Tarisa Aulia - 2010912120011 - Kelompok 2 - ISPA
Tarisa Aulia - 2010912120011 - Kelompok 2 - ISPA
MATA KULIAH
EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TROPIS
Oleh
KELOMPOK II
Mei, 2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan ini. Laporan
ini disusun sebagai salah satu tugas mata kuliah Epidemiologi Penyakit Tropis
yang diampu oleh Bapak Dian Rosadi, SKM, MPH selaku dosen pengajar kami
yang memberikan kami kesempatan untuk mempelajari dan menganalisis suatu
penyakit dari perspektif epidemiologi dan analisis spasial. Dalam laporan ini,
kami melakukan analisis spasial terhadap penyakit Infeksi Saluran Pernafasan
Akut (ISPA) menggunakan aplikasi Quantum SIG (Sistem Informasi Geografis)
dengan tujuan untuk memahami pola sebaran spasial penyakit dan
mengidentifikasi faktor risiko yang memengaruhi penyebaran ISPA. Kami juga
menggunakan literatur ilmiah dan sumber informasi terkini untuk mendukung
analisis kami.
Kami berharap bahwa laporan ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca. Kami menyadari bahwa laporan ini memiliki
keterbatasan dan terdapat ruang untuk perbaikan lebih lanjut. Oleh karena itu
kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan laporan ini.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL ........................................................................................ i
KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... iv
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
A. Latar Belakang ............................................................................... 1
B. Tujuan Penelitian ........................................................................... 2
BAB II ANALISIS SPASIAL PENYAKIT ...................................................... 4
A. Hasil Lay Out ................................................................................. 4
B. Pembahasan ................................................................................... 5
BAB III PENUTUP............................................................................................. 8
A. Kesimpulan .................................................................................... 8
B. Saran .............................................................................................. 8
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 9
LAMPIRAN ...................................................................................................... 10
iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1 Peta Persebaran Kasus ISPA di Wilayah Kerja Puskesmas
Martapura 1 Tahun 2023.................... .......................................................... 4
iv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
1. Peta Kasus ISPA
2. Data Titik Kasus ISPA
3. Data Titik Kontrol ISPA
4. Titik Puskesmas Martapura
5. Referensi
v
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) didefinisikan sebagai penyakit
saluran pernafasan akut yang disebabkan oleh agen infeksius yang ditularkan
dari manusia. Faktor yang mempengaruhi kejadian ISPA baik secara langsung
maupun tidak langsung. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya ISPA dibagi
menjadi dua kelompok besar yaitu faktor instrinsik meliputi umur, jenis kelamin,
pemberian ASI,status gizi, berat badan lahir rendah, status imunisasi, dan
pemberian makanan yang terlalu dini. Sedangkan faktor ekstrinsik meliputi
umur ibu, pengetahuan ibu, faktor pedidikan ibu, kepadatan hunian, kondisi
fisik rumah, ventilasi rumah, sosial ekonomi, dan pekerjaan (1).
Menurut World Health Organization (WHO) insiden ISPA di negara seperti
Amerika, Afrika dan negara di benua Asia pada tahun 2016 diperkirakan terjadi
kematian di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-20% pertahun pada
golongan usia balita, tanda dan gejala ISPA seperti batuk, kesulitan bernafas, sakit
tenggorokan, pilek, dan demam. ISPA merupakan penyakit yang banyak terjadi
di negara berkembang serta menjadi salah satu penyebab kunjungan pasien
ke Puskesmas (40%-60%) dan rumah sakit (15%-30%). Prevalensi ISPA di
Indonesia periode tahun 2018 tercatat sebanyak 56,51%. Pada Provinsi
Kalimantan Selatan menurut data dari Riset Kesehatan Dasar berdasarkan hasil
prevalensi penyakit ISPA pada balita ditemukan sebannyak 3,33%. Dinas
Kesehatan Banjar mencatat kasus ISPA sepanjang 2018 sebanyak 25.513 kasus
(1,2).
Penggunaan analisis spasial dalam mengkaji kejadian ISPA berdasarkan
tempat dapat memberikan informasi yang lebih detail dan komprehensif.
Diantaranya untuk mengetahui kecenderungan letak dan sebaran masalah
kesehatan sehingga dapat mendeteksi area dengan risiko ISPA tinggi. Informasi
yang diberikan juga dapat menjelaskan faktor spasial yang berperan dalam
1
2
B. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
distribusi/penyebaran spasial temporal kejadian ISPA di Wilayah Kerja
Puskesmas Martapura 1.
2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini, antara lain:
a. Untuk mengetahui distribusi spasial terhadap pola dan luas penyebaran
penyakit ISPA di Wilayah Kerja Puskesmas Martapura 1
b. Untuk mengetahui tren penyakit ISPA di Wilayah Kerja Puskesmas Martapura
1
c. Untuk mengetahui distribusi frekuensi kejadian ISPA terhadap faktor risiko
sanitasi lingkungan, kondisi geografis, dan jumlah fasilitas kesehatan di
Wilayah Kerja Puskesmas Martapura 1.
C. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini, antara lain:
1. Manfaat Teoritis
a. Menjelaskan pola spasial ISPA
Penelitian analisis spasial dapat membantu mengindentifikasi pola
spasial dari kejadian ISPA yang berguna untuk memahami dampak
sanitasi lingkungan, kondisi geografis, dan jumlah fasilitas kesehatan
terhadap kejadian ISPA.
b. Memperluas pengetahuan berkaitan dengan ISPA
Penelitian analisis spasial dapat membantu mengembangkan teori
baru atau konformasi terhadap teori yang sudah ada terkait sebab dan
pengaruh sanitasi lingkungan, kondisi geografis, dan jumlah fasilitas
kesehatan terhadap kejadian ISPA.
3
Gambar 2.1. Peta Persebaran Kasus ISPA di Wilayah Kerja Puskesmas Martapura
1 Tahun 2023
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan dengan bantuan aplikasi
SatScan dan QGIS terdapat keterangan diantaranya simbol titik kasus, titik
kontrol, titik UPT Puskesmas Martapura 1, Puskesmas sekitar, serta daerah
Martapura. Simbol kasus menjelaskan persebaran kasus ISPA yang ada di daerah
Martapura. Persebarannya cenderung terpisah-pisah. Pada beberapa persebaran
kasus ISPA jika dilihat dari peta di atas menunjukkan bahwa jarak antara kasus
dengan fasilitas kesehatan terdekat lumayan jauh. Namun, ada beberapa kasus
ISPA yang masih berada dekat dengan Puskesmas UPT Martapura 1. Dilihat dari
peta, kasus yang ditemukan dekat dengan Puskesmas UPT Martapura 1 cenderung
berkelompok. Hal ini juga terjadi pada kontrol ISPA, yang mana jika dilihat dari
peta, persebaran kontrolnya dekat dengan fasilitas kesehatan disekitarnya, namun
4
5
B. Pembahasan
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit yang umum yang
terjadi pada masyarakat. ISPA dapat disebabkan oleh lebih dari 300 jenis bakteri,
virus, dan riketsia. Bakteri merupakan penyebab utama infeksi saluran pernapasan
bawah, dengan Streptococcus pneumoniae sebagai penyebab paling umum
pneumonia bakteri di berbagai negara. Namun, sebagian besar infeksi saluran
pernapasan akut disebabkan oleh virus atau campuran infeksi virus-bakteri.
Bakteri yang dapat menyebabkan ISPA antara lain dari genus Streptokokus,
Stafilokokus, Hemofilus, Bordetela, Corinebakterium, dan
Pneumokokus,sedangkan virus yang dapat menyebabkan ISPA antara lain
dari golongan Pikornavirus, Herpesvirus, Miksovirus, Adenovirus,dan
Mikoplasma. ISPA dapat mengakibatkan berbagai spektrum penyakit, mulai dari
6
tanpa gejala hingga penyakit yang parah dan berpotensi mematikan, tergantung
pada patogen penyebabnya, faktor lingkungan, dan faktor pejamu (3–5).
ISPA merupakan penyakit menular yang tergolong ke dalam Air Borne
Disease. Penularannya dapat terjadi melalui udara yang telah tercemar bibit
penyakit dan masuk kedalam tubuh melalui saluran pernafasan. Penularan melalui
udara terjadi tanpa kontak dengan penderita maupun dengan benda
terkontaminasi. Namun, pada kenyataannya sebagian besar penularan melalui
udara dapat juga menular melalui kontak langsung dengan penderita yang
mengidap penyakit ISPA. Beberapa penyakit yang termasuk dalam ISPA adalah
Pneumonia, Influenza, dan Pernafasan Syncytial Virus (RSV) (3).
Kelompok yang paling berisiko terhadap ISPA adalah balita. Data
menunjukkan bahwa sekitar 20-40% pasien yang dirawat di rumah sakit pada
kelompok usia anak-anak disebabkan oleh ISPA. Pada anak balita, terdapat sekitar
1,6 juta kematian per tahun akibat pneumonia yang merupakan komplikasi dari
ISPA. Tingkat kematian juga tinggi pada bayi, anak-anak, dan orang dewasa
lanjut, terutama di negara-negara dengan pendapatan rendah dan menengah. ISPA
biasa menyerang anak usia di bawah usia lima tahun (balita), akan tetapi juga bisa
menyerang kelompok usia produktif (15 - 64 tahun). karena, pada saat usia
produktif mereka terpapar dengan berbagai faktor risiko yang ada di lingkungan
kerja. Beberapa faktor risiko tersebut antara lain yaitu paparan zat kimia dan
polutan udara, bekerja dalam lingkungan yang kurang higienis, berinteraksi
dengan orang yang terinfeksi. Selain itu, pada usia produktif sistem kekebalan
tubuh seseorang juga mungkin telah menurun akibat berbagai faktor, seperti pola
makan yang tidak sehat, kurangnya olahraga, dan kebiasaan merokok (3,4).
Menurut WHO, insidensi, distribusi, dan akibat dari penyakit infeksi
pernapasan akut bervariasi berdasarkan beberapa faktor, termasuk (4):
1. Kondisi lingkungan, seperti pencemar udara, kepadatan rumah tangga,
kelembapan, kebersihan, musim dan suhu;
2. Ketersediaan dan efektivitas perawatan medis dan langkah-langkah
pencegahan dan pengendalian infeksi (ppi) untuk menahan penyebaran,
seperti vaksin, akses ke fasilitas pelayanan kesehatan, dan kapasitas isolasi;
7
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis secara spasial temporal yang dilakukan pada kasus TB
di wilayah kerja Puskesmas Martapura 1, persebarannya cenderung terpisah-pisah.
Dilihat dari banyaknya persebaran fasilitas kesehatan, kasus ISPA cenderung
berjarak jauh dari fasilitas kesehatan terdekat. Hal ini berbeda dengan kontrol
ISPA, yang mana masih terdapat beberapa fasilitas kesehatan yang berada didekat
kontrol ISPA. Tingginya sebaran kasus ISPA di wilayah kerja Martapura 1 juga
dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko lainnya. Dilihat dari peta, kasus yang
ditemukan dekat dengan Puskesmas UPT Martapura 1 cenderung berkelompok.
Hal ini juga terjadi pada kontrol ISPA, yang mana jika dilihat dari peta,
persebaran kontrolnya dekat dengan fasilitas kesehatan disekitarnya, namun tidak
terlalu mengelompok. Penyakit ISPA bervariasi berdasarkan beberapa faktor
seperti kondisi lingkungan; Ketersediaan dan efektivitas perawatan medis dan
langkah-langkah pencegahan dan pengendalian infeksi (ppi) untuk menahan
penyebaran, Faktor individu; dan Karakteristik patogen
B. Saran
Puskesmas dan masyarakat setempat diharapkan bisa bekerja sama untuk
mencegah dan menanggulangi kejadian ISPA agar kasus persebaran ISPA dapat
menurun. Kegiatan skrining dan surveilans perlu dilaksanakan lebih baik lagi agar
kasus yang belum ditemukan dan belum tercatat dapat segera diatasi karena
penanggulangan tuberkulosis tidak hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga
perlu adanya dukungan dan keterlibatan semua elemen masyarakat sebagai bentuk
pemberdayaan dan kerja sama dengan masyarakat.
8
DAFTAR PUSTAKA
9
LAMPIRAN
10
11
Lampiran 5. Referensi
Jurnal Kesehatan Lingkungan
Vol.11, No.1, April 2021, pp. 8 – 15
ISSN 2615-188X(Online), ISSN 2089 – 0451(Print)
DOI: 10.47718/jkl.v10i2.1167
Journal homepage: https://ejurnal.poltekkes-manado.ac.id/index.php/jkl
ABSTRACT/ABSTRAK
Limestone mining is an industry that produces pollutants in the air. The pollutants
produced from the lime mining industry are dust and gas particles. The resulting lime dust can harm
the health of workers. ARI is a respiratory disease that attacks lime mining workers. ARI does not
only occur due to exposure to lime dust, there are several risk factors for workers that can cause
ARDs. This study aims to determine the exposure to lime dust and the risk factors for workers with
the incidence of ARI. This research was conducted using the literature review method with a sample
size of 16 journals. The results showed that 80% of the variables studied were significant or had a
relationship with the incidence of ARI. From the review of the article, it is known that there is a
period of work, use of PPE, age, history of disease and smoking habits. The most dominant risk
factors that have a significant relationship with the incidence of ARI are the working period variable
and the use of PPE.
Tambang kapur merupakan salah satu industri yang menghasilkan polutan di udara.
Polutan yang dihasilkan dari industri tambang kapur adalah partikel debu dan gas. Debu
kapur yang dihasilkan dapat mengganggu kesehatan pekerjanya. ISPA adalah salah satu
penyakit gangguan saluran pernapasan yang menyerang pekerja tambang kapur. ISPA
tidak hanya terjadi akibat pajanan debu kapur, terdapat beberapa faktor risiko pekerja yang
dapat menyebabkan terjadinya ISPA. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pajanan
debu kapur dan faktor risiko pekerja dengan kejadian ISPA. Penelitian ini dilakukan
menggunakan metode literature review dengan besar sampel sebanyak 16 jurnal. Hasil
menunjukkan variabel yang bermakna atau memiliki hubungan dengan kejadian ISPA
diperoleh sekitar 80% dari beberapa variabel yang di teliti. Dari tinjauan artikel diketahui
ada masa kerja, penggunaan alat pelindung diri (masker), usia, riwayat penyakit dan
kebiasaan merokok. Faktor risiko yang paling dominan memiliki hubungan yang
bermakna dengan kejadian ISPA adalah variabel masa kerja dan variabel penggunaan alat
pelindung diri (masker).
8
Jurnal Kesehatan Lingkungan
Vol.11, No.1, April 2021, pp. 8 – 15
ISSN 2615-188X(Online), ISSN 2089 – 0451(Print)
DOI: 10.47718/jkl.v10i2.1167
Journal homepage: https://ejurnal.poltekkes-manado.ac.id/index.php/jkl
yang ada, masih banyak yang kurang riwayat pekerja menderita penyakit paru, lama
memperhatikan mengenai pengendalian pajanan, kebiasaan merokok, masa kerja,
pencemaran udara. Salah satu industri yang tingkat pendidikan pekerja dan penggunaan
menyebakan pencemaran udara adalah industri alat pelindung diri berupa masker.4 Oleh
tambang kapur. Polutan yang dihasilkan dari karena uraian diatas, penulisan literature
industri tambang kapur yaitu partikel debu dan review ini bertujuan untuk mengetahui pajanan
gas-gas hasil. Debu dan gas-gas yang debu kapur dan faktor risiko pekerja dengan
disebabkan oleh proses pengolahan batu kapur kejadian ISPA.
berada di lingkungan kerja, hal ini akan METODE
berakibat tenaga kerja terpapar debu kapur dan Penelitian ini merupakan literature
gas-gas pada konsentrasi maupun ukuran yang review. Literature review adalah metode
berbeda-beda. 2 penelitian yang merupakan ulasan kembali
Kondisi lingkungan kerja akan tentang topik tertentu yang menekankan pada
berpengaruh terhadap kesehatan pekerja. Debu pertanyaan tunggal yang telah dikenali secara
yang terdapat pada lingkungan kerja, akan sistematis, dinilai, dipilih dan disimpulkan
mengganggu produktivitas dan kesehatan. menurut kriteria yang telah ditentukan
Pekerja yang sering terpajan debu berisiko sebelumnya berdasarkan bukti penelitian yang
untuk mengalami keluhan kesehatan, baik berkualitas tinggi yang relevan dengan
berupa penyakit infeksi maupun non infeksi. pertanyaan penelitian.5 Sumber data penelitian
Suatu potensi bahaya di tempat kerja akan ini berasal dari literatur yang diperoleh melalui
masuk dan terakumulasi di dalam tubuh internet berupa hasil penelitian ilmiah dari
dipengaruhi oleh lama paparan, dan beberapa sumber. Pengambilan data dilakukan
kelangsungan paparan. Semakin lama pekerja melalui searching internet dari google scholar
tersebut terpapar oleh pajanan salah satunya dan science direct dengan kata kunci yang
yaitu pajanan partikel debu maka akan dimasukkan yaitu pencemaran udara debu
semakin banyak partikel debu yang kapur, dan determinan kejadian ispa terutama
terakumulasi di dalam tubuh. faktor pekerja.
Dampak pajanan bahan-bahan Populasi dalam penelitian adalah
berbahaya seperti polutan udara ditempat kerja penelitian dengan fokus faktor risiko pekerja
dan lingkungan terhadap kesehatan, akan dengan kejadian ISPA dari tahun 2016 sampai
mengakibatkan berbagai macam gangguan dengan tahun 2020 sebanyak 16 hasil
salah satunya menimbulkan gangguan saluran penelitian yang bersumber dari publikasi
pernapasan (ISPA). Penyakit saluran ilmiah Biology Department, Kedokteran dan
pernapasan merupakan penyakit akibat kerja Parasitologi, Kedokteran dan Kesehatan
pada industri yang sering dijumpai di negara Masyarakat, Kesehatan Lingkungan dan
berkembang, prevalensinya bervariasi antara Kesehatan Masyarakat.
2-20%. ISPA disebabkan oleh lebih dari 300 Pengambilan sampel dalam penelitian
jenis bakteri, virus, dan riketsia. Bakteri yang ini adalah non probability sampling dengan
dapat menyebabkan ISPA antara lain dari tehnik total sampling. Total sampling adalah
genus Streptokokus, Stafilokokus, Hemofilus, tehnik pengambilan sampel dengan jumlah
Bordetela, Corinebakterium, dan sampel sama dengan populasi. Besar sampel
Pneumokokus, sedangkan virus yang dapat penelitian ini adalah 16 jurnal. Kriteria inklusi
menyebabkan ISPA antara lain dari golongan yang digunakan adalah:
Pikornavirus, Herpesvirus, Miksovirus, 1. Penelitian diterbitkan dalam rentang tahun
Adenovirus, dan Mikoplasma.3 2016-2020
Gangguan saluran pernapasan terjadi 2. Memiliki tema penelitian tentang
secara bertahap atas proses akumulasi paparan pencemaran udara debu kapur dan ISPA
yang masuk kedalam paru. Selain dari paparan 3. Memiliki faktor risiko pekerja dengan
lingkungan gangguan pada saluran pernapasan kejadian ISPA yang bernilai signifikan
dapat juga di pengaruhi dari karakteristik Didapatkan data kuantitatif yang selanjutnya
pekerja itu sendiri. Karakteristik pekerja yang dianalisis secara sistematis sehingga
mempengaruhi terjadinya gangguan saluran mendapatkan bahasan dan simpulan yang
pernapasan meliputi umur, jenis kelamin, mewakili isi dari literature review.
9
Jurnal Kesehatan Lingkungan
Vol.11, No.1, April 2021, pp. 8 – 15
ISSN 2615-188X(Online), ISSN 2089 – 0451(Print)
DOI: 10.47718/jkl.v10i2.1167
Journal homepage: https://ejurnal.poltekkes-manado.ac.id/index.php/jkl
10
Jurnal Kesehatan Lingkungan
Vol.11, No.1, April 2021, pp. 8 – 15
ISSN 2615-188X(Online), ISSN 2089 – 0451(Print)
DOI: 10.47718/jkl.v10i2.1167
Journal homepage: https://ejurnal.poltekkes-manado.ac.id/index.php/jkl
Kecamatan
Marakurak
Kabupaten Tuban
5. Fahmita A Untuk mengetahui Cross Tehnik Variabel dalam Hasil penelitian
(2019) karakteristik Sectional pengambilan penelitian menunjukkan bahwa
individu pekerja sampel yang diantaranya: usia, kadar debu yang terukur
dengan gangguan digunakan masa kerja, di pembakaran batu
faal paru pada adalah total penggunaan APD, kapur Kecamatan
pekerja sampling yaitu kebiasaan Plumpang Kabupaten
pembakaran batu populasi yang merokok, status Tuban berada di atas
kapur CV. Indah dijadikan gizi dan riwayat NAB (Nilai Ambang
Lestari sampel penyakit. Batas)
Kecamatan berjumlah 18
Plumpang responden
Kabupaten Tuban
6. Aris Untuk mengetahui Cross Tehnik Varibel dalam Hasil penelitian
Widodo hubungan antara Sectional pengambilan penelitian menunjukkan ada
(2017) lamanya bekerja sampel yang diantaranya: masa pengaruh hubungan
sebagai digunakan kerja, lama kerja antara lamanya bekerja
penambang batu adalah total dan riwayat sebagai penambang
kapur dengan sampling penyakit kapur dengan nilai VO2
nilai VO2 Maks di Maks, didapatkan nilai
daerah p=0,036
Gunungkidul
7. Rahayu H, Untuk mengetahui Cross Tehnik Varibel dalam Lama kerja memiliki
Febi hubungan Sectional pengambilan penelitian hubungan (p=0,836,
Kolibu, karakteristik sampel yang diantaranya: p>0,05) dengan kejadian
Ardaisyah individu dengan digunakan umur, lama kerja, penyakit ISPA pada
Tucunan kejadian ISPA adalah total masa kerja, dan pekerja tambang kapur
(2017) pada Pekerja sampling yaitu perilaku merokok
Tambang Kapur populasi yang
dijadikan
sampel
berjumlah 40
responden
8. Jein Frilly Untuk mengetahui Cross Tehnik Varibel dalam Hasil penelitian
Lantong, faktor yang Sectional pengambilan penelitian menunjukkan terdapat
Pitrah berhubungan sampel yang diantaranya: hubungan yang
Asfian, dengan kejadian digunakan umur, jenis bermakna antara varibel
Putra Eka ISPA pada adalah random kelamin, kebiasaan merokok,
Meiyana pekerja sampling yaitu kebiasaan penggunaan APD dan
(2016) 6 penggilingan padi sampel merokok, masa kerja dengan
di Kabupaten berjumlah 48 penggunaan APD, kejadian ISPA
Kaloka Sulawesi responden masa kerja
Tenggara
9. Yudha Eka Untuk Cross Sampel Variabel Hasil dalam penelitian
Putra menganalisis Sectional penelitian 52 penelitian diperoleh hubungan yang
Suwanto hubungan faktor responden diantaranya: masa bermakna antara masa
(2018) fisik lingkungan diambil kerja, kebiasaan kerja (p= 1,000),
dan karakteristik menggunakan merokok, kebiasaan merokok (p=
individu dengan sistem random penggunaan APD, 0,281) dan penggunaan
keluhan sampling jenis kelamin, APD (p= 0,283) dengan
pernapasan suhu, dan kadar keluhan pernapasan pada
udara pekerja
10. Yudha Eka Untuk mengetahui Cross Sampel Variabel Hasil menunjukkan
Putra hubungan Sectional penelitian 80 penelitian bahwa variabel APD dan
(2017) penggunaan kayu responden diantaranya:umur, merokok pekerje
11
Jurnal Kesehatan Lingkungan
Vol.11, No.1, April 2021, pp. 8 – 15
ISSN 2615-188X(Online), ISSN 2089 – 0451(Print)
DOI: 10.47718/jkl.v10i2.1167
Journal homepage: https://ejurnal.poltekkes-manado.ac.id/index.php/jkl
12
Jurnal Kesehatan Lingkungan
Vol.11, No.1, April 2021, pp. 8 – 15
ISSN 2615-188X(Online), ISSN 2089 – 0451(Print)
DOI: 10.47718/jkl.v10i2.1167
Journal homepage: https://ejurnal.poltekkes-manado.ac.id/index.php/jkl
dan
Nazilatul
Fatihah
(2019) 8
13
Jurnal Kesehatan Lingkungan
Vol.11, No.1, April 2021, pp. 8 – 15
ISSN 2615-188X(Online), ISSN 2089 – 0451(Print)
DOI: 10.47718/jkl.v10i2.1167
Journal homepage: https://ejurnal.poltekkes-manado.ac.id/index.php/jkl
14
Jurnal Kesehatan Lingkungan
Vol.11, No.1, April 2021, pp. 8 – 15
ISSN 2615-188X(Online), ISSN 2089 – 0451(Print)
DOI: 10.47718/jkl.v10i2.1167
Journal homepage: https://ejurnal.poltekkes-manado.ac.id/index.php/jkl
15
Jurnal LINK, 17 (1), 2021, 73 - 80
DOI: 10.31983/link.v17i1.6828
http://ejournal.poltekkes-smg.ac.id/ojs/index.php/link
Abstrak
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus atau bakteri
yang biasanya menular sehingga dapat menimbulkan berbagai spektrum penyakit yang berkisar
dari penyakit tanpa gejala sampai kepada penyakit yang parah dan mematikan, tergantung kepada
patogen penyebabnya, faktor lingkungan, dan faktor pejamu. Tujuan penelitian ini adalah
memberikan informasi mengenai faktor-faktor risiko kejadian ISPA pada balita berdasarkan kajian
literatur review. Metode penelitian ini adalah literature review dengan menggunakan database sinta
sebagai bahan acuan. Pengkategorian yang dilakukan oleh peneliti yaitu terindeks pada sinta 2-5,
publikasi 10 tahun terakhir, dan mempunyai variabel yang berhubungan dengan faktor-faktor
risiko kejadian ISPA pada balita. Hasil penelitian ini yaitu ditemukan bahwa terdapat faktor
lingkungan yang dominan seperti: suhu, kelembaban, pencahayaan, ventilasi, dan kepadatan
hunian merupakan faktor risiko yang menjadi penyebab kejadian ISPA pada balita. Kesimpulan
dalam penelitian ini adalah terdapat faktor lingkungan, pendidikan ibu, kebiasaan merokok yang
menjadi faktor risiko terhadap kejadian ISPA pada balita yang harus diperbaiki.
Abstract
[RISK FACTORS FOR THE INCIDENCE OF ACUTE RESPIRATORY INFECTION IN
CHILDREN UNDER FIVE IN INDONESIA, Literature Review] Acute Respiratory Infection (ARI)
is a disease caused by virus or bacteria that is usually contagious can cause a wide spectrum of
diseases ranging from asymptomatic disease to severe and deadly disease, depending on the
causative pathogen, environmental factors, and host factors. The purpose of this study was to
provide information about the risk factors for the incidence of ARI in children under five based on
literature review. This research method is a literature review using the Sinta database as a reference.
Categorization was carried out by researchers, namely indexed in 2-5 sinta, publication of the last
10 years, and had variables related to risk factors for the incidence of ARI in children under five. The
results of this study are found that there are dominant environmental factors such as: temperature,
humidity, lighting, ventilation, and occupancy density are risk factors that cause the incidence of
ARI in toddlers. The conclusion in this study is that there are environmental factors, maternal
education, smoking habits which are risk factors for the incidence of ARI in toddlers that must be
corrected.
DOI: 10.31983/link.v17i1.6828
mengakhiri epidemi AIDS, tuberkulosis, malaria, Tahun 2018 menunjukan prevalensi penyakit
dan penyakit tropis yang terabaikan, serta ISPA sebesar (4,4%) dengan karakteristik
memerangi hepatitis, penyakit bersumber air, penduduk yang mengalami ISPA tertinggi
dan penyakit menular lainnya. Kemudian, pada terdapat pada rentang usia 1-4 tahun (25,8%).
tahun 2030 secara substansial mengurangi angka Adapun provinsi yang termasuk kedalam lima
kematian dan kesakitan oleh bahan kimia besar ISPA tertinggi adalah Papua, Bengkulu,
berbahaya dan udara, kontaminasi dan polusi air Papua Barat, Nusa Tenggara Timur, dan
dan tanah.(Kementerian & Ri, 2015) Kalimantan Tengah.(RI, 2018)
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada tahun 2017 berdasarkan data dari
merupakan penyakit yang sering terjadi pada Laporan Rutin Subdit ISPA Tahun 2017,
masyarakat dan sudah dianggap biasa atau tidak didapatkan insiden (per 1000 balita) di Indonesia
membahayakan. ISPA merupakan penyakit sebesar 20,54%.(Kemenkes RI, 2017) Pada tahun
saluran pernafasan atas atau bawah, disebabkan 2018 Berdasarkan data laporan ruin Subdit ISPA
oleh virus atau bakteri yang biasanya menular Tahun 2018, didapatkan insiden (per 1000 balita)
sehingga dapat menimbulkan berbagai spektrum di Indonesia sebesar 20,06% hampir sama dengan
penyakit yang berkisar dari penyakit tanpa gejala data tahun sebelumnya 20,56%.(Kemenkes RI,
sampai kepada penyakit yang parah dan 2018) Sedangkan pada tahun 2019 angka
mematikan, tergantung kepada patogen kematian akibat pneumonia pada balita sebesar
penyebabnya, faktor lingkungan, dan faktor 0,12%. Angka kematian akibat Pneumonia pada
pejamu. Sekelompok penyakit yang termasuk kelompok bayi lebih tinggi hampir dua kali lipat
kedalam ISPA yaitu, Pneumonia, Influenza, dan dibandingkan pada kelompok anak umur 1 –4
Pernafasan Syncytial Virus (RSV).(Najmah, 2016) tahun.(Kemenkes RI, 2019)
ISPA masih menjadi penyebab utama ISPA merupakan penyakit yang tergolong ke
morbiditas dan mortalitas penyakit menular di dalam Air Borne Disease. Penularannya dapat
dunia. Angka mortalitas ISPA mencapai 4,25 juta terjadi melalui udara yang telah tercemar bibit
setiap tahun di dunia. Berdasarkan data dari penyakit dan masuk kedalam tubuh melalui
World Health Organization (WHO) tahun 2019 saluran pernafasan. Penularan melalui udara
penyakit infeksi saluran pernapasan bawah terjadi tanpa kontak dengan penderita maupun
menurunkan usia harapan hidup sebesar 2,09 dengan benda terkontaminasi. Namun, pada
tahun pada penderitanya.(WHO, 2019) kenyataannya sebagian besar penularan melalui
Kelompok yang paling beresiko adalah balita. udara dapat juga menular melalui kontak
Sekitar 20-40% pasien dirumah sakit dikalangan langsung dengan penderita yang mengidap
anak-anak karena ISPA dengan sekitar 1,6 juta penyakit ISPA.(Najmah, 2016)
kematian karena pneumonia sendiri pada anak Secara umum terdapat tiga faktor risiko
balita per tahun. Pada dewasa angka mortalitas terjadinya ISPA, yaitu faktor lingkungan, faktor
pada dewasa (25-59 tahun) mencapai 1,65 individu anak serta faktor perilaku. Faktor
juta.(Najmah, 2016) lingkungan meliputi: pencemaran udara dalam
Penyakit ISPA pada negara berkembang, rumah, ventilasi rumah, dan kepadatan hunian.
merupakan 25% penyumbang kematian pada Faktor individu anak meliputi: umur anak (6-12
anak, terutama pada bayi usia kurang dari dua bulan/pada usia balita), berat badan lahir, status
bulan. Indonesia termasuk kedalam salah satu gizi, vitamin-A dan status imunisasi. Faktor
negara berkembang dengan kasus ISPA perilaku meliputi perilaku pencegahan dan
tertinggi.(Dr.H.Masriadi, S.KM, S.Pd.I, S.Kg, penanggulangan ISPA pada bayi atau peran aktif
M.Kes, 2017) ISPA di Indonesia selalu menempati keluarga/masyarakat dalam menangani penyakit
urutan pertama penyebab kematian pada bayi ISPA.(Depkes RI, 2004)
dan balita. ISPA juga sering menempati daftar 10 Rumah termasuk kedalam salah satu
penyakit terbanyak di rumah sakit dan kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia.
puskesmas. ISPA masih menjadi masalah Pertumbuhan penduduk yang tidak diikuti
kesehatan di Indonesia karena dampak yang dengan pertambahan luas tanah cenderung
ditimbulkan sangatlah besar terhadap menimbulkan masalah kepadatan populasi dan
penderitanya, tidak hanya pada bayi dan balita, lingkungan tempat tinggal yang menyebabkan
tetapi juga pada orang dewasa, selain itu ISPA berbagai penyakit serta masalah kesehatan.
juga dapat menjadi pemicu dari penyakit Rumah juga merupakan salah satu bangunan
lainnya.(Najmah, 2016) tempat tinggal yang harus memenuhi kriteria
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Nasional kenyamanan, keamanan dan kesehatan guna
DOI: 10.31983/link.v17i1.6828
mendukung penghuninya agar dapat bekerja karena itu upaya untuk tercapainya tujuan
dengan produktif.(Daryanto, 2015) pemberantasan penyakit ISPA ialah dengan
Konstruksi rumah dan lingkungan yang memperhatikan atau menanggulangi faktor
tidak memenuhi syarat kesehatan merupakan risiko lingkungan.(Depkes RI, 2004)
faktor risiko sumber penularan berbagai jenis
penyakit. Penyakit infeksi saluran pernapasan
akut (ISPA) erat kaitannya dengan kondisi 2. Metode
perumahan. Sanitasi rumah dan lingkungan erat Metode yang digunakan pada penelitian ini
kaitannya dengan angka kejadian penyakit adalah scoping review dengan memusatkan kajian
menular, terutama ISPA.(Ema, 2015) Bahkan pada spesifik dari berbagai cakupan yang ditemukan
kelompok bayi dan Balita, penyakit-penyakit untuk digabung dan menarik kesimpulan yang
berbasis lingkungan menyumbang lebih dari 80% ringkas.(Sucharew & Macaluso, 2019) Penelitian
dari penyakit yang diderita oleh bayi dan Balita. ini menggunakan sampel jurnal penelitian yang
Keadaan tersebut mengindikasikan masih berada pada database sinta dari Kementerian
rendahnya cakupan dan kualitas intervensi Riset dan Teknologi, dengan kriteria :
kesehatan lingkungan.(Daryanto, 2015) 1. Terindeks pada sinta 2-5
Pencemaran lingkungan seperti asap yang 2. Publikasi dalam 10 tahun terakhir (2015-2020)
berasal dari sarana transportasi dan polusi udara 3. Mempunyai variabel yang berhubungan
dalam rumah merupakan ancaman kesehatan dengan faktor risiko kejadian ISPA pada
terutama ISPA. Perubahan iklim terutama suhu, balita
kelembaban dan curah hujan merupakan beban
ganda dalam pemberantasan penyakit ISPA, oleh
DOI: 10.31983/link.v17i1.6828
DOI: 10.31983/link.v17i1.6828
DOI: 10.31983/link.v17i1.6828
Suhu Pencahayaan
Permenkes RI 1077/2011 tentang Pedoman PERMENKES No. 1077/ MENKES/ PER/
Penyehatan Udara dalam Ruang Rumah V/ 2011 tentang pedoman penyehatan udara di
menyebutkan bahwa suhu yang diperkenankan dalam ruang rumah persyaratan pencahayaan di
di dalam sebuah rumah adalah 18ºC - 30ºC. Suhu dalam rumah minimal 60 lux. Rumah yang sehat
udara merupakan salah satu indikator yang memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang
menentukan kualitas udara di dalam rumah, dan tidak terlalu banyak. Kurangnya cahaya yang
kualitas udara yang kurang baik dapat memicu masuk ke dalam rumah menyebabkan kurang
timbulnya berbagai macam penyakit yang nyaman, dan juga dapat menjadi media atau
berhubungan dengan pernapasan, seperti tempat yang baik untuk hidup dan
ISPA.(Menteri Kesehatan RI, 2011) berkembangnya bibit penyakit.(Menteri
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Kesehatan RI, 2011)
oleh Gita Nurina Ramadhaniyanti, Budiyono, Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan
Nurjazuli (2015) menunjukkan bahwa terdapat oleh Agisna Nur Fidya, Budi Hartono (2020),
ada hubungan antara luas ventilasi rumah (p- didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan
value = 0,041) dengan kejadian ISPA pada antara pencahayaan (p=0,006; OR=3,111) dengan
balita.(Menteri Kesehatan RI, 2011) kejadian ISPA pada balita.
Ventilasi
Kelembaban Kepmenkes No. 829/Menkes/SK/VII/1999
Kelembaban sangat erat hubungannya tentang persyaratan rumah tinggal luas
dengan ventilasi. Apabila ventilasi kurang baik penghawaan atau ventilasi alami yang permanen
maka akan mengakibatkan meningkatnya minimal 10% dari luas lantai.(Kementerian
kelembaban yang disebabkan oleh penguapan Kesehatan RI, 1999) Ventilasi alami rumah
cairan tubuh dan uap pernapasan. Rumah yang berfungsi sebagai tempat terjadinya sirkulasi
tidak memiliki kelembaban udara yang pergantian udara dari dalam rumah ke luar
memenuhi syarat kesehatan (40 % –70 %) akan rumah yang cukup, sehingga akan menjaga
membawa pengaruh terhadap penghuninya. keseimbangan kadar oksigen yang diperlukan
Rumah yang lembab merupakan media yang baik oleh penghuni rumah. Sehingga udara didalam
bagi pertumbuhan mikroorganisme antara lain rumah selalu terjaga kesegaran dan
bakteri, spiroket, ricketsia dan virus. kebersihannya.(Notoatmodjo S, 2014)
Mikroorganisme tersebut dapat masuk kedalam Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan
tubuh melalui udara sehingga dapat oleh Suci Wulandhani (2019), A. Bida
menyebabkan penyakit infeksi, khususnya Purnamasari menunjukkan bahwa ada hubungan
penyakit infeksi saluran pernapasan (ISPA). yang bermakna antara ventilasi (OR=0.814,
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan RR=1.138, 95% CI: 0.280-2.369), terhadap kejadian
oleh Fenti Dewi Pertiwi (2017) terdapat hubungan ISPA pada balita.
antara kelembaban kamar tidur (p = 0,142) Kepadatan Hunian
terhadap kejadian ISPA pada balita. Berdasarkan Kepmenkes No. 829/
Menkes/ SK/ VII/ 1999 tentang persyaratan
DOI: 10.31983/link.v17i1.6828
DOI: 10.31983/link.v17i1.6828
Nur Fidya, A., & Hartono, B. (2020). PM10 Dalam Faktor Risiko Lingkungan Terhadap
Udara Ruang Kelas dengan Kejadian ISPA Kejadian Penyakit Pneumonia Balita
Pada Siswa SD/MI di Wilayah Kerja Dengan Pendekatan Analisis Spasial Di
Puskesmas Cilebut, Kecamatan Sukaraja, Kecamatan Semarang Utara. Jurnal
Kabupaten Bogor, 1(2), 65–74. Kesehatan Masyarakat (e-Journal), 3(3), 732–
744.
Nurjazuli, Ramadhaniyanti G. N., & Budiyono.
(2015). Perilaku Yang Berhubungan Dengan WHO. (2019). Monitoring Health For The SDGs.
Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut Swiss.
( Ispa ) Pada Balita Di Kelurahan Kuningan.
Wiwik Setyaningsih, Dodiet Aditya Setyawan, A.
Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-Journal), 3(1).
S. (2016). Studi Epidemiologi Dengan
Pertiwi, F. D., & Farihah, N. (2017). Hubungan Pendekatan Analisis Spasial Terhadap
Lingkungan Dengan Kejadian Infeksi Faktor-Faktor Risiko Penyakit Infeksi
Saluran Pernafasan Akut (Ispa) Pada Balita Saluran Pernapasan Akut (Ispa) Pada Anak
Di Wilayah Kerja Uptd Puskesmas Semplak Di Kecamatan Sragen, 01, 44–50. Retrieved
Tahun 2016. Hearty, 5(2). from http://jurnal.poltekkes-
https://doi.org/10.32832/hearty.v5i2.1056 solo.ac.id/index.php/JKG/article/downlo
ad/355/317
Kementerian Kesehatan RI. (2018). Hasil Utama
Riskesdas 2018. Wulandhani, S., & Purnamasari, A. B. (2019).
Analisis Faktor Risiko Kejadian Infeksi
Sucharew, H., & Macaluso, M. (2019). Methods
Saluran Pernapasan Akut ditinjau dari
for research evidence synthesis: The scoping
Lingkungan Fisik. Sainsmat : Jurnal Ilmiah
review approach. Journal of Hospital Medicine,
Ilmu Pengetahuan Alam, 8(2), 70.
14(7), 416–418.
https://doi.org/10.35580/sainsmat8210721
https://doi.org/10.12788/jhm.3248
2019
Syani, F. El, & Raharjo, M. (2016). Hubungan
ABSTRAK
Latar Belakang: ISPA merupakan penyebab kesakitan dan kematian dari seluruh penyakit pada
anak berusia dibawah 5 tahun. Beberapa faktor risiko kesakitan hingga kematian pada balita
diantaranya status gizi, status imunisasi dan jenis kelamin
Tujuan: Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita di
Puskesmas Binuang.
Metode: Penelitian menggunakan Survey Analitik dengan pendekatan case control. Populasi adalah
balita yang berobat di Puskesmas Binuang sebanyak 443 balita. Teknik pengambilan sampel dengan
Systematik Random Sampling, sampel terdiri dari 144 kasus ISPA dan kontrol 144 balita. Data
dianalisis menggunakan uji Chi-Square dengan tingkat kepercayaan 95%.
Hasil: Tidak ada hubungan antara status gizi dengan kejadian ISPA (nilai p = 0,544 > 0,05) pada
balita, tidak ada hubungan antara kelengkapan status imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita
(nilai p = 0,607 > 0,05). Ada hubungan jenis kelamin dengan kejadian ISPA pada balita (p = 0,034
< 0,05), nilai OR=1,655 (95% CI: (1,038 – 2,637) artinya laki-laki berpeluang 1,655 kali untuk
menderita ISPA dibanding perempuan.
Simpulan: Status gizi dan imunisasi tidak memiliki hubungan dengan kejadian risiko penyakit
ISPA dibandingkan faktor jenis kelamin. Perlu upaya bagi keluarga terutama yang mempunyai
balita laki-laki dengan aktifitas diluar rumah yang tinggi untuk memberikan makanan dengan
asupan nutrisi yang seimbang dan juga menjaga kebersihan diri dengan baik agar terhindar dari
penyakit infeksi khususnya penyakit ISPA.
Kata Kunci: Balita, ISPA, Jenis Kelamin, Puskemas, Status Gizi, Status Imunisasi.
616
Dinamika Kesehatan, Vol 9 No. 1 Juli 2018 Darsono et al Faktor-faktor yang berhubungan..
ABSTRACT
Background: Acute Respiratory Infection (ARI) was a cause of morbidity and mortality in children
and 50% of all illnesses in Toddler. Population were all treated at Puskesmas Binuang from June to
August 2017 as many as 443 Toddler. Data were analysed using Chi-Square test with 95%
confidence level. In 2014 there were 1,034 cases, in 2015 increased to 1,322 cases, and 2016
increased again to 1,756. During the last three years of the 10 most diseases in Puskesmas Binuang
ARI was ranked first. The aim research for now that factors which are correlated to occurrences of
ARI on Toddler. The sample consisted of 144 cases of ARI and control of 144 on Toddler.
Method: Survey research using analytic approaches case control. The population is all the toddlers
who seek treatment at Puskesmas Binuang June-August 2017 as many as 443 Toddler. Data were
analysed using Chi-Square test with 95% confidence Interval.
Result: There was no correlation between nutritional status (p value = 0.544> 0,05) the
completeness of immunization status p value = 0,607 > 0,05 with ARI occurrence in baby and there
was relation between and there was sex with correlation p value = 0,034 < 0,05 between the
incidence of ARI in Toddler. OR (Odds Ratio) = 1,655 (95% CI: (1,038 - 2,637) male were 1.655
times more likely to suffer from ARI than female.
Conclusion: Nutrition status and immunisation has not a relationship with the risk of ARI disease
compared to factor sex. There needs to be a solution to the community to provide good nutrition to
their children and provide counselling behaviour of family have children under five for prevention
of the occurrence of infectious diseases, especially ARI.
617
Dinamika Kesehatan, Vol 9 No. 1 Juli 2018 Darsono et al Faktor-faktor yang berhubungan..
Status kesehatan anak merupakan salah anatomis, ISPA dibagi dalam dua bagian
satu indikator kesejahteraan bangsa, sehingga yaitu ISPA Atas dan ISPA Bawah. ISPA
masalah kesehatan anak merupakan masalah Atas yang perlu diwaspadai adalah radang
kesehatan masyarakat dan menjadi salah satu saluran tenggorokan atau pharingitis dan
masalah nasional, indikator keberhasilan radang telinga tengah atau otitis. ISPA
program kesehatan anak yang mengacu pada Bawah yang berbahaya adalah pneumonia
Menurut Survey Demografi Kesehatan adalah 2-10 kali lebih banyak daripada
(SDKI) tahun 2012 angka kematian balita negara maju. Perbedaan tersebut
masih mencapai 40/1.000 KH, angka berhubungan dengan etiologi dan faktor
kematian bayi 32/1.000 KH dan angka risiko. Di negara berkembang, ISPA dapat
kematian neonatal 19/1000 KH. Angka ini menyebabkan 10-25% kematian dan
hanya turun 4 poin untuk kematian balita dan bertanggungjawab terhadap 1/3-1/2 kematian
2 poin bayi jika dibandingkan dengan angka pada balita. Di Indonesia, ISPA merupakan
5 tahun sebelumnya, sedangkan angka salah satu penyebab utama kunjungan pasien
Angka kematian bayi dan balita dari seluruh kunjungan rawat jalan dan rawat
Indonesia adalah tertinggi di negara ASEAN. inap Rumah Sakit (Maryunani A., 2010).
Penyebab angka kesakitan dan kematian anak Angka kesakitan (prevalensi) penyakit
terbanyak saat ini masih diakibatkan oleh pada balita berdasarkan Riskesdas 2007
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). terbanyak adalah diare (55,5%), ISPA
Istilah ISPA diperkenalkan pada tahun 1984, (42,5%), campak (3,4%) dan tifoid (1,6%).
618
Dinamika Kesehatan, Vol 9 No. 1 Juli 2018 Darsono et al Faktor-faktor yang berhubungan..
diamati guna melakukan intervensi kesehatan Tahun 2016 jumlah kasus ISPA pada balita di
masyarakat yang sesuai untuk menurunkan Kalimantan Selatan sebesar 13.033 kasus
kejadian di masyarakat (Kemenkes RI, (94,78%) tertinggi dari lima provinsi yang ada
pada anak dan 50% dari seluruh penyakit Kesehatan Kab. Tapin, program
rata-rata balita di Indonesia mengalami batuk penanggulangan pada balita. Indikator untuk
pilek setidaknya enam hingga delapan kali menilai keberhasilan program ini adalah
per-tahunnya. Dari data WHO didapatkan penemuan penderita pneumonia (ISPA berat),
bahwa angka kejadian ISPA pada balita di karena hal ini sangat terkait dengan
Indonesia cukup tinggi, yakni 10-20% per penanggulangan polusi, pencegahan berat
tahun (Maryunani A., 2010). badan lahir rendah dan pemberian vitamin A.
Berdasarkan SDKI 2012 Provinsi Upaya yang terbukti efektif untuk mencegah
dengan Angka Kematian Balita (AKABA) merupakan penyakit yang paling mudah
tertinggi di Pulau Kalimantan yaitu 44 per penularannya terutama daerah yang padat
1000 kelahiran hidup. Menurut estimasi penduduknya. Tahun 2012 ditemukan 189
Badan Pusat Statistik (BPS), Kalimantan kasus, tahun 2013 meningkat menjadi 235
Selatan masih diatas rata-rata nasional hingga kasus dan pada tahun 2014 meningkat lagi
tahun 2020-2025, yaitu 21 per 1000 bayi lahir menjadi 406 dan penderita paling banyak
di Indonesia dengan lebih dari 50 ribu balita Menurut data profil Puskesmas Binuang
meninggal per tahun akibat penyakit tersebut. angka kejadian ISPA adalah yang paling
619
Dinamika Kesehatan, Vol 9 No. 1 Juli 2018 Darsono et al Faktor-faktor yang berhubungan..
sering diderita oleh balita di Puskesmas kaitan antara penderita yang mendapatkan
Binuang. Tahun 2014 terdapat 1.034 kasus imunisasi tidak lengkap dan lengkap, dan
ISPA, tahun 2015 meningkat menjadi 1.322 bermakna secara statistik. Ketidakpatuhan
kasus ISPA dan 2016 meningkat lagi menjadi imunisasi berhubungan dengan peningkatan
angka kejadian ISPA menduduki peringkat perlu dilakukan penelitian faktor-faktor yang
pertama. Berdasarkan data pada buku register berhubungan dengan kejadian ISPA pada
yaitu kunjungan 474 balita sakit di Poli Metode penelitian Survey Analitik
Beberapa faktor risiko kesakitan hingga penelitian (survey) analitik yang menyangkut,
kematian pada balita penderita ISPA. bagaimana faktor risiko dipelajari dengan
status gizi, status imunisasi, kepadatan tempat Dengan kata lain, efek (penyakit atau status
tinggal dan linkungan fisik (Maryunani, kesehatan) diidentifikasi pada saat ini,
Keadaan gizi sangat berpengaruh pada atau terjadinya pada waktu yang lalu
imunisasi). Anak yang gizinya kurang atau Populasi dalam penelitian ini adalah
buruk (badannya kurus) akan lebih mudah semua balita yang berobat pada bulan Juni s/d
infeksi, salah satunya penyakit ISPA. Sama sebanyak 443 balita. Penelitian ini
620
Dinamika Kesehatan, Vol 9 No. 1 Juli 2018 Darsono et al Faktor-faktor yang berhubungan..
semua balita yang didiagnosa ISPA pada Tabel 1. Distribusi Frekuens Berdasarkan
Status Gizi Balita di Puskesmas
Binuang
bulan Juni s/d Agustus 2017 yaitu 225 balita.
Kasus Kontrol Total
Sampel yang digunakan sebagai kontrol Status Gizi
n (%) n (%) N (%)
Berisiko 52 36,1 57 39,6 109 37,8
adalah semua balita yang tidak didiagnosa Tidak Berisiko 92 63,9 87 60,4 179 62,2
Jumlah 144 100 144 100 288 100
ISPA yang datang berobat ke Puskesmas Sumber: Data Sekunder, 2017
621
Dinamika Kesehatan, Vol 9 No. 1 Juli 2018 Darsono et al Faktor-faktor yang berhubungan..
bahwa sebagian besar jumlah balita sebagai kasus yakni 63,9% dibandingkan kelompok
laki yaitu sebesar 84 (58,3%) dan balita Hasil uji Chi Square didapatkan nilai p
d. ISPA pada Balita antara status gizi dengan kejadian ISPA pada
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Berdasarkan ISPA balita. Nilai OR = 0,863 (95% CI: 0,536 –
pada Balita di Puskesmas Binuang.
1,389) rentan interval kepercayaan (CI)
Frekuensi %
ISPA (Kasus) 144 50
Tidak ISPA (Kontrol) 144 50
mencakup angka 1 berarti status gizi bukan
Jumlah 288 100
Sumber: Data Sekunder, 2017 merupakan faktor risiko kejadian ISPA.
sedangkan tidak ISPA sebanyak 144 (50%). Tabel 6. Hubungan Status Imunisasi
dengan Kejadian ISPA pada
Balita di Puskesmas Binuang.
2. Analisis Bivariat
Status Kasus Kontrol Total
a. Hubungan Status Gizi dengan Imunisasi n (%) n (%) N (%)
Kejadian ISPA pada Balita di Lengkap 137 95,1 135 93,8 272 94,4
Puskesmas Binuang. Tidak Lengkap 7 4,9 9 6,2 16 5,6
Jumlah 144 100 144 100 288 100
Tabel 5. Hubungan Status Gizi dengan p = 0,607 ; OR = 1,305 ; 95% CI (0,472 – 3,604)
Kejadian ISPA pada Balita di Sumber: Data Sekunder, 2017
Puskesmas Binuang.
Tabel 6 menunjukkan bahwa proporsi
Kasus Kontrol Total
Status Gizi
n (%) n (%) N (%)
balita dengan status imunisasi lengkap lebih
Berisiko 52 36,1 57 39,6 109 37,8
Tidak Berisiko 92 63,9 87 60,4 179 62,2
Jumlah 144 100 144 100 288 100 banyak pada kelompok kasus yakni 137
p = 0,544 ; OR = 0,863 ; 95% CI (0,536 – 1,389)
622
Dinamika Kesehatan, Vol 9 No. 1 Juli 2018 Darsono et al Faktor-faktor yang berhubungan..
(95,1%) balita dibandingkan pada kelompok kontrol yakni 54,2% dibandingkan kelompok
balita dengan status Imunisasi tidak lengkap Hasil uji Chi Square didapatkan nilai p =
lebih banyak pada kelompok kontrol yakni 0,034 < 0,05 berarti ada hubungan antara jenis
6,2% dibandingkan kelompok kasus 4,9%. kelamin dengan kejadian ISPA pada balita.
Hasil uji Chi Square didapatkan nilai p = Nilai OR = 1,655 (95% CI: 1,038 – 2,637)
0,607 > 0,05 berarti tidak ada hubungan rentang interval kepercayaan (CI) tidak
antara status imunisasi dengan kejadian ISPA mencakup angka 1 berarti jenis kelamin laki-
pada balita. Nilai OR = 1,305 (95% CI: laki mempunyai peluang 1,655 kali
0,472-3,604) rentan interval kepercayaan (CI) mengalami faktor risiko kejadian ISPA
mencakup angka 1 berarti status imunisasi dibanding dengan jenis kelamin perempuan.
Tabel 8 menunjukkan bahwa balita infeksi suatu penyakit dan kekurangan zat gizi
dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak akan cenderung menurunkan daya tahan balita
dibandingkan laki-laki pada kelompok kontrol Menurut Moehji (2000) Kebutuhan zat
45,8%, sedangkan proporsi balita dengan gizi setiap orang berbeda-beda. Hal ini
jenis perempuan lebih banyak pada kelompok berbagai faktor antara lain umur, jenis
623
Dinamika Kesehatan, Vol 9 No. 1 Juli 2018 Darsono et al Faktor-faktor yang berhubungan..
kelamin dan macam pekerjaan. Masukan zat berhubungan dengan peningkatan penderita
gizi yang berasal dari makanan setiap hari penyakit dan imunisasi yang lengkap dapat
harus dapat memenuhi kebutuhan tubuh memberikan peranan yang cukup berarti
asupan zat gizi yang cukup sehingga dapat Distribusi frekuensi berdasarkan jenis
fisik, perkembangan otak dan kecerdasan, Penelitian ini menunjukkan bahwa balita
produktivitas kerja serta daya tahan tubuh dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak
imunisasi balita. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok kasus. Selama masa anak-anak,
status imunisasi yang lengkap sebagian besar laki-laki dan perempuan mempunyai
terdapat pada kelompok kasus dan kontrol, kebutuhan energi dan gizi yang hampir sama.
hal ini dibandingkan balita status imunisasi Kebutuhan gizi untuk usia 10 tahun pertama
Kelengkapan imunisasi pada balita bertujuan kerentanan terhadap masalah gizi dan
agar dapat meningkatkan kekebalan secara konsekuensi kesehatannya akan sama pula.
keberhasilan imunisasi dipengaruhi oleh biologis dan pada lingkungan yang optimal
status imun balita, genetik, kualitas dan mempunyai keuntungan yang diperkirakan
kuantitas vaksin. Menurut Kemenkes RI. sebesar 0,15-1 kali lebih di atas anak laki-laki
624
Dinamika Kesehatan, Vol 9 No. 1 Juli 2018 Darsono et al Faktor-faktor yang berhubungan..
dalam hal tingkat kematian (Suhandayani, anak dipengaruhi oleh umur, keadaan fisik,
4. Hubungan antara Status Gizi terhadap tersedianya makanan dan aktifitas dari anak
Kejadian ISPA pada Balita di
Puskesmas Binuang. itu sendiri. Balita dengan gizi yang kurang
status gizi dari kategori berisiko dan tidak karena faktor daya tahan tubuh yang kurang.
berisiko. Hal ini memperlihatkan bahwa Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan
sebagian besar balita termasuk kategori gizi balita tidak mempunyai nafsu makan dan
baik atau tidak berisiko yakni 63,9% mengakibatkan kekurangan gizi, keadaan gizi
dibanding dengan balita 36,1% yang berisiko. kurang, balita lebih mudah terserang ISPA
Hasil uji Chi Square didapatkan nilai p berat dengan serangan lebih lama (Rahajoe,
antara status gizi dengan kejadian ISPA pada Kejadian ISPA dapat disebabkan karena
balita. Nilai OR = 0,863 (95% CI: 0,536- daya tahan tubuh lemah, dan keadaan gizi
1,389) rentan interval kepercayaan (CI) buruk/kurang merupakan faktor risiko yang
mencakup angka 1 berarti status gizi bukan penting untuk terjadinya ISPA. Balita dengan
merupakan faktor risiko kejadian ISPA. status gizi lebih/gemuk mempunyai daya
Penelitian ini sejalan yang dilaporkan tahan tubuh yang lebih baik dari balita dengan
Suhandayani, I. (2006) bahwa kejadian ISPA status gizi kurang maupun status gizi buruk.
pada balita di Puskesmas Pati Kabupaten Pati Penelitian ini tidak sejalan dengan yang
nilai p = 0,78 > 0,05, hal ini menunjukkan dilakukan Astuti, dkk., di Ngemplak Boyolali
bahwa tidak ada hubungan antara status gizi tahun 2012, yakni terdapat hubungan yang
dengan kejadian ISPA pada balita. signifikan antara status gizi balita dengan
Masukan zat-zat gizi yang diperoleh kejadian ISPA, kemudian penelitian dari
pada tahap pertumbuhan dan perkembangan Sukmawati dan Sri Dara Ayu (2010) di
625
Dinamika Kesehatan, Vol 9 No. 1 Juli 2018 Darsono et al Faktor-faktor yang berhubungan..
menunjukkan kejadian ISPA berulang yang Program imunisasi sudah ada sejak tahun
lebih banyak pada balita dengan status gizi 1994 dengan tujuan meningkatkan kekebalan
kurang dengan p = 0,03, hal ini karena status balita secara aktif terhadap suatu penyakit.
gizi yang kurang menyebabkan ketahanan Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada
tubuh menurun dan virulensi patogen lebih hubungan antara status imunisasi dengan
kuat, sehingga akan menyebabkan kejadian ISPA pada balita karena nilai p =
keseimbangan terganggu dan akan terjadi 0,607 > 0,05. Balita dengan status imunisasi
infeksi. Salah satu determinan dalam lengkap menderita ISPA memiliki persentase
adalah status gizi yang baik. kelompok kontrol 89,6%. balita dengan
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai status Imunisasi tidak lengkap lebih banyak
akibat interaksi antara asupan energi dan pada kelompok kontrol yakni 10,4%
protein serta zat-zat gizi esensial lainnya dibandingkan kelompok kasus 6,9%.
dengan keadaan kesehatan tubuh. Status gizi Nilai OR = 1,305 (95% CI: 0,472-3,604)
merupakan ekspresi dari keseimbangan zat rentang interval kepercayaan (CI) mencakup
gizi dengan kebutuhan tubuh, yang angka 1 berarti status imunisasi bukan
diwujudkan dalam bentuk variabel tertentu, merupakan faktor risiko kejadian ISPA.
kekurangan) antara zat gizi dengan Ranantha, R, dkk., (2012) bahwa tidak ada
kelainan patologi bagi tubuh manusia. dengan kejadian ISPA pada balita di Desa
salah atau kelainan gizi) (Fidiantoro dan Imunisasi sangat berguna dalam
626
Dinamika Kesehatan, Vol 9 No. 1 Juli 2018 Darsono et al Faktor-faktor yang berhubungan..
Imunisasi merupakan suatu program yang Jamanis Tasikmalaya bahwa ada hubungan
dengan sengaja memasukkan antigen lemah antara jenis kelamin dengan kejadian ISPA
tubuh dapat resistensi terhadap penyakit Umumnya tidak ada perbedaan insiden
tertentu. Pemberian imunisasi dasar antara ISPA akibat virus atau bakteri pada laki-laki
lain Hepatitis B, BCG, DPT combo/Ventabio, dan perempuan, tetapi ada yang
6. Hubungan antara Jenis Kelamin perbedaan, yaitu insiden lebih tinggi pada
terhadap Kejadian ISPA pada Balita
di Puskesmas Binuang. anak laki-laki. Pada dekade yang lalu, hasil
Hasil analisis menunjukkan bahwa balita penelitian menunjukkan bahwa proporsi balita
dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak berdasarkan jenis kelamin terdapat perbedaan
pada kelompok kasus yakni 58,3% antara laki-laki dan perempuan yaitu 59%
dibandingkan laki-laki pada kelompok kontrol pada balita laki-laki dan 41% pada balita
jenis kelamin perempuan lebih banyak pada bahwa, ISPA lebih sering terjadi pada balita
kelompok kontrol yakni 54,2% dibandingkan laki-laki dibandingkan pada balita perempuan
Hasil uji Chi Square didapatkan nilai p Hasil penelitian ini didukung oleh
= 0,034 < 0,05 berarti ada hubungan antara Ranantha, (2014) menunjukkan 70% ISPA
jenis kelamin dengan kejadian ISPA pada terjadi pada balita laki-laki. Balita dengan
balita. Nilai OR = 1,655 (95% CI: 1,038- jenis kelamin laki-laki 1,5 kali lebih sering
2,637) rentan interval kepercayaan (CI) tidak menderita penyakit ISPA dibandingkan pada
mencakup angka 1 berarti jenis kelamin balita perempuan, sedangkan pada penelitian
merupakan faktor risiko kejadian ISPA. ini lebih disebabkan karena anak laki-laki
Penelian ini sejalan oleh Sulistyoningsih lebih banyak berada di luar rumah
627
Dinamika Kesehatan, Vol 9 No. 1 Juli 2018 Darsono et al Faktor-faktor yang berhubungan..
dibandingkan anak perempuan. Sesuai ISPA nilai p = 0,607 > 0,05. Ada hubungan
dengan keadaan balita di wilayah Puskesmas antara jenis kelamin dengan kejadian ISPA
Binuang, terutama balita laki-laki dengan nilai p = 0,034 < 0,05, OR = 1,655 berarti
aktifitas diluar rumah yang tinggi diharapkan laki-laki mempunyai peluang 1,655 kali untuk
pada keluarga agar selalu memberikan asupan menderita ISPA dibanding perempuan.
Hal ini dibandingkan balita status imunisasi Fidiantoro dan Setiadi. 2013. Model
Penentuan Status Gizi Balita di
yang tidak lengkap hanya 7 (4,9%) kasus. Puskesmas Yogyakarta: Universitas
Akmad Dahlan.
Balita dengan jenis kelamin sebagian besar
jenis kelamin laki-laki yaitu sebesar 84 Kemenkes RI. 2010. Anak dengan Gizi Baik
Menjadi Aset dan Investasi Bangsa di
(58,3%) dan balita perempuan 60 (41,7%). Masa Depan. www.depkes.go.id.
Jakarta: Kementerian Kesehatan
Tidak ada hubungan antara status gizi Republik Indonesia.
628
Dinamika Kesehatan, Vol 9 No. 1 Juli 2018 Darsono et al Faktor-faktor yang berhubungan..
629
Vol. 1 No. 7 Juli 2022
p-ISSN: 2828-1284 e-ISSN: 2810-062x
Abstrak
Kata kunci: Pendahuluan: Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) Sanggamara KODIM
Balita, 0101/BS KESDAM Iskandar Muda Kota Banda Aceh terletak di wilayah Kecamatan
Determinan, Kuta Alam Kota Banda Aceh, menempati posisi ke 4 tertinggi kasus Infeksi Saluran
Faskes, ISPA Pernafasan Akut (ISPA) dari 9 Kecamatan yang ada di Kota Banda Aceh. Dari 10
penyakit penyakit rawat jalan FKTP Sanggamara KODIM 0101/BS KESDAM Iskandar
Muda tersebut penyakit ISPA menempati posisi pertama sebanyak 127 kasus
dibandingkan 9 penyakit lainnya. Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk
menganalisis determinan yang berhubungan dengan ISPA pada Balita di Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) Sanggamara Kodim 0101/BS Kesdam Iskandar
Muda Kota Banda Aceh. Metode: Adapun metode yang digunakan penelitian
adalah analisis deskriptif dengan Desain Cross Sectional. Hasil: Hasil Penelitian ini
adalah umur balita dengan P-Value: 0,001, jenis kelamin balita dengan P-Value:
0,008 personal hygiene dengan P-Value: 0,001, pekerjaan ibu dengan P-Value:
0,034, pengetahuan Ibu dengan P-Value: 0,032, Ventilasi kamar dengan P-Value
0,001, kelembaban kamar dengan P-Value: 0,000, Kepadatan Hunian dengan P-
Value 0,001, dan pemakaian pestisida dengan P-Value: 0,021, pendidikan ibu
dengan P-Value: 0,113, jenis lantai rumah dengan P-Value: 0,149, jenis dinding
rumah dengan P-Value 0,105 dan bahan bakar masak dengan P-Value: 0,520.
Corresponding Author: Miswarti
E-mail: Universitas Muhammadiyah Aceh
PENDAHULUAN
Menurut World Health Organization (WHO) (2013) menyebutkan bahwa Infeksi Saluran
Pernafasan Akut (ISPA) didefinisikan sebagai penyakit saluran pernafasan akut yang disebabkan oleh
agen infeksius yang ditularkan dari manusia. Menurut Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
(2014) menyebutkan bahwa ISPA adalah penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian dan
atau lebih dari aliran pernafasan mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah)
termasuk jaringan adneksanya seperti sinus, rongga, telinga tengah dan pleura (Kemenkes RI, 2014).
Faktor yang mempengaruhi kejadian ISPA baik secara langsung maupun tidak langsung. Faktor-
faktor yang mempengaruhi terjadinya ISPA dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu faktor instrinsik
meliputi umur, jenis kelamin, pemberian ASI, status gizi, berat badan lahir rendah, status imunisasi,
dan pemberian makanan yang terlalu dini (Depkes RI, 2008). Sedangkan faktor ekstrinsik meliputi
umur ibu, pengetahuan ibu, faktor pedidikan ibu, kepadatan hunian, kondisi fisik rumah, ventilasi
rumah, sosial ekonomi, dan pekerjaan (Departemen Kesehatan RI, 2008).
Selanjutnya menurut WHO (2015) menegaskan bahwa ISPA adalah penyakit yang ditularkan
melalui udara. Berdasarkan hal tersebut, balita yang memiliki area ventilasi rumah yang tidak
memenuhi syarat kesehatan akan berisiko terkena ISPA. Untuk menghindari risiko tersebut, orang tua
balita yang area ventilasi rumahnya tidak memenuhi syarat kesehatan perlu menambah area ventilasi
rumahnya (WHO, 2015). Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian (Juniartha, Hadi, & Notes,
2014)menunjukkan bahwa jika luas ventilasi rumah berkaitan dengan kejadian ISPA pada anak balita.
Pertukaran udara di kamar balita dengan area yang berventilasi baik akan terjaga dengan baik
(Juniartha et al., 2014)
Selain dari ventilasi rumah, kepadatan hunian juga berpengaruh terdapat kejadian ISPA, hal ini
dikuatkan oleh hasil penelitian Ningrum (2015) yang menyatakan bahwa kepadatan hunian akan
mempengaruhi balita yang mengalami ISPA, karena kepadatan hunian yang tinggi akan meningkatkan
suhu dan kelembaban ruangan akibat panas yang dikeluarkan dari pernafasan penghuni. Kelembaban
yang tinggi akan menjadi media yang mendukung penyebaran kuman penyebab ISPA dan
mempercepat penyebaran ISPA (Ningrum, 2015). Selanjutnya menurut penelitian Ningrum (2015),
menyebutkan bahwa karena pernafasan penghuni mengeluarkan panas, kepadatan penghuni yang
tinggi akan meningkatkan suhu dan kelembaban ruangan.
Menurut WHO (2013) kasus ISPA di seluruh dunia sebanyak 18,8 miliar dan kematian sebanyak
4 juta orang per tahun. Kasus ISPA di Indonesia pada tahun 2015 menempati urutan pertama sebanyak
25.000 jiwa se-Asia Tenggara pada tahun 2015 (WHO, 2016). ISPA merupakan penyakit yang banyak
terjadi di negara berkembang serta menjadi salah satu penyebab kunjungan pasien ke Puskesmas
(40%-60%) dan rumah sakit (15%-30%) (Kemenkes RI, 2018).
Gambar 1. 1 Prevalensi ISPA Pada Balita di Indonesia dan Provinsi Aceh
Indonesia Provinsi Aceh
65,27
70 56,51
60 51,19
50
40
30
20 10,7 9,91 12,59
10
0
2016 2017 2018
Sumber: Profil Kesehatan Indonesia, 2018.
Berdasarkan gambar di atas dapat dilihat bahwa untuk tingkat prevalensi ISPA atau Infeksi
Saluran Pernafasan Akut pada balita di Indonesia yang terdapat pada periode tahun 2016 tercatat
sebanyak 65,27%, kemudian data tersebut terjadi penurunan prevalensi pada periode tahun 2017
tercatat sebanyak 51,19%, Kemudian, tetapi terjadi kenaikan atau pertambahan pada periode tahun
2018 tercatat menjadi sebanyak 56,51% (Kemenkes RI, 2018). Demikian juga terjadi pada Provinsi
Aceh, pada tahun 2016 prevalensi ISPA pada balita sebanyak 10,7%, terjadi penurunan sedikit pada
tahun 2017 menjadi 9,91%, dan terjadi kenaikan pada tahun 2018 menjadi 12,59% (Kemenkes RI,
2018).
Tabel 1. 1 Kasus ISPA Pada Balita Per Kecamatan Kota Banda Aceh
Decrease/Increa
Kecamat Tahun
No. se
an
2016 2017 2018 2016-2018
1 Meuraxa 3,263 4,262 3,915 652
2 Jaya 2,202 2,547 2,866 664
Baru
3 Banda 407 450 437 30
Raya
4 Lueng 1,537 1,284 945 (592)
Bata
5 Baiturra 3,486 4,094 4,232 746
hman
6 Kuta Raja 1,109 708 633 (476)
7 Kuta 2,292 2,371 2,697 405
Alam
8 Syiah 3,479 2,09 2,275 (1,204)
Kuala
9 Ulee 710 794 593 (117)
Kareng
Jumlah 18485 18602 18593 108
Sumber: Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh, 2018
Berdasarkan Tabel 1.1 di atas dapat dilihat bahwa ada 5 Kecamatan yang mengalami kenaikan
kasus ISPA dari 2016 s/d 2018 di seluruh kecamatan di Kota Banda Aceh. Kasus yang tertinggi di
Kecamatan Baiturrahman sebanyak 746 kasus, disusul Kecamatan Jaya Baru sebanyak 664 kasus dan
selanjutnya Kecamatan Meuraxa sebanyak 652, kemudian Kecamatan Kuta Alam dan terakhir
Kecamatan Banda Raya sebanyak 30 kasus.
Gambar 1. 2 Grafik Persentase ISPA 5 Kecamatan di Kota Banda Aceh
40 30,15%
19,98% 21,40% 17,67%
20 7,37%
0
Meuraxa Jaya Baru Banda Raya Baiturrahman Kuta Alam
Berdasarkan Gambar 1.2 di atas dapat dilihat bahwa pada kurun waktu 2016 s/d 2018,
Kecamatan Jaya Baru mengalami persentase kenaikan tertinggi ISPA sebanyak 30,15%, selanjutnya
Kecamatan Baiturrahman sebanyak 21,40% dan Kecamatan Meuraxa sebanyak 19,98%. Kecamatan
Kuta alam menempati posisi ke-4 persentase tertinggi sebanyak 17,67% dan terakhir Kecamatan
Banda Raya sebanyak 7,37%. (Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh, 2018). Lokasi penelitian adalah
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) Sanggamara KODIM 0101/BS KESDAM Iskandar Muda Kota
Banda Aceh terletak di wilayah Kecamatan Kuta Alam Kota Banda Aceh, berdasarkan data di atas,
menempati posisi ke 4 tertinggi dari 9 Kecamatan yang ada di Kota Banda Aceh.
Tabel 1. 2
Rekapitulasi 10 Besar Penyakit Rawat Jalan Tingkat Pertama (RJPT)
METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif dengan Desain Cross Sectional,
keduanya diukur pada saat yang bersamaan yaitu di masa sekarang. Jadi penelitian ini lebih
merupakan potret pada suatu waktu dari yang diamati. Variabel bebas dan terikat diteliti pada saat
yang bersamaan saat penelitian dilakukan, yang bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang
berhubungan dengan dengan penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada balita di FKTP
Sanggamara KODIM 0101/BS KESDAM Iskandar Muda Kota Banda Aceh Tahun 2021.
Teknik pengambilan sampel menggunakan probably sampling dengan simple random
sampling yaitu pengambilan sampel secara acak dari populasi karena populasi dianggap homogen.
Sesuai dengan pendapat ahli, Sugiyono (2017) menyebutkan bahwa Teknik simple random sampling
adalah teknik yang sederhana karena pengambilan anggota sampel dari populasi dilakukan secara
acak tanpa melihat dan memperhatikan kesamaan atau starata yang ada dalam populasi. Cara ini
digunakan apabila anggota populasi dianggap homogen.
Alasan menggunakan teknik ini karena yang menjadi populasi dalam penelitian ini hanya
pasien rawat jalan yang berasal dari Kota Banda Aceh yang terbagi ke dalam 9 Kecamatan. Kecamatan
dapat terwakili, maka sampel diambil dari masing-masing kecamatan dengan proporsi sama. Prosedur
pengambilan sampel adalah dengan cara undian. Alasan menggunakan undian adalah bagi peneliti
cukup sederhana dan memungkinkan ketidakadilan dapat dihindari (Wardani & Poniali, 2021).
Data penelitian adalah suatu fakta (kenyataan-kenyataan) atau informasi yang didapatkan
dari hasil pengukuran sesuatu, bisa dalam bentuk angka-angka atau kata-kata, yang akan digunakan
sebagai bahan analisis sebuah penelitian. Jenis data yang digunakan adalah data primer dan sekunder.
Penelitian dilakukan dengan wawancara secara langsung dengan menggunakan kuesioner yang
disediakan. Berhubung kondisi Pandemi Covid-19 saat ini, peneliti wawancara langsung dengan
mengikuti protokol kesehatan pencegahan Covid-19.
Responden
No Umur
f %
1 Baduta (Bawah dua tahun) 35 19,8
2 Batita (Bawah tiga tahun) 49 27,7
3 Balita (Bawah lima tahun) 93 52,5
Jumlah 177 100
Sumber : Data Primer, 2022.
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui distribusi frekuensi responden berdasarkan umur
dari 177 responden terdapat anak dengan umur di bawah dua tahun (baduta) sebanyak 25 orang
(19,8%), anak dengan umur di bawah tiga tahun (batita) sebanyak 49 orang (27,7%) dan anak
dengan kategori di bawah lima tahun (balita) sebanyak 93 orang (52,5%).
D. Jenis Kelamin
Tabel distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin merupakan matrik yang
terdiri dari kategori jenis kelamin, jumlah dan persentase jenis kelamin pada Fasilitas Kesehatan
Tingkat Pertama (FKTP) Sanggamara KODIM 0101/BS KESDAM Iskandar Muda Kota Banda Aceh,
dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 5. 3
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di Fasilitas Kesehatan Tingkat
Pertama (FKTP) Sanggamara Kodim 0101/BS
Kesdam Iskandar Muda Kota Banda Aceh..
Responden
No Jenis Kelamin
f %
1 Laki-Laki 107 60,5
2 Perempuan 70 39,5
Jumlah 177 100
Sumber : Data Primer, 2022.
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis
kelamin dari 177 responden terdapat anak berjenis kelamin laki-laki sebanyak 107 orang (60,5%),
anak berjenis kelamin perempuan sebanyak 70 orang (39,5%).
E. Personal hygiene
Tabel distribusi frekuensi responden berdasarkan Personal hygiene merupakan matrik yang
terdiri dari kategori Personal hygiene, jumlah dan persentase Personal hygiene pada Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) SANGGAMARA KODIM 0101/BS KESDAM Iskandar Muda Kota
Banda Aceh, dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 5. 4
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Personal hygiene di Fasilitas
KesehatanTingkat Pertama (FKTP) Sanggamara Kodim 0101/BS
Kesdam Iskandar Muda Kota Banda Aceh..
Responden
No Personal hygiene
f %
1 Tidak Baik 84 47,5
2 Baik 93 52,5
Jumlah 177 100
Sumber : Data Primer, 2022.
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui distribusi frekuensi responden berdasarkan personal
hygiene dari 177 responden terdapat personal hygiene yang tidak baik sebanyak 84 orang (47,5%),
dan personal hygiene yang baik sebanyak 93 orang (52,5%).
F. Pengetahuan Ibu
Tabel distribusi frekuensi responden berdasarkan Pengetahuan Ibu merupakan matrik yang
terdiri dari kategori Pengetahuan Ibu, jumlah dan persentase Pengetahuan Ibu pada Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) SANGGAMARA KODIM 0101/BS KESDAM Iskandar Muda Kota
Banda Aceh, dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 5. 5
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pengetahuan Ibu di Fasilitas Kesehatan
Tingkat Pertama (FKTP) Sanggamara Kodim 0101/BS
Kesdam Iskandar Muda Kota Banda Aceh.
Responden
No Pengetahuan Ibu
f %
1 Tidak baik 96 54,2
2 Baik 81 45,8
Jumlah 177 100
Sumber : Data Primer, 2022.
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui distribusi frekuensi responden berdasarkan
Pengetahuan Ibu dari 177 responden didapatkan bahwa Ibu yang pengetahuan tidak baik
sebanyak 96 orang (54,2%), dan ibu yang pengetahuannya baik sebanyak 81 orang (45,8%).
G. Ventilasi
Tabel distribusi frekuensi responden berdasarkan Ventilasi merupakan matrik yang terdiri
dari kategori ventilasi, jumlah dan persentase Ventilasi pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
(FKTP) SANGGAMARA KODIM 0101/BS KESDAM Iskandar Muda Kota Banda Aceh, dapat dilihat
pada tabel dibawah ini.
Tabel 5. 6
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Ventilasi di Fasilitas Kesehatan
Tingkat Pertama (FKTP) Sanggamara Kodim 0101/BS
Kesdam Iskandar Muda Kota Banda Aceh..
Responden
No Ventilasi
f %
1 Tidak Memenuhi Syarat 87 49,2
2 Memenuhi Syarat 90 50,8
Jumlah 177 100
Sumber : Data Primer, 2022.
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui distribusi frekuensi responden berdasarkan
Ventilasi dari 177 responden didapatkan responden yang memiliki kamar dengan ventilasi tidak
memenuhi syarat kesehatan sebanyak 87 orang (49,2%), dan responden yang memiliki kamar
dengan ventilasi memenuhi syarat kesehatan sebanyak 90 orang (50,8%).
H. Kelembaban
Tabel distribusi frekuensi responden berdasarkan Kelembaban merupakan matrik yang
terdiri dari kategori Kelembaban, jumlah dan persentase Kelembaban pada Fasilitas Kesehatan
Tingkat Pertama (FKTP) SANGGAMARA KODIM 0101/BS KESDAM Iskandar Muda Kota Banda Aceh,
dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 5. 7
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kelembaban di Fasilitas Kesehatan
Tingkat Pertama (FKTP) Sanggamara Kodim 0101/BS
Kesdam Iskandar Muda Kota Banda Aceh..
Responden
No Kelembaban
f %
1 Tidak Memenuhi Syarat 65 36,7
2 Memenuhi Syarat 112 63,3
Jumlah 177 100
Sumber : Data Primer, 2022.
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui distribusi frekuensi responden berdasarkan
Kelembaban dari 177 responden didapatkan responden yang memiliki kamar dengan kelembaban
tidak memenuhi syarat kesehatan sebanyak 65 orang (36,7%), dan responden yang memiliki
kamar dengan kelembaban memenuhi syarat kesehatan sebanyak 112 orang (63,3%).
I. Kepadatan Hunian
Tabel distribusi frekuensi responden berdasarkan Kepadatan hunian merupakan matrik
yang terdiri dari kategori Kepadatan hunian, jumlah dan persentase Kepadatan hunian pada
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) SANGGAMARA KODIM 0101/BS KESDAM Iskandar
Muda Kota Banda Aceh, dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 5. 8
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kepadatan hunian di Fasilitas Kesehatan
Tingkat Pertama (FKTP) SANGGAMARA KODIM 0101/BS
KESDAM Iskandar Muda Kota Banda Aceh.
Responden
No Kepadatan hunian
f %
1 Tidak Memenuhi Syarat 71 40,1
2 Memenuhi Syarat 106 59,9
Jumlah 177 100
Sumber : Data Primer, 2022.
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui distribusi frekuensi responden berdasarkan
Kepadatan hunian dari 177 responden didapatkan kamar yang kepadatan huniannya tidak
memenuhi syarat kesehatan sebanyak 71 orang (40,1%), dan kamar yang kepadatan huniannya
memenuhi syarat kesehatan sebanyak 106 orang (59,9%).
J. Jenis Lantai Rumah
Tabel distribusi frekuensi responden berdasarkan Jenis lantai rumah merupakan matrik yang
terdiri dari kategori Jenis lantai rumah, jumlah dan persentase Jenis lantai rumah pada Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) SANGGAMARA KODIM 0101/BS KESDAM Iskandar Muda Kota
Banda Aceh, dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 5. 9
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis lantai rumah di Fasilitas KesehatanTingkat
Pertama (FKTP) Sanggamara Kodim 0101/BS
Kesdam Iskandar Muda Kota Banda Aceh..
Responden
No Jenis lantai rumah
f %
1 Tanah 9 5,1
2 Semen 58 32,8
3 Keramik 110 62,1
Jumlah 177 100
Sumber : Data Primer, 2022.
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui distribusi frekuensi responden berdasarkan Jenis
lantai rumah dari 177 responden didapatkan responden yang memiliki lantai rumah terbuat dari tanah
sebanyak 9 responden (5,1%), responden yang memiliki lantai rumah terbuat dari semen sebanyak 58
responden (32,8%), dan responden yang memiliki lantai rumah terbuat dari keramik sebanyak 110
responden (62,1%).
K. Jenis Dinding Rumah
Tabel distribusi frekuensi responden berdasarkan Jenis dinding rumah merupakan matrik yang
terdiri dari kategori Jenis dinding rumah, jumlah dan persentase Jenis dinding rumah pada Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) SANGGAMARA KODIM 0101/BS KESDAM Iskandar Muda Kota
Banda Aceh, dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 5. 10
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis dinding rumah di Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) Sanggamara Kodim 0101/BS
Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa ada hubungan bermakna antara umur dengan
Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Balita di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
(FKTP) Sanggamara Kodim 0101/BS Kesdam Iskandar Muda Kota Banda Aceh dengan nilai P-Value
sebesar 0,001. Hasil uji bivarat yang telah dilakukan pada penelitian ini, dapat dilihat bahwa balita
dengan kategori umur di bawah dua tahun lebih banyak yang tidak terkena penyakit ISPA (25
responden) dibandingkan dengan yang terkena ISPA (10 responden). Sedangkan anak yang berumur
di bawah tiga tahun lebih banyak yang terkena ISPA (34 responden) dibandingkan dengan yang tidak
terkena ISPA (15 responden). Demikian juga dengan anak yang berumur di bawah lima tahun lebih
banyak yang terkena ISPA (48 responden) dibandingkan dengan yang tidak terkena ISPA (45
responden).
Hasil observasi peneliti saat melakukan penelitian, peneliti menemukan bahwa ibu lebih
memberikan perhatian khusus untuk anak-anak yang berusia di bawah dua tahun. Hal ini lebih
disebabkan kategori umur tersebut merupakan usia anak yang masih perlu perawatan dan
pengawasan secara intens, sehingga ketergantungan dengan ibu sangat mutlak diperlukan,
dibandingkan umur anak di atas dua tahun. Anak pada usia di bawah usia 2 tahun imunitasnya belum
sempurna, sehingga semakin rendah umur anak, maka semakin rentan anak tersebut terkena penyakit
ISPA. Hal ini bukan saja berlaku pada penyakit ISPA saja, bahkan berlaku dibeberapa penyakit lain.
Selain itu, asupan gizi pada balita juga mempengaruhi terserang ISPA karena dengan gizi yang kurang
daya tahan tubuh juga akan kurang.
Berdasarkan hal tersebut di atas maka peneliti dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa umur
memiliki pengaruh terhadap keterjangkitan anak terhadap penyakit ISPA. Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian yang mendapatkan hasil bahwa terdapat hubungan umur dan jenis kelamin
terhadap kejadian ISPA pada bayi dengan nilai P = 0,047 dan OR = 1,389. Oleh karena itu, setiap orang
tua yang memiliki anak yang berisiko terkena ISPA seperti usia 2-3 tahun dan harus lebih
memperhatikan kegiatan mereka, baik dari segi permainan, aktivitas sehari-hari maupun pola
makannya (Sari & Ardianti, 2017).
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa ada hubungan bermakna antara jenis kelamin
balita dengan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Balita di Fasilitas Kesehatan
Tingkat Pertama (FKTP) Sanggamara Kodim 0101/BS Kesdam Iskandar Muda Kota Banda Aceh dengan
nilai P-Value sebesar 0,008. Berdasarkan hasil uji bivarat yang telah dilakukan pada penelitian ini,
dapat dilihat bahwa balita berkenis kelamin laki-laki lenih banyak yang terkena ISPA (60 responden)
dibandingkan dengan yang tidak terkena penyakit ISPA. Kemudian, balita yang berjenis kelamin
perempuan lebih banyak yang tidak terkena penyakit ISPA (45 responden) dibandingkan dengan yang
terkena ISPA (25 responden).
Hasil observasi peneliti saat melakukan penelitian, peneliti menemukan bahwa umumnya balita
berjenis kelamin laki-laki lebih banyak aktifitas bermain dibandingkan dengan balita berjenis kelamin
perempuan. Balita berjenis kelamin laki-laki lebih aktif bermain dan lebih banyak berinteraksi dengan
lingkungan sekitarnya. Selain itu, ibu balita juga umumnya lebih banyak fokus dalam menjaga balita
berjenis kelamin perempuan, hal ini kemungkinan disebabkan ibu menganggap bahwa perempuan
lebih lemah, sehingga perlu pengawasan dan penanganan yang ekstra.
Berdasarkan hal tersebut di atas maka peneliti dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa jenis
kelamin dengan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Balita di Fasilitas Kesehatan
Tingkat Pertama (FKTP) Sanggamara Kodim 0101/BS Kesdam Iskandar Muda Kota Banda Aceh. Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelian yang menunjukkan sebagian besar (57,7%) berjenis kelamin
perempuan dan sebagian besar (53,8%) memiliki kebiasaan jajan yang kurang baik dan hampir
sebagian (46,2%) jarang terjadinya ISPA dengan nilai ρ= 0,020 yang bermakna bahwa ada hubungan
jenis kelamin dengan terjadinya ISPA di TK Dharma Wanita Persatuan Sidoklumpuk Sidoarjo. Balilta
yang jenis kelamin kelamin perempuan yang paling sering mengkonsumsi makanan dengan warna
yang mencolok, penampilan yang menarik, rasa manis dan gurih yang ada di sekitar sekolah maka akan
terjadi ISPA (Putri, 2016).
Selanjutnya hasil penelitian lain juga menjelaskan bahwa: The results of statistical tests show
the value of ρ = 0,635 (ρ >α > 0,05) for nutritional status and ρ = 0,432 (ρ >α > 0,05) for gender. In
conclusion, there is no relationship between between nutritional status and gender with the incidence
of ARI in toddlers in the work area of the Martapura 1 Public Health Center, Banjar Regency in 2020,
hal ini bermakna bahwa hasil uji statistik menunjukkan nilai = 0,635 (ρ >α > 0,05) untuk status gizi dan
= 0,432 (ρ >α > 0,05) untuk jenis kelamin. Kesimpulannya, tidak ada hubungan antara status gizi dan
jenis kelamin dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Martapura 1 Kabupaten
Banjar tahun 2020 (Sari et al, 2021).
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian mengenai determinan yang berhubungan dengan penyakit Infeksi
Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada balita di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) Sanggamara
Kodim 0101/Bs Kesdam Iskandar Muda Kota Banda Aceh Tahun 2021, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut: Ada hubungan antara umur balita dengan penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
pada balita di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) Sanggamara Kodim 0101/Bs Kesdam
Iskandar Muda Kota Banda Aceh dengan nilai P-Value sebesar 0,001 (< 0,05). Ada hubungan antara
jenis kelamin balita dengan penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada balita di Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) Sanggamara Kodim 0101/Bs Kesdam Iskandar Muda Kota Banda
Aceh, dengan nilai P-Value sebesar 0,008 (< 0,05). Ada hubungan antara personal hygiene dengan
penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada balita di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
(FKTP) Sanggamara Kodim 0101/Bs Kesdam Iskandar Muda Kota Banda Aceh dengan nilai P-Value
sebesar 0,001 (< 0,05). Tidak ada hubungan antara pendidikan ibu dengan penyakit Infeksi Saluran
Pernafasan Akut (ISPA) pada balita di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) Sanggamara Kodim
0101/Bs Kesdam Iskandar Muda Kota Banda Aceh dengan nilai P-Value sebesar 0,113(>0,05).
BIBLIOGRAFI
Juniartha, Sang Ketut, Hadi, H. M. Choirul, & Notes, N. (2014). Hubungan antara luas dan posisi
ventilasi rumah dengan kejadian ISPA penghuni rumah di wilayah Puskesmas Bangli Utara tahun
2012. Jurnal Kesehatan Lingkungan, 4(2), 169–174.
Wardani, Nila Restu, & Poniali, Akhmad. (2021). Prestasi Belar: Ditinjau Dari Pendidikan Karakter Dan
Motivasi Belajar Siswa. Jurnal Penelitian Dan Pendidikan IPS, 15(1), 76–79.
Adha, Mustika Aulia., Gambaran Kondisi Fisik Dan Sanitasi Dasar Rumah Dalam Upaya Penyehatan
Rumah Di Kelurahan Batang Arau Kecamatan Padang Selatan Tahun 2015, Karya Tulis Ilmiah,
Juni 2015.
Akyuwen., Hubungan Kondisi Fisik Rumah Terhadap Kejadian PenyakitTuberkulosis Paru di Wilayah
Kerja Puskesmas Piru Kecamatan Seram BaratKabupaten Seram Bagian Barat, Skripsi Sarjana,
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Sulawesi Selatan, 2012.
Andriani, M., & Defita, A. P. Hubungan Pengetahuan Dan Sikap Ibuterhadap Kejadian ISPA Pada Balita
Di Wilayah Kerja Puskesmas Tigo Baleh Bukittinggi Tahun 2014. 'AFIYAH, 2(1), 2015.
Arikunto, Suharsimi., Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, PT Rineka Cipta: Jakarta; 2010.
Asriati, A., Z. Zamrud., D. F. Kalenggo. Analisis Faktor Risiko Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut
pada Anak Balita. Modul a Vol 1[2], 2012.
Asyari, M., Hubungan Sanitasi Fisik Rumah dan Perilaku Hidup Sehat Penghuni dengan Kejadian ISPA
di Asrama Polisi Detasemen Gegana Satbrimob Polda Jatim. Skripsi. Surabaya: Universitas
Airlangga; 2014.
AZ, W. K. S., & Audia, M. Hubungan Jenis Lantai, Jenis Dinding, Dan Jenis Atap Rumah Dengan Kejadian
Ispa Di Desa Mekar Jaya Kecamatan Bayung Lincir. Scientia Journal, 10(2), 34-39, 2021.
Basri KS., Erniatin S., Hubungan Pengetahuan dan Sikap Kesehatan Kerja dengan Penyakit Akibat Kerja
Pada Pekerja Batu Bata. Jurnal Kesehatan Masyarakat, Agustus 2015; 1 (2): 1-6, 2015.
Catiyas E., Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kecamatan
Gembong Kabupaten Kebumen Jawa Tengah Tahun 2012. [Skripsi Ilmiah]. Jakarta: Universitas
Indonesia; 2012.
Chandra E., Pengaruh Faktor Iklim, Kepadatam Penduduk dan Angka BebasJentik (ABJ) Terhadap
Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Jambi. Jurnal Pembangunan
Berkelanjutan.eISSN: 2622-2310 (e); 2622-2302 (p),Volume 1. no (1), 2019.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh, 2018.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Program Pemberantasan Penyakit Infeksi
Saluran Pernafasan Akut Untuk Penanggulangan Pnemonia Pada Balita. Jakarta, 2008.
Dewi, N. S., Irawan, D. W. P., & Indraswati, D. Faktor Risiko Kejadian ISPA pada Balita di Desa Balerejo
Kecamatan Balerejo Kabupaten Madiun Tahun 2015. GEMA LINGKUNGAN KESEHATAN, 14(3),
2016.
Ernyasih, E., Fajrini, F., & Latifah A, N.Analisis Hubungan Iklim (Curah Hujan, Kelembaban, Suhu Udara
dan Kecepatan Angin) dengan Kasus ISPA di DKI Jakarta Tahun 2011–2015. Jurnal Ilmu
Kesehatan Masyarakat, 7(3), 167-173, 2018.
Faisal., Macam-macam Penyakit Menular dan Cara Pencegahannya, Jakarta: Kanisius; 2012.
Febrianti, A. Pengetahuan, Sikap Dan Pendidikan Ibu Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Puskesmas
7 Ulu Kota Palembang. Jurnal Kesehatan Saelmakers Perdana (JKSP), 3(1), 133-139, 2020.
Fibrila, F. Hubungan usia anak, jenis kelamin dan berat badan lahir anak dengan kejadian ISPA. Jurnal
Kesehatan Metro Sai Wawai, 8(2), 8-13, 2016.
FKTP Sanggamara KODIM 0101/BS KESDAM Iskandar Muda Kota Banda Aceh, Rekapitulasi 10 Besar
Penyakit Rawat Jalan Tingkat Pertama (RJPT). 2020.
Hadinegoro, S.R.S., Buku Saku Imunisasi. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2015.
Haryani., Zurriyatun Thoyibah,, Zuhratul Hajri., Sri Hardiani., Lingkungan Fisik Rumah Pada Balita
Penderita ISPA, Jurnal Ilmiah Stikes YARSI Mataram (JISYM) Vol 10 No 2, Month Juli 2020P-ISSN
: 1978-8940, 2020.
Haryani., Zurriyatun Thoyibah., Zuhratul Hajri., Sri Hardiani., Lingkungan Fisik Rumah Pada Balita
Penderita ISPA, Jurnal Ilmiah Stikes YARSI Mataram (JISYM)Vol 10 No 2, Month Juli 2020P-ISSN
: 1978, 2020.
Herawati, C., & Sriwaty, H. Analisis Perilaku Merokok, Penggunaan Anti Nyamuk Bakar Dan
Penggunaan Bahan Bakar Memasak Dengan Kejadian Ispa Pada Balita. Jurnal Kesehatan, 9(1),
34-38, 2018.
Ibrahim, A., Joseph, W. B., & Malonda, N. S. Hubungan antara Kondisi Fisik Rumah dan Kepadatan
Hunian dengan Kejadian ISPA Pada Anak Balita di Kelurahan Sindulang 1 Kecamatan Tuminting
Kota Manado. KESMAS, 7(3). 2018.
Ibrahim, H., Analisis Pelaksanaan Kewaspadaan Standar Terhadap Penyakit Infeksi Nosokomial.
Makassar : Alaudin University Press; 2013.
Iqbal, M. Hubungan Pengetahuan, Kebiasaan Menggunakan Obat Nyamuk Bakar, Dan Merokok
Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Puskesmas Kuin Raya Banjarmasin Tahun 2020 (Doctoral
dissertation, Universitas Islam Kalimantan MAB), 2020.
Irmawati., Bayi dan Balita Sehat & Cerdas, Jakarta: Media Komputindo; 2015.
Istifaiyah., Amanatul Agus Aan Adriansyah., Dwi Handayani., Hubungan Ventilasi Dengan Kejadian
Penyakit ISPA pada Santri Di Pondok Pesantren Amanatul Ummah Surabaya, Departement of
Public Health Sciences, Faculty of Health, University of Nahdlatul Ulama Surabaya, East Java,
Indonesia, Jurnal Ikesma Volume 15 Nomor 2 September 2019.
Juniartha, S.K., H. M. C. Hadi., N. Notes., Hubungan antara Luas dan Posisi Ventilasi Rumah dengan
Kejadian ISPA Penghuni Rumah di Wilayah Puskesmas Bangli Utara Tahun 2012. Jurnal
Kesehatan Lingkungan Vol 4[2]:169-174, 2014.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Provinsi Aceh, Jakarta: 2016.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Provinsi Aceh, Jakarta: 2017.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Provinsi Aceh, Jakarta: 2018.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Informasi tentang ISPA pada Balita. Jakarta: Pusat
Penyuluhan Kesehatan Masyarakat, 2011.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Tatalaksana Pneumonia Balita, Jakarta. 2012.
Kozier, Berman., Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses & Praktik Volume 2. EGC :
Jakarta. 2010.
Lestari, D. A., & Adisasmita, A. C.Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) sebagai Determinan Terjadinya ISPA
pada Balita Analisis SDKI Tahun 2017. Jurnal Epidemiologi Kesehatan Indonesia, 5(1), 2021.
Lindawaty., Partikulat (PM10) Udara Rumah Tinggal Mempengaruhi Kejadian ISPA Pada Balita
(Penelitian Di Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan Tahun 2009-2010). Tesis
Fakultas Kesehatan Masyarakat UI. Depok, 2010.
Maryunani, Anik., Ilmu Kesehatan Anak dalam Kebidanan, Jakarta: Trans Info Media 2010.
Medhyna, V. Hubungan Lingkungan Fisik Rumah Dengan Kejadian Ispa Pada Bayi. Maternal Child
Health Care, 1(2), 85-88, 2019.
Munaya, E. F., Faktor Risiko Infeksi Saluran Pernapasan Akut Nonpneumonia pada Balita di Wilayah
Kerja Puskesmas Magersari, Kota Magelang. Jurnal Respirologi Indonesia. Vol. 35 No. 1 Januari
2015, 2015.
Murti, T., Faktor Risiko Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sukoharjo. [Skripsi
Ilmiah]. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta; 2016.
Ningrum, E., Hubungan Kondisi Fisik Rumah dan Jenis lantai rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita
di Wilayah Kerja Puskesmas Sungai Pinang. Jurnal Publikasi Kesehatan Masyarakat IndonesiaVol
2[2]:72-76, 2015.
Notoatmodjo., Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta; 2013.
Nugraheni., Kesehatan Masyarakat dalam Determinan Sosial Budaya, Yogyakarta: Deepublish; 2018.
NURDIYANTO, I. Hubungan Personal Hygiene Dan Penggunaan Apd Dengan Keluhan Ispa Pada Pekerja
Tambang Batu Pasir Di Daerah Morbatoh Kecamatan Banyuates Sampang, 2019.
Nurhayati, N., & Vera, V. Hubungan Antara Kondisi Fisik Rumah Dengan Kejadian Infeksi Saluran
Pernapasan Atas (ISPA) Di Wilayah Puskesmas Curug Kabupaten Tangerang. In Prosiding
Seminar Nasional Pakar (pp. 1-12), 2019.
Nurrizqi, M. A., Wardani, H. E., & Gayatri, R. W. Hubungan riwayat penyakit, APD, pendidikan, dan
umur dengan keluhan ISPA pada pekerja di kawasan industri mebel Kelurahan Bukir Kecamatan
Gadingrejo Kota Pasuruan. Sport Science and Health, 1(1), 39-50, 2019.
Pangaribuan, S. Hubungan Kondisi Lingkungan Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita di Puskesmas
Remu Kota Sorong. Journal Global Health Science, 2(1), 2017.
Pramudiyani, N., G. N. Prameswari., Hubungan antara Sanitasi Rumah dan Perilaku dengan Kejadian
Pneumonia Balita. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 6(2), 71-78, 2011.
Putri, M. D. A., & Adriyani, R. (2018). Hubungan usia balita dan sanitasi fisik rumah dengan kejadian
ISPA di Desa Tumapel Kabupaten Mojokerto tahun 2017. The Indonesian Journal of Public
Health, 13(1), 95-106, 2018.
PUTRI, R. A. Analisis Jenis Kelamin dan Kebiasaan Jajan Dengan Kejadian Ispa Pada Anak di TK Dharma
Wanita Persatuan Unit Sidoklumpuk Sidoarjo. Jurnal Ilmiah Kesehatan (The Journal of Health
Sciences), 9(1), 39-42, 2016.
Rahayu, Yuyu Sri., Kejadian Ispa Pada Balita Ditinjau Dari Pengetahuan Ibu, Karakteristik Balita,
Sumber Pencemar Dalam Ruang Dan Lingkungan Fisik Rumah di Wilayah Kerja Puskesmas DTP
Cibeber Kabupaten Lebak Propinsi Banten Tahun 2011, skripsi, Fakultas Kesehatan Masyarakat
Program Sarjana Kesehatan Masyarakat Depok , 2011.
Rahmadani, N. Hubungan Perilaku Penghuni Tentang Personal Hygiene, Sanitasi Dasar Dan Kondisi
Fisik Dengan Keluhan Kesehatan Di Beberapa Rumah Kos Kelurahan Maccini Makassar Tahun
2017. Jurnal Mitrasehat, 11(1), 45-57, 2021.
Retno., Survei Cepat Gambaran Kondisi Fisik Rumah Kaitannya dengan Kejadian Infeksi
SaluranPernapasan Akut (ISPA) pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kebumen 2 Kabupaten
Kebumen. Vol.III/No.02/ Oktober 2014, 2014.
Ristanti, Ferra Felisia., Pengaruh Kondisi Sanitasi Rumah Terhadap Kejadian ISPA di Kecamatan Wiyung
Kota Surabaya, 2014.
Safrizal, S. Hubungan ventilasi, lantai, dinding, dan atap dengan kejadian ispa pada balita di blang
muko. In Prosiding Seminar Nasional IKAKESMADA “Peran Tenaga Kesehatan dalam
Pelaksanaan SDGs” (pp. 41-48). Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Ahmad Dahlan,
2017.
Safrizal, S., Hubungan Ventilasi, Lantai, Dinding dan Atap dengan Kejadian ISPA pada Balita di Blang
Muko. In Prosiding Seminar Nasional IKAKESMADA “Peran Tenaga Kesehatan dalam
Pelaksanaan SDGs". Yogyakarta: Universitas Achmad Dahlan; 2017.
Sari, E. F., Yuniarti, Y., & Hipni, R. Hubungan Antara Status Gizi Dan Jenis Kelamin Dengan Kejadian Ispa
Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Martapura 1 Kabupaten Banjar Tahun 2020. Jurnal
Kebidanan Bestari, 5(2), 74-85, 2021.
Sari, N. I., & Ardianti, A. Hubungan Umur dan Jenis Kelamin Terhadap Kejadian Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita di Puskesmas Tembilahan Hulu. An-Nadaa: Jurnal Kesehatan
Masyarakat, 4(1), 26-30, 2017.
SETIYONO, B. Hubungan Asupan Seng Dan Status Gizi Dengan Kejadian Ispa Pada Anak Usia 1-5 Tahun
Di Uptd Puskesmas Dtp Pagaden Kabupaten Subang, 2019.
Sofia, S. Faktor Risiko Lingkungan dengan Kejadian ISPA pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Ingin
Jaya Kabupaten Aceh Besar. AcTion: Aceh Nutrition Journal, 2(1), 43-50, 2017.
Sudirman, S., Muzayyana, M., Saleh, S. N. H., & Akbar, H. Hubungan Ventilasi Rumah dan Jenis Bahan
Bakar Memasak dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Juntinyuat.
MPPKI (Media Publikasi Promosi Kesehatan Indonesia): The Indonesian Journal of Health
Promotion, 3(3), 187-191, 2020.
Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif: Untuk penelitian yang bersifat: eksploratif, enterpretif,
interaktif, dan konstruktif. Bandung: Alfabeta, 2017.
Suryani, I., Edison, E., & Nazar, J. Hubungan Lingkungan Fisik dan Tindakan Penduduk dengan Kejadian
ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Lubuk. Jurnal Kesehatan Andalas, 4(1), 2015.
Takoes, M. J., Kandou G. D., Kawatu P. A. T., Hubungan antara Kondisi Fisik Rumah dan Tingkat
Pendapatan Keluarga dengan Kejadian ISPA pada Balita di Desa Marinsouw dan Pulisan
Kabupaten Minahasa Utara. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi
Manado. Juli 2017 : 1-10, 2017.
Tasirah., T. Nuraeni., Kondisi Fisik Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita di Indramayu. Jurnal
Kesehatan Masyarakat, 1(3), 31-37, 2015.
Triandriani, V., & Hansen, H. (2019). Hubungan Lingkungan Fisik dengan Kejadian Ispa pada Balita di
Wilayah Kerja PUSKESMAS Sidomulyo Kota Samarinda. Borneo Student Research (BSR), 1(1),
146-151, 2019.
Trisnawati., dan Khasanah., Analisis Faktor Intrinsik dan Ekstrinsik yang Berpengaruh Terhadap Infeksi
Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Balita Tahun 2013.
Umrahwati., Faktor-factor yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA Berulang pada Balita di
Puskesmas Watampone. Makasar: STIKES Nani Hasanuddin Makassar; 2013.
WHO, Pedoman Interim WHO: Pencegahan Dan Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
Yang Cenderung Menjadi Epidemi Dan Pandemi Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Trust
Indonesia, Penerjemah), Geneva: WHO; 2015.
WHO, Pneumoniais The Leading Cause of Death in Children. Geneva: United Nations Children's
Fund/World Health Organization. 2016.
WHO, Pocket Book Of Hospital Care For Children: Guidelines For The Management of Common
Childhood Illness. Second edi. Geneva, Switzerland: WHO; 2013.
WHO, UNICEF. Global Action Plan for Prevention and Control of Pneumonia (GAPP) Technical
Consensus Statement. Geneva: WHO and UNICEF; 2013.
WHO., Pencegahan dan Pengendalian ISPA di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Tahun 2007.
Wulaningsih, I., & Hastuti, W. (2018). Hubungan pengetahuan orang tua tentang ISPA dengan kejadian
ISPA pada balita di desa dawungsari kecamatan pegandon kabupaten kendal. Jurnal Smart
Keperawatan, 5(1), 90-101, 2018.
Yudarmawan, I. N., Pengaruh Faktor-Faktor Sanitasi Rumah Terhadap .Kejadian Penyakit ISPA Pada
Anak Balita ( Study Dilakukan Pada Masyarakat di Desa Dangin Puri Kangin Kecamatan
Denpasar Tahun 2012), Skripsi, Denpasar: Poltekkes Denpasar; 2012.
Yuliana, E., Analisis Pengetahuan Siswa Tentang Makanan yang Sehat dan Bergizi Terhadap Pemilihan
Jajanan di Sekolah. 2017.
Zairinayati., Dwi Hartika Putri., Hubungan Jenis lantai rumah Dan Luas Ventilasi Dengan Kejadian Ispa
Pada Rumah Susun Palembang, Indonesian Juournal For Health Sciences.Vol 4, No 2, 2020