Anda di halaman 1dari 15

Penerapan terapi musik klasik pada pasien dengan gangguan persepsi sensori halusinasi

pendengaran di panti griya bhakti medika

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Menyelesaikan Stase Peminatan Jiwa
Program Studi Profesi Ners

Disusun Oleh :
Ratih Pisesa Pebriyanti
22030060

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


UNIVERSITAS YATSI MADANI
TANGERANG
2023
ABSTRAK
LEMBAR PERSETUJUAN

Penyusunan Penulisan laporan kasus stase peminatan ini telah disetujui dan diperiksa untuk di

presentasikan pada Stase Keperwatan jiwa

Program Studi Profesi Ners Universitas Yatsi Madani Tangerang

Tangerang, juli 2024

Menyetujui

Pembimbing

Mengetahui

Kaprodi Profesi Ners

Ttd & stempel

Ns. Cicirosnita J. Idu, S.Kep., M.Kep


LEMBAR PENGESAHAN

Penyusunan Penulisan laporan kasus stase peminatan ini telah disetujui dan diperiksa

untuk di presentasikan pada Stase Keperawtan Jiwa

Program Studi Profesi Ners

Universitas Yatsi Madani

Tangerang, juli 2024

Menyetujui

Pembimbing

Mengetahui

Kaprodi Profesi Ners

Ttd & stempel

Ns. Cicirosnita J. Idu, S.Kep., M.Kep


LEMBAR PENGESAHAN

Penerapan terapi musik klasik pada pasien dengan gangguan persepsi sensori halusinasi
pendengaran di panti griya bhakti medika

Disusun Oleh :
Ratih Pisesa Pebriyanti
22030060

Telah dipertahankan di hadapan Penguji

Tangerang juli 2024

Menyetujui

CI Akademik CI Lahan

...................... ...................

Mengetahui,

Kaprodi Profesi Ners Penguji


Daftar tabel
Daftar gambar
Daftar lampiran
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Kesehatan merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia baik sehat secara
fisik atau secara psikis (jiwa). Masalah kesehatan jiwa merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang demikian tinggi dibandingkan dengan masalah Kesehatan lain. World
Health Organization (WHO) 2018 menyatakan Kesehatan jiwa adalah seseorang dalam
keadaan sehat dan bisa merasakan kebahagiaan serta mampu dalam menghadapi tantangan
hidup, bersikap positif terhadap diri sendri maupun orang lain dan bisa menerima orang lain
sebagaimana mestinya (Yanti, et. al., 2020).
Kesehatan jiwa adalah dimana kondisi seorang individu berkembang secara fisik,
mental, spiritual, dan sosial sehingga menyadari kemampuan sendiri, mampu mengatasi
tekanan, bekerja secara produktif, dan memberikan kontribusi untuk komunitasnya. Namun,
bila kondisi perkembangan individu tersebut tidak sesuai disebut dengan gangguan jiwa (UU
No. 18 tahun 2014). Menurut American Psychiatric Association (APA) gangguan jiwa adalah
suatu sindrom atau psikologis atau pola perilaku secara klinis yang terjadi pada individu dan
dihubungkan dengan adaya distress, disabilitas atau disertai adanya peningkatan resiko yang
bermakna seperti kehilangan kebebasan, ketidakmampuan, menyebabkan sakit atau bahkan
kehilangan nyawa (Yanti, et. al., 2020).
Prevalensi gangguan jiwa di seluruh dunia menurut data WHO, (World Health
Organization) pada tahun 2019, terdapat 264 juta orang mengalami depresi, 45 juta orang
menderita gangguan bipolar, 50 juta orang mengalami demensia, dan 20 juta orang jiwa
mengalami skizofrenia (WHO, 2019).
Di Indonesia, berdasarkan hasil Riskesdes 2013 prevalensi gangguan jiwa berat 1,7
per mil. Sedangkan menurut Riskesdas 2018 jumlah kasus gangguan jiwa berat di Indonesia
meningkat menjadi 7 per mil dengan kenaikannya 5,3 per mil. Gangguan jiwa berat terbanyak
di Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Selatan, Bali, dan Jawa Tengah. Gangguan jiwa seperti
skizofrenia/psikosis lebih banyak di perdesaan (7%) dari pada di perkotaan (6,4%) dengan
perbedaannya 0,6% lebih banyak di perdesaan dibandingkan perkotaan (Kemenkes, 2018).
. Halusinasi terbagi dalam 5 jenis yaitu halusinsi penglihatan, halusinasi pengecapan,
halusinasi penghirupan, halusinasi perabaan, dan halusinsi pendengaran. Di Rumah Sakit
Jiwa di Indonesia, sekitar. 70% halusinasi yang dialami oleh pasien gangguan jiwa adalah
halusinasi pendengaran, 20% halusinasi penglihatan, dan 10% adalah halusinasi penghidu,
pengecapan dan perabaan. Angka terjadinya halusinasi cukup tinggi Halusinasi tertinggi
adalah halusinasi pendengaran (Keliat, et. al., 2014).
Halusinasi pendengaran adalah halusinasi yang paling sering dialami oleh penderita
gangguan mental misalnya mendengar suara melengking, mendesir, bising, dan dalam bentuk
kata-kata atau kalimat individu merasa siara itu tertuju padanya, sehingga penderita sering
terlihat bertengkar atau berbicara dengan suara yang di dengarnya. Dampak yang muncul
akibat halusinasi adalah hilangnya control diri yang menyebabkan seseorang menjadi panik
dan perilakunya di kendalikan oleh halusinasi seperti histeria, kelemahan, ketidakmampuan
mencapai tujuan, rasa takut berlebih, pikiran buruk serta menimbulkan resiko tindak
kekerasan jika tidak segera ditangani (Muhith, 2015).
Berdasarkan hal tersebut, gangguan halusinasi dapat diatasi dengan terapi
farmakologis dan nonfarmakologis. Terapi nonfarmakologis lebih aman digunakan karena
tidak menimbulkan efek samping seperti obat-obatan, karena terapi nonfarmakologis
menggunakan proses fisiologis. Salah satu terapi nonfarmakologis yang efektif adalah
mndengarkan musik. Musik memiliki kekuatan untuk mengobati penyakit dan meningkatkan
kemampuan pikiran seseorang. Ketika musik diterapkan menjadi sebuah terapi musik dapat
memulihkan dan memelihara kesehatn fisik, mental, emosional, social dan. spiritual. Pada
zaman modern terapi musik banyak digunakan oleh psikolog maupun psikiater untuk
mengatasi berbagai macam gangguan kejiwaan, gangguan mental atau gangguan psikologis
(Muhith, 2015).
Terapi musik terdiri dari dua kata yaitu terapi dan musik. Kata terapi berkaitan
dengan serangkaian upaya yang dirancang untuk membantu atau menolong orang. Terapi
musik adalah sebuah terapi Kesehatan yang menggunakan musik dimana tujuannya adalah
untuk meningkatkan atau memperbaiki kondisi fisik, emosi, kognitif dan sosial bagi individu
dari berbagai kalangan usia. Bagi orang sehat terapi musik bisa dilakukan untuk mengurangi
stress dengan cara mendengarkan musik (Setyoadi & Kushariyadi, 2011). Musik dibagi atas
dua jenis yaitu musik "acid" (asam) dan "alkaline" (basa). Musik yang menghasilkan acid
adalah musik hard rock dan rapp yang membuat seseorang menjadi marah, bingung, mudah
terkejut dan tidak fokus. Musik yang menghasilkan alkaline adalah musik klasik yang lembut,
musik instrumental, musik meditatif dan musik yang dapat membuat rileks dan tenang seperti
musik klasik. Musik klasik mampu memperbaiki konsentrasi, ingatan dan presepsi spasial.
Musik klasik juga dapat membantu memperkuat kesadaran dan meningkatkan organisasi
metal seseorang jika didengarkan selama sepuluh hingga lima belas menit sehingga
mendapatkan ketenangan (Wijayanto & Agustina, 2017).
Hasil dari penelitian Wijayanto & Agustina (2017), didapatkan dengan jumlah
tingkat halusinasi pendengaran setelah diberikan terapi musik klasik terjadi penurunan yaitu
27 responden (90%). Selain itu, menurut hasil penelitian yang dilakukan (Nilasari, et. al.,
2022) yang dilakuan pada pasien skizofrenia di RSJD Dr. Arif Zainuddin Surakarta dengan
hasil yang didapatkan yaitu Adanya penurunan tingkat halusinasi pada Tn. A dan Tn. E
terdapat tingkat halusinasi pendengaran 20 dan 18 menjadi 16 dan 10 dalam kategori
halusinasi pendengaran tingkat sedang, setelah diberikan terapi musik klasik selama 5 hari
berturut-turut dengan durasi kurang lebih selama 15 menit di RSJD. Pemberian terapi musik
klasik menurunkan tingkat halusinasi, suara bisikan berkurang, sehingga pasien menjadi lebih
tenang, fokus, nyaman, dan mampu bersosialisasi dengan oranglain (Yanti, et. al., 2020). Hal
ini menunjukan hasil bahwa terapi musik klasik sangat efektif bagi penderita gangguan jiwa
untuk mengatasi tingkat halusinasi.
Hasil survey yang dilakukan peneliti di Panti Griya Bhakti, Kecamatan Poris,
Keluarahan Poris Palawad, didapatkan klien yang mengalami gangguan jiwa pada bulan
januari 2023 sebanyak 52 klien, dan klien dengan Isolasi sosial sebanyak 17 klien dan masih
butuh intervensi lanjutan salah satunya adalah Tn. H yang mengalami halusinasi pendengaran

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan masalah dan latar belakang di atas, penulis ingin melakukan asuhan
keperawatan jiwa pada pasien halusinasi pendengaran dengan menggunakan terapi musik
klasik
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Penulis mampu mampu melakukan asuhan keperawatan secara komprehensif meliputi aspek
bio, psiko, sosio dan spritual pada klien dengan gangguan isolasi sosial menggunakan
pendekatan keperawatan meliputi pengkajian, diagnosa, perencanaan, implementasi dan
evaluasi.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Melakukan pengkajian pada klien Halusinasi pendengaran
2. Menentukan diagnosa keperawatan pada klien Halusinasi pendengaran
3. Melakukan perencanaan keperawatan pada klien Halusinasi pendengaran
4. Melakukan implementasi keperawatan pada klien Halusinasi pendengaran
5. Melakukan evaluasi keperawatan pada klien Halusinasi pendengaran
1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi Penulis
Diharapkan dapat memberikan ilmu pengetahuan, informasi serta pengalaman baru bagi
peneliti tentang Terapi musik pada pasien Halusinasi pendengaran.
1.4.2 Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan dapat bermanfaat bagi institusi pendidikan sebagai sumber informasi atau
referensi tambahan mengenai kasus gangguan jiwa Halusinasi pendengaran.
1.4.3 Bagi Masyarakat
Diharapkan bermanfaat untuk meningkatkan pengetahuan mengenai Terapi musik pada
pasien Halusinasi pendengaran sehingga dapat mencegah dan menangani kasus Halusinasi
pendengaran.
1.4.4 Bagi Panti
Diharapkan dapat bermanfaat untuk meningkatkan pengetahuan pada pasien yang
mengalami Halusinasi pendengaran untuk dapat menerapkan terapi tersebut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Halusinasi
2.1.1 Pengertian
Halusinasi pendengaran adalah mendengar suara atau kebisingan yang kurang jelas
ataupun yang jelas, dimana terkadang suara-suara tersebut seperti mengajak bicara klien dan
kadang memerintah klien untuk melakukan sesuatu. (kusumawati dkk, 2010).
Halusinasi pendengaran adalah mendengar suara atau kebisingan, paling sering suara
orang. Suara berbentuk kebisingan yang kurang jelas sampai kata-kata yang jelas berbicara
tentang klien, bahkan sampai pada percakapan lengkap antara dua orang yang mengalami
halusinasi. Pikiran yang terdengar dimana klien mendengar perkataan bahwa klien disuruh
untuk melakukan sesuatu kadang dapat membahayakan (azizah, 2016)

2.12 Etiologi Halusinasi


Faktor predisposisi klien halusinasi menurut (Damaiyanti dkk, 2012):
1. Faktor predisposisi
a. Faktor perkembangan
Tugas perkembangan klien terganggu misalnya rendahnya kontroldan kehangatan keluarga
menyebabkan klien tidak mampu mandirisejak kecil, mudah frustasi, hilang percaya diri.
b. Faktor sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima dilingkungan sejak bayiakan merasa disingkirkan,
kesepian, dan tidak percaya pada lingkungan
c. Faktor biologis
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress yang berlebihan
dialami seseorang maka didalam tubuh akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat
halusinogen neurokimia. Akibat stress berkepanjangan menyebabkan teraktivasinya
neurotransmitter otak.
d. Faktor psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus pada
penyalahgunaan zat adikitif. Hal ini berpengaruh pada ketidakmampuan klien dalam
mengambil keputusan yang tepat demi masa depannya, klien lebih memilih kesenangan
sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam khayal.
e. Faktor genetik dan pola asuh
Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orang tua schizofrenia cenderung
mengalami skizofrenia. Hasil studi menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan
hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.
2. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi merupakan stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai tantangan,
ancaman, atau tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk menghadapinya. Seperti adanya
rangsangan dari lingkungan, misalnya partisipasi klien dalam kelompok, terlalu lama tidak
diajak komunikasi, objek yang ada di lingkungan dan juga suasana sepi atau terisolasi, sering
menjadi pencetus terjadinya halusinasi. Hal tersebut dapat meningkatkan stress dan
kecemasan yang merangsang tubuh mengeluarkan zat halusinogenik (Fitria 2012).
Rentang Respon Halusinasi

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Pikiran logis Distorsi pikiran (pikiran kotor) Gangguan

Persepsi akurat Ilusi pikir/delusi

emosi konsisten Reaksi emosi berlebih Halusinasi

dengan pengalaman atau kurang Perilaku disorganisasi

perilaku sesuai perilaku aneh dan tidak bisa Isolasi sosial

hubungan sosial menarik diri

Keterangan :

a. Respon adaptif
Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima oleh norma-norma sosial budaya yang
berlaku. Dengan kata lain individu tersebut dalam batas normal jika menghadapi suatu masalah
akan dapat memecahkan masalah tersebut, respon adaptif :
1) Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan.
2) Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan.
3) Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul dari pengalaman.
4) Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas kewajaran.
5) Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang lain dan lingkungan.

b. Respon psikososial meliputi:


1) Proses fikir terganggu .
2) Ilusi adalah interprestasi atau penilaian yang salah tentang penerapan yang benar-benar terjadi
(objek nyata) karena rangsangan panca indera.
3) Emosi berlebihan atau berkurang.
4) Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi batas kewajaran.
5) Menarik diri yaitu percoban untuk menghindar interaksi dengan orang lain.

c. Respon maladaptif
Respon individu dalam menyelesaikan masalah yang menyimpang dari norma-norma sosial
budaya dan lingkungan. Adapun respon maladaptif meliputi:
1) Kelainan pikiran (waham) adalah keyakinan yang secara kokoh dipertahankan walaupun tidak
diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan kenyataan sosial.
2) Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau persepsi eksternal yang tidak realita atau
tidak ada.
3) Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul dari hati.
4) Perilaku tidak terorganisir merupakan suatu perilaku yang tidak teratur.
5) Isolasi sosial adalah kondisi dimana seseorang merasa kesepian tidak mau berinteraksi dengan
orang dan lingkungan

2.2 Jenis Jenis Halusinasi


1. Halusinasi Pendengaran ( auditory )
Mendengar suara yang membicarakan, mengejek, menertawakan,mengancam, memerintahkan
untuk melakukan sesuatau (kadang-kadang hal yang berbahaya). Perilaku yang muncul adalah
mengarahkan telinga pada sumber suara, bicara atau tertawa sendiri, marah-marah tanpa sebab,
menutup telinga, mulut komat-kamit, dan adanya gerakan tangan.
2. Halusinasi Pengihatan (visual)
Stimulus penglihatan dalam bentuk pencaran cahaya, gambar, orang atau panorama yang
luas dan kompleks, biasanya menyenangkan atau menakutkan. Perilaku yang muncul adalah tatapan
mata pada tempat tertentu, menunjuk kearah tertentu, serta ketakutan pada objek yang dilihat.
3. Halusinasi Penciuman (Olfaktori)
Tercium bau busuk, amis, dan bau yang menjijikan seperti :darah, urine atau feses, kadang-
kadang terhidu bau harum seperti parfum.Perilaku yang muncul adalah ekspresi wajah seperti
mencium, mengarahkan hidung pada tempat tertentun dan menutup hidung.
4. Halusinasi pengecapan (gustatory)
Merasa mengecap sesuatu yang busuk, amis, dan menjijikkan, seperti rasa darah, urine, dan
feses. Perilaku yang muncul adalah seperti mengecap, mulut seperti gearakan mengunyah sesuatu
sering meludah, muntah.
5. Halusinasi Perabaan (taktil)
Mengalami rasa sakit atau tidak enak tanpa stimulus yang terlihat, seperti merasakan sensasi
listrik datang dari tanah, benda mati atau orang lain, merasakan ada yang menggerayangi tubuh
seperti tangan, binatang kecil dan mahluk halus. Perilaku yang muncul adalah mengusap,
menggaruk-garuk atau meraba-raba permukaan kulit, terlihat menggerak-gerakan badan seperti
merasakan sesuatu rabaan.
2.3 Tanda dan Gejala Halusinasi
Menurut Trimelia (2011), data subyektif dan obyektif klien halusinasi pendengaran adalah
sebagai berikut:
a. Menyeringai atau tertawa yang tidak sesuai
b. Menggerakkan bibirnya tanpa menimbulkan suara
c. Gerakan mata cepat
d. Respon verbal lambat atau diam
e. Diam dan dipenuhi oleh sesuatu yang mengasyikkan
f. Terlihat bicara sendiri
g. Menggerakkan bola mata dengan cepat
h. Bergerak seperti membuang atau mengambil sesuatu
i. Duduk terpaku, memandang sesuatu, tiba-tiba berlari ke ruangan lain
j. Disorientasi (waktu, tempat, orang)
k. Perubahan kemampuan dan memecahkan masalah
l. Perubahan perilaku dan pola komunikasi
m. Gelisah, ketakutan, ansietas
n. Peka rangsang
o. Melaporkan adanya halusinasi

2.4 Mekanisme Koping


Menurut Prabowo (2014) mekanisme koping klien dengan Halusinasi yaitu :
a. Regresi : menjadi malas beraktifitas sehari-hari
b. Proyeksi : menjelaskan perubahan suatu persepsi dengan berusaha untuk mengalihkan tangggung
jawab kepada orang lain.
c. Menarik diri : sulit mempercayai orang lain dan asik dengan stimulus internal.

2.5 Penatalaksanaan Halusinasi Pendengaran


1. Psikofarmakologis
Dengan pemberian oabat-obatan yang lazim digunakan pada gejala halusinasi pendengaran
yang merupakan gejala pada klien skizoprenia adalah obat-obatan anti psikosis, karena skizofrenia
merupakan salah satu jenis gangguan psikosis (erlina, 2010).
Pada klien halusinasi terapi medis seperti:
- haloperidol (HLP)
-Clapromazine (CPZ)
-Trihexyphenidyl (THP)
(Azizah dkk, 2016)

2. Terapi Non Farmakologis


a. Terapi kelompok
b. Terapi group (kelompok terapeutik)
c. Terapi aktivitas kelompok (adjuntive group activity therapy)
TAK stimulus persepsi: Halusinasi
- Sesi 1 : Mengenal halusinasi
- Sesi 2 : Mengontrol halusinasi dengan menghardik
- Sesi 3 : Mengontrol halusinasi dengan melakukan kegiatan
- Sesi 4 : Mencegah halusinasi dengan bercakap-cakap
- Sesi 5 : Mengontrol halusinasi dengan patuh minum obat
d. Terapi lingkungan (Prabowo, 2014)

TERAPI AKTIVITAS MENDENGARKAN MUSIK KLASIK

Anda mungkin juga menyukai