase 44,68 %.
Setelah dilakukan tindakan pada siklus I, siswa yang tuntas dengan persentase 70,21%.
Kemudian pada siklus II, siswa yang tuntas dengan persentase 89,36 %.

Penerapan model pembelajaran TSTS (Two Stay Two Stray) pada penelitian ini berbeda
dengan penelitian terdahulu yaitu pada materi pembelajaran dan muatan mata pelajaran dan
penelitian ini dibasisi dengan pembelajaran berdiferensiasi konten. Penelitian Hidayat
dilakukan pada materi Pesawat Sederhana, sedangkan materi pada penelitian ini adalah Siklus
Air. Selfia menerapkan model pembelajaran TSTS (Two Stay Two Stray) pada mata pelajaran
Tematik, sedangkan peneliti menerapkan model pembelajaran TSTS (Two Stay Two Stray)
pada mata pelajaran IPA. Gianistika menerapkan model pembelajaran TSTS (Two Stay Two
Stray) pada mata pelajaran IPS, sedangkan peneliti menerapkan model pembelajaran TSTS
(Two Stay Two Stray) pada mata pelajaran IPA.

Berdasarkan paparan keberhasilan peningkatan sikap kerjasama dan hasil belajar siswa
melalui penerapan model kooperatif tipe TSTS (Two Stay Two Stray), maka dilakukan suatu
penelitian menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS (Two Stay Two Stray)
dengan judul “Penggunaan Model Pembelajaran TSTS (Two Stay Two Stray) berbasis
Pembelajaran Diferensiasi Konten Pada Materi Siklus Air untuk Meningkatkan Sikap
Kejasama dan Hasil Belajar Siswa Kelas V SDN 2 Sengon Trenggalek”.

Anda mungkin juga menyukai