Anda di halaman 1dari 14

SATUAN ACARA PEMBELAJARAN (SAP)

SOSIALISASI MENCEGAH DAN MENGATASI STRESS AKADEMIK PADA


SISWA DI INTERNATIONAL PROGRAM INSAN CENDEKIA
BOARDING SCHOOL RIAU
OLEH: Kelompok 2
KETUA : DESRI YUWALDI
ANGGOTA :

ERNI SUKMAWATI
FATHIA MANDA AIZA P
GRENSIA WILDAYANI S
IKE YUNI AZIZAH
ISHABEL BIELQIS K
KHOIRUNNISA
LINDA ERICA BUTAR-BUTAR
LUTGARDIS ADETA
MERSI AMANDA

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


STIKES PAYUNG NEGERI
PEKANBARU
2022

1
SATUAN ACARA PEMBELAJARAN
Bidang Studi  : Keperawatan Kesehatan Jiwa dan Psikososial
Topik                           : Mencegah Dan Mengatasi Stress Akademik pada Siswa
Sasaran                       : Remaja (Usia 11-20 tahun)
Tempat                      : International Program Insan Cendekia Boarding School
Riau
Hari/Tanggal               : Kamis/ 08 Juni 2023
Waktu                         : 09.30-10.30 WIB

A. Latar Belakang
Stress merupakan suatu kondisi yang disebabkan adanya ketidaksesuaian antara
situasi yang diinginkan dengan keadaan biologis,psikologis,atau sistem social individu
(Wardi & Ifdil, 2016). Stres belajar adalah keadaan dimana siswa tidak dapat
menghadapi tuntutan belajar dan mempersepsi tuntutan-tuntutan belajar yang diterima
sebagai gangguan. Stres belajar disebabkan oleh academic stressor (Sayekti, E. (2017).
Stres belajar merupakan stres yang termasuk pada kategori distress (Rahmawati, W. K.
2017; Adawiyah, R. 2017). Maka dapat dilihat bahwa stres belajar adalah tekanan
akibat persepsi subjektif terhadap suatu kondisi akademik. Tekanan ini melahirkan
respon yang dialami siswa berupa reaksi fisik, perilaku, pikiran, dan emosi yang
negatif yang muncul akibat adanya tuntutan sekolah atau akademik.
Konseling realitas merupakan suatu bentuk tehnik konseling realitas yang
berorientasi pada tingkah laku sekarang dan konseling realitas merupakan suatu proses
yang rasional. Konseli diarahkan untuk menumbuhkan tanggung jawab bagi dirinya
sendiri. Konseling realitas memandang konseling sebagai suatu proses yang rasional.
Berdasarkan wawancara kepada salah satu siswa yang berinisial RV dan L, dia
mengalami stres belajar seperti ingin mendapatkan nilai yang tinggi tetapi nilainya
tidak sesuai dengan keinginanya sehingga dia sering menyontek, asal-asalan dalam
mengerjakan PR dan tidak mengumpulkan tugas dengan tepat waktu. Masalah siswa
yang terjadi di sekolah yaitu seperti pemberian tugas yang berlebihan oleh guru dan
banyaknya pekerjaan yang diberikan oleh orang tua kepada siswa sehingga siswa tidak
bisa fokus dalam pembelajan.

2
Maka dari itu perlunya rasa tanggung jawab dan kesadaran siswa terhadap tuntutan
belajar yang dihadapinya, Agar siswa terhindar dari hal tidak diinginkan hingga untuk
pencapaian belajarnya yang lebih baik. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan
dengan memberikan konseling realitas. Konseling realitas dipilih karena berfokus pada
hakekat manusia untuk mencapai tujuan yang diinginkan dengan proses yang rasional
(Widodo, 2011).
Konseling realitas akan membantu konseli untuk mengubah perilaku yang tidak
bertanggung jawab menjadi bertanggung jawab karena secara teoretis, perilaku
bertanggung jawab akan mengarahkan pada identitas sukses (Novalina, 2017). Maka
siswa yang mengalami stress belajar akan menyadari tanggung jawabnya sebagai
pelajar agar terhindar dari perilaku yang maladaptive untuk tercapainya masa depan
yang lebih baik. Selain itu menurut Susanti (2015) mengatakan bahwa keuntungan dari
penggunaan konseling realitas adalah pendekatan ini dapat dilakukan dalam waktu
relatif singkat dan mengatasi perilaku yang disadari oleh klien.
Disamping itu dengan konseling realitas, klien tidak hanya mencapai insight dan
kesadaran, akan tetapi juga melakukan evaluasi diri, membuat rencana tindakan, dan
membangun komitmen selama proses konseling. Pandangan Konseling Realita adalah
bahwa orang yang sehat itu adalah orang yang bisa memenuhi kebutuhannya senditi
melalui 3R ( Responbility, Reality, Right ). Dengan kata lain, tujuan konseling realitas
adalah membantu konseli untuk mengubah perilaku yang tidak bertanggung jawab
menjadi bertanggung jawab karena secara teoretis, perilaku bertanggung jawab akan
mengarahkan pada identitas sukses.
Berdasarkan uraian di atas, maka kelompok bermaksud untuk melakukan
sosialisasi Kesehatan untuk meningkatkan tanggung jawab belajar siswa untuk tidak
stress dalam belajar dengan judul “Sosialisasi Mencegah Dan Mengatasi Stress
Akademik Pada Siswa Di International Program Insan Cendekia Boarding
School Riau”

3
B. Tujuan Instruksional
1. Tujuan Instruksional Umum
a) Setelah diberikan penyuluhan selama 30 menit diharapkan sasaran mampu
memahami tentang Kesehatan jiwa.
b) Setelah diberikan penyuluhan selama 30 menit diharapkan sasaran mampu
memahami deteksi dini Kesehatan jiwa.
2. Tujuan Instruksional Khusus
Setelah dilakukan penyuluhan selama 30 menit, diharapkan sasaran mampu :
a) Memberikan informasi kesehatan tentang Pengertian stress remaja
b) Memberikan informasi kesehatan tentang faktor faktor stress belajar
c) Memberikan informasi kesehatan tentang gejala dan tahapan stress belajar
d) Memberikan informasi Kesehatan tentang tahapan stress belajar
e) Memberikan informasi Kesehatan tentang dampak stress belajar
f) Memberikan informasi Kesehatan tentang Teknik menurunkan stress
C. Karakteristik Sasaran
“Promosi Kesehatan Tentang Deteksi Dini Kesehatan Jiwa Remaja Puteri Di International
Program Insan Cendekia Boarding School Riau”.

D. Waktu Pelaksanaan
Hari : Kamis
Tanggal : 08 Juni 2023
Jam : 08.30-10.30 WIB
E. Metode
Diskusi/ceramah/tanya jawab
F. Media
Power Point dan Poster
G. Kegiatan Penyuluhan
K e g i a t an
Waktu Tahap kegiatan
Penyuluh Sasaran
5 menit Pendahuluan 1. Membuka acara dengan    Menjawab salam

4
mengucapkan salam   Memperhatikan
kepada remaja. penyuluh Mendengarkan
2. Memperkenalkan diri penyuluh Menyampaikan
kepada remaja. topik dan tujuan.
3. Menyampaikan topik,  Menyetujui kesepakatan
maksud dan tujuan waktu
penkes kepada remaja. pelaksanaan
4. Kontrak waktu untuk penkes
kesepakatan pelaksanaan
penkes dengan remaja.
1. Memberikan informasi
tentang pengertian stress
remaja.
2. Memberikan informasi  Menyampaikan
kesehatan tentang faktor pengetahuannya tentang
faktor stress belajar. materi penyuluhan
3. Memberikan informasi    
kesehatan tentang gejala
dan tahapan stress
belajar.
50 menit Kegiatan inti 4. Memberikan informasi
Kesehatan tentang
tahapan stress belajar
5. Memberikan informasi
Kesehatan tentang
dampak dari stress
belajar
6. Memberikan informasi
Kesehatan tentang
Teknik menurunkan
stress belajar

5
1) Menyimpulkan materi   Mendengarkan
penyuluhan yang telah Menyepakati perencanaan
disampaikan kepada tindak lanjut.
sasaran Mendengarkan penyuluh
2) Membuat perencanaan menutup acara
5 menit Penutup dari materi yang telah dan menjawab
disampaikan salam
3) Menutup acara dan
mengucapkan salam
serta terima kasih
kepada sasaran.

H. STRUKTUR ORGANISASI
1. Moderator : Erni Sukmawati
Tugas : Pemimpin jalannya kegiatan penyuluhan
2. Leader : Desri Yuwaldi
Tugas : Penanggung jawab kegiatan penyuluhan
3. Sekretaris : Fathia Manda Aiza P dan Khoirunnisa
Tugas : Penanggung jawab proposal
4. Pemateri : Mersi Amanda
Tugas : a. menyajikan atau menyampaikan materi penyuluhan
a. menggali pengetahuan peserta tentang materi penyuluhan
b. menjawab pertanyaan peserta
5. Fasilitator : Grensia Wildayani Simanjuntak
Tugas : a. menyediakan sarana untuk kegiatan penyuluhan
b. menyediakan sarana untuk keluarga dan pasien bertanya
6. Dokumentasi : Lutgardis Adeta
Tugas : Mengabadikan momen disaat penyuluhan dan membuat media
pembelajaran
7. Bendahara : Linda Erica Butar-Butar
Tugas : Mengatur keuangan kelompok
8. Humas : Ishabel Bielqis Khandisya

6
Tugas : Penanggung jawab surat menyurat
9. Konsumsi : Ike Yuni Azizah
Tugas : Pembelian Konsumsi
I. KEGIATAN PENYULUHAN
“Sosialisasi Mencegah Dan Mengatasi Stress Akademik Pada Siswa Di International
Program Insan Cendekia Boarding School Riau.”

MATERI KESEHATAN JIWA


1) Pengertian Stress Belajar
Stress merupakan istilah yang berasal dari Bahasa Latin “stigere” yang berarti keras
(stricus). Istilah ini mengalami perubahan seiring dengan perkembangan penelaahan yang
berlanjut dari waktu ke waktu straise, strest, stresce, dan stress. Abad ke-17 istilah stress
siartikan sebagai kesukaran, kesusahan, kesulitan, atau penderitaan. Menurut Campbell &
Svenson (Aryani,2016), stress belajar diartikan sebagai tekanan-tekanan yang dihadapi
anak berkaitan dengan sekolah, dipersepsikan secara negative, dan berdampak pada
kesehatan fisik, psikis, dan performasi belajarnya.
Stress belajar yang dialami siswa terjadi bukan semata- mata berasal dari factor
eksternal (lingkungan sekolah dan orang tua), namun factor internal juga mempengaruhi
timbuknya stress belajar, yaitu bagaimana siswa mempersepsikan sekolah. Stress belajar
yang dialami oleh siswa yang berkaitan dengan, (1) tekanan akademik (bersumber dari
guru, mata pelajaran, metode pelajaran, strategi belajar untuk mengadapi ulangan/diskusi
di kelas), dan (2) tekanan social 9 bersumber dari teman-teman yang sebaya dengannya).
Menurut Goldman, dkk (Aryani,2016), stress yang dialami oleh siswa selanjutnya dapat
mempengaruhi pada fisik dan aspek psikologisnya yang akan mengakibatkan
ternganggunya proses belajarnya. Bersadarkan beberapa pengertian diatas dapat
disimpulkan bahwa stress belajar adalah resposn psikologis, fisik, dan pikiran terhadap
banyaknya tuntan atau tekanan yang berhubungan dengan belajar dan dibebankan kepada
siswa.
2) Faktor-Faktor Stress Belajar
Penyebab stres remaja menurut Gadzela dan Baloglu dama (Aryani,2016) dapat bersumber
dari faktor internal (Internal Soces) dan faktor eksternal ( external sources).

7
1. Frustasi terjadi ketika motif atau tujuan individu mengalami hambatan dalam
pencapaiannya. Frustasi bisa bersumber dari dalam dan luar individu. Frustasi yang
bersumber dari luar misalnya, bencana alam, kecelakaan, kematian orang yang
disayangi, persaingan yang tidak sehat, dan perceraian. Frustasi yang bersumber
dari dalam misalnya, cacat fisik, keyakinan, dan frustasi yang berkaitan dengan
kebutuhan rasa harga diri (Hudd dkk. 2016 ).
2. Konflik terjadi ketika sesorang berada di bawah tekanan untuk berespon simultan
terhadap dua atau lebih kekuatan-kekuatan yang berlawanan. Ada tiga jenis konflik
yaitu Konflik menjauh-menjauh, Konflik mendekat-mendekat, dan Konflik
mendekatmenjauh.
3. Pressures (Tekanan) Individu dapat mengalami tekanan dari dalam maupun luar
diri, atau keduanya. Ambisi personal bersumber dari dalam, tetapi kadang
dikuatkan oleh harapanharapan dari pihak di luar diri. Tekanan sehari-hari biarpun
kecil misalnya banyak PR, tetapi bila menumpuk, lama kelamaan dapat menjadi
stres yang hebat.
4. Self-Imposed Self-imposed berkaitan dengan bagaimana seseorang memaksakan
atau membebankan dirinya sendiri. Misalnya, saya harus menjadi orang yang
paling hebat dalam prestasi di kelas dan mengalahkan teman-teman lainnya atau
saya sangat takut ketika akan menghadapi ujian karena takut gagal dan tidak
membanggakan orang tua.
Berdasarkan kesimpulan diatas maka dapat disimpulkan faktor-faktor stres belajar
meliputi faktor internal seperti frustrasi, konflik, tekanan, self Imposed dan Faktor
Eksternal seperti keluarga, sekolah, dan lingkungan fisik.

3) Gejala dan Tahapan Stress Belajar


Gejala stres belajar Manusia merupakan kesatuan badan, roh dan tubuh, spiritual dan
material. Oleh karena itu, bila terkena stres segala segi dari diri individu terkena juga.
Gejala stres ditemukan dalam segala segi diri individu yang penting: fisik, emosi,
intelektual, dan interpersonal Hardjana ( Aryani,2016 ). Gejala intelektual meliputi, sulit
konsentrasi, pelupa, pikiran kacau, sering melamun, sulit mengambil keputusan, dan
rendahnya motivasi dan prestasi belajar. Gejala interpersonal meliputi, kesedihan karena
8
merasa kehilangan orang yang disayangi, mudah menyalahkan orang lain, suka mencari
kesalahan orang lain, egois, dan sering “mendiamkan” orang lain.
Anak yang mengalami stres belajar akan menunjukkan perilaku khas antara lain
( Aryani,2016), (1) berubah jadi murung, apatis, dan tidak bahagia, (2) tidak mau bergaul,
menutup diri, lebih suka menyendiri, (3) mengalami penurunan prestasi di sekolah, (4) jadi
agresif dan berperilaku cenderung merusak, (5) sering terlihat cemas, gelisah dan gugup,
(5) tidak dapat tidur tenang, selalu gelisah, bermimpi buruk, dan sering mengigau, dan (6)
mengalami perubahan pola makan, jadi suka makan atau tidak mau makan sama sekali.
Siswa yang mengalami perasaan tertekan (mengalami stres) akan memberikan
reaksi fisik, seperti denyut jantung, napas, dan ketegangan otot-otot tertentu meningkat.
Respon mental dan fisik siswa terhadap stres belajar akan berdampak pada perilakunya.
Kemungkinan amarahnya meledak, menjadi agresif, mengamuk, tertawa, atau sebaliknya
sedih dan gelisah. Reaksi seperti ini biasanya muncul jika stres yang dialami
berkepanjangan. Respon lain adalah perilaku gemetar, bicara cepat, tidak konsentrasi, dan
lesu. Dibandingkan dengan siswa yang normal, perubahan perilaku siswa yang mengalami
stres belajar akan lebih nyata, namun terkadang orang dewasa, baik itu guru maupun orang
tua salah menilai dan menganggap mereka memiliki masalah perilaku. Kenyataannya
tidaklah demikian, perubahan perilaku mungkin hanya akibat anak tersebut merasa
tertekan dan tidak tahu harus berbuat apa.

4) Tahapan Stress Belajar


Gejala-gejala stres pada seseorang terutama stress belajar seringkali tidak disadari
karena perjalanan awal tahapan stres berjalan secara lambat dan baru dirasakan saat
tahapan gejala sudah lanjut dan menggangu fungsi kehidupannya sehari-hari. Amberg
membagi tahapan-tahapan stres belajar sebagai berikut :
1. Stres tahap I Merupakan tahapan stres yang paling ringan, dan biasanya disertai
dengan perasaanperasaan semangat bekerja besar atau menyelesaikan tugas
9
sekolah, penglihatan “tajam” tidak sebagaimana biasanya, merasa mampu
menyelesaikan pekerjaan/tugas sekolah lebih dari biasanya tanpa menyadari
cadangan energi dihabiskan, disertai rasa gugup yang berlebihan, merasa senang
dengan pekerjaan/tugas sekolah tersebut dan semakin bertambah semangat, tetapi
tanpa disadari cadangan energi semakin menipis.
2. Stres belajar tahap II Pada tahap ini dampak stres yang semula “menyenangkan”
mulai menghilang dan timbul keluhan-keluhan yang disebakan karena kurang
istirahat. Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan adalah merasa letih ketika
bangun pagi, merasa mudah lelah sesudah makan siang, lekas merasa capai
menjelang sore hari, sering mengeluh lambung atau perut tidak nyaman (bowel
discomfort), detakan jantung lebih keras dari biasanya (berdebar-debar), otot-otot
punggung dan tengkuk terasa tegang dan tidak bisa santai.
3. Stres Tahap III Merupakan keadaan yang akan terjadi apabila seseorang tetap
memaksakan dirinya dalam pekerjaan tanpa menghiraukan keluhan-keluhan pada
stres tahap II. Keluhankeluhan pada tahap ini seperti gangguan usus dan lambung
yang semakin nyata, ketegangan otototot, perasaan ketidaktenanggan dan
ketegangan emosional yang semakin meningkat, gangguan pola tidur (insomnia),
koordinasi tubuh terganggu. Pada tahapan ini, seseorang harus berkonsultasi pada
dokter atau terapis, beban stres hendaknya dikurangi dan tubuh beristirahat.
4. Stres tahap IV Tidak jarang seseorang yang memeriksakan diri ke dokter karena
keluhankeluhan yang dialami stres tahap III, dinyatakan tidak sakit oleh dokter
dikarenakan tidak adanya kelainan fisik yang ditemukan pada organ tubuhnya. Bila
hal ini terjadi dan orang tersebut tetap memaksakan diri untuk bekerja tanpa
mengenal istirahat, maka gejala stres tahap IV akan muncul. Gejalanya adalah
bosan terhadap aktivitas kerja yang semula terasa menyenangkan, kehilangan
kemampuan untuk merespon secara memadai (adeque), ketidakmampuan untuk
melakukan kegiatan rutin sehari-hari, gangguan pola tidur disertai mimpi-mimpi
yang menegangkan, seringkali menolak ajakan (negativism) karena tidak ada
semangat dan kegairahan, daya konsentrasi dan daya ingat menurun dan timbul
perasaan ketakutan dan kecemasan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya.
5. Stres tahap V Keadaan lanjutan yang ditandai dengan keadaaan kelelahan fisik dan
mental yang semakin mendalam (physical and psychological exhaustion),
10
ketidakmampuan untuk menyelesaikan pekerjaan sehari-hari yang ringan dan
sederhana, gangguan sistem pencernaan semakin berat (gastro-intenstinal disorder),
dan timbul perasaan ketakutan dan kecemasan yang semakin meningkat serta
mudah bingung dan panik.
6. Stres tahap VI Tahapan ini merupakan tahapan klimaks, seseorang akan mengalami
serangan panic (panic attack) dan perasaan takut mati. Stress pada tahap ini
ditandai dengan gejala debaran jantung teramat keras, susah bernapas (sesak dan
megap-megap), sekujur badan terasa gemetar, dingin dan keringat bercucuran,
ketiadaan tenaga untuk melakukan hal-hal yang ringan, pingsan atau kolaps
(collapse).
5) Dampak dari Stress Akademik
Berikut merupakan dampak dari stress akadamik, yaitu : peserta didik tidak
semangat dalam belajar, gagal dalam pelajaran atau tidak konsentrasi saat pembelajran
berlangsung, kemampuan yang dimiliki tidak berkembang. Menurut Karneli dkk (2019,
p.43) dampak yang terjadi akibat stress akademik ialah peserta didik peserta didik tidak
semangat dalam menyelesaikan tugas sekolah, fungsi kognitif terganggu akibatnya peserta
didk sulit untuk berkonsentrasi, mengalami gangguan psikologis dan fisik hal tersebut akan
menyebabkan turunnya prestasi belajar peserta didik disekolah. Tuntutan yang banyak
ditujukan kepada peserta didik membuat peserta didik terbebani dan berakibat pada
menurunnya kualitas belajar. Peserta didik yang mengalami stres akademik membutuhkan
bimbingan akademik serta motivasi yang diberikan oleh guru bimbingan konseling, guru
mata pelajaran maupun orangtua. (Rahmawati 2015, p.19).
Menurut Aryani (2016, p.53) dampak dari stress yaitu bisa membuat kacau kinerja
konsentrasi peserta didik dalam melakukan kegiatan apapun termasuk belar, dapat
menimbulkan ketakutan yang berlebihan dan tidak rasional (phobia), mengalami
kecemasan yang dapat terjadi tanpa sebab yang jelas, membuat perasaan menjadi sedih
yang berlebihan (depression), tindakan agresif yang disebabkan oleh rasa amarah yang
menyertai stres, menurunnya daya tahan tubuh siswa sehingga mudah sakit, serta stres
dapat mempengaruhi kesehatan mental siswa. adapun upaya yang dilakukan guru BK
dalam menangani masalah stres akademik pada peserta didik menurut Barseli dkk (2018,
p.44) yaitu dengan menyusun dan menjalankan program layanan yang efektif untuk
menangani permasalahan yang dialami oleh peserta didik seperti halnya stress akademik.
11
Guru yang bersangkutan seperti guru bimbingan konseling dapat memberikan layanan
seperti layanan klasikal mengenai masalah yang banyak dialami peserta didik seperti stress
akademik ini. Guru bimbingan konseling juga dapat memberikan layanan penguasaan
konten tentang bagaimana cara menghadapi sebuah tekanan, serta bimbingan dan
konseling kelompok untuk mengungkapkan dan memecahkan permasalahan masalah
bersama peserta didik yang mengalami stress akademik.

6.) Teknik Menurunkan Tingkat Stress


Menurut Nurmaliyah (2014, p.281) mengatakan bahwa teknik yang berpotensi
dapat menurunkan tingkat stress akademik yaitu teknik self-instruction. Teknik self-
instruction ini akan membantu siswa mengelola dirinya dengan memberikan instruksi
positif dan berupaya menghindari instruksi negatif.
Sedangkan menurut Lazarus dkk (1984, p.150) mengatakan bahwa ada dua strategi untuk
mengatasi situasi stres, yaitu :
1. Problem-focused coping yaitu mengatasi suatu masalah yang dirasa menekan dengan
usaha untuk cara menghadapi langsung sumber tekanan atau sumber masalah
sehingga dapat mengurangi atau menghilangkan stres.
2. Emotion- focused coping ialah suatu cara yang dilakukan untuk mengatur respon
emosional yang ditampilkan saat terjadinya sebuah tekanan, hal ini dilakukan agar
individu dapat menyesuaikan diri untuk mengurangi dampak negatif.

DAFTAR PUSTAKA

Aryani,Farida.(2016). Stres Belajar. Edukasi Mitra Grafika.

12
Azmy, Noerul, Army.,dkk (2017). Deskripsi gejala stres akademik dan kecenderungan
pilihan strategi koping siswa berbakat. Indonesian Journal Of Counseling Volume
1, No. 2, Juli 2017: Page 197- 208.
Bariyyah, Khairul., Hasti dkk., (2018). Konseling Realita untuk Meningkatkan Tanggung
Jawab Belajar Siswa. Konselor Volume 7 Number 1 2018.
Barseli, Mufadhal., Ifdil., Nikmarijal.(2018). Konsep Stres Akademik Siswa. Jurnal
Konseling dan Pendidikan.
Corey, Gerald. (2005). Teori lengkap Psikologi. Penerjemahan Oleh Karto
Bandura, A. 1997. Self Efficacy: Toward a Unifiying Theory of Behavioral Change.
Psychology Review, 84: 191- 215.
Barlow, D. H., & Hayes, S. C. 1979. Alternating treatments design: One strategy for
comparing the effects of two treatments in a single subject. Journal of Ap- plied
Behavior Analysis, 12: 199-210.
Beck, R. 1995. Cognitive-Behavior Therapy: Basic and Beyond (2nd ed). New York: The
Guilford Press.
Beck, R., & , Judith S. 1998. Cognitive Behavioral Thera- py in the Treatment Inc., 95
Church Street, White Plains, N.Y. 106001.
Brannon, L.. & Feist, J. 2007. Health Psychology: An Intro- duction to Behavior and
Health. USA: Wads worth.
Cooper, C.L. & Davidson, R. 1991. Personality and stress: individual differencesin the
stress process. New York: John Wiley and Sons Ltd.
Escamillia. 2000. Professional School Counseling A Hand- book of theories, Programs and
Practice.
Heiman & Kariv. 2005. Task-Oriented versus Emotion- Oriented Coping Strategies: The
Case of College Students. College Student Journal, 39 (1): 72-89.
Kanfer, Goldstein, AP. 1986. Helping People Change. New York: Pergamon Press.
Lazarus, R.S & Folkman, S., 1984. Stress, appraisal, and coping. New York: Springer.
Martin, G. & Pear, J. 2003. Behavior Modification : What It Is and How To Do It. 7th ed.
New Jersey: Pearson Education International.
Misra R, McKean M. 2000. College Students’Academic Stress and its Relation to Their
Anxiety, Time Management, and Leisure Satisfaction, Am. J. Health Stud, 16(1):
41-51.
13
Papalia D.E., Sally Wendkos Old S.W, & Ruth Duskin Feldman. 2008. Human
Development. Jakarta: Kencana.
Santrock, J.W. 2003. Life-Span Development. Ninth Edition. Boston: McGraw- Hill
Companies.
Selye, H. 1983. Guide to Stress. Volume 3. New York. Shraf, David R. 2004. Behavior
Modification, 5th edition,
Thomson Wadsworth, USA.
Skinner, E., & Zimmer-Gembeck, M. 1998. Stress, Coping
and Relationships in Adolescence. Merrill-Palmer
Quarterly, 44(1): 120.
Smet, B. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta: PT Grasindo. Stallard, E. 2004. Health
Psychology. NewYork: MC. Graw
Hill Co.

14

Anda mungkin juga menyukai