Anda di halaman 1dari 222

SKRIPSI

DINAMIKA PENULARAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)


DIDASARKAN PADA INDIKATOR POTENSI PENULARAN
DI LIMA KECAMATAN KASUS TERTINGGI
KOTA SEMARANG TAHUN 2019

Oleh :
FENDI WIDYANTORO
NIM : P1337433215037

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG


JURUSAN KESEHATAN LINGKUNGAN PURWOKERTO
PROGRAM STUDI DIPLOMA IV KESEHATAN LINGKUNGAN
2019
SKRIPSI

DINAMIKA PENULARAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)


DIDASARKAN PADA INDIKATOR POTENSI PENULARAN
DI LIMA KECAMATAN KASUS TERTINGGI
KOTA SEMARANG TAHUN 2019

Oleh :
FENDI WIDYANTORO
NIM : P1337433215037

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG


JURUSAN KESEHATAN LINGKUNGAN PURWOKERTO
PROGRAM STUDI DIPLOMA IV KESEHATAN LINGKUNGAN
2019
i
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Politeknik Kesehatan Kemenkes Semarang
Jurusan Kesehatan Lingkungan Purwokerto
Program Studi Diploma IV Kesehatan Lingkungan
Skripsi, Mei 2019

Abstrak

Fendi Widyantoro (fendy.dyant@gmail.com)


DINAMIKA PENULARAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DIDASARKAN PADA
INDIKATOR POTENSI PENULARAN DI LIMA KECAMATAN KASUS TERTINGGI KOTA
SEMARANG TAHUN 2019
XIX + 200 halaman, gambar, tabel, dan lampiran

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus
dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Sp.. Kasus DBD di Kota Semarang
dalam lima tahun terakhir menetap di lima kecamatan yaitu Tembalang, Banyumanik,
Pedurungan, Ngaliyan dan Semarang Barat. Sebaran kasus DBD pada suatu daerah dapat
dipetakan dengan dinamika penularan. Dinamika penularan merupakan upaya untuk
mengetahui riwayat sebaran penyakit, determinan dan model sebaran. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui dinamika penularan DBD didasarkan pada indikator potensi
penularan di lima kecamatan kasus tertinggi Kota Semarang tahun 2019.
Jenis penelitian adalah analitik kualitatif dengan analisis peta grafis untuk
pengamatan ulang wilayah terjadinya kasus DBD serta didasarkan pada studi dokumentasi
catatan medis Dinas Kesehatan Kota Semarang untuk mengetahui model penularan dan
determinan kasus DBD.
Distribusi kasus DBD di lima kecamatan yaitu Tembalang 55 kasus cluster (67%) 26
kasus separated (33%), Banyumanik 42 kasus cluster (54%) 35 kasus separated (46%),
Pedurungan 30 kasus cluster (51%) 29 kasus separated (49%), Ngaliyan 18 kasus cluster
(60%) 12 kasus separated (40%) dan Semarang Barat 11 kasus cluster (52%) dan 10 kasus
separated (48%). Pengukuran deterrminan yaitu ABJ 84%-96,75%, intensitas cahaya 10 lux-
178 lux, suhu 25,5°C-34°C, kelembaban 60%-89%, dan curah hujan 0-677 mm.
Dinamika penularan DBD di lima kecamatan terjadi dengan model penularan cluster
dan separated. Hubungan determinan dengan kasus yaitu ABJ rendah kasus tinggi, kondisi
lingkungan fisik seperti intensitas cahaya, suhu, dan kelembaban yang optimum hidup
nyamuk Aedes aegypti, curah hujan tinggi kejadian DBD tinggi. Jadi, perlu adanya penelitian
resistensi di wilayah dengan model penularan cluster untuk mengantisipasi endemisitas di
lima kecamatan.

Daftar bacaan : 29 (1998-2018)


Kata kunci : Dinamika Penularan, Model, Determinan
Klasifikasi :-

ii
Ministry of Health of The Republic Indonesia
Health Polytechnic of Semarang
The Departement Environmental Health Purwokerto
Diploma IV Program of Environmental Health
Scientific Reasearch, Mei 2019

Abstract

FENDI WIDYANTORO (fendy.dyant@gmail.com)


INFECTION DYNAMIC OF DENGUE HEMORRHAGIC FEVER (DHF) BASED ON
POTENTIAL INFECTION INDICATOR IN THE HIGHEST CASE FIVE DISTRICT OF
SEMARANG CITY 2019.
XIX+200 pages, images, tables and attachments

Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is a disease caused by the dengue virus which
stay in mosquitoes of the aedes s.p. The cases of DHF in Semarang City around last five
years consistanly in five dictrict were Tembalang, Banyumanik, Pedurungan, Ngaliyan, and
West Semarang. The spreading of DHF in one area can be mapped by infection dynamic.
Infection dynamic is one of efforts to find the historical spreafing infection, determinant, and
the spreading model. The aim of this study was to find the infection dynamic of DHF based on
potential infection indicator in the highest five district of Semarang City 2019.
The type of the reserch were qualitative-analitic with graphic map analysis to re-
observation the area of DHF and based on the documentation from "Dinas Kesehatan Kota
Semarang" to find the infection model and determination of DHF cases.
The result showed that of DHF cases in five district were Tembalang 55 cluster cases
(67%) 26 cases were separated (33%), Banyumanik 42 cluster cases (54%) 35 cases were
separated (46%), Pedurungan 30 cluster cases (51%) 29 cases were separated (49%),
Ngaliyan 18 cluster cases (60%) 12 cases were separated (40%) and West Semarang 11
cluster cases (52%) and 10 cases were separated (48%). The Determinant mesurement were
ABJ 84%-96.7%, Light intensity 10 lux- 178 lux, temperature 25.5 C - 34C, Moist 60%-89%,
Rainfall 0-677mm.
DHF Infection Dynamic in five district caused by cluster and separated model infection.
Relation of determinant with cases were low ABJ High cases, the condition of environment
such as light, temperature, and moist were optimum for making the mosquitoes of aedes
aegypti life. High Rainfall related with high cases of DHF. We need the Resistency Reserch
with cluster infection model for anticipating the endemicity in five District.

Reading list : 29 (1998-2018)


Key word : Dynamic of Infection, Model, Determinant
Classification : -

iii
SKRIPSI

DINAMIKA PENULARAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)


DIDASARKAN PADA INDIKATOR POTENSI PENULARAN
DI LIMA KECAMATAN KASUS TERTINGGI
KOTA SEMARANG TAHUN 2019

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu untuk mencapai derajat


Sarjana Terapan Bidang Kesehatan Lingkungan

Oleh :
FENDI WIDYANTORO
NIM : P1337433215037

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG


JURUSAN KESEHATAN LINGKUNGAN PURWOKERTO
PROGRAM STUDI DIPLOMA IV KESEHATAN LINGKUNGAN
2019
iv
HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi atas :

Nama Mahasiswa : Fendi Widyantoro

NIM : P1337433215037

Judul : Dinamika Penularan Demam Berdarah Dengue (DBD)

Didasarkan Pada Indikator Potensi Penularan Di Lima

Kecamatan Kasus Tertinggi Kota Semarang Tahun 2019

Kami setuju untuk diseminarkan pada tanggal : 27 Mei 2019

Purwokerto, 21 Mei 2019

Pembimbing II Pembimbing I

Mela Firdaust, SST., M.KL Dr. Aris Santjaka, SKM., M.Kes


NIP. 19871124 200912 2 001 NIP. 19650212 198702 1 002

v
PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Fendi Widyantoro

NIM : P1337433215037

Tempat Tanggal Lahir : Semarang, 30 Mei 1995

Judul Skripsi : Dinamika Penularan Demam Berdarah

Dengue (DBD) Didasarkan Pada Indikator

Potensi Penularan Di Lima Kecamatan

Kasus Tertinggi Kota Semarang Tahun 2019

Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi ini adalah betul-betul hasil karya

saya dan bukan hasil penjiplakan dari hasil karya orang lain.

Demikian pernyataan ini dan apabila kelak dikemudian hari terbukti dalam skripsi ada

unsur penjiplakan, maka saya bersedia mempertanggung jawabkan sesuai dengan

ketentuan yang berlaku.

Purwokerto, 24 Mei 2019

Yang menyatakan

Fendi Widyantoro

vi
BIODATA PESERTA

Nama Mahasiswa : Fendi Widyantoro

NIM : P1337433215037

Agama : Islam

Tempat Tanggal Lahir : Semarang, 30 Mei 1995

Alamat Rumah : Perum. Beringin Asri RT 05 RW 11 Kel. Wonosari

Kec. Ngaliyan, Kota Semarang

Nomor Telepon : 08995682888

Jenis Kelamin : Laki-laki

Riwayat Pendidikan : 1. SD Negeri Karanganyar 02 Semarang

2. SMP Negeri 18 Semarang

3. SMK Negeri 4 Semarang

Purwokerto, 24 Mei 2019

Peserta

Fendi Widyantoro

vii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat

dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul

Dinamika Penularan Demam Berdarah Dengue (DBD) Didasarkan Pada Indikator

Potensi Penularan Di Lima Kecamatan Kasus Tertinggi Kota Semarang Tahun 2019.

Tujuan penulisan skripsi ini adalah mengetahui pemetaan dinamika penularan

Demam Berdarah Dengue (DBD) didasarkan pada indikator potensi penularan di lima

kecamatan kasus tertinggi Kota Semarang yang dilakukan untuk upaya pencegahan

dan pengendalian DBD. Dalam penyelesaian skripsi ini penulis banyak mendapatkan

bantuan baik materil maupul moril dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan

terima kasih kepada :

1. Bapak Marsum, BE, S.Pd., M.HP., selaku Direktur Politeknik Kesehatan

Kemenkes Semarang.

2. Bapak Asep Tata Gunawan, SKM., M.Kes., selaku Ketua Jurusan Kesehatan

Lingkungan Purwokerto.

3. Bapak Hari Rudijanto, IW, ST., M.Kes., selaku Ketua Program Studi Diploma IV

Kesehatan Lingkungan Purwokerto.

4. Bapak Dr. Aris Santjaka, SKM., M.Kes., selaku pembimbing akademik.

5. Bapak Dr. Aris Santjaka, SKM., M.Kes., selaku dosen pembimbing 1 yang telah

memberikan bimbingan dan saran.

6. Ibu Mela Firdaust, SST., M.KL., selaku dosen pembimbing 2 yang telah

memberikan bimbingan dan saran.

7. Bapak Asep Tata Gunawan, SKM., M.Kes., selaku pembimbing seminar 1 yang

telah memberikan masukan dan saran.

viii
8. Bapak Arif Widyanto, S.Pd., M.Si., selaku pembimbing seminar 2 yang telah

memberikan masukan dan saran.

9. Seluruh dosen dan staff karyawan Program Studi Diploma IV Jurusan Kesehatan

Lingkungan Purwokerto yang telah membantu dalam proses penyusunan skripsi.

10. Bapak dan Ibu, selaku orang tua yang selalu mendukung dan selalu mendoakan

untuk kelancaran dalam penyusunan skripsi.

11. Keluarga tercinta yang selalu meberikan doa, semangat dan dorongan moril

dalam penyusunan skripsi.

12. Ratna F, sebagai teman dekat yang selalu memotivasi dan memberikan

semangat.

13. Teman-teman mahasiswa Politeknik Kesehatan Kemenkes Semarang yang selalu

memotivasi diri saya.

14. Dan lain-lain yang tidak dapat disebut satu per satu.

Mudah-mudahan skripsi ini dapat dilaksanakan penelitiannya.

Purwokerto, 24 Mei 2018

Fendi Widyantoro

ix
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL........................................................................................................ i

ABSTRAK ....................................................................................................................... ii

ABSTRACT..................................................................................................................... iii

HALAMAN JUDUL .......................................................................................................... iv

HALAMAN PERSETUJUAN.............................................................................................v

HALAMAN PENGESAHAN............................................................................................. vi

HALAMAN PERNYATAAN..............................................................................................vii

BIODATA........................................................................................................................ viii

KATA PENGANTAR....................................................................................................... ix

DAFTAR ISI.................................................................................................................... xi

DAFTAR TABEL............................................................................................................. xiv

DAFTAR GAMBAR.........................................................................................................xvi

DAFTAR LAMPIRAN .....................................................................................................xix

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 1

A. Latar Belakang .............................................................................................. 1

B. Perumusan Masalah ..................................................................................... 4

C. Tujuan Penelitian .......................................................................................... 5

D. Manfaat Penelitian ........................................................................................ 5

E. Keaslian Penelitian ....................................................................................... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................................... 9

A. Demam Berdarah Dengue............................................................................. 9

B. Vektor............................................................................................................15

C. Model Hubungan Penyakit.............................................................................21

D. Penyelidikan Epidemiologi.............................................................................23

x
E. Dinamika Potensi Penularan..........................................................................25

F. Surveilans dan Pengendalian Vektor.............................................................30

G. GIS................................................................................................................ 35

H. Kerangka Teori..............................................................................................41

BAB III METODE PENELITIAN .......................................................................................42

A. Kerangka Pikir...............................................................................................42

B. Jenis Penelitian..............................................................................................43

C. Ruang Lingkup...............................................................................................45

D. Subyek Penelitian..........................................................................................45

E. Pengumpulan Data........................................................................................45

F. Pengolahan Data...........................................................................................47

G. Analisi Data...................................................................................................47

H. Etika Penelitian..............................................................................................47

BAB IV HASIL ................................................................................................................. 48

A. Gambaran Umum .........................................................................................48

1. Geografi ..................................................................................................48

2. Demografi ...............................................................................................51

B. Gambaran Khusus ........................................................................................56

1. Kasus DBD .............................................................................................56

2. Karakteristik Penderita ............................................................................57

3. Sebaran Kasus .......................................................................................61

4. Determinan .............................................................................................76

5. Hasil Pengukuran ....................................................................................105

BAB V PEMBAHASAN ....................................................................................................111

A. Gambaran Umum .........................................................................................111

1. Geografi ..................................................................................................111

xi
2. Demografi ...............................................................................................112

B. Gambaran Khusus ........................................................................................115

1. Kasus DBD .............................................................................................115

2. Karakteristik Penderita ............................................................................116

3. Sebaran Kasus .......................................................................................120

4. Determinan .............................................................................................124

5. Hasil Pengukuran ....................................................................................140

BAB VI PENUTUP ..........................................................................................................145

A. Kesimpulan ...................................................................................................145

B. Saran ............................................................................................................148

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................150

LAMPIRAN ...................................................................................................................... 152

xii
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Keaslian penelitian......................................................................................... 6

Tabel 2.1 Klasifikasi Aedes aegypti dan Aedes albopictus.............................................17

Tabel 3.1 Definisi operasional........................................................................................43

Tabel 4.1 Demografi Kecamatan Tembalang ................................................................53

Tabel 4.2 Demografi Kecamatan Banyumanik ..............................................................53

Tabel 4.3 Demografi Kecamatan Pedurungan ..............................................................54

Tabel 4.4 Demografi Kecamatan Ngaliyan ....................................................................55

Tabel 4.5 Demografi Kecamatan Semarang Barat ........................................................55

Tabel 4.6 Distribusi Kasus DBD Di Lima kecamatan kasus tertinggi Tahun 2019 .........56

Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Kasus Meninggal dan Sembuh......................................57

Tabel 4.8 Umur Penderita Kecamatan Tembalang .......................................................57

Tabel 4.9 Umur Penderita Kecamatan Banyumanik ......................................................58

Tabel 4.10 Umur Penderita Kecamatan Pedurungan ......................................................58

Tabel 4.11 Umur Penderita Kecamatan Ngaliyan ...........................................................59

Tabel 4.12 Umur Penderita Kecamatan Semarang Barat ...............................................59

Tabel 4.13 Jenis Kelamin Penderita Kecamatan Temalang ............................................59

Tabel 4.14 Jenis Kelamin Penderita Kecamatan Banyumanik ........................................60

Tabel 4.15 Jenis Kelamin Penderita Kecamatan Pedurungan ........................................60

Tabel 4.16 Jenis Kelamin Penderita Kecamatan Ngaliyan ..............................................60

Tabel 4.17 Jenis Kelamin Penderita Semarang Barat .....................................................61

Tabel 4.18 Indeks Kasus DBD Di Kecamatan Tembalang ..............................................61

Tabel 4.19 Indeks Kasus DBD Di Kecamatan Banyumanik ...........................................62

Tabel 4.20 Indeks Kasus DBD Di Kecamatan Pedurungan .............................................63

Tabel 4.21 Indeks Kasus DBD Di Kecamatan Ngaliyan ..................................................64

xiii
Tabel 4.22 Indeks Kasus DBD Di Kecamatan Semarang Barat ......................................65

Tabel 4.23 Model Penularan Kecamatan Tembalang .....................................................66

Tabel 4.24 Model Penularan Kecamatan Banyumanik ....................................................68

Tabel 4.25 Model Penularan Kecamatan Pedurungan ....................................................70

Tabel 4.26 Model Penularan Kecamatan Ngaliyan .........................................................72

Tabel 4.27 Model Penularan Kecamatan Semarang Barat .............................................74

Tabel 4.28 Rata-rata Distribusi Kasus DBD (2014-2019) ................................................105

Tabel 4.29 Rentang Waktu sakit Responden DBD ..........................................................109

Tabel 4.30 Mobilitas Responden DBD ............................................................................110

xiv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Siklus gonotropik........................................................................................19

Gambar 2.2 Kerangka Teori...........................................................................................41

Gambar 3.1 Kerangka Pikir............................................................................................42

Gambar 4.1 Administratif Kota Semarang .....................................................................51

Gambar 4.2 Peta Model Penularan Kasus DBD Kecamatan Tembalang ......................67

Gambar 4.3 Peta Model Penularan Kasus DBD Kecamatan Banyumanik ....................69

Gambar 4.4 Peta Model Penularan Kasus DBD Kecamatan Pedurungan ....................71

Gambar 4.5 Peta Model Penularan Kasus DBD Kecamatan Ngaliyan ..........................73

Gambar 4.6 Peta Model Penularan Kasus DBD Kecamatan Semarang Barat ..............75

Gambar 4.7 ABJ Kecamatan Tembalang Tahun 2018-2019 .........................................76

Gambar 4.8 Hubungan ABJ dengan Kejadian DBD Di Kecamatan Tembalang.............77

Gambar 4.9 ABJ Kecamatan Banyumanik Tahun 2018-2019 .......................................77

Gambar 4.10 Hubungan ABJ dengan Kejadian DBD Di Kecamatan Banyumanik ..........78

Gambar 4.11 ABJ Kecamatan Pedurungan Tahun 2018-2019 .......................................78

Gambar 4.12 Hubungan ABJ dengan Kejadian DBD Di Kecamatan Banyumanik ..........79

Gambar 4.13 ABJ Kecamatan Ngaliyan Tahun 2018-2019..............................................79

Gambar 4.14 Hubungan ABJ dengan Kejadian DBD Di Kecamatan Ngaliyan ................80

Gambar 4.15 ABJ Kecamatan Semarang Barat Tahun 2018-2019 .................................80

Gambar 4.16 Hubungan ABJ dengan Kejadian DBD Di Kecamatan Semarang Barat.....81

Gambar 4.17 Pengukuran Intensitas Cahaya Di Kecamatan Tembalang .......................82

Gambar 4.18 Pengukuran Suhu Di Kecamatan Tembalang ............................................83

Gambar 4.19 Pengukuran Kelembaban Di Kecamatan Tembalang ................................84

xv
Gambar 4.20 Hubungan Intensitas Cahaya, Suhu, dan Kelembaban Di Kecamatan

Tembalang ................................................................................................84

Gambar 4.21 Pengukuran Intensitas Cahaya Di Kecamatan Banyumanik ......................85

Gambar 4.22 Pengukuran Suhu Di Kecamatan Banyumanik ..........................................86

Gambar 4.23 Pengukuran Kelembaban Di Kecamatan Banyumanik ..............................87

Gambar 4.24 Hubungan Intensitas Cahaya, suhu, dan Kelembaban di Kecamatan

Banyumanik ...............................................................................................87

Gambar 4.25 Pengukuran Intensitas Cahaya Di Kecamatan Pedurugan ........................88

Gambar 4.26 Pengukuran Suhu Di Kecamatan Pedurungan ..........................................89

Gambar 4.27 Pengukuran Kelembaban Di Kecamatan Pedurungan ..............................90

Gambar 4.28 Hubungan Intensitas Cahaya, Suhu, dan Kelembaban di Kecamatan

Pedurungan ................................................................................................90

Gambar 4.29 Pengukuran Intensitas Cahaya Di Kecamatan Ngaliyan ...........................91

Gambar 4.30 Pengukuran Suhu Di Kecamatan Ngaliyan ................................................92

Gambar 4.31 Pengukuran Kelembaban Di Kecamatan Ngaliyan ....................................93

Gambar 4.32 Hubungan Intensitas Cahaya, Suhu, dan Kelembaban Di Kecamatan

Ngaliyan .....................................................................................................93

Gambar 4.33 Pengukuran Intensitas Cahaya Di Kecamatan Semarang Barat ...............94

Gambar 4.34 Pengukuran Suhu Di Kecamatan Semarang Barat ...................................95

Gambar 4.35 Pengukuran Kelembaban Di Kecamatan Semarang Barat ........................96

Gambar 4.36 Hubungan Intensitas Cahaya, Suhu, dan Kelembaban Di Kecamatan

Semarang Barat .........................................................................................96

Gambar 4.37 Curah Hujan Di Kecamatan Tembalang Tahun 2018-2019 .......................97

Gambar 4.38 Hubungan Curah Hujan dengan Kejadian DBD Di Kec. Tembalang..........98

Gambar 4.39 Curah Hujan Di Kecamatan Banyumanik Tahun 2018-2019 .....................99

Gambar 4.40 Hubungan Curah Hujan dengan Kejadian DBD Di Kec. Banyumanik ........99

xvi
Gambar 4.41 Curah HUjan Di Kecamatan Pedurungan Tahun 2018-2019 .....................100

Gambar 4.42 Hubungan Curah Hujan dengan Kejadian DBD Di Kec. Pedurungan ........101

Gambar 4.43 Curah Hujan Di Kecamatan Ngaliyan Tahun 2018-2019 ...........................101

Gambar 4.44 Hubungan Curah Hujan dengan Kejadian DBD Di Kec. Ngaliyan .............102

Gambar 4.45 Curah Hujan Di Kecamatan Semarang Barat Tahun 2018-2019 ...............103

Gambar 4.46 Hubungan Curah Hujan dengan Kejadian DBD Di Kec, Smg Barat ..........103

Gambar 4.47 Kasus DBD Di Lima Kecamatan Tertinggi Kota Semarang .......................104

Gambar 4.48 Trombosit Responden Kecamatan Tembalang .........................................106

Gambar 4.49 Trombosit Responden Kecamatan Banyumanik ........................................106

Gambar 4.50 Trombosit Responden Kecamatan Pedurungan ........................................107

Gambar 4.51 Trombosit Responden Kecamatan Ngaliyan .............................................108

Gambar 4.52 Trombosit Responden Kecamatan Semarang Barat .................................108

xvii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Lembar Penjelasan Sebelum Penelitian....................................................152

Lampiran 2. Prosedur Pelaksanaan..............................................................................153

Lampiran 3. Lembar Persetujuan .................................................................................154

Lampiran 4. Lembar Kerja Observasi ...........................................................................155

Lampiran 5. Prosedur Pengukuran Pencahayaan.........................................................156

Lampiran 6. Prosedur Pengukuran Kelembaban...........................................................157

Lampiran 7. Prosedur Pengukuran Suhu......................................................................158

Lampiran 8. Prosedur Pengukuran Ordinat...................................................................159

Lampiran 9. Jadwal Kerja Penelitian Tahun 2018-2019................................................160

Lampiran 10. Diagnosa Penderita DBD 2018 .................................................................161

Lampiran 11. Diagnosa Penderita DBD 2019 .................................................................163

Lampiran 12. Sebaran Kasus DBD Periode 2019 ...........................................................165

Lampiran 13. Karakteristik Penderita DBD ......................................................................166

Lampiran 14. Data Unsur Iklim BMKG ............................................................................167

Lampiran 15. Data Angka Bebas Jentik (ABJ) (2018-2019).............................................168

Lampiran 16. Hasil Wawancara Responden DBD ...........................................................169

Lampiran 17. Model Penulrana DBD ...............................................................................176

Lampiran 18. Pengukuran Kondisi Lingkungan Fisik .......................................................187

Lampiran 19. Titik Koordinat Kasus DBD ........................................................................191

Lampiran 20. Dokumentasi Observasi Responden .........................................................197

Lampiran 21. Surat Izin Kesbangpolinmas Semarang ....................................................200

Lampiran 22. Surat Izin Dinas Kesehatan Kota Semarang .............................................202

Lampiran 23. Lembar Bimbingan Proposal/ Skripsi .........................................................203

Lampiran 24. Lembar Bimbingan Proposal/ Skripsi .........................................................204

xviii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

WHO (2003) dalam Cipto Aris Purnomo (2010), Demam Berdarah Dengue (DBD)

ditularkan melalui nyamuk Aedes aegypti dan telah terjadi di lima dari enam wilayah

cakupan World Health Organization (WHO) dengan wilayah Eropa sebagai

pengecualiannya. Telah terjadi kasus Imported Dengue (Dengue yang masuk dari negara

lain) dalam jumlah orang yang cukup banyak di beberapa negara di wilayah tersebut.

Jumlah penduduk yang terserang penyakit ini diperkirakan berkisar antara 2,5 sampai 3

milyar, terutama penduduk yang tinggal di daerah perkotaan di negara tropis dan sub

tropis. Walaupun sebelum ini Dengue dinilai sebagai masalah yang dihadapi daerah

perkotaan semata, namun penyakit tersebut saat ini juga menjadi ancaman bagi daerah

pinggiran di Asia Tenggara.

Kemenkes R.I. tahun 2013, Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) mulai

dikenal di Indonesia sejak tahun 1968 di Surabaya dan Jakarta, setelah itu jumlah kasus

DBD terus bertambah seiring dengan semakin meluasnya daerah endemis DBD. Penyakit

ini tidak hanya sering menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) tetapi juga menimbulkan

dampak buruk sosial maupun ekonomi. Kerugian sosial yang terjadi antara lain karena

menimbulkan kepanikan dalam keluarga, kematian anggota keluarga, dan berkurangnya

usia harapan hidup penduduk. Keadaan ini erat kaitannya dengan peningkatan mobilitas

penduduk yang sejalan dengan semakin lancarnya hubungan transportasi serta tersebar

luasnya virus Dengue dan nyamuk penularnya di berbagai wilayah di Indonesia.

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus

Dengue yang ditularkan dari orang ke orang melalui gigitan nyamuk Aedes Sp.. Di

Indonesia Aedes aegypti merupakan vektor utama penyakit DBD dan Aedes albopictus

1
2

sebagai vektor sekunder. Beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya DBD antara

lain rendahnya status kekebalan kelompok masyarakat dan kepadatan populasi nyamuk

penular karena banyaknya tempat perindukan nyamuk yang biasanya terjadi pada musim

penghujan.

Data Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes R.I. pada tahun

2017 di Indonesia dengan jumlah penduduk 261.890.872 orang terdapat 59.047 kasus

DBD dengan penderita yang meninggal sebanyak 444 orang. Data Incident Rate per

100.000 penduduk kasus DBD pada tahun 2017 di Indonesia yang tertinggi menunjukkan

bahwa provinsi Bali dengan IR sebesar 105,95 dari jumlah 4.499 kasus, diikuti Kalimantan

Barat dengan IR sebesar 52,61 dari jumlah 2.595 kasus, Aceh dengan IR sebesar 49,93

dari jumlah 2.591 kasus, Sumatera Barat dengan IR sebesar 46,42 dari jumlah 2.470

kasus dan DIY dengan IR sebesar 43,65 dari 1642 kasus. Provinsi Jawa Tengah

menduduki peringkat 19 teratas skala nasional dengan IR sebesar 21,60 dari jumlah

7.400 kasus.

Data Dinas Kesehatan Provinsi di tahun 2017, Penyakit DDB merupakan

permasalah yang serius di Provinsi Jawa Tengah yang ada di 35 kabupaten/kota

terjangkit penyakit DBD. Angka kematian atau Incident Rate (IR) DBD di Provinsi Jawa

Tengah pada tahun 2017 sebesar 21,68 per 100.000 penduduk, mengalami penurunan

bila dibandingkan tahun 2016 yaitu 43,4 per 100.000 pennduduk. Hal ini berarti bahwa IR

DBD di Jawa Tengah lebih rendah dari target nasional (<51 per 100.000 penduduk) dan

Target Renstra (<48 per 100.000). IR tertinggi penyakit DBD berada di Kota Magelang

dengan 54,33 per 100.000 penduduk dan terendah di kota Rembang dengan IR 2,07 per

100.000 penduduk. Kota Semarang berada di urutan 22 teratas dengan IR sebesar 17,98

per 100.000 penduduk.

Jumlah penderita DBD di Kota Semarang tahun 2017 turun menjadi 299 kasus dari

448 kasus pada tahun sebelumnya. Tahun 2017 merupakan tahun dengan jumlah kasus
3

terendah sejak tahun 1994. Incidence Rate (IR) juga terjadi penurunan yang signifikan

dari yang sebelumnya (tahun 2016) 25,22 menjadi 17,98 pada tahun 2017. IR tertinggi

juga pada tahun 2010 yaitu 368,7 per 100.000 penduduk. Incidence Rate (IR) DBD Kota

Semarang dari Tahun 2006 sampai dengan Tahun 2015 selalu jauh lebih tinggi dari IR

DBD Jawa Tengah dan IR DBD Nasional.

Data Dinas Kesehatan Kota Semarang tahun 2018, menunjukkan bahwa kasus

DBD di Kota Semarang dari tahun 2014 sampai dengan tahun 2018 terdapat jumlah

kasus DBD di Kota Semarang sebanyak 4186 kasus yang berada di lima Kecamatan

yang tertinggi yaitu Kecamatan Tembalang dengan 836 kasus, Kecamatan Pedurungan

dengan 435 kasus, Kecamatan Banyumanik dengan 395 kasus, Kecamatan Ngaliyan

dengan 364 kasus dan Kecamatan Semarang Barat dengan 354 kasus.

Penyebaran penyakit DBD dipengaruhi oleh kepadatan vektor Aedes Sp. yang

tersebar luas di daerah tropis maupun subtropis. Di Indonesia penyakit DBD banyak

terjadi pada musim hujan, baik awal maupun akhir musim hujan. Kasus DBD banyak di

jumpai pada kawasan yang padat penduduknya, terutama kondisi permukiman yang

kumuh yang memungkinkan terjadinya penularan penyakit tersebut. Kondisi lingkungan

fisik dan biologik yang masih belum memadai mengaibatkan tingginya angka kesakitan.

Faktor lingkungan ini juga dapat menjadikan tempat berkembang biaknya bagi binatang

pengganggu atau vektor terutama nyamuk Aedes Sp..

Sambuaga (2011) dalam Atika Kusumastuti (2017, h.1) menjelaskan tingginya

angka kesakitan DBD pada suatu daerah disebabkan karena adanya iklim yang tidak

stabil dan curah hujan yang cukup banyak pada musim penghujan merupakan sarana

perkembangbiakan yang cukup potensial bagi nyamuk Aedes Sp.. Indikator penularan

yang digunakan yaitu ukuran kepadatan larva adalah Angka Bebas Jentik (ABJ), House

Index (HI), Container Index (CI), serta Breteu Index (BI). Ukuran tersebut bertujuan untuk
4

memberikan informasi mengenai gambaran luas persebaran nyamuk dan mengetahui

berbagai macam kontainer yang potensial sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk.

Data Dinas Kesehatan Kota Semarang tahun 2018, ukuran larva dijadikan indikator

untuk mengetahui kepadatan dari vektor (nyamuk) pada suatu daerah. Dari lima

kecamatan kasus tertinggi kasus DBD di Kota Semarang pada tahun 2018 didapatkan

data perhitungan ABJ yaitu Kecamatan Tembalang dengan 92,20%, Kecamatan

Pedurungan dengan 92,83%, Kecamatan Banyumanik 90,60%, Kecamatan Ngaliyan

dengan 93,36% dan Kecamatan Semarang Barat dengan 90,75%. Data ABJ dari masing-

masing Kecamatan pada tiap tahunnya kurang dari 95% yang memungkinkan masih

terdapat keberdaan vektor (nyamuk) di daerah tersebut.

Sebaran kasus DBD pada suatu lokasi atau daerah dapat dipetakan dengan

dinamika penularan. Dinamika penularan merupakan upaya untuk mengetahui riwayat

sebaran penyakit, determinan dan model sebaran. Jika diketahui dinamika penularan

maka petugas kesehatan dapat mengetahui pola persebarannya dan membuat upaya

perencanaan pencegahan dan penanggulangan penyakit sehingga KLB dapat

diminimalisir.

Uraian di atas, dapat diketahui tujuan penelitian ini untuk menggambarkan

pemetaan dinamika penularan DBD didasarkan pada indikator potensi penularan di lima

kecamatan kasus tertinggi Kota Semarang tahun 2019.

B. Perumusan Masalah

Kasus DBD masih menjadi daerah endemis di wilayah Kota Semarang. Kasus

endemisitas DBD dari tahun 2014 sampai dengan 2019 masih terdapat di lima

Kecamatan Kota Semarang. Lima Kecamatan tersebut adalah Kecamatan Tembalang,

Kecamatan Pedurungan, Kecamatan Banyumanik, Kecamatan Ngaliyan dan Kecamatan

Semarang Barat. Penularan kasus DBD dari satu penderita ke penderita lain perlu
5

diketahui untuk membantu beberapa hal antara lain problem penemuan dini penderita,

problem vektor dan lingkungannya. Dinamika penularan dapat membantu menjelaskan

problem disamping juga memetakan determinannya. Jika diketahui dinamika penularan

maka dapat mengetahui persebaranannya dan membuat upaya perencanaan

pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD.

C. Tujuan

1. Umum

Mengetahui dinamika penularan DBD didasarkan pada indikator potensi

penularan di lima kecamatan kasus tertinggi Kota Semarang tahun 2019.

2. Khusus

a. Mengidentifikasi indeks kasus DBD yang diperoleh di lima kecamatan kasus

tertinggi Kota Semarang tahun 2019.

b. Memetakan dinamika penularan penyakit DBD meliputi indeks kasus dan model

penularan di lima kecamatan kasus tertinggi Kota Semarang tahun 2019.

c. Menganalisis hubungan determinan dengan kasus DBD berupa indikator potensi

penularan, kondisi lingkungan fisik meliputi intensitas cahaya, suhu, kelembaban

dan curah hujan di lima kecamatan kasus tertinggi Kota Semarang tahun 2019.

D. Manfaat

Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi :

1. Masyarakat

Masyarakat dapat mengetahui daerah dari bionomik vektor nyamuk Aedes Sp.

yang menyebabkan terjadinya kasus DBD sehingga masyarakat dapat melakukan

tindakan atau upaya kewaspadaan dini dalam penanganan penyakit DBD.

2. Institusi Tempat Penelitian


6

Sebagai media informasi dan bahan referensi guna upaya pencegahan dan

pengendalian penyakit DBD di wilayah Kota Semarang.

3. Bagi Pemerintah Kota Semarang

Sebagai bahan masukan dan pertimbangan untuk perencanaan dalam upaya

pencegahan penyakit DBD di wilayah Kota Semarang.

4. Bagi Politeknik Kesehatan Kemenkes Semarang

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan tambahan kepustakaan

Politeknik Kesehatan Kemenkes Semarang serta bahan acuan/refrensi di bidang

keilmuan kesehatan dalam upaya pencegahan penyakit DBD.

5. Bagi Peneliti

Sebagai tambahan pengetahuan dan wawasan dalam bidang kesehatan untuk

penyakit menular seperti DBD sehingga dapat mengetahui dinamika penularan

penyakit DBD, faktor-faktor yang mempengaruhi (vektor dan lingkungan fisik) serta

upaya pencegahan dan pengendaliannya.

E. Keaslian Penelitian

Tabel 1.1. Keaslian Penelitian

No. Nama Metode Hasil Penelitian


Peneliti/Judul
1. Cipto Aris Penelitian ini a Berdasarkan hasil penelitian dapat disim-
Purnomourno dalah studi eko- pulkan bahwa terjadinya klaster kasus di
mo / Dinamika logi melalui pen- Kecamatan Duren Sawit Kotamadya Jakarta
Penularan dekatan penyeli- Timur selama periode penelitian :
Penyakit dikan epidemio- 1. Pada suhu di bawah 33°C ditemukan
Demam logi dengan me- kasus positif DBD sebanyak 22 kasus
Berdarah nggunakan data (62,9%) dan pada kelembaban di atas
Dengue Di primer. 61% ditemukan kasus positif DBD
Kecamatan sebanyak 17 kasus (48,57%)
Duren Sawit 2. Masih banyak tempat tinggal di
Kotamadya Kecamatan Duren Sawit yang di-temukan
7

No. Nama Metode Hasil Penelitian


Peneliti/Judul
Jakarta Timur jentik (45,7%) dan pada kepadatan
Tahun 2010 penduduk paling banyak ditemukan kasus
DBD.
3. Gambaran spasial dinamika penularan
DBD di Kecamatan Duren Sawit terjadi di
rumah dengan jarak kasus yang
berdekatan (klaster) yaitu kurang dari 100
meter dan sebanyak lima klaster dan
jumlah terjadinya penularan di rumah
sebanyak 18 kasus (51,4%).
2. Wiwik Jenis penelitian Berdasarkan hasil penelitian dapat disim-
Setyaningsih / ini adalah Ana- pulkan bahwa :
Pemodelan litik Observasio- 1. Pola distribusi kasus Demam Berdarah
Sistem nal dengan pen- Dengue (DBD) di kecamatan Karang-
Informasi dekatan Cross- malang ke arah mengelompok (Clust-
Geografis sectional meng- ering) dan terdapat 4 Cluster yang berada
(SIG) Pada gunakan pemo- di desa Plumbungan, Kroyo, Guworejo,
Distribusi delan Sistem In- Plosokerep, Kedungwaduk dan Puro.
Penyakit formasi Geogra- 2. Persebaran Kasus Demam Berdarah
Demam fis (SIG) Dengue (DBD) di kecamatan Karang-
Berdarah malang terkonsentrasi pada wilayah
Dengue (DBD) dengan Kepadatan penduduk yang tinggi,
Di Kecamatan status Angka Bebas Jentik yang rendah
Karangmalang dan daerah dengan permukiman yang
Kabupaten padat.
Sragen Tahun 3. Terdapat hubungan antara Distribusi
2014 kasus Demam Berdarah Dengue (DBD)
dengan Status Angka Bebas Jentik (ABJ)
dan prosentase luas permukiman di
kecamatan Karangmalang.
3. Farida Jenis penelitian Hasil penelitian yang dijelaskan bahwa kasus
Kusumawarda observasional DBD
ni / Dinamika pendekatan 1. Jumlah kasus DBD tahun 2015 berjumlah
Penularan crossectional 54 kasus yang terdistribusi di 10 desa
Penyakit dengan melihat wilayah kerja Puskesmas Mungkid Kabu-
Demam hasil tampilan p- paten Magelang.
Berdarah eta grafik antar 2. Karakteristik penderita DBD terbanyak
Dengue (DBD) variabel yaitu pada kelompok umur pelajar, kelo-
Di Wilayah (overlay) mpok pendidikan dasar, kelompok jenis
Kerja kelamin laki-laki, kelompok jenis pekerjaa-
Puskesmas n sebagai pelajar atau mahasiswa, serta
Mungkid puncak waktu serangan pada Bulan
Kabupaten Februari.
Magelang 3. Model penularan berupa cluster sebanyak
Tahun 2015 9 cluster dan separated sebanyak 16 sep-
arated. Jenis kasus berupa import dan
indigenus sebanyak 20 kasus import dan
34 kasus indigenus.
4. Dugaan determinan berupa CI 0,965%; HI
8

No. Nama Metode Hasil Penelitian


Peneliti/Judul
9,29%; BI 8,82%; dan ABJ 90,71%. Rata-
rata hasil pengukuran variabel lingkungan
intensitas cahata 4,09 lux, suhu 29,15°C,
kelembaban 80,22%, serta puncak curah
hujan tertinggi yaitu pada Bulan Februari
sebesar 27,62 mm/hari dengan jumlah
hari hujan sebanyak 19 hari pada bulan
tersebut juga terjadi puncak kasus DBD
pada tahun 2015 di wilayah kerja Pusk-
esmas Mungkid Kabupaten Magelang.
5. Radius sebarannya yaitu 32 kasus ber-
jarak lebih dari 100 meter dari indeks
kasus serta 22 kasus berjarak kurang dari
100 meter dari indeks kasus

Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya adalah metode

penelitian, lokasi penelitian, dan variabel penelitian. Lokasi penelitian di lima kecamatan

kasus tertinggi Kota Semarang dengan cakupan wilayah Kacamatan Tembalang, Kecamatan

Pedurungan, Kecamatan Banyumanik, Kecamatan Ngaliyan, dan Kecamatan Semarang

Barat. Analisis menggunakan aplikasi GIS dengan indikator penularan (ABJ).


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Demam Berdarah Dengue (DBD)

1. Pengertian

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit febris virus akut, seringkali ditandai

oleh 4 manifestasi klinis utama yaitu demam tinggi, fenomena hemorragik, sering dengan

hepatomegali dan pada kasus berat, terdapat tanda-tanda kegagalan sirkulasi penderita DBD

dapat mengalami syok Hipovolemik yang diakibatkan oleh kebocoran plasma. Syok ini biasa

juga disebut dengan Dengue Syok Syndrom (DSS) dan dapat jadi fatal. (WHO h.1, 1998).

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi virus akut yang

disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypty dan Aedes

albopictus, ditandai demam 2-7 hari disertai dengan manifestasi perdarahan,

penurunan trombosit (trombositopenia) < 100.000 /mm3, adanya hemokonsentrasi

yang ditandai kebocoran plasma (peningkatan hematokrit, asites, efusi pleura,

hypoalbuminemia > 20% dari normal) yang dapat disertai gejala-gejala tidak khas

seperti nyeri kepala, nyeri otot dan tulang, ruam kulit atau nyeri belakang bola mata.

(Kemenkes R.I., 2013, h.1).

Penyakit DBD menyerang semua orang tidak terbatas pada kelompok atau

golongan umur tertentu. Hingga dengan saat ini proporsi penderita penyakit DBD yang

terbanyak terdapat pada golongan umur anak-anak, namun dalam dekade terakhir ini

proporsi kasus DBD pada golongan umur dewasa cenderung meningkat.

2. Gejala Klinis DBD

Masa inkubasi demam dengue pada manusia berlangsung sekitar 6-7 hari.

Gajala awal demam dengue yang berlangsung 1-5 hari tidak spesifik, berupa demam

tinggi mendadak, sakit kepala bagian frontal, nyeri retroorbital dan malaise dan ruam

9
10

kulit (macrulopapular rash). Demam yang terjadi mendadak dalam waktu 2-7 hari

turun menjadi suhu normal. Gejala klinis lain yang dapat terjadi berupa anoreksia,

nyeri punggung, nyeri tulang dan sendi.

Manifestasi DBD berupa perdarahan umumnya timbul pada hari kedua

terjadinya demam. Bentuk perdarahan dapat berupa petekia, purpura, epistakis dan

kadang-kadang perdarahan gusi, hematesis dan melena. Sebagian besar penderita

mengalami trombositopeni dan hemokonsentrasi. Keluhan nyeri perut yang hebat

menunjukkan akan terjadinya perdarahan gastrointestinal dan syok (DSS). Pada awal

terjadinya demam, penderita menunjukkan adanya hepatomegaly yang biasanya di

ikuti syok yang terjadi pada hari ke-3. Pemeriksaan darah penderita menunjukkan

trombosit yang rendah (< 100.000 per ml) hematokrit lebih dari 20% pada

pemeriksaan yang kedua, dan kadar hemoglobin Sahli lebih dari 20%. (Soedarto,

2010, h.156-157)

3. Derajat Demam Berdarah Dengue

a. Derajat I yaitu demam yang disertai gejala klinis tidak khas, satu-satunya gejala

pendarahan adalah hasil uji Tourniquet positif.

b. Derajat II yaitu gejala yang timbul pada DBD derajat I, ditambah pendarahan

spontan, biasanya dalam bentuk pendarahan di bawah kulit dan atau bentuk

pendarahan lainnya.

c. Derajat III yaitu kegagalan sirkulasi yang ditandai dengan denyut nadi yang cepat

dan lemah, menyempitnya tekanan nadi (≤ 20 mmHg) atau hipotensi yang ditandai

dengan kulit dingin dan lembab serta pasien menjadi gelisah.

d. Derajat IV yaitu syok berat dengan tidak terabanya denyut nadi maupun tekanan

darah.

Cipto Aris Purnomo, 2010, h.7)


11

4. Virus Dengue

Virus Dengue ada 4 serotype yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang

dapat dibedakan metode serologi. Virus tersebut berada dalam darah (viremia)

penderita selama masa periode intrinsik 3-14 hari (rata-rata 4-7 hari). Virus akan

masuk ke dalam tubuh nyamuk/vektor pada saat nyamuk menghisap darah penderita.

Pada suhu 30oC, di dalam tubuh nyamuk aedes memerlukan waktu 8-10 hari untuk

menyelesaikan masa inkubasi extrinsik dari lambung sampai ke kelenjar ludah

nyamuk. (Kemenkes R.I., 2007, h.6).

Virus Dengue (DEN) genus Flavivirus dari famili Flaviviridae adalah single-

stranded virus RNA dengan panjang sekitar 11 kilobase, mempunyai nukle-okapsid

icosahedral dan terbungkus oleh selubung lipid. Spesies virus dengue termasuk genus

Flavivirus dari keluarga Flaviviridae dari kelompok grup IV (+)ss RNA.

Kelompok : Grup IV (+) ss RNA

Famili : Flaviviridae

Genus : Flavivirus

Spesies : Dengue virus

Virus dengue termasuk genus Flavivirus dari keluarga (famili) Flaviviridae. Virus

dengan virion berukuran sekitar 50 nanometer ini mempunyai genom single-strand

RNA yang tersusun dari tiga struktur protein gen yang memberi petanda protein inti

atau nukleokapsid (C), protein membran (M) dan protein selubung (E).

Virus di dalam tubuh nyamuk bersifat tidak stabil, karena sangat tergantung

pada fluktuatif suhu dan kelembaban udara, sama dengan nyamuk itu sendiri, ketika

suhu terlalu rendah atau tinggi melebihi 300C dan kelembaban rendah (<600C) dapat

mengurangi kelangsungan hidup (viability) virus dalam tubuh nyamuk maupun nyamuk

itu sendiri (Mosesa L, dkk, 2016 dalam Aris Santjaka, 2016). Hal ini terkait dengan
12

umur nyamuk, disinilah yang menyebabkan nyamuk berubah menjadi vektor atau tidak

(Atika Kusumastuti, 2017, h.10-11).

5. Etiologi

Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan

manusia melalui gigitan nyamuk Aedes Sp. yang terinfeksi dan dianggap sebagai

arbovirus (virus yang ditularkan melalui artropoda). Nyamuk betina yang terinfeksi

dapat menurunkan virus dengue ke keturunannya melalui penularan transovarian.

Virus kemudian berkembang di dalam tubuh nyamuk selama periode 8-10 hari

sebelum dapat ditularkan ke manusia saat menggigit dan menghisap darah. Lama

waktu yang diperlukan untuk inkubasi ekstrinsik ini tergantung pada kondisi

lingkungan yaitu suhu sekitar (WHO, 1998, h.9-10).

Terinfeksinya seseorang dengan salah satu serotipe virus dengue akan

menyebabkan kekebalan seumur hidup terhadap serotipe virus yang bersangkutan.

Meskipun keempat serotipe virus tersebut mempunyai daya antigenisitas yang sama

namun mereka berbeda dalam menimbulkan proteksi silang meski baru beberapa

bulan terjadi infeksi dengan salah satu dari mereka (Kemenkes, 2013, dalam Atika

Kusumastuti, 2017, h.9).

6. Patofisiologi

Virus akan berkembang di dalam peredaran darah dan akan ditangkap oleh

makrofag. Segera terjadi viremia selama 2 hari sebelum timbul gejala dan berakhir

setelah 5 hari gejala panas mulai. Makrofag akan segera beraksi dengan menagkap

virus dan memprosesnya sehingga makrofag menjadi APC (Antigen Preseting Cell).

Antigen yang menempel di makrofag ini akan mengaktivasi sel T-Helper dan menarik

makrofag lain untuk memfagosit virus lebih banyak. T-Helper akan mengaktivasi sel T-

sitotosik yang akan melisis makrofag yang sudah memfagosit virus dan juga

mengaktifkan sel B yang akan melepas antibodi.


13

a. Sistem Vaskuler

Patofisiologi primer DBD adalah peningkatan akut permeabilitas vaskuler

yang mengarah ke kebocoran plasma ke dalam ruang extravaskuler, sehingga

menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah. Volume plasma

menurun lebih dari 20% pada kasus-kasus berat, hal ini didukung penemuan post-

mortem meliputi efusi pleura, hemokonsentrasi dan hipoproteinemi.

b. Sistem Respon Imuns

Setelah virus dengue masuk dalam tubuh manusia, virus berkembang biak

dalam sel retikuloendotelial yang selanjutnya diikuti dengan viremia yang

berlangsung 5-7 hari. Akibat infeksi virus ini muncul respon imun baik humoral

maupun seluler, antara lain : antinetralisasi, antihemaglutinin, antikomplemen.

Antibodi terhadap virus dengue dapat ditemukan didalam darah sekitar demam

hari ke-5, meningkat pada minggu pertama sampai dengan ketiga, menghilang

setelah 60-90 hari (Soegeng Soegijanto, 2005, h.198-200)

7. Patologi

Pada autopsi semua pasien DBD, hemoragi ditemukan pada kulit dan jaringan

subkutan, pada mukosa saluran gastrointestinal, dan pada jantung serta hati. Efusi

serosa dengan kandungan protein tinggi (kebanyakan albumin) umumnya terdapat

pada rongga pleural dan abdomen, tetapi jarang terjadi pada rongga perikardial. Pada

hati, terdapat nekrosis fokal dari sel-sel hepar, pembengkakan, adanya badan

Councilman dan neukrosis hialin dari sel Kupffer.

Pada autopsi, antigen virus dengue telah ditemukan terutama di hepar, limfa,

timus, nodus limfa dan sel-sel paru. Virus juga telah diisolasi pada autopsi dari

sumsum tulang, otak, jantung, ganjil, hati, paru, nodus limfa dan saluran

gastrointestinal. Studi pada ginjal telah menunjukkan tipe glomeru-lonephritis


14

kompleks-imun yang ringan, akan membaik setelah kira-kira 3 minggu dengan tidak

ada perubahan residual (WHO, 1998, h.14-15).

8. Pemeriksaan Penunjang/Laboratorium

Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka

demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar haemoglobin, hematokrit, jumlah

trombosit dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai

gambaran limfosit plasma biru (Suhendro, dkk, 2006 dalam Cipto Aris Purnomo, 2010,

h.8). Pemeriksaan darah dapat berupa :

a. Pemeriksaan Serologis

Pemeriksaan serologis didasarkan atas timbulnya antibodi pada pen-derita yang

terjadi setelah infeksi.

b. Haemaglutination Inhibition (HI)

Pemeriksaan HI sampai saat ini dianggap sebagai tes standar (gold standard).

Namun pemeriksaan ini memerlukan 2 sampel darah (serum) dimana spesimen

kedua harus diambil pada fase konvalensen (penyembuhan) sehingga tidak dapat

memberikan hasil yang cepat

c. Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)

Infeksi dengue dapat dibedakan sebagai infeksi primer atau sekunder dengan

menentukan rasio limit antibodi dengue IgM (Immunoglobulin M) terhadap IgG.

Dengan cara uji antibodi dengue IgM dan IgG (Immunoglobulin G), uji tersebut

dapat dilakukan hanya dengan menggunakan satu sampel darah (serum) saja

yaitu darah akut sehingga hasil didapat. Saat ini tersedia dengue rapid test dengan

prinsip pemeriksaan ELISA.


15

B. Vektor

1. Pengertian

Vektor adalah binatang (serangga) yang dapat menyebarkan penyakit dari orang

sakit ke orang yang tidak sakit. Vektor Borne Desases adalah penyakit-penyakit yang

dapat ditularkan dengan perantaraan vektor yang penyebaran atau penularannya

diperankan terutama oleh golongan Arthropoda (Chasan Sudjain Kusnadi, Drs, 2006,

h.14-16).

Virus dengue ditularkan dari orang ke orang melalui gigitan nyamuk Aedes dari

sub genus Stegomyia. Aedes aegypti merupakan vektor epidemis yang paling utama,

namun spesies lain seperti vektor Aedes polynesiensis dan Aedes finlaya niveus juga

dianggap sebagai vektor sekunder. Kecuali Aedes agypti semuanya mempunyai

daerah distribusi geografis sendiri-sendiri yang terbatas. Meskipun mereka merupakan

host yang sangat baik untuk virus dengue, biasanya mereka merupakan vektor

epidemik yang kurang efisien dibanding Aedes aegypti (WHO SEARO, 2003 dalam

Cipto Aris Purnomo, 2010, h.9).

Nyamuk Aedes Sp. dipengaruhi oleh beberapa faktor sehingga menjadi infected

dan dapat menularkan penyakit DBD. Faktor tersebut yaitu ada virus dengue pada

orang yang dihisap darahnya yaitu orang sakit DBD, 1-2 hari sebelum demam atau 4-

7 hari selama demam (Depkes, 2007 dalam Cipto Aris Purnomo, 2010, h.9).

2. Nyamuk Aedes Sp.

Aedes Sp. adalah spesies nyamuk tropis dan subtropis yang ditemukan di bumi,

biasanya antara garis lintang 35U dan 35S, kira-kira berhubungan dengan musim

dingin isotherm 10C. Aedes Sp. adalah salah satu vektor nyamuk yang paling efisien

untuk arbovirus, karena nyamuk ini sangat antropofilik dan hidup dekat dengan

manusia (WHO, 1998, h.11). Nyamuk menjadi vektor apabila :


16

a. Ada virus dengue pada orang yang dihisap darahnya, yaitu orang sakit DBD, 1-2

hari sebelum demam atau 4-7 hari selama demam.

b. Nyamuk hanya bisa menularkan penyakit apabila umurnya lebih dari 10 hari, oleh

karena itu masa inkubasi extrinsik virus didalam tubuh nyamuk 8-10 hari. Untuk

nyamuk bisa mencapai umur lebih dari 10 hari perlu tempat hinggap istirahat yang

cocok dan kelembaban tinggi.

c. Untuk dapat menularkan penyakit ke orang lain, nyamuk harus menggigit

orang/manusia.

(Kemenkes R.I., 2007, h.4).

Klasifikasi Aedes aegypti dan Aedes albopictus (Knights and Stone, 1977 dalam

Soegeng Soegijanto, 2006, h.62) adalah sebagai berikut :

Tabel 2.1 Klasifikasi Aedes aegypti dan Aedes albopictus

Kategori Aedes aegypti Aedes albopictus


Kingdom Animalia Animalia
Phyllum Arthropoda Arthropoda
Class Insecta Insecta
Order Diptera Diptera
Famili Culicidae Culicidae
Subfamili Culicinae Culicinae
Genus Aedes Aedes
Species Aedes aegypti Aedes albopictus
(Sumber : Soegeng Soegijanto, 2006, h.63)

3. Habitat, Morfologi dan Ekologi

Berikut uraian tentang morfologi, siklus hidup, tempat perkembangbiakan

perilaku dan penyebaran :

a. Morfologi Aedes Sp.

1) Telur

Telur berwarna hitam seperti sarang tawon dengan ukuran ±0,80 mm,

berbentuk oval yang mengapung satu persatu pada permukaan air yang jernih,

atau menempel pada dinding tempat penampungan air. Telur dapat bertahan
17

sampai berbulan-bulan pada suhu -2°C sampai 42°C. Telur dapat bertahan

sampai dengan 6 bulan di tempat kering.

2) Jentik (larva)

Ada 4 tingkat (instar) jentik/larva sesuai dengan pertumbuhan larva, yaitu :

Instar I : berukuran paling kecil, yaitu 1-2 mm

Instar II : 2,5-3,8 mm

Instar III : lebih besar sediki dari larva instar II

Instar IV : berukuran paling besar 5 mm

3) Pupa

Pupa nyamuk adalah fase kepompong dimana pupa berbentuk seperti

koma, bentuknya lebih besar namun lebih ramping dibanding larva (jentik)

nyamuk. Aedes Sp. berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata

pupa nyamuk lain.

4) Nyamuk dewasa

Nyamuk Aedes Sp. dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan

dengan rata-rata nyamuk lain dan mempunyai warna dasar hitam dengan

bintik-bintik putih pada bagian badan dan kaki. Probosis bersisik hitam, pulpi

pendek dengan ujung hitam bersisik putih perak. Oksiput bersisik lebar

berwarna putih terletak memanjang. Femur bersisik putih pada permukaan

posterior dan setengah basal, anterior dan tengah bersisik putih memanjang.

Tibia semuanya hitam dan tarsi belakang berlingkaran putih pada segmen

basal ke 1-4 serta segmen kelima berwarna putih. Sayap berukuran 2,5 -3,0

mm bersisik hitam.

b. Siklus hidup

Nyamuk Aedes Sp. seperti juga jenis nyamuk lainnya mengalami

metamorfosis sempurna, yaitu telur-lerva-pupa-nyamuk. Tempat air yang biasa


18

dipilih dekat dari sumber makanan. Pada umumnya telur akan menetas

menjadi jentik/larva dalam waktu ±2 hari setelah telur terendam air. Stadium

jentik/larva biasanya berlangsung 6-8 hari, dan stadium kepompong/pupa

berlangsung antara 2-4 hari. Pertumbuhan dari telur menjadi nyamuk dewasa

selama 9-10 hari. Umur nyamuk betina dapat mencapai 2-3 bulan.

c. Habitat perkembangbiakan

Nyamuk Aedes Sp. betina suka bertelur diatas permukaan air pada

dinding vertikal bagian dalam tempat-tempat yang berisi sedikit air yang jernih

dan terlindung dari cahaya matahari langsung. Habitat perkem-bangbiakan

nyamuk Aedes Sp. yaitu :

1) Tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari : drum, tangki

reservoir, tempayan, bak mandi/wc dan ember.

2) Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari : tempat

minum burung, vas bunga, bak kontrol pembuangan air, tempat

pembuangan air kulkas/dispenser dan barang-barang bekas.

3) Tempat penampungan air alamiah : lubang pohon, lubang batu, pelepah

daun, tempurung kelapa, pelepah pisang dan potongan bambu.

d. Perilaku nyamuk dewasa

Setelah keluar dari pupa, nyamuk istirahat di permukaan air sementara

waktu. Nyamuk aedes jantan menghisap cairan tumbuhan atau sari bunga

untuk keperluan hidupnya sedangkan nyamuk aedes betina menghisap darah

yang digunakan untuk pematangan sel telur agar dapat menetas. Waktu yang

diperlukan untuk penyelesaian perkembangan telur mulai dari nyamuk

menghisap darah sampai telur dikeluarkan, waktunya bervariasi antara 3-4 hari

yang biasanya disebut siklus gonotropik. Aktivitas menggigit nyamuk Aedes Sp.
19

biasanya mulai dari pagi dan petang hari, dengan 2 puncak aktifitas antara

pukul 09.00-10.00 dan 16.00-17.00.

Setelah menghisap darah, nyamuk akan beristirahat pada tempat yang

gelap dan lembab dekat dengan tempat perkembangbiakannya, menunggu

proses pematangan telurnya dan meletakkan telurnya diatas permukaan air.

Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik/larva dalam waktu ± 2 hari.

Setiap kali bertelur nyamuk betina dapat menghasilkan telur sebanyak ± 100

butir telur. Telur itu di tempat yang kering (tanpa air) dapat bertahan ± 6 bulan,

jika tempat tersebut kemudian tergenang air atau kelembabannya tinggi maka

telur dapat menetas lebih cepat.

Sumber : Kemenkes R.I., 2013, h.14

Gambar 2.1. Siklus gonotropik

e. Penyebaran

Kemampuan terbang nyamuk Aedes Sp. betina dapat terbang sejauh 2

kilometer, tetapi kemampuan normalnya rata-rata 40 meter. Nyamuk Aedes Sp.

dapat hidup dan berkembang biak sampai ketinggian daerah ±1000 mdpl. Pada

ketinggian diatas ±1000 mdpl, suhu udara terlalu rendah sehingga tidak

memungkinkan nyamuk berkembang biak.

f. Variasi musiman

Pada musim hujan tempat perkembangbiakan Aedes Sp. yang pada

musim kemarau tidak terisi air, mulai terisi air. Telur-telur yang tadinya belum
20

sempat menetas akan menetas. Selain itu pada musim hujan semakin banyak

tempat penampungan air alamiah yang terisi air hujan dan dapat digunakan

sebagai tempat berkembangbiaknya nyamuk ini. Oleh karena itu pada musim

hujan populasi Aedes Sp. meningkat. Bertambahnya populasi nyamuk ini

merupakan salah satu faktor yang menyebabkan peningkatan penularan

penyakit dengue.

g. Siklus penularan DBD

Nyamuk Aedes Sp. betina biasanya terinfeksi virus Dengue pada saat

menghisap darah penderita yang sedang dalam fase demam akut (viraemia)

yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul. Virus Dengue

yang dihisap masuk ke dalam saluran pencernaan kemudian sampai di

haemocoeclom dan kelenjar ludah. Nyamuk menjadi infektif 8-12 hari sesudah

menghisap darah penderita (periode inkubasi ekstrinsik) dan tetap infekstif

selama hidupnya. Setelah melalui masa inkubasi ekstrinsik, kelenjar ludah

akan terinfeksi virus yang kemudian ditularkan melalui gigitan ke tubuh orang

lain. Setelah masa inkubasi di tubuh manusia selama 3-4 hari (rata-rata selama

4-6 hari) akan timbul gejala-gejala penyakit DBD.

h. Faktor resiko penularan DBD

Beberapa faktor resiko terjadinya penularan penyakit DBD adalah

pertumbuhan jumlah penduduk, faktor urbanisasi, mobilisasi penduduk, sistem

pengolahan limbah dan air bersih yang tidak sesuai, kurangnya sistem

pengendalian nyamuk, serta melemahnya struktur kesehatan masyarakat.

Selain itu status imunologi seseorang, usia, jenis kelamin dan riwayat genetik

juga berpengaruh terhadap penularan penyakit. Perubahan iklim global yang

menyababkan kenaikan temperatur, perubahan pola musim hujan dengan


21

adanya kenaikan indeks Curah Hujan di beberapa daerah diikuti dengan

kenaikan kasus DBD.

(Kemenkes R.I., 2013, h.9-16).

C. Model Hubungan Penyakit

Untuk mempermudah dalam pemahaman tentang suatu kejadian yang sangat

kompleks maka dilakukan upaya dengan membuat model yang bertujuan untuk

menjelaskan realita atau dinamika dari suatu sistem yang kompleks. Beberapa jenis

pemodelan yaitu pemodelan bentuk fisik (market, prototipe), model citra berupa gambar

atau rancangan, juga berupa model matematik, salah satu aplikasinya adalah untuk

memahami kejaadian penyakit.

1. Model segitiga epidemiologi

Model epidemiologi ini dikenal dengan nama segitiga epidemiologi, yang

meliputi agen (penyebab penyakit), host (inang) dan environment (lingkungan). Model

ini diperbaharui oleh Maisliz untuk menjelaskan interaksi penyakit menular, dengan

menambahkan beberapa variabel yang dalam masing-masing faktor yang ada

didasarkan perkembangan bahwa penyakit infeksi tidak lagi permasalahan di negara

maju. Model ini biasa dipakai untuk menjelaskan perubahan penyebab kesakitan dan

kematian untuk mengatasi penyakit infeksi.

2. Model SEIR

Menurut Susanna D, 2005, Kerangka Model SEIR (Susceptible, Exposed,

Infection, Recovered) yang menggambarkan keadaan yang berbeda dalam

perkembangan suatu penyakit dalam populasi: proporsi individu yang rentan terhadap

infeksi (S); proporsi masyarakat yang terpapar agen infeksi, tetapi belum menderita

penyakit (E); proporsi yang benar-benar terinfeksi (I); dan mereka yang berpindah dari

populasi (R), juga yang sembuh dari infeksi dan mereka yang imun atau mati.
22

Model ini menunjukkan suatu penyakit, yang disebabkan oleh banyak faktor

yang unik pada populasi, termasuk jumlah penduduk dan kepadatan, demografi,

tingkat imunitas, infeksi pada manusia berpeluang menimbulkan sembuh karena

imunitas, penyakit kronis atau kematian. Model ini memberi kemungkinan untuk

mencari efek atau faktor yang potensial terhadap penyakit yang ditimbulkan, model

yang paling sederhana dalam model ini yang mendasarkan pada perubahan satu

keadaan ke keadaan lainnya diasumsikan konstan. (Susanna D, 2005)

3. Pengaruh cuaca

Model yang didasarkan pada interaksi antara manusia dan faktor penyakit tidak

lepas dari persyaratan lingkungan yang optimal, dimana mahkluk hidup akan

bertahan, jika lingkungan mendukung, jika tidak ada mahkluk hidup akan migrasi atau

mati.

4. Model transmisi

Model ini menggunakan asumsi bahwa DBD merupakan hasil interaksi antara

agen, proses penularan dan inang yang kesemuanya dipengaruhi oleh lingkungan.

Reaksi inang terhadap penyakit infeksi merupakan variable dinamis, jika sanitasi

rumah buruk, lembab akan menjadi tempat istirahat nyamuk yang nyaman, disisi lain

feeding nyamuk dekat, imunitas masyrakat menurun.

5. Interaksi keseimbangan populasi

Bionomik vektor spesies tertentu hanya berlaku bagi spesies tersebut

dilingkungan yang sama, yang dimaksud lingkungan mencakup fisik maupun biologis,

kedua lingkungan inilah yang mengatur kepadatan vektor. Model ini tidak berkaitan

antara densitas nyamuk dengan resiko terjadinya penyakit dan tidak ada keterkaitan

antara iklim dengan populasi nyamuk (Aris Santjaka, 2013, h. 78-83).


23

D. Penyelidikan Epidemiologi

1. Pengertian

Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang distribusi penyakit di

masyarakat dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Epidemiologi penyakit DBD

adalah ilmu yang mempelajari tentang kejadian dan distribusi frekuensi penyakit DBD

menurut variable orang, tempat dan waktu serta berupaya menentukan faktor resiko

(determinan) kejadian pada suatu kelompok populasi. (Kemenkes, 2013, h.5).

Penyelidikan Epidemiologi (PE) adalah kegiatan pencarian penderita DBD atau

tersangka DBD lainnya dan pemeriksaan jentik nyamuk penular DBD di tempat tinggal

penderita dan rumah/bangunan sekitarnya, termasuk tempat-tempat umum dalam

radius sekurang-kurangnya 100 meter (Depkes, 2005 dalam Farida Kusumawardani,

2016, h.21).

Tujuan umum PE untuk mengetahui potensi penularan dan penyebaran DBD

lebih lanjut serta tindakan penanggulangan yang perlu dilakukan di wilayah sekitar

tempat penderita. Tujuan khusus PE untuk mengetahui adanya penderita dan

tersangka DBD lainnya, mengetahui ada tidaknya jentik nyamuk penular DBD,

menentukan jenis tindakan (penanggulangan fokus) yang akan dilakukan (Depkes,

2005 dalam Cipto Aris Purnomo, 2010, h.24).

2. Ukuran Epidemiologi

Ukuran-ukuran epidemiologi yang digunakan antara lain :

a. Angka kesakitan/Insidens Rate (IR)

Angka yang menunjukkan kasus/kejadian (baru) penyakit dalam suatu

populasi yang merupakan proporsi antara jumlah orang yang menderita penyakit

dan jumlah orang dalam risiko X lamanya dalam risiko

Jumlahkasus baru dalam waktu tertentu


IR = X konstanta
Jumlah populasi yang berisiko pada waktu tertentu
24

b. Prevalensi Rate (PR)

Frekuensi kasus lama dan baru yang ditemukan pada suatu jangka waktu

tertentu di sekelompok masyarakat tertentu.

Jumlah kasus dulu+ Jumlah kasus sekarang


PR = X 100%
Jumlah seluruh kasus

c. Angka Kematian (CFR)

Presentase kematian yang diakibatkan dari suatu penyakit dalam suatu

kurun waktu tertentu.

Jumlah kematian
CFR = X 100%
Jumlah kasus

d. Attack Rate (AR)

Ukuran Epidemiologi pada saat terjadi KLB, untuk menghitung kasus pada

populasi berisiko disuatu wilayah dan waktu tertentu.

Juml ah kasus
AR = X konstanta
Jumlah populasi berisiko pada waktu terjadi KLB

(Kemenkes R.I., 2013 h.19)

3. Langkah-langkah Penyelidikan Epidemiologi

Seperti yang dijelaskan Depkes (2005 dalam Farida Kusumawardani, 2016,

h.21-22), langkah-langkah pelaksanaan kegiatan PE sebagai berikut :

a. Setelah menemukan/menerima laporan adanya penderita DBD, petugas

puskesmas/koordinator DBD segera mencatat dalam buku catatan penderita DBD.

b. Menyiapkan peralatan survey seperti tensimeter, senter, formulir PE dan surat

tugas.

c. Memberitahukan kepada Kades/Lurah dan Ketua RW/RT setempat bahwa di

wilayahnya ada penderita DBD dan akan dilaksanakan PE.

d. Masyarakat di lokasi tempat tinggal penderita membantu kelancaran pelaksanaan

PE.
25

e. Masyarakat di lokasi tempat tinggal penderita membantu kelancaran pelaksanaan

PE.

4. Penemuan Kasus

Menemukan kasus DBD secara dini bukanlah hal yang mudah karena pada

awal perjalanan penyakit gejala dan tandanya tidak spesifik sehingga sulit dibedakan

dengan penyakit infeksi lainnya. Penegakkan diagnosis DBD (secara klinis) sesuai

dengan kriteria WHO sekurang-kurangnya memelukan laboratorium yaitu

pemeriksaan trombosit dan hematokrit secara berkala. Sedangkan untuk penegakkan

diagnosis laboratorium DBD diperlukan serologis (uji Haemaglutination Inhibition Test)

atau ELISA (IgM/IgG) yang pada saat ini telah tersedia dalam bentuk Dengue Rapid

Diagnostic Test (Depkes, 2005 dalam Cipto Aris Purnomo, 2010, h.24).

E. Dinamika Penularan

1. Pengertian

Dinamika penularan penyakit adalah hubungan interaktif antara manusia serta

perilakunya dengan komponen lingkungan yang memiliki potensi bahaya penyakit.

Penggambaran dinamika transmisi atau modeling diperlukan oleh setiap ahli

kesehatan masyarakat atau manajer pengendali penyakit. Untuk mengendalikan tiap-

tiap penyakit harus dibuat gambar model dinamika transmisi, agar dapat ditentukan di

titik mana intervensi preventif maupun promotifnya dapat dilakukan (Achmadi U F,

2012 dalam Farida Kusuma-wardani, 2016, h.24-25).

Menurut Susanna D, 2005 (dalam Cipto Aris Purnomo, 2010), dinamika

penularan penyakit infeksi adalah menggunakan Kerangka Model SEIR (Susceptible,

Exposed, Infection, Recovered) yang menggambarkan keadaan yang berbeda dalam

perkembangan suatu penyakit dalam populasi: proporsi individu yang rentan terhadap

infeksi (S); proporsi masyarakat yang terpapar agen infeksi, tetapi belum menderita
26

penyakit (E); proporsi yang benar-benar terinfeksi (I); dan mereka yang berpindah dari

populasi (R), juga yang sembuh dari infeksi dan mereka yang imun atau mati.

Kerangka Model SEIR tersebut mencerminkan atau menggambarkan fakta atau bukti

bahwa dinamika penyakit diakibatkan atau dipengaruhi oleh banyak faktor yang unik

pada populasi, termasuk jumlah penduduk dan kepadatan, demografi, tingkat

imunitas. Model tersebut juga meberi kemungkinan untuk mencari efek atau faktor

yang potensial terhadap iklim dan perubahan-perubahan ekologi pada dinamika

penyakit.

2. Sumber dinamika penularan

Dinamika penularan penyakit dari sumber atau reservoar infeksi ke orang yang

rentan.

a. Reservoar Infeksi

Persinggahan agen penyakit untuk hidup dan berkembang serta bertahan

hidup. Reservoar ada 2 yaitu pada manusia dan pada hewan.

1) Reservoar manusia

Pada penyakit menular, sumber infeksi berasal dari orang yang sedang

mengalami infeksi dapat berupa kasus atau karier. Kasus dapat berbentuk

subklinis dan klinis. Pada kasus subklinis, tidak ditemukan gejala penyakit atau

bersifat asimtomatis tetapi berpotensi untuk menularkan infeksi kepada orang

lain. Karier terjadi karena proses penyembuhan tidak sempurna dan secara

bakteriologis agen penyakit masih ada di dalam tubuh.

2) Reservoar hewan

Sumber infeksi berasal dari hewan atau burung dan berupa kasus atau

karier seperti pada manusia.


27

b. Cara Penyebaran Penyakit Menular

Cara penyebaran penyakit infeksi kepada manusia yang sensistif dapat

melalui beberapa cara, baik secara langsung atau tidak langsung dari satu orang

ke orang lain. Ditinjau dari aspek epidemiologi, cara penyebarannya dapa bersifat

lokal, nasional, maupun internasional.

1) Media langsung dari orang ke orang

Agen penyakit ditularkan langsung dari seseorang yang infeksius ke

orang lain melalui hubungan intim / kontak dengan penderita, contoh : penyakit

kelamin, scabies dan sebagainya.

2) Media udara

Penyakit yang dapat ditularkan dan menyebar secara langsung maupun

tidak langsung melalui udara pernapasan, contoh : TBC paru, Influenza dan

sebagainya.

3) Media air

Penyakit yang dapat menular dan menyebar secara langsung maupun

tidak langsung melalui air, contoh : Colera, Hepatitis virus dan sebagainya.

4) Media vektor

Penyakit yang seringkali bersifat endemis maupun epidemis dan sering

menimbulkan bahaya kematian yang ditularkan melalui arthropoda atau

serangga (nyamuk). Penularan penyakit ini dapat terjadi secara transmisi

biologi yaitu terjadinya proses perkem-bangbiakan agen penyakit atau parasit

dalam tubuh vektor dan transmisi non biologic yaitu bila penularannya terjadi

secara mekanis atau langsung.

(Dr. Budiman Chandra, 2006, h.23-27)


28

3. Mekanisme Penularan

Mekanisme penularan DBD terdapat 2 transmisi yaitu transmisi secara

horizontal dan transmisi secara vertical.

a. Transmisi secara horizontal

Transmisi horizontal terjadi ketika virus dengue ditularkan ke tubuh manusia

melalui gigitan nyamuk Aedes Sp yang terinfeksi. (WHO, 1998, h.9). Nyamuk

terinfeksi saat menggigit penderita yang terdapat virus dengue di dalamnya. Jika

nyamuk menggigit orang lain, maka virus ini dipindahkan melalui air liurnya. Virus

dengue akan memperbanyak diri pada darah dan tubuh manusia selama 1

minggu. (Widoyono, 2008, h.61)

b. Transmisi secara vertikal

Transmisi vertikal terjadi karena jika nyamuk terinfeksi virus dengue maka

sepanjang hidupnya nyamuk tersebut akan terifeksi virus dengue. Nyamuk betina

menurunkan virus ke generasi nyamuk melalui transovarial (WHO, 1998, h.10).

4. Prosedur dinamika penularan DBD

Kejadian penyakit dapat diuraikan ke dalam 4 simpul yakni :

a. Simpul 1 = Sebagai sumber penyakit

Sumber penyakit adalah penderita DBD karena di dalam darahnya

mengandung virus dengue yang ditularkan dengan perantara nyamuk Aedes Sp..

Dengan melakukan pencarian kasus secara aktif dan menetapkan kasus

(diagnosis secara cepat dan tepat terhadap kasus) serta pengobatan hingga

sembuh, maka sumber penularan dapat dieliminasi bahkan dihilangkan (Achmadi

U F, 2008 dalam Cipto Aris Purnomo, 2010, h.15)

b. Simpul 2 = Media transmisi penyakit

Penyebaran penyakit DBD melalui gigtan nyamuk Aedes Sp. yang menggigit

penderita DBD, kemudian nyamuk tersebut memindahkan penyakit DBD ke orang


29

yang sehat melalui gigitan nyamuk tersebut. Sebenarnya penyebaran DBD tidak

akan terjadi bila tidak ada penderita DBD meskipun nyamuk menggigit puluhan

orang tidak akan terjadi proses persebaran karena tidak mengandung virus

dengue.

c. Simpul 3 = Perilaku pemajanan

Perilaku pemajanan adalah jumlah kontak antara manusia dengan

komponen lingkungan yang mengandung potensi bahaya penyakit (agen

penyakit). Perilaku antar orang dipengaruhi oleh pendidikan, pengetahuan, tinggi

badan, gender, pengalaman, dan lain sebagainya. Pengukuran simpul 3 dapat

diukur dengan cara tidak langsung derajat perlawanan (antibody) seseorang

terhadap agen penyakit. Titer antibody terhadap dengue positif artinya orang yang

bersangkutan pernah terpajan (kontak) virus dengue.

d. Simpul 4 = Kejadian penyakit

Kejadian penyakit merupakan outcome hubungan interaktif antara penduduk

dengan lingkungan yang memiliki gangguan bahaya kesehatan. Kejadian DBD

ditandai dengan demam tinggi selama 2-7 hari, timbul bitnik-bintik merah di

permukaan kulit, trombositopenia, dan sebagainya.

(Achmadi U F, 2008 dalam Cipto Aris Purnomo, 2010, h.15-16)

5. Model dinamika penularan

a. Cluster (berkelompok)

Cluster yaitu penularan DBD tempat kejadian kasus pertama dengan kasus

lainnya berjarak ± 100 meter dari penderita pertama.

b. Seperated (tersebar)

Separated yaitu penularan DBD tempat kejadian kasus pertama dengan

kasus lainnya berjarak lebih dari 100 meter dari penderita pertama.

(Purnomo A, 2010 dalam Farida Kusumawardani, 2016, h.26-27)


30

F. Surveilens dan Pengendalian Vektor

1. Surveilens

a. Pengertian

Surveilens DBD adalah proses pengamatan, pengumpulan, pengolahan,

analisis, interprestasi data serta penyebarluasan informasi kepada pemegang

kebijakan, penyelenggaraan program kesehatan dan stekholder yang terkait

secara sistematis dan terus menerus tentang situasi DBD dan kondisi yang

mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit tersebut agar dapat

dilakukan tindakan pengendalian secara efektif dan efisien (Kemenkes R.I., 2013,

h.21-22).

Surveilens entomologi digunakan untuk menentukan perubahan penyebaran

geografis dan kejenuhan vektor, mengevaluasi program-program pengendalian,

mendapatkan pengukuran relatif populasi vektor sepanjang waktu dan

memudahkan keputusan yang sesuai dan tepat waktu berkenaan dengan

intervensi serta mengidentifikasi area serbuan dengan kejenuhan tinggi atau titik

peningkatan populasi (WHO, 1998, h.72).

b. Indikator penularan

Ukuran larva dijadikan Indikator tidak langsung bagi pengendalian nyamuk

dewasa, dasar logikanya pengasapan (fogging) pertama digunakan untuk

menekan densitas nyamuk dewasa, sedangkan perubahan dari telur sampai

nyamuk dewasa dalam siklus aquatic nyamuk butuh waktu 1 minggu, dengan

demikian pengasapan (fogging) ke dua dilaksanakan selama satu minggu

sesudahnya, logika teoritisnya minggu kedua dan seterusnya tidak dijumpai lagi

nyamuk Aedes Sp., karena seluruh nyamuk dewasa sudah mati dan tidak

memungkinkan dijumpai larva pada minggu kedua sesudahnya (Aris Santjaka,

2016 dalam Atika Kusumastuti, 2017, h.17-18). Indikator menggunakan densitas


31

larva lebih stabil dan mudah (aktifitas larva yang terbatas) dilakukan oleh semua

orang yang dilatih sekedar tanpa harus keahlian khusus (Aris Santjaka, 2016

dalam Atika Kusumastuti, 2017 h.18).

Ukuran indikator potensi penularan sebagai berikut :

1) House Indeks

Persentase rumah ditemukannya larva Aedes Sp..

HI = Jumlahrumah ¿ ¿ X 100%

2) Container Indeks

Presentase kointainer yang positif dengan larva Aedes Sp..

CI = Jumlah container ¿ ¿ X 100%

3) Breteau Indeks

Jumlah kointainer yang positif dengan larva Aedes Sp. dalam 100 rumah.

BI = Jumlah container ¿ ¿ X 100%

4) ABJ

Presentase jumlah rumah/bangunan yang tidak terdapat jentik.

Jumlah rumah atau bangunan tidak terdapat jentik


ABJ = X 100%
Jumlahrumah atau bangunan yang diperiksa

(Kemenkes R.I., 2013, h.71)

c. Metode survey jentik

1) Single larva

Pada setiap kontainer yang ditemukan ada jentik, maka satu ekor jentik

akan diambil dengan cidukan (gayung plastik) atau menggunakan pipet

panjang jentik sebagai sampel, untuk pemeriksaan spesies jentik (identifikasi).

Jentik yang diambil ditempatkan dalam botol kecil (vial bottle) dan diberi label

sesuai dengan nomor tim survai, nomor lembaran formulir berdasarkan: nomor

rumah yang disurvai dan nomor container dalam formulir. Pemeriksaan jentik
32

dilakukan oleh asisten entomologist (Depkes, 2007 dalam Farida

Kusumawardani, 2016, h.23).

2) Secara visual

Menurut Direktorat P2PL, cara ini cukup dilakukan dengan melihat ada

atau tidaknya jentik di setiap tempat genangan air tanpa mengambil jentiknya.

Biasanya dalam program DBD menggunakan cara visual. (Kemenkes, 2008

dalam Farida Kusumawardani, 2016, h.23)

2. Faktor Lingkungan Fisik

a. Cahaya

Seperti yang dijelaskan Ackerman dkk (Aris Santjaka, 2013, dalam Farida

Kusumawardani, 2016, h.18-19) Cahaya adalah energi dalam bentuk gelombang

elektromagnetik yang kasat mata dengan panjang gelombang antara 350 sampai

750 nm. Cahaya yang melewati suatu medium tertentu maka sebagian gelombang

cahaya dipantulkan oleh permukaan, sisanya akan menembus medium dan

sebagian yang menembus tersebut akan diserap dan sebagian lagi diteruskan

sebagaimana hukum thermodinamika 1. Nyamuk Aedes sp bersifat diurnal atau

aktif pagi hingga siang hari pada pukul 08.00-12.00 dan 15.00-17.00, biasanya

beristirahat pada benda-benda yang menggantung di dalam rumah dan pada

tempat gelap.

b. Suhu

Nyamuk termasuk binatang berdarah dingin dan karenanya proses-proses

metabolisme dan siklus kehidupannya tergantung pada suhu lingkungannya. Suhu

rata-rata optimum untuk perkembangan nyamuk adalah 25°-27°C. Nyamuk dapat

bertahan hidup dalam suhu rendah, tetapi proses metabolismenya menurun atau

bahkan terhenti bila suhu turun sampai dibawah suhu kritis pada suhu yang sangat

tinggi akan mengalami perubahan proses fisiologisnya. Pertumbuhan nyamuk


33

akan terhenti sama sekali bila suhu kurang dari 10°C atau lebih dari 40°C.

Toleransinya terhadap suhu trgantung pada spesies nyamuknya, tetapi pada

umumnya suatu spesies tidak akan tahan lama bila suhu lingkungan meninggi 5°-

6°C diatas, dimana spesies secara normal dapat beradaptasi (Depkes, 2007 dalam

Farida Kusumawardani, 2016, h.19)

c. Kelembaban

Sistem pernapasan pada nyamuk menggunakan pipa udara yang disebut

trachea dengan lubang- lubang pada dinding tubuh nyamuk yang disebut spiracle.

Adanya spiracle yang terbuka tanpa ada mekanisme pengaturannya, pada waktu

kelembaban rendah akan menyebabkan penguapan air dari dalam tubuh nyamuk

yang dapat mengakibatkan keringnya cairan pada tubuh nyamuk. Salah satu

musuh nyamuk adalah penguapan. Pada kelembaban kurang dari 60% umur

nyamuk akan menjadi pendek sehingga tidak cukup untuk siklus pertumbuhan

parasit di dalam tubuh nyamuk (Depkes, 2007 dalam Farida Kusumawardani,

2016, h.20).

d. Curah hujan

Seperti yang dijelaskan (Prawirowardoyo S, 1996 dalam Farida

Kusumawardani, 2016, h.21) curah hujan adalah endapan atau deposit air, dalam

bentuk cair maupun padat, yang berasal dari atmosfir. Hujan akan mempengaruhi

naiknya kelembaban nisbi udara dan menambah jumlah tempat

perkembangbiakan (breeding places). Pada musim hujan, populasi Aedes Sp.

akan meningkat karena telur-telur yang tadinya belum sempat menetas akan

menetas ketika habitat perkembangbiakannya mulai terisi air hujan sehingga

meningkatkan populasi nyamuk yang dapat men-yebabkan peningkatan penularan

penyakit DBD (Kemenkes R.I., 2013, h.15).

e. Kependudukan
34

Faktor kependudukan seperti kepadatan penduduk mempengaruhi proses

penularan atau pemindahan penyakit dari satu orang ke orang lain. Kependudukan

dengan berbagai variabel di dalamnya seperti budaya, kepadatan, perilaku

penduduk, umur, gender pendidikan, dikenal sebagai determinan kesehatan atau

faktor risiko yang berperan timbulnya penyakit. Kemudian mobilitas penduduk

antar wilayah juga memberikan kontribusi terhadap kejadian penyakit (Achmadi U

F, 2008 dalam Cipto Aris Purnomo, 2010, h.23).

f. Kecepatan Angin

Angin adalah gerakan udara sebagai akibat adanya perbedaan tekanan,

sedangkan kecepatan angin merupakan kecepatan gerak udara yang sejajar

dengan permukaan bumi, jika perbedaan tekanan udara besar maka angin akan

semakin kuat, jika sebaliknya akan lambat (Tjasjono, 1999 dalam Aris Santjaka,

2013, h.65). Angin berpengaruh terhadap nyamuk pada beberapa aspek yaitu

jarak terbang, evaporasi cairan pada tubuh nyamuk dan suhu udara. Kecepatan

angin 11-14 meter per detik atau 25-31 mil per jam akan menghambat

penerbangan nyamuk, pada keadaan tenang suhu tubuh nyamuk lebih tinggi

beberapa derajat daripada suhu lingkungan sedangkan jika ada angin, maka suhu

akan turun, dengan demikian maka evaporasi akan berkurang karena suhu

nyamukakan lebih rendah beberapa derajat dari suhu lingkungan (Depkes R.I.,

2007 dalam Aris Santjaka, 2013, h.65)

3. Pengendalian vektor

Pengendalian vektor dilakukan untuk mencegah dan mengurangi penularan

virus dengue tindakan yang sangat penting adalah melakukan pemberantasan

nyamuk Aedes Sp.. Kegiatan pengendalian nyamuk ditunjukan terhadap larva nyamuk

di tempat berkembang biaknya dan nyamuk dewasa yang berada di dalam dan sekitar

rumah serta tempat-tempat terjadinya kontak antara manusia dan vektor, misalnya di
35

sekolah, di rumah sakit dan tempat kerja (Soedarto, 2012 dalam Atika Kusumastuti,

2017, h.21). Pengendalian vektor dapat dilakukan dengan cara :

a. Pengendalian fisik

Upaya pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dengan cara menutup, menguras

dan mengubur/mendaur ulang (3M) semua tempat yang menjadi tempat potensial

perkembangbiakan nyamuk Aedes Sp..

b. Pengendalian biologi

Menggunakan agent biologi seperti predator/pemangsa (ikan), parasit dan bakteri

(Bacillus Thuringiensis Israelensis) sebagai musuh alami vektor DBD.

c. Pengendalian kimia

Menggunakan insektisida dengan sasaran stadium dewasa (malathion) dan pra-

dewasa (temepos) vektor Aedes Sp..

(Kemenkes R.I., 2013, h.73-76)

G. GIS

1. Pengertian GIS

Sumber daya kesehatan, penyakit tertentu dan kejadian kesehatan lain dapat

dipetakan menurut lingkungan sekeliling dan infrastrukturnya. Informasi semacam ini

ketika dipetakan sekaligus akan menjadi suatu alat yang berguna untuk memetakan

risiko penyakit, identifikasi pola distribusi penyakit, memantau surveilans dan kegiatan

penanggulangan penyakit, mengevaluasi aksesbilitas ke fasilitas kesehatan dan

memprakirakan perjangkitan wabah penyakit (Depkes, 2007 dalam Cipto Aris

Purnomo, 2010, h.26).

Geographic Information System (GIS) atau Sistem Informasi Geografis (SIG)

diartikan sebagai suatu komponen yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak,

data geografis (spasial) dan sumber daya manusia yang bekerja sama dengan efektif
36

untuk memasukan, menyimpan, memperbaiki, memperbaharui, mengelola,

memanipulasi, mengintegrasikan, menganalisa dan menampilkan data dalam suatu

informasi berbasis geografis (M. Anshori, 2018, h.21).

SIG juga mempunyai kemampuan untuk memadukan setiap catatan dengan

lokasinya pada peta sepanjang keterangan (tekstual) data-data yang bersangkutan di

catat dalam file basis datanya. Keterangan (peta) tematik ini diperlukan untuk

kenampakan lapangan seperti sumber daya alam, kondisi masyarakat, lingkungan

hidup, iklim dan cuaca, serta segenap kejadian dan aktivitas. (Asmoro, 1999 dalam

Farida, 2016, h.28).

Sistem Informasi Geografis (SIG) berbeda dengan sistem infromasi lainnya

karena mempunyai 3 kemampuan utama yaitu :

a. Sistem pengelolaan basis data (Database Management System)

b. Pemetaan (mapping)

c. Analisis spasial (spatial analysis)

SIG dapat dimanfaatkan untuk membuat peta kabupaten mencakup batas

administrasi, topografi, tata ruang dan tutupan lahan dan hidrologi. Informasi lain yang

penting bagi program kesehatan masyarakat, seperti fasilitas kesehatan, sekolah,

tempat perindukan nyamuk serta data epidemiologis dapat pula ditambahkan. (Cipto

Aris Purnomo, 2010, h.26)

2. Komponen GIS

SIG terdiri dari 3 komponen utama yaitu :

a. Sistem Komputer

Sistem komputer untuk SIG terdiri dari perangkat keras (hardware),

perangkat lunak (software) dan prosedur (aplikasi) untuk penyusunan pemasukan

data, pengolahan, analisis, pemodelan dan penayangan data geospasial.

b. Data
37

Sebagian besar data yang akan di tangani dalam SIG merupakan data

spasial yaitu sebuah data yang berorientasi geografis, memiliki sistem koordinat

tertentu sebagai dasar refrensinya dan mempunyai 2 bagian penting yang

membuatnya berbeda dari data yang lain, yaitu informasi lokasi (spasial) dan

informasi deskriptif (attribute) yang dijelaskan berikut :

1) Informasi lokasi (spasial) berkaitan dengan suatu koordinat baik koordinat

geografi (lintang dan bujur) dan koordinat XYZ, termasuk diantaranya informasi

datum dan proyeksi, contoh : batas administrasi, jalan, sungai, dan lain-lain.

2) Informasi deskriptif atau non spasial (attribute), suatu lokasi yang memiliki

beberapa keterangan yang berkaitan dengannya, contoh : jumlah penduduk,

jenis penyakit, jumlah penderita dan sebagainya.

Data grafis terbagi dalam dua jenis yaitu data vektor dan data raster. Data

vektor merupakan bentuk bumi yang direpresentasikan ke dalam kumpulan garis,

area (daerah yang dibatasi oleh garis yang berawal dan berakhir pada titik yang

sama), titik dan nodes (merupakan titik pemotongan antara 2 buah garis) untuk

merepresentasikan fitur titik, batasan dan garis lurus yang berguna untuk analisa

dari ketepatan posisi.

Data raster (sel grid) adalah data yang dihasilkan dari sistem pengindraan

jauh. Pada data raster, obyek geografis direpresentasikan sebagai struktur sel grid

yang disebut dengan pixel (picture element). Data raster sangat baik untuk

merepresentasikan batas-batas yang berubah secara gradual, seperti jenis tanah,

kelembaban tanah, vegetasi, suhu tanah dan sebagainya.

c. Pengguna
38

Pengguna berfungsi untuk memilih informasi yang diperlukan, membuat

standar, membuat jadwal pemutakhiran (updating) yang efisien, menganalisis hasil

yang dikeluarkan untuk kegunaan yang diinginkan dan merencanakan aplikasi.

(M.Anshori, 2018, h.21-24)

3. Penggambaran GIS

Menurut Prahasta, (2005 dalam Cipto Aris Purnomo, 2010, h.26-27)

kenampakan geografis dapat digambarkan dalam empat cara yakni :

a. Titik

Titik merupakan jenis obyek yang paling sederhana dengan hanya satu

koordinat yang diperlukan untuk melukiskan informasi spasial. Titik melambangkan

ciri sederhana, misal puskesmas, kasus penyakit dan lain-lain. Dapat juga

digunakan untuk menggambarkan wilayah yang dapat ditampilkan hanya dengan

centroid/titik pusat misal kode pos, desa.

b. Garis

Garis digambarkan dengan serangkaian titik yang menjadi suatu bentuk.

Perangkat lunak SIG mampu membedakan bahwa suatu obyek digambarkan

sebagai garis atau titik. Garis menggambarkan baik kenampakan geografis itu

sendiri ataupun garis tengah seperti jalan raya, sungai, jalur pembangkit listrik,

kontur.

c. Poligon

Poligon merupakan wilayah dengan batas tertentu, batas tersebut ditentukan

oleh garis yang membentuk poligon. Sebagaimana telah dijelaskan di atas,

program SIG mampu membedakan perlambangan yang ditetapkan beserta makna

yang dirujuk oleh lambang-lambang yang dibuat. Poligon dapat digunkan untuk

menggambarkan kenampakan geografis sebenarnya seperti ruang terbuka, tata


39

ruang atau wilayah yang batas-batasnya ditentukan secara manual mias wilayah

administratif, peta tanah.

d. Citra

Citra digambarkan sebagai kisi-kisi (grid) yang beraturan, dimana dalam taip

grid merupakan nilai yang ditempelkan kepadanya. Pada kebanyakan citra, nilai ini

berupa tampilan berwarna dan tidak memiliki arti apa-apa tanpa diproses lebih

lanjut. Citra digunakan baik sebagai latar belakang bagi data lain, seperti peta

yang di scan, juga sebagai titik awal pemrosesan citra, seperti citra satelit.

4. Kemampuan Analisis GIS

Lima kemampuan utama analisis spasial dalam keperluan analisis spasial atau

keruangan (FMIPA UI, 1996 dalam Farida Kusumawardani, 2016, h.28) yaitu :

a. Analisis tumpang tindih atau overlay digunakan untuk mengetahui daerah yang

diinput oleh 2 karakteristik dari tema yang berbeda.

b. Analisis overlay untuk mengetahui perubahan dan batas dari waktu ke waktu.

c. Analisis atau sebaran distribusi dari suatu obyek untuk mengetahui variasi pola

dan jumlah atribut terhadap ruang.

d. Analisis aliran (flow) didalam suatu jaringan, misalnya untuk menganalisis pola

aliran lalu lintas.

e. Analisis 3 dimensi

Pemanfaatan SIG dalam studi epidemiologi DBD dilakukan sebagai alat untuk

menganalisa peta distribusi penyakit DBD dengan membuat analisis tumpang tindih

(overlay) epidemiologi penyakit DBD sehingga data kejadian penyakit DBD dapat

diketahui informasi nama desa, jumlah rumah, jumlah penduduk, populasi nyamuk

Aedes Sp. dan tempat perindukannya. (Zainudin, 2003 dalam Farida Kusumawardani,

2016, h.28).
40

5. Sistem Koordinat Geografis

Sistem koordinat geografis digunakan untuk menunjukan suatu titik di Bumi

berdasarkan garis lintang dan garis bujur. Garis lintang yaitu garis vertikal yang

menghubungkan kutub utara dan kutub selatan yang terbagi 2 oleh garis katulistiwa.

Garis lintang yang terletak diutara garis katulistiwa disebut garis lintang utara

sedangkan di selatan katulistiwa dinamakan garis lintang selatan. Garis bujur yaitu

garis horizontal yang mengukur sudut antara suatu titik dengan titik nol di Bumi yaitu

Greenwich di London Britania Raya yang merupakan titik bujur 0° atau 360° yang

diterima secara internasional. Titik di barat bujur 0° dinamakan bujur barat sedangkan

titik di timur bujur 0° dinamakan bujur timur. Suatu titik di Bumi dapat di deskripsikan

dengan menggabungkan kedua pengukuran tersebut sehingga lokasinya berupa titik

dengan angka derajat lintang dan derajat bujur. (M. Anshori, 2018 h.26)
41

H. Kerangka Teori

Indeks Kasus Faktor Lingkungan Fisik :


DBD Suhu, Kelembaban, Cahaya
dan Curah hujan

Penularan

Secondary case Kasus


Selanjutnya

Model Penularan
Masa Inkubasi Masa Inkubasi
Nyamuk 7 hari Manusia 7 hari

Separated : Cluster :
Cara Penularan Jarak > 200 Jarak 100-200
meter meter

Vertikal Horizontal
(< 7-10 hari) (> 2X7 hari)

Indikator Potensi Pengumpulan,


Pemetaan
Penularan hasil Pengolahan dan
dengan GIS
PE Penyajian

Dinamika
Penularan DBD

Sumber : Modifikasi Segitiga Epidemiologi Aris Santjaka, Achmadi U F, Kemenkes R.I.

Gambar 2.2 Kerangka Teori


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Kerangka Pikir

1. Gambar Kerangka Pikir

Indeks Kasus Faktor Lingkungan Fisik :


Suhu, Kelembaban, Cahaya
dan Curah hujan

Indikator Potensi Indeks Kasus Lain


Penularan hasil PE
(ABJ)

Separated : Cluster :
> 2X7 hari Jarak 100-200 meter
Jarak > 200 meter

Transmisi Vertikal Transmisi Horizontal


(< 7-10 hari) (> 2X7 hari)

Pemetaan
dengan GIS

Dinamika
Penularan DBD

Gambar 3.1. Kerangka Pikir

48
43

2. Definisi Operasional :

Tabel 3.1. Definisi Operasional

No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur


Skala
Data
1 Indeks Kasus Jumlah kasus DBD yang Melihat data Data Ratio
pertama kali ada di wilay- sekunder sekunder
ah lima kecamatan kasus catatan catatan
tertinggi Kota Semarang medis medis
tahun 2019 penderita Dinkes Kota
DBD Semarang

2 Indeks Kasus Jumlah kasus DBD yang Melihat data Data Ratio
Lain ada setelah adanya kasus sekunder sekunder
awal yang ada di lima catatan catatan
kecamatan kasus tertinggi medis medis
Kota Semarang tahun penderita Dinkes Kota
2019 DBD Semarang
3 Clustered Penularan DBD tempat k- Menganalisis Jumlah Ratio
ejadian kasus pertama de- radius cluster dari
ngan kasus lainnya ber- sebaran data
jarak 100-200 meter dari penyakit sekunder
penderita pertama. DBD catatan
berdasarkan medis
hasil Dinkes Kota
observasi Semarang
4 Separated Penularan DBD tempat k- Menganalisis Jumlah Ratio
ejadian kasus pertama de- radius separated
ngan kasus lainnya ber- sebaran dari data
jarak >200 meter dari penyakit sekunder
penderita pertama. DBD catatan
berdasarkan medis
hasil Dinkes Kota
observasi Semarang
5 Transmisi Penularan yang disebab- Waktu Data -
Vertikal kan dari nyamuk yang ter- penularan sekunder
infeksi virus dengue maka DBD tempat catatan
sepajang hidupnya akan kejadian medis
terinfeksi virus dengue dengan Dinkes Kota
penderita Semarang
pertama
6 Transmisi Penularan yang disebab- Waktu Data -
Horizontal kan dari nyamuk yang ter- penularan sekunder
infeksi virus dengue yang DBD tempat catatan
ditularkan ke tubuh man- kejadian medis
usia melalu gigitan dengan Dinkes Kota
penderita Semarang
pertama
7 Faktor Pengukuran faktor dari lin- Melihat data Data curah Ratio
Lingkungan gkungan yang dapat mem- sekunder hujan dan dan
Fisik pengaruhi densitas nyam- curah hujan hasil pengu- Interval
uk aedes dilihat dari penc- dan hasil kuran pen-
ahayaan, suhu, kelembab- pengukuran cahayaan
44

No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur


Skala
Data
an dan curah hujan di pencahaayaa (luxmeter),
lingkungan sekitar pende- n, suhu dan suhu (ther-
rita kelembaban mometer)
pada rumah dan kelem-
penderita baban (hy-
DBD grometer)
8 Indikator Presentase rumah yang d- Melihat data Data Ratio
Potensi itemukan jentik dengan in- sekunder sekunder
Penularan dikator ABJ di lima indikator ABJ ABJ wilayah
Kecamatan tertinggi Kota lima kecama- kerja
Semarang tan tertinggi Puskesmas
lima
kecamatan
9 Pemetaan Komponen yang diguna- Melihat data Membuat -
dengan GIS kan untuk memetakan ris- sekunder ind- peta
iko penyakit, identifikasi p- eks kasus D- dengan
ola distribusi penyakit, me- BD dan indi- software
mantau surveilens dalam kator potensi GIS
kegiatan penanggulangan penularan
penyakit, mengevaluasi a-
ksesbilitas ke fasilitas ke-
sehatan dan memprakira-
kan perjangkitan wabah p-
enyakit
10 Dinamika Hubungan interaktif antara Menganalisis - -
Potensi manusia serta perilakunya pemetaan
Penularan dengan komponen lingku- dari GIS dan
ngan yang berpotensi me- data
miliki potensi bahaya pen- pengukuran
yakit untuk mengetahui ri- fisik indeks
wayat sebaran penyakit, kasus DBD
determinan dan model se-
baran penyakit.

B. Jenis Penelitian

Jenis penelitian adalah analitik kualitatif dengan analisis peta grafis untuk

pengamatan ulang wilayah terjadinya kasus DBD serta didasarkan pada studi

dokumentasi catatan medis dengan penggunaan tabel, grafik atau peta. Penelitian

dilakukan dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada

suatu saat dan melihat dari data catatan sekunder.


45

C. Ruang Lingkup

1. Waktu Penelitian

a. Tahap persiapan : November 2018

b. Tahap pelaksanaan : Februari 2019

c. Tahap penyelesaian : Maret 2019

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian di lima kecamatan yaitu Kecamatan Tembalang,

Kecamatan Pedurungan, Kecamatan Banyumanik, Kecamatan Ngaliyan dan

Kecamatan Semarang Barat.

3. Materi Penelitian

Materi penelitian yang digunakan adalah dinamika penularan DBD

didasarkan pada indeks kasus dan indikator potensi penularan di lima Kecamatan

yaitu Kecamatan Tembalang, Kecamatan Pedurungan, Kec-amatan Banyumanik,

Kecamatan Ngaliyan dan Kecamatan Semarang Barat.

D. Subyek Penelitian

Subyek penelitian adalah seluruh penderita pada indeks kasus DBD di lima

kecamatan yaitu Kecamatan Tembalang, Kecamatan Pedurungan, Kecamatan

Banyumanik, Kecamatan Ngaliyan dan Kecamatan Semarang Barat.

E. Pengumpulan Data

1. Jenis data

a. Data Umum

Data umum kondisi geografis, topografi dan demografi serta situasi

kasus DBD di lima Kecamatan yaitu Kecamatan Tembalang, Kecamatan

Pedurungan, Kecamatan Banyumanik, Kecamatan Ngaliyan dan Keca-matan

Semarang Barat.
46

b. Data Khusus

Data khusus yang diambil peneliti yaitu data catatan sekunder (ABJ

dan curah hujan) dan pengukuran fisik (suhu, pencahayaan, kelembaban dan

ordinat lokasi) pada rumah penderita DBD serta hasil wawancara dari lembar

observasi.

2. Sumber Data

a. Data Primer

Data primer adalah data yang didapat dari hasil pengamatan obyek

penelitian yang di dapat peneliti berasal dari data pengukuran fisik

(pencahayaan, suhu, kelembaban dan ordinat) dan hasil wawancara.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang di dapat dari data informasi penyakit

DBD di Kota Semarang dari Dinas Kesehatan, BMKG Kota Semarang, Dinas

Pekerjaan Umum Kota Semarang, Puskesmas lima kecamatan dan Kantor

Kelurahan Desa terkait.

3. Metode Pengumpulan Data

a. Pemeriksaan fisik, dilakukan menggunakan instrument alat ukur (luxmeter,

hygrometer, thermometer).

b. Wawancara, dilakukan untuk mengetahui informasi penderita, lokasi penderita

dan lingkungan sekitarnya menggunakan lembar kerja.

c. Pemetaan kasus dengan Global Positioning System (GPS)

d. Dokumentasi, mencari data dari sumber catatan, transkip dan buku catatan

sekunder kasus DBD dan data sekunder curah hujan dan indikator potensi

penularan (ABJ) di Kota Semarang.

4. Instrumen Pengumpulan Data

Instrumen yang digunakan dalam penelitian yaitu lembar kerja, Luxmeter,

Thermometer, Hygrometer dan GPS.


47

F. Pengolahan Data

1. Editing, yaitu kegiatan pengecekan terhadap semua data yang sudah terkumpul

untuk menghindari adanya kesalahan dalam analisis.

2. Coding, yaitu mengelompokkan data yang telah terkumpul dengan diberikan kode

untuk memudahkan dalam pengolahan.

3. Saving, penyimpanan data berupa flashdisk, lembaran print out, dan manual

4. Tabulating, yaitu pengelompokkan data hasil penelitian yang telah terkumpul ke

dalam bentuk tabel dan narasi, tabulasi datanya menggunakan software GIS,

manual, maupun MS Excel.

G. Analisis Penelitian

Analisis data dengan melihat hasil tampilan peta grafik antar variabel (overlay)

yaitu penemuan kasus DBD dengan aplikasi GIS berdasarkan indeks kasus, faktor

lingkungan fisik, indikator potensi penularan dan kepadatan penduduk serta grafik dan

tabel untuk menggambarkan hasil penelitian.

H. Etika Penelitian

1. Informed Consent : ijin, persetujuan

Lembar persetujuan menjadi responden yang diberikan kepada masyarakat

yang menjelaskan maksud dan tujuan penelitian.

2. Anonymity : nama diinisialkan, disingkat

Nama penderita disingkat atau diinisialkan menjadi kode untuk menjaga

kerahasiaan responden.

3. Confidentiality : tidak dipublikasikan umum, hanya untuk Skripsi

Informasi yang dihasilkan dari penelitian ini dijamin kerahasiaannya.


BAB IV

HASIL

A. Gambaran Umum

1. Geografi

a. Kota Semarang

Kota Semarang merupakan ibukota Provinsi Jawa Tengah sekaligus kota

metropolitan terbesar kelima di Indonesia setelah Jakarta, Surabaya, Medan

dan Bandung. Kota Semarang terletak antara garis 6°50’ - 7°10’ Lintang

Selatan dan garis 109°35’ - 110°50’ Bujur Timur. Dibatasi sebelah Barat

dengan Kabupaten Kendal, sebelah Timur dengan Kabupaten Demak, sebelah

Selatan dengan Kabupaten Semarang dan sebelah Utara dibatasi oleh Laut

Jawa dengan panjang garis pantai meliputi 13,6 km. Ketinggian Kota

Semarang terletak antara 0,75 sampai dengan 348,00 di atas garis pantai.

Luas wilayah sebesar 373,70 km² dan merupakan 1,15% dari total luas

daratan Provinsi Jawa Tengah. Kota Semarang terbagi dalam 16 kecamatan

dan 177 kelurahan. Dari 16 kecamatan yang ada, kecamatan dengan luas

terbesar berada di Kecamatan Mijen (57,55 km²) dan Kecamatan Gunungpati

(54,11 km²) dimana sebagian besar wilayahnya berupa persawahan dan

perkebunan. Sedangkan untuk kecamatan dengan luas terkecil adalah

Kecamatan Semarang Selatan (5,93 km²) dan Kecamatan Semarang Tengah

(6,14 km²) yang sebagian wilayahnya berupa pusat perekonomian dan bisnis

Kota Semarang. (Profil Kesehatan Kota Semarang Tahun 2017).

b. Lima kecamatan kasus tertinggi DBD

Kota Semarang terbagi dalam 16 kecamatan adalah Mijen, Gunungpati,

Ngaliyan, Tugu, Semarang Barat, Semarang Tengah, Semarang Utara,

Semarang Timur, Semarang Selatan, Candisari, Tembalang, Banyumanik,

Pedurungan, Genuk, Gayamsari, Candisari. Dari 16 kecamatan yang ada di

48
49

Kota Semarang, terdapat 5 kecamatan yang menjadi kecamatan tertinggi

kasus DBD yaitu :

1) Kecamatan Tembalang

Kecamatan Tembalang terletak di bagian selatan Kota Semarang

dengan jarak ±15 km dari pusat kota Semarang. Batas wilayah Kecamatan

Tembalang yaitu :

Sebelah Utara : Kecamatan Candisari dan Kecamatan Pedurungan

Sebelah Timur : Kecamatan Mranggen dan Kabupaten Demak

Sebelah Selatan : Kabupaten Semarang dan Kecamatan Banyumanik

Sebelah Barat : Kecamatan Banyumanik

Secara geografis Kecamatan Tembalang terletak pada ketinggian

±125 m diatas permukaan laut. Luas wilayah Kecamatan Tembalang

sebasar 44,20 km2.

2) Kecamatan Banyumanik

Kecamatan Banyumanik terletak di bagian selatan Kota Semarang

dengan jarak ±13 km dari pusat kota Semarang. Batas wilayah Kecamatan

Banyumanik yaitu :

Sebelah Utara : Kecamatan Candisari

Sebelah Timur : Kecamatan Tembalang

Sebelah Selatan : Kabupaten Semarang

Sebelah Barat : Kecamatan Gunungpati

Secara geografis Kecamatan Banyumanik terletak pada ketinggian ±

300 m diatas permukaan laut. Luas wilayah Kecamatan Banyumanik

sebesar 25,69 km2.

3) Kecamatan Pedurungan

Kecamatan Pedurungan terletak di bagian timur kota Semarang yang

berjarak ±8 km dari pusat kota Semarang. Batas wilayah Kecamatan

Pedurungan yaitu :
50

Sebelah Utara : Kecamatan Genuk

Sebelah Selatan : Kecamatan Tembalang

Sebelah Barat : Kecamatan Gayamsari, Kecamatan Semarang

Timur dan Kecamatan Semarang Selatan

Sebelah Timur : Kabupaten Demak

Secara geografis Kecamatan Pedurungan terletak pada ketinggian ±5

m diatas permukaan laut. Luas wilayah Kecamatan Pedurungan sebesar

25,69 km2.

4) Kecamatan Ngaliyan

Kecamatan Ngaliyan terletak di bagian barat kota Semarang yang

berjarak ±12 km dari pusat kota Semarang. Batas wilayah Kecamatan

Ngaliyan yaitu :

Sebelah Utara : Kecamatan Tugu

Sebelah Barat : Kecamatan Kendal

Sebelah Selatan : Kecamatan Mijen

Sebelah Timur : Kecamatan Semarang Barat

Secara geografis Kecamatan Ngaliyan terletak pada ketinggian ±14

m diatas permukaan laut. Luas wilayah Kecamatan Ngaliyan sebesar 37,99

km2.

5) Kecamatan Semarang Barat

Kecamatan Semarang Barat terletak di bagian barat kota Semarang

yang berjarak ±8 km dari pusat kota Semarang. Batas wilayah Kecamatan

Semarang Barat yaitu :

Sebelah Utara : Laut Jawa

Sebelah Barat : Kecamatan Ngaliyan dan Kecamatan Tugu

Sebelah Selatan : Kecamatan Ngaliyan dan Kecamatan

Gajahmungkur

Sebelah Timur : Kecamatan Semarang Utara, Kecamatan


51

Semarang Tengah dan Kecamatan Selatan

Secara geografis Kecamatan Semarang Barat terletak pada

ketinggian ±4 m diatas permukaan laut. Luas wilayah Kecamatan

Semarang Barat sebesar 21,74 km2.

Sumber : https ://www.sejarah-negara.com

Gambar 4.1. Administratif Kota Semarang

2. Demografi

a. Kota Semarang

Jumlah penduduk Kota Semarang pada periode Juni 2018 dengan total

sebesar 1.815.729 jiwa dengan laki-laki sebasar 904.816 jiwa sedangkan

perempuan sebesar 910.913 jiwa. Perkembangan pertumbuhan penduduk


52

menunjukkan hasil yang bervariasi dengan tren yang semakin meningkat

setiap tahunnya. Persebaran penduduk yang tidak merata perlu mendapatkan

perhatian karena berkaitan dengan daya dukung lingkungan yang tidak

seimbang. Secara geografis wilayah Kota Semarang terbagi menjadi 2 (dua)

yaitu kota bawah merupakan pusat pemerintahan, perdagangan dan industri

sedangkan kota atas lebih banyak dimanfaatkan untuk perkebunan,

persawahan dan perhutanan. Sebagai salah satu kota metropolitan, Semarang

boleh dikatakan belum terlalu padat. Dengan luas wilayah Kota Semarang

sebesar 373,70 km². Pada tahun 2018 kepadatan penduduknya sebesar 4859

jiwa per km2 sedikit mengalami kenaikan bila di bandingkan dengan tahun

2017 sebesar 4.424 jiwa per km2. Untuk kecamatan yang terletak di pusat kota,

dimana luas wilayahnya tidak terlalu besar tetapi jumlah penduduknya sangat

banyak dan kepadatan penduduknya sangat tinggi (Dispendukapil Kota

Semarang, 2018).

b. Lima kecamatan kasus tertinggi DBD

Kota Semarang terbagi dalam 16 kecamatan adalah Mijen, Gunungpati,

Ngaliyan, Tugu, Semarang Barat, Semarang Tengah, Semarang Utara,

Semarang Timur, Semarang Selatan, Candisari, Tembalang, Banyumanik,

Pedurungan, Genuk, Gayamsari, Candisari. Dari 16 kecamatan yang ada di

Kota Semarang, terdapat 5 kecamatan yang menjadi kecamatan tertinggi

kasus DBD yaitu :

1) Kecamatan Tembalang

Kecamatan Tembalang terletak di sebelah selatan Kota Semarang.

Secara administratif Kecamatan Tembalang Kota Semarang terdiri atas 12

kelurahan yaitu :
53

Tabel 4.1. Demografi Kecamatan Tembalang

Luas Jumlah Kepadatan


No. Kelurahan Wilayah Penduduk Penduduk
(KM2) (Jiwa) (Jiwa per KM2)
1. Rowosari 8,70 11.344 1.304
2. Meteseh 4,99 17.461 3.499
3. Kramas 2,30 3.538 1.538
4. Tembalang 2,68 5.650 2.108
5. Bulusan 2,16 5.472 2.533
6. Mangunharjo 3,04 9.442 3.106
7. Sendang Mulyo 4,61 34.334 7.448
8. Sambiroto 3,18 12.690 3.991
9. Jangli 0,55 6.637 12.067
10. Tandang 3,76 20.816 5.538
11. Kedungmundu 4,95 11.835 2.391
12. Sendangguwo 3,28 22.247 6.783
Total 44,20 161.466 3.653
Sumber : Data Sekunder Terolah

Tabel 4.1 menunjukkan kelurahan dengan kepadatan tertinggi di

Kecamatan Tembalang adalah Kelurahan Jangli dengan kepadatan 12.067

jiwa per km2 sedangkan untuk kepadatan terendah adalah Kelurahan

Rowosari dengan kepadatan 1.304 jiwa per km2.

2) Kecamatan Banyumanik

Kecamatan Banyumanik terletak di sebelah selatan Kota Semarang.

Secara administratif Kecamatan Banyumanik Kota Semarang terdiri atas 11

kelurahan yaitu :

Tabel 4.2. Demografi Kecamatan Banyumanik

Jumlah Kepadatan
Luas Wilayah
No. Kelurahan Penduduk Penduduk
(KM2)
(Jiwa) (Jiwa per KM2)
1. Pudak Payung 3,93 22.894 5.825
2. Gedawang 2,37 6.863 2.896
3. Jabungan 2,26 5.030 2.226
4. Padangsari 0,78 12.639 16.204
5. Banyumanik 3,64 10.310 2.832
6. Srondol Wetan 2,26 19.933 8.820
7. Pedalangan 2,35 10.347 4.403
8. Sumurboto 0,84 10.689 12.725
9. Srondol Kulon 2,88 12.051 4.184
10. Tinjomuyo 2,02 9.462 4.684
11. Ngesrep 2,36 14.551 6.166
Total 25,69 134.769 5.246
Sumber : Data Sekunder Terolah
54

Tabel 4.2 menunjukkan kelurahan dengan kepadatan tertinggi di

Kecamatan Banyumanik adalah Kelurahan Padangsari dengan kepadatan

16.204 jiwa per km2 sedangkan untuk kepadatan terendah adalah

Kelurahan Jabungan dengan kepdatan 2.226 Jiwa per km2.

3) Kecamatan Pedurungan

Kecamatan Pedurungan terletak di sebelah timur Kota Semarang.

Secara administratif Kecamatan Pedurungan Kota Semarang terdiri atas 12

kelurahan yaitu :

Tabel 4.3. Demografi Kecamatan Pedurungan

Luas Jumlah Kepadatan


No. Kelurahan Wilayah Penduduk Penduduk
(KM2) (Jiwa) (Jiwa per KM2)
1. Gemah 1,01 14.511 14.367
2. Pedurungan Kidul 1,80 12.633 7.018
3. Plamongansari 2,35 12.408 5.280
4. Penggaron Kidul 2,01 6.025 2.998
5. Pedurungan Lor 1,36 9.182 6.751
6. Tlogomulyo 1,94 13.168 6.788
7. Pedurungan Tengah 1,89 13.704 7.251
8. Palebon 1,47 14.108 9.597
9. Kalicari 0,80 9.175 11.496
10. Tlogosari Kulon 2,80 35.819 12.793
11. Tlogosari Wetan 1,25 7.600 6.080
12. Muktiharjo Kidul 2,04 34.595 16.958
Total 25,69 182.928 8.829
Sumber : Data Sekunder Terolah

Tabel 4.3 menunjukkan kelurahan dengan kepadatan tertinggi di

Kecamatan Pedurungan adalah Kelurahan Muktiharjo Kidul dengan

kepadatan 16.958 jiwa per km2 sedangkan untuk kepadatan terendah

adalah Kelurahan Penggaron Kidul dengan kepadatan 2.998 jiwa per km2.

4) Kecamatan Ngaliyan

Kecamatan Ngaliyan terletak di sebelah barat Kota Semarang.

Secara administratif Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang terdiri atas 10

kelurahan yaitu :
55

Tabel 4.4. Demografi Kecamatan Ngaliyan

Luas Jumlah Kepadatan


No. Kelurahan Wilayah Penduduk Penduduk
(KM2) (Jiwa) (Jiwa per KM2)
1. Podorejo 11,05 7.642 692
2. Wates 3,82 4.840 1.267
3. Bringin 1,25 15.245 12.196
4. Ngaliyan 5,28 13.081 2.477
5. Bambankerep 3,22 5.205 1.616
6. Kalipancur 1,25 19.098 15.278
7. Purwoyoso 1,35 13.715 10.159
8. Tambakaji 3,83 21.720 5.671
9. Gondoriyo 3,71 7.103 1.915
10. Wonosari 3,23 19.107 5.915
Total 37,99 126.756 3.337
Sumber : Data Sekunder Terolah

Tabel 4.4 menunjukkan kelurahan dengan kepadatan tertinggi di

Kecamatan Ngaliyan adalah Kelurahan Kalipancur dengan kepadatan

15.278 jiwa per km2 sedangkan untuk kepadatan terendah adalah

Kelurahan Podorejo dengan kepadatan 629 jiwa per km2.

5) Kecamatan Semarang Barat

Kecamatan Semarang Barat terletak di sebelah barat Kota

Semarang. Secara administratif Kecamatan Semarang Barat Kota

Semarang terdiri atas 16 kelurahan yaitu :

Tabel 4.5. Demografi Kecamatan Semarang Barat

Luas Jumlah Kepadatan


No. Kelurahan Wilayah Penduduk Penduduk
(KM2) (Jiwa) (Jiwa per KM2)
1. Kembangarum 3,28 16.492 5.028
2. Manyaran 1,51 15.786 10.454
3. Ngemplak Simongan 0,84 12.592 14.990
4. Bongsari 0,80 14.929 18.661
5. Bojongsalaman 0,50 8.915 17.830
6. Cabean 0,27 5.561 20.596
7. Salamanmloyo 0,54 4.027 7.457
8. Gisikdrono 1,15 18.441 16.036
9. Kalibanteng Kidul 0,93 5.871 6.313
10. Kalianteng Kulon 2,01 7.382 3.673
11. Krapyak 1,91 7.198 6.049
12. Tambakharjo 2,64 2.720 1.030
13. Tawangsari 2,61 6.518 2.497
14. Karangayu 0,66 8.804 13.339
15. Krobokan 0,82 14.190 17.305
56

Luas Jumlah Kepadatan


No. Kelurahan Wilayah Penduduk Penduduk
(KM2) (Jiwa) (Jiwa per KM2)
16. Tawangmas 1,99 7.943 3.991
Total 21,74 157.369 7.239
Sumber : Data Sekunder Terolah

Tabel 4.5 menunjukkan kelurahan dengan kepadatan tertinggi di

Kecamatan Semarang Barat adalah Kelurahan Cabean dengan kepadatan

20.596 jiwa per km2 sedangkan untuk kepadatan terendah adalah

Kelurahan Tambakharjo dengan kepadatan 1.030 jiwa per km2.

B. Gambaran Khusus

1. Kasus DBD

Kasus positif yang didapatkan dari hasil laboratorium rumah sakit yang

kemudian dilakukan penyelidikan epidemiologi oleh petugas kesehatan Kota

Semarang yang di verifikasi menurut WHO tentang diagnosis klinis DBD dapat

dilihat pada lampiran 11. Selama periode 1 Januari sampai dengan 14 Februari

tahun 2019 didapatkan sebanyak 289 kasus hasil dari pemeriksaan laboratorium

rumah sakit. Kasus tertinggi berada di Kecamatan Tembalang 89 kasus dan

terendah Kecamatan Semarang Barat 22 kasus dapat dilihat pada tabel 4.6..

Tabel 4.6. Distribusi Kasus DBD di Lima kecamatan kasus tertinggi

1 Januari –14 Februari 2019

No Lokasi Jumlah Kasus Persentase (%)


1 Kecamatan Tembalang 89 31 %
2 Kecamatan Banyumanik 85 29 %
3 Kecamatan Pedurungan 61 21 %
4 Kecamatan Ngaliyan 32 11 %
5 Kecamatan Semarang Barat 22 8%
Jumlah 289 100 %
Sumber : Data Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2019

Jumlah 289 kasus DBD yang ada pada masing-masing kecamatan tertinggi

kasus DBD selama periode 1 Januari sampai dengan 14 Februari tahun 2019

terdapat 2 kasus yang dinyatakan meninggal dan sisanya kasus DBD yang

dinyatakan sembuh dapat dilihat pada tabel 4.7.


57

Tabel 4.7. Distribusi Frekuensi Kasus DBD Meninggal dan Sembuh di Lima

Kecamatan Tertinggi 1 Januari – 14 Februari 2019

Jumlah Meninggal Sembuh


No Lokasi
Kasus Jumlah % Jumlah %
1 Kecamatan
89 0 0 89 100
Tembalang
2 Kecamatan
85 1 1 84 99
Banyumanik
3 Kecamatan
61 0 0 61 100
Pedurungan
4 Kecamatan
32 1 3 31 97
Ngaliyan
5 Kecamatan
22 0 0 22 100
Semarang Barat
Jumlah 289 4 0,7 287 99,3
Sumber : Data Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2019

2. Karakteristik Penderita

Data distribusi kasus DBD di lima kecamatan kasus tertinggi kasus DBD di

Kota Semarang selama periode 1 Januari sampai dengan 14 Februari tahun 2019

sebanyak 289 kasus dapat dikategorikan sesuai dengan karakteristik berdasarkan

jenis kelamin dan umur dapat dilihat pada lampiran 13.

a. Umur

1) Kecamatan Tembalang

Jumlah kasus DBD di Kecamatan Tembalang dari bulan Januari

sampai dengan bulan Februari tahun 2019 didapatkan 89 kasus dengan

kategori usia <5 th sebanyak 14 orang, 6 – 19 th sebanyak 49 orang, 20 –

49 th sebanyak 19 orang dan >50 th sebanyak 7 orang dapat dilihat pada

tabel 4.8.

Tabel 4.8. Umur Penderita Kecamatan Tembalang

No Umur Jumlah Penderita Presentase


1 <5 th 14 orang 16 %
2 6 – 19 th 49 orang 55 %
3 20 – 49 th 19 orang 21 %
4 >50 th 7 orang 8%
Jumlah Kasus 89 orang 100 %
Sumber : Data Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2019
58

2) Kecamatan Banyumanik

Jumlah kasus DBD di Kecamatan Banyumanik dari bulan Januari

sampai dengan bulan Februari tahun 2019 didapatkan 89 kasus dengan

kategori usia <5 th sebanyak 7 orang, 6 – 19 th sebanyak 49 orang, 20 –

49 th sebanyak 27 orang dan >50 th sebanyak 2 orang dapat dilihat pada

tabel 4.9.

Tabel 4.9. Umur Penderita Kecamatan Banyumanik

No Umur Jumlah Penderita Presentase


1 <5 th 7 orang 8%
2 6 – 19 th 49 orang 58 %
3 20 – 49 th 27 orang 32 %
4 >50 th 2 orang 2%
Jumlah Kasus 85 orang 100 %
Sumber : Data Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2019

3) Kecamatan Pedurungan

Jumlah kasus DBD di Kecamatan Pedurungan dari bulan Januari

sampai dengan bulan Februari tahun 2019 didapatkan 89 kasus dengan

kategori usia <5 th sebanyak 11 orang, 6 – 19 th sebanyak 31 orang, 20 –

49 th sebanyak 14 orang dan >50 th sebanyak 5 orang dapat dilihat pada

tabel 4.10.

Tabel 4.10. Umur Penderita Kecamatan Pedurungan

No Umur Jumlah Penderita Presentase


1 <5 th 11 orang 18 %
2 6 – 19 th 31 orang 51 %
3 20 – 49 th 14 orang 23 %
4 >50 th 5 orang 8%
Jumlah Kasus 61 orang 100 %
Sumber : Data Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2019

4) Kecamatan Ngaliyan

Jumlah kasus DBD di Kecamatan Ngaliyan dari bulan Januari sampai

dengan bulan Februari tahun 2019 didapatkan 89 kasus dengan kategori

usia <5 th sebanyak 5 orang, 6 – 19 th sebanyak 14 orang, 20 – 49 th

sebanyak 13 orang dan >50 th sebanyak 0 orang dapat dilihat pada tabel

4.11.
59

Tabel 4.11. Umur Penderita Kecamatan Ngaliyan

No Umur Jumlah Penderita Presentase


1 <5 th 5 orang 16 %
2 6 – 19 th 14 orang 43 %
3 20 – 49 th 13 orang 41 %
4 >50 th 0 orang 0%
Jumlah Kasus 32 orang 100 %
Sumber : Data Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2019

5) Kecamatan Semarang Barat

Jumlah kasus DBD di Kecamatan Semarang Barat dari bulan Januari

sampai dengan bulan Februari tahun 2019 didapatkan 89 kasus dengan

kategori usia <5 th sebanyak 4 orang, 6 – 19 th sebanyak 13 orang, 20 –

49 th sebanyak 3 orang dan >50 th sebanyak 2 orang dapat dilihat pada

tabel 4.12.

Tabel 4.12. Umur Penderita Kecamatan Semarang Barat

No Umur Jumlah Penderita Presentase


1 <5 th 4 orang 18 %
2 6 – 19 th 13 orang 59 %
3 20 – 49 th 3 orang 14 %
4 >50 th 2 orang 9%
Jumlah Kasus 22 orang 100 %
Sumber : Data Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2019

b. Jenis Kelamin

1) Kecamatan Tembalang

Jumlah kasus DBD di Kecamatan Tembalang dari bulan Januari

sampai dengan bulan Februari tahun 2019 didapatkan 89 kasus dengan

jenis kelamin laki-laki 44 orang dan perempuan 45 orang dapat dilihat pada

tabel 4.13.

Tabel 4.13. Jenis Kelamin Penderita Kecamatan Tembalang

No Jenis Kelamin Jumlah Penderita Persentase


1 Laki-Laki 44 orang 49 %
2 Perempuan 45 orang 51 %
Jumlah Kasus 89 orang 100 %
Sumber : Data Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2019
60

2) Kecamatan Banyumanik

Jumlah kasus DBD di Kecamatan Banyumanik dari bulan Januari

sampai dengan bulan Februari tahun 2019 didapatkan 85 kasus dengan

jenis kelamin laki-laki 46 orang dan perempuan 39 orang dapat dilihat pada

tabel 4.14.

Tabel 4.14. Jenis Kelamin Penderita Kecamatan Banyumanik

No Jenis Kelamin Jumlah Penderita Persentase


1 Laki-Laki 46 orang 54 %
2 Perempuan 39 orang 46 %
Jumlah Kasus 85 orang 100 %
Sumber : Data Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2019

3) Kecamatan Pedurungan

Jumlah kasus DBD di Kecamatan Pedurungan dari bulan Januari

sampai dengan bulan Februari tahun 2019 didapatkan 61 kasus dengan

jenis kelamin laki-laki 32 orang dan perempuan 29 orang dapat dilihat pada

tebel 4.15.

Tabel 4.15. Jenis Kelamin Penderita Kecamatan Pedurungan

No Jenis Kelamin Jumlah Penderita Persentase


1 Laki-Laki 32 orang 52 %
2 Perempuan 29 orang 48 %
Jumlah Kasus 61 orang 100 %
Sumber : Data Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2019

4) Kecamatan Ngaliyan

Jumlah kasus DBD di Kecamatan Ngaliyan dari bulan Januari sampai

dengan bulan Februari tahun 2019 didapatkan 32 kasus dengan jenis

kelamin laki-laki 19 orang dan perempuan 13 orang dapat dilihat pada tabel

4.16.

Tabel 4.16. Jenis Kelamin Penderita Kecamatan Ngaliyan

No Jenis Kelamin Jumlah Penderita Persentase


1 Laki-Laki 19 orang 59 %
2 Perempuan 13 orang 41 %
Jumlah Kasus 32 orang 100 %
Sumber : Data Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2019
61

5) Kecamatan Semarang Barat

Jumlah kasus DBD di Kecamatan Semarang Barat dari bulan Januari

sampai dengan bulan Februari tahun 2019 didapatkan 22 kasus dengan

jenis kelamin laki-laki 11 orang dan perempuan 11 orang dapat dilihat pada

tabeel 4.17.

Tabel 4.17. Jenis Kelamin Penderita Kecamatan Semarang Barat

No Jenis Kelamin Jumlah Penderita Persentase


1 Laki-Laki 11 orang 50 %
2 Perempuan 11 orang 50 %
Jumlah Kasus 22 orang 100 %
Sumber : Data Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2019

3. Sebaran Kasus

Data distribusi kasus DBD di lima kecamatan kasus tertinggi Kota

Semarang selama periode 1 Januari sampai dengan 14 Februari tahun 2019

didapatkan sebanyak 289 kasus dapat diketahui indeks kasus (IK) dan indeks

kasus lain (KL) sehingga dapat diketahui model penularan yang dilihat pada

lampiran 17.

a. Indeks Kasus

1) Kecamatan Tembalang

Sebaran kasus DBD Kecamatan Tembalang memiliki jumlah

kasus DBD sebanyak 89 kasus terdapat 7 kasus alamat tidak sesuai

yang dilihat dari indeks kasus untuk menentukan model penularan.

Tabel 4.18. Indeks Kasus DBD di Kecamatan Tembalang

Jarak
No Nama Jumlah Indeks Model
Indeks
. Kelurahan Kasus Kasus Penularan
Kasus
1 Jangli 7 2 IK 5 KL 100-200 m 2 Cluster
(7 kasus)
2 Kedungmundu 6 2 IK 4 KL 100-200 m 2 Cluster
(6 kasus)
3 Mangunharjo 2 2 IK >200 m 2 Separated
(2 kasus)
4 Sambiroto 4 4 IK >200 m 4 Separated
5 Sendangguwo 14 3 IK 8 IK 100-200 m 3 Cluster
62

Jarak
No Nama Jumlah Indeks Model
Indeks
. Kelurahan Kasus Kasus Penularan
Kasus
(11 kasus) dan
3 IK >200 m 3 Separated
(3 kasus)
6 Sendangmulyo 26 8 IK 14 KL 100-200 m 8 Cluster
(22 kasus) dan
4 IK >200 m 4 Separated
(4 kasus)
7 Tandang 2 2 IK >200 m 2 Separated
(2 kasus)
8 Rowosari 0 - - -
9 Meteseh 7 1 IK 1 KL 100-200 m 1 Cluster
(2 kasus) dan
5 IK >200 5 Separated
(5 kasus)
10 Kramas 8 1 IK 3 KL 100-200 m 1 Cluster
(4 kasus) dan
3 IK >200 m 3 Separated
(3 kasus)
11 Bulusan 1 1 KL 100-200 m Cluster
(1 kasus)
12 Tembalang 3 1 IK 100-200 m 1 Cluster
(1 kasus
2 IK >200 m dengan
bulusan) dan 2
Separated
(2 kasus)
Sumber : Data Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2019

2) Kecamatan Banyumanik

Sebaran kasus DBD Kecamatan Banyumanik memiliki jumlah

kasus DBD sebanyak 85 kasus terdapat 8 kasus alamat tidak sesuai

yang dilihat dari indeks kasus untuk menentukan model penularan.

Tabel 4.19. Indeks Kasus DBD di Kecamatan Banyumanik

Jumla Jarak
No Nama Indeks Model
h Indeks
. Kelurahan Kasus Penularan
Kasus Kasus
1 Ngesrep 2 2 IK <200 m Separated
(2 kasus)
2 Sumurboto 11 3 IK 3 KL 100-200 m 3 Cluster
(5 kasus 1
kasus dengan
Srondol
5 IK >200 m Wetan) dan 5
Separated
(6 kasus)
3 Tinjomoyo 6 1 IK 2 KL 100-200 m 1 Cluster
(3 kasus) dan
63

Jumla Jarak
No Nama Indeks Model
h Indeks
. Kelurahan Kasus Penularan
Kasus Kasus
3 IK >200 m 3 Separated
(3 kasus)
4 Padangsari 4 1 IK 3 KL 100-200 m Cluster
(4 kasus)
5 Pedalangan 7 2 IK 2 KL 100-200 m 2 Cluster
(4 kasus) dan
3 IK >200 m 3 Separated
(3 kasus)
6 Gedawang 13 3 IK 4 KL 100-200 m 3 Cluster
(6 kasus dan 1
kasus dengan
Pudak
7 IK >200 m Payung) dan 7
Separated
(7 kasus)
7 Pudak Payung 12 2 IK 5 KL 100-200 m 3 Cluster
(7 kasus) dan
5 IK >200 m 5 Separated
(5 kasus)
8 Banyumanik 9 9 IK >200 m Separated
(9 kasus)
9 Srondol Kulon 2 1 IK 1 KL 100-200 m Cluster
(2 kasus)
10 Srondol Wetan 10 3 IK 6 KL 100-200 m 3 Cluster
(9 kasus)
Sumber : Data Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2019

3) Kecamatan Pedurungan

Sebaran kasus DBD Kecamatan Pedurungan memiliki jumlah

kasus DBD sebanyak 61 kasus terdapat 2 kasus alamat tidak sesuai

yang dapat dilihat dari indeks kasus untuk menentukan model

penularan.

Tabel 4.20. Indeks Kasus DBD di Kecamatan Pedurungan

Jarak
No Nama Jumlah Indeks Model
Indeks
. Kelurahan Kasus Kasus Penularan
Kasus
1 Palebon 7 2 IK 4 KL 100-200 m 2 Cluster
(6 kasus) dan
1 IK >200 m Separated
(1 kasus)
2 Pedurungan 1 1 IK >200 m Separated
Kidul
3 Pedurungan 1 1 IK >200 m Separated
Lor
4 Pedurungan 9 2 IK 2 KL 100-200 m 2 Cluster
Tengah (4 kasus) dan
64

Jarak
No Nama Jumlah Indeks Model
Indeks
. Kelurahan Kasus Kasus Penularan
Kasus
5 IK >200 m 5 Separated
(5 kasus)
5 Plamongansari 4 2 IK 3 KL 100-200 m 1 Cluster
(2 kasus) dan
2 IK >200 m 2 Separated
(2 kasus)
6 Tlogomulyo 8 2 IK 3 KL 100-200 m 2 Cluster
(6 kasus) dan
3 IK >200 m 3 Separated
(3 kasus)
7 Tlogosari 6 1 IK 1 KL 100-200 m 1 Cluster
Wetan (2 kasus) dan
4 IK >200 m 4 Separated
(4 kasus)
8 Gemah 8 1 IK 2 KL 100-200 m 2 Cluster
(2 kasus lokal
1 Cluster
Tembalang)
5 IK >200 m dan 5
Separated
(5 kasus)
9 Kalicari 4 1 IK 2 KL 100-200 m 1 Cluster
(3 kasus) dan
1 IK >200 m 1 Separated
10 Muktiharjo 4 1 IK 3 KL 100-200 m 1 Cluster
Kidul (2 kasus) dan
2 IK >200 m 2 Separated
(2 kasus)
11 Tlogosari 6 1 IK 1 KL 100-200 m 1 Cluster
Kulon (2 kasus) dan
4 IK >200 m 4 Separated
(4 kasus)
Sumber : Data Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2019

4) Kecamatan Ngaliyan

Sebaran kasus DBD Kecamatan Ngaliyan memiliki jumlah kasus

DBD sebanyak 32 kasus terdapat 2 kasus alamat tidak sesuai yang

dapat dilihat dari indeks kasus untuk menentukan model penularan.

Tabel 4.21. Indeks Kasus DBD di Kecamatan Ngaliyan

Jarak
Nama Jumlah Indeks Model
No. Indeks
Kelurahan Kasus Kasus Penularan
Kasus
1 Beringin 3 1 IK 2 KL 100-200 m Cluster
(3 kasus)
2 Gondoriyo 4 2 IK 2 KL 100-200 m 2 Cluster
(4 kasus)
3 Ngaliyan 7 7 IK >200 m Separated
65

Jarak
Nama Jumlah Indeks Model
No. Indeks
Kelurahan Kasus Kasus Penularan
Kasus
(7 kasus)
4 Wates 1 1 IK >200 m Separated
5 Purwoyoso 9 2 IK 6 KL 100-200 m 2 Cluster
(8 kasus) dan
1 IK >200 m 1 Separated
(1 kasus)
6 Kalipancur 1 1 IK >200 m Separated
7 Tambakaji 4 1 IK 2 KL 100-200 m 1 Cluster
(3 kasus) dan
1 IK >200 m 1 Separated
(1 kasus)
8 Wonosari 1 1 IK >200 m Separated
Sumber : Data Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2019

5) Kecamatan Semarang Barat

Sebaran kasus DBD Kecamatan Semarang Barat memiliki jumlah

kasus DBD sebanyak 22 kasus terdapat 1 kasus alamat tidak sesuai

yang dapat dilihat dari indeks kasus untuk menentukan model

penularan.

Tabel 4.22. Indeks Kasus DBD di Kecamatan Semarang Barat

Jarak
Nama Jumlah Indeks Model
No. Indeks
Kelurahan Kasus Kasus Penularan
Kasus
1 Salaman 2 1 IK 1 KL 100-200 m Cluster
Mloyo (2 kasus)
2 Bojong 1 1 IK >200 m Separated
Salaman
3 Tawangsari 3 3 IK 100-200 m Separated
(3 kasus)
4 Krobokan 1 1 IK >200 m Separated
5 Gisikdrono 4 1 IK 2 KL 100-200 m 1 Cluster
(3 kasus) dan
1 IK >200 m 1 Separated
(1 kasus)
6 Kembangarum 1 1 IK >200 m Separated
7 Manyaran 2 2 IK >200 m Separated
(2 kasus)
8 Bongsari 5 1 IK 3 KL 100-200 m 1 Cluster
(4 kasus) dan
1 IK >200 m 1 Separated
(1 kasus)
9 Ng. Simongan 3 1 IK 1 KL 100-200 m 1 Cluster
(2 kasus) dan
1 IK >200 m 1 Separated
(1 kasus)
Sumber : Data Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2019
66

b. Model Penularan

Distribusi potensi penularan DBD dapat diketahui dari jumlah kasus

DBD dan model penularan DBD pada suatu wilayah. Indeks kasus DBD

selama periode 1 Januari 2019 sampai dengan 14 Februari 2019

menunjukkan bahwa penderita DBD di Kota Semarang dari hasil uji

laboratorium rumah sakit yang berada di lima kecamatan kasus tertinggi

dilihat dari model penularan.

1) Kecamatan Tembalang

Sebaran kasus DBD Kecamatan Tembalang memiliki jumlah

kasus DBD sebanyak 89 kasus terdapat 8 kasus alamat tidak sesuai

sehingga penemuan cluster sebanyak 55 kasus dan separated 26

kasus.

Tabel 4.23. Model Penularan Kecamatan Tembalang

Model Penularan Kasus %


Cluster 55 67
Separated 26 33
Jumlah 81 100
Sumber : Data Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2019

Berdasarkan tabel model penularan pada wilayah Kecamatan

Tembalang, jika dibuat pemetaan model penularan sebagai berikut :


67

K eca m a tan T em b alan g

#
SEN D AN G
### # G U W O ##
#
# ####
# #
# ## ###
#### #
T A N D A NG KED U N G M U N D U
# ##

# # #
# # ##
JA N G L I ##
##

SEN D AN G
# ## M U L Y O
S A M B IR O T O #
# #
# ## #
# # # #
#
M A N G U N HA R J O #
#
#
#
##
TEM BA LA N G ##
#

BU LU SAN

# #
M ET ESEH
#
# # # #
##
#

# #
# RO W O S A R I
KR AM AS
##
TE M B A LA N G

B A N Y U M A N IK

3 0 3

S e p a ra te d te m b a la n g .tx t
#
W E
# C lu s te r te m b a la n g .tx t
B a n y u m a n ik .s h p
Te m b a la n g .s h p
S
Sumber : Data Primer Terolah

Gambar 4.2. Peta Model Penularan Kasus DBD Kecamatan

Tembalang
68

2) Kecamatan Banyumanik

Sebaran kasus DBD Kecamatan Banyumanik memiliki jumlah

kasus DBD sebanyak 85 kasus terdapat 9 kasus alamat tidak sesuai

sehingga penemuan kasus cluster sebanyak 42 kasus dan kasus

separated 35 kasus.

Tabel 4.24. Model Penularan Kecamatan Banyumanik

Model Penularan Kasus %


Cluster 42 54
Separated 35 46
Jumlah 77 100
Sumber : Data Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2019

Berdasarkan grafik model penularan pada wilayah Kecamatan

Banyumanik, jika dibuat pemetaan model penularan sebagai berikut :


69

Kecamatan Banyumanik

##
#
#
#
# #
TINJOMOYO
NGESREP
#

SRONDOL # # ##
KULON # # #
SUMURBOTO
# #
#

# # #
#
# #
PEDALANGAN
# #
#
SRONDOL
# #
W ETAN #
## #
TEMBALANG
#
# #
# # #
## #
# # PADANGSARI
# # BANYUMANIK #
# #
GEDAWANG
##
# ### JABUNGAN

PUDAKPAYUNG
#
#
### # #
# # #
# # #

BANYUMANIK #

# #
#

2 0 2 4 Miles

# Separated banyumanik.txt W E
# Cluster banyumanik.txt
Banyumanik.shp
Tembalang.shp
S
Sumber : Data Primer Terolah

Gambar 4.3. Peta Model Penularan Kasus DBD Kecamatan

Banyumanik
70

3) Kecamatan Pedurungan

Sebaran kasus DBD Kecamatan Pedurungan memiliki jumlah

kasus DBD sebanyak 61 kasus terdapat 2 kasus alamat tidak sesuai

sehingga penemuan kasus cluster sebanyak 30 kasus dan separated

29 kasus.

Tabel 4.25. Model Penularan Kecamatan Pedurungan

Model Penularan Kasus %


Cluster 30 51
Separated 29 49
Jumlah 59 100
Sumber : Data Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2019

Berdasarkan grafik model penularan pada wilayah Kecamatan

Pedurungan, jika dibuat pemetaan model penularan sebagai berikut :


71

Kecamatan Pedurungan

#
#
#
MUKTIHARJO KIDUL
#
#
TLOGOSARI
W ETAN TLOGOSARI
#
## KULON
# #
#
# #
##
#
KALICARI # # #
# ###
# TLOGOMULYO
#
## #
# # #
#
PENGGARON
# # # #
PALEBON ## KIDUL
# #
GEMAH ## PEDURUNGAN
#
# # LOR
##
##
#
#
PEDURUNGAN
#
PEDURUNGAN
#
KIDUL #

PLAMONGAN SARI
#

TEMBALANG

2 0 2 4 Miles

# Separated pedurungan.txt W E
# Cluster pedurungan.txt
Pedurungan.shp
Tembalang.shp
S
Sumber : Data Primer Terolah

Gambar 4.4. Peta Model Penularan Kasus DBD Kecamatan

Pedurungan
72

4) Kecamatan Ngaliyan

Sebaran kasus DBD Kecamatan Ngaliyan memiliki jumlah kasus

DBD sebanyak 32 kasus terdapat 2 kasus alamat tidak sesuai

sehingga penemuan kasus cluster sebanyak 18 kasus (60%) dan

kasus separated 12 kasus (40%).

Tabel 4.26. Model Penularan Kecamatan Ngaliyan

Model Penularan Kasus %


Cluster 18 60
Separated 12 40
Jumlah 30 100
Sumber : Data Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2019

Berdasarkan grafik model penularan pada wilayah Kecamatan

Ngaliyan, jika dibuat pemetaan model penularan sebagai berikut :


73

Kecamatan Ngaliyan

SEMARANG BARAT

WONOS ARI

NGALIYAN # ##
##
##
TAMBAKAJI # PURW OYOSO
# #
#
GONDO RIYO #
#
# # #
# # #
#
# #
#
PODOREJO
## BRINGIN

# NGA LIYAN
#
WATES BAMB ANKEREP KALIPANCUR
# #

2 0 2 4 Miles

Cluster ngaliyan.txt
W E
#

# Separated ngaliyan.txt
Semarangbarat.shp
Ngaliyan.shp
S

Sumber : Data Primer Terolah

Gambar 4.5. Peta Model Penularan Kasus DBD Kecamatan Ngaliyan


74

5) Kecamatan Semarang Barat

Sebaran kasus DBD Kecamatan Semarang Barat memiliki jumlah

kasus DBD sebanyak 22 kasus terdapat 1 kasus alamat tidak sesuai

sehingga penemuan kasus cluster sebanyak 11 kasus (52%) dan

kasus separated 10 kasus (48%).

Tabel 4.27. Model Penularan Kecamatan Semarang Barat

Model Penularan Kasus %


Cluster 11 52
Separated 10 48
Jumlah 21 100
Sumber : Data Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2019

Berdasarkan grafik model penularan pada wilayah Kecamatan

Semarang Barat, jika dibuat pemetaan model penularan sebagai

berikut :
75

Kecamatan Semarang Barat

SEMARANG BARAT
TAWAN GSAR I

TAMBAK HAR JO # TAWAN GMAS


#
#
KROBOKAN
KROBOKAN

KARANG AYU #
CABEAN
KRAPYAK KALIBANTEN G SALAMAN#
KULON MLOYO #
BOJONG
# SALAMAN
GISIKD RONO # ## #
NGALIYAN # ##
#
BONGSARI
KEMBANGARUM
# #
# # NGEMPLAK
# SIMONGAN

MANYARAN

2 0 2 4 Miles

# Separated semarang barat.txt W E


# Cluster semarang barat.txt
Semarangbarat.shp
Ngaliyan.shp
S

Sumber : Data Primer Terolah

Gambar 4.6. Peta Model Penularan Kasus DBD

Kecamatan Semarang Barat


76

4. Determinan

a. Indikator Potensi Penularan

Indikator potensi penularan kasus DBD dapat di tentukan dari

keberadaan vektor dalam suatu wilayah melalui perhitungan HI, BI, CI dan

ABJ. Perhitungan Angka Bebas Jentik (ABJ) yang digunakan oleh petugas

kesehatan di Kota Semarang sebagai indikator potensi penularan DBD

dapat dilihat pada lampiran 15.

1) Kecamatan Tembalang

Angka Bebas Jentik (ABJ) di Kecamatan Tembalang dari bulan

Januari tahun 2018 sampai bulan Februari tahun 2019 memiliki nilai

dengan rata-rata 92,44 %. Nilai tertinggi pada bulan Oktober tahun

2018 dengan 94,73% dan terendah pada bulan Januari tahun 2018

dengan 89,13%. Nilai ABJ Kecamatan Tembalang pada setiap

bulannya masih di bawah standar minimum nilai ABJ yaitu 95%.

Kecamatan Tembalang
95

94

93

92

91

90

89

88
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jan Feb

Sumber : Data Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2019

Gambar 4.7. ABJ Kecamatan Tembalang Tahun 2018-2019

Kecamatan Tembalang Januari 2018 - Februari 2019

Hasil data ABJ dan kejadian DBD menunjukkan ada dan tidak

adanya hubungan yang saling mempengaruhi. Kecenderungan

presentase ABJ yang rendah maka kejadian DBD yang tinggi.


77

ABJ Kejadian DBD


95 50

45
94
40

93 35

30
92
25
91
20

90 15

10
89
5

88 0

Sumber : Data Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2019

Gambar 4.8. Hubungan ABJ dengan Kejadian DBD

Di Kecamatan Tembalang Tahun 2018-2019

2) Kecamatan Banyumanik

Angka Bebas Jentik (ABJ) di Kecamatan Banyumanik dari bulan

Januari tahun 2018 sampai bulan Februari tahun 2019 memiliki nilai

dengan rata-rata 89,92%. Nilai tertinggi pada bulan Mei tahun 2018

dengan 92,52% dan terendah pada bulan Januari tahun 2019 dengan

84,20%. Nilai ABJ Kecamatan Banyumanik pada setiap bulannya

masih di bawah standar minimum nilai ABJ yaitu 95%.

Kecamatan Banyumanik
95
94
93
92
91
90
89
88
87
86
85
84
83
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jan Feb

Sumber : Data Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2019

Gambar 4.9. ABJ Kecamatan Banyumanik Tahun 2018 – 2019


78

Hasil data ABJ dan kejadian DBD menunjukkan ada dan tidak

adanya hubungan yang saling mempengaruhi. Kecenderungan

presentase ABJ yang rendah maka kejadian DBD yang tinggi.

ABJ Kejadian DBD


95 60

50
92
40

89 30

20
86

10

83 0

Sumber : Data Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2019

Gambar 4.10. Hubungan ABJ dengan Kejadian DBD

di Kecamatan Banyumanik Tahun 2018-2019

3) Kecamatan Pedurungan

Angka Bebas Jentik (ABJ) di Kecamatan Pedurungan dari bulan

Januari tahun 2018 sampai bulan Februari tahun 2019 memiliki nilai

dengan rata-rata 93,06%. Nilai tertinggi pada bulan Oktober tahun

2018 dengan 96,75% dan terendah pada bulan Januari tahun 2019

dengan 88,66%. Nilai ABJ Kecamatan Pedurungan pada bulan Juli

tahun 2018 sampai bulan November melebihi standar minimum nilai

ABJ yaitu 95%.

Kecamatan Pedurungan
97

96

95

94

93

92

91

90

89

88

87
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jan Feb

Sumber : Data Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2019

Gambar 4.11. ABJ Kecamatan Pedurungan Tahun 2018-2019


79

Hasil data ABJ dan kejadian DBD menunjukkan ada dan tidak

adanya hubungan yang saling mempengaruhi. Kecenderungan

presentase ABJ yang rendah maka kejadian DBD yang tinggi.

ABJ Kejadian DBD


35
96
30

25

93
20

15

90
10

87 0

Sumber : Data Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2019

Gambar 4.12. Hubungan ABJ dengan Kejadian DBD

di Kecamatan Pedurungan Tahun 2018-2019

4) Kecamatan Ngaliyan

Angka Bebas Jentik (ABJ) di Kecamatan Ngaliyan dari bulan

Januari tahun 2018 sampai bulan Februari tahun 2019 memiliki nilai

dengan rata-rata 93,83%. Nilai tertinggi pada bulan Desember tahun

2018 dengan 96,68% dan terendah pada bulan Januari tahun 2018

dengan 88,19%. Nilai ABJ Kecamatan Ngaliyan pada bulan Juli tahun

2018 sampai bulan November melebihi standar minimum nilai ABJ

yaitu 95%.

Kecamatan Ngaliyan
97

96

95

94

93

92

91

90

89

88
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jan Feb

Sumber : Data Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2019

Gambar 4.13. ABJ Kecamatan Ngaliyan Tahun 2018-2019


80

Hasil data ABJ dan Sebaran DBD menunjukkan ada dan tidak

adanya hubungan yang saling mempengaruhi. Kecenderungan

presentase ABJ yang rendah maka kejadian DBD yang tinggi.

ABJ Kejadian DBD


97 25

20

94
15

10
91

88 0

Sumber : Data Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2019

Gambar 4.14. Hubungan ABJ dengan Kejadian DBD

di Kecamatan Tahun 2018-2019

5) Kecamaran Semarang Barat

Angka Bebas Jentik (ABJ) di Kecamatan Semarang Barat dari

bulan Januari tahun 2018 sampai bulan Februari tahun 2019 memiliki

nilai dengan rata-rata 91,01%. Nilai tertinggi pada bulan September

tahun 2018 dengan 93,12% dan terendah pada bulan Januari tahun

2018 87,86%. Nilai ABJ Kecamatan Semarang Barat pada setiap

bulannya masih di bawah standar minimum nilai ABJ yaitu 95%.

Kecamatan Semarang Barat


95

94

93

92

91

90

89

88

87
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jan Feb

Sumber : Data Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2019

Gambar 4.15. ABJ Kecamatan Semarang Barat Tahun 2018-2019


81

Hasil data ABJ dan kejadian DBD menunjukkan ada dan tidak

adanya hubungan yang saling mempengaruhi. Kecenderungan

presentase ABJ yang rendah maka kejadian DBD yang tinggi.

ABJ Kejadian DBD


12

10
93

90
4

87 0

Sumber : Data Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2019

Gambar 4.16. Hubungan ABJ dengan Kejadian DBD

di Kecamatan Semarang Barat Tahun 2018-2019

b. Kondisi Lingkungan Fisik

Kegiatan pengukuran lingkungan fisik dilakukan untuk mengetahui

kondisi lingkungan fisik rumah penderita berdasarkan data sebaran kasus

DBD pada periode 1 Januari sampai dengan 14 Februari 2019 di lima

kecamatan kasus tertinggi di Kota Semarang dapat dilihat pada lampiran

18. Dari jumlah 289 kasus atau kejadian DBD dengan alamat tidak sesuai

23 kasus sehingga didapatkan 136 kasus yang dapat dilakukan

pengukuran sedangkan 130 reponden tidak dapat dilakukan pengukuran.

1) Kecamatan Tembalang

a) Intensitas Cahaya

Kondisi lingkungan fisik penderita DBD dapat diketahui

dengan pengukuran intensitas cahaya. Pengukuran intensitas

cahaya digunakan untuk mengetahui intensitas cahaya di rumah

penderita DBD menggunakan alat luxmeter dengan satuan lux.

Pengukuran intensitas cahaya dilakukan waktu pagi dan siang

dengan cahaya matahari sedangkan waktu sore dan malam hari


82

dengan tambahan cahaya buatan. Intensitas cahaya yang diukur

menunjukkan hasil terendah 10 lux dan tertinggi 147 lux dengan

rata-rata 50,40 lux.

160

140

Intensitas Cahaya (Lux) 120

100

80

60

40

20

gd
h

n
sh

y
vr
k

d
v

y
ul

r
s

r
i

a
t

s
Rd

Ad

Sh
Lu

Ft
Al
Sh

Dh

Ab
Ez
Ra

Lt
Bg
Rz

Sl
Ad

Ad

Hl

Kh
Al
M

M
M

N
Sumber : Data Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2019

Gambar 4.17. Pengukuran Intensitas Cahaya Rumah Responden

di Kecamatan Tembalang

b) Suhu

Data Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun

Klimatologi Kota Semarang, suhu udara rata-rata bulanan pada

bulan Januari 2019 di wilayah Kota Semarang adalah 27,6°C yang

diukur pada satu tempat yaitu Stasiun Klimatologi Semarang.

Pengukuran suhu yang dilakukan dirumah responden bertujuan

untuk mengetahui besaran suhu udara yang berada di rumah

penderita menggunakan alat thermometer dengan satuan derajat

Celcius. Pengukuran suhu dilakukan pada waktu pagi sampai

malam sesuai dengan keberadaan responden di rumah. Hasil

pengukuran suhu menjukkan nilai terendah 28,9oC dan tertinggi

32,9oC dengan rata-rata 31,41oC.


83

34

33

32

Suhu (oC)
31

30

29

28

k
h

sh

d
d
ul

y
s

s
v
t

a
vr
i

y
i

s
v
f

r
Rd

Ad

Sh
Lu

Al
Ra

Bg

Lt
Ez

Ft
Dh
Sh

Ab
Rz

Hl

Al

Ng
Ad
Sl
Ad

Kh
M

M
M
Sumber : Data Primer Terolah

Gambar 4.18. Pengukuran Suhu Rumah Responden

di Kecamatan Tembalang

c) Kelembaban

Data Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun

Klimatologi Kota Semarang, kelembaban udara rata-rata bulanan

pada bulan Januari 2019 di wilayah Kota Semarang adalah 84%

yang diukur pada satu tempat yaitu Stasiun Klimatologi Semarang.

Pengukuran kelembaban yang dilakukan dirumah responden

bertujuan untuk mengetahui besaran kelembaban udara yang

berada di rumah penderita menggunakan alat hygrometer dengan

satuan Percent (%). Pengukuran kelembaban dilakukan pada

waktu pagi sampai malam sesuai dengan keberadaan responden

di rumah. Hasil pengukuran kelembaban nilai terendah 62% dan

tertinggi 74% dengan rata-rata 67,04%.


84

76

74

72

70

Kelembaban (%)
68

66

64

62

60

y
n
sh

d
ul

a
vr

d
s
l

s
v
t

k
i

s
y
v
f

r
Ad
Rd

Sh
Lu

Al
Ra

Bg

Lt
Ez

Ft
Ab
Dh
Rz
Sh

Al
Sl

Hl
Ad

Ng
Ad

Kh
M

M
M
Sumber : Data Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2019
Gambar 4.19. Pengukuran Kelembaban Rumah Responden

di Kecamatan Tembalang

d) Hubungan Intensitas Cahaya, Suhu dan Kelembaban

Hasil pengukuran antara intensitas cahaya, suhu, dan

kelembaban menunjukkan ada dan tidak adanya hubungan yang

saling mempengaruhi. Kecenderungan intensitas cahaya yang

rendah, suhu yang rendah maka kelembaban yang tinggi.

Intensitas Cahaya Suhu


160 34

140 33

120 32

100 31

80 30

60 29

40 28

20 27

0 26

Kelembaban
76

74

72

70

68

66

64

62

60

58

56

Sumber : Data Primer Terolah


Gambar 4.20. Hubungan Intensitas Cahaya, Suhu, dan Kelembaban

di Kecamatan Tembalang
85

2) Kecamatan Banyumanik

a) Intensitas Cahaya

Kondisi lingkungan fisik penderita DBD dapat diketahui

dengan pengukuran intensitas cahaya. Pengukuran intensitas

cahaya digunakan untuk mengetahui intensitas cahaya di rumah

penderita DBD menggunakan alat luxmeter dengan satuan lux.

Intensitas cahaya yang diukur menunjukkan hasil terendah 18 lux

dan tertinggi 178 lux dengan rata-rata 57,87 lux.

200

180

160

140
Intensitas Cahaya (Lux)

120

100

80

60

40

20

0
o

sp
r

k
d

n
kt
d

s
ta

t
z
i

i
a
Aff

An

Rd
Ab
An

Sp
Fu

Ag
Ad
Al
Fr
Ri

Al

Hl
O

U
Sumber : Data Primer Terolah

Gambar 4.21. Pengukuran Intensitas Cahaya Rumah Responden

di Kecamatan Banyumanik

b) Suhu

Data Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun

Klimatologi Kota Semarang, suhu udara rata-rata bulanan pada

bulan Januari 2019 di wilayah Kota Semarang adalah 27,6°C.

Pengukuran suhu udara hanya dilakukan pada satu tempat yaitu

Stasiun Klimatologi Semarang. Kondisi lingkungan fisik penderita

DBD dapat diketahui dengan pengukuran suhu. Pengukuran suhu

bertujuan untuk mengetahui besaran suhu udara yang berada di

rumah penderita menggunakan alat thermometer dengan satuan


86

derajat Celcius. Hasil pengukuran suhu nilai terendah 28,1oC dan

tertinggi 33,7oC dengan rata-rata 31,28 oC.

35

34

33

32

31
Suhu (oC)

30

29

28

27

26

kt

ta

s
o

t
z
i

i
a

i
d

k
Aff

An

Ab

Rd
Sp
Ag
An

Fu
Al
Al

Us
Ad

Hl
Ri

Fr

O
Sumber : Data Primer Terolah

Gambar 4.22. Pengukuran Suhu Rumah Responden

di Kecamatan Banyumanik

c) Kelembaban

Data Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun

Klimatologi Kota Semarang, kelembaban udara rata-rata bulanan

pada bulan Januari 2019 di wilayah Kota Semarang adalah 84%.

Pengukuran kelembaban udara hanya dilakukan pada satu tempat

yaitu Stasiun Klimatologi Semarang. Kondisi lingkungan fisik

penderita DBD dapat diketahui dengan pengukuran kelembaban.

Pengukuran kelembaban bertujuan untuk mengetahui besaran

suhu udara yang berada di rumah penderita menggunakan alat

hygrometer dengan satuan Percent (%). Hasil pengukuran

kelembaban nilai terendah 60% dan nilai tertinggi 76% dengan

rata-rata 66,21%.
87

78

76

74

72

Kelembaban (%)
70

68

66

64

62

60

58

kt

ta

gs

t
sp

z
la

r
i

i
d

n
k
Aff

Ab
An

Rd
Sp
An

Fu
Al

Ad

Hl
Ri

Fr
A

A
U
Sumber : Data Primer Terolah

Gambar 4.23. Pengukuran Kelembaban Rumah Responden

di Kecamatan Banyumanik

d) Hubungan Intensitas Cahaya, Suhu dan Kelembaban

Hasil pengukuran antara intensitas cahaya, suhu, dan kelembaban

menunjukkan ada dan tidak adanya hubungan yang saling

mempengaruhi. Kecenderungan intensitas cahaya yang tinggi,

suhu yang tinggi maka kelembaban yang rendah.

Intensitas Cahaya Suhu


200 40
180
35
160
30
140

120 25

100 20
80
15
60
10
40

20 5

0 0

Kelembaban
80

70

60

50

40

30

20

10

Sumber : Data Primer Terolah

Gambar 4.24. Hubungan Intensitas Cahaya, Suhu, dan Kelembaban

di Kecamatan Banyumanik
88

3) Kecamatan Pedurungan

a) Intensitas Cahaya

Kondisi lingkungan fisik penderita DBD dapat diketahui

dengan pengukuran intensitas cahaya. Pengukuran intensitas

cahaya digunakan untuk mengetahui intensitas cahaya di rumah

penderita DBD menggunakan alat luxmeter dengan satuan lux.

Intensitas cahaya yang diukur menunjukkan hasil terendah 23 lux

dan tertinggi 147 lux dengan rata-rata 64,81 lux.

160

140

120
Intensitas Cahaya (Lux)

100

80

60

40

20

0
m

m
a
au

g
ey

a
z

o
d

t
v

p
i
r

r
M l
z

n
Afi
Ha r

Iis
Va

Pu

Ad
El

Na
Rd
Pu
Nu

Sa
Ad

Ap
Re
Ri

Ag
Kh
Bb

Se
Ag
Th
Ar

Bi

Kh
M

Sumber : Data Primer Terolah

Gambar 4.25 Pengukuran Intensitas Cahaya Rumah Responden

di Kecamatan Pedurungan

b) Suhu

Data Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun

Klimatologi Kota Semarang, suhu udara rata-rata bulanan pada

bulan Januari 2019 di wilayah Kota Semarang adalah 27,6°C.

Pengukuran suhu udara hanya dilakukan pada satu tempat yaitu

Stasiun Klimatologi Semarang. Kondisi lingkungan fisik penderita

DBD dapat diketahui dengan pengukuran suhu. Pengukuran suhu

bertujuan untuk mengetahui besaran suhu udara yang berada di

rumah penderita menggunakan alat thermometer dengan satuan


89

derajat Celcius. Hasil pengukuran suhu nilai terendah 29,2oC dan

tertinggi 34,3oC dengan rata-rata 31,72 oC.

35

34

33

32
Suhu (oC)

31

30

29

28

m
a

a
au

g
t

t
z
ey

o
d

u
i
v

p
r

r
z

M l

Afi

Iis
Ha r

i
Va

Ad
Pu

Na
El
Pu

Rd
Sa
Nu

Ad

Ap
Ri

Re

Ag
Kh
Bb

Se
Ag
Th
Ar

Bi

Kh
M

Sumber : Data Primer Terolah

Gambar 4.26. Pengukuran Suhu Rumah Responden

di Kecamatan Pedurungan

c) Kelembaban

Data Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun

Klimatologi Kota Semarang, kelembaban udara rata-rata bulanan

pada bulan Januari 2019 di wilayah Kota Semarang adalah 84%.

Pengukuran kelembaban udara hanya dilakukan pada satu tempat

yaitu Stasiun Klimatologi Semarang. Kondisi lingkungan fisik

penderita DBD dapat diketahui dengan pengukuran kelembaban.

Pengukuran kelembaban bertujuan untuk mengetahui besaran

suhu udara yang berada di rumah penderita menggunakan alat

hygrometer dengan satuan Percent (%). Hasil pengukuran

kelembaban nilai terendah 61% dan tertinggi 76% dengan rata-rata

68,70%.
90

78

76

74

72

Kelembaban (%)
70

68

66

64

62

60

m
au
ey

a
z

g
t

t
d

u
v
z

i
n

p
j
r

Afi

r
r
M l

Iis
Va

Ad
Pu

Na
El
Pu

Rd
Sa
Nu

Ad

Ap
Ri

Re

Ag
Kh
Bb

Ag

Se
Th
Ar

Bi
Ha

Kh
M
Sumber : Data Primer Terolah

Gambar 4.27. Pengukuran Kelembaban Rumah Responden

di Kecamatan Pedurungan

d) Hubungan Intensitas Cahaya, Suhu dan Kelembaban

Hasil pengukuran antara intensitas cahaya, suhu, dan

kelembaban menunjukkan ada dan tidak adanya hubungan yang

saling mempengaruhi. Kecenderungan intensitas cahaya yang

tinggi, suhu yang tinggi maka kelembaban yang rendah.

Intensitas Cahaya Suhu


160 35

140 34

120 33

100 32

31
80
30
60
29
40
28
20
27
0
26

Kelembaban
80

70

60

50

40

30

20

10

Sumber : Data Primer Terolah

Gambar 4.28. Hubungan Intensitas Cahaya, Suhu, dan Kelembaban

di Kecamatan Pedurungan
91

4) Kecamatan Ngaliyan

a) Intensitas Cahaya

Kondisi lingkungan fisik penderita DBD dapat diketahui

dengan pengukuran intensitas cahaya. Pengukuran intensitas

cahaya digunakan untuk mengetahui intensitas cahaya di rumah

penderita DBD menggunakan alat luxmeter dengan satuan lux.

Intensitas cahaya yang diukur menunjukkan hasil terendah 22 lux

dan tertinggi 96 lux dengan rata-rata 51 lux.

120

100
Intensitas Cahaya (Lux)

80

60

40

20

0
Sla Daf Mik Dav Bag Deb Ade Sub Anz Nik Man Ard Zak Her Ame Mau

Sumber : Data Primer Terolah

Gambar 4.29. Pengukuran Intensitas Cahaya Rumah Responden

di Kecamatan Ngaliyan

b) Suhu

Data Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun

Klimatologi Kota Semarang, suhu udara rata-rata bulanan pada

bulan Januari 2019 di wilayah Kota Semarang adalah 27,6°C.

Pengukuran suhu udara hanya dilakukan pada satu tempat yaitu

Stasiun Klimatologi Semarang. Kondisi lingkungan fisik penderita

DBD dapat diketahui dengan pengukuran suhu. Pengukuran suhu

bertujuan untuk mengetahui besaran suhu udara yang berada di

rumah penderita menggunakan alat thermometer dengan satuan


92

derajat Celcius. Hasil pengukuran suhu nilai terendah 25,5oC dan

tertinggi 33 oC dengan rata-rata 29,94oC.

34

33

32

31

30
Suhu (oC)

29

28

27

26

25

24
Sla Daf Mik Dav Bag Deb Ade Sub Anz Nik Man Ard Zak Her Ame Mau

Sumber : Data Primer Terolah

Gambar 4.30. Pengukuran Suhu Rumah Responden

di Kecamatan Ngaliyan

c) Kelembaban

Data Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun

Klimatologi Kota Semarang, kelembaban udara rata-rata bulanan

pada bulan Januari 2019 di wilayah Kota Semarang adalah 84%.

Pengukuran kelembaban udara hanya dilakukan pada satu tempat

yaitu Stasiun Klimatologi Semarang. Kondisi lingkungan fisik

penderita DBD dapat diketahui dengan pengukuran kelembaban.

Pengukuran kelembaban bertujuan untuk mengetahui besaran

suhu udara yang berada di rumah penderita menggunakan alat

hygrometer dengan satuan Percent (%). Hasil pengukuran

kelembaban nilai terendah 67% dan tertinggi 89% dengan rata-rata

74,75%.
93

90
88
86
84
82

Kelembaban (%)
80
78
76
74
72
70
68
66
64
Sla Daf Mik Dav Bag Deb Ade Sub Anz Nik Man Ard Zak Her Ame Mau

Sumber : Data Primer Terolah

Gambar 4.31. Pengukuran Kelembaban Rumah Responden

di Kecamatan Ngaliyan

d) Hubungan Intensitas Cahaya, Suhu, dan Kelembaban

Hasil pengukuran antara intensitas cahaya, suhu, dan

kelembaban menunjukkan ada dan tidak adanya hubungan yang

saling mempengaruhi. Kecenderungan intensitas cahaya yang

tinggi, suhu yang tinggi maka kelembaban yang rendah.

Intensitas Cahaya Suhu


35
120
30
100
25
80
20
60
15
40
10
20
5
0

Kelembaban
100

90

80

70

60

50

40

30

20

10

Sumber : Data Primer Terolah

Gambar 4.32. Hubungan Intensitas Cahaya, Suhu, dan Kelembaban

di Kecamatan Ngaliyan
94

5) Kecamatan Semarang Barat

a) Intensitas Cahaya

Kondisi lingkungan fisik penderita DBD dapat diketahui

dengan pengukuran intensitas cahaya. Pengukuran intensitas

cahaya digunakan untuk mengetahui intensitas cahaya di rumah

penderita DBD menggunakan alat luxmeter dengan satuan lux.

Intensitas cahaya yang diukur menunjukkan hasil terendah 34 lux

dan tertinggi 120 lux dengan rata-rata 65 lux.

140

120

100
Intensitas Cahaya (Lux)

80

60

40

20

0
Sri Shi Sat Sud Kev Cha Ima Hil Bay Raf Eli Far Zar

Sumber : Data Primer Terolah

Gambar 4.33. Pengukuran Intensitas Cahaya Rumah Responden

di Kecamatan Semarang Barat

b) Suhu

Data Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun

Klimatologi Kota Semarang, suhu udara rata-rata bulanan pada

bulan Januari 2019 di wilayah Kota Semarang adalah 27,6°C.

Pengukuran suhu udara hanya dilakukan pada satu tempat yaitu

Stasiun Klimatologi Semarang. Kondisi lingkungan fisik penderita

DBD dapat diketahui dengan pengukuran suhu. Pengukuran suhu

bertujuan untuk mengetahui besaran suhu udara yang berada di

rumah penderita menggunakan alat thermometer dengan satuan


95

derajat Celcius. Hasil pengukuran suhu nilai terendah 28oC dan

tertinggi 32,3oC dengan rata-rata 29,78oC.

33

32

Suhu (oC) 31

30

29

28

27
Sri Shi Sat Sud Kev Cha Ima Hil Bay Raf Eli Far Zar

Sumber : Data Primer Terolah

Gambar 4.34. Pengukuran Suhu Rumah Responden

di Kecamatan Semarang Barat

c) Kelembaban

Data Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun

Klimatologi Kota Semarang, kelembaban udara rata-rata bulanan

pada bulan Januari 2019 di wilayah Kota Semarang adalah 84%.

Pengukuran kelembaban udara hanya dilakukan pada satu tempat

yaitu Stasiun Klimatologi Semarang. Kondisi lingkungan fisik

penderita DBD dapat diketahui dengan pengukuran kelembaban.

Pengukuran kelembaban bertujuan untuk mengetahui besaran

suhu udara yang berada di rumah penderita menggunakan alat

hygrometer dengan satuan Percent (%). Hasil pengukuran

kelembaban nilai terendah 65% dan tertinggi 87% dengan rata-rata

76,07%.
96

88
86
84
82
80

Kelembaban (%)
78
76
74
72
70
68
66
64
Sri Shi Sat Sud Kev Cha Ima Hil Bay Raf Eli Far Zar

Sumber : Data Primer Terolah

Gambar 4.35. Pengukuran Kelembaban Rumah Responden

di Kecamatan Semarang Barat

d) Hubungan Intensitas Cahaya, Suhu dan Kelembaban

Hasil pengukuran antara intensitas cahaya, suhu, dan

kelembaban menunjukkan ada dan tidak adanya hubungan yang

saling mempengaruhi. Kecenderungan intensitas cahaya yang

tinggi, suhu yang tinggi maka kelembaban yang rendah.

Intensitas Cahaya Suhu


140 33

120 32

31
100
30
80
29
60
28
40
27

20 26

0 25

Kelembaban
100

90

80

70

60

50

40

30

20

10

Sumber : Data Primer Terolah

Gambar 4.36. Hubungan Intensitas Cahaya, Suhu, dan Kelembaban

di Kecamatan Semarang Barat


97

c. Hubungan Curah Hujan, Kelembaban dan Kejadian DBD

Menurut data Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun

Klimatologi Kota Semarang diketahui curah hujan dan kelembaban udara

selama bulan Januari 2018 sampai dengan bulan Februari 2019 di lima

kecamatan kasus tertinggi kasus DBD dapat dilihat pada lampiran 14.

Intensitas curah hujan yang sedang sampai tinggi terjadi akhir dan awal

tahun pada musim penghujan kemudian menurun dengan intensitas

rendah sampai sedang pada pertengahan tahun pada musim kemarau.

1) Kecamatan Tembalang

Trend curah hujan bulanan Januari 2018 sampai dengan Februari

2019 di Kecamatan Tembalang dengan nilai terendah 0 mm pada

bulan Juli-Agustus 2018 dan tertinggi 421 mm pada bulan Februari

2018 dengan rata-rata 150,21 mm. Pengukuran curah hujan

menggunakan stasiun pengukur curah hujan di Kecamatan

Tembalang. Puncak curah hujan terjadi pada bulan Februari 2018

kemudian menurun sampai bulan Juli dan Agustus lalu terjadi

peningkatan intensitas dan memuncak pada bulan Januari 2019. Nilai

kelembaban udara terendah 67% dan tertinggi 86% dengan rata-rata

77,78%.

450

400

350

300

250

200

150

100

50

0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Spt Okt Nov Des Jan Feb

Kelembaban Curah Hujan

Sumber : Data BMKG Kota Semarang, 2019

Gambar 4.37. Curah Hujan di Kecamatan Tembalang tahun 2018-2019


98

Curah Hujan Kelembaban

500
100
90
400
80
70
300 60
50
200 40
30

100 20
10
0
0

Kejadian DBD

60

35

10

-15

Sumber : Data BMKG Kota Semarang, 2019

Gambar 4.38. Hubungan Curah Hujan, Kelembaban, dan Kejadian

DBD di Kecamatan Tembalang Januari 2018 – Februari 2019

Hasil pengukuran curah hujan, kelembaban dan data sebaran

kasus memiliki keterkaitan. Pada awal tahun kecenderungan curah

hujan tinggi, kelembaban naik sehingga kejadian kasus DBD tinggi.

2) Kecamatan Banyumanik

Trend curah hujan bulanan Januari 2018 sampai dengan Februari

2019 di Kecamatan Banyumanik dengan nilai terendah 0 mm pada

bulan Juli 2018 dan tertinggi 606 mm pada bulan Februari 2018

dengan rata-rata 184,85 mm. Pengukuran curah hujan menggunakan

stasiun pengukur curah hujan Tarubudaya Ungaran. Puncak curah

hujan terjadi pada bulan Februari 2018 kemudian menurun sampai

bulan Juli lalu terjadi peningkatan intensitas dan memuncak pada

bulan Januari 2019. Nilai kelembaban udara terendah 67% dan

tertinggi 86% dengan rata-rata 77,78%.


99

Kecamatan Banyumanik
650
600
550
500
450
400
350
300
250
200
150
100
50
0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jan Feb

Kelembaban Curah Hujan


Sumber : Data BMKG Kota Semarang, 2019

Gambar 4.39. Curah Hujan di Kecamatan Banyumanik tahun 2018-2019

Curah Hujan Kelembaban


750 100

90

80

70
500
60

50

40
250
30

20

10

0 0

Kejadian DBD
60

50

40

30

20

10

Sumber : Data BMKG Kota Semarang, 2019

Gambar 4.40. Hubungan Curah Hujan, Kelembaban, dan Kejadian

DBD di Kecamatan Banyumanik Januari 2018 – Februari 2019

Hasil pengukuran curah hujan, kelembaban dan data sebaran

kasus memiliki keterkaaitan. Pada awal tahun kecenderungan curah

hujan tinggi, kelembaban naik sehingga kejadian kasus DBD tinggi.

3) Kecamatan Pedurungan
100

Trend curah hujan bulanan Januari 2018 sampai dengan Februari

2019 di Kecamatan Pedurungan dengan nilai terendah 0 mm pada

bulan Agustus 2018 dan tertinggi 633 mm pada bulan Februari 2018

dengan rata-rata 173,75 mm. Pengukuran curah hujan menggunakan

stasiun pengukur curah hujan di Kecamatan Pedurungan. Puncak

curah hujan terjadi pada bulan Februari 2018 kemudian menurun

sampai bulan Agustus lalu terjadi peningkatan intensitas dan

memuncak pada bulan Januari 2019. Nilai kelembaban udara terendah

67% dan tertinggi 86% dengan rata-rata 77,78%.

Kecamatan Pedurungan
650
600
550
500
450
400
350
300
250
200
150
100
50
0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jan Feb

Kelembaban Curah Hujan


Sumber : Data BMKG Kota Semarang, 2019

Gambar 4.41. Curah Hujan di Kecamatan Pedurungan tahun 2018-2019


Curah Hujan Kelembaban
800 100

90

80
600
70

60

400 50

40

30
200
20

10

0 0

Kejadian DBD
35

30

25

20

15

10

0
101

Sumber : Data BMKG Kota Semarang, 2019


Gambar 4.42. Hubungan Curah Hujan, Kelembaban, dan Kejadian

DBD di Kecamatan Pedurungan Januari 2018 – Februari 2019

Hasil pengukuran curah hujan, kelembaban dan data sebaran

kasus memiliki keterkaaitan. Pada awal tahun kecenderungan curah

hujan tinggi, kelembaban naik sehingga kejadian kasus DBD tinggi.

4) Kecamatan Ngaliyan

Trend curah hujan bulanan Januari 2018 sampai dengan Februari

2019 di Kecamatan Ngaliyan dengan nilai terendah 0 mm pada bulan

Juli 2018 dan tertinggi 677 mm pada bulan Februari 2018 dengan rata-

rata 199,21 mm. Pengukuran curah hujan menggunakan stasiun

pengukur curah hujan di Kecamatan Ngaliyan. Puncak curah hujan

terjadi pada bulan Februari 2018 kemudian menurun sampai bulan Juli

dan Agustus lalu terjadi peningkatan intensitas dan memuncak pada

bulan Januari 2019. Nilai kelembaban udara terendah 67% dan

tertinggi 86% dengan rata-rata 77,78%.


Kecamatan Ngaliyan
700
650
600
550
500
450
400
350
300
250
200
150
100
50
0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jan Feb

Kelembaban Curah Hujan

Sumber : Data BMKG Kota Semarang, 2019

Gambar 4.43. Curah Hujan di Kecamatan Ngaliyan tahun 2018-2019

Curah Hujan Kelembaban


800 100

700 90

80
600
70
500
60

400 50

300 40

30
200
0 0

102

Kejadian DBD
25

20

15

10

Sumber : Data BMKG Kota Semarang, 2019

Gambar 4.44. Hubungan Curah Hujan, Kelembaban, dan Kejadian

DBD di Kecamatan Ngaliyan Januari 2018 – Februari 2019

Hasil pengukuran curah hujan, kelembaban dan data sebaran

kasus memiliki keterkaitan. Pada awal tahun kecenderungan curah

hujan tinggi, kelembaban naik sehingga kejadian kasus DBD tinggi.

5) Kecamatan Semarang Barat

Trend curah hujan bulanan Januari 2018 sampai dengan Februari

2019 di Kecamatan Semarang Barat dengan nilai terendah 0 mm pada

bulan Juli-Agustus 2018 dan tertinggi 538 mm pada bulan Februari

2018 dengan rata-rata 179,78 mm. Pengukuran curah hujan

menggunakan stasiun pengukur curah hujan STA Klimatologi BMKG.

Puncak curah hujan terjadi pada bulan Februari 2018 kemudian

menurun sampai bulan Juli dan Agustus lalu terjadi peningkatan

intensitas dan memuncak pada bulan Januari 2019. Nilai kelembaban

udara terendah 67% dan tertinggi 86% dengan rata-rata 77,78%.


103

Kecamatan Semarang Barat


550
500
450
400
350
300
250
200
150
100
50
0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jan Feb

Kelembaban Curah Hujan Column1


Sumber : Data BMKG Kota Semarang, 2019
Gambar 4.45. Curah Hujan di Kecamatan Semarang Barat

Tahun 2018-2019

Curah Hujan Kelembaban


600 100

90
500
80

70
400
60

300 50

40
200
30

20
100
10

0 0

Kejadian DBD
12

10

Sumber : Data BMKG Kota Semarang, 2019

Gambar 4.46. Hubungan Curah Hujan, Kelembaban, dan Kejadian

DBD di Kecamatan Semarang Barat Januari 2018 – Februari 2019

Hasil pengukuran curah hujan, kelembaban dan data sebaran

kasus memiliki keterkaaitan. Pada awal tahun kecenderungan curah

hujan tinggi, kelembaban naik sehingga kejadian kasus DBD tinggi.


104

d. Siklus Kasus DBD

Potensi permasalah jumlah dan kepadatan penduduk yang besar

dapat mengakibatkan beban yang sangat berat untuk mencukupi

kebutuhan kesehatan. Data Dinas Kesehatan Kota Semarang diperoleh

angka kasus DBD pada lima kecamatan kasus tertinggi di Kota Semarang

hasil dari uji laboratorium rumah sakit tercatat pada tahun 2014 sampai

dengan 2019 sebagai berikut :

350

300

250
Tahun 2014 - 2019
Kasus DBD

200

150

100

50

0
2014 2015 2016 2017 2018 2019
Sumber : Data Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2019

Gambar 4.47. Kasus DBD di Lima kecamatan kasus tertinggi Kota

Semarang Tahun 2014-2019

Perkembangan angka kasus DBD pada lima kecamatan kasus

tertinggi kasus DBD pada tahun 2014-2019, cenderung mengalami

penurunan setelah tahun 2015 dan mulai naik pada awal tahun 2019.

Kasus DBD pertahun rata-rata berkisar antara 41-199 kasus dengan

kasus perbulan antara 17-83 kasus dapat dilihat pada Tabel 4.28.
105

Tabel 4.28. Rata-rata Distribusi Kasus DBD Lima kecamatan kasus

tertinggi Kota Semarang Tahun 2014-2019

Tahun 2014 2015 2016 2017 2018 2019


Jumlah Kasus 900 992 280 202 272 289
Rata-Rata per tahun 180 199 56 41 55 58
Rata-Rata per bulan 75 83 24 17 23 25
Sumber : Data Sekunder Terolah

5. Hasil Pengukuran

a. Trombosit

Pemeriksaan darah sangat bermanfaat dalam pemantauan kondisi

penderita dan penegakan kasus DBD. Berdasarkan WHO, jumlah

trombosit yang rendah (trombositopenia) dan kebocoran plasma yang

ditandai dengan hemokonsentrasi merupakan indikator paling penting

dalam penentuan DBD. Data trombosit penderita DBD diketahui melalui

hasil observasi pada penderita yang bersedia menjadi responden berupa

wawancara.

1) Kecamatan Tembalang

Trombosit responden di Kecamatan Tembalang memiliki jumlah

trombosit terendah 18.000 sel/mm3 dan tertinggi 150.000 sel/mm3

dengan rata-rata 57.404,26 sel/mm3. Hasil tersebut memperlihatkan

bahwa semua responden Kecamatan Tembalang memiliki jumlah

trombosit di bawah normal 150.000 sel/mm3.


106

Trombosit (sel/mm3)
160000
150000
140000
130000
120000
110000
100000
90000
80000
70000
60000
50000
40000
30000
20000
10000
0

y
n
sh

d
ul

a
vr

d
s

s
v
t
l

k
i

s
y
v
f

r
Ad
Rd

Sh
Lu

Al
Ra

Bg

Ft

Lt
Ez
Dh

Ab
Rz
Sh

Al
Sl

Hl

Ng
Ad

Ad

Kh
M

M
M
Sumber : Data Primer Terolah

Gambar 4.48. Trombosit Reponden

Kecamatan Tembalang Tahun 2019

2) Kecamatan Banyumanik

Trombosit responden di Kecamatan Banyumanik memiliki jumlah

trombosit terendah 10.000 sel/mm3 dan tertinggi 135.000 sel/mm3

dengan rata-rata 67.000 sel/mm3. Hasil tersebut memperlihatkan

bahwa semua responden Kecamatan Banyumanik memiliki jumlah

trombosit di bawah normal 150.000 sel/mm3.

Trombosit (sel/mm3)
150000
140000
130000
120000
110000
100000
90000
80000
70000
60000
50000
40000
30000
20000
10000
o

kt

ta

t
z

s
a

p
i

i
d

n
k
Aff

An

Ab

Rd
Sp
Ag
An

Fu
Al

Al

Ad

Us
Hl
Ri

Fr

Sumber : Data Primer Terolah

Gambar 4.49. Trombosit Reponden

Kecamatan Banyumanik Tahun 2019


107

3) Kecamatan Pedurungan

Trombosit responden di Kecamatan Pedurungan memiliki jumlah

trombosit terendah 34.000 sel/mm3 dan tertinggi 174.000 sel/mm3

dengan rata-rata 75.444,44 sel/mm3. Hasil tersebut memperlihatkan

bahwa semua responden Kecamatan Pedurungan memiliki jumlah

trombosit di bawah normal 150.000 sel/mm3 namun terdapat 1

responden yang jumlah trombosit mempunyai trombosit normal.

Trombosit (sel/mm3)
180000
170000
160000
150000
140000
130000
120000
110000
100000
90000
80000
70000
60000
50000
40000
30000
20000
m

m
t

t
a

a
z
ey

au

j
o
d

i
v

p
r
z

r
M l

Afi
r

Iis
g

u
Va

Pu

Ad
El

Na
Pu

Rd
Sa
Nu

Ad

Ap
Ri

Ag
Re

Kh

Se
Th

Bi
Ar

Bb
Ha

Ag

Kh
M

Sumber : Data Primer Terolah

Gambar 4.50. Trombosit Reponden

Kecamatan Pedurungan Tahun 2019

4) Kecamatan Ngaliyan

Trombosit responden di Kecamatan Ngaliyan memiliki jumlah

trombosit terendah 5.000 sel/mm3 dan tertinggi 150.000 sel/mm3

dengan rata-rata 54.812,5 sel/mm3. Hasil tersebut memperlihatkan

bahwa semua responden Kecamatan Ngaliyan memiliki jumlah

trombosit di bawah normal 150.000 sel/mm3.


108

Trombosit (sel/mm3)
150000
140000
130000
120000
110000
100000
90000
80000
70000
60000
50000
40000
30000
20000
10000
0
Sla Daf Mik Dav Bag Deb Ade Sub Anz Nik Mau Ard Zak Her Ame Mau

Sumber : Data Primer Terolah

Gambar 4.51. Trombosit Reponden

Kecamatan Ngaliyan Tahun 2019

5) Kecamatan Semarang Barat

Trombosit responden di Kecamatan Semarang Barat memiliki

jumlah trombosit terendah 22.000 sel/mm3 dan tertinggi 105.000

sel/mm3 dengan rata-rata 54.076,92 sel/mm3. Hasil tersebut

memperlihatkan bahwa semua responden Kecamatan Semarang Barat

memiliki jumlah trombosit di bawah normal 150.000 sel/mm3.

Trombosit (sel/mm3)
110000
100000
90000
80000
70000
60000
50000
40000
30000
20000
10000
0
Sri Shi Sat Sud Kev Cha Ima Hil Bay Raf Eli Far Zar

Sumber : Data Primer Terolah

Gambar 4.52. Trombosit Reponden

Kecamatan Semarang Barat Tahun 2019


109

b. Hasil Wawancara

Wawancara terhadap penderita DBD merupakan bagian dari

pengumpulan data dari kegiatan observasi untuk mengetahui faktor-faktor

lain yang dapat mempengaruhi sebaran dari kasus DBD di masing-masing

wilayah kecamatan. Kegiatan wawancara menggunakan data kegiatan

observasi pada penderita yang bersedia menjadi responden dalam

pengumpulan data dapat dilihat pada lampiran 16.

1) Rentang Waktu Sakit

Responden pada lima kecamatan kasus tertinggi kasus DBD di

Kota Semarang dapat mengetahui positif DBD rata-rata dalam waktu

4-5 hari setelah terjadinya demam dan lama sakit rata-rata 7 hari.

Tabel 4.29. Rentang Waktu Sakit Responden DBD

Jumlah Penegakan Diagnosa Lama Sakit


No. Nama Wilayah
Responden (Rata-rata) (Rata-rata)
1 Kecamatan
47 4 hari 7 hari
Tembalang
2 Kecamatan
33 4 hari 7 hari
Banyumanik
3 Kecamatan
27 4 hari 7 hari
Pedurungan
4 Kecamatan
16 5 hari 7 hari
Ngaliyan
5 Kecamatan
13 4 hari 7 hari
Semarang Barat
Sumber : Data Primer Terolah

2) Mobilitas Responden

Informasi mengenai potensi penularan horizontal DBD diperoleh

dari hasil wawancara terkait dengan riwayat perjalanan/mobilitas

responden selama 1 minggu sebelum menderita DBD. Responden

yang menderita DBD pada lima kecamatan kasus tertinggi kasus DBD

di Kota Semarang memiliki tingkat mobilitas yang tinggi diatas 80%

sehingga memungkinkan terjadi penularan DBD secara horizontal.


110

Tabel 4.30. Mobilitas Responden DBD

Jumlah Mobilitas
No. Nama Wilayah % Keterangan
Responden Ya Tidak
1. Kecamatan
47 40 7 85% Tinggi
Tembalang
2. Kecamatan
33 30 3 90% Tinggi
Banyumanik
3. Kecamatan
27 23 4 85% Tinggi
Pedurungan
4. Kecamatan
16 14 2 87% Tinggi
Ngaliyan
5. Kecamatan
13 11 2 84% Tinggi
Semarang Barat
Sumber : Data Primer Terolah
BAB V

PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum

1. Geografi

a. Kota Semarang

Kota Semarang terletak antara garis 6°50’ - 7°10’ Lintang Selatan dan

garis 109°35’ - 110°50’ Bujur Timur dengan batas sebelah Barat dengan

Kabupaten Kendal, sebelah Timur dengan Kabupaten Demak, sebelah Selatan

dengan Kabupaten Semarang dan sebelah Utara dibatasi oleh Laut Jawa.

Kota Semarang terletak pada ketinggian antara 0,75 sampai dengan 348 di

atas garis pantai. WHO 2001, wilayah dengan ketinggian yang rendah (<500

meter) memiliki tingkat kepadatan nyamuk sedang sampai berat sehingga

waktu terhadap penularan DBD sangat cepat.

b. Lima kecamatan kasus tertinggi DBD

Kota Semarang terbagi dalam 16 kecamatan 177 kelurahan dengan lima

kecamatan yang menjadi kecamatan tertinggi kasus DBD.

1) Kecamatan Tembalang

Secara geografis Kecamatan Tembalang terletak pada ketinggian

±125 m diatas permukaan laut. Dengan ketinggian yang kurang dari 500

meter memiliki tingkat kepadatan nyamuk yang sedang sampai berat.

2) Kecamatan Banyumanik

Secara geografis Kecamatan Banyumanik terletak pada ketinggian ±

300 m diatas permukaan laut. Dengan ketinggian yang kurang dari 500

meter memiliki tingkat kepadatan nyamuk yang sedang sampai berat.

111
112

3) Kecamatan Pedurungan

Secara geografis Kecamatan Pedurungan terletak pada ketinggian ±5

m diatas permukaan laut. Dengan ketinggian yang kurang dari 500 meter

memiliki tingkat kepadatan nyamuk yang sedang sampai berat.

4) Kecamatan Ngaliyan

Secara geografis Kecamatan Ngaliyan terletak pada ketinggian ±14

m diatas permukaan laut. Dengan ketinggian yang kurang dari 500 meter

memiliki tingkat kepadatan nyamuk yang sedang sampai berat.

5) Kecamatan Semarang Barat

Secara geografis Kecamatan Semarang Barat terletak pada

ketinggian ±4 m diatas permukaan laut. Dengan ketinggian yang kurang

dari 500 meter memiliki tingkat kepadatan nyamuk yang sedang sampai

berat.

Kondisi geografis di lima kecamatan menyebabkan kondisi lingkungan yang

optimal dalam kehidupan nyamuk, sehingga populasi akan cepat. Dengan

demikian dapat memperbesar kontak dengan manusia sehingga dampak resiko

penularannya semakin besar. Selain itu, faktor lingkungan fisik seperti suhu,

kelembaban dan curah hujan merupakan faktor yang sangat mendukung hidup

nyamuk. Selain itu, daya dukung yang melimpah menyebabkan kasus selalu ada

setiap tahun dan merupakan daerah yang endemis. Wilayah yang terdapat

penderita DBD memiliki potensi terjadinya indeks kasus lain melalui penularan

melalui gigitan nyamuk (horizontal) lebih tinggi karena wilayah tersebut terdapat

sumber penularan virus dengue (Dirjen P2Pl, 2007, h.30).

2. Demografi

a. Kota Semarang

Kasus DBD merupakan penyakit yang terjadi di wilayah perkotaan karena

tingginya kepadatan pemukiman di wilayah tersebut ditambah lagi dengan


113

adanya tempat perindukan yang potensial bagi nyamuk Aedes aegypti (vektor

DBD) sehingga kondisi ini memudahkan terjadinya penularan kasus DBD di

perkotaan (Mishra & Kumar, 2011 dan Guha-Sapir & Schimmer, 2015 dalam

Erna K, 2012 h.104).

Luas wilayah Kota Semarang sebesar 373 km2 dengan jumlah penduduk

sebesar 1.610.605 jiwa. Ditinjau dari kepadatan penduduknya dapat dibagi

menjadi lima kategori yaitu kepadatan sangat rendah (<100 jiwa/km 2),

kepadatan rendah (100-199 jiwa/km2), kepadatan menengah (200-799

jiwa/km2), kepadatan tinggi (800-1.199 jiwa/km2), dan kepadatan sangat tinggi

(>1.200 jiwa/km2). (Valentina, 2017, h.44).

Kepadatan penduduk Kota Semarang dikatakan sangat tinggi mencapai

4317,98 jiwa/km2 karena lebih dari 1.200 jiwa/km2. Selama lima tahun terakhir,

pertumbuhan penduduk Kota Semarang selalu bernilai positif selama kurun

waktu tersebut namun laju pertumbuhan penduduk dari tahun ke tahun

semakin melambat. Faktor resiko penyakit berakar pada faktor kependudukan

dapat mengurangi atau menambah risiko terjadinya penyakit itu sendiri

(Ahmadi, 2012). Hal ini dapat diartikan kepadatan penduduk mempengaruhi

proses dan rentang waktu penularan penyakit dari satu orang ke orang lain

melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti (vektor DBD).

b. Lima kecamatan kasus tertinggi DBD

Kota Semarang terbagi dalam 16 kecamatan 177 kelurahan dengan lima

kecamatan yang menjadi kecamatan tertinggi kasus DBD.

1) Kecamatan Tembalang

Secara demografi Kecamatan Tembalang mempunyai 12 kelurahan

dengan luas wilayah 44,2 km2 dan jumlah penduduk 161.466 jiwa sehingga

kepadatan penduduknya 3.652 jiwa/km2. Dengan kepadatan lebih dari

1.200 jiwa/km2 dapat dikatakan kepadatan penduduknya sangat tinggi.


114

2) Kecamatan Banyumanik

Secara demografi Kecamatan Banyumanik mempunyai 11 kelurahan

dengan luas wilayah 25,69 km2 dan jumlah penduduk 134.769 jiwa

sehingga kepadatan penduduknya 5.246 jiwa/km2. Dengan kepadatan

lebih dari 1.200 jiwa/km2 dapat dikatakan kepadatan penduduknya sangat

tinggi.

3) Kecamatan Pedurungan

Secara demografi Kecamatan Pedurungan mempunyai 12 kelurahan

dengan luas wilayah 25,29 km2 dan jumlah penduduk 182.928 jiwa

sehingga kepadatan penduduknya 8.829 jiwa/km2. Dengan kepadatan

lebih dari 1.200 jiwa/km2 dapat dikatakan kepadatan penduduknya sangat

tinggi.

4) Kecamatan Ngaliyan

Secara demografi Kecamatan Ngaliyan mempunyai 10 kelurahan

dengan luas wilayah 37,99 km2 dan jumlah penduduk 126.756 jiwa

sehingga kepadatan penduduknya 3.652 jiwa/km2. Dengan kepadatan

lebih dari 1.200 jiwa/km2 dapat dikatakan kepadatan penduduknya sangat

tinggi.

5) Kecamatan Semarang Barat

Secara demografi Kecamatan Semarang Barat mempunyai 16

kelurahan dengan luas wilayah 21,74 km2 dan jumlah penduduk 157.369

jiwa sehingga kepadatan penduduknya 3.652 jiwa/km2. Dengan kepadatan

lebih dari 1.200 jiwa/km2 dapat dikatakan kepadatan penduduknya sangat

tinggi.

Kepadatan lima kecamatan dikatakan sangat tinggi karena lebih dari 1.200

jiwa/km2. Jumlah penduduk dan kepadatan penduduk mempengaruhi proses dan

rentang waktu penularan penyakit dari satu orang ke orang lain melalui gigitan
115

nyamuk Aedes aegypti (vektor DBD). Semakin tingginya kepadatan penduduk

pada suatu wilayah kecamatan maka semakin besar potensi penularannya. Oleh

karena itu, pemahaman terhadap faktor risiko penyakit yang berakar pada faktor

kependudukan (luas wilayah, jumlah penduduk dan kepadatan penduduk), dapat

mengurangi risiko terjadinya penularan DBD.

B. Gambaran Khusus

1. Kasus DBD

Data Dinas Kesehatan Kota Semarang didapatkan hasil bahwa kejadian

kasus DBD di lima kecamatan kasus tertinggi kasus DDB selama 1 Januari

sampai dengan 14 Februari 2019 sebanyak 289 kasus. Jumlah kasus DBD setiap

kecamatan yaitu Kecamatan Tembalang 89 kasus (31%), Kecamatan Banyumanik

85 kasus (29%), Kecamatan Pedurungan 85 kasus (21%), Kecamatan Ngaliyan

32 kasus (11%) dan Kecamatan Semarang Barat 22 kasus (8%). Dari 289 kasus

DBD terdapat 2 kasus yang dinyatakan meninggal yaitu di Kecamatan

Banyumanik 1 kasus dan Kecamatan Ngaliyan 1 kasus.

Kepadatan penduduk pada suatu wilayah sangat berperan aktif terhadap

penularan suatu penyakit terutama DBD. Kepadatan penduduk berpengaruh

terhadap proses penularan atau pemindahan virus dengue dari satu orang ke

orang lainnya. Dimana kepdatan penduduk yang tinggi akan mempermudah

terjadinya transmisi virus dengueoleh vektor nyamuk Aedes aegypti sehingga

jumlah insiden kasus di daerah yang berpenduduk padat akan meningkat.

Kepadatan penduduk pada setiap kecamatan tahun 2018 tercatat sebesar

Kecamatan Tembalang 3.653 jiwa/km2, Kecamatan Banyumanik 5.246 jiwa/km2,

Kecamatan Pedurungan 8.829 jiwa/km2, Kecamatan Ngaliyan 3.337 jiwa/km2, dan

Kecamatan Semarang Barat7.239 jiwa/km2 dapat dikategorikan memiliki

kepadatan penduduk yang tinggi karena lebih dari 1.200 jiwa/km2.


116

Kondisi rumah pada setiap kecamatan termasuk dalam lingkungan dengan

jarak lingkungan yang cukup padat. Kondisi tersebut dapat menimbulkan

terjadinya penularan kasus positif pada setiap kecamatan. Kependudukan dengan

berbagai variabel di dalamnya seperti budaya, kepadatan, perilaku penduduk,

umur penduduk, jenis kelaimn, dikenal sebagai determinan kesehatan atau faktor

risiko yang berperan timbulnya penyakit (Achmadi, 2008 dalam Erna K, 2012, h.2).

Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas selama 2-7 hari di

diagnosis sebagai DBD (WHO, 1997). Berdasarkan hasil wawancara peneliti

mendapatkan informasi bahwa penderita DBD yang meninggal karena adanya

kesalahan dan keterlambatan diagnosis DBD. Pada awalnya penderita

diperiksakan pada dokter keluarga atau puskesmas di diagnosis menderita

demam thypoid (tipus). Selang waktu 3 hari baru diketahui bahwa penderita sakit

DBD dengan trombosit <50.000 sel/mm3. Selang beberapa waktu penderita

dinyatakan meninggal.

Pengetahuan mengenai DBD, vektor penyebabnya serta faktor yang

mempengaruhi penularan DBD sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya

penularan penyakit DBD serta menekan perkembangan dan pertumbuhan jentik

nyamuk. Perlu adanya teknologi penegasan terhadap seseorang yang positif

menderita DBD kurang dari 3 hari dikarenakan sejauh ini waktu yang digunakan

untuk penagasan cukup lama sehingga dalam penaganan penderita DBD kurang

maksimal.

2. Karakteristik Penderita

Karakteristik setiap individu secara tidak langsung memberikan perbedaan

pada keadaan maupun reaksi terhadap keterpaparan suatu penyakit. Dari jumlah

kasus DBD di lima kecamatan kasus tertinggi di Kota Semarang dapat

dikategorikan karakteristik penderita DBD yaitu usia dan jenis kelamin.

a. Umur

1) Kecamatan Tembalang
117

Kasus DBD Kecamatan Tembalang menurut kelompok usia

menunjukkan bahwa penyakit DBD diderita oleh seluruh kelompok usia

namun paling banyak di derita oleh kelompok usia 6-19 tahun sebanyak 49

orang dengan presentase sebesar 55%.

2) Kecamatan Banyumanik

Kasus DBD Kecamatan Banyumanik menurut kelompok usia

menunjukkan bahwa penyakit DBD diderita oleh seluruh kelompok usia

namun paling banyak di derita oleh kelompok usia 6-19 tahun sebanyak 49

orang dengan presentase sebesar 58%.

3) Kecamatan Pedurungan

Kasus DBD Kecamatan Pedurungan menurut kelompok usia

menunjukkan bahwa penyakit DBD diderita oleh seluruh kelompok usia

namun paling banyak di derita oleh kelompok usia 6-19 tahun sebanyak 31

orang dengan presentase sebesar 51%.

4) Kecamatan Ngaliyan

Kasus DBD Kecamatan Ngaliyan menurut kelompok usia

menunjukkan bahwa penyakit DBD diderita oleh seluruh kelompok usia

namun paling banyak diderita oleh kelompok usia 6-19 th tahun sebanyak

14 orang dengan presentase sebesar 43%.

5) Kecamatan Semarang Barat

Kasus DBD Kecamatan Semarang Barat menurut kelompok usia

menunjukkan bahwa penyakit DBD diderita oleh seluruh kelompok usia

namun paling banyak diderita oleh kelompok usia 6-19 tahun sebanyak 13

orang dengan presentase sebesar 59%.

Umur/usia merupakan salah satu karakteristik yang dapat mempengaruhi

kondisi suatu masalah kesehatan atau penyakit, karena umur sangat

berpengaruh terhadap tingkat keterpaparan besarnya resiko serta sifat resisten


118

tertentu (Bustan dan Arsunan tahun 1997 dalam Farida K, 2016). Witchmann

et al (2004 dalam Erna K, 2012 h.109) melakukan penelitian mengenai infeksi

dengue di Chonburi, Thailand bahwa dari 179 pasien yang menderita DBD

terdapat 138 pasien usia kurang dari 15 tahun dan 41 pasien diatas 15 tahun.

Hasil data sekunder kasus DBD lima kecamatan kasus tertinggi Kota

Semarang sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan beberapa peneliti

sebelumnya, dimana kasus DBD menyerang individu rentan usia anak-anak

dan remaja (6-19 tahun). Kelompok umur usia pelajar (6-19 tahun)

berpengaruh terhadap keterpaparan besarnya resiko karena menunjukkan

awal demam (gejala DBD) berada di sekolah dan diharapkan pihak

Puskesmas melakukan penyelidikan epidemiologi pada sekolah-sekolah.

b. Jenis Kelamin

1) Kecamatan Tembalang

Kasus DBD Kecamatan Tembalang menurut kelompok jenis kelamin

menunjukkan adanya perbedaan jenis kelamin banyak diderita oleh jenis

kelamin perempuan dengan jumlah 45 orang dengan presentase 51%.

2) Kecamatan Banyumanik

Kasus DBD Kecamatan Banyumanik menurut kelompok jenis kelamin

menunjukkan adanya perbedaan jenis kelamin banyak diderita oleh jenis

kelamin laki-laki dengan jumlah 46 orang dengan presentase 54%.

3) Kecamatan Pedurungan

Kasus DBD Kecamatan Pedurungan menurut kelompok jenis kelamin

menunjukkan adanya perbedaan jenis kelamin banyak diderita oleh jeenis

kelamin laki-laki dengan jumlah 32 orang dengan presentase 52%.

4) Kecamatan Ngaliyan

Kasus DBD Kecamatan Ngaliyan menurut kelompok jenis kelamin

menunjukkan adanya perbedaan jenis kelamin banyak diderita oleh jenis

kelamin laki-laki dengan jumlah 13 orang dengan presentase 59%.


119

5) Kecamatan Semarang Barat

Kasus DBD Kecamatan Semarang Barat menurut kelompok jenis

menunjukkan jumlah yang sama antara jenis kelamin laki-laki dan jenis

kelamin perempuan dengan jumlah 11 orang dengan presentase 50%.

Penelitian Nunung Pelu (2014 dalam Farida K, 2012 h.61) bahwa

penderita DBD lebih banyak laki-laki dikarenakan lebih sering beraktivitas di

luar jika di bandingkan dengan perempuan terutama pada usia anak-anak dan

remaja. Halstead menyatakan bahwa jumlah penderita DBD yang berjenis

kelamin laki-laki lebih banyak daripada perempuan karena adanya faktor

imunitas dalam tubuh. Perempuan memiliki respon imun yang lebih baik

daripada respon imun laki-laki dikarenakan produksi Cytokine lebih besar yang

merupakan hormon dalam pengaturan intensitas dan durasi respon imun

dalam tubuh seseorang (Guha-Sapir & Scimmer 2005 dalam Erna K, 2012

h.108).

Hasil data sekunder kasus DBD di lima kecamatan kasus tertinggi Kota

Semarang sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa

peneliti lainnya, dimana DBD lebih banyak menyerang laki-laki dari pada

perempuan. Di samping itu terdapat penyebab lain mengapa jumlah penderita

DBD lebih banyak laki-laki daripada perempuan di daerah penelitian

dimungkinkan berkaitan dengan jumlah penduduk laki-laki tercatat lebih

banyak dari pada perempuan. Hasil observasi dinyatakan bahwa penularan

DBD pada jenis kelamin tergantung dari pekerjaannya. Waktu aktifitas sama

dengan waktu siklus dari vektor penular mengakibatkan tergigit vektor

penularan lebih sering sehingga disarankan untuk menggunakan perlindungan

terutama pada wilayah yang endemis kasus.


120

3. Sebaran Kasus

WHO 2001, persebaran nyamuk Aedes aegypti (vektor DBD) pada suatu

wilayah dipengaruhi beberapa faktor termasuk ketersediaan tempat bertelur dan

tempat mencari makan, namun terbatas dengan jarak terbang dari nyamuk

tersebut. Nyamuk dapat berpindah ke tempat lain dengan jarak lebih dari 200

meter melalui transportasi pasif yaitu dengan mengikuti transportasi manusia

tanpa harus terbang dengan jarak yang jauh sehingga hal ini memberikan peluang

terjadinya sebaran kasus di wilayah tertentu. Distribusi kasus DBD di wilayah lima

kecamatan kasus tertinggi dapat berkaitan dengan riwayat perjalanan perjalanan

penderita ke wilayah endemis DBD yang berinteraksi dengan vektor nyamuk DBD

ditambah adanya vektor di wilayah itu sendiri sehingga menjadi tempat potensial

bagi perindukan nyamuk tersebut.

a. Indeks Kasus

1) Kecamatan Tembalang

Indeks kasus DBD Kecamatan Tembalang menunjukkan jarak indeks

kasus dengan kasus lain atau selanjutnya berjarak 100-200 m dan >200 m

sehingga dapat diktahui model penularan DBD. Daerah dengan kasus

tertinggi di Kelurahan Sendangmulyo memiliki 27 kasus dengan 12 Indeks

Kasus dan 15 Kasus Lain atau selanjutnya.

2) Kecamatan Banyumanik

Indeks kasus DBD Kecamatan Banyumanik menunjukkan jarak indeks

kasus dengan kasus lain atau selanjutnya berjarak 100-200 m dan >200 m

sehingga dapat diktahui model penularan DBD. Daerah dengan kasus

tertinggi di Kelurahan Gedawang memiliki 27 kasus dengan 10 Indeks

Kasus dan 3 Kasus Lain atau selanjutnya.

3) Kecamatan Pedurungan

Indeks kasus DBD Kecamatan Pedurungan menunjukkan jarak indeks

kasus dengan kasus lain atau selanjutnya berjarak 100-200 m dan >200 m
121

sehingga dapat diktahui model penularan DBD. Daerah dengan kasus

tertinggi di Kelurahan Pedurungan Tengah memiliki 9 kasus dengan 7

Indeks Kasus dan 2 Kasus Lain atau selanjutnya

4) Kecamatan Ngaliyan

Indeks kasus DBD Kecamatan Ngaliyan menunjukkan jarak indeks

kasus dengan kasus lain atau selanjutnya berjarak 100-200 m dan >200 m

sehingga dapat diktahui model penularan DBD. Daerah dengan kasus

tertinggi di Kelurahan Purwoyoso memiliki 27 kasus dengan 3 Indeks

Kasus dan 6 Kasus Lain atau selanjutnya.

5) Kecamatan Semarang Barat

Indeks kasus DBD Kecamatan Semarang Barat menunjukkan jarak

indeks kasus dengan kasus lain atau selanjutnya berjarak 100-200 m dan

>200 m sehingga dapat diktahui model penularan DBD. Daerah dengan

kasus tertinggi di Kelurahan Bongsari memiliki 5 kasus dengan 2 Indeks

Kasus dan 3 Kasus Lain atau selanjutnya

b. Model Penularan

Distribusi potensi penularan DBD dapat diketahui dari jumlah kasus DBD

dan model penularan DBD pada suatu wilayah. Model penularannya ada 2

yaitu cluster dan separated, cluster adalah penularan DBD dari tempat

kejadian kasus pertama dengan kasus lainnya berjarak 100-200 meter dari

penderita pertama sedangkan separated penularan DBD dri tempat kejadian

kasus pertama dengan kasus lainnya berjarak >200 meter dari penderita

penderita pertama.

1) Kecamatan Tembalang

Sebaran kasus DBD Kecamatan Tembalang memiliki jumlah kasus

DBD sebanyak 89 kasus terdapat 8 kasus alamat tidak sesuai sehingga

penemuan cluster sebanyak 55 kasus (67%) dan separated 26 kasus

(33%). Daerah dengan kasus tertinggi berada di kelurahan Sendang Mulyo


122

dengan 26 kasus (cluster 22 kasus dan separated 4 kasus) sedangkan

kasus terendah berada di kelurahan Rowosari dengan tidak terdapat kasus

(0 kasus).

2) Kecamatan Banyumanik

Sebaran kasus DBD Kecamatan Banyumanik memiliki jumlah kasus

DBD sebanyak 85 kasus terdapat 8 kasus alamat tidak sesuai sehingga

penemuan kasus cluster sebanyak 42 kasus (54%) dan kasus separated

35 kasus (46%). Untuk daerah dengan kasus tertinggi berada di kelurahan

Gedawang dengan 13 kasus (cluster 7 kasus dan separated 7 kasus)

sedangkan kasus terendah berada di kelurahan Ngesrep dan Srondol

Kulon dengan masing-masing 2 kasus (Srondol Kulon cluster 2 kasus dan

Ngesrep separated 2 kasus).

3) Kecamatan Pedurungan

Sebaran kasus DBD Kecamatan Pedurungan memiliki jumlah kasus

DBD sebanyak 61 kasus terdapat 2 kasus alamat tidak sesuai sehingga

penemuan kasus cluster sebanyak 30 kasus (51%) dan separated 29

kasus (49%). Untuk daerah dengan kasus tertinggi berada di kelurahan

Pedurungan Tengah dengan 9 kasus (cluster 4 kasus dan separated 5

kasus) sedangkan kasus terendah berada di kelurahan Pedurungan Kidul

dan Pedurungan Lor dengan masing-masing 1 kasus (separated 1 kasus).

4) Kecamatan Ngaliyan

Sebaran kasus DBD Kecamatan Ngaliyan memiliki jumlah kasus

DBD sebanyak 32 kasus terdapat 2 kasus alamat tidak sesuai sehingga

penemuan kasus cluster sebanyak 18 kasus (60%) dan kasus separated

12 kasus (40%). Untuk daerah dengan kasus tertinggi berada di kelurahan

Purwoyoso dengan 9 kasus (cluster 6 kasus dan separated 3 kasus)

sedangkan kasus terendah berada di kelurahan Wates, Kalipancur dan

Wonosari dengan masing-masing 1 kasus (separated 1 kasus).


123

5) Kecamatan Semarang Barat

Sebaran kasus DBD Kecamatan Semarang Barat memiliki jumlah

kasus DBD sebanyak 22 kasus terdapat 1 kasus alamat tidak sesuai

sehingga penemuan kasus cluster sebanyak 11 kasus (52%) dan kasus

separated 10 kasus (48%). Untuk daerah dengan kasus tertinggi berada di

kelurahan Bongsari dengan 5 kasus (cluster 4 kasus dan separated 1

kasus) sedangkan kasus terendah berada di kelurahan Bojong Salaman,

Kembangarum dan Krobokan dengan 1 kasus (separated 1 kasus).

Hasil analisis overlay GIS model dinamika penularan di lima kecamatan

kasus tertinggi DBD Kota Semarang ada 2 model penularan DBD di lokasi

penelitian yaitu cluster dan sparated. Cluster adalah penularan DBD tempat

kejadian pertama dengan kasus lainnya radius 100 - 200 meter dari penderita

pertama sedangkan separated adalah penularan DBD tempat kejadian kasus

pertama dengan kasus lainnya radius >200 meter dari penderita pertama.

Perbedaan antara lokasi penularan model cluster dan separated yaitu dari

tingkat kepadatan penduduk dan nilai indikator penularan. Model penularan

cluster menjadi model yang efektif untuk mendukung proses penularan. Model

penularan cluster berarti sumber penularannya sama, vektor ada, jika vektor

ada berarti daya dukung lingkungan berlimpah, dan kondisi sanitasinya kurang

baik (slum area) karena di dalamnya pasti tersedia tempat berkembangbiak

(breeding), hal ini dapat diartikan indikator penularan mendukung (Aris

Santjaka, 2016 dalam Nurul A h.72).

Model penularan cluster merupakan salah satu indikator adanya faktor

resiko terjdinya DBD. Daya dukung lingkungan yang optimal seperti intensitas

cahaya, suhu, kelembaban dan curah hujan yang mendukung, mengakibatkan

umur nyamuk menjadi panjang dan siklus pertumbuhan virus terbentuk. Pada

kelembaban yang tinggi nyamuk menjadi lebih aktif dan lebih sering menggigit
124

sehingga akan mempercepat proses perkembang biakan nyamuk dan

menyebabkan nyamuk menjadi vektor atau tidak.

4. Determinan

a. Indikator Potensi Penularan

Kegiatan Survei Jentik adalah kegiatan dimana petugas kesehatan atau

kader kesehatan melakukan pemeriksaan jentik nyamuk penular DBD pada

wilayah atau daerah rumah penderita/tersangka DBD meliputi rumah atau

bangunan yang ada di sekitarnya dalam radius 100 meter. Di Indonesia

indikator ABJ digunakan sebagai patokan untuk memantau tingkat kepadatan

nyamuk pada suatu daerah pemukiman. Hasil penyelidikan epidemiologi (PE)

yang dilakukan petugas kesehatan Kota Semarang terhadap wilayah kasus

DBD.

1) Kecamatan Tembalang

Angka Bebas Jentik (ABJ) mengindikasikan tinggi menandakan

bahwa densitas larva di suatu wilayah rendah. Angka Bebas Jentik

Kecamatan Tembalang memiliki nilai terendah 89,13% dan tertinggi

94,73% dengan rata-rata 92,44%, namun masih di bawah standart

minimum nilai ABJ (<95%) sehingga berpotensi terjadinya penularan DBD.

2) Kecamatan Banyumanik

Angka Bebas Jentik (ABJ) mengindikasikan tinggi menandakan

bahwa densitas larva di suatu wilayah rendah. Angka Bebas Jentik

Kecamatan Banyumanik memiliki nilai terendah 84,20% dan tertinggi

92,52% dengan rata-rata 89,92%, namun masih di bawah standart

minimum nilai ABJ (<95%) sehingga berpotensi terjadinya penularan DBD.

3) Kecamatan Pedurungan

Angka Bebas Jentik (ABJ) mengindikasikan tinggi menandakan

bahwa densitas larva di suatu wilayah rendah. Angka Bebas Jentik


125

Kecamatan Pedurungan memiliki nilai terendah 88,66% dan tertinggi

96,75% dengan rata-rata 93,06%, namun masih di bawah standart

minimum (<95%) sehingga masih berpotensi terjadinya penularan DBD.

4) Kecamatan Ngaliyan

Angka Bebas Jentik (ABJ) mengindikasikan tinggi menandakan

bahwa densitas larva di suatu wilayah rendah. Angka Bebas Jentik

Kecamatan Ngaliyan memiliki nilai terendah 88,19% dan tertinggi 96,68%

dengan rata-rata 93,83%. Beberapa bulan didapatkan hasil ABJ di bawah

standart minimum (<95%) sehingga masih berpotensi terjadinya penularan

DBD.

5) Kecamatan Semarang Barat

Angka Bebas Jentik (ABJ) mengindikasikan tinggi menandakan

bahwa densitas larva di suatu wilayah rendah. Angka Bebas Jentik

Kecamatan Semarang Barat memiliki nilai nilai terendah 87,86% dan

tertinggi 93,12% dengan rata-rata 91,01%, namun masih di bawah standart

minimum nilai ABJ (<95%) sehingga berpotensi terjadinya penularan DBD.

Tempat penampungan air berfungsi sebagai tempat perkembangbiakan

nyamuk Aedes. Pada saat musim hujan, populasi nyamuk Aedes dapat

meingngkat karena telur-telur yang tadinya belum menetas akan menetas

menjadi jentik ketika tempat perkembngbiakannya terisi oleh air. Kondisi

seperti ini dapat meningktakan populasi nyamuk sehingga penularan penyakit

DBD dapat meningkat. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Hairani (dalam

Erna K, 2012 h.124) mendapatkan hasil bahwa cakupan PE DBD tahun 2005-

2008 di kecamatan Cimangis mengalami penurunan, terlihat angka insiden

kasus DBD makin meningkat. Jika kegiatan PE DBD dilakukan sepenuhnya

dan secara menyeluruh maka penyebaran DBD seharusnya dapat dibatasi

atau ditekan serendah mungkin.


126

Keberadan tempat penampungan air sangat berperan pada kepadatan

vektor nyamuk Aedes aegypti, semakin banyak tempat penampungan air atau

container maka semakin banyak tempat perindukan nyamuk. Wilayah dengan

tingkat endemisitas tinggi mempunyai resiko penularan yang tinggi pula. Hasil

perhitungan ABJ menunjukkan bahwa densitas larva dijadikan indikator tidak

langsung bagi pengendalian nyamuk dewasa karena lebih stabil dan mudah

(aktivitas larva yang terbatas) untuk mengetahui keberadan dari vektor DBD.

WHO, suatu daerah yang memiliki nilai ABJ <95% maka mempunyai

kepadatan dan penyebaran vektor yang tinggi dalam penularan DBD. Kegiatan

pemeriksaan jentik secara berkala dapat menurunkan penyebaran vektor

sehingga proses penularan DBD rendah.

b. Kondisi Lingkungan Fisik

Unsur lingkungan fisik merupakan elemen penting dalam penyebaran

suatu penyakit yang bersumber dari makhluk hidup. Penyebaran penyakit DBD

dipengaruhi oleh pencahayaan, suhu, kelembaban dan curah hujan karena

menyebabkan terjadinya modifikasi dalam habitat nyamuk Aedes aegypti

(vektor DBD). Selain itu perubahan iklim menyebabkan perubahan suhu udara

dan kelembaban yang dapat mempengaruhi umur dan kemampuan terbang

nyamuk.

Kegiatan observasi dilakukan untuk mengetahui kondisi lingkungan fisik

rumah penderita yang berupa intensitas cahaya, suhu dan kelembaban serta

intensitas curah hujan yaang berasal dari data sekunder BMKG.

1) Kecamatan Tembalang

a) Intensitas Cahaya

Pengukuran intensitas cahaya digunakan untuk mengetahui

intensitas cahaya di rumah penderita. Intensitas cahaya yang sesuai

dengan persyaratan kesehatan perumahan yaitu 60 lux (Kepmenkes

829, 1999). Hasil penelitian pada rumah responden Kecamatan


127

Tembalang didapatkan intensitas cahaya menunjukkan nilai terendah 10

lux dan tertinggi 147 lux dengan rata-rata 50,40 lux, intensitas cahaya

dari 47 rumah responden terdapat 34 rumah dengan intensitas cahaya

kurang (<60lux) dan 13 rumah dengan intensitas cahaya sesuai dengan

persyaratan kesehatan (>60lux).

b) Suhu

Pengukuran suhu digunakan untuk mengetahui besaran suhu

udara di rumah penderita. Suhu optimum untuk perkembangbiakan

nyamuk Aedes Sp yaitu 25oC-30oC (Aris Santjaka, 2016 dalam Nurul,

2018, h.71). Hasil penelitian pada rumah responden Kecamatan

Tembalang didapatkan suhu menunjukkan nilai nilai terendah 28,9 oC dan

tertinggi 32,9oC dengan rata-rata 31,41oC, suhu dari 47 rumah

responden terdapat 43 rumah dengan suhu lebih (25 oC-30 oC) dan 4

rumah dengan suhu optimum (25 oC-30 oC).

c) Kelembaban

Pengukuran kelembaban digunakan untuk mengetahui besaran

kelembaban udara di rumah penderita. Kelembaban udara tidak

berhubungan langsung dengan kejadian DBD tetapi berpengaruh pada

umur nyamuk. Jika kelembaban <60% umur nyamuk menjadi pendek.

Hasil penelitian rumah responden Kecamatan Tembalang menunjukkan

nilai kelembaban yang optimum untuk nyamuk (>60%) karena hasil

pengukuran nilai terendah 62% dan tertinggi 74% dengan rata-rata

67,04%.

d) Hubungan Intensitas Cahaya, Suhu, dan Kelembaban

Hasil pengukuran menyebutkan bahwa intensitas cahaya rentang

range 10 lux-146 lux, suhu range antara 28,9oC-32,9oC, dan kelembaban

range antara 62% -74%. Hasil pengukuran kondisi lingkungan fisik yang

optimum untuk keberadaan nyamuk di Kecamatan Tembalang.


128

Secara teori, pencahayaan yang rendah, suhu yang rendah, dan

kelembaban yang tinggi merupakan kondisi yang saling berkaitan dan

optimal untuk tempat beristirahat nyamuk setelah menghisap darah

sambil menunggu pematangan telurnya (Amrul, dkk, 2007 dalam Aris

Santjaka, 2013, h.67).

2) Kecamatan Banyumanik

a) Intensitas Cahaya

Pengukuran intensitas cahaya digunakan untuk mengetahui

intensitas cahaya di rumah penderita. Intensitas cahaya yang sesuai

dengan persyaratan kesehatan perumahan yaitu 60 lux (Kepmenkes

829, 1999). Hasil penelitian pada rumah responden bahwa Kecamatan

Banyumanik didapatkan intensitas cahaya menunjukkan nilai terendah

18 lux dan tertinggi 178 lux dengan rata-rata 57,87 lux, intensitas cahaya

dari 33 rumah responden terdapat 21 rumah dengan intensitas cahaya

kurang (<60 lux) dan 12 rumah dengan intensitas cahaya sesuai dengan

persyaratan kesehatan (>60 lux).

b) Suhu

Pengukuran suhu digunakan untuk mengetahui besaran suhu

udara di rumah penderita. Suhu optimum untuk perkembangbiakan

nyamuk Aedes Sp yaitu 25oC-30oC (Aris Santjaka, 2016 dalam Nurul,

2018, h.71). Hasil penelitian pada rumah responden Kecamatan

Banyumanik didapatkan suhu menunjukkan nilai terendah 28,1oC dan

tertinggi 33,7oC dengan rata-rata 31,28 o


C, suhu dari 33 rumah

responden terdapat 21 rumah dengan suhu lebih (25 oC-30 oC) dan 12

rumah dengan suhu optimum (25 oC-30 oC).

c) Kelembaban

Pengukuran kelembaban digunakan untuk mengetahui besaran

kelembaban udara di rumah penderita. Kelembaban udara tidak


129

berhubungan langsung dengan kejadian DBD tetapi berpengaruh pada

umur nyamuk. Jika kelembaban <60% umur nyamuk menjadi pendek.

Hasil penelitian rumah responden Kecamatan Banyumanik menunjukkan

nilai kelembaban yang optimum untuk nyamuk (>60%) karena hasil

pengukuran nilai terendah 60% dan nilai tertinggi 76% dengan rata-rata

66,21%.

d) Hubungan Intensitas Cahaya, Suhu, dan Kelembaban

Hasil pengukuran menyebutkan bahwa intensitas cahaya rentang

range 18 lux – 178 lux, suhu range antara 28,1oC -33,7oC, dan

kelembaban range antara 60% - 76%. Hasil pengukuran kondisi

lingkungan fisik yang optimum untuk keberadaan nyamuk di Kecamatan

Banyumanik.

Secara teori, pencahayaan yang rendah, suhu yang rendah, dan

kelembaban yang tinggi merupakan kondisi yang saling berkaitan dan

optimal untuk tempat beristirahat nyamuk setelah menghisap darah

sambil menunggu pematangan telurnya (Amrul, dkk, 2007 dalam Aris

Santjaka, 2013, h.67).

3) Kecamatan Pedurungan

a) Intensitas Cahaya

Pengukuran intensitas cahaya digunakan untuk mengetahui

intensitas cahaya di rumah penderita. Intensitas cahaya yang sesuai

dengan persyaratan kesehatan perumahan yaitu 60 lux (Kepmenkes

829, 1999). Hasil penelitian pada rumah responden Kecamatan

Pedurungan didapatkan intensitas cahaya menunjukkan nilai terendah

23 lux dan tertinggi 147 lux dengan rata-rata 64,81 lux, intensitas cahaya

dari 27 rumah responden terdapat 17 rumah dengan intensitas cahaya

kurang (<60 lux) dan 10 rumah dengan intensitas cahaya sesuai dengan

persyaratan kesehatan (>60 lux).


130

b) Suhu

Pengukuran suhu digunakan untuk mengetahui besaran suhu

udara di rumah penderita. Suhu optimum untuk perkembangbiakan

nyamuk Aedes Sp yaitu 25 oC-30 oC (Aris Santjaka, 2016 dalam Nurul,

2018, h.71). Hasil penelitian pada rumah responden Kecamatan

Pedurungan didapatkan suhu menunjukkan nilai terendah 29,2oC dan

tertinggi 34,3oC dengan rata-rata 31,72 o


C, suhu dari 27 rumah

responden terdapat 23 rumah dengan suhu lebih (25 oC-30 oC) dan 4

rumah dengan suhu optimum (25 oC-30 oC).

c) Kelembaban

Pengukuran kelembaban digunakan untuk mengetahui besaran

kelembaban udara di rumah penderita. Kelembaban udara tidak

berhubungan langsung dengan kejadian DBD tetapi berpengaruh pada

umur nyamuk. Jika kelembaban <60% umur nyamuk menjadi pendek.

Hasil penelitian rumah responden Kecamatan Pedurungan menunjukkan

bahwa Kecamatan Banyumanik termasuk pada kelembaban yang

optimum untuk nyamuk (>60%) karena hasil pengukuran nilai terendah

61% dan tertinggi 76% dengan rata-rata 68,70%.

d) Hubungan Intensitas Cahaya, Suhu, dan Kelembaban

Hasil pengukuran menyebutkan bahwa intensitas cahaya rentang

range 23 lux – 147 lux, suhu range antara 29,2oC– 34,3oC, dan

kelembaban range antara 61%-76%. Hasil pengukuran kondisi

lingkungan fisik yang optimum untuk keberadaan nyamuk di Kecamatan

Pedurungan.

Secara teori, pencahayaan yang rendah, suhu yang rendah, dan

kelembaban yang tinggi merupakan kondisi yang saling berkaitan dan

optimal untuk tempat beristirahat nyamuk setelah menghisap darah


131

sambil menunggu pematangan telurnya (Amrul, dkk, 2007 dalam Aris

Santjaka, 2013, h.67).

4) Kecamatan Ngaliyan

a) Intensitas Cahaya

Pengukuran intensitas cahaya digunakan untuk mengetahui

intensitas cahaya di rumah penderita. Intensitas cahaya yang sesuai

dengan persyaratan kesehatan perumahan yaitu 60 lux (Kepmenkes

829, 1999). Hasil penelitian pada rumah responden Kecamatan Ngaliyan

didapatkan intensitas cahaya menunjukkan nilai terendah 22 lux dan

tertinggi 96 lux dengan rata-rata 51 lux, intensitas cahaya dari 16 rumah

responden terdapat 11 rumah dengan intensitas cahaya kurang (<60 lux)

dan 5 rumah dengan intensitas cahaya sesuai dengan persyaratan

kesehatan (>60 lux).

b) Suhu

Pengukuran suhu digunakan untuk mengetahui besaran suhu udara

di rumah penderita. Suhu optimum untuk perkembangbiakan nyamuk

Aedes Sp yaitu 25oC-30oC (Aris Santjaka, 2016 dalam Nurul, 2018,

h.71). Hasil penelitian pada rumah responden Kecamatan Ngaliyan

didapatkan angka suhu menunjukkan suhu nilai terendah 25,5oC dan

tertinggi 33oC dengan rata-rata 29,94oC, suhu dari 16 rumah responden

terdapat 10 rumah dengan suhu lebih (25 oC-30 oC) dan 6 rumah dengan

suhu optimum (25 oC-30 oC).

c) Kelembaban

Pengukuran kelembaban digunakan untuk mengetahui besaran

kelembaban udara di rumah penderita. Kelembaban udara tidak

berhubungan langsung dengan kejadian DBD tetapi berpengaruh pada

umur nyamuk. Jika kelembaban <60% umur nyamuk menjadi pendek.

Hasil penelitian rumah responden Kecamatan Ngaliyan menunjukkan


132

nilai kelembaban yang optimum untuk nyamuk (>60%) karena hasil

pengukuran nilai terendah 67% dan tertinggi 89% dengan rata-rata

74,75%.

d) Hubungan Intensitas Cahaya, Suhu, dan Kelembaban

Hasil pengukuran menyebutkan bahwa intensitas cahaya rentang

range 22 lux–96 lux, suhu range antara 25,5 oC–33oC, dan kelembaban

range antara 67%-89%. Hasil pengukuran kondisi lingkungan fisik yang

optimum untuk keberadaan nyamuk di Kecamatan Ngaliyan.

Secara teori, pencahayaan yang rendah, suhu yang rendah, dan

kelembaban yang tinggi merupakan kondisi yang saling berkaitan dan

optimal untuk tempat beristirahat nyamuk setelah menghisap darah

sambil menunggu pematangan telurnya (Amrul, dkk, 2007 dalam Aris

Santjaka, 2013, h.67).

5) Kecamatan Semarang Barat

a) Intensitas Cahaya

Pengukuran intensitas cahaya digunakan untuk mengetahui

intensitas cahaya di rumah penderita. Intensitas cahaya yang sesuai

dengan persyaratan kesehatan perumahan yaitu 60 lux (Kepmenkes

829, 1999). Hasil penelitian pada rumah responden Kecamatan

Semarang Barat didapatkan intensitas cahaya menunjukkan nilai

terendah 34 lux dan tertinggi 120 lux dengan rata-rata 65 lux, intensitas

cahaya dari 14 rumah responden terdapat 8 rumah dengan intensitas

cahaya kurang (<60 lux) dan 6 rumah dengan intensitas cahaya sesuai

dengan persyaratan kesehatan (> 60 lux).

b) Suhu

Pengukuran suhu digunakan untuk mengetahui besaran suhu udara

di rumah penderita. Suhu optimum untuk perkembangbiakan nyamuk

Aedes Sp yaitu 25 oC-30 oC (Aris Santjaka, 2016 dalam Nurul, 2018,


133

h.71). Hasil penelitian pada rumah responden Kecamatan Semarang

Barat didapatkan suhu menunjukkan nilai terendah 28oC dan tertinggi

32,3oC dengan rata-rata 29,78oC, suhu dari 27 rumah responden

terdapat 23 rumah dengan suhu lebih (25 oC-30 oC) dan 4 rumah dengan

suhu optimum (25 oC-30 oC).

c) Kelembaban

Pengukuran kelembaban digunakan untuk mengetahui besaran

kelembaban udara di rumah penderita. Kelembaban udara tidak

berhubungan langsung dengan kejadian DBD tetapi berpengaruh pada

umur nyamuk. Jika kelembaban <60% umur nyamuk menjadi pendek.

Hasil penelitian rumah responden Kecamatan Semarang Barat

menunjukkan nilai kelembaban yang optimum untuk nyamuk (>60%)

karena hasil pengukuran nilai terendah 65% dan tertinggi 87% dengan

rata-rata 76,07%.

d) Hubungan Intensitas Cahaya, Suhu, dan Kelembaban

Hasil pengukuran menyebutkan bahwa intensitas cahaya rentang

range 34 lux–120 lux, suhu range antara 28oC – 32,3oC, dan kelembaban

range antara 65% - 87%. Hasil pengukuran kondisi lingkungan fisik yang

optimum untuk keberadaan nyamuk di Kecamatan Semarang Barat.

Secara teori, pencahayaan yang rendah, suhu yang rendah, dan

kelembaban yang tinggi merupakan kondisi yang saling berkaitan dan

optimal untuk tempat beristirahat nyamuk setelah menghisap darah

sambil menunggu pematangan telurnya (Amrul, dkk, 2007 dalam Aris

Santjaka, 2013, h.67).

Penyebaran penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dipengaruhi oleh

lingkungan fisik seperti pencahayaan, iklim serta curah hujan pada suatu

wilayah. Makhluk hidup seperti nyamuk sangat tergantung pada kondisi

lingkungan, apabila kondisi lingkungan optimal maka perkembangannya


134

akan cepat dengan demikian memperbesar kontak dengan manusia

sehingga resiko penularan semakin besar. Nyamuk mempunyai kesukaan

atau kebiasaan beristirahat (resting) di tempat yang gelap dan lembab.

Semakin rendah tingkat pencahayan rumah responden maka semakin tinggi

kasus DBD pada suatu wilayah. Hal ini menunjukkan tingkat pencahayaan

suatu rumah berpengaruh dengan keberadaan vektor sebagai tempat

istirahat (resting) sehingga dapat mempermudah penularan DBD secara

horizontal melali gigitan nyamuk. Selain pencahayaan, suhu berperan

penting terhadap kehidupan nyamuk yaitu mempengaruhi proses daur hidup

nyamuk mulai dari telur hingga dewasa, frekuensi dan kebiaasaan

menggigit.

Nyamuk Aedes aegypti dapat hidup pada suhu yang rendah tetapi

proses metabolismenya akan menurun bahkan terhenti jika mencapai suhu

dibawah suhu kritis. Pertumbuhan nyamuk akan terhenti pada suhu kurang

dari 10°C atau lebih dari 40°C (Susanna & Sembiring, 2011 dan Sitio, 2008

dalam Erna K, 2012 h.44). Toleransi terhadap suhu tergantung pada spesies

nyamuknya, tetapi umumnya tidak akan tahan lama bila suhu lingkungan

meninggi 5-6oC diatas batas dimana spesies secara normal dapat

beradaptasi. Kecepatan perkembangan nyamuk tergantung dari kecepatan

proses metabolisme yang sebagian diatur oleh suhu.

Nyamuk merupakan jenis serangga berdarah dingin sehingga proses

metabolime dan siklus hidupnya sangat bergantung pada suhu dan

lingkungan. Selain itu, hal ini juga menyebabkan nyamuk tidak dapat

mengatur suhu tubuhnya sendiri terhadap perubahan yang terjadi di

lingkungan. Suhu sangat bergantung dari variabel lainnya, suhu bias naik

jika sinar matahari tidak terhalang masuk ke dalam permukaan tanah,

dengan demikian antara sinar matahari dan suhu berpengaruh secara positif

artinya jika cahaya matahari semakin terik maka suhu lingkungan akan
135

semakin naik, dampak kelembaban turun, suhu permukaan tanah juga naik

(Aris Santjaka, 2013, h.130).

Umur nyamuk dipengaruhi oleh kelembaban udara, apabila di dalam

udara ada keurangan air yang besar maka udara mempunyai penguapan

yang besar. Sistem pernafasan pada nyamuk menggunakan spiracle yang

terbuka tanpa ada mekanisme pengaturannya. Pada waktu kelembaban

yang rendah akan menyebabkan penguapan air dari dalam tubuh nyamuk

mengakibatkan keringnya cairan tubuh nyamuk. Kebutuhan kelembaban

yang tinggi menyebabkan nyamuk mencari tempat yang mempunyai

kelembaban tinggi untuk tempat beristirahat.

Pada kelembaban kurang dari 60% umur nyamuk akan menjadi pendek

sehingga tidak cukup untuk siklus pertumbuhan parasit/virus di dalam tubuh

nyamuk dari lambung ke kelenjar ludah (Depkes, 2007 dalam Farida K,

2016). Kelembaban dapat meningkat pada pemukiman yang padat

penduduknya dikarenakan kurang masuknya cahaya matahari pada

pemukiman tersebut sehingga temperatur menjadi menurun sedangkan

konsentrasi uap air di udara sekitar tetap. Berdasarkan teori suhu dan

kelembaban berbanding terbalik sehingga jika suhu rendah maka

kelembaban tinggi (Diah, 2004 dalam Farida K, 2016). Membuat kondisi

lingkungan fisik yang tidak optimal baik dengan memodifikasi lingkungan

rumah dengan meningkatkan intensitas cahaya, suhu dan kelembaban

supaya umur nyamuk menjadi pendek dan siklus pertumbuhan virus tidak

terbentuk sehingga dapat mengurangi atau menghilangkan penularan DBD.

c. Hubungan Curah Hujan, Kelembaban, dan Prevalensi Kasus


136

Pengukuran curah digunakan untuk mengetahui intensitas curah hujan

yang ada di daerah atau wilayah penelitian. Pengaruh curah hujan dengan

perkembang biakan nyamuk Aedes aegypti sangat erat. Tingginya angka

kesakitan DBD di suatu wilayah karena adanya tempat penampungan air yang

merupakan tempat perindukan potensial nyamuk. Kategori curah hujan

menurut BMKG yaitu rendah (0-100 mm), menengah (101-300 mm) dan tinggi

(301-500 mm).

1) Kecamatan Tembalang

Hasil pengukuran BMKG didapatkan intensitas curah hujan pada

Kecamatan Tembalang bulan Januari 2018 – Februari 2019 menunjukkan

nilai terendah 0 mm dan tertinggi 421 mm dengan rata-rata 150,21 mm,

curah hujan rendah bulan April - Oktober 2018 (0-100 mm), menengah

bulan Januari 2018, Maret 2018 dan bulan November 2018 - Februari 2019

(101-300 mm), tinggi bulan Februari 2018 (301-500 mm).

2) Kecamatan Banyumanik

Hasil pengukuran BMKG didapatkan intensitas curah hujan pada

Kecamatan Banyumanik bulan Januari 2018 – Februari 2018 menunjukkan

nilai terendah 0 mm dan tertinggi 606 mm dengan rata-rata 184,85 mm,

curah hujan rendah bulan April - Oktober 2018 (0-100 mm), menengah

bulan Januari 2018, Maret 2018 dan bulan November 2018 - Februari 2019

(101-300 mm), tinggi bulan Februari 2018 (301-500 mm).

3) Kecamatan Pedurungan

Hasil pengukuran BMKG didapatkan intensitas curah hujan pada

Kecamatan Pedurungan bulan Januari 2018 – Februari 2019 menunjukkan

nilai terendah 0 mm dan tertinggi 633 mm dengan rata-rata 173,75 mm,

curah hujan rendah bulan Mei - September 2018 (0-100 mm), menengah

bulan Januari 2018, Maret - April 2018, Oktober - November 2018 dan
137

Februari 2019 (101-300 mm), tinggi bulan Februari dan Desember 2018

(301-500 mm).

4) Kecamatan Ngaliyan

Hasil pengukuran BMKG didapatkan intensitas curah hujan pada

Kecamatan Ngaliyan bulan Januari 2018 – Februari 2019 menunjukkan

nilai terendah 0 mm dan tertinggi 677 mm dengan rata-rata 199,21 mm,

curah hujan rendah bulan April-Oktober 2018 (0-100 mm), menengah bulan

Maret - April 2018, Juni 2018 dan bulan November 2018 – Februari 2019

(101-300 mm), tinggi bulan Januari - Februari 2018 (301-500 mm).

5) Kecamatan Semarang Barat

Hasil pengukuran BMKG didapatkan intensitas curah hujan pada

Kecamatan Semarang Barat bulan Januari 2018 – Februari 2019

menunjukkan nilai terendah 0 mm dan tertinggi 538 mm dengan rata-rata

179,78 mm, curah hujan rendah bulan Mei-September 2018 (0-100 mm),

menengah bulan Maret-April 2018, dan bulan Oktober 2018-Februari 2019

(101-300 mm), tinggi bulan Januari-Februari 2018 (301-500 mm).

Curah hujan merupakan salah satu variabel metereologi yang dapat

digunakan sebagai peringatan dini pengendalian Demam Berdarah Dengue

(DBD) sehingga pengaruh curah hujan dengan perkembangbiakan nyamuk

Aedes aegypti sangat berat (Cipto Aris P, 2010 h.). Curah hujan dapat

mempengaruhi naiknya suhu udara dan kelembaban nisbi pada suatu wilayah

serta meningkatkan jumlah tempat penampungan air yang nantinya digunakan

sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti (vektor DBD).

Kondisi hujan dan panas pada pergantian musim lebih berpengaruh positif

terhadap populasi nyamuk dikarenakan air hujan tidak mengalir atau

menggenang di beberapa tempat. Dalam penelitian lain menyebutkan, curah

hujan dapat meningkatkan transmisi penyakit yang ditularkan oleh vektor


138

dengan cara memacu prolifersi tempat berkembang biak, tetapi juga dapat

mengeliminasi tempat berkembang biak dengan cara menghanyutkan bibit

vektor (Yulia Iriani, 2012 h.382).

Kemampuan adaptasi nyamuk Aedes aegypti sangat tinggi terhadap

perubahan pola iklim dan cuaca bahkan telurnya dapat bertahan dalam kondisi

kering dan panas hingga 6 bulan. Curah hujan yang cukup tinggi dalam jangka

waktu yang lama akan memperbesar kesempatan nyamuk untuk berkembang

biak secara optimal sehingga persebaran penyakit DBD terjadi peningkatan.

(Depkes, 2007 dalam Farida K, 2016). Berdasarkan hasil pengamatan

penderita DBD di Indonesia, pada umumnya penularan DBD terjadi pada

musim penghujan. Kejadian penyakit yang ditularkan oleh nyamuk pada

umumnya meningkat beberapa waktu sebelum dan setelah musim penghujan

dengan intensitas curah hujan yang lebat sehingga dapat menciptakan tempat

berkembangbiakan larva di berbagai tempat (Susanna & Sembiring, 2011

dalam Erna K, 2012 h.44). Untuk mengurangi dampak dari curah hujan dalam

penularan DBD maka diperlukan kegiatan pemeriksaan jentik berkala pada

tempat yang potensial perkembangbiakan nyamuk dan menjaga kebersihan

lingkungan tingkat rumah tangga dengan menghilangkan potensi tempat

perkembangbiakan nyamuk.

d. Siklus Kasus DBD

Data Dinas Kesehatan Kota Semarang didapatkan hasil bahwa kejadian

kasus DBD di lima kecamatan kasus tertinggi kasus DDB dari tahun 2014

sampai dengan 2019 adalah sebanyak 2.980 kasus. Kasus DBD pertahun

rata-rata berkisar antara 41-199 kasus dengan kasus perbulan antara 4-15

kasus. Kejadian DBD cenderung mengalami peningkatan pada awal tahun

sampai pertengahan tahun kemudian mulai mengalami penurunan pada akhir

tahun (Aris Santjaka, 2016). Kejadian DBD di lima kecamatan kasus tertinggi di

Kota Semarang selama 5 tahun terakhir yaitu pada tahun 2014 sampai dengan
139

2019 mengalami fluktuasi. Perkembangan angka kasus DBD dari tahun 2015

sampai dengan tahun 2017 cenderung mengalami penurunan dengan puncak

penurunan tertinggi terjadi pada tahun 2016.

Kasus DBD pada awal tahun 2019 mengalami peningkatan dari jumlah

kasus tahun 2018. Hal ini diapat dilihat dari jumlah kasus pada awal Januari

dan Februari tahun 2019 mencapai 289 kasus dan jumlah kasus tahun 2018

sebanyak 272 kasus. Rata-rata perbulan menunjukkan kenaikan 2 kali lipat

atau lebih dalam kurun waktu 2 bulan yaitu Januari dan Februari dibandingkan

rata-rata perbulan keseluruhan tahun 2018. Secara teoritis, hal ini sesuai

dengan kriteria Kejadian Luar Biasa (KLB) tentang pedoman penyelidikan dan

penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) karena ada peningkatan kejadian

penyakit dan kenaikan angka rata-rata perbulan dalam tahun sebelumnya

(Keputusan Dirjen PPM No. 451, 1991).

Penetapan KLB dapat diketahui dengan membandingkan frekuensi

penyakit pada bulan yang sama tahun berbeda ataupun sebaliknya dan

dengan pola maximum dan minimum 5 tahunan atau 3 tahunan. Pada awal

tahun 2019 jumlah kasus DBD pada masing-masing kecamatan cenderung

mengalami peningkatan dari jumlah kasus dalam satu tahun 2018 sehingga

terdapat status endemisitas dan determinan lingkungan di wilayah lima

kecamatan kasus tertinggi. Distribusi kasus DBD di wilayah lima kecamatan

kasus tertinggi dapat berkaitan dengan riwayat perjalanan perjalanan penderita

ke wilayah endemis DBD yang berinteraksi dengan vektor nyamuk DBD

ditambah adanya vektor di wilayah itu sendiri sehingga menjadi tempat

potensial bagi perindukan nyamuk tersebut. Diperlukannya data bulanan kasus

DBD pada setiap tahunnya untuk mengetahui sumber kasus sehingga dapat

dibuat program dalam penanggulangan penularan DBD dan mencegah

terjadinya KLB pada suatu wilayah.


140

5. Hasil Pengukuran

Pada penderita infeksi virus dengue, langkah-langkah diagnosis penyakit

seperti anamnesis (wawancara), pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang

masih tetaap dilakukan (Sudjana, 2010 dalam Erna K, 2012 h.17).

a. Trombosit

Trombosit disebut platelet atau keping darah yang berfungsi

menghentikan pendarahan yang berperan dalam proses pembekuan darah

dan membuat darah menjadi lengket sehingga bisa membentuk gumpalan

sehingga apabila terluka, darah tidak terus mengalir. Pemeriksaan darah (uji

hermatologis) sangat bermanfaat dalam pemantauan kondisi penderita dan

penegakan kasus DBD. Jumlah trombosit yang rendah (trombositopenia) dan

kebocoran plasma yang ditandai dengan hemokonsentrasi merupakan

indikator paling penting dalam penentuan DBD. Berdasarkan patokan dari

WHO 1986 tentang manifestasi klinis penderita DBD bahwa jumlah trombosit

<150.000 sel/ml sebagai batas trombositopeni. Trombositopenia pada

umumnya diamati pada periode antara hari ke-3 sampai hari ke-8 setelah

timbulnya penyakit.

1) Kecamatan Tembalang

Trombosit responden di Kecamatan Tembalang dengan nilai

terendah 18.000 sel/mm3 dan tertinggi 150.000 sel/mm3. Hasil tersebut

memperlihatkan bahwa semua responden Kecamatan Tembalang memiliki

jumlah trombosit di bawah normal (150.000 sel/mm3).

2) Kecamatan Banyumanik

Trombosit responden di Kecamatan Banyumanik dengan nilai

terendah 10.000 sel/mm3 dan tertinggi 135.000 sel/mm3. Hasil tersebut


141

memperlihatkan bahwa semua responden Kecamatan Banyumanik

memiliki jumlah trombosit di bawah normal (150.000 sel/mm3).

3) Kecamatan Pedurungan

Trombosit responden di Kecamatan Pedurungan dengan nilai

terendah 34.000 sel/mm3 dan tertinggi 174.000 sel/mm3. Hasil tersebut

memperlihatkan bahwa semua responden Kecamatan Pedurungan

memiliki jumlah trombosit di bawah normal (150.000 sel/mm3) namun

terdapat 1 responden yang jumlah trombosit mempunyai trombosit normal

dengan nilai 174.000 sel/mm3.

4) Kecamatan Ngaliyan

Trombosit responden di Kecamatan Ngaliyan dengan nilai terendah

5.000 sel/mm3 dan tertinggi 150.000 sel/mm3. Hasil tersebut

memperlihatkan bahwa semua responden Kecamatan Ngaliyan memiliki

jumlah trombosit di bawah normal (150.000 sel/mm3).

5) Kecamatan Semarang Barat

Trombosit responden di Kecamatan Semarang Barat dengan nilai

terendah 22.000 sel/mm3 dan tertinggi 105.000 sel/mm3. Hasil tersebut

memperlihatkan bahwa semua responden Kecamatan Semarang Barat

memiliki jumlah trombosit di bawah normal (150.000 sel/mm3).

Penelitian Agus Suwandono dkk (dalam Ni Luh Chandra, 2014 h. )

menemukan hasil bahwa pada kasus dengue, rerata jumlah trombosit di

bawah 200.000 sel/ml ditemukan pada hari ke-3 panas dan di bawah 100.000

sel/ml di bawah hari ke-4, dan mulai beranjak naik pada hari ke-7, meskipun

masih di bawah 100.000 sel/ml. Seperti yang dikemukakan dalam Tata

Laksana DBD di Indonesia, bahwa pada hari ke 6 kadar trombosit bisa

mencapai titik terendah. Hal ini sejalan dengan WHO untuk penderita DBD

dapat diketahui dengan trombosit kurang dari 150.000 sel/ml. Nilai jumlah
142

trombosit dipengaruhi daya imun reponden yang berkaitan karakteristik

penderita yaitu usia dan jenis kelamin.

b. Hasil Wawancara

Pada penderita infeksi virus dengue, langkah-langkah diagnosis penyakit

seperti anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang masih

tetap dilakukan. Wawancara yang dilakukan terhadap penderita DBD untuk

mengetahui riwayat yang diderita. Informasi lebih lanjut perlu diketahui tentang

sejak kapan demam atau sakit terjadi, mobilisasi atau berpergian 7 hari

sebelum sakit dan riwayat penting lainnya yang ada sangkut pautnya dengan

kejadian infeksi virus dengue.

1) Rentang Waktu Sakit

Responden pada lima kecamatan kasus tertinggi kasus DBD di Kota

Semarang dapat mengetahui positif DBD rata-rata dalam waktu 4-5 hari

setelah terjadinya demam dan lama sakit rata-rata 7 hari. Kasus positif DBD

didapatkan dari pemeriksaan uji laboratorium rumah sakit pada penderita

dengan demam 2-7 hari demam tanpa sebab yang ditandai dengan gejala

klinis DBD lainnya.

Virus dengue yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan

nyamuk maka selama inkubasi virus akan masuk ke dalam peredaran darah.

Infeksi virus dengue pada penderita DBD dapat diketahui pada hari ≤4 hari

setelah demam berdasarkan hasil pemeriksaan uji laboratorium. Responden

yang menderita DBD membutuhkan waktu ± 3 hari setelah penderita

merasakan sakit/demam dalam penegakan diganosa DBD melalui uji

tourniquet/darah.

2) Mobilitas Responden

Mobilitas penduduk memiliki peranan yang penting pada penularan virus

dengue dari satu tempat ke tempat lain. Potensi penularan DBD secara
143

horizontal merupakan penularan yang terjadi antar penderita secara

epidemiologi atau adanya potensi dinamika transmisi penyakit secara lokal

(Ahmadi, 2012). Mobilisasi penduduk merupakan salah satu penyebab DBD

menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia karena peran dari

semakin majunya bidang transportasi yang dimana membuat mobilitas

penduduk tinggi sehingga memudahkan dalam penularan penyakit DBD dari

suatu daerah/wilayah ke daerah/wilayah lain. Dari hasil penelitian didapatkan

data sebagian besar responden melakukan mobilitas ke luar kecamatan

bahkan sampai ke luar kota.

Mobilisasi penduduk yang tinggi di lima kecamatan kasus tertinggi kasus

DBD Kota Semarang disebabkan oleh alasan lokasi pendidikan (6-19 tahun)

atau lokasi pekerjaan (20-49 tahun). Sebanyak 84%-90% responden pergi

keluar kecamatan untuk sekolah maupun bekerja selama ± 8 jam pada

setiap harinya dan kemudian kembali pulang ke rumah. Hasil ini sejalan

dengan penelitian yang dilakukan oleh Gama T dan Betty R (2010 dalam

Erna K, 2012 h.37) di desa Mojosongo Kabupaten Boyolali yang

menyebutkan bahwa responden yang melakukan mobilitas memiliki resiko

9,29 kali lebih besar untuk mendapatkan DBD. Oleh kerena itu perlu adanya

pengawasan dan pemantauan secara berkala terhadap daerah merupakan

endemis DBD untuk mengurangi penularan DBD.


BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Distribusi kasus DBD di lima kecamatan kasus tertinggi Kota Semarang selama 1

Januari 2019 sampai dengan 14 Februari 2019 sebanyak 289 kasus. Model

penularan DBD dapat ditentukan melalui jarak indeks kasus dengan kasus lain.

a. Kecamatan Tembalang dengan penemuan cluster sebanyak 55 kasus (67%)

dan separated 26 kasus (33%).

b. Kecamatan Banyumanik dengan penemuan cluster sebanyak 39 kasus (54%)

dan separated 37 kasus (46%).

c. Kecamatan Pedurungan dengan penemuan cluster sebanyak 30 kasus (51%)

dan separated 29 kasus (49%).

d. Kecamatan Ngaliyan dengan penemuan cluster sebanyak 18 kasus (60%) dan

separated 12 kasus (40%).

e. Kecamatan Semarang Barat dengan penemuan cluster sebanyak 11 kasus

(52%) dan separated 10 kasus (48%).

2. Hasil analisis overlay GIS model dinamika ada 2 model penularan DBD di lima

kecamatan kasus tertinggi di Kota Semarang yaitu cluster dan separated yang

dapat dilihat dari jarak indeks kasus dengan indeks kasus lain secara cluster

(radius 100-200 meter dari indeks kasus) dan separated (radius lebih dari 200

meter indeks kasus). Model penularan cluster menjadi model yang efektif dalam

mendukung penularan DBD. Daya dukung lingkungan (pencahayaan, suhu,

kelembaban, dan curah hujan) yang optimal, mengakibatkan umur nyamuk

menjadi panjang dan siklus pertumbuhan virus terbentuk.

3. Determinan kasus DBD di lima kecamatan kasus tertinggi Kota Semarang

mendukung penularan kasus DBD.

145
146

a. Indikator Penularan dengan Kejadian DBDIndikator potensi penularan (ABJ) di

lima kecamatan kasus tertinggi mempunyai nilai ABJ ≤95% sehingga adanya

keberadaan nyamuk Aedes aegypti (vektor DBD) dan potensi penularan di

daerah tersebut.

1) Kecamatan Tembalang memiliki nilai terendah 89,13% dan tertinggi

94,73% dengan rata-rata 92,44%.

2) Kecamatan Banyumanik memiliki nilai terendah 84,20% dan tertinggi

92,52% dengan rata-rata 89,92%.

3) Kecamatan Pedurungan memiliki nilai terendah 88,66% dan tertinggi

96,75% dengan rata-rata 93,06%.

4) Kecamatan Ngaliyan memiliki nilai terendah 88,19% dan tertinggi 96,68%

dengan rata-rata 93,83%.

5) Kecamatan Semarang Barat memiliki nilai terendah 87,86% dan tertinggi

93,12% dengan rata-rata 91,01%.

Kecenderungan presentase ABJ yang rendah maka kejadian DBD yang tinggi

sehingga ABJ mendukung untuk penularan kasus DBD.

b. Kondisi Lingkungan Fisik dengan Kejadian DBD

Faktor unsur intensitas cahaya, suhu dan kelembaban di lima kecamatan

kasus tertinggi Kota Semarang mendukung penularan kasus DBD.

1) Kecamatan Tembalang memiliki intensitas cahaya nilai terendah 10 lux dan

tertinggi 147 lux dengan rata-rata 50,40 lux, suhu nilai terendah 28,9oC dan

tertinggi 32,9oC dengan rata-rata 31,41oC, kelembaban nilai terendah 62%

dan tertinggi 74% dengan rata-rata 67,04% mempunyai hubungan berpola

dari trend grafik.

2) Kecamatan Banyumanik memiliki intensitas cahaya terendah 18 lux dan

tertinggi 178 lux dengan rata-rata 57,87 lux, suhu nilai terendah 28,1oC

dan tertinggi 33,7oC dengan rata-rata 31,28 oC, kelembaban nilai terendah
147

60% dan nilai tertinggi 76% dengan rata-rata 66,21% mempunyai

hubungan berpola dari trend grafik.

3) Kecamatan Pedurungan memiliki intensitas cahaya nilai terendah 23 lux

dan tertinggi 147 lux dengan rata-rata 64,81 lux, suhu nilai terendah 29,2oC

dan tertinggi 34,3oC dengan rata-rata 31,72 oC, kelembaban nilai terendah

61% dan tertinggi 76% dengan rata-rata 68,70% mempunyai hubungan

berpola dari trend grafik

4) Kecamatan Ngaliyan memiliki intensitas cahaya nilai terendah 22 lux dan

tertinggi 96 lux dengan rata-rata 51 lux, suhu nilai terendah 25,5oC dan

tertinggi 33oC dengan rata-rata 29,94oC, kelembaban nilai terendah 67%

dan tertinggi 89% dengan rata-rata 74,75% mempunyai hubungan berpola

dari trend grafik.

5) Kecamatan Semarang Barat memiliki intensitas cahaya nilai terendah 34

lux dan tertinggi 120 lux dengan rata-rata 65 lux, suhu nilai terendah 28oC

dan tertinggi 32,3oC dengan rata-rata 29,78oC, kelembaban kelembaban

nilai terendah 65% dan tertinggi 87% dengan rata-rata 76,07% mempunyai

hubungan berpola dari trend grafik.

Faktor intensitas cahaya, suhu dan kelembaban memiliki kecenderungan suhu

rendah dan pencahayaan rendah maka kecenderungan kelembaban tinggi

sehingga optimum bagi nyamuk Aedes aegypti dalam hidupnya.

c. Curah Hujan dengan Kejadian DBD

Faktor unsur iklim di lima kecamatan kasus tertinggi Kota Semarang

mendukung penularan kasus DBD.

1) Kecamatan Tembalang intensitas curah hujan Januari 2018 – Februari 2019

nilai terendah 0 mm dan tertinggi 421 mm dengan rata-rata 150,21 mm.

Nilai kelembaban udara terendah 67% dan tertinggi 86% dengan rata-rata

77,78%.
148

2) Kecamatan Banyumanik intensitas curah hujan Januari 2018 – Februari

2019 nilai terendah 0 mm dan tertinggi 606 mm dengan rata-rata 184,85

mm. Nilai kelembaban udara terendah 67% dan tertinggi 86% dengan rata-

rata 77,78%.

3) Kecamatan Pedurungan intensitas curah hujan Januari 2018 – Februari

2019 nilai terendah 0 mm dan tertinggi 633 mm dengan rata-rata 173,75

mm. Nilai kelembaban udara terendah 67% dan tertinggi 86% dengan rata-

rata 77,78%.

4) Kecamatan Ngaliyan intensitas curah hujan Januari 2018 – Februari 2019

nilai terendah 0 mm dan tertinggi 677 mm dengan rata-rata 199,21 mm.

Nilai kelembaban udara terendah 67% dan tertinggi 86% dengan rata-rata

77,78%.

5) Kecamatan Semarang Barat intensitas curah hujan Januari 2018 – Februari

2019 nilai terendah 0 mm dan tertinggi 538 mm dengan rata-rata 179,78

mm. Nilai kelembaban udara terendah 67% dan tertinggi 86% dengan rata-

rata 77,78%.

Trend curah hujan pada awal tahun kecenderungan curah hujan tinggi yang

menyebabkan kelembaban naik sehingga kejadian kasus DBD tinggi.

B. Saran

1. Masyarakat

a. Warga masyarakat yang berada pada lima kecamatan kasus tertinggi kasus

DBD di Kota Semarang pada wilayah model penularan secara cluster

sebaiknya lebih berhati-hati karena vektor nyamuk berada di lingkungan sekitar

maupun yang memiliki mobilitas di lingkungan rawan DBD dapat

memungkinkan terjadinya penularan DBD secara horizontal melalui gigitan

nyamuk.
149

b. Perlunya kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) secara berkala

khususnya pada musim penghujan yang memiliki intensitas curah hujan yang

sedang sampai tinggi karena resiko penularan DBD oleh vektor nyamuk tinggi.

c. Menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal untuk mengurangi potensi

perkembangbiakan nyamuk.

2. Dinas Kesehatan atau Petugas Kesehatan

a. Dilihat dari karakteristik penderita DBD yang tertinggi yaitu usia pelajar (6-19

tahun) maka perlunya pengawasan pada lingkungan sekolah dan

mengikutsertakan pelajar dalam program PSN baik di lingkungan sekolah

maupun di lingkungan tempat tinggal.

b. Model penularan secara cluster menjadi model yang efektif untuk penularan

penyakit DBD sehingga perlu ditingkatkan upaya deteksi dini melalui

penyelidikan epidemiologi untuk mengantisipasi keterlambatan penanganan

kasus dan mencegah meluasnya penularan.

c. Pembekalan pengetahuan terhadap kader kesehatan dan warga pada setiap

wilayah lima kecamatan kasus tertinggi dengan melakukan penyuluhan

mengenai DBD dan cara penanggulangan DBD.

3. Peneliti Selanjutnya

a. Perlu adanya perbaikan dari keterbatasan penelitan yang dilakukan oleh

peneliti dari aspek observasi yang berkaitan dengan pencarian dan

penelusuran kasus DBD serta kesediaan sampel penelitian sebagai responden.

b. Perlu dilakukan penelitian resistensi vektor di wilayah dengan model penularan

cluster.

c. Perlu adanya penelitian mengenai transovarial virus dengue di lima kecamatan

kasus tertinggi Kota Semarang.

DAFTAR PUSTAKA
150

Aris Santjaka. 2013. Malaria Pendekatan Model Kausalitas. Yogyakarta : Nuha Medika
Atika Kusumastuti. 2017. Hubungan Potensi Penularan Dengan Kejadian Penyakit
Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Wilayah Ekskotatif Purwokerto Kabupaten
Banyumas. Skripsi. Purwokerto : Kementrian Kesehatan R.I. Politeknik Kesehatan
Semarang Jurusan Kesehatan Lingkungan.
Badan Pusat Statistik Kota Semarang. 2017. Profil Kependudukan Kota Semarang Tahun
2017. Semarang : BPS Kota Semarang.
Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. 2018. Data ABJ Kota Semarang Tahun
2014 – 2018. Semarang : Dinas Kesehatan Kota Semarang.
. 2018. Data Kasus DBD Kota
Semarang Tahun 2014 – 2018. Semarang : Dinas Kesehatan Kota Semarang.
Chasan Sudjain Kusnadi. 2006. Pengendalian Vektor dan Binatang Pengganggu (Vector
Control Manual). Makassar : Politeknik Kesehatan Makassar Press
Cipto Aris Purnomo. 2010. Dinamika Penularan Penyakit Demam Berdarah Dengue Di
Kecamatan Duren Sawit Kotamadya Jakarta Timur Tahun 2010. Skripsi. Depok :
Kementrian Riset dan Dikti R.I Universitas Indonesia.
Departemen Kesehatan R.I. Derektorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan. 2007. Pedoman Survai Entomologi Demam Berdarah Dengue.
Jakarta : Kementrian Kesehatan R.I.
Departemen Kesehatan R.I. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan. 2013. Pedoman Pengendalian Demam Berdarah Dengue Di Indonesia.
Jakarta : Kementrian Kesehatan R.I.
Diena Nur Khayati. 2016. Karakteristik Responden Yang Tinggal di Wilayah Kejadian Luar
Biasa (KLB) Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kabupaten Temanggung Tahun
2015. Skripsi. Semarang : Universitas Negeri Semarang
Dinas Kesehatan Kota Semarang. 2017. Profil Kesehatan Kota Semarang Tahun 2017.
Semarang : Dinas Kesehatan Kota Semarang.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. 2017. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah.
Online.
http://dinkesjatengprov.go.id/v2018/dokumen/Profil2017/mobil-e/index.html#p=98
(diakses pada tanggal 07 Januari 2019 : 07.03)
Dr. Budiman Chandra. 2006. Ilmu Kedokteran Pencegahan dan Komunitas. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Erna Kusumawardani. 2012. Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Wilayah
Pedesaan Tahun 2012 (Daerah Perbatasan Kabupaten Bogor dan Kabupaten
Lebak). Skripsi. Depok : Universitas Indonesia
151

Farida Kusumawardani. 2016. Dinamika Penularan Penyakit Demam Berdarah Dengue


(DBD) Di Wilayah Kerja Puskesmas Mungkid Kabupaten Magelang. Skripsi.
Purwokerto : Kementrian Kesehatan R.I. Politeknik Kesehatan Kemenkes
Semarang Jurusan Kesehatan Lingkungan.
Ni Luh Chandra. 2014. Pola Jumlah Trombosit dan Nilai Hematokrit pada Demam
Berdarah Dengue Berdasarkan Derajat Klinik Di RSUP Sanglah Periode Januari-
Juni 2014. Skripsi. Bali : Universitas Udayana Bali
Nurul Baiti. 2018. Analisis Dinamika Penularan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)
di Desa Endemis Kabupaten PekalonganTahun 2014-2016. Naskah Publikasi.
Pekalongan : Universitas Pekalongan
M. Anshori. 2018. Sistem Informasi Geografis Dengan ArcGIS Dekstop 10 : Bahasa
Indonesia. Jakarta : Unsorry
Soedarto. 2010. Virologi Klinik. Jakarta : CV. Sagung Seto.
Soegeng Soegijanto. 2005. Kumpulan Makalah Penyakit Tropis dan Infeksi di Indonesia,
Jilid 3. Surabaya : Airlangga University Press.
__________________. 2006. Demam Berdarah Dengue. Surabaya : Airlangga
University Press
Sumarmo Sunaryo Poorwo Soedarto. 2009. Demam Berdarah (Dengue) Pada Anak.
Jakarta : Universitas Indonesia Press
Stasiun Klimatologi Kota Semarang. 2018. Buletin Prakiraan Hujan Bulanan. Semarang :
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG)
Trisno Agung Wibowo. 2016. Investigasi Wabah. Online. http://www.kmpk.ugm.ac.id/
Epidemiologi (diakses pada tanggal 16 Mei 2019 : 17.10)
Umar Fahmi Achmadi. 2009. Manajemen Penyakit Berbasis Lingkungan. Artikel. Depok :
Universitas Indonesia
Widoyono. 2008. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan
Pemberantasannya. Semarang : Erlangga.
WHO. 1998. Demam Berdarah Dengue, edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Wiwik Setyaningsih, Dodiet Aditya Setyawan. 2014. Pemodelan Sistem Informasi
Geografis (SIG) Pada Distribusi Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Di
Kecamatan Karangmalang Kabupaten Sragen. Naskah Publikasi. Surakarta :
Kementrian Kesehatan R.I Politeknik Kesehatan Surakarta Jurusan Terapi Wicara
Yulia Iriani. 2012. Hubungan Antara Curah Hujan dan Peningkatan Kasus Demam
Berdarah Dengue Anak di Kota Palembang. Naskah Publikasi. Palembang :
Universitas Sriwijaya
152

Lampiran 1. Lembar Penjelasan Sebelum Penelitian

DINAMIKA PENULARAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)


DIDASARKAN PADA INDIKATOR POTENSI PENULARAN
DI LIMA KECAMATAN KASUS TERTINGGI KOTA SEMARANG TAHUN 2019

LEMBAR PENJELASAN SEBELUM PENELITIAN

Assalamualaikum Wr. Wb.


Selamat pagi dan salam sejahtera,

Perkenalkan nama saya Fendi Widyantoro, saya mahasiswa Prodi DIV


Kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan Kemenkes Semarang akan melaksanakan
penelitian dengan judul Dinamika Penularan Demam Berdarah Dengue (DBD) Didasarkan
Pada Indikator Potensi Penularan Di Lima Kecamatan Kasus Tertinggi Kota Semarang
Tahun 2019.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika penularan Demam
Berdarah Dengue (DBD) didasarkan pada indikator potensi penularan di lima
kecamatan kasus tertinggi Kota Semarang tahun 2019. Manfaat dari penelitian ini
yaitu dapat digunakan sebagai masukkan dan informasi kepada lembaga dan
institusi mengenai potensi penularan DBD dan upaya pencegahan serta
pengendalian penyakit DBD khususnya masyarakat di wilayah Kecamatan
Tembalang, Kecamatan Pedurungan, Kecamatan Banyumanik, Kecamatan
Ngaliyan dan Kecamatan Semarang Barat Kota Semarang.
Sasaran penelitian ini adalah penderita DBD di wilayah kerja Puskesmas
Kecamatan Tembalang, Kecamatan Pedurungan, Kecamatan Banyumanik, Kecamatan
Ngaliyan dan Kecamatan Semarang Barat di Kota Semarang pada tahun 2018 yang
dipilih secara keseluruhan. Penelitian dilaksanakan dengan cara pengamatan,
pengukuran, dan observasi. Waktu yang digunakan untuk kegiatan pengamatan,
pengukuran, dan observasi dilaksanakan selama ±7 hari. Setelah itu, data yang
didapatkan akan analisis dengan hasil tampilan peta grafik antar variabel (overlay)
dengan aplikasi GIS berdasarkan faktor lingkungan fisik, indikator potensi penularan dan
kepadatan penduduk serta grafik dan tabel untuk menggambarkan hasil penelitian.
Hasil penelitian.tersebut akan saya informasikan kepada lembaga atau institusi
kesehatan terkait yang ada di Kota Semarang.
153

Lampiran 2. Prosedur Pelaksanaan

DINAMIKA PENULARAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)


DIDASARKAN PADA INDIKATOR POTENSI PENULARAN
DI LIMA KECAMATAN KASUS TERTINGGI KOTA SEMARANG TAHUN 2019

PROSEDUR PELAKSANAAN

1. Melihat data sekunder catatan medis kasus DBD Dinas Kesehatan Kota Semarang

2. Penentuan lokasi penelitian berdasarkan distribusi kasus tertinggi dari tahun 2014-

2018.

3. Menggali informasi melalui wawancara terhadap penderita dan observasi lingkungan

tempat tinggal penderita.

4. Melakukan pengukuran intenitas cahaya, suhu, kelembaban dan penentuan titik

koordinat dengan GPS.

5. Pencatatan hasil dari pengumpulan data yang berupa pengukuran dan wawancara.

6. Menentukan model penularan dengan melihat jarak dari indeks kasus dengan kasus

lain secara cluster dan sparated.

7. Memetakan dalam bentuk gambar atau peta dengan aplikasi GIS dari hasil

pengumpulan data.

8. Analisis hubungan model penularan, indikator potensi penularan dan determinan

terhadap kejadian atau kasus DBD pada wilayah tersebut.


154

Lampiran 3. Lembar Persetujuan

DINAMIKA PENULARAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)


DIDASARKAN PADA INDIKATOR POTENSI PENULARAN
DI LIMA KECAMATAN KASUS TERTINGGI KOTA SEMARANG TAHUN 2019

LEMBAR PERSETUJUAN

Saya mengetahui bahwa kegiatan ini merupakan kegiatan pengumpulan data dari
penelitian dengan judul “Dinamika Penularan Demam Berdarah Dengue (DBD)
Didasarkan Pada Indikator Potensi Penularan Di Lima Kecamatan Kasus Tertinggi Kota
Semarang Tahun 2019”, yang dilakukan oleh :
Nama : Fendi Widyantoro
NIM : P1337433215037
Jurusan : Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Semarang
Prodi : Diploma IV Kesehatan Lingkungan
Sehingga saya,
Nama :
Alamat :
Umur :
Mengatakan bersedia/ tidak bersedia*) menjadi responden dalam penelitian ini dan
berpartisipasi untuk dilakukan pengumpulan dan pengambilan data yang berhubungan
dengan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)
Semarang, Maret 2019
Yang membuat persetujuan, Peneliti,

(……………………………...) Fendi Widyantoro

Saksi,

(……………………………….)

Catatan : *) dicoret bila perlu


155

Lampiran 4. Lembar Kerja Observasi

DINAMIKA PENULARAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)


DIDASARKAN PADA INDIKATOR POTENSI PENULARAN
DI LIMA KECAMATAN KASUS TERTINGGI KOTA SEMARANG TAHUN 2019

LEMBAR KERJA OBSERVASI

1. Identitas responden
Nama responden : …………………………………….
Umur : …………………………….. tahun
Jenis kelamin : 1. Laki-laki 2. Perempuan
Nama KK : …………………………………….
Alamat : …………………………………….
…………………………………….
2. Pekerjaan / aktivitas setiap hari
a. Pegawai Negeri / TNI / POLRI
b. Swasta / Wiraswasta
c. Pedagang (di pasar/toko)
d. Buka warung di rumah
e. Buruh
f. Ibu Rumah Tangga
g. Pelajar / Mahasiswa
h. Lainnya, ……………………............................
3. Tanggal mulai demam :
4. Tanggal diperiksa dengan RDT :
5. Keberadaan responden pada saat 7 (tujuh) hari sebelum tanggal mulai demam
a. Di rumah
b. Di sekolah
c. Di kantor / tempat bekerja
d. Lainnya ……………………………...................
6. Rumah / tempat tinggal responden
a. Suhu : ………………….. °C
b. Kelembaban : ………………….. %
c. Pencahayaan : ………………….. lux
d. Koordinat GPS : ………………….
156

Lampiran 5. Prosedur Pengukuran Pencahayaan

DINAMIKA PENULARAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)


DIDASARKAN PADA INDIKATOR POTENSI PENULARAN
DI LIMA KECAMATAN KASUS TERTINGGI KOTA SEMARANG TAHUN 2019

PROSEDUR PENGUKURAN PENCAHAYAAN

A. Alat

Lux meter

B. Bahan

Tempat penelitian

C. Cara Kerja

1. Siapkan alat dan bahan.

2. Alat diposisikan pada tempat yang ditentukan.

3. Buka foto listriknya, kemudian hidupkan lux meter.

4. Paparkan pada cahaya yang akan dilakukan pengukuran.

5. Tunggu sampai agka pada relative stabil lalu tekan (HOLD).

6. Lihat hasil pada layar lux meter.

7. Catat hasil pengukuran.


157

Lampiran 6. Prosedur Pengukuran Suhu

DINAMIKA PENULARAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)


DIDASARKAN PADA INDIKATOR POTENSI PENULARAN
DI LIMA KECAMATAN KASUS TERTINGGI KOTA SEMARANG TAHUN 2019

PROSEDUR PENGUKURAN SUHU

A. Alat dan Bahan

1. Thermometer suhu (oC)

2. Udara di ruangan

B. Cara Kerja

1. Siapkan alat

2. Buat formulir untuk mencatat hasil pengukuran

3. Letakkan thermometer pada ruangan yang akan diukur suhu udaranya

4. Biarkan ± 10 menit

5. Ambil dan baca

6. Lakukan pengukuran sesuai cara kerja


158

Lampiran 7. Prosedur Pengukuran Kelembaban

DINAMIKA PENULARAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)


DIDASARKAN PADA INDIKATOR POTENSI PENULARAN
DI LIMA KECAMATAN KASUS TERTINGGI KOTA SEMARANG TAHUN 2019

PROSEDUR PENGUKURAN KELEMBABAN

A. Alat dan Bahan

1. Hygrometer

2. Udara di ruangan

B. Cara Kerja

1. Hygrometer dipasang pada tempat yang akan diukur kelembabannya.

2. Beri air basahi thermometer pada suhu basah.

3. Biarkan selama ± 10 menit.

4. Baca thermometer pada suhu temperature basah (wet) dan skala temperature

kering (dry).

5. Hitung selisih temperature basah dan kering.

6. Tarik garis lurus ke bawah dari selisih antara temperaatur basah dan temperature

kering kemudian tarik garis lurus kearah horizontal dari suhu basah sampai

memotong garis selisih. Pada titik pertemuan antara suhu basah dan suhu kering

dengan nilai suhu basah merupakan nilai kelembabannya.


159

Lampiran 8. Prosedur Pengukuran Ordinat


DINAMIKA PENULARAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)
DIDASARKAN PADA INDIKATOR POTENSI PENULARAN
DI LIMA KECAMATAN KASUS TERTINGGI KOTA SEMARANG TAHUN 2019

PROSEDUR PENGUKURAN ORDINAT

A. Alat dan Bahan

1. Aplikasi GPS Essential

2. Lokasi Pengukuran

B. Cara Kerja

1. Siapkan alat

2. Buat formulir untuk mencatat hasil pengukuran

3. Tentukan lokasi pengukuran

4. Dowmload melalui aplikasi melalui Google Play kemudian masuk ke aplikasi GPS

Essential pilih menu Waypoint dan tambahkan lokasi dan pastikan jaringan seluler

tersedia dan baik

5. GPS Essential akan mencari sinyal satelit, ketika sudah terhubung dengan tiga

satelit atau lebih sehingga GPS akan mendapatkan lokasi anda.

6. GPS akan menunjukkan koordinat anda yaitu lintang dan bujur.


160

Lampiran 9. Jadwal Kerja Penelitian Tahun 2018-2019

DINAMIKA PENULARAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)


DIDASARKAN PADA INDIKATOR POTENSI PENULARAN
DI LIMA KECAMATAN KASUS TERTINGGI KOTA SEMARANG TAHUN 2019

JADWAL KERJA PENELITIAN


TAHUN 2018 - 2019

Waktu Penelitian
No. Kegiatan Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Tahap Persiapan
1. Pengajuan Judul
2. Penentuan Lokasi
3. Pembuatan Proposal
4. Seminar Proposal
5. Perbaikan Proposal
2 Tahap Pelaksanaan
1. Ijin Penelitian
2. Pengumpulan Data
3. Pengolahan Data
3 Tahap Penyelesaian
1. Pembuatan Skripsi
2. Ujian Skripsi
3. Perbaikan Skripsi
161

Lampiran 10. Diagnosa Penderita DBD Januari-Desember 2018

DINAMIKA PENULARAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)


DIDASARKAN PADA INDIKATOR POTENSI PENULARAN
DI LIMA KECAMATAN KASUS TERTINGGI KOTA SEMARANG TAHUN 2019

DIAGNOSA PENDERITA DBD


JANUARI – DESEMBER 2018
:

1. Kecamatan Tembalang

Uji Verifikasi Dinkes


No. Puskesmas Laboratorium Non
DD DBD DSS
Rumah Sakit Kriteria
1 Kedungmundu 32 24 4 1 3
2 Rowosari 19 11 6 0 2

2. Kecamatan Banyumanik

Uji Verifikasi Dinkes


Laboratoriu
No. Puskesmas Non
m Rumah DD DBD DSS
Kriteria
Sakit
1 Pudak 23 3 2 1
29
Payung
2 Padangsari 7 4 2 0 1
3 Srondol 15 12 1 2 0
4 Ngesrep 21 19 2 0 0

3. Kecamatan Pedurungan

Uji Verifikasi Dinkes


Laboratoriu
No. Puskesmas Non
m Rumah DD DBD DSS
Kriteria
Sakit
1 Tlogosari
31 23 6 0 2
Wetan
2 Tlogosari
44 37 6 0 1
Kulon

4. Kecamatan Ngaliyan

Uji Verifikasi Dinkes


Laboratoriu
No. Puskesmas Non
m Rumah DD DBD DSS
Kriteria
Sakit
1 Ngaliyan 16 9 6 0 1
2 Purwoyoso 6 6 0 0 0
3 Tambakaji 11 11 0 0 0
162

5. Kecamatan Semarang Barat

Uji Verifikasi Dinkes


Laboratoriu
No. Puskesmas Non
m Rumah DD DBD DSS
Kriteria
Sakit
1 Krobokan 10 7 1 0 2
2 Karangayu 3 3 0 0 0
3 Ng. Simongan 9 8 1 0 0
4 Lebdosari 7 7 0 0 0
5 Manyaran 10 9 0 1 0
163

Lampiran 11. Diagnosa Penderita DBD Januari-Februari 2019

DINAMIKA PENULARAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)


DIDASARKAN PADA INDIKATOR POTENSI PENULARAN
DI LIMA KECAMATAN KASUS TERTINGGI KOTA SEMARANG TAHUN 2019

DIAGNOSA PENDERITA DBD


JANUARI – FEBRUARI 2019

1. Kecamatan Tembalang

Uji Verifikasi Dinkes


No. Puskesmas Laboratorium Non
DD DBD DSS
Rumah Sakit Kriteria
1 Kedungmundu 68 44 13 0 11
2 Rowosari 21 10 5 0 6

2. Kecamatan Banyumanik

Uji Verifikasi Dinkes


Laboratoriu
No. Puskesmas Non
m Rumah DD DBD DSS
Kriteria
Sakit
1 Pudak 22 5 0 2
29
Payung
2 Padangsari 13 9 3 1 0
3 Srondol 22 19 3 0 0
4 Ngesrep 21 17 4 0 0

3. Kecamatan Pedurungan

Uji Verifikasi Dinkes


Laboratoriu
No. Puskesmas Non
m Rumah DD DBD DSS
Kriteria
Sakit
1 Tlogosari
38 23 12 0 3
Wetan
2 Tlogosari
23 20 3 0 0
Kulon

4. Kecamatan Ngaliyan

Uji Verifikasi Dinkes


Laboratoriu
No. Puskesmas Non
m Rumah DD DBD DSS
Kriteria
Sakit
1 Ngaliyan 15 10 3 1 1
2 Purwoyoso 22 7 3 2 0
3 Tambakaji 5 3 2 0 0
164

5. Kecamatan Semarang Barat

Uji Verifikasi Dinkes


Laboratoriu
No. Puskesmas Non
m Rumah DD DBD DSS
Kriteria
Sakit
1 Krobokan 4 4 0 0 0
2 Karangayu 3 3 0 0 0
3 Ng. Simongan 8 8 0 0 0
4 Lebdosari 4 4 0 0 0
5 Manyaran 3 3 0 0 0
165

Lampiran 12. Sebaran Kasus DBD

DINAMIKA PENULARAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)


DIDASARKAN PADA INDIKATOR POTENSI PENULARAN
DI LIMA KECAMATAN KASUS TERTINGGI KOTA SEMARANG TAHUN 2019

SEBARAN KASUS DBD

PERIODE 1 JANUARI – 14 FEBRUARI 2019

Kecamatan
No. Bulan Semarang
Tembalang Banyumanik Pedurungan Ngaliyan
Barat
1. Januari 2 3 12 1 7
2. Februari 8 3 10 3 2
3. Maret 5 4 3 1 4
4. April 2 3 10 5 2
5. Mei 4 4 4 2 6
6. Juni 3 3 3 1 2
7. Juli 5 9 10 4 3
8. Agustus 2 13 4 5 3
9. September 2 6 2 2 3
10. Oktober 6 6 5 3 2
11. November 5 5 5 0 1
12. Desember 7 14 6 6 4
13. Januari 44 57 33 22 11
14. Februari 45 28 28 10 10
Jumlah 140 158 135 65 60
166

Lampiran 13. Karakteristik Penderita DBD

DINAMIKA PENULARAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)


DIDASARKAN PADA INDIKATOR POTENSI PENULARAN
DI LIMA KECAMATAN KASUS TERTINGGI KOTA SEMARANG TAHUN 2019

KARAKTERISTIK PENDERITA DBD

1. Jenis Kelamin

Tabel 4.6. Jenis Kelamin Penderita DBD

2018 2019
No. Nama Kecamatan
L P Jumlah L P Jumlah
1. Kecamatan
34 19 53 44 45 89
Tembalang
2. Kecamatan
51 21 72 46 39 85
Banyumanik
3. Kecamatan
40 35 75 32 29 61
Pedurungan
4. Kecamatan
16 17 33 19 13 32
Ngaliyan
5. Kecamatan
19 20 39 11 11 22
Semarang Barat
Jumlah 160 112 272 152 137 289

2. Usia

Tabel 4.7. Usia Penderita DBD

2018 2019
No Nama
6- 20- >50 Jumlah 6- 20- >50 Jumlah
. Kecamatan <5 <5
19 49 19 49
1. Kecamatan
9 31 11 2 53 14 49 19 7 89
Tembalang
2. Kecamatan
14 32 24 2 72 7 49 27 2 85
Banyumanik
3. Kecamatan
15 26 20 14 75 11 31 14 5 61
Pedurungan
4. Kecamatan
7 10 15 1 33 5 14 13 0 32
Ngaliyan
5. Kecamatan
Semarang 6 16 13 4 39 4 13 3 2 22
Barat
Jumlah 51 114 83 23 272 41 155 76 16 289
167

Lampiran 14. Data Unsur Iklim BMKG

DINAMIKA PENULARAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)


DIDASARKAN PADA INDIKATOR POTENSI PENULARAN
DI LIMA KECAMATAN KASUS TERTINGGI KOTA SEMARANG TAHUN 2019

DATA UNSUR IKLIM BMKG


JANUARI 2018 – FEBRUARI 2019

1. Unsur Iklim

Unsur Iklim JA FE MA AP ME JU JU AG SE OK NO DE JA FE
N B R R I N L T P T V S N B
Suhu 25. 25. 26.9 27. 28 27. 27. 28. 28. 28. 27. 27. 27. 27.
2 9 8 8 1 1 4 6 7 0 6 0
Kelembaba 84 86 83 78 75 75 71 69 67 71 80 84 84 82
n

2. Curah Hujan

Lokasi JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGT SEP OKT NOV DES JAN FEB
Semarang 351 538 230 214 18 45 0 0 20 133 261 252 293 162
Barat
Tembalang 240 421 176 88 95 63 0 0 48 90 180 215 258 229
Pedurungan 205 633 175 164 36 30 4 0 11 113 297 297 293 169
Ngaliyan 400 677 246 205 37 162 0 10 40 97 249 249 247 170
Banyumanik 295 606 287 189 78 65 0 1 55 25 250 311 212 214

Keterangan :
Suhu Udara : °Celcius
Kelembaban Udara : % (persen)
168

Curah Hujan : Milimeter


Pengukuran Curah Hujan Banyumanik menggunakan data Tarabuana Ungaran

Lampiran 15. Data Angka Bebas Jentik (ABJ)


DINAMIKA PENULARAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)
DIDASARKAN PADA INDIKATOR POTENSI PENULARAN
DI LIMA KECAMATAN KASUS TERTINGGI KOTA SEMARANG TAHUN 2019

DATA ANGKA BEBAS JENTIK (ABJ)


JANUARI 2018 – FEBRUARI 2019

Lokasi JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGT SEP OKT NOV DES JAN FEB
Tembalang 89,13 90,73 90,52 92,18 93,76 93,69 93,63 94,00 94,52 94,73 94,10 92,82 90,82 89,55
Banyumanik 87,89 89,84 89,99 90,29 92,52 92,61 90,61 91,06 92,16 92,42 91,90 89,10 84,20 84,25
Pedurungan 90,51 89,79 89,89 93,33 93,61 93,96 95,51 96,01 96,19 96,75 95,81 94,87 88,66 87,99
Ngaliyan 88,19 90,52 94,31 94,28 94,51 95,07 94,76 95,25 95,50 96,41 96,03 96,68 91,40 90,75
Semarang
87,86 89,47 89,16 90,54 91,71 92,08 92,21 92,95 93,12 91,99 91,33 91,70 89,91 90,03
Barat

Keterangan :
Satuan ABJ (%)
Batas ABJ minimum 95 %
169

Lampiran 16. Hasil Wawancara Responden DBD

DINAMIKA PENULARAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)


DIDASARKAN PADA INDIKATOR POTENSI PENULARAN
DI LIMA KECAMATAN KASUS TERTINGGI KOTA SEMARANG TAHUN 2019

HASIL WAWANCARA
RESPONDEN DBD

1. Kecamatan Tembalang

L/ Tanggal Tanggal Keberadaan Lama


No. Nama Usia Trombosit
P Demam Tegak (< 7 hari) Sakit
1. Rdi 14 th L 27-12-2018 29-12-2018 Rumah dan 5 hari 40.000
Salatiga
2. Ibr 7 th L 29-01-2019 01-02-2019 Mrican, 5 hari 85.000
Salatiga,
Rumah
3. Ras 2,2 L 13-02-2019 16-02-2019 Rumah 5 hari 60.000
th
4. Abi 20 th L 23-12-2018 07-01-2019 Kudus, Solo, 16 56.000
Jogja, Sekaran hari
5. Adl 12 th P 23-01-2019 30-01-2019 Rumah 5 hari 62.000
6. Crs 10 th P 22-01-2019 29-01-2019 Rumah 9 hari 93.000
7. Mul 48 th L 23-01-2019 28-01-2019 Genuk, 7 hari 140.000
Pedurungan,
Dr. Cipto,
Anjasmoro,
Rumah
8. And 19 th L 19-01-2019 25-01-2019 Banyumanik 7 hari 80.000
dan Rumah
9. Lut 20 th L 02-01-2019 07-01-2019 Ngesrep, 6 hari 52.000
Fatmawati,
Rumah
10. Juw 30 th P 25-01-2019 31-01-2019 Fatmawati, 7 hari 26.000
Rowosari,
Sendang
Mulyo, Rumah
11. Shv 0,8 P 02-01-2019 04-01-2019 Rumah 6 hari 30.000
th
12. Blq 4,1 P 23-01-2019 27-01-2019 Boyolali, 7 hari 43.000
th Rumah,
Sendangmulyo
13. Alf 17 th P 13-01-2019 19-01-2019 Rumah, 8 hari 58.000
Pedurungan
14. Chy 11 th P 09-02-2019 13-02-2019 Rumah, 7 hari 129.000
Meteseh
15. Rzk 16 th L 07-02-2019 13-02-2019 Rumah, 8 hari 23.000
Kedungmundu
16. Ndz 9 th P 07-02-2019 12-02-2019 Rumah, 7 hari 47.000
Klipang
17. Shi 7 th P 08-02-2019 16-02-2019 Rumah, 10 105.000
Kedungmundu hari
170

L/ Tanggal Tanggal Keberadaan Lama


No. Nama Usia Trombosit
P Demam Tegak (< 7 hari) Sakit
18. Aff 7 th L 01-02-2019 04-02-2019 Rumah, 6 hari 38.000
Ngemplak
19. Adh 16 th L 25-01-2019 30-01-2019 Klipang, 7 hari 57.000
Rumah,
Pedurungan
20. Yan 20 th L 27-01-2019 31-01-2019 Bangunharjo, 7 hari 110.000
Rumah
21. Bgs 15 th L 02-02-2019 06-02-2019 Candisari, 6 hari 40.000
Rumah
22. Trs 8 th P 22-01-2019 29-01-2019 Sendangmulyo 9 hari
, Rumah, 45.000
Sendangguwo
23. Slv 10,9 P 08-02-2019 13-02-2019 Rumah, 7 hari 53.000
th Sendangguwo
24. Str 56 th L 16-01-2019 19-01-2019 Gedungbatu, 8 hari 22.000
Rumah
25. And 9 th P 04-02-2019 09-02-2019 Rumah, 7 hari 30.000
Gemahsari
26. Tri 61 th P 02-02-2019 07-02-2019 Rumah 7 hari 40.000
27. Msh 8 th L 01-02-2019 05-02-2019 Rumah, 7 hari 32.000
Sendangguwo
28. Rhm 17 th P 01-02-2019 04-02-2019 Rumah, 6 hari 86.000
Pandanaran
29. Hly 0,8 P 17-01-2019 18-02-2019 Pandanaran, 7 hari 19.000
th Kimangunsark
oro, Rumah
30. Rma 12 th L 14-01-2019 18-01-2019 Rumah, 7 hari 30.000
Tentara
Pelajar
31. Dhk 16 th L 30-01-2019 02-02-2019 Rumah, 7 hari 42.000
Pleburan,
Jangli
32. Ang 18 th L 16-01-2019 22-01-2019 Rumah, 8 hari 40.000
Fatmawati
33. Ezr 25 th L 09-02-2019 12-02-2019 Bandung 6 hari 44.000
34. Zra 0,8 P 10-02-2019 16-02-2019 Rumah 8 hari 35.000
th
35. Mvr 2 th L 10-01-2019 15-01-2019 Peterongan, 7 hari 25.000
Rumah,
Simpang 5
36. Bma 14 th L 05-02-2019 10-02-2019 Rumah, 7 hari 150.000
Tentara
Pelajar
37. Aby 14 th L 01-02-2019 06-02-2019 Rumah, 7 hari 53.000
Gunungsari
38. Ind 52 th L 12-02-2019 15-02-2019 Purwodadi, 7 hari 100.000
Rumah
39. Ala 22 th L 17-01-2019 22-01-2019 Banyumanik, 8 hari 45.000
Ngesrep,
Rumah
40. Dnd 8 th P 31-12-2018 04-01-2019 Kudus, 6 hari 85.000
Boyolali,
Ambarawa,
171

L/ Tanggal Tanggal Keberadaan Lama


No. Nama Usia Trombosit
P Demam Tegak (< 7 hari) Sakit
Rumah
41. Ftr 9 th L 10-02-2019 11-02-2019 Rumah, 7 hari -
Bulusan
42. Adl 12 th L 23-01-2019 28-01-2019 Rumah, 8 hari 80.000
Jatingaleh,
Karangrejo
43. Ngd 55 th L 14-01-2019 16-01-2019 Peterongan, 7 hari 76.000
Rumah
44. Njl 10 th P 20-01-2019 24-01-2019 Rumah, 6 hari 18.000
Rejosari
45. Khd 17 th L 03-01-2019 04-01-2019 Rumah, 5 hari 36.000
Wonodri
46. Dzk 3 th L 12-01-2019 16-01-2019 Rumah 7 hari 38.000
47. Lts 12 th P 06-02-2019 13-02-2019 Rumah, 8 hari 100.000
Meteseh

2. Kecamatan Banyumanik

L/ Tanggal Tanggal Keberadaan Lama


No Nama Usia Trombosit
P Demam Tegak (< 7 hari) Sakit
1. Aff 18 P 11-01-2019 18-01-2019 Pedalangan, 9 hari 35.000
th Rumah
2. Alx 18 L 11-01-2019 13-01-2019 Rumah, 7 hari 35.000
th Watugong
3. Rid 7,5 L 10-01-2019 17-01-2019 Pudak 8 hari 64.000
th Payung,
Rumah
4. Zak 3,3 P 16-01-2019 19-01-2019 Tegal Sari, 7 hari 40.000
th Rumah
5. Ala 8 th P 28-12-2018 03-01-2019 Payung Mas, 8 hari 39.000
Rumah
6. Adt 12 L 25-01-2019 30-01-2019 Rumah, 8 hari 108.000
th Pudak
Payung
7. Frd 18 P 02-02-2019 04-02-2019 Sekaran, 7 hari 53.000
th Purwokerto,
Rumah
8. Vci 11 L 14-01-2019 15-01-2019 Rumah, 7 hari 75.000
th Pudak
Payung
9. Ani 44 P 05-02-2019 09-02-2019 Banyumanik, 7 hari 95.000
th Rumah
10. Yga 23 L 01-02-2019 04-02-2019 Bergas, 6 hari 100.000
th Rumah
11. Anr 48 P 22-01-2019 27-01-2019 Bandungan, 7 hari 110.000
th Pekalongan,
Rumah
12. Ryn 6 th L 25-01-2019 30-01-2019 Bugangan, 7 hari 86.000
Rumah,
Kawung Sari
13. Alk 1 th P 02-01-2019 06-01-2019 Rumah 7 hari 103.000
172

L/ Tanggal Tanggal Keberadaan Lama


No Nama Usia Trombosit
P Demam Tegak (< 7 hari) Sakit
14. Raf 16 L 03-02-2019 09-02-2019 Bekasi 8 hari 80.000
th (Setu),
Rumah
15. Ado 25 L 25-01-2019 28-01-2019 Kebumen, 6 hari 75.000
th Sampangan,
Rumah
16. Alr 2 th L 03-02-2019 09-02-2019 Banyumanik, 7 hari 61.000
Rumah
17. Okt 13 P 23-01-2019 29-01-2019 Srondol 8 hari 73.000
th Wetan,
Rumah
18. Ppn 40 L 02-02-2019 07-02-2019 Blora, 7 hari 135.000
th Rumah
19. Ota 10,3 L 09-01-2019 14-01-2019 Srondol 7 hari 15.000
th Wetan,
Rumah
20. Mys 12 P 09-02-2019 13-02-2019 Rumah, 10 15.000
th Banyumanik hari
21. Hln 24 P 27-01-2019 29-01-2019 Rumah 8 hari 57.000
th
22. Ysy 12 L 26-01-2019 31-01-2019 Rumah, 7 hari 100.000
th Srondol
Wetan
23. Abi 17 L 21-01-2019 25-01-2019 Padangsari, 8 hari 77.000
th Rumah,
Banyumanik
24. Afa 17 L 28-01-2019 02-02-2019 Rumah, 6 hari 69.000
th Srondol
Wetan
25. Usp 31 L 11-02-2019 13-02-2019 Srondol 8 hari 60.000
th
26. Rhn 14 L 21-01-2019 23-01-2019 Bandung, 7 hari 79.000
th Rumah,
Srondol
Wetan
27. Fuz 10 P 22-01-2019 25-01-2019 Banyumanik, 7 hari 50.000
th Rumah
28. Kmr 5 th P 24-01-2019 29-01-2019 Solo, Rumah 7 hari 36.000
29. Ags 31 L 25-01-2019 27-01-2019 Ungaran, 9 hari 10.000
th Rumah
30. Amd 9 th L 19-01-2019 23-01-2019 Ungaran, 8 hari 20.000
Rumah,
Tinjomulyo
31. Spt 19 L 08-01-2019 12-01-2019 Rumah, 6 hari 80.000
th Teuku Umar
32. Krs 38 L 06-01-2019 08-01-2019 Pudak 6 hari 90.000
th Payung,
Rowosari,
Mangkang,
Rumah
33. Rdi 59 L 17-01-2019 24-01-2019 Candisari, 8 hari 86.000
th BSB, Rumah
173

3. Kecamatan Pedurungan

L/ Tanggal Tanggal Keberadaan Lama


No Nama Usia Trombosit
P Demam Tegak (< 7 hari) Sakit
1. Ard 10 th L 06-02-2019 12-02-2019 Rumah, 8 hari 45.000
Pedurungan
Kidul
2. Nur 31 th L 29-01-2019 31-01-2019 Demak, 6 hari 80.000
Rumah
3. Riz 7 th L 25-01-2019 29-01-2019 Mranggen, 6 hari
Palebon
4. Adz 5,5 P 28-01-2019 01-02-2019 Rumah, 6 hari 75.000
th Tlogomulyo
5. Mey 49 th L 28-01-2019 01-02-2019 Pekalongan, 6 hari 70.000
Tegal
6. Val 10 th P 05-02-2019 12-02-2019 Pedurungan 8 hari 115.000
Tengah,
Rumah,
Tlogosari
Wetan
7. Mau 32 L 01-01-2019 03-01-2019 Candisari, 7 hari 93.000
th Rumah
8. Sar 49 th L 11-01-2019 18-01-2019 Purwosari, 7 hari 38.000
Banjarnegara
, Weleri
9. Ham 3,2 L 09-01-2019 12-01-2019 Solo, Rumah 6 hari 174.000
th
10. Tho 13 th L 17-01-2019 19-01-2019 Rumah, 7 hari 41.000
Palebon
11. Rev 1,5 P 26-01-2019 30-01-2019 Rumah 7 hari 68.000
th
12. Put 14 th P 26-01-2019 30-01-2019 Palebon, 7 hari 29.000
Rumah
13. Afi 16 th P 21-01-2019 28-01-2019 Pati 8 hari 88.000
14. Apr 18 th L 02-02-2019 02-02-2019 Rumah, 7 hari 123.000
Tlogosari
Wetan
15. Rdt 14 th L 08-01-2019 13-01-2019 Pancakarya, 7 hari 93.000
Rumah,
Sompok
16. Kha 10 th P 02-02-2019 07-02-2019 Pucang 7 hari 47.000
Gading,
Rumah,
Tlogosari
Kulon
17 Bbg 38 th L 21-01-2019 28-01-2019 Ungaran 6 hari 42.000
(kelainan
darah)
18. Eli 23 th P 19-01-2019 24-01-2019 Tembalang, 7 hari 87.000
Rumah
19. Puj 55 th P 06-02-2019 12-02-2019 Rumah, 7 hari 34.000
Peleburan
20. Bin 10 th L 02-01-2019 09-01-2019 Pedurungan, 8 hari 61.000
Rumah
174

L/ Tanggal Tanggal Keberadaan Lama


No Nama Usia Trombosit
P Demam Tegak (< 7 hari) Sakit
21. Kag 61 th L 01-02-2019 06-02-2019 Rumah, 7 hari 77.000
Gemah
(farises
lambung)
22. Adi 10 th L 27-01-2019 31-01-2019 Rumah, 7 hari 55.000
Palebon
23. Iis 28 th P 09-02-2019 14-02-2019 Rumah 7 hari 84.000
24. Nat 11 th P 31-01-2019 04-02-2019 Rumah, 7 hari 73.000
Kalicari
25. Sep 21 th L 01-02-2019 04-02-2019 Penggaron, 15 85.000
Rumah hari
26. Aga 1,10 L 09-02-2019 11-02-2019 Rumah 8 hari 73.000
th
27. Khm 10,5 P 08-02-2019 13-02-2019 Muktiharjo 6 hari 132.000
th Kidul,
Permata sari,
Rumah

4. Kecamatan Ngaliyan

L/ Tanggal Tanggal Keberadaan Lama


No Nama Usia Trombosit
P Demam Tegak (< 7 hari) Sakit
1. Sla 20 th L 21-01-2019 01-02-2019 Rumah,Tamb 9 hari 24.000
akaji
2. Daf 14 th L 26-12-2018 01-01-2019 Simpang 5, 8 hari 35.000
Rumah
3. Mik 3,5 L 03-01-2019 07-01-2019 Kaligawe, 7 hari 33.000
th Rowosari,
Rumah
4. Dav 4,7 L 08-01-2019 10-01-2019 Rumah 7 hari 113.000
th
5. Bag 22 th L 25-01-2019 01-02-2019 Nglimut, 7 hari 68.000
Rumah
6. Deb 7 th P 06-01-2019 11-01-2019 Rumah, 5 hari 98.000
Ngaliyan
7. Ade 14 th L 01-02-2019 04-02-2019 Rumah, 7 hari 87.000
Purwoyoso
8. Sub 39 th L 04-02-2019 08-02-2019 Tambakaji, 8 hari 26.000
Rumah
9. Anz 28 th P 12-01-2019 16-01-2019 Tambakaji, 8 hari 47.000
Rumah,
Kendal
10. Nik 18 th P 16-01-2019 21-01-2019 BSB, Rumah 7 hari 62.000
11. Mau 15 th L 15-01-2019 19-01-2019 Rumah, 9 hari 5.000
Beringin,
Mankang
12. Ard 28 th P 01-01-2019 15-01-2019 Gajahmungk 6 hari 29.000
ur, Ngaliyan
13. Zak 5 th P 04-02-2019 06-02-2019 Rumah 7 hari 150.000
(Tidak DBD)
14. Her 19 th P 24-01-2019 29-01-2019 Simongan, 7 hari 70.000
Rumah
175

L/ Tanggal Tanggal Keberadaan Lama


No Nama Usia Trombosit
P Demam Tegak (< 7 hari) Sakit
15. Ame 4,4 P 13-01-2019 19-01-2019 Rumah 7 hari 14.000
th
16. Mau 11 th L 15-01-2019 19-01-2019 Rumah, 8 hari 16.000
Purwoyoso

5. Kecamatan Semarang Barat

L/ Tanggal Tanggal Keberadaan Lama


No Nama Usia Trombosit
P Demam Tegak (< 7 hari) Sakit
1. Sri 58 th P 11-01-2019 14-01-2019 Rumah 6 hari 35.000
2. Shi 12 th P 11-01-2019 15-01-2019 Dorowati, 7 hari 34.000
Krobokan
3. Sat 6,6 L 01-02-2019 08-02-2019 Anjasmoro, 7 hari 56.000
th Rumah
4. Sud 56 th L 04-02-2019 10-02-2019 Papandayan, 8 hari 61.000
Rumah
5. Kev 5,8 L 28-01-2019 03-02-2019 Kumudasmor 7 hari 25.000
th o, Rumah
6. Cha 9 th P 22-02-2019 25-02-2019 Gisikdrono, 7 hari 41.000
Rumah
7. Ima 15 th L 24-01-2019 30-01-2019 Puspowarno, 7 hari 88.000
Rumah
8. Hil 4 th P 03-02-2019 05-02-2019 Rumah 8 hari 74.000
9. Bay 27 th L 26-01-2019 01-02-2019 Salatiga, 8 hari 22.000
Demak,
Semarang
10. Raf 12 th L 26-01-2019 30-01-2019 Rumah, 9 hari 26.000
Kembangaru
m
11. Eli 7 th P 18-01-2019 24-01-2019 Rumah, 8 hari 42.000
Gisikdrono
12. Far 15 th L 06-01-2019 09-01-2019 Ngaliyan, Sri 7 hari 105.000
Rejeki,
Kalibanteng
Kidul, Rumah

13. Zar 11 th P 15-01-2019 19-01-2019 Rumah, 7 hari 94.000


Kalibanteng
Kidul
176

Lampiran 17. Model Penularan DBD


DINAMIKA PENULARAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)
DIDASARKAN PADA INDIKATOR POTENSI PENULARAN
DI LIMA KECAMATAN KASUS TERTINGGI KOTA SEMARANG TAHUN 2019

MODEL PENULARAN DBD

1. Kecamatan Tembalang

Tanggal
No Nama Kelurahan Jarak Model Penularan
Diagnosa
07/02/2019
1 Fzl Meteseh Cluster
(IK) 100-
18/02/2019 200 m
2 Lts Meteseh Cluster
(KL)
06/01/2019
3 Irf Meteseh Separated
(IK)
16/01/2019
4 Dzk Meteseh Separated
(IK)
06/01/2019
5 Khd Meteseh >200 m Separated
(IK)
14/02/2019
6 Fch Meteseh Separated
(IK)
24/01/2019
7 Njl Meteseh Separated
(IK)
19/01/2019
8 Iqb Kramas Cluster
(IK)
20/01/2019
9 Ngd Kramas Cluster
(KL) 100-
28/01/2019 200 m
10 Abl Kramas Cluster
(KL)
11/02/2019
11 Ftr Kramas Cluster
(KL)
31/01/2019
12 Tit Kramas >200 m Seperated
(IK)
04/01/2019
13 Dnd Kramas Cluster
(IK) 100-
22/01/2019 200 m
14 Ala Kramas Cluster
(KL)
04/01/2019
15 Ags Kramas >200 m Separated
(IK)
9/01/2019
16 Jam Tembalang Cluster
(IK) 100-
12/01/2019 200 m
17 Lai Bulusan Cluster
(KL)
16/02/2019
18 Ind Tembalang Separated
(IK)
>200 m
19/01/2019
19 Nur Tembalang Separeted
(IK)
16/02/2019 100-
20 Ras Sendang Mulyo Cluster
(IK) 200 m
21 Zhr Sendang Mulyo 18/02/2019 Cluster
(KL)
177

Tanggal
No Nama Kelurahan Jarak Model Penularan
Diagnosa
23/12/2019
22 Abi Sendang Mulyo Cluster
(KL)
23/01/2019
23 Adl Sendang Mulyo Cluster
(IK) 100-
29/01/2019 200 m
24 Mcl Sendang Mulyo Cluster
(KL)
Fel 25/01/2019
25 Sendang Mulyo Cluster
(pindah) (IK)
23/01/2019 100-
26 Crs Sendang Mulyo Cluster
(KL) 200 m
08/02/2019
27 Rat Sendang Mulyo Cluster
(KL)
02/01/2019
(IK) &
28 Ltf & Hnf Sendang Mulyo Cluster
16/02/2019 100-
(KL) 200 m
07/02/2019
29 Dan Sendang Mulyo Cluster
(KL)
13/01/2019
30 Alf Sendang Mulyo Cluster
(IK)
28/01/2019 100-
31 Mul Sendang Mulyo Cluster
(KL) 200 m
27/01/2 019
32 Blq Sendang Mulyo Cluster
(KL)
11/02/2019
33 Lai Sendang Mulyo >200 m Separated
(IK)
02/01/2019
34 Shv Sendang Mulyo Cluster
(IK)
02/01/2019
35 Lut Sendang Mulyo Cluster
(IK)
31/01/2019 100-
36 Jwn Sendang Mulyo Cluster
(KL) 200 m
12/02/2019
37 Ndz Sendang Mulyo Cluster
(KL)
13/02/2019
38 Rzk Sendang Mulyo Cluster
(KL)
24/01/2019
39 Dwi Sendang Mulyo >200 m Separated
(KL)
31/01/2019
40 Hpp Sendang Mulyo Cluster
(IK) 100-
13/02/2019 200 m
41 Cah Sendang Mulyo Cluster
(KL)
13/02/2019
42 Wiw Sendang Mulyo Separated
(IK)
>200 m
14/01/2019
43 Odl Sendang Mulyo Separated
(IK)
25/01/2019
44 Anh Sendang Mulyo Cluster
(IK) 100-
14/02/2019 200 m
45 Dit Sendang Mulyo Cluster
(KL)
15/01/2019 100-
46 Mav Jangli Cluster
(IK) 200 m
47 Abm Jangli 06/02/2019 Cluster
178

Tanggal
No Nama Kelurahan Jarak Model Penularan
Diagnosa
(KL)
10/02/2019
48 Bim Jangli Cluster
(KL)
16/02/2019
49 Shi Jangli Cluster
(KL)
18/01/2019
50 Ram Jangli Cluster
(IK)
02/02/2019
51 Naj Jangli Cluster
(KL)
19/01/2019
52 Hul Jangli Cluster
(KL)
04/02/2019
53 Afi Tandang Separated
(IK)
>200 m
02/02/2019
54 Dhk Tandang Separated
(IK)
14/01/2019
55 Sep Kedung Mundu Cluster
(IK)
08/02/2019
56 Ada Kedung Mundu Cluster
(KL) 100-
07/01/2019 200 m
57 Aln Kedung Mundu Cluster
(KL)
19/01/2019
58 Ivn Kedung Mundu Cluster
(KL)
19/01/2019
59 Str Kedung Mundu Cluster
(IK) 100-
10/02/2019 200 m
60 Pra Kedung Mundu Cluster
(KL)
15/02/2019
61 Alf Sambiroto Separated
(IK)
29/12/2018
62 Rdi Sambiroto Separeted
(IK)
>200 m
01/02/2019
63 Ibr Sambiroto Separeted
(IK)
21/01/2019
64 Ahz Sambiroto Separeted
(IK)
05/01/2019
65 Inn Sendang Guwo Cluster
(IK)
31/01/2019
66 Amr Sendang Guwo Cluster
(KL) 100-
21/01/2019 200 m
67 Dwi Sendang Guwo Cluster
(KL)
18/02/2019
68 Ary Sendang Guwo Cluster
(KL)
28/01/2019
69 Fai Sendang Guwo Cluster
(IK)
08/02/2019 100-
70 Sef Sendang Guwo Cluster
(KL) 200 m
29/01/2019
71 Tri Sendang Guwo Separated
(KL)
04/02/2019 100-
72 Rah Sendang Guwo Cluster
(IK) 200 m
73 Rzk Sendang Guwo 06/02/2019 Cluster
(KL)
179

Tanggal
No Nama Kelurahan Jarak Model Penularan
Diagnosa
07/02/2019
74 Sah Sendang Guwo Cluster
(KL)
07/02/2019
75 Tda Sendang Guwo Cluster
(KL)
16/02/2019
76 Zer Sendang Guwo Cluster
(KL)
17/01/2019
77 Erz Sendang Guwo Separated
(IK)
22/01/2019
78 Ang Sendang Guwo Separated
(IK)
>200 m
27/01/2019
79 Ady Mangunharjo Separated
(IK)
11/02/2019
80 Els Mangunharjo Separated
(IK)

2. Kecamatan Banyumanik

Tanggal
No Nama Kelurahan Jarak Model Penularan
Diagnosa
30/12/2019
1 Ary Pudak Payung Cluster
(IK)
15/01/2019
2 Rid Pudak Payung Cluster
(KL) 100-
19/01/2019 200 m
3 Zak Pudak Payung Cluster
(KL)
27/01/2019
4 Ann Pudak Payung Cluster
(KL)
Pudak Payung 25/01/2019
5 Ter Separated
(IK)
Pudak Payung 30/01/2019
6 Adt Separated
(IK)
Pudak Payung 03/01/2019
7 Ala >200 m Separated
(IK)
Pudak Payung 06/02/2019
Yga dan dan
8 Cluster
Frd 06/02/2019
(IK)
Pudak Payung 15/01/2019
9 Vci Cluster
(IK) 100-
Yos Pudak Payung 07/02/2019 200 m
10 Cluster
(pindah) (KL)
10/02/2019
11 Bam Pudak Payung Separated
(IK)
Pudak Payung 18/01/2019
12 Alx Separated
(IK)
>200 m
11/02/2019
13 Mut Gedawang Separated
(IK)
Gedawang 03/02/2019
14 Ath Separated
(IK)
Gedawang 11/01/2019 100-
15 Age Cluster
(IK) 200 m
16 Eli Gedawang 14/02/2019 Cluster
180

Tanggal
No Nama Kelurahan Jarak Model Penularan
Diagnosa
(KL)
Gedawang 01/01/2019
17 Tho Cluster
(IK)
Gedawang 27/01/2019
18 Ann Cluster
(KL)
Gedawang 09/02/2019
19 Ani >200 m Separated
(IK)
Gedawang 21/01/2019 100-
20 Nur Cluster (Vci)
(KL) 200 m
Gedawang 30/01/2019
21 Ryn >200 m Separated
(IK)
Gedawang 01/01/2019
22 Emr Cluster
(IK) 100-
Gedawang 07/01/2019 200 m
23 Alk Cluster
(KL)
Ain Gedawang 10/02/2019
24 >200 m Separated
(pindah) (IK)
Gedawang 18/01/2019
25 Aff >200 m Separated
(IK)
Padangsari 12/01/2019
26 Rdn Cluster
(IK) 100-
Padangsari 28/01/2019 200 m
27 Ant Cluster
(KL)
Padangsari 23/01/2019
28 All Cluster
(IK) 100-
Padangsari 09/02/2019 200 m
29 Alv Cluster
(KL)
Pedalangan 11/01/2019
30 Ado Cluster
(IK) 100-
Pedalangan 14/01/2019 200 m
31 Ali Cluster
(KL)
Pedalangan 28/01/2019
32 Iml (pindah) >200 m Separated
(IK)
Pedalangan 06/02/2019
33 Frl Cluster
(IK) 100-
Pedalangan 13/02/2019 200 m
34 Erd Cluster
(KL)
Pedalangan 02/02/2019
35 Dcn >200 m Separated
(IK)
Pedalangan 09/02/2019
36 Raf >200 m Separated
(IK)
Srondol Wetan 20/01/2019
37 Abi Cluster
(IK)
Srondol Wetan 31/01/2019 100-
38 Afa Cluster
(KL) 200 m
Srondol Wetan 02/02/2019
39 Ysy Cluster
(KL)
Srondol Wetan 14/01/2019
40 Ota Cluster
(IK)
Srondol Wetan 24/01/2019 100-
41 Evl Cluster
(KL) 200 m
Srondol Wetan 29/01/2019
42 Hln Cluster
(KL)
181

Tanggal
No Nama Kelurahan Jarak Model Penularan
Diagnosa
Hab Srondol Wetan 06/02/2019
43 Cluster
(pindah) (KL)
Srondol Wetan 05/02/2019 100-
44 Alb Cluster
(KL) 200 m
Srondol Wetan 18/01/2019
45 Yay Cluster
(IK) 100-
Srondol Wetan 29/01/2019 200 m
46 Okt Cluster
(KL)
Banyumanik 13/02/2019
47 Mys >200 m Separated
(IK)
Banyumanik 07/02/2019
48 Ppn >200 m Separated
(IK)
Banyumanik 07/02/2019
49 Fus >200 m Separated
(IK)
Banyumanik 29/01/2019
50 Kmr >200 m Separated
(IK)
Banyumanik 22/01/2019
51 Ilh >200 m Separated
(IK)
Banyumanik 17/01/2019
52 Vrr >200 m Separated
(IK)
Banyumanik 25/01/2019
53 Fuz >200 m Separated
(IK)
Banyumanik 13/02/2019
54 Usp >200 m Separated
(IK)
Banyumanik 04/01/2019
55 Aty >200 m Separated
(IK)
Srondol Kulon 20/01/2019
56 Rhn Cluster
(IK) 100-
Srondol Kulon 27/01/2019 200 m
57 Ags Cluster
(KL)
Sumurboto 23/01/2019
58 Ruk Cluster
(IK) 100-
Sumurboto 24/01/2019 200 m
59 Aln Cluster
(KL)
Sumurboto 18/01/2019
60 Fin >200 m Separated
(IK)
Sumurboto 09/01/2019
61 Bnd Cluster
(IK)
Sumurboto 23/01/2019 100-
62 Ddy Cluster
(KL) 200 m
Sumurboto 04/02/2019
63 Dod Cluster
(KL)
Sumurboto 05/02/2019
64 Nas >200 m Separated
(IK)
Sumurboto 23/01/2019
65 Ahm >200 m Separated
(IK)
Nau Sumurboto 23/01/2019 100-
66 Cluster
(Ponpes) (IK) 200 m
Sumurboto 03/02/2019
67 Dff >200 m Separated
(IK)
Sumurboto 07/02/2019
68 Dew >200 m Separated
(IK)
69 Krs Tinjomoyo 05/01/2019 100- Cluster
182

Tanggal
No Nama Kelurahan Jarak Model Penularan
Diagnosa
(IK)
Tinjomoyo 11/01/2019
70 Dwi Cluster
(KL) 200 m
Tinjomoyo 12/01/2019
71 Spt Cluster
(KL)
Tinjomoyo 17/01/2019
72 Agt >200 m Separated
(IK)
Tinjomoyo 22/01/2019
73 Ihm >200 m Separated
(IK)
Tinjomoyo 11/01/2019
74 Ans >200 m Separated
(IK)
Ngesrep 31/01/2019
75 Car >200 m Separated
(IK)
Ngesrep 24/01/2019
76 Rud >200 m Separated
(IK)

3. Kecamatan Pedurungan

Tanggal
No Nama Kelurahan Jarak Model Penularan
Diagnosa
Aur 07/02/2019
1 Gemah >200 m Separated
(pindah) (IK)
31/01/2019
2 Adi Gemah >200 m Separated
(IK)
02/02/2019 100-
3 Slw Gemah Cluster
(KL) 200 m
09/01/2019
4 Bin Gemah Cluster
(IK) 100-
06/02/2019 200 m
5 Agu Gemah Cluster
(KL)
12/02/2019
6 Ish Gemah >200 m Separated
(IK)
Nov 06/01/2019
(responden (IK)
7 Gemah >200 m Separated
tidak
bersedia)
09/02/2019
8 Nfl Gemah >200 m Separated
(IK)
24/01/2019
9 Eli Tlogosari Kulon Cluster
(IK) 100-
10/02/2019 200 m
10 Puj Tlogosari Kulon Cluster
(KL)
11/02/2019
11 Rkh Tlogosari Kulon (IK) >200 m Separated

28/01/2019
12 Bbg Tlogosari Kulon >200 m Separated
(IK)
25/01/2019
13 Mar Tlogosari Kulon >200 m Separated
(IK)
07/02/2019
14 Kha Tlogosari Kulon >200 m Separated
(IK)
183

Tanggal
No Nama Kelurahan Jarak Model Penularan
Diagnosa
13/02/2019
15 Khm Muktiharjo Kidul >200 m Separated
(IK)
29/01/2019
16 Eun Muktiharjo Kidul >200 m Separated
(IK)
04/02/2019
17 Sep Muktiharjo Kidul Cluster
(IK) 100-
11/02/2019 200 m
18 Aga Muktiharjo Kidul Cluster
(IK)
15/01/2019
19 Shs Kalicari Cluster
(IK)
04/02/2019 100-
20 Nat Kalicari Cluster
(KL) 200 m
05/02/2019
21 Slm Kalicari Cluster
(KL)
14/02/2019
22 Iis Kalicari >200 m Separated
(IK)
18/01/2019
23 Fai Tlogosari Wetan Cluster
(IK) 100-
28/01/2019 200 m
24 Aff Tlogosari Wetan Cluster
(KL)
11/01/2019
25 Adt Tlogosari Wetan >200 m Separated
(IK)
30/01/2019
26 Put Tlogosari Wetan >200 m Separated
(IK)
05/02/2019
27 Kvi Tlogosari Wetan >200 m Separated
(IK)
30/01/2019
28 Rev Tlogosari Wetan >200 m Separated
(IK)
Pedurungan 19/01/2019
29 Tho Cluster
Tengah (IK) 100-
Pedurungan 06/02/2019 200 m
30 Rza Cluster
Tengah (KL)
Pedurungan 12/01/2019
31 Ham Cluster
Tengah (IK) 100-
Pedurungan 13/01/2019 200 m
32 Rdc Cluster
Tengah (KL)
Pedurungan 11/01/2019
33 Ejn >200 m Separated
Tengah (IK)
Pedurungan 15/01/2019
34 Kre >200 m Separated
Tengah (IK)
Pedurungan 23/01/2019
35 Els >200 m Separated
Tengah (IK)
Pedurungan 02/02/2019
36 Apr >200 m Separated
Tengah (IK)
Pedurungan 14/01/2019
37 Nur >200 m Separated
Tengah (IK)
12/02/2019
38 Mik Pedurungan Lor >200 m Separated
(IK)
17/01/2019 100-
39 Alm Palebon Cluster
(IK) 200 m
23/01/2019
40 Sid Palebon Cluster
(KL)
41 Sab Palebon 07/02/2019 Cluster
184

Tanggal
No Nama Kelurahan Jarak Model Penularan
Diagnosa
(KL)
02/01/2019
42 Rob Palebon >200 m Separated
(IK)
03/01/2019
43 Otv Palebon Cluster
(IK)
04/01/2019 100-
44 Mau Palebon Cluster
(KL) 200 m
18/01/2019
45 Sar Palebon Cluster
(KL)
25/01/2019
46 San Tlogomulyo Cluster
(IK)
01/02/2019 100-
47 Mey Tlogomulyo Cluster
(KL) 200 m
12/02/2019
48 Val Tlogomulyo Cluster
(KL)
01/02/2019
49 Adz Tlogomulyo >200 m Separated
(IK)
50 Dvi Tlogomulyo 17/01/2019 >200 m Separated
31/01/2019
(KL)
51 Nur & Riz Tlogomulyo Cluster
14/01/2019 100-
(IK) 200 m
04/02/2019
52 Hrt Tlogomulyo Cluster
(KL)
07/02/2019
53 Mut Tlogomulyo >200 m Separated
(KL)
Ale Pedurungan 13/02/2019
54 >200 m Separated
(pindah) Kidul (IK)
10/02/2019
55 Yul Plamongansari Cluster
(IK) 100-
28/01/2019 200 m
56 Dia Plamongansari Cluster
(KL)
12/02/2019
57 Ard Plamongansari >200 m Separated
(IK)
24/01/2019
58 Adi Plamongansari >200 m Separated
(IK)

4. Kecamatan Ngaliyan

Tanggal
No Nama Kelurahan Jarak Model Penularan
Diagnosa
01/02/2019
1 Sla Wonosari (IK) >200 m Separated

08/01/2019
2 Mik Tambak Aji Cluster
(IK)
17/01/2019 100-
3 Iva Tambak Aji Cluster
(KL) 200 m
28/01/2019
4 Pat Tambak Aji Cluster
(KL)
5 Daf Tambak Aji 01/01/2019 >200 m Separated
185

Tanggal
No Nama Kelurahan Jarak Model Penularan
Diagnosa
(IK)
24/01/2019
6 Ayu Ngaliyan >200 m Separated
(IK)
23/01/2019
7 Kai Ngaliyan >200 m Separated
(IK)
19/01/2019
8 Man Ngaliyan >200 m Separated
(IK)
03/02/2019
9 Sub Ngaliyan >200 m Separated
(IK)
04/02/2019
10 Usm Ngaliyan >200 m Separated
(IK)
01/02/2019
11 Bag Ngaliyan >200 m Separated
(IK)
10/01/2019
12 Dav Ngaliyan >200 m Separated
(IK)
21/01/2019
13 Nkn Gondoriyo Cluster
(IK) 100-
27/01/2019 200 m
14 Bri Gondoriyo Cluster
(IK)
16/01/2019
15 Anz Gondoriyo >200 m Separated
(IK)
27/01/2019
16 Ncs Gondoriyo Cluster
(IK) 100-
04/02/2019 200 m
17 Ade Gondoriyo Cluster
(KL)
17/01/2019
18 Deb Bringin Cluster
(IK)
21/01/2019 100-
19 Nik Bringin Cluster
(KL) 200 m
30/01/2019
20 Ags Bringin Cluster
(KL)
07/01/2019
21 Zif Purwoyoso Cluster
(IK)
10/01/2019
22 Yak Purwoyoso Cluster
(KL) 100-
15/01/2019 200 m
23 Ard Purwoyoso Cluster
(KL)
06/02/2019
24 Zkt Purwoyoso Cluster
(KL)
17/01/2019
25 Mau Purwoyoso Cluster
(IK)
19/01/2019
26 Ame Purwoyoso Cluster
(KL) 100-
02/02/2019 200 m
27 Gib Purwoyoso Cluster
(KL)
14/02/2019
28 Ari Purwoyoso Cluster
(KL)
15/01/2019
29 Shn Purwoyoso >200 m Separated
(IK)
29/01/2019
30 Her Kalicari >200 m Separated
(IK)
186

5. Kecamatan Semarang Barat

Tanggal
No Nama Kelurahan Jarak Model Penularan
Diagnosa
04/02/2019
1 Rir (pindah) Manyaran >200 m Separated
(IK)
01/02/2019
2 Bay Manyaran >200 m Separated
(IK)
30/01/2019
3 Raf Kembang Arum >200 m Separated
(IK)
05/02/2019
4 Hil Ng. Simongan Cluster
(IK) 100-
06/02/2019 200 m
5 B. Kev Ng. Simongan Cluster
(KL)
30/01/2019
6 Ima Ng. Simongan >200 m Separated
(IK)
27/01/2019 100-
7 Sho Bongsari Cluster
(KL) 200 m
31/01/2019
8 Cha Bongsari Cluster
(IK)
03/02/2019 100-
9 Kev Bongsari Cluster
(KL) 200 m
04/02/2019
10 Nov Bongsari Cluster
(KL)
14/01/2019
11 Sri Tawangsari >200 m Separated
(IK)
09/02/2019
12 Har Tawangsari >200 m Separated
(IK)
08/02/2019
13 Ong Tawangsari >200 m Separated
(IK)
15/01/2019
14 Shi Krobokan >200 m Separated
(IK)
10/02/2019
15 Sud Bojong Salaman >200 m Separated
(IK)
06/01/2019
16 Irv Salaman Mloyo Cluster
(IK) 100-
08/02/2019 200 m
17 Sat Salaman Mloyo Cluster
(KL)
09/01/2019
18 Far Gisikdrono Cluster
(IK)
19/01/2019 100-
19 Zar Gisikdrono Cluster
(KL) 200 m
26/01/2019
20 Daz Gisikdrono Cluster
(KL)
24/01/2019
21 Eli Gisikdrono >200 m Separated
(IK)
187

Lampiran 18. Pengukuran Kondisi Lingkungan Fisik

DINAMIKA PENULARAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)


DIDASARKAN PADA INDIKATOR POTENSI PENULARAN
DI LIMA KECAMATAN KASUS TERTINGGI KOTA SEMARANG TAHUN 2019

PENGUKURAN KONDISI LINGKUNGAN FISIK


RESPONDEN DBD

1. Kecamatan Tembalang

No. Nama Suhu Kelembaban Pencahayaan


1. Rdi 31,1oC 67% 41 lux
2. Ibr 32,2 oC 66% 72 lux
3. Ras 32,7 oC 66% 28 lux
4. Abi 32 oC 66% 30 lux
5. Adl 33 oC 64% 47 lux
6. Crs 33 oC 65% 47 lux
7. Mul 30,6 oC 68% 87 lux
8. And 30 oC 70% 98 lux
9. Lut 30 oC 72% 34 lux
10. Juw 30,5 oC 69% 73 lux
11. Shv 31,3 oC 67% 120 lux
12. Blq 31,5 oC 68% 21 lux
13. Alf 31,8 oC 66% 123 lux
14. Chy 31,7 oC 67% 74 lux
15. Rzk 31,3 oC 65% 147 lux
16. Ndz 30,3 oC 69% 19 lux
17. Shi 31,8 oC 69% 15 lux
18. Aff 31,5 oC 67% 20 lux
19. Adh 31,2 oC 64% 86 lux
20. Yan 31.0 oC 66% 42 lux
21. Bgs 31,7 oC 66% 30 lux
22. Trs 31,7 oC 65% 79 lux
23. Slv 32 oC 64% 21 lux
24. Str 32,9 oC 62% 130 lux
25. Adn 30.3 oC 70% 46 lux
26. Tri 31 oC 68% 32 lux
27. Msh 31,5 oC 68% 28 lux
28. Rhm 31,5 oC 67% 28 lux
29. Hly 30,2 oC 70% 10 lux
30. Rma 30,7 oC 68% 27 lux
31. Dhk 31 oC 66% 40 lux
32. Ang 32,2 oC 68% 30 lux
33. Ezr 30,8 oC 69% 41 lux
34. Zra 28,9 oC 74% 51 lux
35. Mvr 31 oC 67% 26 lux
36. Bma 30,3 oC 69% 44 lux
37. Aby 32 oC 66% 73 lux
38. Ind 31,5 oC 67% 46 lux
39. Ala 32,2 oC 66% 30 lux
40. Dnd 32,7 oC 65% 40 lux
188

No. Nama Suhu Kelembaban Pencahayaan


41. Ftr 32,3 oC 65% 34 lux
42. Adl 32 oC 65% 120 lux
43. Ngd 32,5 oC 66% 36 lux
44. Njl 32,1 oC 64% 33 lux
45. Khd 32 oC 65% 24 lux
46. Dzk 31,5 oC 66% 24 lux
47. Lts 29,7 oC 74% 22 lux

2. Kecamatan Banyumanik

No. Nama Suhu Kelembaban Pencahayaan


1. Aff 28,4oC 75% 51 lux
2. Alx 28,1 oC 76% 21 lux
3. Rid 30 oC 69% 60 lux
4. Zak 29,1 oC 70% 30 lux
5. Ala 29,5 oC 70% 45 lux
6. Adt 29,6 oC 70% 26 lux
7. Frd 30 oC 69% 26 lux
8. Vci 30,5 oC 68% 153 lux
9. Ani 29,3 oC 70% 40 lux
10. Yga 30 oC 69% 26 lux
11. Anr 29,5 oC 70% 86 lux
12. Ryn 29,7 oC 70% 123 lux
13. Alk 29,4 oC 69% 64 lux
14. Raf 30,5oC 68% 76 lux
15. Ado 31,5 oC 66% 30 lux
16. Alr 30,7 oC 67% 178 lux
17. Okt 32 oC 64% 38 lux
18. Ppn 34 oC 60% 24 lux
19. Ota 33,1 oC 62% 25 lux
20. Mys 33 oC 62% 46 lux
21. Hln 32,3 oC 63% 29 lux
22. Ysy 33,3 oC 62% 48 lux
23. Abi 33,3 oC 62% 67 lux
24. Afa 33,7 oC 61% 84 lux
25. Usp 32,3 oC 63% 79 lux
26. Rhn 31,7 oC 65% 36 lux
27. Fuz 32,1 oC 64% 32 lux
28. Kmr 31,3 oC 66% 120 lux
29. Ags 32,7 oC 63% 50 lux
30. Amd 34 oC 61% 44 lux
31. Spt 32 oC 64% 93 lux
32. Krs 32,1 oC 64% 42 lux
33. Rdi 33,7 oC 63% 18 lux
189

3. Kecamatan Pedurungan

No Nama Suhu Kelembaban Pencahayaan


1. Ard 30,5 oC 74% 28 lux
2. Nur 31,9 oC 73% 142 lux
3. Riz 31,9 oC 73% 142 lux
4. Adz 31,1 oC 73% 97 lux
5. Mey 30,5 oC 75% 58 lux
6. Val 30,5 oC 74% 79 lux
7. Mau 29,3 oC 76% 112 lux
8. Sar 29,2 oC 76% 114 lux
9. Ham 33,5 oC 63% 52 lux
10. Tho 32,9 oC 64% 53 lux
11. Rev 34,3 oC 61% 49 lux
12. Put 32,5 oC 66% 83 lux
13. Afi 32,2 oC 66% 60 lux
14. Apr 33 oC 64% 28 lux
15. Rdt 32 oC 67% 32 lux
16. Kha 31,8 oC 69% 147 lux
17 Bbg 32 oC 67% 51 lux
18. Eli 32,7 oC 66% 51 lux
19. Puj 33,1 oC 63% 43 lux
20. Bin 34 oC 61% 33 lux
21. Agu 33.2 oC 64% 23 lux
22. Adi 32,9 oC 67% 57 lux
23. Iis 29,6 oC 72% 23 lux
24. Nat 30 oC 72% 33 lux
25. Sep 30,1 oC 71% 71 lux
26. Aga 30,9 oC 70% 43 lux
27. Khm 31,1 oC 68% 46 lux

4. Kecamatan Ngaliyan

No Nama Suhu Kelembaban Pencahayaan


1. Sla 31 oC 70% 22 lux
2. Daf 32,1 oC 67% 26 lux
3. Mik 32,7 oC 66% 36 lux
4. Dav 27,4 oC 80% 79 lux
5. Bag 32,7 oC 66% 35 lux
6. Deb 30,2 oC 70% 57 lux
7. Ade 28,2 oC 79% 72 lux
8. Sub 28,5 oC 79% 46 lux
9. Anz 26,9 oC 85% 33 lux
10. Nik 26,1 oC 85% 43 lux
11. Mau 25,5 oC 89% 81 lux
12. Ard 30,9 oC 78% 42 lux
13. Zak 30,3 oC 78% 96 lux
14. Her 33 oC 67% 29 lux
15. Ame 32,1 oC 68% 63 lux
16. Mau 31,5 oC 69% 56 lux
190

5. Kecamatan Semarang Barat

No Nama Suhu Kelembaban Pencahayaan


1. Sri 28 oC 87% 79 lux
2. Shi 28,3 oC 85% 118 lux
3. Sat 30,3 oC 76% 34 lux
4. Sud 29,1 oC 80% 93 lux
5. Kev 32,3 oC 65% 59 lux
6. Cha 31,6 oC 66% 120 lux
7. Ima 30 oC 68% 17 lux
8. Hil 29,7 oC 69% 62 lux
9. Bay 29,7 oC 82% 38 lux
10. Raf 28,8 oC 82% 51 lux
11. Eli 29,2 oC 78% 56 lux
12. Far 30,1 oC 76% 44 lux
13. Zar 30,1 oC 75% 74 lux
191

Lampiran 19. Titik Koordinat Kasus DBD

DINAMIKA PENULARAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)


DIDASARKAN PADA INDIKATOR POTENSI PENULARAN
DI LIMA KECAMATAN KASUS TERTINGGI KOTA SEMARANG TAHUN 2019

TITIK KOORDINAT KASUS DBD

1. Kecamatan Tembalang

No. X Y Keterangan
1 110,480057 -7,054180 Lts
2 110,479568 -7,053745 Fzl
3 110,464523 -7,066242 Irf
4 110,465630 -7,064618 Dzk
5 110,465767 -7,054708 Khd
6 110,465767 -7,068700 Fch
7 110,462585 -7,071865 Njl
8 110,439598 -7,066507 Ngd
9 110,441360 -7,066302 Abl
10 110,440353 -7,067568 Ftr
11 110,440826 -7,067828 Iqb
12 110,436325 -7,066617 Tit
13 110,445450 -7,061497 Jam
14 110,443718 -7,062070 Lai
15 110,445969 -7,074630 Dnd
16 110,446365 -7,074433 Ala
17 110,429749 -7,071453 Ind
18 110,442909 -7,070988 Ags
19 110,445107 -7,050122 Nur
20 110,460823 -7,029171 Rdi
21 110,463997 -7,028868 Ahz
22 110,463737 -7,023825 Ibr
23 110,469452 -7,036258 Rasy
24 110,470078 -7,036393 Zhr
25 110,470146 -7,035887 Abi
25 110,472740 -7,031697 Adl
26 110,472717 -7,031343 Mcl
27 110,470245 -7,028680 Crs
28 110,469910 -7,027732 Fel (pindah)
29 110,469292 -7,029135 Rat
30 110,442131 -7,020003 Abm
31 110,441383 -7,019735 Mav
32 110,441788 -7,019718 Bim
33 110,476875 -7,051602 Dan
34 110,476723 -7,051503 Ltf & Hnf
35 110,472290 -7,043122 Mul
36 110,474579 -7,043512 Lai
37 110,472412 -7,041632 Blq
38 110,478012 -7,042130 Shv
39 110,478050 -7,041698 Jwn
40 110,478691 -7,041048 Lut
41 110,478127 -7,043023 Ndz
192

No. X Y Keterangan
42 110,478668 -7,042723 Rzk
43 110,481026 -7,044423 Dwi
45 110,481895 -7,049420 Cah
46 110,475121 -7,038960 Wiw
47 110,472282 -7,042977 Alf
48 110,469917 -7,045730 Odl
49 110,482285 -7,047820 Hpp
50 110,467209 -7,030473 Anh
51 110,467186 -7,030149 Dit
52 110,449768 -7,018448 Afi
53 110,442131 -7,019413 Shi
54 110,464447 -7,019515 Ada
55 110,464905 -7,019553 Sep
56 110,465279 -7,019222 Aln
57 110,461922 -7,027162 Alf
58 110,474205 -7,023903 Pra
59 110,464851 -7,017925 Ivn
60 110,475243 -7,023330 Str
61 110,464264 -7,015656 Inn
62 110,464432 -7,015737 Amr
63 110,464455 -7,016030 Dwi
64 110,464798 -7,015305 Ary
65 110,456703 -7,010738 Sef
66 110,456383 -7,010575 Fai
67 110,456375 -7,013560 Tri
68 110,446579 -7,009682 Rzk
69 110,446220 -7,010103 Rah
70 110,446327 -7,010708 Sah
71 110,447983 -7,011003 Tda
72 110,446533 -7,010048 Zer
73 110,458824 -7,043083 Els
74 110,454338 -7,042145 Ady
75 110,461487 -7,020172 Erz
76 110,458850 -7,015728 Ang
77 110,448616 -7,027573 Dhk
78 110,442726 -7,018953 Ram
79 110,443253 -7,019143 Naj
80 110,441246 -7,020407 Hul

2. Kecamatan Banyumanik

No. X Y Keterangan
1 110,416191 -7,091575 Rid
2 110,415123 -7,091780 Zak
3 110,415565 -7,092854 Ann
4 110,415817 -7,091915 Ary
5 110,418640 -7,091445 Ter
6 110,411530 -7,094400 Adt
7 110,416512 -7,099232 Ala
8 110,412422 -7,102025 Yga dan Frd
9 110,406639 -7,102190 Vci
10 110,412201 -7,106357 Bam
11 110,423447 -7,090720 Mut
12 110,424942 -7,094205 Ath
193

No. X Y Keterangan
13 110,427116 -7,091550 Eli
14 110,427429 -7,092865 Age
15 110,423126 -7,084162 Ann
16 110,423370 -7,083780 Tho
17 110,419189 -7,084120 Ani
18 110,423592 -7,084298 Nur
19 110,431656 -7,077615 Ryn
20 110,429459 -7,083257 Emr
21 110,429909 -7,083000 Alk
22 110,425453 -7,089642 Ain (pindah)
23 110,422447 -7,093460 Aff
24 110,406433 -7,103072 Yos (pindah)
25 110,407249 -7,094808 Alx
26 110,421402 -7,071272 Rdn
27 110,421471 -7,072095 Ant
28 110,427849 -7,073741 Alv
29 110,429115 -7,067638 Ado
30 110,427887 -7,065863 Ali
31 110,424011 -7,068722 Iml (pindah)
32 110,430313 -7,056237 Frl
33 110,423615 -7,059400 Dcn
34 110,431755 -7,057066 Erd
35 110,434158 -7,070438 Raf
36 110,426552 -7,074602 All
37 110,418633 -7,070428 Afa
38 110,418472 -7,070405 Abi
39 110,418060 -7,070478 Ysy
40 110,416985 -7,072497 Hln
41 110,417252 -7,079595 Mys
42 110,416824 -7,074453 Ota
43 110,417137 -7,073575 Hab (pindah)
44 110,415771 -7,074306 Evl
45 110,419640 -7,076509 Ppn
46 110,418633 -7,067760 Fus
47 110,420052 -7,059152 Alb
48 110,416580 -7,064553 Yay
49 110,414856 -7,063998 Okt
50 110,408669 -7,076375 Kmr
51 110,407890 -7,073813 Ilh
52 110,407722 -7,078635 Vrr
53 110,405861 -7,077945 Fuz
54 110,405556 -7,044530 Ags
55 110,405571 -7,044277 Rhn
56 110,413399 -7,056396 Usp
57 110,413887 -7,079585 Aty
58 110,425140 -7,051148 Aln
59 110,423767 -7,050462 Ruk
60 110,428413 -7,052452 Fin
61 110,425735 -7,049048 Dod
62 110,427704 -7,048750 Bnd
63 110,428246 -7,049210 Ddy
64 110,423103 -7,048497 Nas
65 110,420975 -7,051090 Ahm
66 110,407242 -7,029263 Dwi
194

No. X Y Keterangan
67 110,407051 -7,029143 Spt
68 110,406921 -7,029037 Krs
69 110,409477 -7,030080 Agt
70 110,414436 -7,033590 Ihm
71 110,422409 -7,056412 Nau (Ponpes)
72 110,425835 -7,053573 Dff
73 110,421364 -7,053520 Dew
74 110,426300 -7,036422 Car
75 110,422562 -7,035898 Rud
76 110,417465 -7,032223 Ans

3. Kecamatan Pedurungan

No. X Y Keterangan
1 110,466209 -7,013700 Aur (pindah)
2 110,465599 -7,012405 Adi
3 110,464867 -7,014113 Slw
4 110,469849 -7,016314 Agu
5 110,469681 -7,016710 Bin
6 110,469933 -7,012148 Ish
Nov (responden tidak
7 110,470337 -7,015254
bersedia)
8 110,460876 -7,010722 Nfl
9 110,462273 -6,985947 Puj
10 110,462410 -6,985281 Eli
11 110,460876 -6,987815 Rkh
12 110,467346 -6,984348 Bbg
13 110,462868 -6,988642 Mar
14 110,452858 -6,979173 Kha
15 110,459343 -6,974387 Khm
16 110,462311 -6,976668 Eun
17 110,453400 -6,973207 Aga
18 110,454613 -6,971702 Sep
19 110,457840 -7,001550 Shs
20 110,458054 -7,002141 Nat
21 110,455391 -7,003185 Slm
22 110,457329 -7,005805 Iis
23 110,470528 -6,994887 Aff
24 110,472748 -6,987625 Adt
25 110,471344 -6,988842 Put
26 110,465569 -6,996600 Kvi
27 110,470772 -6,993478 Fai
28 110,466911 -6,994100 Rev
29 110,469597 -7,001095 Tho
30 110,469658 -7,001198 Rza
31 110,473009 -7,009952 Ham
32 110,473465 -7,009813 Rdc
33 110,474281 -7,007775 Ejn
34 110,473480 -7,005661 Kre
35 110,475723 -7,005757 Els
36 110,471428 -6,999486 Apr
37 110,480644 -7,002888 Nur
38 110,481880 -7,006180 Mik
39 110,465317 -7,003607 Sab
195

No. X Y Keterangan
40 110,465172 -7,002815 Alm
41 110,463654 -7,002150 Sid
42 110,461433 -7,007723 Rob
43 110,469276 -7,006968 Otv
44 110,469269 -7,007040 Sar
45 110,469131 -7,007216 Mau
46 110,476746 -6,995131 San
47 110,476814 -6,994862 Val
48 110,476387 -6,994908 Mey
49 110,479088 -6,992548 Adz
50 110,481705 -6,993657 Dvi
51 110,480438 -6,989957 Nur & Riz
52 110,480225 -6,989957 Hrt
53 110,475983 -6,987080 Mut
54 110,479698 -7,016777 Ale (pindah)
55 110,481857 -7,020865 Dia
56 110,482437 -7,019474 Yul
57 110,494240 -7,026209 Ard
58 110,485329 -7,017448 Adi

4. Kecamatan Ngaliyan

No. X Y Keterangan
1 110,315163 -6,975147 Sla
2 110,357872 -6,987157 Mik
3 110,357185 -6,987470 Iva
4 110,355675 -6,986915 Pat
5 110,341484 -6,997663 Daf
6 110,351440 -6,998385 Ayu
7 110,355072 -7,001982 Kai
8 110,303299 -7,008585 Man
9 110,319405 -7,004195 Bri
10 110,320168 -7,004187 Nkn
11 110,334023 -7,015450 Anz
12 110,322830 -6,997913 Ade
13 110,322754 -6,998562 Ncs
14 110,325256 -6,995742 Sub
15 110,331741 -6,998647 Ags
16 110,331856 -7,001007 Deb
17 110,331932 -6,999812 Nik
18 110,360260 -6,999249 Usm
19 110,361839 -7,001060 Bag
20 110,370613 -7,011027 Dav
21 110,353180 -6,992300 Zif
22 110,353867 -6,993155 Zkt
23 110,355621 -6,994343 Yak
24 110,355659 -6,993454 Ard
25 110,361427 -6,988155 Mau
26 110,360603 -6,988948 Gib
27 110,361244 -6,990575 Ame
28 110,360809 -6,990005 Ari
29 110,362762 -6,996568 Shn
30 110,382332 -7,015782 Her
196

5. Kecamatan Semarang Barat

No. X Y Keterangan
1 110,381302 -6,998233 Rir (pindah)
2 110,373543 -6,993313 Raf
3 110,386284 -6,999977 Bay
4 110,393921 -6,999688 B. Kev
5 110,395172 -7,001007 Hil
6 110,399071 -6,998948 Ima
7 110,394867 -6,990772 Sho
8 110,390434 -6,990849 Nov
9 110,390495 -6,990935 Cha
10 110,390930 -6,991445 Kev
11 110,384239 -6,971442 Sri
12 110,387634 -6,969274 Har
13 110,385300 -6,968303 Ong
14 110,399567 -6,979589 Shi
15 110,395897 -6,989530 Sud
16 110,391617 -6,984395 Irv
17 110,391670 -6,985860 Sat
18 110,388702 -6,993913 Zar
19 110,388702 -6,993373 Daz
20 110,387741 -6,994140 Far
21 110,388527 -6,991300 Eli
197

Lampiran 20. Dokumentasi Observasi Responden

DINAMIKA PENULARAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)


DIDASARKAN PADA INDIKATOR POTENSI PENULARAN
DI LIMA KECAMATAN KASUS TERTINGGI KOTA SEMARANG TAHUN 2019

DOKUMENTASI OBSERVASI RESPONDEN


(WAWANCARA DAN PENGUKURAN FISIK)
1. Wawancara
198

2. Pengukuran Fisik
199
200

Lampiran 21. Surat Izin Kesbangpolinmas

DINAMIKA PENULARAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)


DIDASARKAN PADA INDIKATOR POTENSI PENULARAN
DI LIMA KECAMATAN KASUS TERTINGGI KOTA SEMARANG TAHUN 2019

PERIZINAN PENELITIAN
KESBANGPOLINMAS
201

Lam

piran 22. Surat Izin Dinas Kesehatan Kota Semarang

DINAMIKA PENULARAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)


DIDASARKAN PADA INDIKATOR POTENSI PENULARAN
DI LIMA KECAMATAN KASUS TERTINGGI KOTA SEMARANG TAHUN 2019

PERIZINAN PENELITIAN
DINAS KESEHATAN KOTA SEMARANG
202

Lampiran 23. Lembar Bimbingan Proposal/ Skripsi

DINAMIKA PENULARAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)


DIDASARKAN PADA INDIKATOR POTENSI PENULARAN
DI LIMA KECAMATAN KASUS TERTINGGI KOTA SEMARANG TAHUN 2019

LEMBAR BIMBINGAN PROPOSAL/ SKRIPSI


203
204

Lampiran 24. Lembar Bimbingan Proposal/ Skripsi

DINAMIKA PENULARAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)


DIDASARKAN PADA INDIKATOR POTENSI PENULARAN
DI LIMA KECAMATAN KASUS TERTINGGI KOTA SEMARANG TAHUN 2019

LEMBAR BIMBINGAN PROPOSAL/ SKRIPSI

Anda mungkin juga menyukai