Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

NIFAS SC DENGAN INDIKASI


PRE EKLAMPSIA

OLEH :
GIOVANI AGUSTINA
202101005

PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN

STIKES BANYUWANGI

T.A. 2023/2024
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan Pendahuluan Dengan Judul Nifas Sc dengan indikasi Pre Eklampsia Disusun Sebagai
Laporan Individu Di Ruang Sayu Wiwit (RG)

Giovani Agustina

202101005

Telah disahkan pada :

Preseptor Klinik Preseptor Institusi


1.1 Definisi

Masa nifas atau masa puerperium adalah masa setelah persalinan


selesai sampai 6 minggu atau 42 hari. Selama masa nifas, organ reproduksi
secara perlahan akan mengalami perubahan seperti keadaan sebelum
hamil. Perubahan organ reproduksi ini disebut involus (Agung, 2021).
Sectio caeasar adalah persalinan dengan cara membuat sayatan
perut untuk mengeluarkan janin. Persalinan sectio caesarea yaitu proses
mengeluarkan bayi dengan membedah perut ibu dengan membuat sayatan
didinding rahim. Tindakan sectio caesar tindakan medis utama untuk
menyelamatkan nyawa ibu dan juga bayi. Ada beberapa indikasi untuk
dilakukan tindakan sectio caesarea adalah gawat janin, Diproporsi
sepalopelvik, Persalinan macet, Plasenta Previa, Prolapsus tali pusat, Mal
presentase janin, dan pre eklampsia (Zahroh, 2021).
Pre Eklampsia dan Eklamsia merupakan masalah kesehatan
yang memerlukan perhatian khusus karena PreEklampsia adalah penyebab
kematian ibu hamil dan perinatal yang tinggi terutama di negara
berkembang (Margarita Fanggidae, 2019).

1.2 Tahapan Masa Nifas


Tahapan Masa Nifas dibagi menjadi 3 tahap, yaitu:
a. Puerperium dini Puerperium dini merupakan masa pemulihan awal
dimana ibu diperbolehkan untuk berdiri dan berjalan-jalan. Ibu yang
melahirkan per vagina tanpa komplikasi dalam 6 jam pertama setelah
kala IV dianjurkan untuk mobilisasi segera.
b. Puerperium intermedial Suatu masa pemulihan dimana organ-organ
reproduksi secara berangsur-angsur akan kembali ke keadaan
sebelum hamil. Masa ini berlangsung selama kurang lebih enam
minggu atau 42 hari.
c. Remote puerperium Waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat
kembali dalam keadaan sempurna terutama bila ibu selama hamil atau
waktu persalinan mengalami komplikasi. Rentang waktu remote
puerperium berbeda untuk setiap ibu, tergantung dari berat ringannya
komplikasi yang dialami selama hamil atau persalinan.

1.3 Etiologi
Berbagai penyebab yang dapat menimbulkan dilakukan SC sebagai
berikut :
1. Etiologi yang berasal dari ibu
Yaitu pada primigravida dengan kelainan letak, primi para
tua disertai kelainan letak ada, disproporsi sefalo pelvik
(disproporsi janin / panggul), ada sejarah kehamilan dan
persalinan yang buruk, terdapat kesempitan panggul, Plasenta
previa terutama padu primigravida, solutsio plasenta tingkat 111,
komplikasi kehamilan yang disertai penyakit (jantung, DM).
Gangguan perjalanan persalinan (kista ovarium, mioma uteri, dan
sebagainya).
2. Etiologi yang berasal dari janin
Fetal distress / gawat janin, mal presentasi dan mal posisi
kedudukan janin, prolapsus tali pusat dengan pembukaan kecil, 89
kegagalan persalinan vakum atau forceps ekstraksi.

Manuabu (2002) indikasi ibu dilakukan sectio caesarea adalah ruptur


uteri iminen, perdarahan antepartum, ketuban pecah dini. Sedangkan
indikasi dari janin adalah fetal distres dan junin besar melebihi 4.000
gram. Dari beberapa faktor sectio caesarea diatas dapat diuraikan
beberapa penyebab sectio caesarea sebagai berikut:

a. CPD (Chepalo Pelvik Disproportion) Chepalo Pelvik


Disproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul ibu tidak
sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin yang dapat
menyebabkan ibu tidak dapat melahirkan secara alami. Tulang-
tulang panggul merupakan susunan beberapa tulang yang
membentuk rongga panggul yang merupakan jalan yang harus
dilalui oleh janin ketika akan lahir secara alami. Bentuk panggul
yang menunjukkan kelainan atau panggul patologis juga dapat
menyebabkan kesulitan dalam proses persalinan alami sehingga
harus dilakukan tindakan operasi Keadaan patologis tersebut
menyebabkan bentuk rongga panggul menjadi asimetris dan
ukuranukuran bidang panggul menjadi abnormal.

b. PEB (Pre-Eklamsi Berat) Pre-eklamsi dan eklamsi merupakan


kesatuan penyakit yang langsung disebabkan oleh kehamilan,
sebab terjadinya masih belum jelas. Setelah pendarahan dan
infeksi, pre-eklamsi dan eklamai merupakan penyebab kematian
maternal dan perinatal paling penting dalam ilmu kebidanan.
Karena itu diagnosa dini amatlah penting, yaitu mampu mengenali
dan mengobati agar tidak berlanjut menjadi
c. KPD (Ketuban Pecah Dini)
Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat
tanda persalinan dan ditunggu satu jam belum terjadi inpartu.
Sebagian besar ketuban pecah dini adalah hamil term di atas 37
minggu, sedangkan di bawah 16 minggu
d. Bayi Kembar
Tidak selamanya bayi kembar dilahirkan secara caesar. Hal ini
karena kelahiran kembar memiliki resiko terjadi komplikasi yang
lebih tinggi daripada kelahiran satu bayi. Selain itu, bayi kembar
pun dapat mengalami sungsang atau salah letak lintang sehingga
sulit untuk dilahirkan secara normal.
e. Faktor Hambatan Jalan Lahir
Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir yang tidak
memungkinkan adanya pembukaan, adanya tumor dan kelainan
hawaan pada jalan lahir, tali pasat pendek dan ibu sulit bernafas.
f. Kelainan Letak Janin
1) Kelainan pada letak kepala
a. Letak kepala tengadah Bagian terbawah adalah puncak
kepala, pada pemeriksaan dalam teraba UUB yang paling
rendah. Etiologinya kelainan panggul, kepala bentuknya
bundar, anaknya kecil atau mati, kerusakan dasar panggul
b. Presentasi muka, Letak kepala tengadah (defleksi),
sehingga bagian kepala yang terletak paling rendah ialah
muka. Hal ini jarang terjadi, kira-kira 0,27-0,5% c.
Presentasi dahi. Posisi kepala antara fleksi dan defleksi,
dahi berada pada posisi terendah dan tetap paling depan.
Pada penempatan dagu, biasanya kepala.
g. Letak Sungsang
dengan sendirinya akan berubah menjadi letak maka atau letak
belakang (Agung, 2021).

1.4 Klasifikasi
1. Segmen bawah: Insisi melintang
Karena cara ini memungkinkan kelahiran per abdominam yang aman sekalipun
dikerjakan kemudian pada saat persalinan dan sekalipun dikerjakan kemudian
pada saat persalinan dan sekalipun rongga Rahim terinfeksi, maka insisi
melintang segmen bawah uterus telah menimbulkan revolusi dalam pelaksanaan
obstetric
2. Segmen bawah: Insisi membujur Cara membuka abdomen dan menyingkapkan
uterus sama seperti insisi melintang, insisi membujur dibuat dengan scalpel dan
dilebarkan dengan gunting tumpul untuk menghindari cedera pada bayi.
3. Sectio Caesarea klasik Insisi longitudinal digaris tengah dibuat dengan scalpel
kedalam dinding anterior uterus dan dilebarkan keatas serta kebawah dengan
gunting yang berujung tumpul. Diperlukan luka inaisi yang lebar karena bayi
sering dilahirkan dengan bokong dahulu. Janin serta plasenta dikeluarkan dan
uterus ditutup dengan jahitan tiga lapis. Pada masa modern ini hamper sudah
tidak dipertimbangkan lagi untuk mengerjakan Sectio Caesarea klasik. Satu-
satunya indikasi untuk prosedur segmen atas adalah kesulitan teknis dalam
menyingkapkan segmenn bawah.
4. Sectio Caesares Extraperitoneal Pembedahan Extraperitoneal dikerjakan untuk
mennghindari perlunya histerektomi pada kasus-kasus yang mengalami infeksi
luas dengan mencegahh peritonitis generalisata yang sering bersifat fatal. Ada
beberapa metode Sectio Caesarea Extraperitoneal, seperti metode Waters, Latzko,
dan Norton, T. tekhnik pada prosedur ini relative lebih sulit, sering tanpa sengaja
masuk kedalam vacuum peritoneal dan isidensi cedera vesica urinaria meningkat.
Metode ini tidak boleh dibuang tetapi tetap disimpan sebagai cadangan kasus-
kasus tertentu.
Histerektomi Caesarea Pembedahan ini merupakan Sectio Caesaren yang
dilanjutkan dengan pengeluaran uterus Jika mimuungkin histerektomi harus
dikerjakan lengkap (histerektomi total). Akan tetapi, karena pembedahan subtoral
lebih mmudah dan dapatt dikerjakan lebih cepat, maka pemmbedahan subtotal
menjadi prosedur pilihan jika terdapat perdarahan bebat dan pasien terjadi syok,
atau jika pasien dalam keadaan jelek akibat sebab-sebab lain. Pada kasus-kasus
semacam ini lanjatas pembedahan adalah menyelesaikannya secepat mungkin
(Zahroh, 2021).

1.5 Patofisiologi
Ada beberapa kelainan atau hambatan pada proses persalinan yang
menyebabkan bayi tidak lahir normal atau spontan, misalnya disebabkan oleh
panggul sempit dan plasenta previa. Dalam proses operasinya dilakukan
tindakan anastesi yang akan menyebabkan pasien mengalami imobilisusi, efek
anastesi menyebabkan konstipasi. Dalam proses pembedahan akan dilakukan
tindakan insisi pada dinding abdomen sehingga menyebabkan terputusnya
jaringan merangsang area sensorik yang menyebabkan gangguan rasa nyaman
yaitu nyeri Setelah proses pembedahan berakhir daerah insisi akan ditutup dan
menimbulkan luka post sectio caesarea, yang bila tidak dirawat dengan baik
akan menyebabkan resiko infeksi.
Pada saat post partum mengalami penurunan hormon progesteron dan
estrogen akan terjadi kontraksi uterus dan involusi tidak adekuat sehingga terjadi
pendarahan dan bisa menyebabkan risiko syok, Hb menurun dan kekurangan 02
mengakibatkan kelemahan dan menyebabkan defisit perawatan diri.
Patofisiologi Setelah persalinan kala II selesai, otot uterus akan mulai
berkontraksi dengan sangat kuat. Kontraksi ini akan menyebabkan pemendekan
serabut otot uterus, serta mengecilnya ukuran dan volume uterus. Pengecilan
volume uterus ini akan menyebabkan berkurangnya permukaan tempat
menempelnya plasenta. Selanjutnya kontraksi uterus ini akan menyebabkan
terbloknya aliran darah arteri radialis pada miometrium yang menyebabkan
kongesti pada pembuluh darah dan akhirnya akan terjadi ruptur pembuluh darah.

1.6 WOC

Post SC

MK: MK :
Konstipasi Gangguan
mobilitas
MK:
MK : Pola fisik
Resiko
Napas tidak infeksi
efektif
MK: Resiko
MK : Resiko MK:
defisit nutrisi
Syok Nyeri
akut
1.7 Manifestasi Klinis
Persalinan dengan Sectio Caesaria, memerlukan perawatan yang lebih
komprehensif yaitu perawatan post operatif dan post partum, manifestasi klinis
Sectio Caesarea yaitu :
a. Nyeri akibat ada luka pembedahan
b. Adanya luka insisi pada bagian abdomen
c. Fundus uterus terletak di umbilicus
d. liran lockhea sedang bebas membeku yang tidak berlebihan
e. Kehilangan darah selama prosedur pembedahan kira-kira 750-1000
f. Menahan batuk akibat rasa nyeri yang berlebihan
g. Biasanya terpasang kateter urinarius
h. Pengaruh anestesi dapat menimbulkan mual dan muntah
i. Akibat nyeri terbatas untuk melakukan pergerakan
j. Bonding attachment pada anak yang baru lahir

1.8 Komplikasi
1.8.1 Komplikasi Masa Nifas
Komplikasi dan Penyakit Dalam Masa Nifas Komplikasi dan
penyakit yang terjadi pada ibu masa nifas yaitu:
a. Infeksi nifas
Infeksi nifas adalah keadaan yang mencakup semua peradangan alat- alat
genetelia dalam masa nifas. Masuknya kumankuman dapat terjadi dalam
kehamilan, waktu persalinan, dan nifas. Demam nifas adalah demam
dalam masa nifas oleh sebab apa pun. Morbiditas puerpuralis adalah
kenaikan suhu badan sampai 38⁰ C atau lebih selama 2 hari dari dalam 10
hari postpartum. Kecuali pada hari pertama. Suhu diukur 4 kali secara
oral.
b. Infeksi saluran kemih Pada masa nifas dini, sensitivitas kandung kemih
terhadap tegangan air kemih di dalam vesika sering menurun akibat
trauma persalinan atau analgesia epidural atau spinal. Sensasi peregangan
kandung kemih juga mungkin berkurang akibat rasa tidak nyaman yang
ditimbulkan oleh episiotomi yang lebar, laserasi periuretra, atau hematoma
dinding vagina. Setelah melahirkan, terutama saat infus oksitosis
dihentikan, terjadi diuresis yang disertai peningkatan produksi urin dan
distensi kandung kemih. Over distensi yang disertai katerisasi untuk
mengeluarkan air kemih sering menyebabkan infeksi saluran kemih.
c. Metritis
Metritis adalah inspeksi uterus setelah persalinan yang merupakan salah
satu penyebab terbesar kematian ibu. Bila pengobatan terlambat atau
kurang adekuat dapat menjadi abses pelvic yang menahun, peritonitis,
syok septik, trombosis yang dalam, emboli pulmonal, infeksi felvik yang
menahan dispareunia, penyumbatan tuba dan infertilitas.
d. Infeksi payudara
Mastitis termasuk salah satu infeksi payudara. Mastitis adalah peradangan
pada payudara yang dapat disertai infeksi atau tidak, yang disebabkan oleh
kuman terutama Sraphylococcus aureus melalui luka pada puting susu
atau melalui peredaran darah.
e. Perdarahan pervagina Perdarahan pervagina atau perdarahan postpartum
adalah kehilangan darah sebanyak 500 cc atau lebih dari traktus genetalia
setelah melahirkan. Hemoragi postpartum primer mencakup semua
kejadian perdarahan dalam 24 jam setelah kelahiran.
1.8.2 Komplikasi SC
Komplikasi yang mungkin muncul dari tindakan Sectio
Caesarea adalah komplikasi pembiusan, perdarahan pasca operasi Sectio
Caesarea, syok perdarahan, obstruksi usus, gangguan pembekuan darah,
dan cedera organ abdomen seperti usus, ureter, kandung kemih,
pembuluh darah. Pada Sectio Caesarea juga bisa terjadi infeksi sampai
sepsis apalagi pada kasus dengan ketuban pecah dini. Dapat juga terjadi
komplikasi pada bekas luka operasi (Rahmah Pebrianti, 2021).
Hal yang sangat mempengaruhi atau komplikasi pasca operasi
yaitu infeksi jahitan pasca Sectio Caesarea, infeksi ini terjadi karena
banyak factor, seperti infeksi intrauteri, adanya penyakit penyerta yang
berhubungan dengan infeksi misalnya, abses tuboofaria, apendiksitis
akut/perforasi. Diabetes mellitus, gula darah tidak terkontrol, kondisi
imunokompromised misalnya, infeksi HIV, Tuberkulosis atau sedang
mengkonsumsi kortikosteroid jangka panjang, gisi buruk, termasuk
anemia berat, sterilitas kamar operasi dan atau alat tidak terjaga, alergi
pada materi benang yang digunakan daan kuman resisten terhadap
antibiotic. Akibat infeksi ini luka bekas Sectio Caesarea akan terbuka
dalam minggu pertama pasca operasi. Terbukanya luka bisa hanya kulit
dan subkulit saja, bisa juga sampai fascia yang disebut dengan bust
abdomen. Umumnya, luka akan bernanah atau ada eksudat dan
berbahaya jika dibiarkan karena kuman tersebut dapat menyebar melalui
aliran darah. Luka yang terbuka akibat infeksi itu harus dirawat,
dibersihkan dan dilakukan kultur dari caliran luka tersebut.
1.9 Pemeriksaan penunjang
1) Pemantauan janin terhadap kesehatan janin
2) Pemantauan EKG
3) JDL dengan diferensial
4) Elektrolit
5) Hemoglobin/Hematokrit
6) Golongan Darah
7) Urinalis

1.10 Penatalaksanaan medis


a. Pemberian cairan
Karena 24 jam pertama penderita puasa pasca operasi, maka pemberian
cairan per intavena harus cukup banyak dan mengandung elektrolit agar
tidak terjadi hipotermi, dehidrasi, atau komplikasi pada organ tubuh lainnya.
Cairan yang biasa diberikan biasanya DS 10%, garam fisiologi dan RL.
secara bergantian dan jumlah tetesan tergantung kebutuhan. Bila kadar Hb
rendah diberikan transfusi darah sesuai kebutuhan.
b. Diet
Pemberian cairan per infus biasanya dihentikan setelah penderita flatus lalu
dimulailah pemberian minuman dan makanan per oral. Pemberian minuman
dengan jumlah yang sedikit sudah boleh dilakukan pada 6 sampai 8 jam
pasca operasi, berupa air putih dan air teh.
c. Mobilisasi
Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi : Miring kanan dan kiri dapat
dimulai sejak 6 sampai 10 jam setelah operasi, Latihan pernafasan dapat
dilakukan penderita sambil tidur telentang sedini mungkin setelah sadar, Hari
kedua post operasi, penderita dapat didudukkan selama 5 menit dan diminta
untuk bemafas dalam lalu menghembuskannya, Kemudian posisi tidur
telentang dapat diubah menjadi posisi setengah duduk (semifowler),
Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari, pasien dianjurkan belajar
duduk selama sehari, belajar berjalan, dan kemudian berjalan sendiri pada
hari ke-3 sampai hari ke-5 pasca operasi.
d. Kateterisasi
Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan rasa tidak enak
pada penderita, menghalangi involusi uterus dan menyebabkan perdarahan.
Kateter biasanya terpasang 24-48 jam / lebih lama lagi tergantung jenis
operasi dan keadaan penderita.
e. Pemberian obat-obatan
Antibiotik cara pemilihan dan pemberian antibiotik sangat berbeda-beda
sesuai indikasi.
f. Analgetik dan obat untuk memperlancar kerja saluran pencernaan Obat yang
dapat di berikan melalui supositoria obat yang diberikan ketopropen sup
2x/24 jam, melalui orang obat yang dapat 14 diberikan tramadol atau
paracetamol tiap 6 jam, melalui injeksi ranitidin 90-75 mg diberikan setiap 6
jam bila perlu. g. Obat-obatan lain Untuk meningkatkan vitalitas dan
keadaan umum penderita dapat diberikan caboransia seperti neurobian I vit.
2.1 Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian

Anamnesa, Indentitas pasien, riwayat penyakit,keluhan utama

2. Riwayat Kesehatan

1) Keluhan Utama:

Keluhan yang diungkapkan klien pada umumnya yaitu adanya rasa nyeri.
Lokasi luka

biasanya terdapat pada daerah-daerah yang menonjol, misalnya pada daerah


abdomen. daerah tangan, telapak kaki,

2) Riwayat Penyakit Sekarang:

Hal-hal yang perlu dikaji adalah mulai kapan keluhan dirasakan, lokasi
keluhan, intensitas, lamanya atau frekuensi, faktor yang memperberat atau
memperingan serangan, serta keluhan- keluhan lain yang menyertai dan
upaya-upaya yang telah dilakukan perawat disini harus menghubungkan
masalah kulit dengan gejalanya seperti: gatal, panas, mati rasa, immobilisasi,
nyeri, demam, edema, dan neuropati

3) Riwayat Kesehatan masa lalu: Apakah sebelumnya klien pernah menderita


nyeri dada, darah tinggi, DM, dan hiperlipidemia. Tanyakan obat-obatan
yang biasa diminum oleh klien pada masa lalu yang masih relevan. Catat
adanya efek samping yang terjadi di masa lalu. Tanyakan alergi obat dan
reaksi alergi apa yang timbul

4) Riwayat penyakit keluarga : Riwayat penyakit keluarga perlu ditanyakan


karena penyembuhan luka dapat dipengauhi oleh penyakit-penyakit yang
diturunkan seperti: DM, alergi, Hipertensi (CVA). Riwayat penyakit kulit
dan prosedur medis yang pernah dialami klien. Hal ini untuk memberikan
informasi apakah perubahan pada kulit merupakan manifestasi dari penyakit
sistemik seperti: infeksi kronis, kanker, DM.

3. Pemeriksaan Fisik

1) Keadaan umum

Pada pemeriksaan keadaan umum, kesadaran klien biasanya baik atau


compos mentis (CM) dan umumnya penderita datang dengan keadaan sakit
dan gelisah atau cema s akibat adanya kerusakan integritas kulit yang
dialami.
2) BI (Breathing)

Dapat ditemukan peningkatan frekuensi nafas atau masih dalam batas


normal.

3) B2 (Blood)

Tekanan darah biasanya mengalami peningkatan atau dalam batas normal


tidak ada bunyi jantung tambahan dan tidak ada kelainan katup.

4) B3 (Brain)

Kaji adanya hilang gerakan atau sensasi, spasme otot, terlihat


kelemahan/kehilangan fungsi. Pergerakan mata atau kejelasan penglihatan,
dilatasi pupil. Agitasi berhubungan denan nyeri atau ansietas.

5) B4 (Bladder)

Pengukuran volume output urine dengan intake cairan klien. Perubahan pola
kemih seperti inkontinesia urin, disuria, distensi kandung kemih, warna dan
bau urin, dan kebersihan.

6) B5 (Bowel)

Kaji adanya konstipasi, konsisten feses, frekuensi eliminasi, auskultasi bising


usus, anoreksia, adanya anoreksia abdomen, dan nyeri tekan abdomen.

7) B6 (Bone)

Aktivitas klien biasanya mengalami perubahan. Kaji adannya berat tiba-tiba


mungkin teralokasi pada area jaringan dapat berkurang pada imobilisasi,
kontraktur atrofi otot laserasi kulit dan perubahan warna.

Pemeriksaan fisik ibu

a. Keadaan umum, meliputi tentang kesadaran, nilai glasgow coma scale


(GCS) yang berisi penilaian eye, movement, verbal. Mencakup juga
penampilan ibu seperti baik, kotor, lusuh.

b. Tanda-tanda vital, meliputi pemeriksaan tekanan darah, nadi, suhu dan


respirasi.

c. Antropometri, meliputi tinggi badan, berat badan sebelum hamil, berat


badan saat hamil dan berat badan setelah melahirkan.

d. Pemeriksaan Fisik Head to Toe

o Kepala, observasi bentuk kepala, apakah terdapat lesi atau tidak,


persebaran pertumbuhan rambut, apakah terdapat pembengkakan
abnormal, warna rambut dan nyeri tekan.

o Wajah, pada wajah ibu postpartum biasanya terdapat cloasma


gravidarum sebagai ciri khas perempuan yang pernah mengandung,
apakah terdapat lesi atau tidak, nyeri pada sinus, terdapat edema
atau tidak.

o Mata, observasi apakah pada konjungtiva merah mudah atau pucat,


ibu yang baru mengalami persalinan biasanya banyak kehilangan
cairan, bentuk mata kiri dan kanan apakah simetris, warna skicra,
warna pupil dan fungsi penglihatan. Telinga, dilihat apakah ada
serumen, lesi, nyeri tekan pada tulang mastoid dan tes

o pendengaran.

o Hidung, observasi apakah ada pemafasan cuping hidung, terdapat


secret atau tidak, nyeri tekat pada tulang hidung, tes penciuman.

o Mulut, dilihat apakah ada perdarahan pada gusi, jumlah gigi ada
berapa, terdapat lesi atau tidak, warna bibir dan tes pengecapan.

o Leher, pada leher dilihat apakah bentuknya proporsional, apakah +


pembengkakan kelenjar getah bening atau pembengkakan kelenjar
tiroid.

o Dada, observasi apakah bentuk dada simetris atau tidak, auskultasi


suara nafas pada paru-paru dan frekuensi pernafasan, auskultasi
suara jantung apakah ada suara jantung tambahan dan observasi
pada payudara, biasanya pada ibu post partum payudara akan
mengalami pembesaran dan acrola menghitam serta normalnya ASI
akan keluar.

o Abdomen, pada abdomen observasi bentuk abdomen apakah


cembung, cekung atau datar. Observasi celah pada diastasis recti,
tinggi fundus uteri pasca persalinan, pada ibu yang mengalami
kehamilan tanda khas pada abdomen terdapat linia nigra, observasi
juga pada blas apakah teraba penuh atau tidak.

o Punggung dan bokong, dilihat apakah ada kelainan pada tulang


belakang, apakah terdapat nyeri tekan.

o Genetalia, observasi perdarahan pervaginam, apakah terpasang


dower cateter, observasi apakah terdapat luka ruptur, episiotomi
bagaimana keadaan luka, bersih atau tidak. Anus, observasi apakah
ada pembengkakan, terdapat lesi atau tidak, apakah terdapat
hemoroid.

o Ekstremitas Atas dan Bawah: pada ekstremitas atas dilihat tangan


kiri dan kanan simetris atau tidak, terdapat lesi atau tidak, edema,
observasi juga apakah ada nyeri tekan serta ROM.

o pergerakan kaki serta ROM.

2.2 Diagnosa keperawatan

1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hambatan jalan napas dityandai
dengan akumulasi sekret (D.0005)
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik ditandai dengan nyeri saat
beraktivitas (D.0077)
3. Risiko syok dibuktikan dengan pendarahan yang meningkat (D.0039)
4. Risiko difisit nutrisi dibuktikan dengan cairan intake menurun (D.0032)
5. Konstipasi berhubungan dengan kelemahan otot abdomen (D.0049)
6. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri ditandai dengan bedrest
(D.0054)
7. Risiko infeksi ditandai dengan perawatan yang kurang (D.0142)
2.3 Intervensi keperawatan
No Diagnosa Luaran Intervensi
1. Pola napas tidak Setelah dilakukan Observasi
efektif berhubungan tindakan asuhan 1. Monitor pola napas (frekuensi,
dengan hambatan keperawatan selama 2 x kedalaman, usaha napas)
jalan napas dityandai 24 jam diharapkan pola 2. Monitor bunyi napas tambahan
dengan akumulasi napas membaik dengan (mis. gurgiling, mengi, wheezing,
sekret (D.0005) kriteria hasil : ronkhi kering)
3. Monitor sputum (jumlah, warna,
1. Frekuensi napas
aroma)
membaik
Terapeutik
2. Akumulasi sekret
4. Pertahanan kepatenan jalan napas
menurun
dengan head-tift dan chin-lift (jaw-
(L.01004)
thrust jika curiga trauma servikal)
5. Posisikan Semi-Fowler atau
Fowler
Edukasi
6. Anjurkan asupan cairan 2000
ml/hari, Jika tidak komtraindikasi
7. Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
8. Kolaborasi pemberian
bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, Jika perlu
(I.
2. Nyeri akut Setelah dilakukan Observasi
berhubungan dengan tindakan asuhan 1. Identifikasi lokasi,
agen pencedera fisik keperawatan selama 2 karakteristik, durasi, frekuensi,
ditandai dengan nyeri x 24 jam diharapkan kualitas, intensitas nyeri
saat beraktivitas Tingkat nyeri 2. Identifikasi skala nyeri
(D.0077) menurun dengan 3. Identifikasi respon nyeri non
kriteria hasil : verbal
1. Keluhan nyeri Terapeutik
menurun 4. Berikan teknik
2. Meringis nonfarmakologis untuk
menurun mengurangi rasa nyeri (mis.
3. Kesulitan tidur TENS, hipnosis, akupresure,
menurun terapi musik, biofeedback,
(L.08006) terapi pijat, aromaterapi, teknik
imajinasi terbimbing, kompres
hangat atau dingin, terapi
bermain)
Edukasi
5. Jelaskan penyebab periode dan
pemicu nyeri
6. Jelaskan strategi meredakan
nyeri
7. Anjurkan memonitor nyeri
secara mandiri
8. Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
9. Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
3. Risiko syok Setelah dilakukan Observasi
dibuktikan dengan tindakan asuhan 1. Monitor status kardiopulmonal
pendarahan yang keperawatan selama 2 x (frekuensi dan kekuatan hadi,
meningkat (D.0039) 24 jam diharapkan frekuensi napas, TD, MAP)
perdarahan menurun 2. Monitor status oksigen
dengan kriteria hasil : (oksimetri nadi, AGD)
1. Tingkat kesadaran 3. Monitor status cairan (masukan
meningkat dan haluaran, tugur kulit, CRT)
2. Ttv membaik Terapeutik
(L.03032) 4. Berikan oksigen untuk
mempertahankan saturasi
oksigen> 94%
Edukasi
5. Jelaskan penyebab/faktor resiko
syok
6. Jelaskan tanda dan gejala awal
syok
7. Anjurkan melapor jika
menemukan/merasakan tanda
dan gejala awal syok
Kolaborasi
8. Kolaborasi pemberian IV, jika
perlu

4. Risiko difisit nutrisi Setelah dilakukan Observasi


dibuktikan dengan tindakan asuhan 1. Identifikasi status nutrisi
cairan intake keperawatan selama 2 x 2. Identifikasi alergi dan
menurun (D.0032) 24 jam diharapkan intoleransi makanan
keadekuatan status nutrisi Terapeutik
membaik dengan kriteria 3. Lakukan oral hygienis sebelum
hasil : makan, jika perlu
1. Mual muntah 4. Berikan makanan tinggi serat
menurun untuk mencegah konstipasi
2. Cairan intake Edukasi
menurun 5. Anjurkan posisi duduk, jika
(L.03030) mampu
6. Ajarkan diet yang
diprogramkan
Kolaborasi
7. Kolaborasi pemberian medikasi
sebelum makan (mis. pereda
nyeri, antlemetik), jika perlu

5. Konstipasi Setelah dilakukan Observasi


berhubungan dengan tindakan asuhan 1. Periksa tanda gejala konstipasi
kelemahan otot keperawatan selama 2 x 2. Periksa pergerakan usus,
abdomen (D.0049) 24 jam diharapkan karakteristik feses (konsistensi,
defekasi membaik bentuk, volume, dan warna)
dengan kriteria hasil : 3. Identifikasi faktor risiko
1. Kelemahan otot konstipasi (mis. obat-obatan,
abdomen tirah baring, dan diet rendah
menurun serat)
(L.04033) 4. Monitor tanda dan gejala ruptur
usus dan atau peritonitis
Terapeutik
5. Anjurkan diet tinggi serat
6. Lakukan masase abdomen, jika
perlu
Edukasi
7. Jelaskan etiologi masalah dan
alasan tindakan
8. Anjurkan peningkatan asupan
cairan, jika tidak ada
kontraindikasi
Kolaborasi
9. Konsultasi dengan tim medis
tentang penurunan atau
peningkatan frekuensi suara
usus

6. Gangguan mobilitas Setelah dilakukan Observasi


fisik berhubungan tindakan asuhan 1. Identifikasi adanya nyeri atau
dengan nyeri ditandai keperawatan selama 2 x keluhan fisik lainnya
dengan bedrest 24 jam diharapkan 2. Identifikasi toleransi fisik
(D.0054) kemampuan gerakan fisik melakukan pergerakan
meningkat dengan 3. Monitor frekuensi jantung dan
kriteria hasil : tekanan darah sebelum
1. Kekuatan otot memulai mobilisasi
meningkat Terapeutik
2. Nyeri menurun 4. Fasilitasi aktivitas mobilisasi
(L.05042) dengan alat bantu (misal. pagar
tempat tidu)
5. Fasilitasi melakukan
pergerakan, Jika perlu
Edukasi
6. Jelaskan tujuan dan prosedur
mobilisasi
7. Anjurkan melakukan mobilisasi
dini
8. Ajarkan mobilisasi sederhana
yang harus dilakukan (misal.
duduk di tempat tidur, duduk di
sisi tempat tidur, pindah dari
tempat tidur ke kursi)
7. Risiko infeksi Setelah dilakukan Observasi
ditandai dengan tindakan asuhan 1. Monitor tanda dan gejala
perawatan yang keperawatan selama 2 x infeksi lokal dan sistematik
kurang (D.0142) 24 jam diharapkan Terapeutik
derajat infeksi menurun 2. Batasi jumlah pengunjung
dengan kriteria hasil : 3. Berikan perawatan kulit pada
1. Kebersihan badan area edema
meningkat 4. Cuci tangan sebelum dan
(L.14137) sesudah kontak dengan pasien
dan lingkungan pasien
5. Pertahankan teknik aseptik
pada pasien beresiko tinggi
Edukasi
6. Jelaskan tanda dan gejala
infeksi
7. Ajarkan cara mencuci tangan
dengan benar
8. Ajarkan cara memeriksa
kondisi luka dan luka operasi
Kolaborasi
9. Kolaborasi pemberian
imunisasi, jika perlu
2.4 Implementasi
Implementasi adalah pelaksanaan dari rencana intervensi untuk mencapai
tujuan yang spesifik. Tahap implementasi dimulai setelah rencana intervensi
disusun dan ditujukan pada nursing orders untuk membantu klien mencapai tujuan
yang diharapkan. Oleh karena itu rencana intervensi yang spesifik dilaksanakan
untuk memodifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan klien.
2.5 Evaluasi
Evaluasi adalah penilaian terakhir didasarkan pada tujuan keperawatan
yang ditetapkan. Penetapan keberhasilan suatu asuhan keperawatan didasarkan
pada kriteria hasil yang telah ditetapkan, yaitu terjadinya adaptasi pada individu.
DAFTAR PUSTAKA

Agung, S. (2021) Asuhan Keperawatan Pada Ny. S Dengan Post Sectio Caesarea Indikasi
Partus Tak Maju Di Ruang Baitunnisa 2 Rsi Sultan Agung Semarang.

Margarita Fanggidae (2019) ‘Asuhan Kebidanan Post Sc Atas Indikasi Pre-Eklampsia


Berat Di Ruangan Flamboyan Rsud. Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang Tanggal 13 S/D 16 Mei
2017’.

Rahmah Pebrianti (2021) ‘Laporan Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan Ny.D Dengan
Diagnosa Medis Post Sectio Caesarea Atas Indikasi Ketuban Pecah Dini Di Rsud Dosis
Sylvanus Palangkaraya’.

Zahroh, N.F. (2021) Asuhan Keperawatan Pada Ibu Masa Nifas Ny . S.

Anda mungkin juga menyukai