Anda di halaman 1dari 22

I.

MEMAHAMI KEBUDAYAAN
Salah satu tugas yang harus pertama-tama dikerjakan oleh seorang misionaris yang
memasuki budaya baru ialah menjadi pelajar dari budaya tersebut. Artikel berikut ini
menjelaskan satu cara yang dapat membantu kita; yaitu memandang suatu budaya dengan
membayangkan beberapa “lapisan” berturut-turut, atau tingkat-tingkat pemahaman, pada
saat seseorang memasuki inti yang sebenarnya dari suatu budaya. Pertimbangkan
bagaimana 4 lapisan dari tingkah laku, nilai, kepercayaan dan pandangan dunia tampak
dalam suku Anda sendiri saat Anda membaca artikel berikut ini.

tingkah laku
Memahami Kebudayaan
nilai-nilai

kepercayaan

pandangan
dunia
Apa yang nyata?
Apa yang benar?

Apa yang baik/terbaik?

Apa yang dilakukan/dimaksudkan?

Empat Lapis Budaya yang Bertindih


Lloyd Kwast 1

TINGKAH LAKU
Hal yang paling menarik perhatian kita saat memasuki suatu suku bangsa baru adalah
tingkah laku. Hal ini merupakan lapisan paling luar dan yang paling tampak dari suatu
budaya: kegiatan orang, yaitu apa yang sedang dilakukannya.

NILAI-NILAI
Dalam mengamati suatu budaya, kita mulai menyadari bahwa banyak dari tingkah laku
yang diamati rupanya ditentukan oleh pilihan-pilihan yang mirip yang dibuat sebelumnya
oleh masyarakat. Dan tak diragukan lagi, pilihan-pilihan ini mencerminkan hal nilai-nilai
budaya, yang merupakan lapisan berikutnya dari pandangan kita tentang budaya. Hal-hal
ini selalu berkenaan dengan pilihan-pilihan mengenai apa yang “baik”, apa yang
“menguntungkan”, atau apa yang “terbaik”.

1 Llyod Kwast mengajar selama delapan tahun di sebuah universitas dan sekolah agama di Cameroon, Afrika Barat di
bawah naungan “North American Baptist Missionary Society”. Beliau mengepalai Departemen Misi di Seminari “Talbot
Theological”, dan seorang Profesor di “Biola University School of Intercultural Studies” dan Direktur untuk program
“Doctor of Misisology”.

5- 1
Keputusan-keputusan tersebut membantu orang-orang yang hidup di dalam suatu budaya
untuk mengetahui apa yang “seharusnya” dilakukan agar bisa “cocok” atau menyesuaikan
diri pada pola kehidupan.

KEPERCAYAAN-KEPERCAYAAN
Di luar pertanyaan-pertanyaan mengenai tingkah laku dan nilai-nilai, kita menghadapi satu
pertanyaan yang lebih mendasar dalam sifat kebudayaan. Hal ini membawa kita pada
tingkat yang lebih mendalam dari suatu pemahaman, yaitu kepercayaan-kepercayaan
budaya. Kepercayaan-kepercayaan ini memberikan jawaban bagi suatu budaya terhadap
pertanyaan ini: "Apa yang benar?" Nilai-nilai dalam budaya mencerminkan suatu sistem
pokok dari kepercayaan.

PANDANGAN DUNIA (CARA MEMANDANG KEHIDUPAN)


Inti dari setiap budaya adalah pandangan dunia (cara memandang kehidupan).
Maksudnya dapat menjawab pertanyaan yang paling mendasar: "Apa yang nyata?" Bagian
ini lebih berkenaan dengan pertanyaan-pertanyaan “utama” mengenai kenyataan, dan
pertanyaan-pertanyaan yang jarang ditanyakan namun budaya menyediakan jawaban-
jawaban yang paling penting. Definisi inti dari setiap budaya menjelaskan kebingungan
yang dialami banyak orang pada tingkat kepercayaan. Cara memandang kehidupan yang
dimiliki seseorang memberikan suatu sistem kepercayaan yang dicerminkan dalam nilai-
nilai dan tingkah laku yang sebenarnya.

Terkadang seseorang menerima suatu sistem kepercayaan yang baru dan berbeda, tetapi
tidak merubah pandangan dunianya (cara memandang kehidupan). Sebagai contoh,
seorang keturunan Cina berubah kepercayaannya dari Budha kepada Kristen. Tetapi
wawasannya tidak berubah. Terbukti dari tradisi yang belum ditinggalkannya, untuk
memberikan makanan di makam keluarga pada Tahun Baru Cina. Kadangkala orang-orang
yang menyebarkan Injil secara lintas budaya gagal mengingat akan masalah cara
memandang kehidupan dan oleh karena itu mereka menjadi kecewa karena kurangnya
perubahan sejati yang dihasilkan oleh usaha mereka.

Model budaya ini jauh terlalu sederhana untuk menjelaskan banyaknya unsur rumit dan
hubungan yang ada di setiap budaya. Bagaimanapun, sifat sederhana dari model ini
dianjurkan sebagai skema dasar bagi pelajar dari budaya manapun.

II. TANTANGAN LINTAS BUDAYA


Sekarang marilah kita mempertimbangkan beberapa topik yang berhubungan dengan proses
memasuki satu kebudayaan yang baru. Artikel berikut ini mempunyai beberapa contoh
nyata: bagaimana hubungan dan pelayanan lintas budaya dirumitkan oleh faktor-faktor
budaya.

A. KESALAHPAHAMAN DAN MASALAH LINTAS BUDAYA

5- 2
Kesalahpahaman Lintas Budaya 2

3
Paul G. Hiebert
Ketika orang-orang dari dua budaya yang berbeda berhubungan satu dengan yang lain,
kesimpulan seseorang tentang budaya lainnya sering diambil berdasarkan anggapan-
anggapan budayanya sendiri. Sebagai contoh kita lihat apa yang mungkin terjadi ketika
orang-orang dari budaya yang berbeda menentukan jam untuk rapat. Bila orang Amerika
Utara membuat janji untuk pukul 10.00, dia mengharapkan orang lain tiba dalam waktu
lima menit dari waktu itu. Bila orang tersebut datang pada pukul 10:15, dia dianggap
sudah “terlambat” dan permintaan maaf adalah wajib. Apabila dia terlambat 45 menit, hal
itu sama seperti tidak datang sama sekali, berarti dia melakukan pelanggaran yang cukup
berat. Di berbagai bagian dari Arab, orang-orang mempunyai konsep waktu yang berbeda.
Bila perjanjiannya dibuat untuk pukul 10.00, hanya si pembantu/karyawan yang
diharapkan untuk muncul tepat waktu, karena ketaatannya kepada majikannya. Waktu
yang tepat untuk semua lain adalah dari 10:45 sampai 11:15, menunjukkan kemandirian
dan kesamarataan. Orang Amerika Utara mungkin berpikir bahwa orang Arab tidak
mempunyai rasa sopan santun atau menghargai waktu apabila dia muncul 45 menit
“terlambat” untuk janjinya, tapi ini tidaklah betul.

Kesalahpahaman budaya seringkali timbul dari tindakan-tindakan yang dilakukan secara


tidak sadar. Prinsip ini dapat diilustrasikan melalui bagaimana beberapa orang menyukai
adanya jarak secara fisik pada saat mereka berbicara satu dengan yang lain. Pada
umumnya orang-orang Amerika Utara berdiri dalam jarak sekitar satu setengah meter saat
berdiskusi masalah umum. Bila mereka ingin membicarakan hal-hal yang lebih bersifat
pribadi, mereka mungkin lebih mendekat dalam jarak sekitar satu meter dan mengecilkan
volume suaranya. Biasanya orang Amerika Latin berdiri dalam jarak satu meter bila
mereka berdiskusi masalah biasa dan lebih dekat lagi bila menyangkut masalah pribadi.

Kesalahpahaman dapat timbul bila seorang Amerika Utara bertemu dengan seorang
Amerika Latin. Orang Latin mungkin maju membuat jarak satu meter untuk bercakap-
cakap. Orang Amerika Utara merasa gelisah dalam jarak ini, maka mungkin dia akan
melangkah mundur. Orang Latin yang merasa bahwa seakan-akan dia bercakap-cakap ke
“seberang ruangan” akan melangkah maju lagi. Sewaktu percakapan terus berlangsung
(atau mungkin berhenti) orang Latin mendapatkan kesan bahwa orang Amerika Utara
bersikap dingin dan tidak ramah, sedangkan orang Amerika Utara mungkin berpikir bahwa
orang Amerika Latin suka memaksakan dirinya dan bersikap terlalu akrab.

Tugas utama saat memasuki suatu budaya yaitu menjadi pengamat akan cara-cara yang
biasa dilakukan. Dan jangan pernah menghakimi sikap berdasarkan anggapan budaya kita
sendiri dan latar belakangnya. Seharusnya kita menganggap bahwa apa yang dilakukan di
budaya yang lain adalah hal yang biasa dan mencari tahu sebabnya. Kesalahpahaman
dapat timbul karena ketidakpedulian terhadap budaya lain.

2 Bagian ini diringkaskan dari Hiebert, P.G. (1976). Culture and cross cultural differences. In A. F. Glasser et al. (Eds.),
Crucial dimensions in world evangelization (pp. 45-60). Pasadena: William Carey Library.
3 Paul G. Hiebert adalah dosen misi dan antropologi, dan ketua Fakultas Misi dan Penginjilan di Trinity Evangelical Divinity
School.

5- 3
KESOMBONGAN ETNIS

Setiap dari kita tumbuh di tengah-tengah dunia kita sendiri. Secara alami kita menjadi
‘egosentris’. Hanya pada saat kita menjadi dewasa, kita mulai menyeberangi jarak antara
‘aku’ dan ‘kamu’ untuk memahami cara pandang orang lain. Kita juga tumbuh di tengah-
tengah suatu budaya tertentu dan belajar cara-caranya yang dianggap benar. Kita melihat
budaya dan kebiasaan orang lain dengan penuh kecurigaan, bahkan berpikir bahwa
budaya mereka merupakan sesuatu yang rendah mutunya. Kesombongan etnis ini
berdasar pada kecenderungan alami untuk menghakimi sikap orang lain atas dasar
anggapan atau prinsip kita sendiri.

Orang-orang barat biasanya menganggap bahwa cara yang ‘tepat’ untuk makan yaitu
menggunakan pisau dan garpu. Mereka mungkin jijik pada saat mereka melihat orang
India dan Timur Tengah makan dengan menggunakan jari tangan mereka. Cara makan
yang dianggap ‘tidak tepat’ ini dipandang sangat berbeda dari sudut pandang orang India.
Pada saat orang India makan menggunakan jari tangannya dan memasukkannya ke dalam
mulut, dia berkata, “Anda lihat bahwa kami mencuci tangan kami dengan bersih, lagipula
tangan ini belum pernah masuk ke mulut orang lain. Tapi lihat sendok-garpu ini, dan
bayangkan berapa orang sudah memasukkanya ke mulut mereka!”

Kesalahpahaman lintas budaya terjadi karena kurangnya pengetahuan tentang budaya


yang lain, sedangkan kesombongan etnis biasanya terjadi karena perasaan dan nilai-nilai.
Bila pengenalan dilakukan, perasaan yang membedakan ‘mereka’ dari ‘kami’ harus
dibereskan. Pada saat ‘mereka’ menjadi bagian dari lingkaran orang yang kita anggap
‘orang-orang seperti kita’, maka kita telah berhasil membereskan masalah kesombongan
etnis.

Terjemahan Alkitab

Seringkali misionaris dipanggil untuk pekerjaan terjemahan Alkitab, biasanya bila mencoba
untuk menjangkau suku yang terabaikan. Terjemahan merupakan tugas yang sulit sebab
tidak ada satu katapun dalam suatu budaya yang mempunyai makna yang persis sama
dalam budaya yang lain. Kata-kata merupakan simbol yang kepadanya selalu disematkan
arti dan nilai kebudayaan. Kita mungkin menemukan kata-kata yang mewakili obyek atau
benda yang sama, tetapi arti pokok yang mendasari obyek tersebut akan berbeda dari
satu budaya ke budaya yang lain.
Hiebert menggambarkan masalah yang biasa terdapat dalam terjemahan Alkitab dengan
contoh berikut ini:
Bagaimana Anda menerjemahkan ‘Anak Domba Allah’ (Yohanes 1:29) ke dalam
bahasa Eskimo di mana tidak ada kata atau satu pengalaman dengan hewan yang kita
sebut ‘domba’? Apakah Anda akan tetap menggunakan kata tersebut sebagai kata
yang baru bagi mereka dan menambahkan catatan kaki
untuk menggambarkan makhluk tersebut yang tidak ada
dalam pikiran mereka? Atau Anda akan menggunakan satu
kata seperti ‘anjing laut’ yang memiliki arti yang sama
dalam budaya mereka seperti ‘anak domba’ dalam budaya
Palestina? Sangat jelas bahwa perbedaan kebudayaan

5- 4
menimbulkan permasalahan saat kita menerjemahkan suatu warta dari satu bahasa
dan budaya ke dalam bahasa dan budaya yang lain. 4
Penerjemah di masa lalu tidak selalu mengerti tentang masalah arti, dan hasilnya
merupakan suatu terjemahan yang sulit diterima.

Injil dan Budaya

Harus dibuat perbedaan yang jelas antara Injil dan budaya. Bila perbedaan ini tidak dibuat
maka seseorang akan menanggung suatu resiko mengabarkan budaya dan bukanlah Injil.
Demokrasi, kapitalisme, bangku-bangku gereja, mimbar, sistem organisasi dan peraturan-
peraturan, pakaian formal pada hari Minggu adalah beberapa ‘barang-barang’ budaya
yang telah melekat pada pesan Injil. Penolakan kekristenan seringkali karena penolakan
beban budaya asing yang diletakkan pada warta tersebut dan bukan karena warta itu
sendiri.

Sinkretisme vs. Kepribumian

Sinkretisme terjadi pada saat suatu bentuk budaya atau simbol telah diadaptasi menjadi
ungkapan Kristen dalam satu budaya tetapi tetap membawa makna yang melekat dari
sistem kepercayaan yang terdahulu. Sebagai contoh, pesta penyembahan berhala
tradisional mungkin disesuaikan untuk digunakan oleh orang-orang Kristen, tetapi
beberapa bentuk budaya tetap mengandung makna konotasi okultisme. Makna yang lama
dapat membuat makna Kristen yang diinginkan menjadi kurang jelas atau kurang tepat.
Ketakutan akan sinkretisme telah menjadi satu dari banyak alasan mengapa misionaris
tidak selalu terbuka untuk menyesuaikan bentuk budaya terhadap Injil.

Pada saat penyesuaian bentuk budaya telah dilakukan secara hati-hati, kepribumian,
bukannya sinkretisme, yang akan terjadi. Kepribumian dapat sukses bila suatu budaya
menemukan cara membuat makna ungkapan Kristen melalui penyesuaian atau penciptaan
bentuk-bentuk yang cocok terhadap budaya. Makna Kristen tetap terjaga tanpa beban
‘barang-barang’ budaya asing.

B. KEJUTAN BUDAYA

Seperti yang telah kita temukan, kalau seseorang hidup dalam lingkungan lintas budaya,
ada banyak hal yang berbeda dalam kebudayaan baru yang dapat menyebabkan
kesalahpahaman dalam hubungan dan kerumitan dalam pelayanan. Tekanan dari
perbedaan-perbedaan dalam kehidupan seorang pekerja lintas budaya dapat dinyatakan
sebagai kejutan budaya (culture shock). Dalam artikel berikut ini, Stephen Hoke
menceritakan pengalamannya dengan gejala kejutan budaya.

Menghadapi Tekanan Lintas Budaya

4 Hiebert, P.G. (1976). Culture and cross-cultural differences. In A.F. Glasser et al. (Eds.), Crucial dimensions in world
evangelization (p. 54). Pasadena: William Carey Library

5- 5
Stephen T. Hoke 5
Kita semua adalah makhluk ciptaan dari budaya kita sendiri. Ketika kita bertumbuh, kita
memaku bersama suatu rakit kebiasaan yang membantu kita mengendarai/melewati
gelombang perubahan di dalam masyarakat kita. Tahun demi tahun, papan demi papan,
kita mengembangkan strategi untuk menghadapi kehidupan. Kita bahkan menikmati
pengamatan kaki langit yang luas asal kaki kita teguh bertahan di rakit di mana kita telah
sangat tahu sebagai sesuatu yang biasa.

Tekanan lintas budaya menggabungkan emosi kita yang rumit yang kita rasakan pada saat
pecahan-pecahan rakit kita mulai terpisah. Hingga saat ini papan keakraban terpasang
sangat kokoh bersama sehingga kita tidak menyadarinya. Sekarang ketika mereka hanyut
pergi, kita melihat setiap potongannya dengan penuh kerinduan. Tekanan lintas budaya
dapat membuat kebanyakan misionaris seperti ingin berhenti, tetapi saat mereka
mengerti, hal itu bisa menjadi pengalaman yang baik untuk belajar. Ada empat tahap
dalam gejala ini: 1) Jatuh cinta, 2) Reaksi, 3) Pengenalan, dan 4) Solusi. Bila kita tahu apa
yang harus kita harapkan, kita dapat mengahadapi perasaan kita sendiri dengan berbagai
cara yang kreatif dan dunia baru yang berhadapan dengan kita.

”Jatuh cinta” - Pertama-tama menyesuaikan dengan budaya baru tampaknya sangat


mudah. Dalam minggu-minggu pertama, terdapat beberapa ketidaknyamanan, tapi tidak
ada yang tidak dapat dihadapi. Anda benar-benar seperti penonton yang antusias,
menangkap apa yang dilihat dan membuat impresi. Anda menemukan diri Anda berkata:
“Makanan ini memang agak aneh, tapi lumayan enak” dan Anda hampir percaya bahwa
Anda mengatakan yang sebenarnya.

Reaksi - Tahap yang ke-dua paling tepat dapat digambarkan sebagai reaksi atas
kenyataan. Anda tambah pengalaman baru, yaitu munculnya kejengkelan dan
permusuhan! Kegiatan sehari-hari yang biasa Anda anggap sepele sekarang tampak
seperti masalah-masalah yang tak dapat diatasi. Rasa frustrasi ini dapat mengarah pada
krisis potensi pada saat Anda menyadari bahwa hal ini tidak akan sama ‘seperti di rumah’.
Pada saat ini dengan putus asa, Anda mungkin melekat pada nilai-nilai budaya Anda
sendiri atau sebagai lawannya ‘menjadi seperti penduduk asli’ dan secara total
meninggalkan budaya Anda sendiri beserta nilai-nilainya. Tidak satupun dari tanggapan ini
yang sehat, tapi kesulitan untuk melihat alternatif yang ke-tiga hanya menambah frustrasi
Anda.

Pengenalan - Tanda pertama pulihnya Anda dari tahap ‘Reaksi’ adalah kembalinya sifat
humor Anda. Saat Anda masuk ke tahap ke-tiga, kembalinya rasa humor Anda dibarengi
dengan suatu pengenalan akan bahasa isyarat yang tampak di wajah orang-orang, tingkah
laku dan nada bicara. Dengan mengembangkan kepandaian bahasa, Anda akan dapat
berkomunikasi lebih efektif. Anda mulai membangun rakit kebiasaan yang baru. Dengan
mulai lebih terbiasa dengan makanan, suara, kebiasaan non-verbal, Anda tidak lagi sering
sakit kepala dan sakit perut, dan Anda tidak lagi kebingungan, merasa tidak pasti dan
kesepian.

5 Dr. Stephen T. Hoke berpengalaman seumur hidup dalam pelayanan lintas budaya dan misi Kristen. Dia telah mengarang
30 artikel yang popular tentang misi. Jabatan terakhir adalah Wapres untuk Pelatihan dengan Church Resource Ministries
di California.

5- 6
Solusi - Tahap yang keempat adalah penyesuaian yang hampir lengkap. Disini Anda
sanggup berfungsi dengan efektif dalam dua budaya. Tahap ini dapat disebut ”berbudaya
rangkap.”

Individu Berbudaya Rangkap

Saat seseorang beradaptasi terhadap budaya baru, dia menjadi seorang individu
berbudaya rangkap. Individu berbudaya rangkap benar-benar hidup dalam dua dunia.
Bahkan kemungkinan mereka merasa lebih nyaman berada dalam budaya di mana mereka
diadopsi dibandingkan dengan kebudayaan asli mereka sendiri, tetapi di dalam dirinya
mereka masih merupakan bagian dari dua budaya tersebut. Tak menjadi masalah di dalam
budaya mana mereka berada, mereka selalu mencari hal-hal detail, seperti makanan atau
berita, yang mengukuhkan kembali bagian lain dari diri mereka. Saat yang paling
menyenangkan bagi mereka mungkin adalah saat mereka pindah dari satu budaya ke
budaya yang lain setelah begitu lama meninggalkannya.

III. SALURAN-SALURAN LINTAS BUDAYA


Dengan banyaknya tantangan yang perlu ditangani, kelihatannya sulit melayani lintas
budaya. Tetapi sebagai orang percaya, kita mengetahui bahwa segala hal itu dapat
dilakukan dengan pertolongan Allah. Sepanjang sejarah, banyak hal telah dipelajari tentang
pelayanan lintas budaya. Dua dari konsep ini yang sangat penting adalah identifikasi dan
kontekstualisasi.

A. IDENTIFIKASI
Identifikasi dari hati ke hati merupakan tindakan yang lebih dalam dari sekedar mengadopsi
baju dan kebiasaan dari sebuah kebudayaan yang baru. Kita belajar dari Yesus bahwa
identifikasi mulai dengan sikap rendah hati, dan kita dipanggil untuk berkorban dan
melayani sebagai hamba. Artikel berikut ini meletakkan Yesus di hadapan kita sebagai
contoh identifikasi untuk kita ikuti.

6
Laporan Willowbank
Komite Lausanne untuk Penginjilan Dunia
Yesus menghendaki agar pekerjaan misi yang dilakukan oleh para pengikut-Nya ke dalam
dunia mengikuti contoh yang telah ditinggalkan-Nya. “Sebagaimana Bapa telah mengutus
Aku, demikianlah juga Aku mengutus engkau,” demikian sabda-Nya (Yoh. 20:21). Oleh
sebab itu kami pun bertanya kepada diri sendiri, apakah konsekuensi Inkarnasi Yesus
(kedatangan-Nya sebagai manusia di dunia) bagi kita.

Dari hasil perenungan atas Filipi 2 kita melihat cara Kristus merendahkan diri dimulai dari
pikiran-Nya: “(Ia) tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus

6 “The Willowbank Report”, digunakan dengan permisi dari “Lausanne Committee for World Evangelization”, 1978.

5- 7
dipertahankan.” Sebagai orang Kristen pun perlu untuk membiarkan pikiran Kristus bekerja
dalam diri kita, untuk dengan pikiran (sikap) yang rendah hati menganggap orang-orang
lain lebih baik atau lebih penting dari diri kita sendiri. “Pikiran” atau sudut pandang Kristus
ini sungguh menghargai bahwa setiap manusia tiada terkira nilainya dan bahwa adalah
suatu kehormatan untuk dapat melayani mereka. Jadi, saksi-saksi Yesus yang benar-benar
memiliki pikiran Kristus harus menaruh respek terhadap masyarakat yang mereka layani,
demikian juga terhadap kebudayaan mereka.

Di dalam ayat-ayat itu terdapat dua tindakan yang dilakukan: Kristus telah
“mengosongkan diri-Nya” dan “merendahkan diri-Nya”, dan hal itu disebabkan oleh
pikiran-Nya. Yang pertama berbicara mengenai pengorbanan Kristus (apa yang bersedia
dilepaskan-Nya) dan yang kedua berbicara mengenai pelayanan atau pengabdian
(bagaimana Ia menjadi serupa dengan manusia dan menawarkan diri untuk melayani
kita). Kita telah coba merenungkan apa artinya kedua tindakan tersebut bagi Yesus, dan
apa artinya hal itu bagi pelayanan para saksi Kristus secara lintas budaya.

Sungguh tidak mungkin bagi kita untuk memahami kebesaran jiwa Kristus dalam tindakan
“mengosongkan diri” itu. Karena kita tak dapat membayangkan bagaimana kemuliaan
kekal yang dimiliki Kristus sebelum mengosongkan diri. Yang jelas, Ia melepaskan semua
hak, kehormatan serta kuasa yang dimiliki-Nya sebagai Putra Allah. Begitu juga di dalam
dunia ini “status” sosial sedemikian penting dalam kehidupan modern, tetapi hal itu kurang
pantas kalau ingin dicapai atau dipertahankan oleh para pekerja misi. Di mana pun
misionaris melayani, janganlah hendaknya mereka bekerja sendiri-sendiri atau memegang
kendala atas pekerjaan. Hendaknya mereka selalu bekerja sama dengan warga Kristen
setempat yang dapat menasihati dan bahkan memberi arahan kepada mereka. Dan
terlepas dari tanggungjawab yang dipikul olehnya, misionaris harus menaruh sikap
“melayani, dan bukannya mendominasi/mengatur” (Paragrap 11 dalam Lausanne
Covenant, Ikrar/Ikatan Janji di Lausanne).

Selanjutnya kita sampai kepada hal melepaskan kemandirian. Kita melihat Yesus,
bagaimana ia meminta minum kepada seorang wanita Samaria, bagaimana Ia tinggal dan
bermalam di rumah orang-orang lain dan hidup dari uang orang lain, karena Ia sendiri
tidak mempunyai uang. Bagaimana Yesus meminjam sebuah perahu, seekor keledai,
sebuah kamar loteng, dan bahkan bagaimana ia dimakamkan dalam kuburan orang yang
lain. Demikian juga, utusan-utusan Injil yang melakukan pelayanan lintas budaya perlu
belajar untuk bergantung kepada orang lain, terutama selama tahun-tahun pertama
pelayanan mereka.

Ketiga, melepaskan hak atas kekebalan. Yesus mengijinkan diri-Nya mengalami godaan,
kepedihan hati, keterbatasan, kekurangan uang, dan merasakan kesakitan. Oleh sebab itu,
misionaris pun tidak boleh kaget kalau ia juga diserang oleh godaan-godaan, bahaya dan
penyakit yang baru, kondisi iklim yang tidak cocok, rasa kesepian yang luar biasa, dan
tidak tertutup juga kemungkinan untuk mati.

Seperti diperlihatkan dalam Surat Ibrani, Tuhan mengidentifikasi diri-Nya seratus persen
dengan manusia. Ia sama-sama menjadi “darah dan daging” seperti kita, mengalami
cobaan yang sama, belajar ketaatan melalui penderitaan yang dialami, dan terakhir, Ia
pun mengalami kematian demi kita (Ibrani 2:14-16, 4:15, 5:8). Selama melayani

5- 8
secara publik, Yesus bersahabat dengan orang-orang kecil yang miskin dan tidak berdaya,
Ia menyembuhkan orang-orang sakit, memberi makan orang-orang lapar, mendekatkan
diri kepada orang-orang yang pantang didekati oleh warga lainnya, dan mempertaruhkan
nama baik-Nya karena bergaul dengan sampah masyarakat.

Untuk mengidentifikasi diri dengan masyarakat yang kita layani, perlu bahwa kita
menguasai bahasa mereka, menenggelamkan diri dalam kebudayaan mereka, belajar
berpikir seperti mereka berpikir, berperasaan dan berperilaku seperti mereka juga. Tidak
boleh ada sedikit pun jarak antara gaya hidup kita dan gaya hidup masyarakat di
sekeliling. Standar kehidupan yang kita pilih harus begitu rupa sehingga dapat
mengekspresikan kasih sayang yang penuh keperdulian dan kerelaan untuk membagi.
Standar itu sedemikian rupa sehingga menjadi sangat wajar untuk tolong-menolong tanpa
harus merasa malu, yaitu menunjukkan kemurahan tangan secara timbal balik. Sebagai
cara yang sangat praktis untuk mengetahui sejauh mana proses identifikasi itu sudah
berjalan, harus ditanyakan sejauh mana diri kita sudah merasa sebagai sebagian dari
masyarakat yang bersangkutan, dan yang lebih praktis lagi, sejauh mana masyarakat itu
sendiri merasa bahwa diri kita telah menjadi bagian dari mereka. Apakah kita dengan tulus
dapat ambil bagian dalam hari pengucapan syukur atau hari berkabung secara nasional
atau dalam suku yang bersangkutan? Seandainya negeri itu mengalami bencana alam atau
perang saudara, apakah naluri kita menyuruh kita tetap tinggal dan menderita bersama
masyarakat yang kita kasihi? Ataukah kita akan langsung angkat kaki dan kembali ke
negeri asal?

Meskipun Yesus mengidentifikasi diri-Nya seratus persen dengan manusia, Ia tidak pernah
menghilangkan identitas atau jati diri-Nya sendiri. Ia tetap mempertahankan kepribadian-
Nya. “Ia turun dari surga … dan dijadikan manusia” (Kredo Nicea); namun meski Yesus
menjadi manusia seperti kita, Ia tidak berhenti sebagai Allah. Seperti itu juga, “para
penginjil Kristus mesti dengan rendah hati mengosongkan diri dari segala-galanya, kecuali
jati dirinya yang asli” (paragraf 10 Ikrar/Ikatan Janji di Lausanne) Yang diajarkan oleh
inkarnasi Putra Allah adalah proses identifikasi tanpa kehilangan jati diri. Kami percaya
bahwa melalui semangat pengorbanan diri yang murni kita akan menemukan jati diri kita
yang sebenarnya. Pelayanan yang dilakukan dengan rendah hati memang menghasilkan
sukacita secara berlimpah.

B. KONTEKSTUALISASI
Untuk menyampaikan Kabar Baik dengan efektif kepada orang dari budaya yang berbeda,
kita harus berusaha melepaskan unsur-unsur tambahan dari budaya kita, dan
menyampaikannya sesuai dengan budaya yang difokuskan. Proses ini disebut
kontekstualisasi. Artikel berikut ini menjelaskan pentingnya kontekstualisasi.

Kontekstualisasi: Membawa Injil kepada Budaya-budaya Asia yang


Terabaikan
Oleh: Jon Culver 7

7 Jon Culver meraih gelar Ph.D dari Fuller Theological Seminary di Pasadena, California pada tahun 2001.  Beliau telah
melayani secara lintas budaya di Indonesia sejak tahun 1982. Ia juga mengajar dalam bidang sejarah gereja dan misi di

5- 9
Bagaimana kita harus menyampaikan Injil secara lintas budaya kepada suku bangsa yang
berbeda sama sekali dengan budaya kita? Ke manakah kita harus meminta petunjuk?
Bayangkanlah seorang Kristen anggota sebuah suku di pedalaman Papua Nugini yang
tadinya kepala suku yang sangat bersemangat tetapi kemudian dengan bantuan dana dari
Barat diutus untuk memenangkan kelompok etnis Budha. Pakaian apakah yang harus
dikenakannya? Makanan apakah yang boleh dimakannya? Dengan bahasa apakah ia harus
berbicara? Bolehkah ia memakai bahasa pribuminya sendiri ataukah harus memakai
bahasa dari kelompok etnis yang dilayaninya?

Atau bayangkanlah seorang Kristen dari suku Eskimo yang kemudian harus membawa Injil
kepada suku Badui di gurun Sahara. Pasti ia pun harus melakukan hal yang sama: untuk
dapat bertahan hidup dan diterima oleh masyarakat setempat, ia harus mengenakan
pakaian seperti orang-orang setempat, makan makanan lokal dan berbicara dalam bahasa
kelompok etnis yang belum terjangkau itu. Supaya Kerajaan Allah makin melebar, ia harus
meminta petunjuk Roh Kudus bagaimana caranya menjalin hubungan dengan masyarakat
yang baru dikenal itu. Ia harus belajar bagaimana menyampaikan kebenaran Alkitab
kepada mereka, dengan mengingat dan mempertimbangkan tata nilai dan kepercayaan
yang berlaku di antara mereka.

Yesus “mengosongkan” diri-Nya untuk menjadi seorang hamba yang melayani di tengah
masyarakat Yahudi (Flp. 2:7). Demikian juga, seorang utusan Injil harus rela berkorban
sehingga dapat hidup seperti menjadi bagian dari kebudayaan setempat, agar dapat dilihat
oleh mereka sebagai ekspresi dari kebaikan dan kemurahan Tuhan. Itu juga yang
diajarkan oleh Rasul Paulus (kita harus menjadi seperti orang Yahudi di tengah-tengah
masyarakat Yahudi dan seperti orang “kafir” (non Yahudi) di tengah-tengah warga “kafir”),
tetapi menundukkan kebudayaan setempat di bawah hukum Tuhan (1 Kor. 9:19-23).
Jadi, para utusan Injil tersebut harus bisa mengikuti kebudayaan dari kelompok suku
terabaikan itu dan menyesuaikan diri secara lintas budaya, namun tetap menaati Alkitab
dalam mengekspresikan iman kepada Yesus di tengah-tengah budaya yang amat berbeda
itu.

Proses penerapan ajaran Alkitab kepada budaya dari kelompok suku bangsa yang
terabaikan menghasilkan apa yang disebut kontekstualisasi: yaitu, bagaimana menyatakan
iman akan Yesus secara Alkitabiah lewat budaya kelompok suku bangsa yang
bersangkutan. Umat Kristen pada umumnya berpatokan kepada “Sola Scriptura”, artinya,
dalam menyatakan iman dalam perbuatan hanya akan berpatokan kepada Alkitab dan
bukan kepada budaya gereja. Tetapi di sinilah kesulitannya dalam melakukan pelayanan
lintas budaya terhadap suku yang berlainan itu. Ambillah contohnya, sebuah gereja
Ortodoks Siria dari negara Iran, atau sebuah gereja Pentakosta Jawa dari pulau Madura.

Karena kuatnya tradisi kebudayaan di satu sisi dan khawatir akan terjadinya sinkretisme
(pencampur-adukan dengan unsur-unsur kebudayaan kafir) di sisi lainnya, seringkali sulit
untuk membedakan dengan jelas antara budaya mereka dan Injil itu sendiri. Terkadang
pernah terjadi interaksi yang cukup “menyakitkan” di masa lalu sehingga timbul sikap
memandang rendah terhadap agama kelompok etnis yang belum diselamatkan tadi.
Akibatnya, sulit bagi orang-orang percaya untuk merendahkan diri dalam pekerjaan

STTII (th. 1983-1988) dan Institut Alkitab Tiranus (1989-).

5 - 10
penginjilan dan melakukan kontekstualisasi dalam perintisan jemaat. Oleh sebab itu,
memang diperlukan pelatihan untuk mempersiapkan para utusan injil bagi pelayanan.
Mereka perlu diajari akibat dari kontekstualisasi tersebut bagi utusan injil itu sendiri dan
bagi penginjilan, pemuridan serta perintisan jemaat yang dilakukannya. Tentu saja, untuk
membantu utusan injil itu melayani di tengah-tengah budaya Asia, pelatihan demikian
harus mengemukakan contoh-contoh mengenai apa yang dilakukan oleh gereja mula-
mula, ketika sebagai kelompok minoritas mereka harus menghadapi lingkungan
multikultural (dengan beraneka budaya) yang bersikap memusuhi.

PEMBAWA BERITA YANG KONTEKSTUAL: 1 KOR. 9:19-23

Hal pertama yang akan ditanyakan oleh seorang calon utusan injil adalah: “Apa yang
harus kulakukan untuk menyelamatkan jiwa-jiwa terhilang?” Jawaban Yesus atas hal ini
adalah: “menghampakan diri” (Flp. 2:6-7) untuk menjadi serupa dengan selebihnya umat
manusia yang belum diselamatkan, namun tanpa pernah jatuh ke dalam dosa. Demikian
juga, Paulus harus melepaskan semua haknya (1 Kor. 9:15) untuk menjadi seperti
masyarakat yang harus dilayaninya, tanpa sedikit pun melanggar perintah-perintah Tuhan.
Paulus juga meminta kepada rekan-rekan sekerjanya dalam tim untuk menyesuaikan diri
dengan kebudayaan masyarakat yang harus mereka layani (Kis. 16:3, Gal. 2:3).

Penyesuaian diri dengan kebudayaan masyarakat yang belum diselamatkan itu didasarkan
atas pemikiran yang sangat meyakini bahwa “di dalam Kristus Yesus hal bersunat atau
tidak bersunat tidak mempunyai sesuatu arti, hanya iman yang bekerja oleh kasih” (Gal
5:6). Sang utusan injil harus mati terhadap keakuannya sendiri untuk menjadi serupa
dengan kelomok masyarakat yang belum diselamatkan itu. Hal itu akan terlihat dalam
upayanya untuk mengubah kebiasaan-kebiasaannya sendiri supaya mengikuti norma-
norma dari kelompok masyarakat yang terabaikan. Ia sengaja mengenakan pakaian yang
dianggap pantas oleh mereka, berbicara dalam bahasa mereka, dan menyantap makanan
mereka, serta mengharamkan apa yang mereka haramkan (misalnya tidak makan daging
sapi di kalangan Hindu).

Jika bahasa daerah atau istilah-istilah keagamaan dari kelompok suku yang terabaikan itu
dianggap oleh rekan-rekan sesama Kristen sebagai bahasa atau istilah yang bersifat
kampungan, bisa jadi utusan injil kontekstual itu akan ditertawakan oleh mereka. Seorang
pendeta terkenal menolak untuk memakai kata Allah dengan alasan itu adalah nama dewa
pada zaman dahulu. Ia menganjurkan umat Kristen untuk menggunakan kata Elohim
sebagai gantinya. Padahal Elohim itu sendiri dulunya adalah dewa orang Kanaan yang
dianggap sebagai pencipta, yang tertinggi dari semua dewa! Ada juga istilah lain dalam
Alkitab, seperti Theos dan Logos, yang dulunya dipakai oleh orang lain dengan makna
yang berbeda. Sesungguhnya Tuhan sendiri yang mengambil kata-kata tersebut dan
menebus serta menyucikannya dengan menggunakannya untuk menjelaskan kebenaran
mengenai diri-Nya.

Begitu juga, banyak orang menyebut Juruselamat kita “Yesus”, tetapi mereka merasa risi
kalau ada yang bicara dengan saudara sepupu kita menggunakan nama “Isa”. Padahal
kedua kelompok memaksudkan tokoh yang sama meski namanya berbeda, karena pada
dasarnya kedua nama itu adalah sekadar terjemahan nama aslinya, yaitu Yeshua.
Sesungguhnya, ketiga-tiga nama tersebut tidak ada yang salah, asalkan dipakai sesuai

5 - 11
dengan maknanya dalam Alkitab dan jika dikaitkan dengan masyarakat yang biasa
menggunakan nama itu (tetapi kurang tepat jika dikaitkan dengan masyarakat yang lain –
1 Kor. 10:31-33). Nama yang berbeda bisa saja menunjuk kepada orang yang sama
(Simon = Kefas = Petrus), dan istilah sama bisa saja mempunyai makna yang berbeda
bagi orang lain. (Baik umat Kristen maupun golongan Saksi-saksi Yehuwa sama-sama
menyebut “Yesus”, tetapi tidak sependapat mengenai siapa dia sesungguhnya). Oleh
sebab itulah, kita perlu memakai bahasa dan kebiasaan dari masyarakat yang hendak
dilayani untuk mengajarkan pengertian-pengertian Alkitab kepada mereka.

Persoalan yang lebih mendasar sebenarnya adalah “Tuhan menghendaki aku menjadi
seperti siapa?” Karena kita belajar untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat yang
hendak dilayani, kita menciptakan dalam diri sendiri contoh buat orang Ambon yang
menyebutnya Yesus, orang Pakistan yang menyebutnya Isa, dan orang Yahudi yang
menyebutnya Yeshua. Demikianlah kita menunjukkan ketaatan kepada Tuhan dan Firman-
Nya dalam konteks budaya kelompok suku yang bersangkutan, menyediakan sebuah
contoh yang dapat ditiru oleh jiwa-jiwa baru yang bertobat (1 Kor. 11:1).

Pekerja kontekstual harus siap entah untuk ditolak atau diterima oleh para warga dari
kelompok suku fokus (seperti juga dialami oleh Yesus sendiri, Yoh. 1:11-12). Di sisi lain
ia harus juga siap membela kebudayaan dari jiwa-jiwa baru yang telah dimenangkannya
terhadap umat Kristen yang menyuruh jiwa-jiwa baru itu menyesuaikan diri dengan
makanan, pakaian, bahasa atau kebiasaan-kebiasaan kelompok etnis Kristen lainnya
(perhatikan contoh bagaimana Paulus membela jiwa-jiwa baru dari latar belakang bukan
Yahudi, dalam Flp. 3:2-11, Gal. 2:11-16). Gereja yang mengutus pekerja-pekerja untuk
melakukan pelayanan lintas budaya secara kontekstual seharusnya siap sedia untuk
menangkis segala fitnahan dan salah pengertian terhadap pelayanan mereka (lihat Kis.
121:20-24). Mereka perlu menjelaskan bahwa memang perlu dua tim pelayanan (Gal.
2:7-9), yang satunya mengucapkan Haleluya untuk melayani kelompok etnis Kristen, dan
tim lainnya yang memakai istilah Alhamdulilah untuk menjangkau kelompok-kelompok
suku yang terabaikan.

PENGINJILAN: KISAH 20:21


Yesus adalah Firman atau Kalam Allah. Dialah satu-satunya tema yang dikhotbahkan oleh
Paulus (1 Kor. 1:23-24), dan yang memotivasi dia untuk menjadi serupa dengan warga
Yahudi maupun warga “kafir” (1 Kor. 9:23). Tetapi apakah sesungguhnya yang dimaksud
dengan injil itu? Secara sederhana, Kabar Baik (Injil) mengatakan bahwa Yesus adalah
Juruselamat bagi setiap orang yang percaya kepada-Nya (Yoh. 3:16, Kis. 10:43). Kabar
baik ini tetap sama dan tidak dapat diubah-ubah (Gal. 1:9), baik bagi kaum Yahudi
maupun bagi kaum “kafir” (bukan Yahudi) (Kis. 20:21). Tetapi dalam Kisah Para Rasul
kita melihat bahwa cara penyampaian injil kepada kaum Yahudi seringkali berbeda dengan
cara penyampaiannya kepada kaum bukan Yahudi. Kepada kaum Yahudi Yesus
diperkenalkan sebagai Mesias yang telah lama dijanjikan dalam Alkitab (Kis. 13:16-41),
tetapi kepada kaum Yunani di kota Atena Yesus disebut sebagai Tokoh yang ditunjuk oleh
Sang Pencipta sebagai Hakim bagi seluruh umat manusia (Kis. 17:16-31).

Jika kita mengikuti pola tersebut, yaitu memperkenalkan Yesus dengan cara yang paling
relevan dan cocok untuk kelompok yang bersangkutan, maka sesungguhnya Isa dapat
diperkenalkan sebagai Kalimatullah kepada warga suku Melayu, atau sebagai Jalan Lurus.

5 - 12
Sedangkan bagi masyarakat suku pedalaman yang masih menganut Animisme, Yesus
adalah Tokoh yang membinasakan pekerjaan Iblis dengan kekuasaan-Nya yang jauh
melebihi segala penguasa kegelapan. Rasul Paulus suka mengutip ayat-ayat dari PL ketika
berkhotbah di sinagoga-sinagoga, tetapi ketika di Atena ia mengutip kata-kata pepatah
dari legenda-legenda polyteis orang Yunani. Dengan demikian secara selektif ia memakai
teks-teks keagamaan, asalkan tidak bertentangan apalagi kalau mendukung kebenaran
yang diajarkan oleh Alkitab.

Untuk konteks Asia, mungkin kita dapat secara selektif memakai ayat-ayat Bhagavadgita
atau Al Quran untuk menyampaikan kabar baik itu kepada warga Hindu dan Muslim di
India. Di kota Atena Paulus berbicara mengenai sebuah mezbah yang dipersembahkan
kepada berhala-berhala untuk menunjukkan suatu kebenaran mengenai Allah. (Kisah
17:22-23). Dengan demikian ia menanggapi agama yang mereka anut dengan cara
sepositif mungkin. Namun Paulus tidak pernah berkompromi dengan dosa atau pun
dengan ajaran sesat. Ketika menghadapi orang Yahudi yang mengeraskan hatinya, ia
tegas-tegas menentang mereka. Begitupun ia jelas-jelas menentang penyembahan berhala
yang dilakukan oleh orang-orang “kafir”. Dengan adanya contoh-contoh pelayanan lintas
budaya demikian dalam Alkitab, kita yang hidup dalam abad ke-21 ini diberi kebebasan
untuk melakukan apa saja yang lazim bagi kelompok masyarakat (baik yang sakral
maupun yang sekuler), asalkan tidak bertentangan dengan iman Kristiani dan kebenaran
Alkitab (1 Kor. 9:21). Upacara kelahiran, khitanan, pernikahan dan pemakaman, begitu
juga acara-acara pemberkatan rumah dan banyak lagi hari-hari raya agama boleh dipakai
sebagai jembatan untuk menyatakan iman kepada Yesus dan pada waktu yang bersamaan
menghormati kebudayaan setempat.

PEMURIDAN: 1 KOR 7:17-19


Baik Yesus maupun Paulus menghasilkan murid-murid. Yang dimaksudkan dengan murid
adalah orang yang percaya kepada Yesus dan menaati-Nya (Mat. 28:20). Di sini juga
Firman Tuhan merupakan sarana untuk menyingkirkan ajaran sesat dari kehidupan orang-
orang percaya dan menggantikannya dengan kebenaran (2 Tim. 3:16), untuk membantu
mereka hidup sebagai orang yang saleh di tengah-tengah masyarakat mereka (lihat Titus
2). Tujuan yang hendak dicapai jelas untuk menyelamatkan setiap kelompok masyarakat
yang bersangkutan. Karena itu dalam 1 Kor. 7:17-24 hingga tiga kali Paulus mengatakan
supaya jiwa-jiwa baru yang percaya lebih baik tetap dalam keadaan mereka yang semula.
Jiwa-jiwa baru di kalangan warga Yunani dianjurkan supaya tetap bertahan dalam
kebudayaan Yunani mereka (Flp. 3:2, Gal. 6:14-15). Jiwa-jiwa baru di kalangan Yahudi
pun dibenarkan untuk tetap setia kepada adat kebiasaan mereka yang lama (lihat Kis.
21:20). [Ini terlepas dari konteks untuk melakukan perubahan dalam rangka pelayanan
dan menjadi sama seperti kelompok masyarakat yang lain.] Dengan demikian Paulus tidak
menganjurkan orang-orang dari suatu kebudayaan tertentu yang belum diselamatkan
untuk berubah dan meniru kebudayaan lain yang “lebih Kristiani” (yaitu orang Yunani
harus menjadi seperti orang Yahudi). Jadi, kebudayaan semestinya tidak menjadi hal yang
membedakan antara orang-orang percaya dan orang-orang yang tidak percaya. Yang
penting mereka harus beriman kepada Yesus.

Oleh karena itu, hendaknya si Abdul diimbau untuk jangan ganti nama menjadi “Stefanus”
dan jangan berhenti untuk menjalani ibadah puasa selama bulan Ramadhan. Sebenarnya

5 - 13
ia bebas untuk melakukan hal tersebut (Ef. 2:8-9), tetapi itu berarti ia menyalahgunakan
kebebasannya (1 Kor. 10:32) dan orang-orang yang sekampung dengan dia akan
menerima kesan yang keliru mengenai Injil (Rom. 14:17). Tentu saja si Abdul perlu
diajari berpuasa menurut konsep Alkitab dan menemukan cara untuk menaati Firman
Tuhan dan mengekspresikannya dalam konteks sosialnya.

Kita dapat mengenali seorang murid dari pengakuan imannya akan Yesus dan dampak
nyata dari kehidupannya yang telah diubahkan. Menjadi seorang murid sesungguhnya
menandakan adanya suatu hubungan baru dengan Tuhan karena iman kepada Yesus. Hal
itu menghasilkan tertanamnya sosok Kristus dalam watak kepribadian orang percaya yang
bersangkutan (Gal. 4:8-19). Kita bisa melihat bagaimana hidup seseorang yang bersifat
mementingkan diri berubah menjadi seseorang yang menjadikan Kristus sebagai pusat
kehidupannya. Hal itu bisa dilihat dari ketaatannya terhadap Firman Tuhan, buah-buahan
Roh, perbuatan-perbuatan baik, cinta akan saudara seiman, doa bagi orang-orang yang
memusuhi, sikap yang menolak untuk berdosa, dan sebagainya. Kalau hal ini dimengerti,
maka kita tidak perlu lagi mempertahankan adat istiadat agamawi yang jelas tidak
berkenan kepada kelompok masyarakat yang hendak dijangkau. Sekiranya lambang kayu
salib dan pohon Natal kita serta makanan babi dianggap haram oleh masyarakat
terabaikan yang hendak kita layani, hendaknya tim perintisan jemaat kita (dan juga orang-
orang yang dimuridkan oleh mereka) jangan memakai hal-hal tersebut. Kecuali memang
dengan jelas diperintahkan oleh Firman Tuhan, “kami menanggung segala sesuatu, supaya
jangan kami mengadakan rintangan bagi pemberitaan Injil Kristus” (1 Kor. 9:12), karena
kita sungguh mencintai Yesus dan siap sedia untuk mati terhadap keakuan kita sendiri.

Meskipun adat-istiadat dan kepercayaan setempat seringkali mengandung unsur-unsur


kebenaran tertentu, semua itu masih juga mengandung kepalsuan-kepalsuan yang perlu
dikoreksi atau seringkali merupakan dosa. Yang dimaksudkan dengan sinkretisme adalah
apabila pengikut-pengikut Yesus tetap mempertahankan adat kebiasaan atau kepercayaan
tertentu dalam kebudayaan yang tertentu meski bertentangan dengan Injil dan ketaatan
terhadap Yesus. Di satu sisi, kontekstualisasi menguduskan kebudayaan dengan jalan
menyesuaikannya dengan kebenaran dan kehendak Ilahi. Di sisi lainnya, sinkretisme tetap
membiarkan dosa dan pengajaran sesat dalam kehidupan orang-orang percaya dengan
lebih menghormati norma-norma dan pola pikir kebudayaan daripada Firman Tuhan.
Contoh sinkretisme adalah jika orang-orang percaya mengajarkan bahwa Yesus
sesungguhnya merupakan salah satu penjelmaan dari dewa mereka dalam agama Hindu,
atau jika mereka menolak percaya bahwa Yesus telah disalibkan dan bahwa Ia mampu
memberikan pertolongan, atau jika mereka mempersembahkan sesajen kepada Dewi Sri
(dewi kesuburan orang Jawa) atau masih memakai jimat-jimat. Cara untuk menghindari
sinkretisme ini adalah dengan melakukan pemuridan, yaitu menggunakan ayat-ayat
Firman supaya jiwa-jiwa baru yang peraya itu mengetahui dan menaati kebenaran.

Tuhan mengijinkan diri-Nya disebut “El” (istilah dari agama kafir), tetapi kata “El” itu
diimbuhi degan kebenaran mengenai keberadaan-Nya yang sebenarnya. Namun Ia tegas
menolak diri-Nya dipanggil dengan nama “Baal” (dewa orang Kanaan yang menguasai
angin topan dan kesuburan tanah). Karena itu dalam pengajaran kita perlu untuk mengisi
kata “Allah” dan “Dios” dengan kebenaran Alkitab, tetapi kita harus menolak nama dewa-
dewa picisan seperti Nyi Loro Kidul (dewi yang menguasai Laut Selatan), atau Santo
Nyinyo (berhala bocah Raja yang dipuja oleh banyak orang Filipina). Karena hal itu jelas
tidak sesuai dengan ‘penyembahan dalam roh dan kebenaran” (Yoh. 4:24). Dengan tetap

5 - 14
menjunjung tinggi kebenaran Alkitab namun menolak dosa dan kesesatan, sesungguhnya
di tengah-tengah kebudayaan mereka sendiri orang-orang percaya itu pada akhirnya
menjadi komunitas iman yang berbeda dengan budaya setempat.

PERINTISAN JEMAAT: KISAH 14:23

Yesus-lah yang pertama mendirikan gereja (Mat. 16:18), tetapi sudah 2.000 tahun
berlalu dan orang-orang mengembangkan berbagai tradisi, lembaga dan gedung-gedung
gereja, seperti apakah gerangan bentuk “gereja” yang ingin didirikan di tengah-tengah
suatu suku terabaikan? Jika gereja memerlukan adanya Uskup, paduan suara & jubah,
musik organ, atau pun bersorak-sorai dan tari-menari, pasti seorang misionaris dari suku
Eskimo akan mengalami kesulitan untuk merintis sebuah gereja di kalangan suku Berber
(Afrika Utara). Sekali lagi di sini kita harus lebih memprioritaskan pengajaran Alkitab dan
adat kebiasaan lokal ketimbang tradisi-tradisi gereja kita yang berbau asing. Dalam bahasa
aslinya, istilah “gereja” atau “jemaat” (ekklesia) sesungguhnya berarti “ kumpulan, yaitu
suatu perhimpunan dari pengikut-pengikut Yesus yang berkomitmen untuk menaati Dia
secara bersama-sama.” Sebagai murid mereka berkumpul untuk berdoa bersama, belajar
Alkitab, menyembah Tuhan dan saling menguatkan satu sama lain secara berkala. Cara
berdoa bisa bermacam-macam (entah berdiri, duduk, berlutut, membungkuk, dsb.),
tergantung kebudayaan dari kelompok suku terabaikan yang bersangkutan. Tetapi doa
mesti dilihat sebagai persekutuan dengan Tuhan, bukan sebagai sesuatu untuk
“memperoleh” pujian atau perkenan-Nya. Alkitab dipakai untuk memberikan pengajaran
dan memperlengkapi (2 Tim. 3:17).

Penyembahan merupakan sesuatu yang memerlukan sikap hati, suatu penyerahan diri
karena rasa syukur atas belas kasihan-Nya (Rom. 12:1-2) dan hal itu boleh dilakukan
dengan berbagai cara (berdoa, menyanyi puji-pujian, perbuatan yang bersifat
persembahan atau memberi pelayanan). Ada baiknya dan sesuai dengan Alkitab untuk
menggunakan lagu puji-pujian dalam ibadah (Kol. 3:16), tetapi lebih baik janganlah
memakai lagu-lagu pujian yang diimpor dari luar. Apabila ibadah hendak dilakukan secara
kontekstual, hal itu akan mendorong orang untuk menggubah lagu-lagu dalam irama
musik dan bahasa daerah setempat. Dalam hal ini pun perlu untuk berhikmat. Sebaiknya
lagu-lagu pujian itu dinyanyikan sendiri-sendiri atau dengan suara lembut, atau barangkali
bahkan tidak dinyanyikan sama sekali, seandainya tetangga di sebelah akan menjadi
tersinggung dan hal itu dapat mengundang reaksi yang berbahaya.

Entah bagaimana bentuk yang dipakai dalam perhimpunan orang-orang percaya itu, yang
penting mereka merasa ibadah itu sungguh bermakna sebagai sesuatu yang tidak asing
bagi mereka. Roh Kudus telah memberikan berbagai karunia kepada orang-orang percaya,
dengan maksud agar mereka dapat saling menguatkan (Ef. 4:11-12, 1 Kor. 12:14). Di
salah satu kebaktian kontekstual yang dilakukan di rumah, pemimpin mengundang Roh
Kudus untuk memenuhi setiap jiwa baru yang datang. Salah seseorang mulai menangis
tersedu-sedu, kemudian seorang yang lain mulai menyanyi meski tidak keras suaranya,
dan sesudah kebaktian itu berakhir orang-orang telah mengaku dosa, bertobat, berdoa
dan memuji Tuhan. Semua orang pulang dipenuhi rasa damai sejahtera dan sukacita,
karena mereka tahu bahwa Tuhan telah menjumpai mereka di situ, namun caranya sama
sekali tidak seperti tradisi dalam gereja Pentakosta terdekat (dan mereka pun tak ada

5 - 15
yang akan pergi mengunjungi gereja itu). Roh Kudus paling mengetahui bagaimana
melakukannya secara paling kontekstual untuk setiap budaya yang bersangkutan.

Kita mencatat bahwa dalam gereja yang mula-mula orang-orang percaya berkumpul di
dalam rumah-rumah pribadi, dan rupanya hal itu pun sudah menjadi norma di negeri-
negeri seperti RRC, dan justru cara inilah yang kemudian menghasilkan jutaan jiwa masuk
ke dalam Kerajaan Allah. Di antara orang-orang percaya setempat segera ditunjuk
pemimpin-pemimpinnya, kemudian tim apostolik melanjutkan perjalanan (Kis. 14:21-24).
Orang-orang percaya dikenal sebagai para pengikut dari “Jalan itu” atau dikenali oleh
orang-orang Yahudi sebagai “mashab orang Nazaret” (Kis. 24:5, 14), dan mereka disebut
orang-orang “Kristen” oleh warga Yunani di kota Antiokhia (Kis. 11:26. Tetapi di kota
Roma mereka berkumpul secara sembunyi-sembunyi. Entah kita dikenal sebagai apa
dalam berbagai kondisi yang berbeda di berbagai bangsa dan di sepanjang waktu,
kebersatuan kita tidak bergantung kepada adat kebiasaan, institusi atau denominasi
tempat kita tergabung. Sebaliknya, persaudaraan kita bersifat rohani. Semua orang
percaya bersatu karena komitmen mereka terhadap Yesus dan kehadiran Roh Allah yang
berdiam dalam mereka (Ef. 2:21). Demikianlah semestinya: kita harus menjadi saksi bagi
Juruselamat kita, dan bukan saksi dari diri sendiri atau institusi kita.

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk membantu menjembatani kesenjangan yang
terdapat antara para misionaris dan kelompok suku terabaikan yang Allah telah memanggil
mereka untuk melayaninya. Begitu sering misionaris itu sama sekali tidak menyadari,
betapa ulah kebiasaannya sebagai orang asing dapat menjadi penghalang bagi orang-
orang yang menerima berita Injil, begitu juga ia tidak menyadari bahwa adat kebiasaan
setempat pun sesungguhnya sangat berkenan kepada Allah. Untuk mengatasi masalah ini
diperlukan pelatihan yang lebih baik di bidang kontekstualisasi, sebelum misionaris itu
berangkat ke STA yang telah dipilih olehnya.

Begitu juga gereja-gereja dan denominasi gereja perlu diajak mengerti dan menerima
pendekatan kontekstual untuk pelayanan lintas budaya ini. Prinsip utama untuk melatih
para pekerja itu adalah kepatuhan terhadap Firman Tuhan di dalam menghayati
kebudayaan setempat, dalam rangka menjadikan murid-murid bagi Kristus dalam setiap
suku terabaikan. Pendekatan demikian akan sangat berpengaruh atas diri sang misionaris,
atas cara Injil itu dipresentasikan, atas gaya kehidupan para murid yang dihasilkan, dan
atas format gereja atau jemaat yang akan terbentuk. Kiranya Tuhan memberkati semua
bangsa sementara umat-Nya terus bergerak maju dengan penuh ketaatan terhadap-Nya.

Kita telah membaca pentingnya kontekstualisasi dalam pelayanan lintas budaya. Marilah
kita membaca beberapa cara praktis untuk menerapkan kontekstualisasi dalam berbagai
situasi pelayanan. Bagan berikut ini menyimpulkan unsur-unsur kontekstualisasi.
Perhatikan bahwa bagan ini terdiri dari empat bagian: tiga bidang, dua prinsip, tiga cara,
dan satu tujuan.

Pelayanan Lintas Budaya dan Kontekstualisasi 8

8 Pelayanan Lintas Budaya dan Kontekstualisasi oleh R.L. Budiman

5 - 16
R.L. Budiman 9

TIGA BIDANG, DUA PRINSIP, TIGA CARA, SATU TUJUAN


BIDANG PRINSIP CARA TUJUAN
Penginjiilan Menyesuaikan diri Memakai Memenangkan
Injil sebanyak mungkin
Hidup di bawah Mengubah
orang (Injil relevan
Jemaat hukum Kristus Membuang dan murni)

Yang dimaksud oleh tiga bidang kontekstualisasi ialah penginjil, Injil, dan jemaat yang
didirikan harus kontekstual. Misalnya, jika seorang penginjil ingin menjangkau orang
Sunda, ia harus bisa berbahasa Sunda, mengikuti adat istiadat Sunda, dan mengerti pola
piker orang Sunda. Sebagai komunikator kabar baik, penginjil ini harus berusaha
semaksimal mungkin untuk menjadi seperti orang Sunda.

Injil yang disampaikan juga harus disesuaikan. Karena “dengan kontekstualisasi kita
harapkan berita yang disampaikan tidak asing bagi pendengarnya; agar komunikasi itu
relevan; agar berita itu menjawab kebutuhan dan agar teologi yang dipikirkan menjawab
masalah-masalah kontemporer” (Sidjabat 1986:10). Yesus sering diberitakan sebagai
Mesias bagi orang Yahudi sedangkan bagi orang Yunani, Ia diperkenalkan sebagai Tuhan.
Untuk menarik perhatian orang Yunani, Yohanes merumuskan Yesus sebagai Logos
(Firman), sedangkan penulis kitab Ibrani menyebut Yesus sebagai Imam Besar.

Injil yang biasanya disampaikan di Indonesia memperkenalkan Yesus sebagai penebus


dosa: “Ia telah menyatakan diri-Nya, supaya Ia menghapus segala dosa. “ (1 Yoh. 3:5).
Namun mungkin Injil lebih menarik bagi banyak orang Indonesia kalau kita menerangkan
bahwa Yesus (Isa Almasih) datang kedunia “supaya Ia membinasakan perbuatan-
perbuatan Iblis itu” (1 Yoh. 3:8). Kedua-duanya adalah Injil, tetapi mana yang lebih
relevan bagi para pendengarnya?

Jemaat yang didirikan harus pula disesuaikan dengan adat setempat. Menurut Pdt. Dr. P.
Octavianus, “Banyak gereja di Asia mengikuti suatu pola yang sebenarnya merupakan pola
Barat… orang-orang Kristen Indonesia telah begitu terbiasa dengan pola-pola kebaktian
yang diimpornya… dalam keadaan demikian, pola tata kebaktian itu menjadi asing bagi
masyarakat sekitarnya dan hal itu bisa menghambat perluasan kegerakan Injil. Dengan
9 R.L. Budiman pernah melayani lintas budaya di antara STA di Indonesia selama tujuh tahun.

5 - 17
demikian gereja-gereja di Asia harus berusaha menemukan suatu pola tata kebaktian
(soma) yang memungkinkan pemberitaan Injil ( kerygma) dapat menerobos masyarakat
seluruhnya” (Octavianus 1985:109-110).

Dua prinsip kontestualisasi, (menyesuaikan diri dan hidup di bawah hukum Kristus), serta
satu tujuan kontekstualisasi (memenangkan sebanyak mungkin orang dengan
menyampaikan Injil yang relevan dan murni) sudah dijelaskan berulang kali dalam buku
ini.

Oleh karena itu, yang perlu diterangkan ialah makna tiga cara kontekstualisasi, yaitu
prinsip-prinsip memakai, mengubah, dan membuang. Tiga petunjuk penuntun ini
merupakan sumbangan ilmu misiologi. Almarhum, J.H. Bavinck, ahli misiologi, menulis
sebagai berikut: “Orang-orang Kristen harus mengambil pemilihan sah dari adat istiadat
dan kebudayaan-kebudayaan yang memberi kepadanya pengertian-pengertian serta isi
baru dan yang mengarahkan mereka untuk pelayanan bagi Kristus… adalah tidak pernah
mudah untuk memutuskan apakah suatu adat/kebiasaan boleh dipertahankan atau harus
ditolak” (Bavinck 1960:175-179,190). Menurut Dr. Dean Gilliland dari Fuller Theological
Seminary School of world Mission, “Tugas kontekstualisasi ialah mengetahui apa yang
dapat dipergunakan (dari kebudayaan), apa yang harus ditolak dan oleh kasih karunia
Allah, apa yang dapat ditransformasikan” (Gilliland 1989:25).

1. MEMAKAI. Memakai berarti semua atau beberapa unsur kebudayaan yang netral
tetap dipertahankan. Setiap kebudayaan mempunyai beberapa unsur yang netral. Pdt. Dr.
P. Octavianus memberi banyak contoh, seperti: “penggunaan kopiah, pemakaian sarung
dan kain kebaya, duduk di lantai atau tikar, cara bersalam-salaman, penggunaan alat-alat
musik tradisional, penggunaan bahasa Arab dalam pemberitaan Injil, dan lain-lain”
(Octavianus 1985:52-53).
2. MENGUBAH. Yang dimaksud dengan mengubah ialah memurnikan unsur-unsur
kebudayaan yang dapat ditransformasikan supaya berkenan kepada Allah dan sesuai
dengan Firman-Nya. Seperti yang dicanangkan oleh Ikrar Lausanne pasal 10: “Gereja-
gereja harus berusaha untuk mengubah dan memperkaya kebudayaan, dan semuanya itu
bagi kemuliaan Allah.”

Di Afrika banyak suku mengadakan pesta minum bir. Seorang utusan Injil di sana tidak
mau menghilangkan pesta itu, tetapi mengubahnya dengan pesta teh. Mengapa? Karena
pesta bir dalam kebudayaan mereka penting sekali. Di tempat itulah mereka banyak
berkomunikasi. Mereka banyak berdiskusi tentang masalah kehidupan pribadi, masalah
politik, dan lain-lain. Tetapi karena pestanya berlangsung lama, akhirnya mereka menjadi
mabuk, dan orang Kristen tidak bisa mengikuti acara tersebut. Oleh karena itu, utusan Injil
itu mengubah acara itu dengan cara yang lain.

Beberapa jemaat di Bandung mengadakan “selamatan” atau “hajat” sesuai dengan adat
Sunda. Upacara selamatan itu merupakan sarana kebudayaan yang praktis untuk
penginjilan dan untuk mengungkapkan kekristenan mereka. Walaupun selamatan Kristen
mempunyai banyak persamaan dengan selamatan bukan Kristen (misalnya, diadakan di
rumah, memakai tikar, cara bersalaman dan makanannya sama), tetapi intinya diubah.
Jemaat-jemat ini biasanya menyanyi lagu Kristen yang khas Sunda, meminta selamat dari
Yesus (“lepaskanlah kami dari pada yang jahat” Mat. 6:13; bandingkan dengan Yoh.

5 - 18
17:15), membaca dari Kitab Injil, dan memakai syahadah alkitabiah (misalnya, Yoh.
17:3). Dengan demikian jemaat-jemaat ini menjadi lebih dekat dengan masyarakat dan
mungkin kekristenan dianggap tidak asing lagi.

Tata ibadah juga diubah oleh beberapa jemaat Sunda di Bandung. Kalau kita masuk ke
banyak gereja, biasanya jemaat duduk di kursi, berdoa dengan menutup mata, dan
menundukkan kepala (sebagian melipattangan). Jika kita masuk mesjid, seluruh jemaat
angkat tangan dan sujud ketika beribadah. Tidak ada nyanyian atau bertepuk tangan
dalam mesjid.

Menurut Firman Allah, tata cara mana yang sesuai dengan kebudayaan, tetapi tetap
alkitabiah? Sebetulnya tidak ada perintah tentang tutup mata, tunduk kepala atau lipat
tangan waktu berdoa. Itu adalah tradisi manusia. Kita memang diperintahkan untuk
menyanyi bagi Tuhan dan bertepuk tangan (Mazmur 47:1).
Apakah tertulis dalam Firman Allah tentang ibadah dengan angkat tangan atau bersujud?
Berulang kali Alkitab menyebut angkat tangan dan bersujud ketika beribadah.

“Mengangkat tanganku ke arah tempat-Mu” Mzm. 28:2


“menaikkan tanganku demi nama-Mu” Mzm. 63:5
“Aku menadahkan tanganku kepada-Mu” Mzm. 143:6
“Berdoa dengan menadahkan tangan” I Tim. 2:8
“Marilah kita sujud menyembah” Mzm. 95:6
“Sujudlah menyembah kepada TUHAN” Mzm. 96:9
“Sujudlah menyembah” Mzm. 99:5
“Mereka berlutut dan sujud menyembah” Neh. 8:7

Oleh karena itu, tata ibadah jemaat Sunda tersebut diubah supaya lebih relevan dan
alkitabiah. Mereka menyanyi, bertepuk tangan, mengangkat tangan, dan kadang-kadang
bersujud ketika beribadah. Inilah kontekstualisasi yang sejati.
Memang cara mengubah kebudayaan merupakan hal yang rumit. Menurut ahli misiologi,
Dr. Paul Hiebert dari Trinity Evangelical Divinity School, kebudayaan dapat diubah melalui
lima cara.
A. Menambah unsur pada kepercayaan dan upaya tradisional.
B. Mengurangi, yaitu membuang semua unsur yang mempunyai konotasi
dosa tanpa membuang aspek tradisi tersebut
C. Mengganti, yaitu mengembangkan bentuk atau cara baru yang
mempunyai fungsi yang sama, seperti membaca kitab suci lain.
D. Memberi tafsiran baru pada cara atau bentuk kebudayaan.
E. Menciptakan unsur baru, asal mereka mempunyai banyak kesamaan
dengan adat setempat (Hiebert 1985:171-192)

3. MEMBUANG. Kita harus membuang beberapa unsur yang tidak cocok dengan Firman
Allah dan yang tidak mungkin dimurnikan. Misalnya, “poligami, upacara-upacara
sembahyang pada waktu kematian, bentuk-bentuk lain yang berhubungan dengan kuasa
kegelapan, seperti praktek-praktek spiritisme dan animisme” (Octavianus 1985:54).
Dalam pembahasan kontekstualisasi masalah “sinkretisme” harus juga dibicarakan.
Sinkretisme ialah mencampur beberapa unsur yang penting dalam Injil dengan adat atau

5 - 19
agama lain sehingga pengertian Injil menjadi kabur. Justru karena masalah sinkretisme,
kita harus mengubah unsur-unsur kebudayaan yang dapat dimurnikan dan membuang
unsur-unsur yang tidak mungkin disesuaikan dengan Firman Allah. Dengan demikian
sinkretisme dapat dihindari dan kemurnian Injil tetap terpelihara.

KESIMPULAN
Berbagai macam kebudayaan yang Allah telah ciptakan begitu luas dan membawa
kemuliaan yang besar bagi Dia! Perbedaan yang ada mengharuskan banyak pekerjaan untuk
melintasi kebudayaan dan membagikan Injil, tetapi identifikasi dan kontekstualisasi
merupakan alat Allah yang membantu anak-anak-Nya untuk melintasi budaya dan
membawa Injil kepada mereka yang masih jauh daripada-Nya.

5 - 20
Bab 5 Lembaran Pekerjaan Rumah

1. Isilah 4 lapisan dari model bawang Kwast, dengan penjelasan yang sesuai di sebelah
kanan (5.1)

____ Tingkah Laku a. apa yang “baik”, apa yang


“menguntungkan”, atau apa yang “terbaik”.
____ Nilai-nilai b. berkenaan dengan pertanyaan-pertanyaan
“utama” mengenai kenyataan
____ Kepercayaan-kepercayaan c. Kegiatannya. Apa yang sedang
dilakukannya.
____ Cara Memandang Kehidupan d. "Apa yang benar"

2. Apakah yang Kwast anjurkan sebagai sikap seorang pekerja misi yang memasuki
kebudayaan baru? Apakah yang harus dia lakukan saat memasuki kebudayaan yang
berbeda? (5.1)

3. Apakah yang dimaksud dengan kesombongan etnis? (5.1)

4. Jelaskan sinkretisme (5.2)

5. Dalam melintasi kedalam satu budaya yang baru, tujuan kita adalah untuk menjadi orang
yang bagaimana? (5.2)

6. Bagaimanakah sikap yang harus dipunyai oleh seorang pekerja misi ? (5.2)

7. Definisikan kontekstualisasi (5.2)

5 - 21
8. Berikan referensi dalam Alkitab dari suatu contoh pendekatan memulai dengan
kebenaran yang dikenal oleh suku fokus sebagai jembatan untuk membagikan Injil. (5.3)

9. Isilah bagan berikut dengan mendaftarkan 4 pokok yang disebut dalam artikel Slone
(“Kontekstualisasi”): kapan kontekstualisasi diperlukan? Di sebelah kanan, sebutkan ayat
pokok dan dua contoh untuk setiap pokok.

Pokok Contoh

Ayat:

Ayat:

Ayat:

Ayat:

10. Sebutkan tiga cara kontekstualisasi yang dapat diterapkan, berkenaan dengan tingkah
laku, nilai-nilai dan kepercayaan yang terdapat di antara kelompok yang difokuskan? (5.3)

5 - 22

Anda mungkin juga menyukai