Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH LOGIKA SAINTIFIK

“DAMPAK PERBEDAAN POLA ASUH ORANG TUA

TERHADAP ANAK-ANAKNYA”

Dosen pengampu :

Sri wahyuningsih M.Pd

Disusun oleh :

Shevira Ameylia Rinanta Putri (04020121067)

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM

NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA TAHUN AJARAN 2021/2022

KATA PENGANTAR
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha
Pengasih dan Maha Penyayang yang telah melimpahkan rahmat, hidayah serta
inayah-Nya kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Sholawat serta salam senantiasa terucap kepada junjungan kita Nabi besar
Muhammad SAW. Yang telah menjadi suri tauladan bagi kita semua dan memberi
contoh yang baik untuk memenuhi tanggung jawab yang telah diberikan. Sehingga
kita memiliki semangat tersendiri untuk menyelesaikan tugas ini dengan penuh
tanggung jawab.

Tak lupa saya mengucapkan terima kasih sedalam – dalamnya, khususnya


pengajar mata kuliah Logika Saintifik atas bimbingan dan arahan dalam penulisan
makalah ini, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya.

Dalam penulisan makalah ini saya menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini
tidak sempurna. Tentunya masih banyak kekurangan dan kesalahan didalamnya.
Dengan demikian saya mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak, agar saya
bisa menjadikannya pembelajaran agar dapat membuat makalah yang lebih baik
kedepannya.

Sidoarjo,14 April 2022


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................i

DAFTAR ISI..............................................................................................................................1

A. RUMUSAN MASALAH................................................................................................2-3

B. PENYAJIAN DATA.......................................................................................................3-4

C. KAJIAN TEORI.................................................................................................................4

D. ANALISIS DATA.........................................................................................................4-13

E. HASIL DAN KESIMPULAN..........................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................15

1
DAMPAK PERBEDAAN POLA ASUH ORANG TUA

TERHADAP ANAK-ANAKNYA

 RUMUSAN MASALAH :

Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang ditemui individu sejak


mereka lahir ke dunia. Lingkungan keluarga pertama adalah Ayah, Ibu dan individu
itu sendiri. Hubungan antara individu dengan kedua orangtuanya merupakan
hubungan timbal balik dimana terdapat interaksi di dalamnya.

Setiap orangtua tentunya ingin yang terbaik bagi anak-anak mereka.


Keinginan ini kemudian akan membentuk pola asuh yang akan ditanamkan orangtua
kepada anak-anak. Pola asuh menurut Diana Baumrind (1967), pada prinsipnya
merupakan parental control yaitu bagaimana orangtua mengontrol, membimbing, dan
mendampingi anak-anaknya untuk melaksanakan tugas-tugas perkembangannya
menuju pada proses pendewasaan. Diana Baumrind (1967, dalam Santrock, 2009)
membagi pola asuh ke dalam 3 (tiga) bentuk, yaitu:

1. Pola asuh otoriter (authoritarian parenting)

Orangtua dengan tipe pola asuh ini biasanya cenderung membatasi dan
menghukum. Mereka secara otoriter mendesak anak untuk mengikuti perintah dan
menghormati mereka. Orangtua dengan pola ini sangat ketat dalam memberikan
Batasan dan kendali yang tegas terhadap anak-anak, serta komunikasi verbal yang
terjadi juga lebih satu arah. Orangtua tipe otoriter umumnya menilai anak sebagai
obyek yang harus dibentuk oleh orangtua yang merasa “lebih tahu” mana yang terbaik
bagi anak-anaknya. Anak yang diasuh dengan pola otoriter sering kali terlihat kurang
bahagia, ketakutan dalam melakukan sesuatu karena takut salah, minder, dan
memiliki kemampuan komunikasi yang lemah. Contoh orangtua dengan tipe pola
asuh ini, mereka melarang anak laki-laki bermain dengan anak perempuan, tanpa
memberikan penjelasan ataupun alasannya.

2. Pola asuh demokratis/otoritatif (authotitative parenting)

Pola pengasuhan dengan gaya otoritatif bersifat positif dan mendorong anak-
anak untuk mandiri, namun orangtua tetap menempatkan batas-batas dan kendali atas

2
tindakan mereka. Orangtua tipe ini juga memberikan kebebasan kepada anak untuk
memilih dan melakukan suatu tindakan, serta pendekatan yang dilakukan orangtua ke
anak juga bersifat hangat. Pada pola ini, komunikasi yang terjadi dua arah dan
orangtua bersifat mengasuh dan mendukung. Anak yang diasuh dengan pola ini akn
terlihat lebih dewasa, mandiri, ceria, mampu mengendalikan diri, beriorientasi pada
prestasi, dan mampu mengatasi stresnya dengan baik.

3. Pola asuh permisif (permissive parenting)

Orangtua dengan gaya pengasuhan ini tidak pernah berperan dalam kehidupan
anak. Anak diberikan kebebasan melakukan apapun tanpa pengawasan dari orangtua.
Orangtua cenderung tidak menegur  atau memperingatkan, sedikit bimbingan,
sehingga seringkali pola ini disukai oleh anak (Petranto, 2005). Orangtua dengan pola
asuh ini tidak mempertimbangkan perkembangan anak secara menyeluruh. Anak yang
diasuh dengan pola ini cenderung melakukan pelanggaran-pelanggaran karena mereka
tidak ammpu mengendalikan perilakunya, tidak dewasa, memiliki harga diri rendah
dan terasingkan dari keluarga.

 PENYAJIAN DATA :

Orang tua tentunya selalu menginginkan yang terbaik untuk anak-


anaknya,namun tak jarang mereka sebagai orang tua tidak ingin mengerti
bahwasannya kemampuan setiap anak-anaknya tentu saja berbeda tetapi yang orang
tua inginkan ialah semua anaknya harus memiliki keberhasilan ataupun kesuksesan
yang sama dengan jalan yang sama juga.

Meski demikian sebagai tugas seorang anak hanyalah berbakti dan mengikuti
semua keinginan orang tua ataupun tuntutan orang tua terhadap anaknya meski di lain
sisi anak pun tidak menyukai hal tersebut,karena sesungguhnya ridho Allah hanya ada
pada ridho orang tua

Salah satu perintah Allah Ta’ala untuk hamba-Nya adalah perintah untuk
birrul walidain. Birrul walidain artinya berbakti kepada orang tua. Birrul walidain
adalah hal yang diperintahkan dalam agama. Oleh karena itu bagi seorang muslim,
berbuat baik dan berbakti kepada orang tua bukan sekedar memenuhi tuntunan norma
susila dan norma kesopanan, namun yang utama adalah dalam rangka menaati

3
perintah Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah Ta’ala berfirman:

َ ‫ش ْيًئا َوبِا ْل َوالِ َد ْي ِن ِإ ْح‬


‫سانًا‬ ْ ُ‫َوا ْعبُدُوا هَّللا َ َواَل ت‬
َ ‫ش ِر ُكوا بِ ِه‬

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.


Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua” (QS. An Nisa: 36).

 KAJIAN TEORI :

 Teori Sosial :

1. Memaafkan ucapan keluarga ataupun orang sekitar yang menyakiti hati.

2. Menjadikan tuntutan keluarga menjadi semangat untuk meraih kesuksesan.

3. Belajar menerima kekurangan yang ada pada diri sendiri

 Teori Syariat

1. Birrul Walidain adalah berbakti kepada orangtua merupakan anjuran dalam


Islam, sekalipun kedua orangtua bukan pemeluk agama Islam.

2. Ikhlas menerima segala bentuk keadaan yang telah Allah berikan

3. Sabar untuk menghadapi keadaan yang tidak sesuai dengan apa yang kita
inginkan

 ANALISIS DATA

1. Perspektif Teori

Dalam hidup, banyak orang menilai bahwa meminta maaf lebih sulit daripada
memaafkan. Kita melihat mereka yang bersalah atas perbuatannya sangat sulit untuk
meminta maaf kepada mereka yang dirugikan. Padahal, sejatinya memaafkanlah yang
paling sulit untuk dilakukan.

Hal itu terjadi karena rasa sakit dan kehilangan yang kita alami tidak dapat
digantikan oleh pernyataan maaf ataupun diberi bentuk tanggung jawab berupa materi
yang diberikan orang yang berbuat salah kepada kita.

Beberapa orang kesulitan untuk memaafkan karena mereka sadar atas haknya
untuk merasa marah dan pihak yang bersalah tidak layak mendapatkan kebaikan.

4
Membuat keputusan untuk memaafkan berarti kita melepaskan kebencian,
yang mana kita punya semua hak untuk memilikinya, namun kita putuskan untuk
melepaskannya supaya rasa damai itu muncul. Oleh karena itu, terkadang kita seolah-
olah telah memaafkan kesalahan mereka dengan tegar, walaupun acap kali masih
memendam rasa sakit dan dendam.

Martin Luther King Jr mengingatkan kita tentang ini dengan


mengatakan “Forgiveness is not an occasional act, it is a constant attitude,” yang
diterjemahkan menjadi "Memaafkan bukan tentang menyetujui tindakan, melegalkan,
menyangkal, atau mengabaikan sebuah tindakan".

Bukan hanya soal sekadar moving on, melupakan, atau menganggap tidak


pernah terjadi sesuatu, menenangkan diri untuk kemudian membalas dendam,
membenarkan atau melepaskan keadilan yang mungkin dibutuhkan, dan juga bukan
soal upaya tawar-menawar atau negosiasi.Menurut seorang pengajar di Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia, Lathifah Hanum, memaafkan lebih dari sekadar
berhenti merasa marah, merasa netral terhadap situasi atau keadaan yang terjadi,
membuat diri merasa senang dalam satu episode proses memaafkan, dan lebih dari
sekadar restorasi rasa percaya terhadap orang yang bersalah. Lantas, apa itu
memaafkan?

Memaafkan adalah proses. Dalam proses tersebut, kita berupaya untuk


menerima emosi negatif terhadap peristiwa yang terjadi, benar-benar menempatkan
yang salah dalam kata-kata dengan cara yang jujur dan otentik. Kemudian, kita
dengan kemauan sendiri bertekad untuk melepaskan seluruh emosi negatif tersebut
dengan cara memberikannya pada kekuatan yang lebih tinggi.Pada akhirnya, proses
ini akan mengantarkan kita pada perubahan emosi negatif menjadi rasa damai, empati,
dan compassion. Ketika seseorang memberikan rasa ampunnya, mereka tidak lagi
dikuasai oleh emosi negatif terhadap orang atau situasi tertentu.

Memaafkan terbagi dalam 3 hal. Pertama, keputusan untuk mengatasi rasa


sakit yang ditimbulkan oleh orang lain atau suatu peristiwa. Kedua, melepaskan
kemarahan, dendam, rasa malu, dan emosi negatif lain yang terkait dengan
ketidakadilan, meskipun itu adalah perasaan yang masuk akal. Ketiga,
memperlakukan si pelaku dengan belas kasih, meskipun mereka tidak berhak

5
Muncul pertanyaan di benak kita, untuk apa kita perlu memaafkan sesuatu
yang tidak mungkin akan menggantikan rasa sakit dan kehilangan yang kita rasakan?

Memaafkan membantu untuk melepaskan diri dari rasa marah. Memaafkan


membantu kita mengubah pikiran destruktif menjadi pikiran yang lebih sehat.
Memaafkan membantu kita mengarahkan perilaku menjadi lebih santun terhadap
orang yang pernah menyakiti kita. Memaafkan akan membantu kita membangun
interaksi yang lebih baik dengan orang lain.

Memaafkan dapat meningkatkan kualitas hubungan kita dengan orang yang


pernah menyakiti kita. Memaafkan bisa membuat orang yang menyakiti kita melihat
lebih jelas sikap tidak adil yang pernah mereka lakukan, sehingga mereka dapat
berupaya berhenti atau tidak mengulanginya lagi.Oleh karena itu, dapat kita tarik
kesimpulan bahwa memaafkan adalah sebuah proses. Setiap orang memiliki
prosesnya masing-masing sehingga tidak bisa disamakan. Selama proses berlangsung,
akan banyak rasa tidak nyaman yang dirasakan.

Rasa ini perlu dihadapi dan dikelola sehingga proses dapat terus bergerak
maju. Ingatlah pada akhir perjalanan nanti, kamu akan mencapai rasa damai dan
mengenal dirimu semakin dalam, sehingga rasa cinta terhadap diri sendiri pun
semakin meningkat.

2. Perspektif Agama

 Berbakti Kepada Orang Tua

Salah satu perintah Allah Ta’ala untuk hamba-Nya adalah perintah untuk
birrul walidain. Birrul walidain artinya berbakti kepada orang tua. Birrul walidain
adalah hal yang diperintahkan dalam agama. Oleh karena itu bagi seorang muslim,
berbuat baik dan berbakti kepada orang tua bukan sekedar memenuhi tuntunan norma
susila dan norma kesopanan, namun yang utama adalah dalam rangka menaati
perintah Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah Ta’ala berfirman:

َ ‫ش ْيًئا َوبِا ْل َوالِ َد ْي ِن ِإ ْح‬


‫سانًا‬ ْ ُ‫َوا ْعبُدُوا هَّللا َ َواَل ت‬
َ ‫ش ِر ُكوا ِب ِه‬

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.


Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua” (QS. An Nisa: 36).

6
Perhatikanlah, dalam ayat ini Allah Ta’ala menggunakan bentuk kalimat
perintah. Allah Ta’ala juga berfirman:

‫سانً ۚا‬
َ ‫ش ْيـًٔا َّوبِا ْل َوالِ َد ْي ِن اِ ْح‬ ْ ُ‫قُ ْل تَ َعالَ ْوا اَ ْت ُل َما َح َّر َم َربُّ ُك ْم َعلَ ْي ُك ْم اَاَّل ت‬
َ ‫ش ِر ُك ْوا بِ ٖه‬

“Katakanlah: “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu,
yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah
terhadap kedua orang tua..” (QS. Al An’am: 151).

Dalam ayat ini juga digunakan bentuk kalimat perintah. Allah juga berfirman:

َ ‫ضى َربُّ َك َأاَّل تَ ْعبُدُوا ِإاَّل ِإيَّاهُ َوبِا ْل َوالِ َد ْي ِن ِإ ْح‬


‫سانًا‬ َ َ‫َوق‬

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya” (QS. Al
Isra: 23).

Di sini juga digunakan bentuk kalimat perintah. Birrul walidain juga


diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika beliau ditanya
oleh Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:

‫الجهــا ُد في‬ ٌّ ‫ ثُ َّم‬:‫بر الوالِ َد ْي ِن قــا َل‬


ِ :‫أي؟ قــا َل‬ ُّ ‫ ثُ َّم‬:‫ي؟ قا َل‬
ٌّ ‫ ثُ َّم أ‬:‫ قا َل‬،‫صالةُ علَى و ْقتِها‬
َّ ‫ ال‬:‫أح ُّب إلى هَّللا ِ؟ قا َل‬
َ ‫أي ال َع َم ِل‬
ُّ
ْ ‫ ولَ ِو ا‬، َّ‫ ح َّدثَني ب ِهن‬:‫سبي ِل هَّللا ِ قا َل‬
‫ستَ َز ْدتُهُ لَزا َدنِي‬ َ

“Amal apa yang paling dicintai Allah ‘Azza Wa Jalla?”. Nabi bersabda: “Shalat pada
waktunya”. Ibnu Mas’ud bertanya lagi: “Lalu apa lagi?”.Nabi menjawab: “Lalu birrul
walidain”. Ibnu Mas’ud bertanya lagi: “Lalu apa lagi?”. Nabi menjawab: “Jihad fi
sabilillah”. Demikian yang beliau katakan, andai aku bertanya lagi, nampaknya beliau
akan menambahkan lagi (HR. Bukhari dan Muslim).

Dengan demikian kita ketahui bahwa dalam Islam, birrul walidain bukan
sekedar anjuran, namun perintah dari Allah dan Rasul-Nya, sehingga wajib
hukumnya. Sebagaimana kaidah ushul fiqh, bahwa hukum asal dari perintah adalah
wajib.

 Kedudukan Berbakti Kepada Orang Tua


Sebagaimana telah kami sampaikan, berbakti kepada orang tua dalam agama
kita yang mulia ini, memiliki kedudukan yang tinggi. Sehingga berbakti kepada orang
tua bukanlah sekedar balas jasa, bukan pula sekedar kepantasan dan kesopanan. Poin-

7
poin berikut dapat menggambarkan seberapa pentingnya birrul walidain bagi seorang
muslim.

1. Perintah birrul walidain setelah perintah tauhid

Kita tahu bersama inti dari Islam adalah tauhid, yaitu mempersembahkan
segala bentuk ibadah hanya kepada Allah semata. Tauhid adalah yang pertama dan
utama bagi seorang muslim. Dan dalam banyak ayat di dalam Al Qur’an, perintah
untuk berbakti kepada orang tua disebutkan setelah perintah untuk bertauhid.
Sebagaimana pada ayat-ayat yang telah disebutkan. Ini menunjukkan bahwa masalah
birrul walidain adalah masalah yang sangat urgen, mendekati pentingnya tauhid bagi
seorang muslim.

2. Lebih utama dari jihad fi sabililah

Sebagaimana hadits Abdullah bin Mas’ud yang telah disebutkan. Juga hadits
tentang seorang lelaki yang meminta izin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam untuk pergi berjihad, beliau bersabda:

‫ فَفِي ِهما فَ َجا ِه ْد‬:‫ قَا َل‬،‫ نَ َع ْم‬:‫ قَا َل‬،‫أح ٌّي والِدَا َك؟‬
َ

“Apakah orang tuamu masih hidup?”. Lelaki tadi menjawab: “Iya”. Nabi bersabda:
“Kalau begitu datangilah kedunya dan berjihadlah dengan berbakti kepada
mereka” (HR. Bukhari dan Muslim).

Namun para ulama memberi catatan, ini berlaku bagi jihad yang hukumnya
fardhu kifayah. Demikian juga birrul walidain lebih utama dari semua amalan yang
keutamaannya di bawah jihad fi sabiilillah. Birrul walidain juga lebih utama dari
thalabul ilmi selama bukan menuntut ilmu yang wajib ‘ain, birrul walidain juga lebih
utama dari safar selama bukan safar yang wajib seperti pergi haji yang wajib. Adapun
safar dalam rangka mencari pendapatan maka tentu lebih utama birrul walidain
dibandingkan safar yang demikian.

3. Pintu surga

Surga memiliki beberapa pintu, dan salah satunya adalah pintu birrul walidain.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

8
‫الباب أو احفَ ْظه‬
َ ِ ‫الوالِ ُد أوسطُ أبوا‬
ِ ‫ فإنَّ شئتَ فأ‬،‫ب الجنَّ ِة‬
‫ضع ذلك‬

“Kedua orang tua itu adalah pintu surga yang paling tengah. Jika kalian mau
memasukinya maka jagalah orang tua kalian. Jika kalian enggan memasukinya,
silakan sia-siakan orang tua kalian” (HR. Tirmidzi, ia berkata: “hadits ini shahih”,
dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no.914).

 Durhaka Pada Orang Tua Adalah Dosa Besar

Ini secara tegas dinyatakan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

‫ وشهادةُ الزو ِر‬: ‫ أو قال‬. ‫ وقو ُل الزو ِر‬، ‫ق الوال َد ْي ِن‬


ُ ‫ وعقو‬، ‫س‬
ِ ‫ وقت ُل النف‬، ‫ اإلشرا ُك باهلل‬: ‫أكب ُر الكبائ ِر‬

“dosa-dosa besar yang paling besar adalah: syirik kepada Allah, membunuh, durhaka
kepada orang tua, dan perkataan dusta atau sumpah palsu” (HR. Bukhari-Muslim dari
sahabat Anas bin Malik).

Dalam hadits Nafi’ bin Al Harits Ats Tsaqafi, Nabi Shallallahu’alaihi


Wasallam bersabda:

‫الوالدين‬
ِ ُ ‫ وعقو‬، ِ‫ اإلشرا ُك باهلل‬: ‫ قال‬، ِ‫ بلَى يا رسو َل هللا‬: ‫ قالوا‬، ‫ ثالثًا‬. ‫أال أنبُِّئكم بأكب ِر الكبائ ِر‬
‫ق‬

“maukah aku kabarkan kepada kalian mengenai dosa-dosa besar yang paling besar?
Beliau bertanya ini 3x. Para sahabat mengatakan: tentu wahai Rasulullah. Nabi
bersabda: syirik kepada Allah dan durhaka kepada orang tua” (HR. Bukhari –
Muslim).

Ternyata Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berkali-kali memperingatkan


para sahabat mengenai besarnya dosa durhaka kepada orang tua. Subhaanallah!

Dan perhatikan surat An Nisa ayat 36 di atas, sebagaimana dalam ayat,


perintah untuk birrul walidain disebutkan setelah perintah untuk bertauhid, maka di
hadits ini dosa durhaka kepada orang tua juga disebutkan setelah dosa syirik. Ini
menunjukkan betapa besar dan fatalnya dosa durhaka kepada orang tua.

Namun perlu di ketahui, sebagaimana dosa syirik itu bertingkat-tingkat, dosa


maksiat juga bertingkat-tingkat, maka dosa durhaka kepada orang tua juga bertingkat-
tingkat.

9
 Sabar

Sabar merupakan kata yang sering kali diucapkan oleh lisan. Orang yang
memiliki sifat sabar akan memperoleh ketenangan, ketentraman dan kelapangan hati.
Sabar memang bukanlah suatu perkara mudah yang bisa diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari, namun tidak pula mustahil seseorang memiliki sifat penyabar.

Islam memandang sifat sabar ini sebagai salah sifat terpuji yang harus dimiliki
oleh orang-orang yang beriman kepada Allah SWT. Orang yang tidak sabar tidak bisa
dikatakan sebagai orang yang beriman. Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan dibahas
tentang pengertian sabar dalam Islam dan dalil-dalil yang berkaitan dengan sabar.

Sabar dalam bahasa Arab kata yaitu berasal dari kata sobaro yasbiru, yang
artinya menahan. Sedangkan secara istilah, sabar yaitu menahan diri atas segala
macam bentuk kesulitan, kesedihan atau menahan diri saat menghadapi segala sesuatu
yang tidak disukai dan dibenci.

Adapun pengertian sabar secara lebih luas yaitu menahanan diri agar tidak
mudah marah, berkeluh kesah, benci, dendam, serta tidak mudah putus asa, melatih
diri dalam ketaatan dan membentengi diri agar tidak melakukan perbuatan keji dan
maksiat.Dalam Islam, terdapat tiga bentuk sabar yaitu sabar dalam ketaatan, sabar
dalam menghadapi musibah, dan sabar dalam menjauhi perbuatan maksiat, berikut
adalah penjelasan dari macam-macam bentuk sabar tersebut.

1. Sabar dalam ketaatan

Pada saat menjalankan ketaatan dan perintah dari Allah SWT akan terasa berat
sehingga membutuhkan kesabaran yang tinggi. Contohnya yaitu seperti sabar dalam
menahan diri dari sifat malas agar tetap istiqomah dalam menjalankan kewajiban
sholat tepat waktu, menjalankan sholat selalu berjamaah, sabar dalam menjalankan
ibadah puasa dengan menjaga lisan, hati dan pikiran, sabar dalam menuntut ilmu dan
lain sebagainya.

2. Sabar dalam menghadapi cobaan dan musibah

Orang yang beriman hendaknya bersabar dalam menjalani segala ujian,


cobaan serta musibah yang datang kepadanya. Percaya lah bahwa Allah tidak akan

10
menguji hamba-Nya yang diluar atas batas kemampuannya. Apabila mendapatkan
cobaan, maka Anda perlu bersabar dan ikhlas dengan apa yang sedang terjadi. Sebab,
sesungguhnya Allah selalu bersama dengan orang-orang sabar.

3. Sabar dalam kemaksiatan

Segala sesuatu yang haram serta dilarang Allah SWT hendaknya lebih baik
kita jauhi. Segala bentuk maksiat itu menyenangkan, namun Allah melarangnya
sehingga orang-orang yang beriman diharuskan guna menjaga dan menahan diri dari
segala bentuk maksiat dan hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT.

Dalil Tentang Sabar

Berikut adalah beberapa ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan sabar, berrikut adalah
diantaranya:

Yaa ayyuhaa alladziina aamanuu ista’iinuu bialshshabri waalshshalaati inna allaaha


ma’a alshshaabiriina.

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai
penolongmu, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar“. (QS. Al-
Baqarah: 153)

Was-sabirina fil-ba`sa`i wad-darra`i wa hinal-ba`s, ula`ikallaznna sadaqu, wa ula`ika


humul-muttaqun

Artinya: “Dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam
peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah
orang-orang yang bertakwa“. (QS. Al-Baqarah: 177)

11
Wa`mur ahlaka bis-salati wastabir ‘alaiha, la nas`aluka rizqa, nahnu narzuquk,
wal-‘aqibatu lit-taqwa

Artinya: “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah


kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang
memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang
bertakwa”. (QS. Thoha: 132)

innama yuwaffas-sabiruna ajrahum bigairi hisāb

Artinya: “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan


pahala mereka tanpa batas“. (QS. Az-Zumar: 10)

Adapun hadits tentang sabar diantaranya sebagai berikut:

Artinya: “Barangsiapa yang sabar akan disabarkan Allah, dan tidak ada pemberian
Allah yang paling luas dan lebih baik daripada kesabaran“. (HR. Bukhari, Muslim,
Ahmad, at-Tirmidzi, Nasa’i, Abu Dawud, Malik dan Ad-Darimi)

Artinya: “Sangat menakjubkan semua urusan orang yang beriman, sesungguhnya


segala urusannya itu sangat baik baginya, dan hal itu tidak dimiliki oleh seorangpun,
kecuali orang yang beriman. Apabila ia mendapatkan kesenangan ia bersyukur, maka

12
yang demikian itu sangat baik dan apabila ia tertimpa kesusahan ia sabar, maka yang
demikian itu sangat baik baginya“. (HR. Muslim)

Artinya: “Sabar itu ada tiga yaitu sabar dalam musibah, sabar dalam taat, dan sabar
dalam menjauhi maksiat. Barangsiapa bersabar dalam musibah sehingga
dikembalikannya dalam keadaan baik atas apa yang menimpa dirinya (ia ridho atas
bala’ yang diberikan-Nya), maka Allah akan menulis baginya 300 derajat yang tiap-
tiap derajat jaraknya antara langit dengan bumi. Dan barangsiapa bersabar dalam
melaksanakan taat, maka Allah akan menuliskannya 600 derajat, tiap dua derajat
jaraknya antara langit dunia dengan Sidratul Muntaha. Dan barang siapa yang
bersabar dalam menjauhi maksiat, maka Allah tulis baginya 900 derajat yang jarak
dua derajatnya seperti ‘Arasy dua kali“. (HR. Abu Dunya dan Abu Syaikh)

13
 HASIL DAN KESIMPULAN

1. Penyelesaian

A. Berusaha menjadi anak yang berbakti kepada kedua orang tua

B. Berusaha menerima diri sendiri

C. Belajar lebih giat agar mampu memenuhi tuntutan dan keinginan orang tua

D. Mendekatkan diri kepada Allah


Kunci dari segala kunci semua permasalahan selalu sandarkan kepada tuhan yaitu
Allah SWT yang akan membantu dalam menjalani semua permasalahan dalam hidup.
2. Kesimpulan
Menjadi orang tua bukanlah hal yang mudah namun juga sebaliknya menjadi
seorang anak juga bukan hal yang mudah tak jarang sering kali terjadi perdebatan
ataupun perbedaan pndapat antar orang tua dan juga anak,seringkali orang tua
mengharapkan yang terbaik untuk masa depan anaknya melalui jalan yang mereka
tentukan namun kemampuan dan keinginan anak selalu berbeda-beda.

Mungkin kecemburuan sosial antara saudara kandung sering kali terjadi


karena perlakuan orang tua yang mungkin berbeda dengan setiap anaknya,anak selalu
merasa dibanding-bandigkan dengan saudaranya yang jauh lebih baik darinya.Namun
di lain sisi itu semua juga merupakan dukungan dan juga dorongan orang tua untuk
menjadikan anaknya menjadi lebih baik lagi dan termotivasi oleh saudaranya sendiri.

Maka dari itu kita sebagai seorang anak tidak boleh selalu memandang
perilaku orang tua ialah sebuah kesalahan karena tentunya orang tua pasti selalu
menginginkan yang terbaik untuk anaknya

14
DAFTAR PUSTAKA

Disarikan ari kitab Fiqhu at Ta’amul Ma’al Walidain, karya Syaikh Musthafa Al


‘Adawi

Penyusun: Yulian Purnama, S.Kom

Sumber: https://muslim.or.id/47127-perintah-untuk-birrul-walidain.html

Oleh : Affan Syafiq/ Mahasiswa Universitas Indonesia

Source

Hanum, Lathifah. 2020. Forgiveness & Mental Health. Depok. Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia

https://www.seputarpengetahuan.co.id/2021/06/sabar-adalah.html

15

Anda mungkin juga menyukai