APRIL 2023
Disusun Oleh :
Nur Afni Fadillah
N 111 21 100
Pembimbing Klinik :
dr. Ferry Lumintang, Sp.An
Universitas : Tadulako
Judul Laporan Kasus : Manajemen anastesi pada pasien batu staghorn
bilateral menggunakan teknik regional anestesi
subarachnoid block (SAB)
Bagian Anestesiologi
B. ETIOLOGI
Etiologi dari pembentukan batu pada ginjal masih idiopatik (belum jelas),
oleh karena masih banyak faktor yang terlibat. 5 Penyebab atau faktor risiko
penyebab batu ginjal seperti genetik, konsumsi makanan tinggi oksalat,
tinggi protein, tinggi kalsium, kurang minum air putihdan seringnya
menahan buang air kecil. Endapan batu ginjal dapat disebabkan oleh
faktor diet dan yang lainnya. Batu ginjal dapat dibagi menjadi empat,
yaitu batu kalsium, asam urat, struvit dan sistin.Batu ginjal ukuran kecil
dapat berpindah dari ginjal ke ureter, kandung kemih dan uretra. Hal
ini dapat menyebabkan iritasi pada saluran kemih. 6
C. EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan penelitian oleh Scales CD et all, tahun 2012 tentang
“Prevalence of Kidney Stones in the United States”, menyatakan prevalensi
kejadian batu ginjal di Amerika Serikat sebesar 8,8% dengan prevalensi
pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Sedangkan di
Indonesia, berdasarkan Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdes) tahun 2013
menyatakan prevalensi kejadian batu ginjal sebesar 0,6 % atau 6 dari 1000
penduduk, Sulawesi Tengah (0,8%) menduduki peringkat ketiga di atas DI
Yogyakarta (1,2%) dan Aceh (0,9%). 7
D. PATOFISIOLOGI
Berdasarkan beberapa penelitian menduga dua proses yang terlibat erat
dalam proses pembentukan batu pada ginjal yaitu supersaturasi dan
nukleasi. Supersaturasi terjadi jika substansi yang menyusun batu
mengalami penurunan berupa volume urin dan kimia urin. Sedangkan untuk
proses nukelasi natrium hidrogen urat, asam urat dan kristal hidroksipatit
membentuk inti. Kemudian terjadi perekatan (adhesi) Ion kalsium dan
oksalat kemudian pada inti untuk membentuk campuran batu. Proses ini
dinamakan nukleasi heterogen. Berdasarkan studi epidemiologi, ada
beberapa faktor yang mempengaruhi terbentuknya batu ginjal, yaitu faktor
intrinsik dan ekstrinsik.7
E. MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis nefrolitiasis yang paling sering dirasakan pada pasien adalah
nyeri pada pinggang. Nyeri ini bisa kolik dan non kolik. Nyeri kolik
terjadi karena aktivitas peristaltik otot polos sistem kalises ataupun
ureter meningkat dalam usaha untuk mengeluarkan batu disaluran
kemih. Nyeri non kolik terjadi akibat peregangan kapsul ginjal
karena terjadi hidronefrosis atau infeksi pada ginjal. 8
Gejala tidak dirasakan saat batu ginjal berukuran kecil. Batu yang kecil
akan dapat berpindah ke saluran kemih berupa ureter. Batu ginjal yang
berukuran lebih besar dari diameterureter akan terasa gejalanya. Batu
ginjal yang berukuran besar dapat bergesekan dengan lapisan dinding
ureter yang dapat menyebabkan iritasi atau luka. Kondisi ini
menyebabkan urin dapat mengandung darah dan berwarna merah. Selain
iritasi, batu ginjal dapat tersangkut pada ureter maupun uretra sehingga
bakteri terkumpul dan menyebabkan infeksi ditandai pembengkakan.6
(Hadibrata)
F. DIAGNOSIS
Ada beberapa hal yang harus dievaluasi untuk menegakkan diagnosis, yaitu:
1. Evaluasi skrining yang terdiri dari sejarah rinci medis dan makanan,
kimia darah, dan urin pada pasien.
2. Foto Rontgen Abdomen yang digunakan untuk melihat adanya
kemungkinan batu radioopak.
Gambar 2.1 Foto x-ray KUB: Tampak batu staghorn di sistem pelvikokalises
ginjal kiri.
3. Pielografi Intra Vena yang bertujuan melihat keadaan anatomi dan fungsi
ginjal. Pemeriksaan ini dapat terlihat batu yang bersifat radiolusen.
4. Ultrasonografi (USG) dapat melihat semua jenis batu.
G. TATALAKSANA
Tujuan utama tatalaksana pada pasien nefrolitiasis adalah mengatasi nyeri,
menghilangkan batu yang sudah ada, dan mencegah terjadinya
pembentukan batu yang berulang.7
1) ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsy)
Pada tahun 1980 penemu alat ini bernama Caussy menggunakan
gelombang kejut lalu ditembakkan dari luar tubuh untuk
menghancurkan batu yang terdapat di dalam tubuh, ketika batu tersebut
hancur, maka pecahannya akan dikeluarkan melalui saluran kemih.7
ESWL dianggap sebagai pengobatan cukup berhasil untuk batu ginjal
berukuran menengah dan untuk batu ginjal berukuran lebih dari 20- 30
mm pada pasien yang lebih memilih ESWL, asalkan mereka menerima
perawatan berpotensi lebih.9
2) Minimal Invasif
a. PCNL (Percutaneus Nephro Lithotomy)
Teknik ini mengeluarkan batu yang berada pada saluran ginjal
dengan cara menginsisi kulit lalu memasukkan alat endoskopi
pada sistem kaliks ginjal. Batu kemudian dikeluarkan atau
dipecah terlebih dahulu menjadi fragmen- fragmen kecil.
Asosiasi Eropa Pedoman Urologi tentang urol ithiasis
merekomendasikan PNL sebagai pengobatan utama untuk batu
ginjal berukuran >20mm, sementara ESWL lebih disukai
sebagai lini kedua pengobatan, karena ESWL sering
membutuhkan beberapa perawatan, dan memiliki risiko
obstruksi ureter, serta kebutuhan adanya prosedur tambahan. Ini
adalah alasan utama untuk merekomendasikan bahwa PNL
adalah baris pertama untuk mengobati pasien nefrolitias. 9
b. Ureteroskopi atau uretero renoskopi yaitu memasukkan alat
ureteroskopi per uretra guna melihat keadaan ureter atau sistem
pielo kaliks ginjal. Dengan memakai energi tertentu, batu yang
berada di dalam ureter maupun sistem pelvikaliks dapat dipecah
dengan bantuan ureteroskopi atau ureterorenoskopi ini. 7
3) Open Stone Surgery (OSS)
OSS merupakan suatu tindakan pembedahan terbuka berupa
pielolitotomi atau nefrolitotomi. Tindakan ini dilakukan dengan
melakukan insisi pada kulit lalu mengekspos ginjal sehingga
memudahkan untuk proses pengangkatan batu ginjal, terutama staghorn
stone.7
H. KOMPLIKASI
Ketika kondisi ini berjalan terus tanpa dilakukan pengobatan yang tepat
maka, banyak komplikasi yang dapat terjadi terutama komplikasi yang
berhubungan langsung dengan fungsi ginjal, berikut komplikasi yang
terseing didapatkan pada pasien batu ginjal yang tidak melakukan
pengobatan tidak tepat dan tidak tuntas:
a) Obstruksi, karena aliran urin terhambat oleh batu.
b) Infeksi saluran kemih. Infeksi dapat terjadi karena batu
menimbulkan inflamasi saluran kemih dan terhambatnya aliran urin.
c) Gagal ginjal akut. Gagal ginjal akut dapat terjadi karena urin yang
tidak dapat mengalir, akan kembali lagi ke ginjal, menekan bagian
dalam ginjal dan mempengaruhi aliran darah keginjal, sehingga
dapat menimbulkan kerusakan pada organ tersebut. 7
I. PROGNOSIS
Prognosis batu ginjal atau nefrolitiasis tergantung pada ukuran batu, lokasi,
dan komplikasi yang dialami pasien. Batu yang berukuran kecil mungkin
dapat keluar sendiri. Sementara itu, batu berukuran lebih besar dapat
menyebabkan komplikasi berupa obstruksi saluran kemih hingga sepsis dan
urosepsis.7
2. SUBARACHNOID BLOCK
A. DEFINISI
Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan
tindakan penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid.
Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga sebagai blok spinal intradural atau
blok intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan obat
analgesik lokal ke dalam ruang subarachnoid di daerah antara vertebra L2-
L3 atau L3-L4 atau L4-L5.1
Spinal analgesia atau subarachnoid nerve block, terjadi karena
deposit obat anestesi lokal di dalam ruangan subarachnoid. Terjadi blok
saraf yang spinalis yang akan menyebabkan hilangnya aktivitas sensoris,
motoris dan otonom. Berbagai fungsi yang dibawa saraf-saraf medula
spinalis misalnya temperatur, sakit, aktivitas otonom, rabaan, tekanan,
lokalisasi rabaan, fungsi motoris dan proprioseptif. Secara umum fungsi-
fungsi tersebut dibawa oleh serabut saraf yang berbeda dalam ketahanannya
terhadap obat anestesi lokal. Oleh sebab itu ada obat anestesi lokal yang
lebih mempengaruhi sensoris daripada motoris. Blokade dari medulla
spinalis dimulai kaudal dan kemudian naik ke arah sephalad. Serabut saraf
yang bermielin tebal (fungsi motoris dan propioseptif) paling resisten dan
kembalinya fungsi normal paling cepat, sehingga diperlukan konsentrasi
tinggi obat anestesi lokal untuk memblokade saraf tersebut.10,11
B. ANATOMI KOLUMNA VERTEBRALIS
Kolumna vertebralis adalah salah satu faktor keberhasilan tindakan
anestesi spinal. Di samping itu, pengetahuan tentang penyebaran analgetika
lokal dalam cairan serebrospinal dan level analgesia diperlukan untuk
menjaga keamanan/keselamatan tindakan anestesi spinal.12
Gambar 2.4. Anatomi Kolumna Vertebralis.12
D. PERSIAPAN PASIEN
Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan anestesi spinal
(informed concernt) meliputi pentingnya tindakan ini dan komplikasi yang
mungkin terjadi. Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit tempat
penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti infeksi.
Perhatikan juga adanyascoliosis atau kifosis. Pemeriksaan laboratorium
yang perlu dilakukan adalah penilaian hematokrit. Masa protrombin (PT)
dan masa tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila diduga terdapat
gangguan pembekuan darah.13
Perlengkapan tindakan anestesi spinal harus diberikan dengan
persiapan perlengkapan operasi yang lengkap untuk monitor pasien,
pemberian anestesi umum, dan tindakan resusitasi. Jarum spinal dan obat
anestetik spinal disiapkan. Jarum spinal memiliki permukaan yang rata
dengan stilet di dalam lumennya dan ukuran 16G sampai dengan 30G. obat
anestetik lokal yang digunakan adalah prokain, tetrakain, lidokain, atau
bupivakain. Berat jenis obat anestetik lokal mempengaruhi aliran obat dan
perluasan daerah teranestesi. Pada anestesi spinal jika berat jenis obat lebih
besar dari berat jenis CSS (hiperbarik), maka akan terjadi perpindahan obat
ke dasar akibat gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik), obat akan berpindah
dari area penyuntikan ke atas. Bila sama (isobarik), obat akan berada di
tingkat yang sama di tempat penyuntikan. Pada suhu 37℃ cairan
serebrospinal memiliki berat jenis 1,003-1,008.13
Perlengkapan lain berupa kain kasa steril, povidon iodine, alcohol,
dan duk steril juga harus disiapkan. Dikenal 2 macam jarum spinal, yaitu
jenis yang ujungnya runcing seperti ujung bamboo runcing (Quincke-
Babcock atau Greene) dan jenis yang ujungnya seperti ujung pensil
(whitacre). Ujung pensil banyak digunakan karena jarang menyebabkan
nyeri kepala pasca penyuntikan spinal.13
Farmakologi bupivakain
Bupivakain bekerja menstabilkan membran neuron dengan cara
menginhibisi perubahan ionik secara terus menerus yang diperlukan dalam
memulai dan menghantarkan impuls. Kemajuan anestesi yang berhubungan
dengan diameter, mielinisasi, dan kecepatan hantaran dari serat saraf yang
terkena menunjukkan urutan kehilangan fungsi sebagai berikut : otonomik,
nyeri, suhu, raba, propriosepsi, tonus otot skelet. 12 Eliminasi bupivakain
terjadi di hati dan melalui pernafasan (paru-paru). Bila pasien mengalami
syok hipovolemik, septikemia, infeksi pada beberapa organ, atau
koagulopati, suntikan epidural, kaudal atau subarachnoid harus dihindari.
Kadar bupivakain plasma toksik (contohnya toksik, akibat suntikan
intravaskuler) dapat menyebabkan colaps kardiopulmonal dan kejang.5
Pencegahan terjadinya komplikasi dengan cara mencegah overdosis
(memberikan obat sesuai dosis yang dianjurkan), hati-hati dalam
memberikan penyuntikan intravena dengan menggunakan tehnik yang
benar, mengaspirasi terlebih dahulu sebelum bupivacaine dimasukkan, test
dose 10% dari dosis total, mengenali gejala awal dari toksisitas,
mempertahankan kontak verbal dengan pasien, memonitor frekuensi dan
pola pernafasan, tekanan darah, dan frekwensi nadi. Tanda dan gejala
prapemantauan dimanifestasikan sebagai rasa tebal dari lidah dan rasa
logam, gelisah, tinitus, dan tremor. Dukungan sirkulasi (cairan intravena,
vasopresor, natrium bikarbonat IV 1–2 mEq /kg untuk mengobati toksisitas
jantung (blokade saluran natrium), bretilium IV 5 mg/kg,
kardioversi/defibrilasi DC untuk aritmia ventrikuler dan mengamankan
saluran pernapasan pasien (ventilasi dengan oksigen 100 %) merupakan hal
yang penting. Tiopental (0,5 – 2 mg/kg IV), midazolam (0,02 – 0,04 mg/kg
IV), atau diazepam (0,1 mg/kg IV) dapat digunakan untuk profilaksis dan
atau pengobatan kejang.5
Tingkat blokade simpatik (bradikardia dengan blok diatas T5)
menentukan tingkat hipotensi (sering ditandai dengan mual dan muntah)
setelah bupivakain spinal/subarakhnoid. Hidrasi cairan (10-20 ml/kg larutan
NS atau RL), obat vasopresor (contohnya efedrin) dan pergeseran uterus ke
kiri pada pasien hamil, dapat digunakan sebagai profilaksis dan pengobatan.
Memberikan sulfas atropine untuk mengobati bradikardi. 5
H. INDIKASI
- Operasi ekstrimitas bawah, baik operasi jaringan lunak, tulang atau
pembuluh darah.
- Operasi di daerah perineal: Anal, rectum bagian bawah, vaginal, dan
urologi.
- Abdomen bagian bawah: Hernia, usus halus bagian distal, appendik,
rectosigmoid, kandung kencing, ureter distal, dan ginekologis.
- Abdomen bagian atas: Kolesistektomi, gaster, kolostomi transversum.
Tetapi spinal anestesi untuk abdomen bagian atas tidak dapat dilakukan
pada semua pasien sebab dapat menimbulkan perubahan fisiologis yang
hebat.
- Seksio Sesarea (Caesarean Section).
- Prosedur diagnostik yang sakit, misalnya anoskopi, dan sistoskopi.21
I. KONTRAINDIKASI
Pada Anestesi spinal terdapat kontraindikasi absolut dan relatif.
Kontraindikasi Absolut diantaranya penolakan pasien, infeksi pada tempat
suntikan, hipovolemia, penyakit neurologis yang tidak diketahui,
koagulopati, dan peningkatan tekanan intrakanial, kecuali pada kasus-kasus
pseudotumor cerebri. Sedangkan kontraindikasi relatif meliputi sepsis pada
tempat tusukan (misalnya, infeksi ekstremitas korioamnionitis atau lebih
rendah) dan lama operasi yang tidak diketahui.Dalam beberapa kasus, jika
pasien mendapat terapi antibiotik dan tanda-tanda vital stabil, anestesi
spinal dapat dipertimbangkan, sebelum melakukan anestesi spinal,
ahlianestesi harus memeriksa kembali pasien untuk mencari adanya tanda-
tanda infeksi, yang dapat meningkatkan risiko meningitis.10
Syok hipovolemia pra operatif dapat meningkatkan risiko hipotensi
setelah pemberian anestesi spinal. Tekanan intrakranial yang tinggi juga
dapat meningkatkan risiko herniasi uncus ketika cairan serebrospinal keluar
melalui jarum, jika tekanan intrakranial meningkat. Setelah injeksi anestesi
spinal, herniasi otak dapat terjadi.10
Kelainan koagulasi dapat meningkatkan risiko pembentukan
hematoma, hal ini sangat penting untuk menentukan jumlah waktu yang
dibutuhkan untuk menyelesaikan operasi sebelum menginduksi anestesi
spinal. Jika durasi operasi tidak diketahui, anestesi spinal yang diberikan
mungkin tidak cukup panjang untuk menyelesaikan operasi dengan
mengetahui durasi operasi membantu ahli anestesi menentukan anestesi
lokal yang akan digunakan, penambahan terapi spinal seperti epinefrin, dan
apakah kateter spinal akan diperlukan.10
Pertimbangan lain saat melakukan anestesi spinal adalah tempat
operasi, karena operasi di atas umbilikus akan sulit untuk menutup dengan
tulang belakang sebagai teknik tunggal. Anestesi spinal pada pasien dengan
penyakit neurologis, seperti multiple sclerosis, masih kontroversial karena
dalam percobaan in vitro didapatkan bahwa saraf demielinisasi lebih rentan
terhadap toksisitas obat biuslokal.10
Penyakit jantung yang level sensorik di atas T6 merupakan
kontraindikasi relatif terhadap anestesi spinal seperti pada stenosis aorta,
dianggap sebagai kontraindikasi mutlak untuk anestesi spinal, sekarang
mungkin menggabungkan pembiusan spinal dilakukan dengan hati-hati
dalam perawatan anestesi mereka deformitas dari kolomna spinalis dapat
meningkatkan kesulitan dalam menempatkan anesetesi spinal. Arthritis,
kyphoscoliosis, dan operasi fusi lumbal sebelumnya semua faktor dalam
kemampuan dokter anestesi untuk performa anestesi spinal. Hal ini penting
untuk memeriksa kembali pasien untuk menentukan kelainan apapun pada
anatomi sebelum mencoba anestesi spinal.10
Tabel 2.4. Kontraindikasi absolut dan ontraindikasi relative. 10
No Kontraindikasi Absolut Kontraindikasi Relatif
1 Pasien menolak Infeksi sistemik (sepsis,
bakterimia)
2 Infeksi pada tempat Infeksi sekitar tempat
suntikam suntikan
3 Hypovolemia berat Kelainan neurologis
4 Koagulopati atau Kelainan psikis
mendapatkan terapi
antikoagulan
5 Tekanan intracranial Bedah lama
meninggi
6 Fasilitas resusitasi minim Penyakit jantung
J. KOMPLIKASI
Komplikasi analgesia spinal dibagi menjadi komplikasi dini dan
komplikasi lambat. Komplikasi berupa gangguan pada sirkulasi, respirasi
dan gastrointestinal. Komplikasi sirkulasi:10
1. Hipotensi
Tekanan darah yang turun setelah anestesi spinal sering terjadi.
Biasanya terjadinya pada 10 menit pertama setelah suntikan, sehingga
tekanan darah perlu diukur setiap 10 menit pertama setelah suntikan,
sehingga tekanan darah perlu diukur setiap 2 menit selama periode ini.
Jika tekanan darah sistolik turun dibawah 75 mmHg (10 kPa), atau
terdapat gejala-gejala penurunan tekanan darah, maka kita harus
bertindak cepat untuk menghindari cedera pada ginjal, jantung dan otak.
Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, makin tinggi
blok makin berat hipotesi.10
Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan infuse
cairan kristaloid (NaCl, Ringer laktat) secara cepat segera setelah
penyuntikan anestesi spinal dan juga berikan oksigen. Bila dengan
cairan infus cepat tersebut masih terjadi hipotensi harus diobati dengan
vasopressor seperti efedrin 15-25 mg intramuskular. Jarang terjadi, blok
spinal total dengan anestesi dan paralisis seluruh tubuh. Pada kasus
demikian, kita harus melakukan intubasi dan melakukan ventilasi paru,
serta berikan penanganan seperti pada hipotensi berat. Dengan cara ini,
biasanya blok spinal total dapat diatasi dalam 2 jam.10
2. Bradikardia
Bradikardia dapat terjadi karena aliran darah balik berkurang atau
karena blok simpatis, Jika denyut jantung di bawah 65 kali per menit,
berikan atropin 0,5 mg intravena.10
3. Sakit Kepala
Sakit kepala pasca operasi merupakan salah satu komplikasi
anestesi spinal yang sering terjadi. Sakit kepala akibat anestesi spinal
biasanya akan memburuk bila pasien duduk atau berdiri dan hilang bila
pasien berbaring.
Sakit kepala biasanya pada daerah frontal atau oksipital dan tidak
ada hubungannya dengan kekakuan leher. Hal ini disebabkan oleh
hilangnya cairan serebrospinal dari otak melalui pungsi dura, makin
besar lubang, makinbesar kemungkinan terjadinya sakit kepala. Ini
dapat dicegah dengan membiarkan pasien berbaring secara datar (boleh
menggunakan satu bantal) selama 24 jam.10
Nyeri sakit kepala PDPH menurut Crocker (1976)
dikelompokkan menjadi 4 skala yakni:
a) Nyeri kepala ringan yang memungkinkan periode lama untuk duduk
atau berdiri dan tanpa ada gejala tambahan lain.
b) Sakit kepala sedang, yang membuat pasien tidak dapat bertahan
berada pada posisi tegak lurus selama lebih dari setengah jam.
Biasanya di sertai dengan mual, muntah dan gangguan pendengaran
dan penglihatan.
c) Sakit kepala berat yang timbul segera ketika beranjak dari tempat
tidur, berkurang bila berbaring terlentang di tempat tidur. Sering
disertai dengan mual, muntah, gangguan penglihatan dan
pendengaran.
d) Nyeri kepala sangat berat yang timbul bahkan ketika penderita
sedang berbaring terlentang di tempat tidur dan bertambah makin
berat bila duduk atau berdiri, untuk makan tidak mungkin dilakukan
karena mual dan muntah.11
Ada beberapa terapi yang sering dipakai untuk penanganan
PDPH, baik invasif maupun non-invasif, yang tersedia bagi tim
anestesi. Walaupun tidak semuanya didukung oleh evidence based yang
lengkap, tetapi kebanyakan telah diterima dengan baik oleh berbagai
kalangan anestesiolog. Terapi non-invasif meliputi tirah baring, status
hidrasi, posisi, ikatanabdominal, analgesia, dan obat-obat farmakologis
lain seperti kaffein intravena, theophylline, dsb. Terapi invasif meliputi
Epidural Blood Patchdan Epidural Dextran.11
Terapi konservatif meliputi posisi berbaring, analgesia, stagen
abdomen, pemberian cairan infus atau oral, dan kaffein. Menjaga pasien
tetap supine akan mengurangi tekanan hidrostatik yang mendorong
cairan keluar dari lubang dura dan meminimalkan nyeri kepala.
Medikasi analgesia bisa berkisar dari asetaminofen sampai NSAID.
Hidrasi dan kaffein bekerja menstimulasi produksi CSF. Kaffein
membantu dengan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah
intrakranial. Salah satu yang menjadi faktor penentu terjadinya PDPH
adalah status hidrasi pasien, dimana konsep hidrasi pada PDPH masih
banyak salah dimengerti. Tujuan dari hidrasi adalah untuk memastikan
kecepatan produksi CSF optimal, dimanaselama 10 menit. Bila terjadi
perbedaan MAP lebih dari 10, maka dinyatakan Tilt Test positif dan
pasien masih belum terhidrasi dengan cukup.11
Epidural blood patch merupakan penanganan yang sangat efektif
terhadap PDPH. Dengan melakukan injeksi 15-20 cc darah autologous
ke ruang epidural pada, satu interspace dibawahnya atau pada tempat
tusukan dura. Hal ini dipercaya akan menghentikan kebocoran yang
terjadi pada CSF oleh karena efek massa atau koagulasi. Efeknya bisa
terjadi segera atau beberapa jam setelah tindakan ketika produksi CSF
secara perlahan akanmeningkatkan tekanan intrakranial yang
dibutuhkan. Sebanyak 90% pasien akan memberikan respon terhadap
tindakan blood patch ini.11
4. Komplikasi Respirasi
a) Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila
fungsi paru-paru normal.
b) Penderita PPOM atau COPD merupakan kontraindikasi untuk blok
spinal tinggi.
c) Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau
karena hipotensi berat dan iskemia medulla.
d) Kesulitanbicara,batukkeringyangpersisten,sesaknafas,merupakanta
nda- tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani
dengan pernafasan buatan.10
5. Komplikasi gastrointestinal
Nausea dan muntah karena hipotensi, hipoksia, tonus
parasimpatis berlebihan, pemakaian obat narkotik, reflek karena traksi
pada traktus gastrointestinal serta komplikasi delayed, pusing kepala
pasca pungsi lumbal merupakan nyerikepala dengan ciri khas terasa
lebih berat pada perubahan posisi dari tidur ke posisi tegak. Mulai terasa
pada 24-48jam pasca pungsi lumbal, dengan kekerapan yang bervariasi.
Pada orang tua lebih jarang dan pada kehamilan meningkat. 10
BAB 3
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. B
Umur : 61 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Berat badan : 60 kg
Alamat : Toboli
Pekerjaan : Wiraswasta
Agama : Islam
Diagnosa Pra Anestesi : Batu Staghorn (Nefrolithiasis)
Jenis Pembedahan : Pyelolithotomi
Tanggal Operasi : 28/03/2023
Jenis Anestesi : Regional Anestesi Subarachnoid Block
Ahli Anestesi : dr. Salsiah Hasan, Sp. An.K.I.C
Ahli Bedah : dr. Aristo, Sp, U
B. PENGKAJIAN MEDIS PASIEN
A. Anamnesis
1. Keluhan Utama : nyeri perut tembus belakang
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Seorang pasien laki-laki berusia 61 tahun datang dengan keluhan
nyeri perut tembus belakang disertai dengan nyeri pada pinggang
sebelah kanan yang dirasakan sejak + 1 minggu sebelum masuk
rumah sakit. Keluhan juga disertai nyeri saat berkemih serta riwayat
adanya hematuria (+). Pasien juga mengeluhkan nyeri ulu hati (+).
Demam (-), batuk (-), mual (-), muntah (-).
2. B2 (Blood)
- TD : 137/73 mmHg.
- Nadi reguler kuat angkat 95 x/mnt
- Konjungtiva anemis (-/-)
- Akral hangat, CRT < 2detik
3. B3 (Brain)
- Kesadaran : Compos mentis. GCS (E4M6V5)
- Mata : Refleks cahaya langsung dan tidak langsung (+/+), sclera
ikterik (-/-)
- Suhu : 37 0C
- VAS : 5 (saat pemeriksaan)
4. B4 (Bladder)
- Buang air kecil kurang lancar
- Urin berwarna kuning
- Nyeri saat berkemih (+), Riw. Hematuria (+)
5. B5 (Bowel)
- Nyeri perut (+), mual (-) muntah (-) jejas (-)
- Peristaltik (+) kesan normal, bising usus (-)
- BAB biasa.
6. B6 (Back & Bone)
- Pergerakan ekstremitas atas kanan (bebas)
- Pergerakan ekstremitas atas kiri (bebas)
- Pergerakan ekstremitas bawah kanan (bebas)
- Pergerakan ekstremitas bawah kiri (bebas)
- Ekstremitas : Akral hangat, pucat (-), edema (-)
- Fraktur atau dislokasi : (-)
C. Pemeriksaan Penunjang
Hasil Pemeriksaan Laboratorium
- Tabel 3.1. Hasil Laboratorium Darah Lengkap (16/03/2023)
D. ASSESMENT
- Status fisik ASA PS II
- Rencana anestesi : Regional Anestesi
- Diagnosis pra-bedah : Batu Staghorn (Nefrolitiasis) Bilateral
E. PLAN
- Jenis anastesi : Regional Anestesi
- Teknik anastesi : Spinal Anestesi Blok
- Regimen : Bupivacain 0,5% 10,5 mg
- Jenis Pembedahan : Pyelolithotomi
I. LAPORAN ANESTESI
a) Diagnosis pra-bedah : Batu Staghorn (Nefrolithiasis) Bilateral
b) Diagnosis post-bedah : Batu Staghorn (Nefrolithiasis) Bilateral Post
Pyelolithotomy
c) Jenis pembedahan : Pyelolithotomy
d) Anestesiolog : dr. Salsiah Hasan, Sp. An. K.I.C
e) Ahli bedah : dr. Aristo, Sp.U
f) Perispan anestesi : Informed consent
g) Jenis anestesi : Spinal Anastesi
h) Teknik anestesi : SAB
i) Preoksigenasi : O2 3 l/menit via nasal kanul
j) Medikasi anestesi : Bupivacaine 0,5%
k) Posisi : Supinasi
l) Respirasi : Spontan
m) Anestesi mulai : 09.00 WITA
n) Operasi mulai : 09.15 WITA
o) Selesai operasi : 10.35 WITA
p) Selesai anestesi : 10.38 WITA
q) Lama operasi : 60 menit
r) Lama anestesi : 1 jam 38 menit
s) Cairan yang masuk durante operasi : Ringer lactat 300 ml, Gelafusal 500 ml
t) Perdarahan : 100 cc
MONITORING
160
140 136
120 128 125
110 115 110
100 101 102 101
95 100 100 100 100 105
100
80 81 82 80 90
85 82 85 85
80 90
80 90 85
60 60 62 68 62 65 65 65
55 55 55
40
20
0
8:40 8:50 9:00 9:10 9:20 9:30 9:40 9:50 10:00 10:10 10:20 10:30 10:40
Sistolic 136 128 80 95 85 115 100 85 90 90 100 125 100
Heart Rate 101 110 102 101 90 82 85 80 80 100 110 100 105
Diastolic 81 82 55 55 60 62 68 55 62 65 65 85 65
KETERANGAN
= Mulai anestesi = Ondancentron 4 mg
= Mulai operasi = Efedrin 10 mg
= Selesai operasi
= Selesai anestesi
Monitoring Intraoperatif
Tekanan Nadi Saturasi Tindakan
Darah Oksigen
Medikasi :
Anestesi regional SAB spinal
09.00 80/55 102 98% dengan Bupivacaine 0,5%
15mg
Saat operasi berjalan pasien ini diberikan cairan ringer laktat 300 cc dan
Gelafusal 500 ml. Berdasarkan keterangan tersebut, maka Estimasi Blood Volume
(EBV) 4.200 cc. Pendarahan selama operasi +100 cc.
Operasi berlangsung selama 60 menit. Kemudian sebelum operasi selesai
pasien mendapatkan analgetik berupa Fentanyl 50 mcg drip dalam RL 500cc. Hal
ini sesuai dengan literature pada metode yang dikembangkan untuk mengobati
nyeri akut yaitu World Federation of Societies of Anaesthesiologists (WFSA)
Analgesic Ladder. Pada metode ini, nyeri awalnya dapat dianggap sebagai keadaan
yang berat sehingga perlu dikendalikan dengan analgesik yang kuat. Dalam hal ini,
Fentanyl berperan sebagai analgesic kuat golongan narkotika yang bekerja pada
reseptor opioid yang menghambat pelepasan presinaptik dan respon postsynaptic
yang merangsang neurontransmitter, misalnya asetilkolin, zat P neuron nosiseptif.
Nyeri pascaoperasi berkurang seiring waktu dan kebutuhan obat melalui suntikan
dapat dihentikan. Opioid kuat tidak lagi diperlukan dan analgesia yang memadai
dapat diperoleh dengan menggunakan kombinasi dari obat-obat yang bekerja di
perifer dan opioid lemah.
Pasien kemudian dipindahkan ke ruang pemulihan (Recovery Room)
dilakukan pemantauan di ruang recovery room. Saat di evaluasi selama 1 jam di
dapatkan tekanan darah 101/57, nadi 90 kali permenit, pernafasan 20x
permenit, Bromage score nilainya 0 sehingga pasien dapat di pindahkan ke
ruangan. Untuk penilaian Bromage Score nilai 0 pasien dapat melakukan gerakan
penuh pada tungkai bawah, nilai 1 pasien tidak dapat menekuk lutut tetapi dalam
mengangkat kaki, nilai 2 pasien tidak dapat mengangkat tungkai bawah tetapi masih
dapat menekuk lutut, dan pada nilai 3 pasien tidak dapat mengangkat kaki sama
sekali. Pasien dapat di pindahkn ke ruangan jika score kurang dari 2.
BAB V
PENUTUP