Anda di halaman 1dari 9

Buletin Kaffah, No.

298
05 Dzulhijjah 1444 H
23 Juni 2023 M

IBRAHIM DAN ISMAIL AS.:


TELADAN DALAM KETAATAN
TANPA KERAGUAN

T anggal 10 Dzulhijjah adalah momen yang penuh dengan


kebahagiaan dan keberkahan. Hari ketika jutaan Muslim
berkumpul di tempat yang dimuliakan dan diberkahi o-
leh Pencipta dan Pemilik alam semesta. Tidak lain untuk me-
wujudkan ketaatan dalam ibadah mulia, ibadah haji. Sepan-
jang pelaksanaan ibadah haji itu jutaan Muslim terus meng-
agungkan Zat Yang Mahaagung. Mereka pun berdoa tiada
henti, seraya melantunkan kalimat talbiyah, “Labbayk AlLâ-
humma labbayk.” Mereka menjawab panggilan Allah dengan
penuh kekhusyukan untuk hadir mewujudkan ketaatan
kepada-Nya.

01
Merekalah dhuyûfulLâh. Tamu-tamu Allah. Mereka berhak
mendapatkan kedudukan mulia di sisi-Nya, sebagaimana
sabda Rasulullah saw.:
‫ﺎﻫ ْﻢ‬ ِ
ُ َ‫ َﺳﺄَﻟُْﻮﻩُ ﻓَﺄ َْﻋﻄ‬،ُ‫َﺟﺎﺑـُ ْﻮﻩ‬
َ ‫ﺎﻫ ْﻢ ﻓَﺄ‬
ُ ‫ َد َﻋ‬،‫ﺎج َواﻟْﻌُ ﱠﻤ ُﺎر َوﻓْ ُﺪ ﷲ‬
ُ ‫اﳊُ ﱠﺠ‬
Jamaah haji dan umrah adalah tamu Allah. Allah telah me-
manggil mereka. Mereka pun memenuhi panggilan-Nya. Mereka
memohon kepada Allah. Allah pun mengabulkan permohonan
mereka (HR Ibnu Majah).

Di luar Tanah Suci, miliaran kaum Muslim menggemakan


takbîr, tahmîd, tasbîh, dan tahlîl, berbondong-bondong menu-
naikan shalat Id dan mendengarkan khutbah. Lalu menyem-
belih dan membagikan hewan-hewan kurban. Gema kalimat
thayyibah dan penyembelihan kurban terus berlangsung hing-
ga Hari Tasyriq usai. Sungguh, hari-hari yang amat sakral dan
memberikan nuansa ketundukan kepada Allah SWT.
Inilah Idul Adha 10 Dzulhijjah tahun 1444 H. Sebagaimana
perintah Rasulullah saw., penentuan awal bulan Dzulhijjah
bukanlah ditetapkan berdasarkan otoritas penguasa negara
nasional masing-masing, tetapi wajib berdasarkan pengumu-
man Amir Makkah. Husayn bin Harits al-Jadali telah menya-
takan: Amir Makkah, al-Harits bin Hatib, telah menyampaikan
khutbah kepada kami, seraya berkata:

02
‫ َو َﺷ ِﻬ َﺪ‬،ُ‫ ﻓَِﺈ ْن َﱂْ ﻧـََﺮﻩ‬،‫ﻚ ﻟُِﺮْؤﻳَﺘِ ِﻪ‬
َ ‫وﺳﻠﱠ َﻢ أَ ْن ﻧـَﻨْ ُﺴ‬ ِ ‫اﻪﻠﻟِ ﺻﻠﱠﻰ ﱠ‬
َ ‫اﻪﻠﻟُ َﻋﻠَْﻴﻪ‬ َ ‫ﻮل ﱠ‬ ُ ‫َﻋ ِﻬ َﺪ إِﻟَﻴْـﻨَﺎ َر ُﺳ‬
‫ﺎﻫ َﺪا َﻋ ْﺪ ٍل ﻧَ َﺴﻜْﻨَﺎ ﺑِ َﺸ َﻬ َﺎدﻬﺗِِ َﻤﺎ‬
ِ ‫َﺷ‬
Kami telah diperintahkan oleh Rasulullah saw. untuk menger-
jakan manasik (ibadah haji) karena melihat hilal. Jika kami tidak
melihat hilal, lalu ada dua orang saksi yang adil melihatnya, ma-
ka kami pun akan mengerjakan manasik berdasarkan kesaksian
mereka berdua (HR Abu Dawud dan ad-Daraquthni).

Hari Terbaik
Inilah satu dari dua hari yang disebutkan oleh Nabi saw.
sebagai hari terbaik dibandingkan dengan semua hari raya
umat lain di penjuru dunia. Setelah hijrah ke Madinah Rasu-
lullah saw. menyaksikan orang-orang Yahudi merayakan hari
raya mereka, Nairuz dan Mihrajan. Hari raya itu diikuti oleh
orang-orang Madinah, termasuk kalangan Anshar. Kemudian
Nabi saw. bersabda:
‫ﲔ َﺧ ْﲑاً ِﻣﻨْـ ُﻬ َﻤﺎ‬ ‫ﺎن ﺗَـﻠْ َﻌﺒُﻮ َن ﻓِﻴ ِﻬ َﻤﺎ ﻓَِﺈ ﱠن ﱠ‬
ِ ْ ‫اﻪﻠﻟَ ﻗَ ْﺪ أَﺑْ َﺪﻟَ ُﻜ ْﻢ ﻳَـ ْﻮَﻣ‬ ِ ‫ﻗَ ِﺪﻣﺖ َﻋﻠَﻴ ُﻜﻢ وﻟَ ُﻜﻢ ﻳـﻮﻣ‬
َ َْ ْ َ ْ ْ ُ ْ
‫ﱠﺤ ِﺮ‬ ِ
ْ ‫ﻳَـ ْﻮَم اﻟْﻔﻄْ ِﺮ َوﻳَـ ْﻮَم اﻟﻨ‬
Aku datang kepada kalian, sementara kalian mempunyai dua
hari raya pada masa Jahiliyah yang kalian isi dengan bermain-
main. Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik
bagi kalian, yaitu Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha (Hari Raya
Kurban) (HR an-Nasa’i dan Ahmad).

03
Sikap Nabi saw. ini menjadi pertanda bagi orang-orang
beriman bahwa umat Muslim adalah umat dengan agama dan
syariah yang berbeda dengan umat lain. Beda dalam periba-
datan, hari raya, juga dalam tatanan aturan kehidupan. Kaum
Muslim telah diberi agama yang luhur yang berada di atas
agama-agama lain. Tidak ada satu pun agama, ajaran atau
ideologi yang dapat menandingi kemuliaan Islam. Sabda Nabi
saw.:
‫اْ ِﻹ ْﺳﻼَمُ ﻳَـ ْﻌﻠُ ْﻮ َوﻻَ ﻳـُ ْﻌﻠَﻰ‬
Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengalahkan ketinggiannya
(HR ad-Daruquthni).

Jika Rasulullah saw. saja sudah menyatakan Islam itu tinggi


dan terbaik, tak ada yang setinggi dan semulia agama ini, maka
terasa sangat menyesakkan dada jika justru umat Muslim sen-
diri tidak memiliki perasaan bangga terhadap agamanya; ma-
lah memilih ajaran atau ideologi lain; menceraikan diri dari
shirâthal-mustaqîm dan berjalan di atas bukan jalan Islam. Be-
gitu pula terasa menyedihkan jika umat Muslim rela dipimpin
oleh umat lain yang justru menjerumuskan mereka ke dalam
jurang keterpurukan.

04
Keteladanan dalam Ketaatan
Ketika membicarakan ketaatan, maka kisah keteladanan
ayah dan anak, Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail alayhimâ as-
salâm, patut untuk selalu diulang. Kedua utusan Allah ini
mengajari kita ketaatan tanpa ragu, ketaatan tanpa kata nanti
dulu.
Ibrahim as. diuji oleh Allah untuk mengorbankan buah hati
sekaligus buah cintanya yang telah lama dinanti, putranya
sendiri. Adapun Nabi Ismail as. diuji oleh Allah untuk mengor-
bankan hidupnya agar ayahnya bisa melaksanakan perintah-
Nya. Allah SWT berfirman:
‫ﻚ ﻓَﺎﻧْﻈُْﺮ َﻣﺎذَا ﺗَـَﺮى‬ ِّ‫ﲏ إِِّﱐ أ ََرى ِﰲ اﻟْ َﻤﻨَ ِﺎم أ‬
َ ُ‫َﱐ أَ ْذ َﲝ‬ ‫ﻓَـﻠَ ﱠﻤﺎ ﺑَـﻠَ َﻎ َﻣ َﻌﻪُ اﻟ ﱠﺴ ْﻌ َﻲ ﻗَ َﺎل َ�ﺑَُ ﱠ‬
Tatkala anak itu telah sampai (pada umur sanggup) berusaha
bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, “Anakku, sungguh aku
melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelih kamu. Karena itu
pikirkanlah apa pendapatmu.” (TQS ash-Shaffat [37]: 102).

Nabi Ibrahim as. memberikan teladan bahwa tidak ada


kecintaan yang paling tinggi melebihi kecintaan kepada Allah
SWT. Kecintaan kepada Allah SWT melebihi kecintaan kepada
pasangan, anak, harta dan tahta. Kecintaan kepada Allah ‘Azza
wa Jalla ini tentu harus diwujudkan dalam ketaatan menja-
lankan semua perintah-Nya.

05
Di sisi lain, Ismail as. juga meyakini sepenuh hati bahwa
ketaatan kepada Allah SWT di atas segalanya sekalipun harus
mengorbankan jiwa dan raganya. Karena itu Ismail as. pun me-
ngukuhkan keteguhan jiwa ayahandanya dengan mengata-
kan:
ِ ‫اﻪﻠﻟ ِﻣﻦ اﻟ ﱠ‬ ِ ِ ِ
َ ‫ﺼﺎﺑ ِﺮ‬
‫ﻳﻦ‬ َ ُ‫َ� أَﺑَﺖ اﻓْـ َﻌ ْﻞ َﻣﺎ ﺗـُ ْﺆَﻣ ُﺮ َﺳﺘَﺠ ُﺪِﱐ إ ْن َﺷﺎءَ ﱠ‬
“Ayah, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya
Allah engkau akan mendapati diriku termasuk orang-orang yang
sabar.” (TQS ash-Shaffat [37]: 102).

Menuju Ketaatan Total


Hari ini kita menyaksikan kaum Muslim tanpa ragu melak-
sanakan perintah berhaji juga berlomba-lomba mempersem-
bahkan kurban terbaik di jalan Allah. Namun jangan lupa, ke-
taatan yang diminta oleh Allah adalah ketaatan total pada
semua perintah-Nya dan semua larangan-Nya. Bukan ketaatan
parsial. Bukan pula ketaatan yang dipilih-pilih menurut kehen-
dak dan kemauan hawa nafsu.
Ketika kaum Muslim mencurahkan ketaatan kepada Allah
dalam menunaikan ibadah haji dan dalam berkurban, kema-
nakah ketaatan itu pergi ketika mereka diseru untuk melaksa-
nakan syariah-Nya dalam perkara muamalah, pidana, jihad,
politik dan pemerintahan? Mengapa hukum-hukum Allah itu
kita abaikan? Bukankah semua itu juga perintah dari Tuhan

06
yang sama? Tuhan yang menyerukan perintah berkurban dan
berhaji?
Lebih memilukan lagi, semangat dan upaya untuk melaksa-
nakan ketaatan kepada Allah secara kâffah dengan melaksa-
nakan syariah Islam justru dihadang dan dihinakan dengan
sebutan utopia, kearab-araban sampai tudingan radikalisme.
Padahal Allah SWT telah berfirman:
‫ﺆﻣﻨُﻮ َن َﺣ ﱠ ٰﱴ ُﳛَ ِّﻜ ُﻤ ْﻮ َك ﻓِ َﻴﻤﺎ َﺷ َﺠَﺮ ﺑَـﻴْـﻨَـ ُﻬﻢ ﰒُﱠ ﻻَ َِﳚ ُﺪواْ ِﰲ أَﻧ ُﻔ ِﺴ ِﻬ ْﻢ َﺣَﺮ ًﺟﺎ‬ ِ ‫ﻚ ﻻَ ﻳ‬
ُ َ ِّ‫ﻓَﻼَ َوَرﺑ‬
‫ﺖ َوﻳُ َﺴﻠِّ ُﻤﻮاْ ﺗَ ْﺴﻠِْﻴ ًﻤﺎ‬ ِ
َ َ‫ّﳑﱠﺎ ﻗ‬
َ ‫ﻀْﻴ‬
Demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman
hingga mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim
dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka
tidak merasakan suatu keberatan pun dalam hati mereka atas
keputusan yang engkau berikan, dan mereka menerima (kepu-
tusan itu) dengan sepenuhnya (TQS an-Nisa’ [4]: 65).

Tidak pantas bagi orang yang mengaku beriman kepada


Allah mencari-cari alasan untuk menolak perintah dan lara-
ngan-Nya. Apalagi memutarbalikkan ayat demi keuntungan
duniawi. Mengharamkan yang halal. Menghalalkan yang
haram. Padahal perintah untuk menerapkan syariah Islam su-
dah jelas dalam Kitabullah. Banyak ayat yang memerintahkan
kaum Muslim untuk berhukum dengan hukum-hukum Allah.
Allah SWT, misalnya, berfirman:

07
ۖ
‫َﻧﺰَل ٱ ﱠﻪﻠﻟُ َوﻻَ ﺗَـﺘﱠﺒِ ْﻊ أ َْﻫ َﻮاءَ ُﻫ ْﻢ َﻋ ﱠﻤﺎ َﺟﺎءَ َك ِﻣ َﻦ ٱﳊَ ِّﻖ‬ ِ
َ ‫ﻓَﭑ ْﺣ ُﻜ ْﻢ ﺑَـﻴْـﻨَـ ُﻬ ْﻢ ﲟَﺎ أ‬
Putuskanlah hukum di antara mereka menurut apa yang telah
Allah turunkan dan janganlah engkau mengikuti keinginan
mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang
kepadamu (TQS al-Maidah [5]: 48).

Demikianlah yang Allah SWT perintahkan kepada kaum


Muslim. Lalu mengapa hari ini kaum Muslim yang mengaku
taat kepada Allah malah lebih tunduk pada hukum buatan
Montesquieu, Piagam PBB, IMF, World Bank, dan berbagai
lembaga internasional, sembari mencari alibi pembenaran
sikap tersebut?
Janganlah sampai kita mengikuti sikap orang-orang
munafik yang selalu mencari-cari alasan untuk menolak perin-
tah Allah SWT, sebagaimana mereka menolak berangkat ke
medang Perang Tabuk dengan alasan cuaca panas. Allah SWT
berfirman:
ِِ ِِ ِ ِ ِٰ ‫ﻓَﺮِح اﻟْﻤﺨﻠﱠ ُﻔﻮ َن ِﲟَْﻘﻌ ِﺪ ِﻫﻢ ِﺧ ٰﻠﻒ رﺳﻮِل‬
ْ ِ ‫اﻪﻠﻟ َوَﻛ ِﺮُﻫ ْﻮا اَ ْن ﱡﳚَﺎﻫ ُﺪ ْوا ﺎﺑَ ْﻣ َﻮاﳍ ْﻢ َواَﻧْـ ُﻔﺴﻬ ْﻢ‬
‫ﰲ‬ ّ ُْ َ َ ْ َ ْ َ ُ َ
ۗ
‫اﻪﻠﻟِ َوﻗَﺎﻟُْﻮا ﻻَ ﺗَـْﻨ ِﻔ ُﺮْوا ِﰱ ا ْﳊَ ِّۗﺮ ﻗُ ْﻞ َ� ُر َﺟ َﻬﻨ َﱠﻢ اَ َﺷ ﱡﺪ َﺣ ًّﺮا ﻟَ ْﻮ َﻛﺎﻧـُ ْﻮا ﻳَـ ْﻔ َﻘ ُﻬ ْﻮ َن‬
ّٰ ‫َﺳﺒِْﻴ ِﻞ‬
Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut perang) itu merasa
gembira dengan tinggalnya mereka di belakang Rasulullah. Me-
reka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan
Allah. Mereka berkata, "Janganlah kamu berangkat (pergi ber-

08
perang) dalam keadaan panas terik ini." Katakanlah, "Api Nera-
ka Jahanam itu jauh lebih panas lagi jika saja mereka tahu.”
(TQS at-Taubah [9]: 81).

Wahai kaum Muslim, sadarilah, bertubi-tubi persoalan yang


terjadi hari ini penyebabnya adalah hilangnya ketaatan utuh
kepada Allah SWT. Diganti dengan sikap diskriminasi terhadap
perintah dan larangan-Nya. Aturan yang menguntungkan se-
perti regulasi haji, zakat, pernikahan dijalankan. Yang berten-
tangan dengan hawa nafsu dicampakkan. AstaghfirulLâh al-
‘Azhîm. []

HIKMAH:

ِ ٍ ِ ‫َوِﻣ َﻦ ٱﻟﻨ‬
َ ‫َﺻﺎﺑَﻪُۥ َﺧ ْﲑٌ ٱﻃْ َﻤﺄَ ﱠن ﺑِﻪۦ ۖ َوإِ ْن أ‬
ُ‫َﺻﺎﺑَـْﺘﻪ‬ َ ‫ﱠﺎس َﻣﻦ ﻳَـ ْﻌﺒُ ُﺪ ٱ ﱠﻪﻠﻟَ َﻋﻠَ ٰﻰ َﺣ ْﺮف ۖ ﻓَِﺈ ْن أ‬
ِ ِ َ‫ﻓِﺘْـﻨَﺔٌ ٱﻧ َﻘﻠَﺐ ﻋﻠَﻰ وﺟ ِﻬ ِﻪۦ ﺧ ِﺴﺮ ٱﻟ ﱡﺪﻧْـﻴﺎ وٱﻷ‬
‫ﲔ‬ َ ‫اﺧَﺮةَ ۚ ٰذَﻟ‬
ُ ِ‫ﻚ ُﻫ َﻮ ٱ ْﳋُ ْﺴَﺮا ُن ٱﻟْ ُﻤﺒ‬ َ َ َ َ َْ ٰ َ َ
Di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan
berada di tepi. Jika ia memperoleh kebajikan, ia tetap dalam
keadaan itu. Jika ia ditimpa oleh suatu bencana, ia berbalik ke
belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian
adalah kerugian yang nyata. (TQS al-Hajj [22]: 11). []

09

Anda mungkin juga menyukai