Anda di halaman 1dari 39

RESUME ETIKA PROFESIONAL TEORI-TEORI ETIKA DAN HAKIKAT EKONOMI

DAN BISNIS

Oleh :
1. Akbar Arindra Kusuma P (232020043)
2. Christian David Key (232020090)
3. Yordaniel Dhidan (232020094)
4. Alvin Benyamin (232020142)
5. Daniel Yudha Dharma C (232020189)

PROGRAM STUDI AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

2023
BAB 3 Teori-Teori Etika

Etika Absolut Versus Etika Relatif


Para penganut paham etika absolut dengan berbagi argumentasi yang masuk akal
meyakini bahwa ada prinsip-prinsip etika yang bersifat mutlak, berlaku universal kapanpun dan
di manapun. Sementara itu, para penganut etika relatif dengan berbagai argumentasi yang juga
tampak masuk akal membantah hal ini. Mereka justru mengatakan bahwa tidak ada prinsip atau
nilai moral yang berlaku umum.
Untuk memulai diskusi tentang hal ini, Rachels (2004) memberikan contoh menarik
mengenai keyakinan dua suku yang sangat berbeda, yaitu suku Callatia di India dan orang-orang
Yunani tentang perlakuan terhadap orang tua mereka saat meninggal dunia. Sebagai wujud rasa
hormat kepada orang tua mereka yang telah meninggal dunia, suku Callatia akan memakan
jenazah orang tua mereka, sedangkan orang-orang Yunani akan membakar jenazah orang tua
mereka. Ini sekadar salah satu ilustrasi yang barangkali dapat dipakai untuk mendukung
argumentasi para penganut etika relatif dimana kebudayaan yang berbeda akan menghasilkan
kode moral yang berbeda pula. Di antara tokoh-tokoh berpengaruh yang mendukung paham etika
relatif ini ada Joseph Fletcher (dalam Suseno 2006), yang terkenal dengan teori etika situasional-
nya. la menolak adanya norma-norma moral umum karena kewajiban moral selalu bergantung
pada situasi konkret, dan situasi konkret ini dalam kesehariannya tidak pernah sama, sedangkan
tokoh pendukung paham etika relatif antara lain Immanuel Kant dan James Rachels

Perkembangan Perilaku Moral


Teori perkembangan moral banyak dibahas dalam psikologi. Salah satu teori paling
berpengaruh yang dikemukakan oleh Kohlberg (dalam Atkinson et al., 1996) menyatakan bahwa
tiga tahap perkembangan moral berhubungan dengan pertumbuhan (usia) anak. Setiap tahap
dibagi menjadi dua sub-tahap dengan total enam tahap perkembangan. Namun, sebelum
membahas teori ini lebih jauh, ada baiknya terlebih dahulu menjelaskan beberapa konsep yang
berkaitan erat dengan pemahaman teori perkembangan moral ini. Beberapa konsep yang perlu
dijelaskan antara lain: perilaku etis (ethical behavior), perilaku tidak etis (unethical behavior),
perilaku di luar hati nurani (behavior) perilaku tidak etis), dan perkembangan moral (moral
development).
Perilaku moral adalah perilaku yang mengikuti kode moral kelompok masyarakat
tertentu. Moral dalam hal ini berarti adat kebiasaan atau tradisi. Perilaku tidak bermoral berarti
perilaku yang gagal mematuhi harapan kelompok sosial tersebut. Ketidakpatuhan ini bukan
karena ketidakmampuan memahami harapan kelompok tersebut, tetapi lebih disebabkan oleh
ketidaksetujuan terhadap harapan kelompok sosial tersebut, atau karena kurang merasa wajib
untuk mematuhinya. Perilaku di luar kesadaran moral adalah perilaku yang menyimpang dari
harapan kelompok sosial yang lebih disebabkan oleh ketidakmampuan yang bersangkutan dalam
memahami harapan kelompok sosial. Kebanyakan perilaku anak balita dapat digolongkan ke
dalam perilaku di luar kesadaran moral (unmoral behavior). Perkembangan moral (moral
development) bergantung pada perkembangan intelektual sescorang. Perkembangan moral ada
hubungannya dengan tahap-tahap perkembangan intelektual ini. Tatkala kemampuan persepsi
atau kemampuan pemahaman seorang anak meningkat, maka tahap perkembangan moral anak
tersebut juga meningkat. Berdasarkan asumsi ini. Kohlberg menawarkan model pengembangan
etika yang dirangkum dalam tabel berikut.
BEBERAPA TEORI ETIKA

Sebelum membahas berbagai teori etika yang ada, terlebih dahulu perlu dipahami apa
yang dimaksud dengan teori dan apa hubungan teori dengan ilmu. Teori merupakan tulang
punggung suatu ilmu.

Ilmu pada dasarnya adalah kumpulan pengetahuan yang bersifat menjelaskan berbagai
gejala alam (dan sosial) yang memungkinkan manusia melakukan serangkaian tindakan. untuk
menguasai gejala tersebut berdasarkan penjelasan yang ada, sedangkan tori adalah pengetahuan
ilmiah yang mencakup penjelasan mengenai suatu faktor tertentu dari sebuah disiplin keilmuan
(Suriasumantri,2000). Fungsi teori dan ilmu pengetahuan adalah untuk menjelaskan,
meramalkan, dan mengontrol. Misalnya, dalam ilmu Fisika dikenal teori gravitasi. Teori ini
menjelaskan mengapa setiap benda jika dilemparkan ke atas pada akhirnya akan jatuh kembali
ke bumi. Teori ini juga mampu menjelaskan pergerakan planet-planet di alam semesta yang
disebabkan oleh gaya gravitasi. Contoh lain, dalam ilmu ekonomi dikenal teori harga. Teori ini
menjelaskan proses terbentuknya harga barang dan jasa di pasar dalam sistem ekonomi pasar,
yaitu melalui proses pertemuan kekuatan hukum permintaan (demand) dan hukum penawaran
(Supply). Etika sebagai disiplin ilmu berhubungan dengan kajian secara kritis tentang adat
kebiasaan, nilai-nilai, dan norma-norma perilaku manusia yang dianggap baik atau tidak baik.
Sebagai ilmu, etika belum sampai ilmu fisika atau ilmu ekonomi.

Banyaknya teori etika yang berkembang tampak cukup membingungkan. Padahal, sifat teori
yang makin sederhana dan makin mengerucut menuju suatu teori tunggal yang mampu
menjelaskan suatu gejala secara komprehensif, justru semakin menunjukkan kemapanan disiplin
ilmu yang bersangkutan. Untuk memperoleh pemahaman tentang berbagai teori etika yang
berkembang, berikut ini diuraikan secara garis besar beberapa teori yang berpengaruh.

Egoisme

Rachels (2004) memperkenalkan dua konsep yang berhubungan dengan egoisme, yaitu:
egoisme, psikologis dan egoisme etis. Kedua konsep ini tampak mirip karena keduanya
menggunakan istilah egoisme, namun sebenarnya keduanya mempunyai pengertian yang
berbeda. Egoisme psikologis adalah suatu teori yang menjelaskan bahwa semua tindakan
manusia dimotivasi oleh kepentingan berkutat diri (selfish). Menurut teori ini, orang boleh saja
yakin bahwa ada tindakan mereka yang bersifat luhur dan suka berkorban, namun semua
tindakan yang terkesan Jahur dan/atau tindakan yang suka berkorban tersebut hanyalah ilusi.
Pada kenyataannya, setiap orang hanya peduli pada dirinya sendiri. Rachels sendiri juga
menjelaskan paham egoisme etis yang pengertiannya sering dikacaukan dengan paham egoisme
psikologis. Egoisme etis adalah tindakan yang dilandasi oleh kepentingan diri sendiri (self-
interest). Bila saya belajar sampai larut malam agar bisa lulus ujian, atau saya bekerja keras agar
memperoleh penghasilan yang lebih besar, atau saya mandi agar badan saya bersih, maka semua
tindakan saya ini dapat dikatakan dilandasi oleh kepentingan diri, namun tidak dapat dianggap
sebagai tindakan berkutat diri. Jadi, yang membedakan tindakan berkutat diri (egoisme
psikologis) dengan tindakan untuk kepentingan diri (egoisme etis) adalah pada akibatnya
terhadap orang lain.

Tindakan berkutat diri ditandai dengan ciri mengabaikan atau merugikan kepentingan
orang lain, sedangkan tindakan mementingkan diri tidak selalu merugikan kepentingan orang
lain. Membeli minyak tanah sebanyak satu liter untuk keperluan memasak adalah tindakan
mementingkan diri, sedangkan membeli minyak tanah sebanyak satu tangki mobil dengan tujuan
bisa dijual kembali dengan keuntungan tinggi disebut tindakan berkutat diri karena akibat
tindakan ini sangat merugikan. Banyak ibu-ibu rumah tangga yang dirugikan karena sulit
memperoleh minyak tanah, atau kalaupun bisa memperolehnya harus membayar dengan harga
tinggi.

Dengan perbedaan pemahaman seperti di atas, jelas bahwa paham egoisme psikologis dilandasi
oleh ketamakan sehingga tidak dapat dikatakan tindakan tersebut bersifat etis. Berikut pokok-
pokok pandangan egoisme etis ini (Rachels, 2004).

a. Egoisme etis tidak mengatakan bahwa orang harus membela kepentingannya sendiri
maupun kepentingan orang lain
b. Egoisme etis hanya berkeyakinan bahwa satu-satunya tugas adalah membela kepentingan
diri.
c. Meski egoisme etis berkeyakinan bahwa satu-satunya tugas adalah membela kepentingan
diri, tetapi egoisme etis juga tidak mengatakan bahwa Anda harus menghindari tindakan
menolong orang lain.
d. Menurut paham egoisme etis, tindakan menolong orang lain dianggap sebagai tindakan
untuk menolong diri sendiri karena mungkin saja kepentingan orang lain tersebut
berkaitan dengan kepentingan diri sehingga dalam menolong orang lain sebenarnya juga
dalam rangka memenuhi kepentingan diri.
e. Inti dari paham egoisme etis adalah bahwa kalau ada tindakan yang menguntungkan
orang lain, maka keuntungan bagi orang lain ini bukanlah alasan yang membuat tindakan
itu benar. Yang membuat tindakan itu benar adalah kenyataan bahwa tindakan itu
menguntungkan diri sendiri.

Paham/teori egoisme etis ini menimbulkan banyak dukungan sekaligus kritikan. Alasan yang
mendukung teori egoisme etis, antara lain:

a. Argumen bahwa altruisme adalah tindakan menghancurkan diri sendiri. Tindakan peduli
terhadap orang lain merupakan gangguan ofensif bagi kepentingan sendiri. Selain itu,
cinta kasih kepada orang lain juga akan merendahkan martabat dan kehormatan orang
tersebut.
b. Pandangan tentang kepentingan diri adalah pandangan yang paling sesuai dengan
moralitas akal sehat. Pada akhirnya semua tindakan dapat dijelaskan dari prinsip
fundamental kepentingan diri. Misalnya, kewajiban untuk tidak berbohong sebenarnya
berangkat dari kepentingan diri. Kalau kita sendiri sering berbohong kepada orang lain,
maka orang lain juga akan berbohong kepada kita yang pada gilirannya tentu berakibat
merugikan diri sendiri.

Alasan yang menentang teori egoisme etis antara lain:

a. Egoisme etis tidak mampu memecahkan konflik-konflik kepentingan. Kita memerlukan


aturan moral karena dalam kenyataannya sering kali dijumpai kepentingan-kepentingan
yang bertabrakan.
b. Egoisme etis bersifat sewenang-wenang. Misalnya, dalam suatu keadaan di mana
kepentinganku, agamaku, sukuku, atau negaraku berbeda dengan kepentingannya,
agamanya, sukunya, atau negaranya, maka menurut paham ini tentu yang diutamakan
adalah kepentinganku, agamaku, sukuku, atau negaraku. Bila hal ini terjadi, apakah
tindakan ini dapat diterima? Egoisme etis dapat dijadikan sebagai pembenaran atas
timbulnya rasisme, seperti yang pernah dilakukan oleh Nazi Hitler dan politik apartheid
yang pernah terjadi di Afrika Selatan.

Utilitarianisme

Utilitarianisme berasal dari kata Latin utilis, kemudian menjadi kata Inggris utility yang
berarti bermanfaat (Bertens, 2000). Menurut teori ini, suatu tindakan dapat dikatakan baik jika
membawa manfaat bagi sebanyak mungkin anggota masyarakat, atau dengan istilah yang sangat
terkenal: "the greatest happiness of the greatest numbers". Jadi, ukuran baik tidaknya suatu
tindakan dilihat dari akibat, konsekuensi, atau tujuan dari tindakan itu apakah memberi manfaat
atau tidak. Itulah sebabnya, paham ini disebut juga paham teleologis. Teleologis berasal dari kata
Yunani telos yang berarti tujuan (Bertens, 2000). Perbedaan paham utilitarianisme dengan
paham egoisme etis terletak pada siapa yang memperoleh manfaat. Egoisme etis melihat dari
sudut pandang kepentingan individu, sedangkan paham utilitarisme melihat dari sudut
kepentingan orang banyak (kepentingan bersama, kepentingan masyarakat).

Dari uraian sebelumnya, paham utilitarisme dapat diringkas sebagai berikut:

1. Dalam mengukur akibat dari suatu tindakan, satu-satunya parameter yang penting adalah
jumlah kebahagiaan atau jumlah ketidakbahagiaan.
2. Kesejahteraan setiap orang sama pentingnya.
3. Tindakan harus dinilai benar atau salah hanya dari konsekuensinya (akibat, tujuan, atau
hasil)

Teori ini mendapat dukungan luas karena mengaitkan moralitas dengan kepentingan
orang banyak dan kelestarian alam. Tori ini juga memperoleh pijakannya dalam ilmu ekonomi
dan manajemen dengan diperkenalkannya konsep cost and benefit dan paham stakeholders.
Uraian mengenai konsep cost and benefit dan paham stakeholders akan diberikan pada
pembahasan bab berikutnya. Walaupun teori utilitarianisme mendapat dukungan luas, namun
tidak urung juga memperoleh kritikan tajam. Beberapa kritik yang dilontarkan terhadap paham in
antara lain:

- Sebagaimana paham egoisme, utilitarianisme juga hanya menekankan tujuan/manfaat


pada pencapaian kebahagiaan duniawi dan mengabaikan aspek rohani (spiritual).

- Utilitarianisme mengorbankan prinsip keadilan dan hak individu/minoritas demi


keuntungan sebagian besar orang (mayoritas). Contoh: kasus dalam pembebasan tanah untuk
pembangunan jalan tol. Demi alasan untuk kepentingan sebagian besar masyarakat,
pemerintah atau pengelola jalan tol dapat saja memberikan ganti rug paksa (dengan harga di
bawah harga pasar) kepada para pemilik tanah yang terkena jalur jalan tol tersebut. Demi
kepentingan yang lebih besar-sering demi alasan untuk kepentingan nasional- pemerintah
dibenarkan untuk melanggar rasa keadilan atau mengorbankan hak individu pemilik tanah
yang tanahnya digusur untuk pembangunan jalan tol tersebut. Contoh serupa, demi
kepentingan keamanan nasional, pemerintah dibenarkan melakukan penembakan misterius
terhadap para penjahat tapa memberikan kesempatan kepada para penjahat tersebut membela
diri melalui proses peradilan yang transparan dan adil. Banyak kasus serupa yang dapat
dijadikan alasan pembenaran bagi pejabat/otoritas untuk melakukan tindakan tidak adil atau
tindakan melanggar hak individu/minoritas, asal sebagian besar orang (mayoritas)
memperoleh manfaat.

Deontologi

Istilah deontologi berasal dari kata Yunani deon yang berarti kewajiban (Bertens, 2000).
Paham ini dipelopori oleh Immanuel Kant (1724-1804) dan kembali mendapat dukungan dari
filsuf abad ke-20, Anscombe dan suaminya, Peter Geach (Rachels, 2004).

Paradigma teori deontologi sangat berbeda dengan paham egoisme dan utilitarianisme
yang sudah dibahas. Kedua teori yang disebut terakhir, yaitu teori egoisme dan utilitarianisme
sama-sama menilai baik buruknya suatu tindakan dari akibat, konsekuensi, atau tujuan dari
tindakan tersebut. Bila akibat dari suatu tindakan memberikan manfaat entah untuk individu
(egoisme) atau untuk banyak orang/kelompok masyarakat (utilitarianisme), maka tindakan itu
dikatakan etis. Sebaliknya, jika akibat suatu tindakan merugikan individu atau sebagian besar
kelompok masyarakat, maka tindakan tersebut dikatakan tidak etis. Teori yang menilai suatu
tindakan berdasarkan hasil, konsekuensi, atau tujuan dari tindakan tersebut disebut teori
teleologi.

Sangat berbeda dengan paham teleologi yang menilai etis atau tidaknya suatu tindakan
berdasarkan hasil, tujuan, atau konsekuensi dari tindakan tersebut, paham deontologi justru
mengatakan bahwa etis tidaknya suatu tindakan tidak ada kaitannya sama sekali dengan tujuan,
konsekuensi, atau akibat dari tindakan tersebut. Konsekuensi suatu tindakan tidak boleh menjadi
pertimbangan untuk menilai etis atau tidaknya suatu tindakan. Suatu perbuatan tidak pernah
menjadi baik karena hasilnya baik. Hasil baik tidak pernah menjadi alasan untuk membenarkan
suatu tindakan, melainkan hanya karena kita wajib melaksanakan tindakan tersebut demi
kewajiban itu sendiri. Contohnya adalah kisah terkenal Robinhood yang merampok kekayaan
orang-orang kaya dan hasilnya dibagikan kepada rakyat miskin. Tujuan tindakan Robinhood
sangat mulia, yaitu membantu orang miskin. Namun alasan membantu orang miskin in tidak
serta-merta membenarkan tindakan merampok tersebut.

Untuk memahami lebih lanjut tentang paham deontologi ini, sebaiknya dipahami terlebih dahulu
dua konsep penting yang dikemukakan oleh Kant, yaitu konsep imperative hypothesis dan
imperative categories. Imperative hypothesis adalah perintah-perintah (ought) yang bersifat
khusus yang harus diikuti jika seseorang mempunyai keinginan yang relevan. Perhatikan contoh-
contoh berikut,

a. Kalau Anda ingin menjadi sarjana akuntansi, Anda harus (ought) memasuki Fakultas
Ekonomi jurusan akuntansi.
b. Kalau Anda ingin menjadi pemain bola yang berhasil, Anda harus rajin berlatih sepak
bola.
c. Kalau Anda ingin berhasil dalam studi, Anda harus rajin belajar, dan seterusnya.

Lalu impressive categories adalah kewajiban moral yang mewajibkan kita begitu saja tanpa
syarat apa pun. Dalam hal ini, kewajiban moral bersifat mutlak tanpa ada pengecualian apa pun
dan tanpa dikaitkan dengan keinginan atau tujuan apapun.

Teori Hak
Teori hak adalah tindakan atau perbuatan dianggap baik bila perbuatan atau tindakan
tersebut sesuai dengan hak asasi manusia (HAM). Namun sebagaimana dikatakan oleh Bertens
(2000), teori hak merupakan suatu aspek dari teori deontologi (teori kewajiban) karena hak tidak
dapat dipisahkan dengan kewajiban - bagaikan satu keping mata uang logam yang sama dengan
dua sisi. Bila suatu tindakan merupakan hak bagi seseorang, maka sebenarnya tindakan yang
sama merupakan kewajiban bagi orang lain. Teori hak sebenarnya didasarkan atas asumsi bahwa
manusia mempunyai martabat dan semua manusia mempunyai martabat yang sama.

Hak asasi manusia didasarkan atas beberapa sumber otoritas (Weiss, 2006), yaitu: hak
hukum (legal right), hak moral atau kemanusiaan (moral, human right), dan hak kontraktual
(contractual right). Hak legal adalah hak yang didasarkan atas sistem/yurisdiksi hukum suatu
negara, di mana sumber hukum tertinggi suatu negara adalah Undang- Undang Dasar negara
yang bersangkutan. Contohnya, hak legal warga negara Amerika Serikat bersumber dari
Constitution and Declaration of independence dalam bentuk hak untuk hidup, hak kebebasan,
hak untuk memperoleh kebahagiaan, dan hak kebebasan berbicara. Hak moral dihubungkan
dengan pribadi manusia secara individu, atau dalam beberapa kasus dihubungkan dengan
kelompok--bukan dengan masyarakat dalam arti luas. Hak moral berkaitan dengan kepentingan
individu sepanjang kepentingan individu itu tidak melanggar hak-hak orang lain. Hak
kontraktual mengikat individu-individu yang membuat kesepakatan/kontrak bersama dalam
wujud hak dan kewajiban masing-masing pihak.

Indonesia juga telah mempunyai Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia yang diatur dalam
UU Nomor 39 Tahun 1999. Hak-hak warga negara yang diatur dalam UU ini (dalam Bazar
Harahap dan Nawangsih Sutardi, 2007), antara lain:

● Hak untuk hidup


● Hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan
● Hak untuk memperoleh keadilan
● Hak untuk kebebasan pribadi
● Hak atas rasa aman
● Hak atas kesejahteraan
● Hak untuk turut serta dalam pemerintahan
● Hak wanita
● Hak anak

Saat in bukan hanya pemerintah negara-negara di dunia (melalui piagam PBB) saja yang
menaruh perhatian pada isu HAM. Perusahaan-perusahaan multinasional yang operasinya
melintasi batas-batas suatu negara juga mulai menaruh perhatian pada isu HAM ini. Beberapa
prinsip HAM yang dijadikan acuan bagi pengelolaan perusahaan multinasional (PMN) menurut
Weiss (2006), antara lain sebagai berikut:

a. PMN/harus menghormati hak semua orang untuk kehidupan, kebebasan, keamanan, dan
privasi.
b. PMN harus menghormati hak semua orang atas persamaan perlindungan hukum,
pekerjaan, pilihan jenis pekerjaan, kondisi kerja yang sehat dan nyaman, serta
perlindungan untuk memberantas pengangguran dan diskriminasi.
c. PMN harus menghormati kebebasan semua orang atas pemikiran, ilmu pengetahuan,
agama, ekspresi dan pendapat, komunikasi, asosiasi dan organisasi damai, serta
pergerakan di setiap.
d. PMN harus mendukung suatu standar hidup untuk menunjang kesehatan serta
kesejahteraan pekerja dan keluarganya.
e. PMN harus memberikan perhatian khusus dan bantuan bag ibu dan anak.

Pada level perusahaan, tori HAM in banyak dirujuk untuk menilai tindakan manajemen terhadap
karyawannya, apakah karyawannya telah diperlakukan secara manusiawi sesuai dengan prinsip-
prinsip HAM yang berlaku universal atau belum. Pada level pemerintahan dan kerja sama antar
negara, pihak-pihak yang memiliki kepentingan pada penegakan HAM--seperti PBB, para
pemerhati HAM, dan organisasi-organisasi kemanusiaan seperti Lembaga Swadaya Masyarakat
(ISM) - berfungsi sebagai penjaga HAM (watchdog) bagi tindakan setiap pemerintah terhadap
warga negaranya, apakah berbagai kebijakan dan tindakan pemerintahnya telah sesuai dengan
prinsip-prinsip HAM tersebut.

Teori Keutamaan (Virtue Theory)


Teori keutamaan sebenarnya telah lahir sejak zaman dahulu yang didasarkan atas
pemikiran Aristoteles (384-322 SM) yang sempat tenggelam, tetapi sekarang ini kembali
mendapatkan momentumnya. Berbeda dengan teori teleologi dan deontologi yang keduanya
sama-sama menyoroti moralitas berangkat dari suatu tindakan, tori keutamaan berangkat dari
manusianya (Bertens, 2000).

Teori keutamaan tidak menanyakan tindakan mana yang etis dan tindakan mana yang tidak etis.
Bila ini ditanyakan pada penganut paham egoisme, maka jawabannya adalah: suatu tindakan
disebut etis bila mampu memenuhi kepentingan individu (self-interest) dan suatu tindakan
disebut tidak etis bila tidak mampu memenuhi kepentingan individu yang bersangkutan. Bila ini
ditanyakan kepada para penganut paham utilitarianisme, maka suatu tindakan disebut etis bila
mampu memberikan manfaat/ kegunaan sebanyak-banyaknya bagi sebanyak mungkin anggota
masyarakat, dan suatu tindakan disebut tidak etis bila akibatnya lebih banyak merugikan
sebagian besar anggota masyarakat.

Tidak seperti kedua teori yang telah dijelaskan sebelumnya, dasar pemikiran teori
keutamaan sangat berbeda. Teori ini tidak lagi mempertanyakan suatu tindakan, tetapi berangkat
dari pertanyaan mengenai sifat-sifat atau karakter yang yang harus dimiliki oleh seseorang agar
bisa disebut sebagai manusia utama, dan sifat-sifat atau karakter yang mencerminkan manusia
hina. Dengan demikian, karakter/sifat utama dapat didefinisikan sebagai disposisi sifat/watak
yang telah melekat/dimiliki oleh seseorang dan memungkinkan dia untuk selalu bertingkah laku
yang secara moral dinilai baik. Mereka yang selalu melakukan tingkah laku buruk secara moral
disebut manusia hina. Bertens (2000) memberikan beberapa contoh sifat keutamaan, antara lain:
kebijaksanaan, keadilan, dan kerendahan hati. Sedangkan untuk pelaku bisnis, sifat-sifat utama
yang perlu dimiliki antara lain: kejujuran, kewajaran (fairness), kepercayaan, dan keuletan.

Dalam ilmu psikologi, karakter merupakan disposisi sifat/watak seseorang. Sebagaimana


telah dijelaskan pada bab sebelumnya, karakter seseorang ditentukan oleh kebiasaannya,
sedangkan kebiasaan dibentuk oleh tindakan yang berulang-ulang. Tindakan yang berulang-
ulang ditentukan oleh tujuan/makna hidup yang ingin dicapai, dan makna hidup ditentukan oleh
pola/paradigma berpikir. Berdasarkan asumsi ini, sebenarnya tori keutamaan bukan merupakan
teori yang berdiri sendiri dan terpisah dari teori etika tindakan (deontologi, teleologi) karena sifat
keutamaan bersumber dari tindakan yang berulang-ulang. Hubungan antar berbagai teori ini akan
dijelaskan pada pembahasan berikutnya.

Teori Etika Teonom

Sampai di sini telah dibahas beberapa tori etika yang berpengaruh, mulai dari teori etika
egoisme dan utilitarianisme (keduanya sering disebut teori teleologi, konsekuensi, atau tujuan),
teori kewajiban (deontologi), teori hak, serta teori keutamaan (virtue theory atau disebut juga
teori karakter). Walaupun teori-teori ini tampak berbeda karena sudut pandang yang berbeda,
namun semuanya mempunyai. Kesamaan tersebut terletak pada kajian aspek moralitas, di mana
moralitas hanya dikaji berdasarkan proses penalaran (akal) manusia tanpa ada yang mengakui
atau mengaitkannya dengan kekuatan tak terbatas (Tuhan). Oleh karena itu, kriteria baik
buruknya perilaku manusia hanya dikaitkan dengan tujuan kebahagiaan/kenikmatan yang
bersifat duniawi. Dalam teori etikanya. walaupun Kant mencoba mengungkapkan bahwa ada
kewajiban moral yang bersifat mutlak, namun ia mengatakan bahwa manusia harus mengikuti
kewajiban moral tersebut demi kewajiban itu sendiri, bukan karena adanya tujuan, apalagi
dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat ilahi.

Peschke S.V.D. (2003) mengkritik berbagai paham/aliran teori etika yang telah ada
terutama yang telah diungkapkan oleh para pemikir/etikawan Barat seperti diungkapkan
sebelumnya. Keterbatasan teori-teori yang ada adalah mereka tidak mengakui adanya kekuatan
tak terbatas (Tuhan) yang ada di belakang semua hakikat keberadaan alam semesta ini. Oleh
karena itu, mereka keliru menafsirkan tujuan hidup manusia hanya untuk memperoleh
kebahagiaan/kenikmatan yang bersifat duniawi saja. Sebenarnya setiap agama mempunyai
filsafat etika yang hampir sama. Salah satunya adalah teori etika teonom yang dilandasi oleh
filsafat Kristen. Teori in mengatakan bahwa karakter moral manusia ditentukan secara hakiki ole
kesesuaian hubungannya dengan kehendak Allah. Perilaku manusia secara moral dianggap baik
jika sepadan dengan kehendak Allah, dan perilaku manusia dianggap tidak baik bila tidak
mengikuti aturan-aturan/perintah Allah sebagaimana telah dituangkan dalam kitab suci.
Sebagaimana diakui oleh semua penganut agama di dunia bahwa ada tujuan tertinggi (tujuan
akhir) yang ingin dicapai umat manusia selain tujuan yang bersifat duniawi, yaitu untuk
memperoleh kebahagiaan surgawi-kebahagiaan rohaniah yang melampaui semua hal yang
bersifat duniawi.

Ada empat persamaan fundamental filsafat etika semua agama, yaitu:

a. Semua agama mengakui bahwa umat manusia memiliki tujuan tertinggi selain tujuan
hidup di dunia. Hindu menyebutnya moksa, Budha menyebutnya nirwana, Islam
menyebutnya akhirat, dan Kristen menyebutnya surga. Apa pun sebutannya, berarti sama
mengakui adanya eksistensi non duniawi yang menjadi tujuan akhir umat manusia.
b. Semua agama mengakui adanya Tuhan dan semua agama mengakui adanya kekuatan tak
terbatas yang mengatur alam raya ini.
c. Etika bukan saja diperlukan untuk mengatur perilaku hidup manusia di dunia, tetapi juga
sebagai salah satu syarat mutlak untuk mencapai tujuan akhir (tujuan tertinggi) umat
manusia-dan ini adalah yang terpenting.
d. Semua agama mempunyai ajaran moral (etika) yang bersumber dari kitab suci masing-
masing. Ada prinsip-prinsip etika yang bersifat universal dan bersifat mutlak yang
dijumpai di semua agama, tetapi ada juga yang bersifat spesifil/berbeda dan hanya ada
pada agama tertentu saja.

ETIKA ABAD KE-20


a. Arti Kata “Baik” Menurut George Edward Moore
Moore beranggapan bahwa kata baik tidak dapat didefinisikan. Anggapan tersebut
didasari alasan bahwa kata baik mempunyai sifat primer. Suatu kata tidak dapat
didefinisikan jika kata tersebut tidak terdiri dari bagian-bagian sehingga tidak dapat
dianalisis. Setiap usaha untuk mendefinisikannya akan membuat sebuah kerancuan.
b. Tatanan Nilai Max Scheller
Tatanan Nilai yang dikemukakan oleh Max Scheller mengatakan bahwa
kewajiban bukanlah unsur primer, melainkan mengikuti apa yang bernilai. Nilai
merupakan kewajiban manusia untuk memenuhi sesuatu demi mencapai sesuatu yang
baik. Intinya tindakan moral adalah tujuan merealisasikan nilai-nilai dan bukan asal
memenuhi kewajiban saja. Nilai-nilai bersifat material dan apriori. Material disini sebagai
lawan dari kata formal, sedangkan apriori memiliki arti kebernilaian suatu nilai tersebut
mendahului segala pengalaman. Menurut Scheller, ada empat gugus nilai, yaitu nilai-nilai
sekitar enak dan tidak enak, nilai-nilai vital, nilai-nilai rohani murni, dan nilai nilai
sekitar roh kudus.
c. Etika Situasi Joseph Fletcher
Joseph Fletcher berpendapat bahwa setiap kewajiban moral selalu bergantung
pada situasi yang konkret. Situasi konkret sendiri tidak selalu sama ketika terjadi. Sesuatu
bisa menjadi baik maupun jahat tergantung dari situasi yang sedang terjadi. Hal ini yang
menyebabkan etika Fletcher disebut sebagai etika situasi.
d. Pandangan Penuh Kasih Iris Murdoch
Teori Murdoch mengatakan bahwa bukan kemampuan otonom yang menciptakan
nilai, melainkan kemampuan melihat dengan penuh kasih dan adil. Hanya pandangan adil
dan penuh kasih yang menghasilkan pengertian yang betul-betul benar.
e. Pengelolaan Kelakuan Byrrhus Frederic Skinner
Skinner mengatakan bahwa pendekatan filsafat tradisional dan ilmu manusia tidak
memadai sehingga yang diperlukan bukanlah ilmu etika, namun teknologi kelakuan. Ide
dasar skinner adalah menemukan teknologi/cara untuk mengubah perilaku. Pengaruh
lingkungan terhadap kelakuan manusia tidak diperhatikan karena filsafat dan ilmu-ilmu
manusia lainnya hanya memfokuskan perhatiannya pada inner state. Namun, inner state
saja tidak cukup untuk mampu mengubah tingkah laku. Perlu ada rekayasa atas kondisi
kehidupan yang berasal dari luar diri manusia untuk mengubah kelakuannya.
f. Prinsip Tanggung Jawab Hans Jonas
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa kemajuan, namun
juga masalah baru berupa ancaman bagi kehidupan manusia. Etika tradisional tidak dapat
menghadapi ancaman global karena hanya memperhatikan akibat tindakan manusia
dalam lingkungan dekat dan sesaat. Oleh karena itu, Jonns menekankan pentingnya
dirancang etika baru yang berfokus pada tanggungjawab. Manusia memiliki kewajiban
untuk bertanggung jawab atas keutuhan kondisi-kondisi kehidupan umat manusia di masa
depan.
g. Kegagalan Etika Pencerahan Alasdair Maclntyre
Maclntyre mengatakan bahwa etika pencerahan telah gagal karena pencerahanan
atas nama rasionalitas justru telah membuang apa yang menjadi dasar rasionalitas setiap
ajaran moral, yaitu pandangan teologis tentang manusia. Manusia sebenarnya memiliki
tujuan hakiki dan manusia hidup untuk mencapai tujuan itu. Moralitas dipahami sebagai
jalan ke tujuan hakiki tersebut. Ketika tujuan hakiki umat manusia dibuang dari ilmu
etika, maka etika tidak lagi rasional. Oleh karena itu, Maclntrye menganjurkan agar etika
kembali pada paham teologis tentang manusia.

Teori Etika dan Paradigma Hakikat Manusia


Setelah mengulas berbagai filosofi, konsep tentang hakikat alam semesta dan hakikat
manusia, serta setelah mengupas pokok-pokok pikiran dari berbagai macam teori etika yang
berkembang, maka dapat dirangkum beberapa hal sebagai berikut:
a. Tampaknya sampai saat ini telah muncul berbagai paham/teori etika, di mana masing-
masing teori mempunyai pendukung dan penentang yang cukup berpengaruh. Teori satu
dipertentangkan dengan teori lainnya.
b. Munculnya berbagai teori etika karena adanya perbedaan paradigma, pola pikir, atau
pemahaman tentang hakikat hidup sebagai manusia.
c. Hampir semua teori etika yang ada didasarkan atas paradigma tidak utuh tentang hakikat
manusia, artinya setiap teori hanya ditinjau dari proses penalaran berdasarkan potongan-
potongan terpisah dan terbatas dalam melihat makna atau tujuan hidup.
d. Semua teori yang seolah-olah saling bertentangan tersebut sebenarnya tidaklah
bertentangan.
e. Teori-teori yang tampak bagaikan potongan-potongan terpisah ini dapat dipadukan
menjadi satu teori tunggal berdasarkan paradigma hakikat manusia secara utuh.
f. Inti dari etika manusia utuh adalah keseimbangan pada :
- Kepentingan pribadi, kepentingan masyarakat dan kepentingan Tuhan.
- Keseimbangan moral materi (PQ dan IQ), modal social (EQ), dan modal spiritual
(SQ).
- Kebahagiaan lahir (duniawi), kesejahteraan masyarakat dan kebahagiaan batin
surgawi.
- Keseimbangan antara hak (individu) dengan kewajiban kepada masyarakat dan
Tuhan.

Dengan menggunakan model pengembangan teori etika menurut sukrisno agoes dalam
bukunya yang berjudul etika bisnis dan profesi menjelaskan bahwa berdasarkan
paradigma/pemahaman atas hakikat manusia, dapat dipahami mengapa sampai saat ini
telah berkembang berbagai teori dengan argumentasi/sudut pandang penalaran yang
berbeda. Paradigma/pemahaman tentang hakikat manusia akan menentukan tujuan hidup
atau nilai-nilai yang ingin dicapai yang mana nilai-nilai tersebut melatarbelakangi setiap
paham/teori etika dan norma moral yang ada. Teori dan norma moral ini selanjutnya menjadi
pedoman dalam setiap tindakan yang dilakukan. Tindakan yang dilakukan secara berulang-
ulang akan membentuk kebiasaan, kebiasaan akan membentuk karakter, dan karakter
menentukan seberapa efektif nilai-nilai yang diharapkan dapat tercapai. Nilai-nilai yang telah
direalisasikan akan menjadi bahan evaluasi serta refleksi untuk menilai kembali paradigm
sebagai manusia dan tujuan hidup yang ingin direalisasikan.
Sukrisno Agoes dalam bukunya menjelaskan teori egoisme berawal dari buah
pemikiran para pengikutnya bahwa makna hidup setiap orang adalah untuk merealisasikan
kepentingan diri secara individu. Dapat disimpulkan bahwa yang dikejar adalah nilai-nilai
kenikmatan duniawi secara individu. Agar kepentingan individu dapat tercapai maka setiap
orang harus menghormati hak dan kebebasan setiap orang. Beriringan membersamai teori
egoisme, lahirlah teori hak. Manusia diciptakan bukan untuk menikmati kebahagiaan duniawi,
tetapi untuk mencapai nilai-nilai tertinggi dalam bentuk kebahagiaan surgawi. Dasar
pemahaman inilah yang kemudian berkembang melahirkan sebuah teori teonom, sebuah
teori yang menitikberatkan pada kebahagiaan di akhirat. Selain itu ada juga teori yang
berkembang dari teori egoism yakni teori utilitarianisme yang menekankan pada
kepentingan kelompok/masyarakat. Dapat dipahami dasar perbedaannya bahwa teori egoisme
condong kepada kepentingan individu dan teori utilitarianisme arahnya kepada masyarakat.
Berbicara dengan kepentingan pribadi dan masyarakat maka setiap orang berhak untuk
mengupayakan kebahagiaannya. Dalam teorinya terbagi menjadi dua antara teori hak dan
teori kewajiban (deontologi). Teori deontologi lebih menyoroti akan pentingnya kewajiban
setiap orang, sedangkan teori hak menyatakan dari sisi hak setiap orang. Jika setiap orang
menuntut haknya berarti orang lain punya kewajiban untuk menghormati hak seseorang tersebut.

Tantangan ke Depan Etika Sebagai Ilmu


Tantangan etika ke depan hendaknya didasarkan pada paradigma manusia utuh,
yaitu pola pikir yang mengeluarkan integritas dan keseimbangan pada :
a. Pertumbuhan PQ, IQ, EQ, dan SQ,
b. Kepentingan individu, kepentingan masyarakat dan kepentingan tuhan,
c. Keseimbangan tujuan lahiriah (duniawi) dengan tujuan rohaniah (spiritual).
Nilai-nilai yang hendak dicapai pada tahap kesadaran manusiawi memang belum yang
paling ideal karena yang ideal berarti manusia telah berada pada titik kesadaran transendental.
Pada titik tersebut menandakan seorang manusia telah mencapai nilai tertinggi pada
hakikat manusia, yaitu manusia yang sebagian besar hidupnya dipersembahkan untuk
melayani tuhan dan tidak tertarik lagi pada hal-hal yang sifatnya duniawi.
Setiap manusia yang masih aktif berkegiatan dalam sehari-hari seperti halnya
membina rumah tangga, menjalankan kegiatan organisasi lainnya hal apapun yang masih
memerlukan pemenuhan tujuan hidup yang bersifat duniawi tersebut jangan sampai
melupakan pengembangan aspek fisik, mental, dan spiritual. Etika harus dimaknai sebagai
pedoman perilaku menuju peningkatan semua kecerdasan dan kesadaran manusia secara
utuh, yaitu pertumbuhan dan pemenuhan kebutuhan fisik (PQ), kecerdasan intelektual (IQ),
kecerdasan sosial (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ).
Dari banyak hal yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya
semua teori etika yang pada awal kemunculannya bagaikan potongan-potongan terpisah
dan berdiri sendiri, ternyata dapat dipadukan karena sifatnya yang saling melengkapi dan
inti dari hakikat manusia utuh adalah keseimbangan yang dapat diringkas sebagai berikut :
a. Keseimbangan antara hak (teori hak) dan kewajiban (teori deontology)
b. Keseimbangan tujuan duniawi (teori teleology) dan rohani (teori teonom)
c. Keseimbangan antara kepentingan individu (teori egoisme) dan kepentingan
masyarakat (teori utilitarianisme)
d. Gabungan ketiga butir diatas akan menentukan karakter seseorang (teori keutamaan)
e. Hidup merupakan proses evolusi kesadaran. Teori perkembangan moral Kohlberg
menjelaskan proses evolusi kesadaran ini. Teori-teori etika yang dapat dianalogikan
dengan alur proses evolusi kesadaran, yaitu hak (egoisme) -> utilitarianisme ->
kewajiban (deontology) -> teonom -> keutamaan

BAB 4 Hakikat Ekonomi Dan Bisnis

Hakikat Ekonomi
Ekonomi berasal dari kata Yunani oikonomia yang berarti pengelolaan rumah. Yang
dimaksud dengan pengelolaan rumah adalah cara rumah tangga memperoleh dan menghasilkan
barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup (fisik) anggota rumah tangganya. Dari sini
berkembang disiplin ilmu ekonomi yang dapat didefinisikan sebagai ilmu yang berhubungan
dengan produksi, distribusi, dan konsumsi.
Ilmu ekonomi berkembang berdasarkan asumsi dasar yang masih dipegang hingga saat
ini, yaitu adanya kebutuhan (needs) manusia yang tidak terbatas dihadapkan pada sumber daya
yang terbatas (scarce resources) sehingga menimbulkan persoalan bagaimana mengeksploitasi
sumber daya yang terbatas tersebut secara efektif dan efisien guna memenuhi kebutuhan manusia
yang tak terbatas.
Ilmu ekonomi modern dewasa ini telah menanamkan paradigma tentang hakikat manusia
sebagai berikut:
a. Manusia adalah makhluk ekonomi
b. Manusia mempunyai kebutuhan tak terbatas
c. Dalam upaya merealisasikan kebutuhannya manusia bertindak rasional
Dampak dari paradigma ini adalah:
a. Tujuan hidup manusia hanya mengejar kekayaan materi dan melupakan tujuan spiritual
b. Manusia cenderung hanya mempercayai pikiran rasionalnya saja dan mengabaikan adanya
potensi kesadaran transendental (kesadaran spiritual, kekuatan tak terbatas, Tuhan) yang dimiliki
manusia
c. Mengajarkan bahwa sifat manusia itu serakah.
Etika dan Sistem Ekonomi
Sistem ekonomi adalah jaringan berbagai unsur yang terdiri atas pola pikir, konsep, teori,
asumsi dasar, kebijakan, infrastruktur, institusi, seperangkat hukum, pemerintahan, negara,
rakyat, dan unsur terkait lainnya yang semuanya ditunjukkan untuk meningkatkan produksi dan
pendapatan masyarakat. Dengan mempelajari sejarah ekonomi, kita dapat mengetahui adanya
dua paham sistem ekonomi ekstrim yang berkembang, yaitu ekonomi kapitalis dan ekonomi
komunis.
Inti dari paham ekonomi kapitalis adalah adanya kebebasan individu untuk memiliki
mengumpulkan dan mengusahakan kekayaan secara individu. John Locke (1723-1790)
mengatakan bahwa manusia mempunyai tiga kodrat dasar yang harus dihormati, yaitu: life,
freedom, and property. Selanjutnya, pemikiran Adam Smith tentang pasar bebas dalam ekonomi
mendukung tumbuhnya sistem ekonomi kapitalis. Ada 2 ciri pokok dari sistem ekonomi
kapitalis, yaitu: liberalisme kepemilikan dan dukungan ekonomi pasar bebas. Dengan pemikiran
seperti ini, sistem ekonomi kapitalis sebenarnya dilandasi oleh teori etika egoisme dan etika hak,
serta mendapat pembenaran dari kedua teori tersebut. Menurut etika egoisme, suatu tindakan
dianggap baik bila setiap individu mampu merealisasikan kepentingannya. Sementara itu, etika
hak lebih menonjolkan penghormatan kepada hak-hak individu.
Berbanding terbalik dengan sistem ekonomi komunis. Menurut sistem ekonomi komunis,
setiap individu dilarang menguasai modal dan alat-alat produksi. Dalam sistem ekonomi
komunis, alat-alat produksi serta kegiatan produksi, pekerjaan, dan distribusi pendapatan tiap
warga negara diatur oleh negara. Dengan latar belakang pemikiran seperti ini, sebenarnya sistem
komunis mendapat pembenaran dari etika altruisme (utilitarianisme dan deontology).

Etika dan Sistem Ekonomi Komunis


Menurut sistem ekonomi komunis, setiap individu dilarang menguasai modal dan alat -
alat produksi. Alat - alat produksi dan modal harus dikuasai oleh masyarakat (melalui negara)
sehingga tidak ada lagi eksploitasi oleh kelompok kecil majikan terhadap masyarakat mayoritas
(kaum buruh).
Tujuan dari sistem ekonomi komunis adalah untuk memeratakan kemakmuran
masyarakat dan menghilangkan eksploitasi dari manusia terhadap manusia lainnya. Paham
komunisme sangat berpengaruh sampai dengan pertengahan abad ke-20, namun pada akhirnya
negara - negara yang menganut sistem ekonomi komunis tetap saja miskin dan tertinggal jauh
bila dibandingkan dengan negara - negara yang menganut sistem ekonomi kapitalis.

Etika dan Sistem Ekonomi Kapitalis


Inti dari paham ekonomi kapitalis adalah adanya kebebasan individu untuk memiliki,
mengumpulkan dan mengusahakan kekayaan secara individu. John Locke (1723-1790), seorang
filsuf Inggris diakui sebagai orang yang pertama kali memperkenalkan teori kebebasan
(liberalisme) dalam hal kepemilikan kekayaan. la mengatakan bahwa manusia mempunyai tiga
kodrat dasar yang harus dihormati, yaitu : life, freedom, and property (Bertens, 2000). Oleh
karena itu, sistem kapitalis sering disebut juga sistem ekonomi liberal.
Selanjutnya, pemikiran Adam Smith tentang pasar bebas dalam ekonomi mendukung
tumbuhnya sistem ekonomi kapitalis. Ada dua ciri pokok dari sistem ekonomi kapitalis. yaitu:
liberalisme kepemilikan dan dukungan ekonomi pasar bebas. Menurut paham ini, kebebasan
individu akan memicu motivasi setiap orang. untuk melakukan kegiatan bisnis dan ekonomi
dalam rangka memakmurkan dirinya masing-masing. Bila setiap individu memperoleh
kemakmuran, maka otomatis masyarakat dan negara secara keseluruhan juga menjadi makmur.
Namun kebebasan kepemilikan saja belum cukup; ia harus didukung pula oleh sistem pasar
bebas. Dalam pasar bebas harus diciptakan banyak pembeli dan penjual.

Etika dan Sistem Ekonomi Pancasila


Sistem ekonomi Pancasila mencoba memadukan hal-hal positif yang ada pada kedua
sistem ekonomi ekstrim: komunis dan kapitalis. Ciri keadilan dan kebersamaan pada sistem
ekonomi Pancasila diambil dari sistem komunis. Ciri hak dan kebebasan individu diambil dari
sistem kapitalis; ditambah dengan ciri ketiga yang tidak ada pada kedua sistem tersebut, yaitu
kepercayaan kepada Tuhan YME dengan memberikan kebebasan rakyatnya memeluk agama
sesuai dengan keyakinan masing-masing.
Mengapa bangsa Indonesia yang menerapkan sistem ekonomi Pancasila yang secara
konseptual lebih baik bila dibandingkan dengan sistem ekonomi komunis ataupun sistem
ekonomi kapitalis, karena perekonomian bangsa ini dalam realitanya dibangun berlandaskan
“Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)”. Hal tersebut sama sekali menyimpang jauh dari
konsep Ekonomi Pancasila. Korupsi adalah tindakan yang menyalahgunakan wewenang,
fasilitas, dan kekayaan negara untuk memperkaya diri sendiri. Kolusi adalah kerjasama oknum
pejabat negara dengan oknum pemimpin perusahaan milik negara maupun swasta untuk
menyalahgunakan kekayaan negara demi kepentingan perusahaan tersebut dengan cara
memberikan suatu imbalan oleh perusahaan kepada pejabat negara tersebut. Nepotisme adalah
model perekrutan karyawan yang dilakukan baik oleh perusahaan maupun negara, yang lebih
memilih anggota keluarga, kerabat, suku, kelompok, dan sejenisnya dari oknum pejabat negara
atau pimpinan perusahaan tersebut dan tidak memberikan peluang yang adil bagi semua calon
mempunyai potensi / kemampuan.

Pengertian dan Peranan Bisnis


Aktivitas bisnis sudah ada sejak manusia ada di bumi ini. Sejak manusia ada di bumi
sudah memerlukan barang dan jasa untuk bertahan hidup. Pada zaman dahulu, kegiatan bisnis
manusia adalah berburu dan mengumpulkan barang- barang yang sudah disediakan oleh alam.
Umumnya kegiatan berburu dilakukan secara berkelompok oleh laki-laki yang sudah dewasa
dengan dipimpin oleh seorang kepala suku dan memasak dilakukan oleh para wanitanya. Pada
zaman itu, semua barang dan jasa untuk menunjang kebutuhan hidup dapat dipenuhi sendiri oleh
kelompok sendiri. Kepala suku berperan sebagai pemimpin kegiatan kelompok secara bersama-
sama dan membagi-bagikan hasilnya kepada anggota kelompoknya. Seiring dengan
pertumbuhan peradaban dan perkembangan zaman. Pada fase berikutnya mulai timbul
pertukaran barang antar kelompok yang sering disebut sebagai pertukaran atau barter muncul
kalau satu kelompok mempunyai barang yang tidak dimiliki oleh kelompok lainnya dan kedua
kelompok ini saling menginginkan barang-barang yang tidak mampu dihasilkan oleh
kelompoknya. Dengan diperkenalkannya uang sebagai alat tukar dan ditunjang oleh kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi, saat ini tidak ada satu orang atau satu negara pun yang mampu
memenuhi seluruh kebutuhan barang dan jasanya sendiri dan memang tidak seharusnya
seseorang atau suatu negara menghasilkan sendiri seluruh barang atau jasa yang menjadi
kebutuhannya. Kegiatan pertukaran atau perdagangan baik antar orang dalam satu negara
maupun antar negara sudah menjadi bagian kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dengan
kegiatan produksi karena kegiatan perdagangan berfungsi untuk mendistribusikan barang atau
jasa dari pihak produsen ke pihak konsumen.
Dengan demikian, pengertian aktivitas bisnis menjadi sangat luas. Aktivitas bisnis bukan
hanya kegiatan dalam rangka menghasilkan barang dan jasa, tetapi juga termasuk kegiatan
mendistribusikan barang dan jasa tersebut ke pihak-pihak yang memerlukan serta aktivitas lain
yang mendukung kegiatan produksi dan distribusi tersebut. Saat ini siapa pun tidak dapat
menyangkal bahwa ke bisnis menjadi tulang punggung perekonomian suatu negara. Kegiatan
bisnis juga menjadi sumber penerimaan pokok dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) melalui perpajakan bea masuk, dan cukai. Kegiatan bisnis juga menjadi sumber
penghasilan dan lapangan pekerjaan setiap orang. Kegiatan bisnis sangat bermanfaat bagi
kehidupan umat manusia dan bisa dikatakan bahwa aktivitas bisnis bersifat etis. Namun dalam
realitanya masih banyak dijumpai pandangan pro dan kontra mengenal tidaknya suatu aktivitas
bisnis. Masih ada yang memandang kegiatan bisnis sebagai kegiatan yang rendah dan tidak
bermoral. Untuk menjelaskan hal ini, sebaiknya dikutip terlebih dahulu dan pandangan tentang
bisnis sebagaimana diungkapkan oleh Sonny Keraf (1998), yaitu pandangan praktis-realistis dan
pandangan idealis Pandangan praktis-realistis melihat tujuan bisnis ada untuk mencari
keuntungan bagi pelaku bisnis, sedangkan aktivitas memproduksi dan mendistribusikan barang
merupakan sarana atau alat untuk merealisasikan keuntungan tersebut. Para penganut paham ini
melihat bahwa dalam menghasilkan dan menjual barang dan jasa, terjadi persaingan yang sangat
ketat sehingga satu-satunya cara untuk bisa bertahan dalam bisnis adalah dengan menjadi
pemenang dalam kancah persaingan yang sangat ketat tersebut. Berbeda dengan pandangan
praktis-realistis, pandangan idealis adalah suatu pandangan di mana tujuan bisnis yang terutama
adalah menghasilkan dan mendistribusikan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat, sedangkan keuntungan yang diperoleh merupakan konsekuensi logis dari kegiatan
bisnis tersebut. Inti dari pandangan idealis adalah bahwa tujuan pokok dari bisnis adalah untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat, sedangkan keuntungannya hanyalah akibat dari kegiatan
bisnis. Dalam pandangan ini, tidak ada pola pikir persaingan dan tidak ada pola pikir untuk
mengalahkan para pesaing agar bisa bertahan hidup.
Dalam kaitannya dengan etika, dua sudut pandang yang berbeda tentang bisnis ini
mempunyai konsekuensi yang berbeda. Dua pandangan yang berbeda dan bahkan berlawanan ini
muncul dan para penggagas atau penganut paham bisnis yang mempunyai tingkat kesadaran
yang berbeda dalam memaknai hidup dan hakikat dirinya sebagai manusia. Pandangan praktis-
realistis atas bisnis muncul dari Individu yang paham moralitasnya didominasi oleh teori etika
egoisme atau teori hak, sedangkan pandangan idealisme dalam bisnis muncul dari individu yang
paham moralitasnya didominasi oleh teori deontologi, teori keutamaan, atau teori teonom. Cara
lain untuk menjelaskan isu pro dan kontra dalam aktivitas bisnis jika dilihat dari sudut pandang
etika, dapat dijelaskan melalui pemikiran Lawrence, Weber, dan Post (2005) tentang budaya etis
(ethical climates) Budaya etis adalah pemahaman tak terucap dari semua karyawan (pelaku
bisnis) tentang perilaku yang dapat dan tidak dapat diterima. Yang menentukan derajat keetisan
atau budaya etis dari suatu kegiatan/tindakan bisnis adalah orang kunci dibelakang kegiatan
bisnis itu sendiri, atau yang populer dengan istilah the man behind the gun, bukan bisnis itu
sendiri.

Lima Dimensi Bisnis


Untuk memahami persoalan bisnis ini, Bertens (2000) mencoba menjelaskan kegiatan
bisnis dilihat dari tiga dimensi, yaitu: ekonomi, etika, dan hukum. Namun dalam pembahasan
kali ini, bisnis akan dilihat dari lima dimensi, yaitu: ekonomi, etika, hukum, sosial, dan spiritual.

Dimensi Ekonomi
Bisnis paling mudah dipahami bila dilihat dari dimensi ekonomi. Dari sudut pandang ini,
bisnis adalah kegiatan produktif dengan tujuan memperoleh keuntungan. Bisnis merupakan
tulang punggung kegiatan ekonomi tanpa bisnis tidak ada kegiatan ekonomi. Keuntungan
diperoleh berdasarkan rumus yang sudah jamak dikembangkan oleh para akuntan, yaitu
penjualan dikurangi harga pokok penjualan dan beban-beban. Bagi akuntan, harga pokok
penjualan dan beban merupakan harta yang telah dikorbankan atau dimanfaatkan untuk
menciptakan penjualan pada periode ini sehingga sering disebut sebagai expired cost of assets.
Harta adalah sumber daya ekonomis yang masih mempunyai manfaat untuk menciptakan
penjualan pada periode mendatang. Oleh karena itu, harta sering disebut sebagai unexpired cost.
Para ekonom lebih suka menggunakan istilah faktor-faktor produksi daripada menggunakan
istilah harta yang biasa dipakai dalam dunia bisnis dan akuntansi. Faktor-faktor produksi dari
sudut ekonomi terdiri atas tanah, tenaga kerja, modal, dan wirausahawan. Masing masing
pemilik faktor-faktor produksi ini memperoleh pendapatan atas kepemilikannya pada faktor-
faktor produksi tersebut. Pemilik tanah memperoleh sewa tanah: tenaga kerja memperoleh upah
dan ga pemilik modal memperoleh pendapatan bunga, dan wirausahawan memperoleh
keuntungan Bagi para pelaku bisnis, berusaha untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-
besarnya atau lebih dikenal dengan keuntungan yang optimal adalah sah-sah saja. Ilmu
manajemen dan akuntansi mengajarkan berbagai teknik untuk memperoleh keuntungan optimal.
Beragam teknik itu pada Intinya mengajarkan satu cara, yaitu untuk meningkatkan penjualan
sampai tingkat maksimum di satu sis, namun pada saat yang sama dapat menekan harga pokok
penjualan dan beban beban pada tingkat minimum. Dengan demikian, sebenarnya keuntungan
merupakan ukuran tingkat efisiensi perusahaan karena keuntungan menggambarkan hasil yang
diperoleh setelah dikurangi harta yang dikorbankan. Penggunaan istilah produksi dan faktor-
faktor produksi oleh para ekonom sangat berkaitan dengan pengertian efisiensi, yatu bagaimana
menghasilkan barang dan jasa seoptimal mungkin dengan pengorbanan faktor-faktor produksi
seminimal mungkin.

Dimensi Etis
Konsep bisnis bila dilihat dari dimensi ekonomi-yaitu aktivitas produktif dengan tujuan
mencari keuntungan-sudah sangat jelas dan dipahami oleh hampir semua pihak. Namun bila
dilihat dari dimensi etis, bisnis masih menimbulkan diskusi yang diwarnai oleh pro dan kontra.
Persoalan pro dan kontra dari dimensi etika ini dapat dimaklumi karena belum semua pihak
mempunyai pemahaman yang sama tentang pengertian etika dan ukuran yang tepat untuk
menilai etis-tidaknya suatu tindakan bisnis. Misalnya, keuntungan yang menjadi tujuan bisnis itu
etis atau tidak. Sebenarnya persoalan etika dalam bisnis sudah sempat disinggung dalam
pembahasan sebelumnya, namun pada bagian ini akan diulas secara lebih rinci.
Untuk memperoleh pemahaman yang jernih, marilah disepakati dulu acuan definisi etika
dan kriteria untuk menentukan suatu tindakan etis. Hal ini memang tidak mudah karena
sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya, berbagai teori etika muncul dengan latar
penalaran yang berbeda-beda. Walaupun tidak mudah, suatu acuan tetap diperlukan agar diskusi
tidak melebar dan melantur tanpa arah. Dalam pembahasan ini akan dipakai dua acuan pokok,
yaitu:
a. Definisi etika adalah tinjauan kritis tentang baik-tidaknya suatu perilaku atau tindakan.
b. Ukuran penilaian menggunakan tiga tingkat kesadaran, yaitu kesadaran hewani,
kesadaran manusiawi, dan kesadaran spiritual atau transendental.
Sudut pandang kesadaran hewani menilai bahwa suatu tindakan dianggap etis bila
tindakan itu bermanfaat atau menguntungkan bagi diri seseorang, dan suatu tindakan dianggap
tidak etis bila merugikan bagi diri individu yang bersangkutan. Sudut pandang kesadaran
manusiawi menilai semua tindakan yang bermanfaat bagi diri individu dan masyarakat bersifat
etis. Akan tetapi bila tindakan itu merugikan masyarakat dan menimbulkan kerusakan alam,
maka tindakan i dinilai tidak etis walaupun tindakan itu menguntungkan diri individu. Dari sudut
pandang kesadaran spiritual, suatu tindakan dinilai etis jika tindakan tersebut bermanfaat bagi
diri individu, masyarakat dan alam serta sesuai dengan ajaran/perintah agama. Akan tetapi bila
tindakan tersebut menyalahi ajaran agama, tetap saja tindakan itu dianggap tidak etis-walaupun
mungkin tindakan itu bermanfaat bagi diri individu dan masyarakat. Dengan acuan ini, marilah
kita mencoba untuk membahas bisnis dari dimensi etis
Pertama, kegiatan bisnis adalah kegiatan produktif, artinya kegiatan menghasilkan dan
mendistribusikan barang dan jasa untuk kebutuhan seluruh umat manusia. Manusia hidup di
dunia ini memang harus didukung oleh berbagai jenis barang dan jasa untuk bisa bertahan hidup.
Manusia minimal memerlukan makanan, minuman, dan perumahan untuk dapat bertahan hidup.
Namun dalam era modern ini tentu saja manusia juga memerlukan jenis barang dan jasa lain
untuk hidup dalam kondisi sejahtera. Sekarang ini hampir semua hasil produksi disediakan oleh
aktivitas bisnis. Semua agama juga mengajarkan bahwa tujuan hidup manusia adalah untuk
memperoleh kebahagiaan lahir dan batin-duniawi dan surgawi. Sementara itu, aktivitas bisnis
sudah tampak jelas mendukung produksi untuk meningkatkan kemakmuran manusia secara
duniawi. Dari sudut pemahaman seperti ini, jelas bahwa tindakan bisnis itu sejalan dan tidak
bertentangan dengan ajaran agama, baik itu ditinjau dari tingkat kesadaran hewani, manusiawi,
maupun spiritual. Oleh karena itu, tindakan bisnis adalah bersifat etis.
Kedua, bila dilihat dari pihak yang memperoleh manfaat dari keuntungan suatu kegiatan
bisnis (masalah keadilan dalam distribusi keuntungan) dan tindakan bisnis dalam merealisasikan
keuntungan tu, isu etika muncul untuk memberikan penilaian atas dampak negatif yang
ditimbulkan bagi masyarakat dan lingkungan alam (merugikan orang lain atau menimbulkan
kerusakan lingkungan). Persoalan etika dalam bisnis berhubungan dengan isu keadilan dan
dampak kegiatan bisnis tersebut bagi masyarakat dan alam. Kegiatan bisnis bisa saja
menguntungkan. Akan tetapi bila dalam pembagian keuntungan itu tidak adil; atau dalam upaya
memperoleh keuntungan itu mengakibatkan ada pihak lain yang merasa dirugikan dan
berdampak pada kerusakan lingkungan alam, maka tindakan bisnis menjadi tidak etis. Memang
tidak mudah untuk mengukur atau menilai etis tidaknya suatu tindakan bisnis karena tidak ada
ukuran yang objektif untuk menilai ketidakadilan. Selain itu juga tidak mudah untuk menghitung
nilai kerugian masyarakat atau dampak kerusakan lingkungan.

Dimensi Hukum
Hukum dan etika sebenarnya mempunyai hubungan yang sangat erat karena keduanya
mengatur perilaku manusia. Hukum dibuat oleh negara atau beberapa negara melalui suatu
mekanisme formal yang sesuai dengan konstitusi/aturan internasional dan mengikat seluruh
warga suatu negara atau lebih dari satu negara bila hukum/peraturan itu diratifikasi oleh lebih
dari satu negara. Pelanggaran terhadap hukum akan dikenai sanksi hukum. Sanksi tersebut bisa
berupa pembayaran denda, ganti rugi, atau bahkan untuk pelanggaran yang berat bisa masuk
penjara atau dihukum mati. Sebaliknya, sanksi terhadap pelanggaran etika relatif lebih ringan
bila dibandingkan dengan sanksi hukum, yaitu hanya berupa sanksi moral. Contoh sanksi moral
antara lain berupa surat peringatan, denda, dan yang paling berat dikeluarkan dari suatu
organisasi profesi. Aturan etika biasanya dibuat oleh suatu organisasi profesi untuk mengatur
perilaku anggota organisasi profesi tersebut.
Dalam kaitannya dengan tinjauan dari aspek hukum ini, De George membedakan dua
macam pandangan tentang status perusahaan, yaitu legal creator dan legal recognition. Dari
sudut pandang legal creator, perusahaan diciptakan secara legal oleh negara sehingga perusahaan
adalah sebuah badan hukum. Sebagai ciptaan hukum, perusahaan mempunyai hak dan kewajiban
hukum sebagaimana layaknya status hukum yang dimiliki oleh manusia. Hukum diciptakan oleh
negara, sementara negara dan hukum ada karena ada masyarakat Ini berarti bila negara
menciptakan pesan dari sudut hukum, itu karena perusahaan memang diperlukan oleh warga
negara dan perusahaan diperlukan karena menghasilkan barang dan jasa yang dapat memem
borahan masyarakat Bila masyarakat tidak lagi membutuhkan perusahaan tersebut, maka
masyarakat dapat saja membubarkan perusahaan tersebut. Negar
Sangat berbeda dengan pandangan perusahaan sebagai legal creator, pada sudut pandang
legal cognition perusahaan bukan diciptakan atau didirikan oleh negara, melainkan oleh orang
atau sekelompok orang yang mempunyai kepentingan untuk memperoleh keuntungan. Jadi,
produk yang diciptakan oleh perusahaan tersebut merupakan sarana untuk memperoleh
keuntungan, bukas otok melayani kebutuhan masyarakat. Tujuan utamanya adalah untuk
memperoleh keuntungan bagi pendiri/pemilik perusahaan tersebut, sedangkan memberikan
pelayanan kepada masyarakat merupakan tujuan sampingan.

Terlepas dari apa pun pandangan orang tentang status hukum suatu perusahaan, seting
perusahaan bila ingin memperoleh jaminan hidup jangka panjang harus tunduk pada berbaga
peraturan hukum dan perundang-undangan yang berlaku baik di negara tempat perusahaan
berada maupun di semua negara yang meratifikasi peraturan/hukum internasional. Namun
demikian harus disadari bahwa perusahaan yang telah mengikuti peraturan perundangan yang
berlaku tidak dengan sendirinya berarti bahwa perusahaan itu telah bertindak etis. Setiap
peraturan hukum ya baik memang harus dijiwal oleh moralitas. Namun sebagaimana dimaklumi,
tidak semua peraturas hukum berkaitan dengan moral. Ada juga hukum yang kalau ditinjau dari
aspek moral diangge kurang etis. Hukum yang tidak ada hubungannya dengan etika, misalnya
Undang-Undang Lalu Lintas Berdasarkan UU ini, semua kendaraan di Indonesia harus berjalan
di sebelah kiri jalan, sedangkan d beberapa negara lain di Eropa semua kendaraan harus berjalan
di sebelah kanan. Siapa pun tidak dapat menilai berjalan di sebelah kiri tidak lebih etis atau
kurang etis dibandingkan kalau berjalan d sebelah kanan.

Hukum memang seharusnya mencerminkan moralitas, misalnya: hukum persaingan


usaha. Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Undang-Undang tentang Hak
Asasi Manusia, Undang-Undang atau Peraturan tentang Perizinas Kantor Akuntan Publik,
Undang-Undang Pasar Modal, Undang-Undang tentang Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan, Undang-Undang Tenaga Kerja, dan masih banyak lagi jenis peraturan hukum
lainnya. Untuk hukum/peraturan perundang-undangan seperti ini, hukum dapat dikatakan baik
kalau dijiwai oleh moral yang baik pula. Meskipun demikian, ada saja hukum/peraturas
perundang-undangan yang dianggap tidak etis. Hukum/peraturan perundang-undangan ya
menimbulkan kontroversi bila dilihat dari aspek etika, antara lain Undang-Undang tentang
Pemiliha Kepala Daerah yang berlaku sekarang ini. Undang-undang tersebut tidak
mengakomodasi calon perorangan sehingga semua calon harus melalui partai politik.
Sering kali suatu undang-undang sudah cukup etis, tetapi dalam implementasinya pada
penegakan hukum di pengadilan sering menimbulkan kontroversi bila dilihat dari aspek eta
Misalnya, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada, seorang hakim hanya memvasi
tiga bulan penjara seorang koruptor yang telah merugikan negara ratusan miliar rupiah. Vonis
tersebut sama dengan vonis yang diterima seorang pencuri ayam. Praktik-praktik seperti ini
banyak dijumpai dalam berbagai kasa/perkara. Dalam bisnis, cukup banyak kasus-kasus yang
merebak selama int antara lain kasus Buyat (kasus pencemaran air oleh perusahaan
pertambangan yang mencemari air hingga merugikan nelayan) dan kasus PT Lapindo Brantas
(dengan lumpur panas yang int es menimbulkan pencemaran, menggenangi wilayah desa desa
yang sangat luas di Sidoarjo, Jawa Timur menenggelamkan banyak pabrik dan ruas jalan tol).
Kasus-kasus tersebut tidak memperoleh perhatian serius dalam proses penegakan hukum. Kasus
serupa juga banyak terjadi, seperti kasus PIK maal karyawan pada PT Dirgantara Indonesia,
kasus PT Freeport di Papua, dan sebagainya yang terkesan tidak memperoleh perhatian
penegakan hukum yang adil.

Dimensi Sosial
Perusahaan saat ini sudah berkembang menjadi suatu sistem terbuka yang sangat
kompleks. Sebagai at sistem, artinya di dalam organisasi perusahaan terdapat berbagai elemen,
unsur, orang, dan jaringan yang saling terhubung, saling berinteraksi, saling bergantung
depended), dan saling berkepentingan. Sebagai sistem terbuka, artinya keberadaan perusahaan
kan bukan saja oleh elemen-elemen yang ada di dalam perusahaan atau yang sering disebut
faktor internal, seperti: sumber daya manusia dan sumber daya non manusia, tetapi juga oleh
faktor-faktor di luar perusahaan atau yang sering disebut faktor eksternal, yang juga terdiri atas
dua elemen, yaitu faktor manusia dan non-manusia. Faktor manusia di sini, antara lain: pemasok,
pelanggan, penanam modal, pemerintah, dan masyarakat. Pemasok, pelanggan, penanam modal,
dan pemerintah dapat saja berbentuk institusi atau lembaga, tetapi yang menentukan dibalik
institusi atau lembaga tersebut adalah oknum kunci yang mempunyai wewenang dalam
mengambil keputusan di dalam lembaga atau institusi tersebut. Faktor non-manusia adalah alam
atau bumi itu sendiri sebagai sumber bahan baku dan tempat beroperasi perusahaan. Bila selama
ini orang lebih banyak melihat faktor eksternal ini dalam wujud kondisi ekonomi, politik,
teknologi, dan sosial budaya, orang lupa bahwa semas kondisi eksternal ini pada hakikatnya
diciptakan oleh faktor manusia kunci di luar perusahaan. Misalnya, kondisi politik dipengaruhi
oleh para pemimpin yang berkuasa di suatu negara. Karakter penguasa penguasa ini akan
mewarnai kondisi politik, baik di negara yang bersangkutan maupun dalam hubungan antar
negara. Kondisi ekonomi dipengaruhi oleh para pemasok, penanam modal, dan para pelanggan.
Karakter, sifat, latar belakang, dan interaksi yang kompleks antara perusahaan dengan ketiga
golongan (pemasok, penanam modal, pelanggan) dan oknum pemerintah akan mewarnai kondisi
ekonomi yang ada. Begitu pula perkembangan teknologi ditentukan oleh orang- orang yang
menemukan, mengembangkan, dan menerapkan teknologi itu untuk kepentingan bisnis ladi,
dapat disimpulkan bahwa keberadaan suatu perusahaan sebenarnya ditentukan oleh manusia atat
orang, baik yang ada di dalam perusahaan (karyawan, manajer, eksekutif) maupun di luar
perusahaan (pemasok, pelanggan, pemodal, pejabat pemerintah, dan masyarakat luas), yang
kesemuanya memiliki kepentingan (interest) dan kekuatan atau kekuasaan untuk mendukung
atau menghambat keberadaan dan pertumbuhan perusahaan. Perusahaan akan mampu hidup bila
kepentingan semua pihak ini-tidak semata-mata kepentingan pemilik/pemegang saham-dapat
diakomodasi. Bila Ini dapat dilakukan, maka perusahaan berfungsi melayani masyarakat dan
keberadaannya diperlukan oleh masyarakat baik yang ada di dalam perusahaan maupun yang
berada di luar perusahaan tersebut. Oleh karena itu, bila perusahaan dilihat dari dimensi sosial,
tujuan pokok keberadaan perusahaan adalah untuk menciptakan barang dan jasa yang diperlukan
oleh masyarakat, sedangkan keuntungan akan datang dengan sendirinya bila perusahaan mampu
melayani kebutuhan masyarakat.

Dimensi Spiritual
Keberadaan perusahaan diperlukan untuk melayani kebutuhan masyarakat bila
perusahaan dina dari dimana sosial. Sepanjang masyarakat masih memerlukan produk
perusahaan, perusahaan akan tetap dapat at. Kegiatan bisnis dalam pandangan Barat tidak pernah
dikaitkan dengan agama Padahal kales ditelusuri dalam ajaran agama-agama besar, ada
ketentuan yang sangat jelas tentang kegiatan bisnis ini. Dalam agama Islam dijumpai suatu
ajaran bahwa menjalankan kegiatan bisnis Itu merupakan bagian dari ibadah asalkan kegiatan
bisnis (ekonomi) diatur berdasarkan wahr yang tercantum dalam Al-Qur'an dan Sunnah Rasul
(Dawam Rahardjo, 1990). Selanjutnya Dawan Rahardjo mengatakan bahwa ada tiga doktrin
dalam Islam, yaitu: ibadah, akhirat, dan amal sale Interpretasi yang lebih luas tentang ketiga
doktrin ini sudah lama dikaji dan dipahami. Ibadah tidak hanya diartikan dalam arti sempit-hanya
menyangkut aspek ritual seperti sholat dan puasa-tetapi juga terkait urusan mencari rezeki dan
menuntut ilmu. Dalam doktrin akhirat, kegiatan manusia tida semata-mata hanya memburu surga
dengan mengabaikan atau menjauhi kewajiban-kewajiban hiday di dunia. Begitu pula
interpretasi luas mengenal amal saleh tidak hanya dalam bentuk charity, sepers sumbangan untuk
membangun mesjid, tetapi juga termasuk kegiatan jual-beli dan sewa menyewa (Dawam
Rahardjo, 1990)
Nyoman & Pendit (2002) mengemukakan bahwa dalam Bhagavadgita-yang merupakan
salah satu dari lima kitab suci Hindu-dikemukakan empat cara untuk berhubungan denga Tuhan,
dan keempatnya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, yaitu: bakti yoga (jalan
kebaktian, sembahyang, dan kasih sayang), karma yogu (jalan tindakan/kerja), jnana yoga (jalan
ilm pengetahuan), dan raja yoga (jalan meditasi, zikir). Berikut ini adalah kutipan salah satu
sloka dalam Baghavad Gita yang berkaitan dengan tindakan/kerja (karma yoga) yang kalau
diterjemahkan ir dalam bahasa Indonesia kurang lebih artinya sebagai berikut.
"Orang tidak akan mencapai kebebasan, Karena diam tidak bekerja, Juga ia tidak akan mencapai
kesempurnaan Karena menghindari kegiatan kerja."
Menurut Peschke S.V.D. (2003), dalam agama Kristen dijumpai suatu pandangan bahwa
hakik tujuan hidup tertinggi umat manusia adalah untuk memuliakan Allah di surga Namun
pangg umat Kristen untuk mencapai tujuan tertinggi ini sama sekali tidak melupakan kewajiban
meka untuk berperan dalam pembangunan dunia. Selanjutnya Peschke S.V.D. mengatakan
bahwa ma dipanggil untuk menguasal dunia dan segenap isinya serta mengolah dan merawatnya.
Pandangan menjadi dasar pembenaran bahwa kegiatan bianis itu bukan saja tidak bertentangan
dengan agama, tetapi justru manusia diberi wewenang untuk mengolah dunia asalkan dilakukan
den penuh tanggung jawab. Maksud tanggung jawab di sini adalah bahwa dalam menguasai dan
meng dania harus dilakukan dengan disertai kesadaran untuk memajukan, merawat, dan
melestarikan d beserta isinya, bukan sebaliknya justru berdampak merugikan masyarakat dan
merusak alam dan seluruh isinya. Kegiatan bisnis yang baik seperti ini dapat disebut kegiatan
bisnis yang religius. Kalau udak mau menggunakan istilah religius, dapat saja memakai istilah
lain yang mempunyai makna yang sama, yaitu kegiatan bisnis yang spiritual, atau kegiatan bisnis
tercerahkan. Kegiatan bisnis yang spiritual tumbuh berdasarkan paradigma sebagai berikut:
- Pengelola dan pemangku kepentingan (stakeholders) menyadari bahwa kegiatan bisnis
adalah bagian dari ibadah (God devotion).
- Tujuan bisnis adalah untuk memajukan kesejahteraan semua pemangku kepentingan atau
masyarakat (prosperous society).
- Dalam menjalankan aktivitas bisnis, pengelola mampu menjamin kelestarian alam (planet
conservation).

PENDEKATAN PEMANGKU KEPENTINGAN (STAKEHOLDERS)


1. Tanggung Jawab Manajemen dan Teori Pemangku Kepentingan
Dari sudut pandang pengelola perusahaan (manajemen), dijumpai beberapa
paradigma berkaitan dengan peran dan tanggung jawab manajemen dalam mengelola
perusahaan. Terdapat beberapa teori yang berkaitan dengan pemangku kepentingan.
Menurut Schroeder (1995), terdapat beberapa teori: teori kepemilikan, teori entitas, teori
dana, teori komando, teori perusahaan, dan teori ekuitas sisa. Dulu perusahaan yang
didirikan dan dikelola oleh pemilik tidak ada pemisahan antara pengelola (manajemen)
dengan pemilik perusahaan. Tujuan pengelolaan perusahaan jelas adalah untuk
meningkatkan laba dan kekayaan pemilik. Jika perusahaan sudah berkembang dan
berstatus Perseroan Terbatas (PT) dan sudah go public yang berarti kepemilikannya
dimiliki masyarakat umum maka terdapat pemisahaan pengelola manajemen dan
pemegang saham. Tapi kepentingan para pemangku kepentingan selain pemegang saham
belum mendapat perhatian yang seimbang. Oleh karena itu, paradigma pengelolaan masih
menganut teori kepemilikan. Teori kepemilikan tidak jauh berbeda dengan teori ekuitas
sisa, perbedaanya hanya preferen ditujukan kepada pemegang saham.
Paradigma yang sangat berbeda dijumpai dalam teori dana dan teori komando.
Dalam teori dana, manajemen dalam mengelola suatu lembaga/organisasi lebih
berorientasi kepada restriksi legal atas penggunaan dana yang dipercayakan kepadanya.
Tapi manajemen mendapat batas-batas setiap jenis dana. Dan paradigma teori dana ini
lebih banyak dianut oleh para pengelola dana publik nirlaba. Berbeda dengan teori
komondo dalam teori ini manajemen tidak lagi berorientasi kepada para pemangku
kepentingan di luar perusahaan, tetapi lebih melihat fungsi dirinya dalam mengendalikan
perusahaan. Serta, teori ini lebih kepada unit internal perusahaan. Setelah perusahaan
lebih besar dan lebih kompleks muncul teori baru dikenal sebagai teori perusahaan.
Dalam teori ini, peranan bisnis tidak lagi hanya dilihat secara terbatas dari satu atau
beberapa pemangku kepentingan saja. Teori perusahaan kini lebih populer dengan istilah
teori pemangku kepentingan (stakeholders theory).
Pemangku kepentingan (stakeholders) adalah semua pihak yang mempengaruhi
keberadaan perusahaan dan dipengaruhi oleh tindakan perusahaan (Lawrence, Weber,
dan Post, 2005). Selanjutnya Lawrence, Weber, dan Post membagi pemangku
kepentingan ke dalam dua golongan, yaitu pemangku kepentingan pasar dan pemangku
kepentingan nonpasar. Terdapat beberapa teori yang diungkapkan oleh beberapa orang
yang hampir sama seperti Baron (2006) menggunakan istilah yang hampir sama, yaitu
lingkungan pasar dan lingkungan nonpasar. Serta Sonny Keraf (1998) menggunakan
istilah kelompok primer dan kelompok sekunder.
Pemerintah membuat peraturan baru tentang mempertegas pengawasan,
wewenang, dan tanggung jawab para eksekutif puncak dalam mengelola perusahaan.
Peraturan ini dibuat karena maraknya skandal bisnis dalam berbagai bentuk manipulasi
laporan keuangan yang melibatkan para eksekutif puncak perusahaan. Nama dari
peraturan ini yaitu Sarbanes-Oxley (SOX).
2. Hubungan Tingkat Kesadaran, Teori Etika, dan Paradigma Pengelolaan
Perusahaan
3. Analisis Pemangku Kepentingan (Stakeholder Analysis)
Berdasarkan pendekatan sistem, perusahaan adalah bagian atau unsur dari sistem
yang lebih besar. Sebagai suatu sistem terbuka, perusahaan saling berinteraksi dengan
semua pihak maka dapat memengaruhi dengan semua pemangku kepentingan. Dengan
adanya tersebut para eksekutif perusahaan mulai menyadari pentingnya melakukan
proses pengambilan keputusan berdasarkan pendekatan dan analisis pemangku
kepentingan. Hal penting yang perlu dipertimbangkan dalam proses pengambilan
keputusan berdasarkan pendekatan pemangku kepentingan, antara lain:
● Lakukan identifikasi semua pemangku kepentingan, baik yang nyata maupun
yang masih bersifat potensial
● Cari tahu kepentingan dan kekuasaan setiap golongan pemangku kepentingan
● Cari tahu apakah ada koalisi kepentingan dan kekuasaan antar golongan
pemangku kepentingan tersebut.
Keputusan diambil berdasarkan pertimbangan:
● Pemangku kepentingan adalah pihak yang menerima manfaat paling besar dari
keputusan itu
● Kalau ada pihak yang dirugikan, dampak kerugiannya hanya menimpa sesedikit
mungkin pemangku kepentingan
● Keputusan yang diambil tidak membentur kepentingan dan kekuasaan kelompok
pemangku kepentingan yang dominan

TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN (CORPORATE SOCIAL


RESPONBILITY-SCR)
Munculnya isu pemanasan global, penipisan lapisan ozon, kerusakan hutan, kerusakan
lokasi di sekitar areal pertambangan, pencemaran air akibat limbah beracun, pencemaran udara
dll. Semua tadi akibat negatif dari munculnya aktivitas bisnis yang hanya berorientasi pada
keuntungan semata tanpa memedulikan dampak negatif yang merugikan masyarakat dan bumi
ini.

Pengertian CSR
Definisi CSR dari buku Yusuf Wibisono (2007) dan buku Corporate Social Responsibility dari
A.B. Susanto (2007), yaitu:
a. The World Business Council for Sustainable development mendefinisikan Komitmen
bisnis untuk secara terus menerus berperilaku etis dan berkontribusi dalam pembangunan
ekonomi serta meningkatkan kualitas hidup karyawan dan keluarganya. masyarakat lokal,
serta masyarakat luas pada umumnya
b. EU Green Paper on CSR memberikan definisi suatu konsep di mana perusahaan
mengintegrasikan perhatian pada masyarakat dan lingkungan dalam operasi bisnisnya
serta dalam interaksinya dengan para pemangku kepentingan secara sukarela
c. Magnan dan Ferrel mendefinisikan CSR sebagai Suatu bisnis dikatakan telah
melaksanakan tanggung jawab sosialnya jika keputusan-keputusan yang diambil telah
mempertimbangkan keseimbangan antar berbagai pemangku kepentingan yang berbeda-
beda
d. AR Susanto mendefinisikan CSR sebagai tanggung jawab perusahaan baik ke dalam
maupun ke luar perusahaan.
e. Elkington mengemukakan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan mencakup tiga
dimensi, yang lebih populer dengan singkatan 3P, yaitu: mencapai keuntungan (profit)
bagi perusahaan, memberdayakan masyarakat (people), dan memelihara kelestarian alam
(planet).

Konsep CSR diatas tidak banyak berbeda dengan konsep stakeholders yang telah dibahas
sebelumnya. Berangkat dari konsep 3P yang dikemukakan oleh Elkington, konsep CSR
sebenarnya ingin memadukan tiga fungsi perusahaan secara seimbang, yaitu:
a. Fungsi ekonomis. Fungsi ini merupakan fungsi tradisional perusahaan, yaitu untuk
memperoleh keuntungan (profit) bagi perusahaan
b. Fungsi sosial. menjalankan fungsi ini melalui pemberdayaan manusianya, yaitu para
pemangku kepentingan (people/stakeholders) baik pemangku kepentingan primer
maupun pemangku kepentingan sekunder.
c. Fungsi alamiah. Perusahaan berperan dalam menjaga kelestarian alam (planet/bumi).
Perusahaan hanya merupakan salah satu elemen dalam sistem kehidupan di bumi ini.

Tingkat/Lingkup Keterlibatan dalam CSR


Walaupun sudah banyak perusahaan yang menyadari pentingnya untuk menjalankan
CSR, namun masih ada juga yang berkeberatan untuk menjalankannya. Perusahaan yang sudah
menjalankan CSR ini berbeda dalam memaknai maka keberhasilannya akan di tentukan oleh
tingkat kesadaran. Terdapat tiga tingkat kesadaran yang dimiliki oleh seseorang, yaitu: tingkat
kesadaran hewani, tingkat kesadaran manusiawi, dan tingkat kesadaran transendental. Mereka
yang masih berkeberatan dengan program CSR ini dapat dikatakan bahwa mereka ini masih
mempunyai tingkat kesadaran hewani, dan menganut teori etika egoisme.
Dengan cara berbeda, Lawrence, Weber, dan Post (2005) melukiskan tingkat kesadaran
ini dalam bentuk tingkat keterlibatan bisnis dengan para pemangku kepentingan dalam beberapa
tingkatan hubungan, yaitu: inactive, reactive, proactive, dan interactive. Berdasarkan
tingkat/lingkup keterlibatan ini, Lawrence, Weber dan Post (2005) membedakan dua prinsip
CSR, yaitu: prinsip amal (charity principles) dan prinsip pelayanan (stewardship principles).

Pro dan Kontra terhadap CSR


Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, masih banyak pihak yang menentang implementasi
CSR walaupun telah banyak pelaku bisnis dan pemangku kepentingan terkait yang menyadari
dan menyetujui pentingnya perusahaan untuk melaksanakan program CSR. Sonny Keraf (1998)
telah mencoba menginventarisasi alasan-alasan bagi yang mendukung dan menentang perlunya
perusahaan menjalankan program CSR.
● Alasan-alasan yang menentang CSR ini antara lain:
a. Perusahaan adalah lembaga ekonomi yang tujuan pokoknya mencari keuntungan,
bukan merupakan lembaga sosial
b. Perhatian manajemen perusahaan akan terpecah dan akan membingungkan mereka bila
perusahaan dibebani banyak tujuan
c. Biaya kegiatan sosial akan meningkatkan biaya produk yang akan ditambahkan pada
harga produk sehingga pada gilirannya akan merugikan masyarakat/konsumen itu
sendiri
d. Tidak semua perusahaan mempunyai tenaga yang terampil dalam menjalankan kegiatan
sosial.
● Alasan-alasan yang mendukung CSR adalah:
a. Kesadaran yang meningkat dan masyarakat yang makin kritis terhadap dampak negatif
dari tindakan perusahaan yang merusak alam serta merugikan masyarakat sekitarnya.
b. Sumber daya alam yang makin terbatas
c. Menciptakan lingkungan sosial yang lebih baik
d. Perimbangan yang lebih adil dalam memikul tanggung jawab dan kekuasaan dalam
memikul beban sosial dan lingkungan antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat
e. Bisnis sebenarnya mempunyai sumber daya yang berguna
f. Menciptakan keuntungan jangka panjang.

Anda mungkin juga menyukai