Oleh
Afdal Maulana 2240312189
Preseptor
dr. Riri Dwi Pinta Sari, Sp.A
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hidrosefalus berasal dari kata “hidro” yang berarti air dan “chepalus” yang
berarti kepala. Meskipun hidrosefalus dikenal sebagai “air di otak”, “air" ini
sebenarnya cairan serebrospinal (CSS) yaitu cairan bening yang mengelilingi otak
dan sumsum tulang belakang, secara aktif yang menyebabkan dilatasi sistem
ventrikel otak dimana terjadi akumulasi CSS yang berlebihan pada satu atau lebih
ventrikel atau ruang subarachnoid. Keadaan ini disebabkan oleh karena terdapat
ketidak seimbangan antara produksi dan absorpsi dari CSS.1
Fungsi utama dari CSS adalah untuk menyediakan keseimbangan dalam
sistem saraf. CSS merupakan cairan yang mengelilingi otak. Berfungsi untuk
mengurangi berat otak dalam tengkorak dan menyediakan bantalan mekanik dan
melindungi otak dari trauma yang mengenai tulang tengkorak. CSS merupakan
medium transportasi untuk menyingkirkan bahan-bahan yang tidak diperlukan dari
otak seperti CO2, laktat, dan ion Hidrogen. CSS juga bertindak sebagai saluran
untuk transport intraserebral. CSS juga mempertahankan tekanan intracranial
dengan cara pengurangan CSS dengan mengalirkannya ke luar rongga tengkorak,
baik dengan mempercepat pengalirannya melalui berbagai foramina, hingga
mencapai sinus venosus, atau masuk ke dalam rongga subarachnoid lumbal yang
mempunyai kemampuan mengembang sekitar 30%.2
Infeksi respiratorik akut bawah (IRA-B) menimbulkan angka kesakitan dan
kematian yang cukup tinggi. IRA-B dapat dijumpai dalam berbagai bentuk,
tersering adalah dalam bentuk pneumonia. Pneumonia adalah peradangan yang
mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup
bronkiolus respiratorius dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru
dan gangguan pertukaran gas setempat.1 Menurut anatomis pneumonia pada anak
dibedakan menjadi pneumonia lobaris, pneumonia interstisialis, dan
bronkopneumonia.2
Bronkopneumonia sebagai penyakit yang menimbulkan gangguan pada
sistem pernafasan, merupakan salah satu bentuk pneumonia yang terletak pada
2
alveoli paru .3 Bronkopneumonia lebih sering menyerang bayi dan anak kecil. Hal
ini dikarenakan respon imunitas mereka masih belum berkembang dengan baik.
Tercatat bakteri sebagai penyebab tersering bronkopneumonia pada bayi dan anak
adalah Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae.4
Penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan yang mencolok walaupun
ada berbagai kemajuan dalam bidang antibiotik. Hal di atas disebabkan oleh
munculnya organisme nosokomial (didapat dari rumah sakit) yang resisten terhadap
antibiotik. Adanya organisme-organisme baru dan penyakit seperti AIDS (Acquired
Immunodeficiency Syndrome) yang semakin memperluas spektrum dan derajat
kemungkinan terjadinya bronkopneumonia ini. Pneumonia hingga saat ini masih
tercatat sebagai masalah kesehatan utama pada anak di Negara berkembang.
Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak berusia
dibawah lima tahun (balita).
Diperkirakan hampir seperlima kematian anak di seluruh dunia, lebih
kurang dua juta anak balita, meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian
besar terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Menurut survey kesehatan nasional
(SKN) 2001, 27,6% angka kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia
disebabkan oleh penyakit sistem respiratori, terutama pneumonia.5
Pada tahun 2011 didapatkan 480.033 kasus pneumonia pada balita di
Indonesia dengan angka kejadian tertinggi pada provinsi Jawa Barat sebesar
39,11%. Pada tahun sebelumnya, yaitu tahun 2010, insiden pneumonia pada balita
ditemukan lebih tinggi yaitu 499.259 kasus dengan insiden tertinggi pada provinsi
Nusa Tenggara Barat sebesar 64,49% dan Sumatera Barat termasuk sepuluh
provinsi dengan insiden pneumonia tertinggi pada balita di Indonesia yaitu sebesar
10.544 kasus. Angka kejadian pneumonia di Sumatera Barat setiap tahunnya
meningkat, terbukti pada tahun 2012 diperkirakan terdapat 48.591 anak menderita
pneumonia yang didapat dari komunitas dan Kota Padang merupakan daerah yang
memiliki angka kejadian tertinggi yaitu sebesar 8.670 kasus.6,7
3
1.2 Tujuan Penulisan
Case report session ini bertujuan untuk mengetahui definisi, etiologi, patogenesis,
gejala klinis, diagnosis, penatalakasanaan, komplikasi dan prognosis dari
hidrosefalus dan bronkopneumonia.
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 HIDROSEFALUS
2.1.1 DEFINISI
Hidrosefalus adalah penimbunan cairan di dalam rongga-rongga ventrikel
otak akibat ketidak-seimbangan antara pembentukan dan absorbsi cairan
serebrospinal (CSS) yang biasanya disertai peninggian tekanan intrakranial .1
5
berhubungan dengan sistem vena seperti sinus venosus serebral. Penutupan sisterna
basalis mengakibatkan terganggunya kecepatan absorbsi CSS oleh sistem vena. 1
2.1.3 EPIDEMIOLOGI
Insiden hidrosefalus kongenital di AS adalah 4,65 per 10.000 kelahiran
hidup. Penyebab terbanyak adalah stenosis akuaduktus sylvi. Sedangkan insiden
untuk hidrosefalus akuisita (aquired hydrocephalus) tidak diketahui secara pasti
karena penyebab penyakit yang berbeda-beda. Dapat terjadi pada semua umur dan
tidak ada perbedaan ras. Hidrosefalus Infantil, 46% diantaranya adalah akibat
abnormalitas perkembangan otak, 50% karena pendarahan subaraknoid dan
meningitis, kurang dari 4% akibat tumor fossa posterior.3,4
6
gangguan intra uterin seperti infeksi dan perdarahan. Seperti penyempitan
di saluran aquaduktus dan terkait dengan neural tube defect.
2) Didapat
Bisa disebabkan oleh tumor otak, perdarahan intrakranial atau infeksi.
2.1.5 ETIOLOGI
Penyumbatan aliran CSS pada salah satu tempat antara tempat pembentukan
CSS dalam sistem ventrikel dan tempat absorpsi dalam ruang subaraknoid dapat
mengakibatkan hidrosepalus. Pembentukan CSS yang terlalu banyak dengan
kecepatan absorpsi yang normal juga akan menyebabkan terjadinya hidrosefalus,
namun dalam klinik sangat jarang terjadi, misalnya terlihat pelebaran ventrikel
tanpa penyumbatan pada adenomata pleksus koroidalis. Akibat penyumbatan aliran
dalam sistem ventrikel terjadi dilatasi ruangan CSS diatasnya.2,5
Penyebab penyumbatan aliran CSS yang sering pada bayi dan anak adalah :
1) Kelainan bawaan (kongenital)1
a) Stenosis Akuaduktus Sylvi
Merupakan penyebab terbanyak. 60%-90% kasus hidrosefalus terjadi pada
bayi. Pada aquaduktus sylvi bisa terjadi saluran yang buntu total atau
abnormal lebih sempit dari biasanya, yang akan menyebabkan pelebaran
ventrikel III. Umumnya manifestasi hidrosepalus terlihat sejak lahir atau
progresif dengan cepat pada bulan-bulan pertama setelah lahir.
b) Spina bifida dan cranium bifida
Hidrosepalus ini berhubungan dengan sindroma Arnord-Chiari akibat
tertariknya medulla spinalis, dengan medulla oblongata, dan serebelum
letaknya lebih rendah yang akan menutupi foramen magnum sehingga
terjadi penyumbatan sebagian atau total.
c) Sindrom Dandy-Walker
Merupakan atresia kongenital foramen luska dan magendi akibat dari
hidrosefalus obstruktif dengan pelebaran system ventrikel, terutama
ventrikel IV yang dapat membentuk suatu kista yang besar di daerah fossa
posterior.
d) Kista arachnoid
7
Dapat terjadi secara kongenital maupun didapat akibat trauma sekunder
suatu hematoma.
e) Anomali pembuluh darah
Terjadinya hidrosepalus diakibat aneurisma arterio-vena yang mengenai
arteri serebralis posterior dengan vena galeni atau sinus tranversus akibat
obstruksi akuaduktus.
2) Infeksi
Infeksi pada CSS akan menimbulkan perlekatan meningen sehingga terjadi
obliterasi ruang subarachnoid. Pelebaran ventrikel pada fase akut meningitis
purulenta terjadi bila aliran CSS terganggu oleh obstruksi mekanik eksudat purulen
di akuaduktus sylvi atau sisterna basalis. Pembesaran kepala dapat terjadi beberapa
minggu sampai beberapa bulan sesudah sembuh dari meningitisnya. Secara
patologis terlihat penebalan jaringan piamater dan arakhnoid sekitar sisterna basalis
dan daerah lain.
3) Neoplasma
Hidrosefalus oleh obstruksi mekanis yang dapat terjadi di setiap tempat
aliran CSS. Pada anak, kasus terbanyak yang menyebabkan penyumbatan ventrikel
IV dan akuaduktus sylvi bagian terakhir biasanya suatu glioma yang berasal dari
serebelum, sedangkan penyumbatan bagian depan ventrikel III biasanya disebabkan
suatu kraniofaringioma.4
4) Perdarahan
Perdarahan sebelum dan sesudah lahir dalam otak dapat menyebabkan
fibrosis leptomeningen pada daerah basal otak.
2.1.6 PATOFISIOLOGI
CSS memiliki beberapa fungsi dimana yang paling penting adalah membuat
otak terapung sehingga mengurangi beban otak dan mengurangi kemungkinan
terjadi kerusakan yang diikuti oleh gerakan yang tiba-tiba dan berdampak pada
permukaan bagian dalam tengkorak. Tekanan intracranial pada keadan normal
harus ada keseimbangan dan koordinasi antara produksi, penyimpanan dan sekresi
dai CSS, dan ketika terjadi ketidakseimbangan di daerah ini maka dapat
menyebabkan gejala klinis. Menurut teori, hidrosefalus terjadi akibat dari tiga
8
mekanisme yaitu; produksi cairan yang berlebihan, peningkatan resistensi aliran
cairan, peningkatan tekanan sinus venosa yang akan mengurangi penyerapan CSS.
Konsekuensi dari tiga mekanisme diatas adalah peningkatan tekanan intrakranial
sebagai upaya mempertahankan keseimbangan sekresi dan absorbsi. 2,4
Produksi cairan yang berlebihan hampir semua disebabkan oleh tumor
pleksus khoroid (papiloma dan karsinoma). Adanya produksi yang berlebihan akan
menyebabkan tekanan intrakranial meningkat dalam mempertahankan
keseimbangan antara sekresi dan absorbsi liquor, sehingga akhirnya ventrikel akan
membesar. Gangguan aliran liquor merupakan awal dari kebanyakan dari kasus
hidrosefalus. Peningkatan resistensi yang disebabkan oleh gangguan aliran akan
meningkatkan tekanan cairan secara proporsional dalam upaya mempertahankan
resorbsi yang seimbang. 5
Pembesaran ventrikel membutuhkan waktu, yang bergantung pada tingkat
keparahan dan kecepatan pembentukan hidrosepalus. Pada bayi baru lahir dengan
sutura yang masih membuka dan tidak dikelilingi dengan tengkorak yang kaku,
peningkatan tekanan intrakranial dapat dikompensasi dengan penonjolan fontanel
dan pelebaran sutura.4
9
kembang yang retak pada perkusi kepala. Pergerakan bola mata yang tidak teratur
dan nistagmus jarang terjadi, yang diakibatkan oleh manifestasi kerusakan
neurologis serta manifestasi lain berupa gangguan kesadaran, kejang, serta
gangguan pusat vital, bergantung kepada kemampuan kepala untuk membesar dan
mengatasi tekanan intrakranial yang meningkat. Bila proses ini berlangsung lambat,
maka kemungkinan, tidak terdapat manifestasi neurologis walaupun sudah terdapat
pelebaran ventrikel yang hebat. Sebaliknya, jika ventrikel belum terlalu melebar
akan tetapi proses tekanan intrakranial berlangsung cepat, sudah dapat
memperlihatkan kelainan neurologis yang nyata.2,4
2.1.8 DIAGNOSIS
10
2.1.9 DIAGNOSIS BANDING
Berdasarkan gambaran radiologi, hidrosefalus memiliki gambaran yang hampir
sama dengan holoprosencephaly dan hydraencephaly.
1) Holoprosencephaly
Holoprosencephaly merupakan gangguan perkembangan otak yang
merupakan hasil dari kegagalan pembentukan proensepalon dan di induksi
oleh struktur otak depan yang tidak adekuat. Holoproensefal
diklasifikasikan dalam 3 kelompok : alobar, semilobar dan lobar, tergantung
pada derajat kelinan pembelahannya. Kelainan wajah termasuk cyclopia,
lubang hidung tunggal, gigi seri sentral soliter serta agenesis premaxillary
adalah gejala yang umum terjadi pada kasus yang berat, Karena mesoderm
precordal menginduksi proensefalon yang berfungsi untuk mnginduksi
struktur median wajah.
11
2) Hidraensefali 6
Hidraensefali terdapat atrofi dari hemisfer serebri atau diwakili oleh
kantong membrane yang berisi CSS dengan sisa-sisa bagian frontal,
temporal atau oksipital yang tersebar diatas membrane. Midbrain dan
batang otak relatif utuh. Penyebab hidraensefali tidak diketahui, tetapi
banyak teori yang menjelaskan karena adanya oklusi bilateral pada arteri
karotis interna selama perkembangan awal janin yang akan menyebabkan
kelainan patologis ini. Bayi yang terkena dampak dapat memiliki lingkaran
kepala normal atau membesar saat lahir yang akan tumbuh secara
berlebihan saat pasca lahir. Klinisnya pasien mudah tersinggung, malas
menyusu, kejang dan memiliki sedikit atau tidak sama sekali perkembangan
kognitif. Pemeriksaan transluminasi menunjukan tidak adanya hemisfer
serebri. Penatalaksanaan vp shunt dapat mencegah pembesaran kepala.
2.1.10 PENATALAKSANAAN
1) Terapi konservatif medikamentosa
Untuk membatasi evolusi hidrosefalus melalui upaya mengurangi sekresi
cairan dari pleksus koroidalis (asetazolamide 8-30 mg/kgBB/hari dapat
digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan furosemid 1,2 mg/kgBB/hari).
Dimana efek dari obat ini dapat mensekresi CSS secara cepat. Terapi diatas
hanya bersifat sementara sebelum dilakukan terapi defenitif diterapkan atau
bila ada harapan kemungkinan pulihnya gangguan hemodinamik tersebut,
sebaliknya terapi ini tidak efektif untuk pengobatan jangka panjang mengingat
adanya resiko terjadinya gangguan metabolik.2,7,8
2) Ventriculoperitoneal shunting
Sebagian besar kasus hidrosepalus memerlukan shunt ekstrakranial, terutama
ventrikuloperitoneal cara yang paling umum untuk mengobati hidrosefalus.
Dalam ventrikuloperitoneal (VP) shunting, tube dimasukkan melalui lubang
kecil di tengkorak ke dalam ruang (ventrikel) dari otak yang berisi cairan
serebrospinal (CSF). Tube ini terhubung ke tube lain yang berjalan di bawah
kulit sampai ke perut, di mana ia memasuki rongga perut (rongga peritoneal).
Shunt memungkinkan CSS mengalir keluar dari ventrikel dan ke rongga perut
12
di mana ia diserap. Biasanya, katup dalam sistem membantu mengatur aliran
cairan. Komplikasi utama shunting adalah terjadinya oklusi (ditandai dengan
sakit kepala, papilledema, emesis, perubahan status mental) dan infeksi bakteri
(demam, sakit kepala) biasanya disebabkan oleh Staphylococcus
epidermidis.2,6
Gambar 4: VP shunt
2.1.11 PROGNOSIS
Prognosis tergantung pada ketepatan waktu diagnosis, penyebab ventrikel
yang melebar dan keberhasilan pengobatan. Individu yang terkena dan keluarga
mereka harus menyadari bahwa hidrosefalus dapat menimbulkan risiko baik dari
segi kognitif maupun fisik pasien.
Gejala-gejala hidrosefalus dengan tekanan normal biasanya memburuk dari
waktu ke waktu jika tidak diobati. Sementara keberhasilan pengobatan dengan
shunt bervariasi dari orang ke orang, beberapa orang sembuh hampir sepenuhnya
setelah perawatan dan memiliki kualitas hidup yang baik. Diagnosis dini dan
pengobatan meningkatkan kesempatan pemulihan yang baik.
13
2.2 PNEUMONIA
2.2.1 DEFINISI
Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. Sebagian besar
disebabkan oleh mikroorganismae (virus/bakteri) dan sebagian kecil disebabkan
oleh hal lain seperti aspirasi, radiasi dan lain-lain.5 Bronkopenumonia merupakan
radang dari saluran pernapasan yang terjadi pada bronkus sampai dengan alveolus
paru. Bronkopneumonia lebih sering dijumpai pada anak kecil dan bayi, biasanya
sering disebabkan oleh bakteri streptokokus pneumonia dan Hemofilus influenza
yang sering ditemukan pada dua pertiga dari hasil isolasi.8
2.2.2 EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian pneumonia di Amerika dan Eropa yang merupakan negara
maju masih tinggi, diperkirakan setiap tahunnya 30-45 kasus per 1000 anak pada
umur kurang dari 5 tahun, 16-20 kasus per 1000 anak pada umur 5-9 tahun, 6-12
kasus per 1000 anak pada umur 9 tahun dan remaja. Selain itu, pneumonia
merupakan penyebab kematian terbesar pada anak terutama di negara berkembang. 9
Sedangkan angka kejadian pneumonia di Indonesia yang merupakan negara
berkembang ialah pada tahun 2011 didapatkan 480.033 kasus pneumonia pada
balita dengan angka kejadian tertinggi pada provinsi Jawa Barat sebesar 39,11%.
Pada tahun sebelumnya, yaitu tahun 2010, insiden pneumonia pada balita
ditemukan lebih tinggi yaitu 499.259 kasus dengan insiden tertinggi pada provinsi
Nusa Tenggara Barat sebesar 64,49% dan Sumatera Barat termasuk sepuluh
provinsi dengan insiden pneumonia tertinggi pada balita di Indonesia yaitu sebesar
10.544 kasus.6
Angka kejadian pneumonia di Sumatera Barat setiap tahunnya meningkat,
terbukti pada tahun 2012 diperkirakan terdapat 48.591 anak menderita pneumonia
yang didapat dari komunitas dan Kota Padang merupakan daerah yang memiliki
angka kejadian tertinggi yaitu sebesar 8.670 kasus.6,7
Pada bayi ditemukan Staphylococcus aureus sebagai penyebab
14
didapatkan sebanyak 40%.9 Pada penelitian yang dilakukan oleh Yudhi
Kurniawan selama tahun 2010 ditemukan pneumonia anak lebih banyak pada
2.2.3 ETIOLOGI
Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh infeksi mikroorganisme (virus,
bakteri, jamur, parasit) dan sebagain kecil disebabkan oleh hal lain, seperti aspirasi
makanan dan asam lambung, benda asing, senyawa hidrokarbon, reaksi
hipersensitivitas, dan drug – or radiation induced pneumonitis. (Priyanti, Nelson)
Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting pada perbedaan dan
kekhasan penumonia anak terutama dalam spektrum etiologi, gambaran klinis, dan
strategi pengobatan.5
Pada neonatus sering terjadi pneumonia akibat transmisi vertikal ibu – anak
yang berhubungan dengan proses persalinan. Infeksi terjadi akibat kontaminasi
dengan sumber infeksi dari ibu, misalnya melalui aspirasi mekoneum, cairan
amnion, atau dari serviks ibu. Spektrum mikroorganisme penyebab pada neonatus
dan bayi kecil meliputi Streptococcus group B, Chlamydia trachomatis, dan bakteri
Gram negatif seperti E. coli, Pseudomonas sp, atau Klebsiella sp. disamping bakteri
utama penyebab pneumonia yaitu Streptococcus pneumoniae. Infeksi oleh
Chlamydia trachomatis akibat transmisi dari ibu selama proses persalinan sering
terjadi pada bayi di bawah 2 bulan. Penularan transplasenta juga dapat terjadi
dengan mikroorganisme Toksoplasma, Rubela, virus Sitomegalo, dan virus Herpes
simpleks ( TORCH ), Varisela – Zoster, dan Listeria monocytogenes.
Pada bayi yang lebih besar dan anak balita, pneumonia lebih sering
disebabkan oleh infeksi Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenzae tipe
B, dan Staphylococcus aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja,
selain bakteri tersebut, sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae. 5,8
Di negara maju, pneumonia pada anak tertuama disebabkan oleh virus, di
samping bakteri, atau campuran bakteri dan virus. Virkki dkk. melakukan penelitian
pada pneumonia anak dan menemukan etiologi virus saja sebanyak 32%, campuran
bakteri dan virus 30%, dan bakteri saja 22%. Virus yang terbanyak menyebabkan
pneumonia antara lain adalah Respiratory Synctial Virus (RSV), Rhinovirus, dan
15
virus Parainfluenzae. Bakteri yang terbanyak adalah Streptococcus pneumoniae,
Haemophillus influenzae tipe B, dan Mycoplasma pneumoniae. Kelompok anak
berusia 2 tahun ke atas mempunyai etiologi infeksi bakteri yang lebih banyak
dibandingkan dengan anak berusia di bawah 2 tahun. Namun, secara klinis
umumnya pneumonia bakteri sulit dibedakan dengan pneumonia virus. Daftar
etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia yang bersumber dari
data di negara maju dapat terlihat pada Tabel 1.
Tabel 2.1. Etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia di negara
maju.5
USIA ETIOLOGI YANG SERING ETIOLOGIYANG JARANG
Lahir – 20 hari BAKTERI BAKTERI
E. colli Bakteri anaerob
Streptococcus group B Streptococcus group D
Listeria monocytogenes Haemophillus influenzae
Streptococcus pneumoniae
Ureaplasma urealyticum
VIRUS
Virus Sitomegalo
Virus Herpes simpleks
3 minggu – 3 BAKTERI BAKTERI
bulan Chlamydia trachomatis Bordetella pertussis
Streptococcus pneumoniae Haemophillus influenzae tipe
B
VIRUS Moraxella catharalis
Virus Adeno Staphylococcus aureus
Virus Influenza Ureaplasma urealyticum
Virus Parainfluenza 1, 2, 3 VIRUS
Respitatory Syncytical Virus Virus Sitomegalo
4 bulan – 5 tahun BAKTERI BAKTERI
16
Chlamydia pneumoniae Haemophillus influenzae tipe
B
Mycoplasma pneumoniae Moraxella catharalis
Streptococcus pneumoniae Neisseria meningitidis
VIRUS Staphylococcus aureus
Virus Adeno VIRUS
Virus Influenza Virus Varisela-Zoster
Virus Parainfluenza
Virus Rino
Respiratory Synncytial virus
5 tahun – remaja BAKTERI BAKTERI
Chlamydia pneumoniae Haemophillus influenzae
Mycoplasma pneumoniae Legionella sp
Streptococcus pneumoniae Staphylococcus aureus
VIRUS
Virus Adeno
Virus Epstein-Barr
Virus Influenza
Virus Parainfluenza
Virus Rino
Respiratory Syncytial Virus
Virus Varisela-Zoster
17
imunitas yang belum sempurna dan saluran pernapasan yang cukup
sempit.3
2. Jenis Kelamin
18
Anak-anak dengan gizi buruk mempunyai risiko pneumonia sebesar
2,6 kali dibanding dengan anak yang mempunyai gizi baik.
Kekurangan gizi akan menurunkan kapasitas kekebalan untuk
merespon infeksi pneumonia termasuk gangguan fungsi granulosit,
penurunan fungsi komplemen dan menyebabkan kekurangan
mikroprotein.13
7. Defisiensi vitamin A
9. Immunocompromised
Anak-anak yang terpapar asap rokok atau asap kayu kompor dan
anak-anak dari tingkat sosial ekonomi rendah memiliki insiden yang
lebih tinggi terkena pneumonia. Pada penelitian yang dilakukan oleh
Niessen dkk (2009), ditemukan cara untuk mengurangi polusi udara
dalam ruangan yaitu beralih ke bahan bakar gas (bahan bakar gas
cair, minyak tanah atau etanol) dalam rumah tangga atau kompor
biomassa dan meningkatkan ventilasi didalam rumah. Dengan
19
menggunakan intervensi ini dapat mengurangi kejadian pneumonia
sebesar 22-46%.19
11. Kepadatan Hunian
20
2.2.5 KLASIFIKASI PNEUMONIA PADA ANAK
Pneumonia diklasifikasikan menurut agen etiologinya, lokasi dan luas paru
yang terkena.
1. Menurut klinis dan epidemiologi :
a. Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia)
b. Pneumonia nosokomial (hospital-acquired pneumonia)
c. Pneumonia aspirasi
d. Pneumonia pada penderita immunocompromised
2. Menurut agen etiologinya :
a. Pneumonia bakterial/tipikal.
b. Pneumonia atipikal, disebabkan oleh Mycoplasma, Legionella
dan Chlamydia
c. Pneumonia virus
d. Pneumonia jamur, sering merupakan infeksi sekunder.
Predileksi terutama pada penderita dengan daya tahan tubuh
lemah (immunocompromised) (Soedarsono, 2010).
3. Menurut lokasinya :
a. Pneumonia lobaris menyerang segmen luas pada satu lobus atau
lebih
b. Bronkopneumonia dimulai pada ujung bronkiolus dan mengenai
lobulus yang terdekat
c. Pneumonia intersisial menyerang dinding alveolus dan jaringan
peribronkial serta lobular
Adapun penentuan klasifikasi klinis penyakit pneumonia dibagi menjadi
dua kelompok, yaitu kelompok umur 2 bulan - <5 tahun dan kelompok umur < 2
bulan. Untuk anak berumur 2 bulan - <5 tahun , klasifikasi dibagi atas bukan
pneumonia, pneumonia dan pneumonia berat sedangkan untuk kelompok umur < 2
bulan, maka diklasifikasikan atas bukan pneumonia dan pneumonia berat.23
Tabel 2.2 Klasifikasi Klinis Pneumonia pada Balita Menurut Kelompok Umur
21
Sumber : Pedoman Tatalaksana Pneumonia Balita.23
2.2.6 FISIOLOGI
Mekanisme daya tahan traktus respiratorius bagian bawah sangat efisien
untuk mencegah infeksi dan terdiri dari:
1. Susunan anatomis rongga hidung
2. Jaringan limfoid di nasoorofaring
3. Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius dan
sekret yang dikeluarkan oleh set epitel tersebut.
4. Refleks batuk
5. Refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang terinfeksi.
6. Drainase sistem limfatik dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional.
7. Fagositosis, aksi enzimatik dan respons imuno-humoral terutama dari
imunoglobulin A (IgA).
22
Gambar 2.1: Sistem respirasi Manusia
23
sekitarnya. Bagian paru yang terkena mengalami konsolidasi, yaitu terjadi serbukan
sel PMN, fibrin, eritrosit, cairan edema, dan ditemukannya kuman di alveoli.
Stadium ini disebut stadium hepatisasi merah. Selanjutnya deposit fibrin semakin
bertambah, terdapat fibrin dan leukosit PMN di alveoli dan terjadi proses
fagositosis yang cepat. Stadium ini disebut stadium hepatisasi kelabu. Selanjutnya
jumlah makrofag meningkat di alveoli, sel akan mengalami degenerasi, fibrin
menipis, kuman dan debris menghilang. Stadium ini disebut stadium resolusi.
Sistem bronkopulmoner jaringan paru yang tidak terkena akan tetap normal.5
Beberapa bakteri sering menimbulkan gambaran patologis tertentu bila
dibandingkan dengan bakteri lain. Infeksi Streptococcus pneumoniae biasanya
bermanifestasi sebagai bercak-bercak konsolidasi merata di seluruh lapangan paru
(bronkopneumonia), dan pada anak besar atau remaja dapat berupa konsolidasi
pada satu lobus (pneumonia lobaris). Pneumotokel atau abses-abses kecil sering
disebabkan oleh Staphylococcus aureus pada neonatus atau bayi, karena
Staphylococcus aureus menghasilkan berbagai toksin dan enzim seperti hemolisin,
lekosidin, stafilokinase dan koagulase. Toksin dan enzim ini menyebabkan
nekrosis, perdarahan dan kavitasi. Koagulase berinteraksi dengan faktor plasma dan
menghasilkan bahan aktif yang mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin, sehingga
terjadi eksudat fibrinopurulen. Terdapat korelasi antara produksi koagulase dan
virulensi kuman. Staphylococcus yang tidak menghasilkan koagulase jarang
menimbulkan penyakit yang serius.5
Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar dari ringan
hingga sedang. Hanya sebagian kecil yang berat, mengancam kehidupan, dan
mungkin terjadi komplikasi sehingga perlu dirawat. Beberapa faktor yang
mempengaruhi gambaran klinis pada anak adalah imaturitas anatomik dan
imunologik, mikroorganisme penyebab yang luas, gejala klinis yang tidak khas
terutama pada bayi, terbatasnya penggunaan prosedur diagnostik invasif, etiologi
noninfeksi yang relatif lebih sering, dan faktor patogenesis.
Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung berat ringannya
infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut:
24
Gambaran infeksi umum :
o demam: suhu bisa mencapai 39 – 40 oC
o sakit kepala
o gelisah
o malaise
o penurunan nafsu makan
o keluhan gastrointestinal, seperti mual, muntah, atau diare
o kadang – kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner
Gambaran gangguan respiratori :
o batuk yang awalnya kering kemudian menjadi produktif
o sesak nafas
o retraksi dada
o takipnea
o napas cuping hidung
o penggunaan otat pernafasan tambahan
o air hunger
o merintih
o sianosis
Bronkopneumonia biasanya di dahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas
selama beberapa hari. Batuk mungkin tidak dijumpai pada anak – anak. Bila
terdapat batuk, batuk berawal kering lalu berdahak. Pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan tanda klinis seperti vokal fremitus yang meningkat pada daerah terkena,
pekak perkusi atau perkusi yang redup pada daerah yang terkena, suara napas
melemah, suara napas bronkial, dan ronki. Akan tetapi pada neonatus dan bayi
kecil, gejala dan tanda pnuemonia lebih beragam dan tidak selalu terlihat jelas. Pada
perkusi dan auskultasi paru umumnya tidak ditemukan kelainan.5
2.2.9 DIAGNOSIS
Diagnosis pneumonia dilakukan dengan berbagai cara. Pertama dengan
anamnesa dan pemeriksaan fisik secara umum. Setelah itu ada pula pemeriksaan
penunjang seperti rontgen paru dan pemeriksaan darah. Faktor usia juga ikut
25
menentukan dugaan pola kuman penyebabnya serta gejala klinis yang didapatkan
dari anamnesa dan pemeriksaan fisik.9
Gambaran klinis pada anak penderita pneumonia yang didapatkan dari
anamnesa adalah batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang-kadang disertai
darah, demam, sesak napas dan nyeri dada. Sedangkan dari pemeriksaan fisik pada
inspeksi terlihat takipnea dan adanya retraksi dinding dada. Pada palpasi fremitus
dapat mengeras, pada perkusi redup, dan pada auskultasi terdengar suara napas
(bronkovesikuler) sampai bronkial, dapat disertai ronkhi basah halus, yang
kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi.22
Frekuensi pernapasan anak untuk mengidentifikasi pneumonia menurut
WHO sebagai berikut :
a. Anak umur < 2 bulan : ≥ 60 kali/menit
b. Anak umur 2-11 bulan : ≥ 50 kali/menit
c. Anak umur 12-59 bulan : ≥ 40 kali/menit (WHO, 2013)
26
CRP adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit. Sebagai
respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP secara cepat distimulasi oleh
sitokin, terutama IL – 6, IL – 1, dan TNF. Meskipun fungsinya belum diketahui,
CRP sangat mungkin berperan dalam opsonisasi mikroorganisme atau sel yang
rusak. Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan
antara faktor infeksi dan non infeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi bakteri
superfisialis dan profunda, dimana kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi
virus dan infeksi bakteri superfisialis dibandingkan infesksi bakteri profunda.5
27
− Bronkopneumonia : ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua
paru, berupa bercak – bercak infiltrat halus yang dapat meluas hingga daerah
perifer paru, disertai dengan peningkatan corakan peribronkial.
Gambaran foto rontgen toraks pada anak meliputi infiltrat ringan pada satu
paru hingga konsolidasi luas pada kedua paru. Pada suatu penelitian ditemukan
pneumonia pada anak terbanyakk di paru kanan, terutama lobus atas. Bila
ditemukan di lobus kiri, dan terbanyak di lobus bawah, maka hal tersebut
merupakan prediktor perjalanan penyakit yang lebih berat dengan risiko terjadinya
pleuritis lebih meningkat. 5
Gambaran foto toraks pada pneumonia dapat membantu mengarahkan
kecenderungan etiologi pneumonia. Penebalan peribronkial, infiltrat interstisial
merata, dan hiperinflasi cenderung terlihat pada pneumonia virus. Infiltrat alveolar
berupa konsolidasi segmen atau lobar, bronkopnumonia, dan air bronchogram
sangat mungkin disebabkan oleh bakteri. Pada pneumonia Stafilokokus sering
ditemukan abses – abses kecil dan pneumoatokel dengan berbagai ukuran. 5
Gambaran foto toraks pada pneumonia Mikoplasma sangat bervariasi. Pada
beberapa kasus terlihat sangat mirip dengan gambaran foto rontgen toraks
pneumonia virus. Selain itu, dapat juga ditemukan gambaran bronkopneumonia
terutama di lobus bawah, inflitrat interstisial retikulonodular bilateral, dan yang
jarang adalah konsolidasi segmen atau subsegmen. Biasanya gambaran foto toraks
28
yang jauh lebih berat dibandingkan gejala klinis. Meskipun tidak terdapat gambaran
foto toraks yang khas, tetapi bila ditemukan gambaran retikulonodular fokal pada
satu lobus, hal ini cenderung disebabkan oleh infeksi Mikoplasma. Demikian pula
bila ditemukan gambaran perkabutan atau ground – glass consolidation, serta
transient pseudoconsolidation. 5
d. Pemeriksaan Mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologis untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin
dilakukan kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di RS. Untuk pemeriksaan
mikrobiologik, spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret nasofaring,
bilasan bronkus, darah, pungsi pleura, atau aspirasi paru. Pemeriksaan sputum
kurang berguna. Diagnosis dikatakan definitif apabila kuman ditemukan dalam
darah, cairan pleura, atau aspirasi paru, kecuali pada masa neonatus, dimana
kejadian bakteremia sangat rendah sehingga kultur darah jarang positif. 5
e. Uji Serologis
Uji serologis untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri
tipik mempunyai sensitivitas yang rendah dan secara umum tidak terlalu
bermanfaat dalam mendiagnosis infeksi bakteri atipik. 5
29
dalam batas normal, kimia darah menggambarkan asidosis respiratotik
ataupun metabolik.24
c. Aspirasi benda asing
Ada riwayat tersedak, stridor atau distress pernapasan tiba – tiba,
wheezing atau suara pernapasan yang menurun yang bersifat fokal.24
d. Tuberkulosis
Pada TB, terdapat kontak dengan pasien TB dewasa, uji tuberkulin
positif ( > 10 mm atau pada keadaan imunosupresi > 5 mm ), demam 2
minggu atau lebih, batuk 2 minggu atau lebih, pertumbuhan buruk/kurus
atau berat badan menurun, pembengkakan kelenjar limfe leher, aksila,
inguinal yang spesifik, pembengkakan tulang/sendi punggung, panggulm
lutut, dan falang, dan dapat disertai nafsu makan menurun dan malaise yang
dapat ditegakkan melalui skor TB.24
e. Atelektasis
Adalah pengembangan tidak sempurna atau kempisnya bagian paru
yang seharusnya mengandung udara. Dispnoe dengan pola pernafasan cepat
dan dangkal, takikardia, sianosis. Perkusi mungkin batas jantung dan
mediastinum akan bergeser dan letak diafragma mungkin meninggi.24
2.2.12 PENATALAKSANAAN
a. Tatalaksana Umum
- Pemberian Oksigen dengan target saturasi > 92%
- Pada pneumonia berat atau asupan oral kurang → balance cairan ketat
- Analgetik-antipiretik dapat diberikan untuk menjaga kenyamanan pasien
dan mengontrol batuk
- Nebulisasi dengan B2 Agonis dan / atau NaCl dapat diberikan untuk
memperbaiki mucocilliary clearance25
b. Pemberian Antibiotik
- Amoksisilin menjadi pilihan pertama untuk antibiotik oral jika curiga S.
Pneumoniae yang menjadi patogen dan diberikan pada anak <5 tahun
30
karena efektif melawan sebagian besar patogen yang menyebabkan
pneumonia pada anak, ditoleransi dengan baik dan murah. Alternatifnya
adalah co-Amoxiclav, ceflacor, eritromisin, claritromisin dan azitromisin.
- Makrolid diberikan jika curiga disebabkan oleh M. Pneumonia atau C.
Pneumonia. Dan diberikan sebagai pilihan utama secara empiris padaanak
usia > 5 tahun.
- Makrolid atau flucloxacillin + amoksisilin diberikan jika disebabkan oleh S.
Aureus
- Antibiotik intravena diberikan jika pasientidak dapat menerima obat oral
(misal karena muntah) atau termasuk pneumonia berat.
- Antibiotik intravena : ampisilin dan kloramfenikol, co-amoxiclav,
ceftriakson, cefuroksim, cefotaksim.25
2.13 KOMPLIKASI
Komplikasi pneumonia pada anak meliputi empyema torasis, purulenta,
pneumotoraks, abses paru, dan gagal napas akut. Selain itu, dapat terjadi infeksi
ekstrapulmonal seperti meningitis, abses sistem saraf pusat, perikarditis,
endokarditis, dan osteomielitis. Sepsis dan sindrom hemolitik uremik dapat terjadi
sebagai komplikasi sistemik. Efusi dan empiema merupakan komplikasi tersering
yang terjadi pada pneumonia.5
31
BAB 3
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
• Nama : RAZ
• Umur : 4 bulan 2 hari ( 13-08-2022 )
• Jenis kelamin : Perempuan
• No MR : 01.15.82.25
• Nama ayah / ibu : Tn. D / Ny. M
• Alamat : Solok Selatan
• Tanggal pemeriksaan : 12 Desember 2022
Anamnesis
Keluhan Utama
Sesak napas bertambah sejak 12 jam sebelum masuk Rumah Sakit.
Riwayat Penyakit Sekarang
• Batuk sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit, dan semakin bertambah
sejak 2 hari yang lalu, batuk berdahak, dahak tidak dapat dikeluarkan,
disertai pilek.
• Sesak napas bertambah sejak 2 hari sebelum masuk Rumah Sakit terus
menerus, tidak menciut, tidak dipengaruhi aktivitas, cuaca maupun
makanan.
• Demam sejak 1 minggu sebelum masuk Rumah Sakit, demam tinggi, hilang
timbul, tidak disertai berkeringat maupun menggigil serta tidak disertai
kejang.
• Muntah sejak 2 hari yang lalu yang terjadi setelah batuk, frekuensi 2-3 kali
sebanyak ½ - 1 sendok makan
• Muntah keluar lewat hidung disangkal
• Tampak pucat disadari orang tua 12 jam sebelum masuk rumah sakit,
perdarahan kulit, hidung, mulut tidak ada
• Tangan dan kaki kaku sejak 1 minggu yang lalu, kejang disangkal
32
• Kepala tampak semakin membesar sejak usia 2 minggu, anak belum bisa
miring kiri-kanan
• Anak mendapat susu formula sejak lahir, max 20-30cc/1-2jam
• BAB warna dan konsistensi biasa. BAK warna dan jumlah biasa.
• Riwayat kontak dengan penderita TB disangkal
Riwayat Persalinan
• Lama hamil : Kurang bulan (34-35 minggu)
• Cara lahir : Spontan
• Ditolong oleh : Bidan
• Berat lahir : 2100 g
• Panjang lahir : - cm
• Saat lahir : Langsung menangis lemah
• Kesan : Riwayat persalinan spontan kurang bulan
33
o Daging :-
o Ikan :-
o Telur :-
o Sayur :-
o Buah :-
• Kesan : kualitas baik.
Riwayat Imunisasi
Imunisasi Dasar (Umur) Booster (Umur)
BCG - -
DPT 1 - -
2 - -
3 - -
Polio 1 1 bulan -
2 - -
3 - -
Hepatitis B 1 - -
2 - -
3 - -
Haemofilus influenza B 1 - -
2 - -
3 - -
Campak - -
Kesan : Imunisasi dasar tidak lengkap
34
Berdiri -
Lari -
Gigi pertama -
Bicara -
Membaca -
Prestasi di sekolah -
Riwayat Gangguan Perkembangan Mental Umur
Isap jempol -
Gigit kuku -
Sering mimpi -
Mengompol -
Aktif sekali -
Apatik -
Membangkang -
Ketakutan -
Pergaulan jelek -
Kesukaran belajar -
Kesan: Pertumbuhan dan perkembangan terlambat
Riwayat Keluarga
Ayah Ibu
Nama Tn. D Ny.M
Umur 40 tahun 38 tahun
Pendidikan SMK SMA
Pekerjaan Swasta IRT
Penghasilan Rp3.500.000 -
Perkawinan 1 1
Penyakit yang pernah diderita Tidak ada Tidak ada
35
No. Saudara Kandung Umur Keadaan Sekarang
1 Laki-Laki 14 tahun Sehat
2 Laki-Laki 7 tahun Sehat
3 Pasien 4bulan Sakit
4 - - -
36
• BB/TB : -1 < SD < 0
• Status gizi : Gizi buruk dengan perawakan sangat pendek
Khusus
• Kulit : Teraba hangat, turgor baik
• Kelenjar getah bening : Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening
• Kepala : Tampak besar, Lingkar Kepala 44 cm
(makrocephal), UUB teraba mombonjol dengan ukuran 4x3 cm, UUK 2x2
cm
• Rambut : Rambut belum tumbuh
• Mata :Sunset Phenomenom (+), Konjungtiva anemis (+/+),
sklera ikterik (-/-), pupil isokor (2mm/2mm), refleks cahaya +/+
• Telinga : tidak ada kelainan bawaan, tidak berair
• Hidung : Napas cuping hidung ada
• Tenggorok : faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1 tenang
• Gigi dan mulut : mukosa mulut dan bibir basah
• Leher : Tidak teraba pembesaran KGB, kaku kuduk (-)
• Toraks
o Paru
▪ Inspeksi : retraksi epigastrium (+)
▪ Palpasi : Krepitasi tidak ada
▪ Perkusi : sonor kiri dan kanan
▪ Auskultasi : Suara napas bonkovesikuler, Rh +/+ basah halus
nyaring, Wh -/-
o Jantung
▪ Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
▪ Palpasi : Iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V
▪ Perkusi : sulit dinilai
▪ Auskultasi : bunyi jantung reguler, murmur (-)
• Abdomen
o Inspeksi : distensi tidak ada, hernia umbilical (+)
o Palpasi : supel, hepar teraba ¼ - ¼ pinggir tajam, permukaan
rata, lien tidak teraba
37
o Perkusi : timpani
o Auskultasi : Bising usus (+) normal
• Punggung : Tidak ada kelainan
• Genitalia : A1P1G1
• Anggota gerak : Akral hangat, CRT < 2 detik.
Pemeriksaan Penunjang
Hematologi dan Kimia Klinik ( 08 Desember 2022 )
• Hb : 6,8 g/dL
• Leukosit : 16.510/mm3
• Hematokrit : 20 %
• Trombosit : 519.000/mm3
• Eritrosit : 4,4 Juta
• Retikulosit : 3,64%
• Hitung jenis : 0/0/15/61/18/7
• Glukosa sewaktu: 110 mg/dl
• Elektrolit lisis, PT APTT beku
Hematologi dan Kimia Klinik ( 10 Desember 2022 )
• Hb : 11,2 g/dL
• Leukosit : 14.480/mm3
• Hematokrit : 31 %
• Trombosit : 438.000/mm3
• Eritrosit : 3,98 Juta
• Retikulosit : 5,75%
• Hitung jenis : 0/1/2/83/9/5
38
Rontgen Thorax (10 September 2022)
39
CT-SCAN (10 September 2022)
Kesan : Hidrosefalus non comunicans dengan edema periventrikuler dan septated ventrikel
lateral cornu posterior
40
Diagnosis Kerja dan Diagnosis Banding
- Respiratory Distress ec Pneumonia dd aspirasi pneumonia
- Hidrosefalus kongenital ec susp ventriculitis
- Gizi buruk
Penatalaksanaan
- CPAP PEEP 7 FiO2 40%
- IVFD KAEN 1B 264 cc/ hari restriksi 20%
- Ampicilin 4x160 mg iv
- Gentamicin 1x25 mg iv
- Diamox 3x30 mg PO
- Paracetamol 4x40
- Bicnat 3x1/3 tab
Edukasi
• Istirahat cukup
• Perhatikan apabila ada napas cepat, atau kesulitan bernapas
• Menyarankan kepada ibu agar menjauhi anak apabila ada anggota keluarga yang sedang
batuk, pilek
41
• Follow up
12/12/22 S/ Anak terpasang CPAP PEEP 5 FiO2 30%
Demam dan kejang tidak ada
Anak tidak bertambah sesak
Tidak ada desaturasi
Tidak ada tanda-tanda perdarahan
BAK tidak ada kelainan
O/ KU kesadaran TD HR RR T
Berat sadar 83/40 120 x/’ 33 x/’ 37,1 C
42
KU kesadaran TD HR RR T
O/ Berat sadar 75/50 110 x/’ 45 x/’ 36,7 C
O/ KU kesadaran TD HR RR T
Berat sadar 85/50 112 x/’ 45 x/’ 36,7 C
43
• RD ec pneumonia dd aspirasi pneumonia
• Hidrosefalus kongenital ec susp ventriculitis
• Gizi buruk
44
BAB 4
DISKUSI
Studi kasus dilakukan pada pasien An. RAZ berusia 4 bulan dengan keluhan utama
sesak napas. Pasien sesak napas bertambah sejak 12 jam sebelum masuk Rumah Sakit.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada anamnesis
didapatkan bahwa pasien batuk sejak 7 hari SMRS, batuk berdahak namun pasien tidak dapat
mengeluarkan dahak. Batuk merupakan refleks pertahanan tubuh yang timbul akibat iritasi
percabangan trakeobronkial. Rangsangan yang biasanya menimbulkan batuk adalah
rangsangan mekanik, kimia dan peradangan.3
Hidrosepalus pada pasien ini disebabkan karena penyumbatan aliran CSS dari dalam
ventrikel ke luar ventrikel yang di akibatkan oleh kelainan kongenital pada bayi ini. Klinis nya
khas karna tampak adanya sunset eyes/ sunset phenomenom pada bayi ini dan juga kategori
kepalanya makrocephal, sehingga pada anak ini direncanakan untuk pemasangan VP Shunt.
Pasien juga diberikan obat asetazolamide untuk mengurangi cairan yang produksi CSS serta
diberikan bicnat untuk mengimbangi cairan yang diperlukan.
Pasien mengalami demam sejak 7 hari SMRS, demam tinggi, hilang timbul tidak
menggigil, tidak berkeringat serta tidak disertai kejang. Pasien juga mengalami sesak napas
sejak 2 hari SMRS, sesak terus menerus, tidak menciut, tidak dipengaruhi aktivitas, cuaca
maupun makanan.Pada pemeriksaan fisik juga ditemukan tanda-tanda sesak napas seperti
frekuensi napas cepat 54x/menit, dimana pada bayi usia diatas 2 bulan- <12 bulan dikatakan
napas cepat jika >50 x/menit, serta pada pasien juga ditemukan retraksi dinding dada ke dalam.
Pada anak yang menderita batuk atau sukar bernapas dengan ditemukan gejala tarikan dinding
dada ke dalam, di klasifikasikan ke dalam pneumonia berat.23 Hal ini semakin dikuatkan
dengan hasil foto thoraks pasien yaitu gambaran infiltrat di kedua paru, kesan pneumonia
bilateral.
Penatalaksanaan yang diberikan pada pneumonia berat ialah pemberian Oksigen 2-3
L/menit dan pemberian antibiotik. Pilihan antibiotik yang diberikan kepada anak yang tidak
bisa menelan obat oral adalah Ampisilin + Gentamisin IM, IV. Pada pasien diberikan ampisilin
4x160 mg IV (dosis 15-25 mg/kg/kali) dan gentamisin 1x25 mg IV (dosis 5-6 mg/kg/hari).
Selain terapi medikamentosa, keluarga perlu di edukasi mengenai penyakit pasien yang
meliputi penyebab, faktor predisposisi, cara penularan dan pencegahan penyakitnya. Keluarga
juga diedukasi agar dapat menjaga hygiene bayi, keluarga serta lingkungan tempat tinggal.
45
Pemberian ASI dan nutrisi pada bayi juga perlu diperhatikan keluarga menimbang pasien
termasuk kedalam kategori gizi buruk.
46
DAFTAR PUSTAKA
48
26. World Health Organization (WHO). April 2013. Pneumonia.
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs331/en/. Diunduh 3 Mei 2013, pukul
20:10 WIB.
27. Niessen LW. Hove AT, Hilderink H, Weber M, Mulholland K, Ezzati M. 2009.
Comparative impact assessment of child pneumonia interventions. Bull World Health
Organ, 87(6), pp 472-80.
28. Yuwono, Aji T. 2008. Faktor-faktor lingkungan fisik rumah yang berhubungan dengan
kejadian pneumonia pada anak balita di wilayah kerja puskesmas Kawunganten
Kabupaten Cilacap. Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang.
29. Herman. 2002. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian pneumonia pada
anak balita di kab. Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan. Jakarta: Fakultas Kesehatan
Masyarakat UI.
30. Soedarsono. 2010. Pneumonia. Dalam :WibisonoMJ, Winariani, Hariadi S (eds). Buku
Ajar Ilmu Penyakit Paru. Departemen Ilmu PenyakitParu FK UNAIR-RSUD
Dr.Soetomo. Surabaya. pp 149-179.
31. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Manajemen Terpadu Balita Sakit
(MTBS). Jakarta: Depkes RI.
32. Tim Adaptasi Indonesia.2008. Pedoman pelayanan kesehatan anak di rumah sakit
rujukan tingkat pertama di kabupaten. Jakarta : WHO Indonesia. Hal 86-93.
33. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti, 2009. Pedoman Pelayanan Medis. Ikatan Dokter
Anak Indonesia. Jakarta : Hal 250.
49