Anda di halaman 1dari 49

Case Report Session

Hidrosefalus Kongenital dan Pneumonia

Oleh
Afdal Maulana 2240312189

Preseptor
dr. Riri Dwi Pinta Sari, Sp.A

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


RSUP Dr. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2022

1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Hidrosefalus berasal dari kata “hidro” yang berarti air dan “chepalus” yang
berarti kepala. Meskipun hidrosefalus dikenal sebagai “air di otak”, “air" ini
sebenarnya cairan serebrospinal (CSS) yaitu cairan bening yang mengelilingi otak
dan sumsum tulang belakang, secara aktif yang menyebabkan dilatasi sistem
ventrikel otak dimana terjadi akumulasi CSS yang berlebihan pada satu atau lebih
ventrikel atau ruang subarachnoid. Keadaan ini disebabkan oleh karena terdapat
ketidak seimbangan antara produksi dan absorpsi dari CSS.1
Fungsi utama dari CSS adalah untuk menyediakan keseimbangan dalam
sistem saraf. CSS merupakan cairan yang mengelilingi otak. Berfungsi untuk
mengurangi berat otak dalam tengkorak dan menyediakan bantalan mekanik dan
melindungi otak dari trauma yang mengenai tulang tengkorak. CSS merupakan
medium transportasi untuk menyingkirkan bahan-bahan yang tidak diperlukan dari
otak seperti CO2, laktat, dan ion Hidrogen. CSS juga bertindak sebagai saluran
untuk transport intraserebral. CSS juga mempertahankan tekanan intracranial
dengan cara pengurangan CSS dengan mengalirkannya ke luar rongga tengkorak,
baik dengan mempercepat pengalirannya melalui berbagai foramina, hingga
mencapai sinus venosus, atau masuk ke dalam rongga subarachnoid lumbal yang
mempunyai kemampuan mengembang sekitar 30%.2
Infeksi respiratorik akut bawah (IRA-B) menimbulkan angka kesakitan dan
kematian yang cukup tinggi. IRA-B dapat dijumpai dalam berbagai bentuk,
tersering adalah dalam bentuk pneumonia. Pneumonia adalah peradangan yang
mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup
bronkiolus respiratorius dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru
dan gangguan pertukaran gas setempat.1 Menurut anatomis pneumonia pada anak
dibedakan menjadi pneumonia lobaris, pneumonia interstisialis, dan
bronkopneumonia.2
Bronkopneumonia sebagai penyakit yang menimbulkan gangguan pada
sistem pernafasan, merupakan salah satu bentuk pneumonia yang terletak pada

2
alveoli paru .3 Bronkopneumonia lebih sering menyerang bayi dan anak kecil. Hal
ini dikarenakan respon imunitas mereka masih belum berkembang dengan baik.
Tercatat bakteri sebagai penyebab tersering bronkopneumonia pada bayi dan anak
adalah Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae.4
Penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan yang mencolok walaupun
ada berbagai kemajuan dalam bidang antibiotik. Hal di atas disebabkan oleh
munculnya organisme nosokomial (didapat dari rumah sakit) yang resisten terhadap
antibiotik. Adanya organisme-organisme baru dan penyakit seperti AIDS (Acquired
Immunodeficiency Syndrome) yang semakin memperluas spektrum dan derajat
kemungkinan terjadinya bronkopneumonia ini. Pneumonia hingga saat ini masih
tercatat sebagai masalah kesehatan utama pada anak di Negara berkembang.
Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak berusia
dibawah lima tahun (balita).
Diperkirakan hampir seperlima kematian anak di seluruh dunia, lebih
kurang dua juta anak balita, meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian
besar terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Menurut survey kesehatan nasional
(SKN) 2001, 27,6% angka kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia
disebabkan oleh penyakit sistem respiratori, terutama pneumonia.5
Pada tahun 2011 didapatkan 480.033 kasus pneumonia pada balita di
Indonesia dengan angka kejadian tertinggi pada provinsi Jawa Barat sebesar
39,11%. Pada tahun sebelumnya, yaitu tahun 2010, insiden pneumonia pada balita
ditemukan lebih tinggi yaitu 499.259 kasus dengan insiden tertinggi pada provinsi
Nusa Tenggara Barat sebesar 64,49% dan Sumatera Barat termasuk sepuluh
provinsi dengan insiden pneumonia tertinggi pada balita di Indonesia yaitu sebesar
10.544 kasus. Angka kejadian pneumonia di Sumatera Barat setiap tahunnya
meningkat, terbukti pada tahun 2012 diperkirakan terdapat 48.591 anak menderita
pneumonia yang didapat dari komunitas dan Kota Padang merupakan daerah yang
memiliki angka kejadian tertinggi yaitu sebesar 8.670 kasus.6,7

3
1.2 Tujuan Penulisan
Case report session ini bertujuan untuk mengetahui definisi, etiologi, patogenesis,
gejala klinis, diagnosis, penatalakasanaan, komplikasi dan prognosis dari
hidrosefalus dan bronkopneumonia.

1.3 Metode penulisan


Metode penulisan ini Case Report Session ini adalah tinjauan teori dari
berbagai kepustakaan, laporan kasus dari pasien, serta pembahasan antara teori
yang ada dengan kasus yang didapatkan.

4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 HIDROSEFALUS
2.1.1 DEFINISI
Hidrosefalus adalah penimbunan cairan di dalam rongga-rongga ventrikel
otak akibat ketidak-seimbangan antara pembentukan dan absorbsi cairan
serebrospinal (CSS) yang biasanya disertai peninggian tekanan intrakranial .1

2.1.2 ANATOMI DAN FISIOLOGI ALIRAN CSS


Ruangan cairan serebrospinal (CSS) terdiri dari sistem ventrikel, sisterna
magna pada dasar otak dan ruangan subaraknoid. Ruangan ini mulai terbentuk pada
minggu kelima masa embrio. Sistem ventrikel dan ruang subarachnoid
dihubungkan melalui foramen Magendi di median dan foramen Luschka di sebelah
lateral ventrikel IV.1,2

Gambar 1: anatomi aliran cairan serebrospinal

Cairan serebrospinalis dihasilkan oleh pleksus koroidalis di ventrikel otak.


Cairan ini mengalir ke foramen Monro ke ventrikel III, kemudian melalui
akuaduktus Sylvi ke ventrikel IV. Cairan tersebut kemudian mengalir melalui
foramen Magendi dan Luska ke sisterna magna dan rongga subarachnoid di bagian
cranial maupun spinal. Penyerapan terjadi melalui vilus arakmoid yang

5
berhubungan dengan sistem vena seperti sinus venosus serebral. Penutupan sisterna
basalis mengakibatkan terganggunya kecepatan absorbsi CSS oleh sistem vena. 1

2.1.3 EPIDEMIOLOGI
Insiden hidrosefalus kongenital di AS adalah 4,65 per 10.000 kelahiran
hidup. Penyebab terbanyak adalah stenosis akuaduktus sylvi. Sedangkan insiden
untuk hidrosefalus akuisita (aquired hydrocephalus) tidak diketahui secara pasti
karena penyebab penyakit yang berbeda-beda. Dapat terjadi pada semua umur dan
tidak ada perbedaan ras. Hidrosefalus Infantil, 46% diantaranya adalah akibat
abnormalitas perkembangan otak, 50% karena pendarahan subaraknoid dan
meningitis, kurang dari 4% akibat tumor fossa posterior.3,4

2.1.4 KLASIFIKASI 1,3


Hidrosefalus dapat diklasifikasikan menjadi dua bentuk utama berdasarkan lokasi
penyumbatan :
1) Hidrosefalus tipe obstruksi/ non komunikans
Terjadi peningkatan tekanan cairan serebrospinal yang di sebabkan oleh
obstruksi pada salah satu tempat pembentukan cairan, antara pleksus
koroidalis sampai ke tempat keluarnya cairan dari ventrikel IV melalui
foramen magendi dan foramen luska. Penyebab terbanyak yaitu stenosis
akuaduktus yang sebagian kecil kasusnya diwariskan dari kromosom terpaut
X resesif.
2) Hidrosefalus tipe komunikans
Terjadi peningkatan tekanan cairan serebrospinal yang disebabkan tanpa
adanya obstruksi dalam sistem ventrikel yang diakibatkan oleh meningitis,
perdarahan subaraknoid, keganasan meningeal, papilloma pleksus koroid,
tumor subaraknoid serta malfungsi dari vili araknoid sehingga terjadi
hambatan aliran CSS.3
Berdasarkan waktu onset lesi :
1) Kongenital
Hal ini terjadi pada bayi sebelum kelahirannya, umunya terkait dengan
malformasi kongenital lain dan disebabkan oleh gangguan genetik atau

6
gangguan intra uterin seperti infeksi dan perdarahan. Seperti penyempitan
di saluran aquaduktus dan terkait dengan neural tube defect.
2) Didapat
Bisa disebabkan oleh tumor otak, perdarahan intrakranial atau infeksi.

2.1.5 ETIOLOGI
Penyumbatan aliran CSS pada salah satu tempat antara tempat pembentukan
CSS dalam sistem ventrikel dan tempat absorpsi dalam ruang subaraknoid dapat
mengakibatkan hidrosepalus. Pembentukan CSS yang terlalu banyak dengan
kecepatan absorpsi yang normal juga akan menyebabkan terjadinya hidrosefalus,
namun dalam klinik sangat jarang terjadi, misalnya terlihat pelebaran ventrikel
tanpa penyumbatan pada adenomata pleksus koroidalis. Akibat penyumbatan aliran
dalam sistem ventrikel terjadi dilatasi ruangan CSS diatasnya.2,5
Penyebab penyumbatan aliran CSS yang sering pada bayi dan anak adalah :
1) Kelainan bawaan (kongenital)1
a) Stenosis Akuaduktus Sylvi
Merupakan penyebab terbanyak. 60%-90% kasus hidrosefalus terjadi pada
bayi. Pada aquaduktus sylvi bisa terjadi saluran yang buntu total atau
abnormal lebih sempit dari biasanya, yang akan menyebabkan pelebaran
ventrikel III. Umumnya manifestasi hidrosepalus terlihat sejak lahir atau
progresif dengan cepat pada bulan-bulan pertama setelah lahir.
b) Spina bifida dan cranium bifida
Hidrosepalus ini berhubungan dengan sindroma Arnord-Chiari akibat
tertariknya medulla spinalis, dengan medulla oblongata, dan serebelum
letaknya lebih rendah yang akan menutupi foramen magnum sehingga
terjadi penyumbatan sebagian atau total.
c) Sindrom Dandy-Walker
Merupakan atresia kongenital foramen luska dan magendi akibat dari
hidrosefalus obstruktif dengan pelebaran system ventrikel, terutama
ventrikel IV yang dapat membentuk suatu kista yang besar di daerah fossa
posterior.
d) Kista arachnoid

7
Dapat terjadi secara kongenital maupun didapat akibat trauma sekunder
suatu hematoma.
e) Anomali pembuluh darah
Terjadinya hidrosepalus diakibat aneurisma arterio-vena yang mengenai
arteri serebralis posterior dengan vena galeni atau sinus tranversus akibat
obstruksi akuaduktus.
2) Infeksi
Infeksi pada CSS akan menimbulkan perlekatan meningen sehingga terjadi
obliterasi ruang subarachnoid. Pelebaran ventrikel pada fase akut meningitis
purulenta terjadi bila aliran CSS terganggu oleh obstruksi mekanik eksudat purulen
di akuaduktus sylvi atau sisterna basalis. Pembesaran kepala dapat terjadi beberapa
minggu sampai beberapa bulan sesudah sembuh dari meningitisnya. Secara
patologis terlihat penebalan jaringan piamater dan arakhnoid sekitar sisterna basalis
dan daerah lain.
3) Neoplasma
Hidrosefalus oleh obstruksi mekanis yang dapat terjadi di setiap tempat
aliran CSS. Pada anak, kasus terbanyak yang menyebabkan penyumbatan ventrikel
IV dan akuaduktus sylvi bagian terakhir biasanya suatu glioma yang berasal dari
serebelum, sedangkan penyumbatan bagian depan ventrikel III biasanya disebabkan
suatu kraniofaringioma.4
4) Perdarahan
Perdarahan sebelum dan sesudah lahir dalam otak dapat menyebabkan
fibrosis leptomeningen pada daerah basal otak.

2.1.6 PATOFISIOLOGI
CSS memiliki beberapa fungsi dimana yang paling penting adalah membuat
otak terapung sehingga mengurangi beban otak dan mengurangi kemungkinan
terjadi kerusakan yang diikuti oleh gerakan yang tiba-tiba dan berdampak pada
permukaan bagian dalam tengkorak. Tekanan intracranial pada keadan normal
harus ada keseimbangan dan koordinasi antara produksi, penyimpanan dan sekresi
dai CSS, dan ketika terjadi ketidakseimbangan di daerah ini maka dapat
menyebabkan gejala klinis. Menurut teori, hidrosefalus terjadi akibat dari tiga

8
mekanisme yaitu; produksi cairan yang berlebihan, peningkatan resistensi aliran
cairan, peningkatan tekanan sinus venosa yang akan mengurangi penyerapan CSS.
Konsekuensi dari tiga mekanisme diatas adalah peningkatan tekanan intrakranial
sebagai upaya mempertahankan keseimbangan sekresi dan absorbsi. 2,4
Produksi cairan yang berlebihan hampir semua disebabkan oleh tumor
pleksus khoroid (papiloma dan karsinoma). Adanya produksi yang berlebihan akan
menyebabkan tekanan intrakranial meningkat dalam mempertahankan
keseimbangan antara sekresi dan absorbsi liquor, sehingga akhirnya ventrikel akan
membesar. Gangguan aliran liquor merupakan awal dari kebanyakan dari kasus
hidrosefalus. Peningkatan resistensi yang disebabkan oleh gangguan aliran akan
meningkatkan tekanan cairan secara proporsional dalam upaya mempertahankan
resorbsi yang seimbang. 5
Pembesaran ventrikel membutuhkan waktu, yang bergantung pada tingkat
keparahan dan kecepatan pembentukan hidrosepalus. Pada bayi baru lahir dengan
sutura yang masih membuka dan tidak dikelilingi dengan tengkorak yang kaku,
peningkatan tekanan intrakranial dapat dikompensasi dengan penonjolan fontanel
dan pelebaran sutura.4

2.1.7 GAMBARAN KLINIS

Gejala hidrosepalus biasanya bervariasi dan tergantung pada banyak faktor,


termasuk usia saat onset, sifat dari lesi yang menyebabkan obstruksi serta durasi
laju peningkatan dari tekanan intrakranial.
Pada bayi, proses yang cepat dari peningkatan intrakranial ditandai dengan
pembesaran kepala sebelum sutura menutup yang merupakan tanda yang paling
menonjol, serta pembuluh darah dikepala melebar. Gejala lainnya dapat berupa
fontanel anterior terbuka lebar dan menonjol, dahi lebar serta bola mata terdorong
kebawah oleh tekanan dan penipisan tulang supraorbital. Sklera tampak diatas iris
sehingga iris seakan akan seperti matahari terbenam (sun set sign).2,3
Kepala terlihat besar dipastikan dengan mengukur lingkaran kepala secara
berkala, untuk melihat pembesaran kepala yang progresif dan lebih cepat dari
normal. Ubun-ubun besar melebar atau tidak menutup pada waktunya, serta teraba
tegang dan mengkilat. Didapatkan pula cracked pot sign yaitu bunyi seperti pot

9
kembang yang retak pada perkusi kepala. Pergerakan bola mata yang tidak teratur
dan nistagmus jarang terjadi, yang diakibatkan oleh manifestasi kerusakan
neurologis serta manifestasi lain berupa gangguan kesadaran, kejang, serta
gangguan pusat vital, bergantung kepada kemampuan kepala untuk membesar dan
mengatasi tekanan intrakranial yang meningkat. Bila proses ini berlangsung lambat,
maka kemungkinan, tidak terdapat manifestasi neurologis walaupun sudah terdapat
pelebaran ventrikel yang hebat. Sebaliknya, jika ventrikel belum terlalu melebar
akan tetapi proses tekanan intrakranial berlangsung cepat, sudah dapat
memperlihatkan kelainan neurologis yang nyata.2,4

2.1.8 DIAGNOSIS

Penegakan diagnosis pada hidrosepalus yaitu dengan anamnesis serta


adanya kasus yang menunjukan hidrosepalus dalam keluarga serta terpaut dengan
kromososm X yang berhubungan dengan stenosis akuaduktus sylvi.3
Pemeriksaan klinis pada inspeksi terlihat kepala pasien yang semakin
membesar, disertai dengan pelebaran pembuluh darah dikulit kepala serta klinis-
klinis yang dijelaskan sebelumnya di etiologi. Pada pengukuran lingkar kepala
oksipito-frontal harus dibandingkan dengan pengukuran sebelumnya untuk melihat
progresifitasnya.3
Diagnosis besar kemungkinan hidrosepalus pada anak diduga bila terdapat
gejala dan tekanan intrakranial yang meningkat. Serta dibantu dengan penegakan
diagnosis seperti transluminasi kepala, ultrasonografi kepala bila ubun-ubun besar
belum menutup. Pada pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan pungsi ventrikel
melalui foramen fontanel mayor yang akan menunjukkan tanda peradangan dan
perdarahan baru atau lama. Juga dapat menentukan tekanan ventrikel. CT scan dan
MRI pada bayi merupakan pemeriksaan penting untuk mengidentifikasi penyebab
spesifik dan tingkat keparahan hidrosepalus.4

10
2.1.9 DIAGNOSIS BANDING
Berdasarkan gambaran radiologi, hidrosefalus memiliki gambaran yang hampir
sama dengan holoprosencephaly dan hydraencephaly.
1) Holoprosencephaly
Holoprosencephaly merupakan gangguan perkembangan otak yang
merupakan hasil dari kegagalan pembentukan proensepalon dan di induksi
oleh struktur otak depan yang tidak adekuat. Holoproensefal
diklasifikasikan dalam 3 kelompok : alobar, semilobar dan lobar, tergantung
pada derajat kelinan pembelahannya. Kelainan wajah termasuk cyclopia,
lubang hidung tunggal, gigi seri sentral soliter serta agenesis premaxillary
adalah gejala yang umum terjadi pada kasus yang berat, Karena mesoderm
precordal menginduksi proensefalon yang berfungsi untuk mnginduksi
struktur median wajah.

11
2) Hidraensefali 6
Hidraensefali terdapat atrofi dari hemisfer serebri atau diwakili oleh
kantong membrane yang berisi CSS dengan sisa-sisa bagian frontal,
temporal atau oksipital yang tersebar diatas membrane. Midbrain dan
batang otak relatif utuh. Penyebab hidraensefali tidak diketahui, tetapi
banyak teori yang menjelaskan karena adanya oklusi bilateral pada arteri
karotis interna selama perkembangan awal janin yang akan menyebabkan
kelainan patologis ini. Bayi yang terkena dampak dapat memiliki lingkaran
kepala normal atau membesar saat lahir yang akan tumbuh secara
berlebihan saat pasca lahir. Klinisnya pasien mudah tersinggung, malas
menyusu, kejang dan memiliki sedikit atau tidak sama sekali perkembangan
kognitif. Pemeriksaan transluminasi menunjukan tidak adanya hemisfer
serebri. Penatalaksanaan vp shunt dapat mencegah pembesaran kepala.

2.1.10 PENATALAKSANAAN
1) Terapi konservatif medikamentosa
Untuk membatasi evolusi hidrosefalus melalui upaya mengurangi sekresi
cairan dari pleksus koroidalis (asetazolamide 8-30 mg/kgBB/hari dapat
digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan furosemid 1,2 mg/kgBB/hari).
Dimana efek dari obat ini dapat mensekresi CSS secara cepat. Terapi diatas
hanya bersifat sementara sebelum dilakukan terapi defenitif diterapkan atau
bila ada harapan kemungkinan pulihnya gangguan hemodinamik tersebut,
sebaliknya terapi ini tidak efektif untuk pengobatan jangka panjang mengingat
adanya resiko terjadinya gangguan metabolik.2,7,8
2) Ventriculoperitoneal shunting
Sebagian besar kasus hidrosepalus memerlukan shunt ekstrakranial, terutama
ventrikuloperitoneal cara yang paling umum untuk mengobati hidrosefalus.
Dalam ventrikuloperitoneal (VP) shunting, tube dimasukkan melalui lubang
kecil di tengkorak ke dalam ruang (ventrikel) dari otak yang berisi cairan
serebrospinal (CSF). Tube ini terhubung ke tube lain yang berjalan di bawah
kulit sampai ke perut, di mana ia memasuki rongga perut (rongga peritoneal).
Shunt memungkinkan CSS mengalir keluar dari ventrikel dan ke rongga perut

12
di mana ia diserap. Biasanya, katup dalam sistem membantu mengatur aliran
cairan. Komplikasi utama shunting adalah terjadinya oklusi (ditandai dengan
sakit kepala, papilledema, emesis, perubahan status mental) dan infeksi bakteri
(demam, sakit kepala) biasanya disebabkan oleh Staphylococcus
epidermidis.2,6

Gambar 4: VP shunt

2.1.11 PROGNOSIS
Prognosis tergantung pada ketepatan waktu diagnosis, penyebab ventrikel
yang melebar dan keberhasilan pengobatan. Individu yang terkena dan keluarga
mereka harus menyadari bahwa hidrosefalus dapat menimbulkan risiko baik dari
segi kognitif maupun fisik pasien.
Gejala-gejala hidrosefalus dengan tekanan normal biasanya memburuk dari
waktu ke waktu jika tidak diobati. Sementara keberhasilan pengobatan dengan
shunt bervariasi dari orang ke orang, beberapa orang sembuh hampir sepenuhnya
setelah perawatan dan memiliki kualitas hidup yang baik. Diagnosis dini dan
pengobatan meningkatkan kesempatan pemulihan yang baik.

13
2.2 PNEUMONIA
2.2.1 DEFINISI
Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. Sebagian besar
disebabkan oleh mikroorganismae (virus/bakteri) dan sebagian kecil disebabkan
oleh hal lain seperti aspirasi, radiasi dan lain-lain.5 Bronkopenumonia merupakan
radang dari saluran pernapasan yang terjadi pada bronkus sampai dengan alveolus
paru. Bronkopneumonia lebih sering dijumpai pada anak kecil dan bayi, biasanya
sering disebabkan oleh bakteri streptokokus pneumonia dan Hemofilus influenza
yang sering ditemukan pada dua pertiga dari hasil isolasi.8

2.2.2 EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian pneumonia di Amerika dan Eropa yang merupakan negara
maju masih tinggi, diperkirakan setiap tahunnya 30-45 kasus per 1000 anak pada
umur kurang dari 5 tahun, 16-20 kasus per 1000 anak pada umur 5-9 tahun, 6-12
kasus per 1000 anak pada umur 9 tahun dan remaja. Selain itu, pneumonia
merupakan penyebab kematian terbesar pada anak terutama di negara berkembang. 9
Sedangkan angka kejadian pneumonia di Indonesia yang merupakan negara
berkembang ialah pada tahun 2011 didapatkan 480.033 kasus pneumonia pada
balita dengan angka kejadian tertinggi pada provinsi Jawa Barat sebesar 39,11%.
Pada tahun sebelumnya, yaitu tahun 2010, insiden pneumonia pada balita
ditemukan lebih tinggi yaitu 499.259 kasus dengan insiden tertinggi pada provinsi
Nusa Tenggara Barat sebesar 64,49% dan Sumatera Barat termasuk sepuluh
provinsi dengan insiden pneumonia tertinggi pada balita di Indonesia yaitu sebesar
10.544 kasus.6
Angka kejadian pneumonia di Sumatera Barat setiap tahunnya meningkat,
terbukti pada tahun 2012 diperkirakan terdapat 48.591 anak menderita pneumonia
yang didapat dari komunitas dan Kota Padang merupakan daerah yang memiliki
angka kejadian tertinggi yaitu sebesar 8.670 kasus.6,7
Pada bayi ditemukan Staphylococcus aureus sebagai penyebab

pneumonia berat, serius dan sangat progresif dengan mortalitas tinggi. 2

Pneumonia yang disebabkan oleh infeksi Respiratory Syncytial Virus (RSV)

14
didapatkan sebanyak 40%.9 Pada penelitian yang dilakukan oleh Yudhi

Kurniawan selama tahun 2010 ditemukan pneumonia anak lebih banyak pada

anak laki-laki dan berusia 0-1 tahun.10

2.2.3 ETIOLOGI
Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh infeksi mikroorganisme (virus,
bakteri, jamur, parasit) dan sebagain kecil disebabkan oleh hal lain, seperti aspirasi
makanan dan asam lambung, benda asing, senyawa hidrokarbon, reaksi
hipersensitivitas, dan drug – or radiation induced pneumonitis. (Priyanti, Nelson)
Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting pada perbedaan dan
kekhasan penumonia anak terutama dalam spektrum etiologi, gambaran klinis, dan
strategi pengobatan.5
Pada neonatus sering terjadi pneumonia akibat transmisi vertikal ibu – anak
yang berhubungan dengan proses persalinan. Infeksi terjadi akibat kontaminasi
dengan sumber infeksi dari ibu, misalnya melalui aspirasi mekoneum, cairan
amnion, atau dari serviks ibu. Spektrum mikroorganisme penyebab pada neonatus
dan bayi kecil meliputi Streptococcus group B, Chlamydia trachomatis, dan bakteri
Gram negatif seperti E. coli, Pseudomonas sp, atau Klebsiella sp. disamping bakteri
utama penyebab pneumonia yaitu Streptococcus pneumoniae. Infeksi oleh
Chlamydia trachomatis akibat transmisi dari ibu selama proses persalinan sering
terjadi pada bayi di bawah 2 bulan. Penularan transplasenta juga dapat terjadi
dengan mikroorganisme Toksoplasma, Rubela, virus Sitomegalo, dan virus Herpes
simpleks ( TORCH ), Varisela – Zoster, dan Listeria monocytogenes.
Pada bayi yang lebih besar dan anak balita, pneumonia lebih sering
disebabkan oleh infeksi Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenzae tipe
B, dan Staphylococcus aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja,
selain bakteri tersebut, sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae. 5,8
Di negara maju, pneumonia pada anak tertuama disebabkan oleh virus, di
samping bakteri, atau campuran bakteri dan virus. Virkki dkk. melakukan penelitian
pada pneumonia anak dan menemukan etiologi virus saja sebanyak 32%, campuran
bakteri dan virus 30%, dan bakteri saja 22%. Virus yang terbanyak menyebabkan
pneumonia antara lain adalah Respiratory Synctial Virus (RSV), Rhinovirus, dan

15
virus Parainfluenzae. Bakteri yang terbanyak adalah Streptococcus pneumoniae,
Haemophillus influenzae tipe B, dan Mycoplasma pneumoniae. Kelompok anak
berusia 2 tahun ke atas mempunyai etiologi infeksi bakteri yang lebih banyak
dibandingkan dengan anak berusia di bawah 2 tahun. Namun, secara klinis
umumnya pneumonia bakteri sulit dibedakan dengan pneumonia virus. Daftar
etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia yang bersumber dari
data di negara maju dapat terlihat pada Tabel 1.

Tabel 2.1. Etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia di negara
maju.5
USIA ETIOLOGI YANG SERING ETIOLOGIYANG JARANG
Lahir – 20 hari BAKTERI BAKTERI
E. colli Bakteri anaerob
Streptococcus group B Streptococcus group D
Listeria monocytogenes Haemophillus influenzae
Streptococcus pneumoniae
Ureaplasma urealyticum
VIRUS
Virus Sitomegalo
Virus Herpes simpleks
3 minggu – 3 BAKTERI BAKTERI
bulan Chlamydia trachomatis Bordetella pertussis
Streptococcus pneumoniae Haemophillus influenzae tipe
B
VIRUS Moraxella catharalis
Virus Adeno Staphylococcus aureus
Virus Influenza Ureaplasma urealyticum
Virus Parainfluenza 1, 2, 3 VIRUS
Respitatory Syncytical Virus Virus Sitomegalo
4 bulan – 5 tahun BAKTERI BAKTERI

16
Chlamydia pneumoniae Haemophillus influenzae tipe
B
Mycoplasma pneumoniae Moraxella catharalis
Streptococcus pneumoniae Neisseria meningitidis
VIRUS Staphylococcus aureus
Virus Adeno VIRUS
Virus Influenza Virus Varisela-Zoster
Virus Parainfluenza
Virus Rino
Respiratory Synncytial virus
5 tahun – remaja BAKTERI BAKTERI
Chlamydia pneumoniae Haemophillus influenzae
Mycoplasma pneumoniae Legionella sp
Streptococcus pneumoniae Staphylococcus aureus
VIRUS
Virus Adeno
Virus Epstein-Barr
Virus Influenza
Virus Parainfluenza
Virus Rino
Respiratory Syncytial Virus
Virus Varisela-Zoster

2.2.4 FAKTOR RISIKO PNEUMONIA PADA ANAK


Terdapat berbagai faktor risiko yang menyebabkan tingginya angka
mortalitas pneumonia pada anak balita di negara berkembang. Faktor risiko tersebut
yaitu :
1. Umur

Anak-anak yang berusia 0-24 bulan lebih rentan terhadap penyakit


pneumonia dibanding anak-anak yang berusia diatas 2 tahun karena

17
imunitas yang belum sempurna dan saluran pernapasan yang cukup
sempit.3
2. Jenis Kelamin

Anak laki-laki mempunyai risiko pneumonia sebesar 1,5 kali


dibandingkan dengan perempuan karena diameter saluran
pernapasan anak laki-laki lebih kecil dibandingkan dengan anak
perempuan atau adanya perbedaan dalam daya tahan tubuh antara
anak laki-laki dan perempuan.13
3. Berat badan lahir

Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) mempunyai risiko


kematian yang lebih besar dibandingkan dengan berat badan lahir
normal terutama pada bulan-bulan pertama kelahiran karena
pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih
mudah terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia dan penyakit
saluran napas lainnya.14
4. Imunisasi yang tidak lengkap

Sebagian besar tingkat kematian yang disebabkan oleh ISPA berasal


dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi seperti difteri, pertusis dan campak. Peningkatan
cakupan imunisasi akan berperan besar dalam upaya pemberantasan
ISPA, salah satunya pneumonia. Bayi dan balita yang mempunyai
status imunisasi lengkap bila menderita ISPA dapat diharapkan
perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat.14
5. Tidak mendapat ASI yang adekuat

Air Susu Ibu (ASI) mengandung nutrisi, antioksidan, hormon dan


antibodi yang dibutuhkan oleh anak untuk bertahan dan berkembang
serta sebagai sistem kekebalan tubuh anak yang baik. Apabila anak
tidak mendapatkan ASI yang adekuat maka tubuhnya rentan terkena
infeksi, salah satunya pneumonia.15
6. Status gizi

18
Anak-anak dengan gizi buruk mempunyai risiko pneumonia sebesar
2,6 kali dibanding dengan anak yang mempunyai gizi baik.
Kekurangan gizi akan menurunkan kapasitas kekebalan untuk
merespon infeksi pneumonia termasuk gangguan fungsi granulosit,
penurunan fungsi komplemen dan menyebabkan kekurangan
mikroprotein.13
7. Defisiensi vitamin A

Hasil penelitian di Sumatera Selatan menggambarkan bahwa balita


yang tidak mendapatkan vitamin A dosis tinggi lengkap mempunyai
peluang 3,8 kali terkena pneumonia dibanding anak yang
mempunyai riwayat pemberian vitamin A dosis tinggi lengkap.21
Pemberian vitamin A berperan sebagai proteksi melawan infeksi
dengan memelihara integritas epitel/fungsi barrier, kekebalan tubuh
serta mengatur pengembangan dan fungsi paru.16
8. Tingginya prevalens kolonisasi bakteri patogen di nasofaring
Streptococcus pneumoniae sering ditemukan di nasofaring manusia.
Penelitian di Lombok memperlihatkan pada usap tenggorok anak
usia kurang dari 2 tahun ditemukan S.pneumoniae 48%.17

9. Immunocompromised

Anak-anak dengan penurunan daya tahan tubuh memiliki risiko


lebih tinggi terkena pneumonia. Penyakit HIV dan campak yang
sudah ada sebelumnya bisa meningkatkan risiko anak tertular
pneumonia.18
10. Tingginya pajanan terhadap polusi udara

Anak-anak yang terpapar asap rokok atau asap kayu kompor dan
anak-anak dari tingkat sosial ekonomi rendah memiliki insiden yang
lebih tinggi terkena pneumonia. Pada penelitian yang dilakukan oleh
Niessen dkk (2009), ditemukan cara untuk mengurangi polusi udara
dalam ruangan yaitu beralih ke bahan bakar gas (bahan bakar gas
cair, minyak tanah atau etanol) dalam rumah tangga atau kompor
biomassa dan meningkatkan ventilasi didalam rumah. Dengan

19
menggunakan intervensi ini dapat mengurangi kejadian pneumonia
sebesar 22-46%.19
11. Kepadatan Hunian

Semakin banyak penghuni rumah berkumpul dalam suatu ruangan


kemungkinan mendapatkan risiko untuk terjadinya penularan
penyakit akan lebih mudah, khususnya bayi yang relatif lebih rentan
terhadap penularan penyakit. Anak balita yang tinggal di rumah
dengan tingkat hunian padat mempunyai risiko pneumonia 2,7 kali
lebih besar dibandingkan anak balita yang tinggal di rumah dengan
tingkat hunian tidak padat.20
12. Ventilasi udara rumah

Ventilasi mempunyai fungsi sebagai sarana sirkulasi udara segar


masuk ke dalam rumah dan udara kotor keluar rumah. Rumah yang
tidak dilengkapi sarana ventilasi akan menyebabkan suplai udara
segar dalam rumah menjadi sangat minimal. Kecukupan suplai
udara akan berpengaruh pada fungsi fisiologis alat pernapasan bagi
penghuninya, terutama bagi bayi dan balita. Balita yang menghuni
rumah dengan ventilasi yang tidak baik mempunyai peluang untuk
terjadinya pneumonia sebesar 4,2 kali dibandingkan dengan balita
yang menghuni rumah dengan ventilasi yang baik.21
Faktor predisposisi yang lain untuk terjadinya pneumonia adalah adanya
kelainan anatomi kongenital (contoh fistula trakeaesofagus, penyakit jantung
bawaan), gangguan fungsi imun (penggunaan sitostatika dan steroid jangka
panjang, gangguan sistem imun terkait penyakit tertentu seperti HIV), campak,
pertusis, gangguan neuromuskular, kontaminasi perinatal, dan gangguan klirens
mukus/ sekresi seperti pada fibrosis kistik, aspirasi benda asing atau disfungsi
silier.9

20
2.2.5 KLASIFIKASI PNEUMONIA PADA ANAK
Pneumonia diklasifikasikan menurut agen etiologinya, lokasi dan luas paru
yang terkena.
1. Menurut klinis dan epidemiologi :
a. Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia)
b. Pneumonia nosokomial (hospital-acquired pneumonia)
c. Pneumonia aspirasi
d. Pneumonia pada penderita immunocompromised
2. Menurut agen etiologinya :
a. Pneumonia bakterial/tipikal.
b. Pneumonia atipikal, disebabkan oleh Mycoplasma, Legionella
dan Chlamydia
c. Pneumonia virus
d. Pneumonia jamur, sering merupakan infeksi sekunder.
Predileksi terutama pada penderita dengan daya tahan tubuh
lemah (immunocompromised) (Soedarsono, 2010).
3. Menurut lokasinya :
a. Pneumonia lobaris menyerang segmen luas pada satu lobus atau
lebih
b. Bronkopneumonia dimulai pada ujung bronkiolus dan mengenai
lobulus yang terdekat
c. Pneumonia intersisial menyerang dinding alveolus dan jaringan
peribronkial serta lobular
Adapun penentuan klasifikasi klinis penyakit pneumonia dibagi menjadi
dua kelompok, yaitu kelompok umur 2 bulan - <5 tahun dan kelompok umur < 2
bulan. Untuk anak berumur 2 bulan - <5 tahun , klasifikasi dibagi atas bukan
pneumonia, pneumonia dan pneumonia berat sedangkan untuk kelompok umur < 2
bulan, maka diklasifikasikan atas bukan pneumonia dan pneumonia berat.23
Tabel 2.2 Klasifikasi Klinis Pneumonia pada Balita Menurut Kelompok Umur

21
Sumber : Pedoman Tatalaksana Pneumonia Balita.23

2.2.6 FISIOLOGI
Mekanisme daya tahan traktus respiratorius bagian bawah sangat efisien
untuk mencegah infeksi dan terdiri dari:
1. Susunan anatomis rongga hidung
2. Jaringan limfoid di nasoorofaring
3. Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius dan
sekret yang dikeluarkan oleh set epitel tersebut.
4. Refleks batuk
5. Refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang terinfeksi.
6. Drainase sistem limfatik dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional.
7. Fagositosis, aksi enzimatik dan respons imuno-humoral terutama dari
imunoglobulin A (IgA).

22
Gambar 2.1: Sistem respirasi Manusia

Gambar 2.2: Sistem respirasi Manusia


2.2.7 PATOFISIOLOGI
Pneumonia anak biasanya diawali dengan kolonisasi di nasofaring yang
berlanjut menjadi infeksi saluran pernapasan bagian bawah. Streptococcus
pneumoniae sering ditemukan sebagai bakteri komensal di nasofaring manusia.
Penelitian di Lombok memperlihatkan pada usap tenggorok anak usia kurang dari
2 tahun ditemukan S.pneumoniae pada 48% anak yang diteliti.17
Organisme yang menyebabkan infeksi saluran nafas bagian bawah biasanya
ditularkan secara langsung melalui droplet atau secara tidak langsung melalui
fomites yang terkontaminasi. Umumnya mikroorganisme penyebab terhisap ke
paru bagian perifer melalui saluran respiratori. Mula-mula terjadi edema akibat
reaksi jaringan yang mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan

23
sekitarnya. Bagian paru yang terkena mengalami konsolidasi, yaitu terjadi serbukan
sel PMN, fibrin, eritrosit, cairan edema, dan ditemukannya kuman di alveoli.
Stadium ini disebut stadium hepatisasi merah. Selanjutnya deposit fibrin semakin
bertambah, terdapat fibrin dan leukosit PMN di alveoli dan terjadi proses
fagositosis yang cepat. Stadium ini disebut stadium hepatisasi kelabu. Selanjutnya
jumlah makrofag meningkat di alveoli, sel akan mengalami degenerasi, fibrin
menipis, kuman dan debris menghilang. Stadium ini disebut stadium resolusi.
Sistem bronkopulmoner jaringan paru yang tidak terkena akan tetap normal.5
Beberapa bakteri sering menimbulkan gambaran patologis tertentu bila
dibandingkan dengan bakteri lain. Infeksi Streptococcus pneumoniae biasanya
bermanifestasi sebagai bercak-bercak konsolidasi merata di seluruh lapangan paru
(bronkopneumonia), dan pada anak besar atau remaja dapat berupa konsolidasi
pada satu lobus (pneumonia lobaris). Pneumotokel atau abses-abses kecil sering
disebabkan oleh Staphylococcus aureus pada neonatus atau bayi, karena
Staphylococcus aureus menghasilkan berbagai toksin dan enzim seperti hemolisin,
lekosidin, stafilokinase dan koagulase. Toksin dan enzim ini menyebabkan
nekrosis, perdarahan dan kavitasi. Koagulase berinteraksi dengan faktor plasma dan
menghasilkan bahan aktif yang mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin, sehingga
terjadi eksudat fibrinopurulen. Terdapat korelasi antara produksi koagulase dan
virulensi kuman. Staphylococcus yang tidak menghasilkan koagulase jarang
menimbulkan penyakit yang serius.5

2.2.8 MANIFESTASI KLINIS

Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar dari ringan
hingga sedang. Hanya sebagian kecil yang berat, mengancam kehidupan, dan
mungkin terjadi komplikasi sehingga perlu dirawat. Beberapa faktor yang
mempengaruhi gambaran klinis pada anak adalah imaturitas anatomik dan
imunologik, mikroorganisme penyebab yang luas, gejala klinis yang tidak khas
terutama pada bayi, terbatasnya penggunaan prosedur diagnostik invasif, etiologi
noninfeksi yang relatif lebih sering, dan faktor patogenesis.
Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung berat ringannya
infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut:

24
Gambaran infeksi umum :
o demam: suhu bisa mencapai 39 – 40 oC
o sakit kepala
o gelisah
o malaise
o penurunan nafsu makan
o keluhan gastrointestinal, seperti mual, muntah, atau diare
o kadang – kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner
Gambaran gangguan respiratori :
o batuk yang awalnya kering kemudian menjadi produktif
o sesak nafas
o retraksi dada
o takipnea
o napas cuping hidung
o penggunaan otat pernafasan tambahan
o air hunger
o merintih
o sianosis
Bronkopneumonia biasanya di dahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas
selama beberapa hari. Batuk mungkin tidak dijumpai pada anak – anak. Bila
terdapat batuk, batuk berawal kering lalu berdahak. Pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan tanda klinis seperti vokal fremitus yang meningkat pada daerah terkena,
pekak perkusi atau perkusi yang redup pada daerah yang terkena, suara napas
melemah, suara napas bronkial, dan ronki. Akan tetapi pada neonatus dan bayi
kecil, gejala dan tanda pnuemonia lebih beragam dan tidak selalu terlihat jelas. Pada
perkusi dan auskultasi paru umumnya tidak ditemukan kelainan.5

2.2.9 DIAGNOSIS
Diagnosis pneumonia dilakukan dengan berbagai cara. Pertama dengan
anamnesa dan pemeriksaan fisik secara umum. Setelah itu ada pula pemeriksaan
penunjang seperti rontgen paru dan pemeriksaan darah. Faktor usia juga ikut

25
menentukan dugaan pola kuman penyebabnya serta gejala klinis yang didapatkan
dari anamnesa dan pemeriksaan fisik.9
Gambaran klinis pada anak penderita pneumonia yang didapatkan dari
anamnesa adalah batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang-kadang disertai
darah, demam, sesak napas dan nyeri dada. Sedangkan dari pemeriksaan fisik pada
inspeksi terlihat takipnea dan adanya retraksi dinding dada. Pada palpasi fremitus
dapat mengeras, pada perkusi redup, dan pada auskultasi terdengar suara napas
(bronkovesikuler) sampai bronkial, dapat disertai ronkhi basah halus, yang
kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi.22
Frekuensi pernapasan anak untuk mengidentifikasi pneumonia menurut
WHO sebagai berikut :
a. Anak umur < 2 bulan : ≥ 60 kali/menit
b. Anak umur 2-11 bulan : ≥ 50 kali/menit
c. Anak umur 12-59 bulan : ≥ 40 kali/menit (WHO, 2013)

2.2.10 PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Darah Perifer Lengkap
Pada pneumonia virus dan mikoplasma, umumnya ditemukan leukosit
dalam batas normal atau sedikit meningkat. Akan tetapi pada pneumonia bakteri
didapatkan leukositosis yang berkisar antara 15.000 – 40.000 / mm3 dengan
predominan PMN. Leukopenia ( < 5.000 / mm3 ) menunjukkan prognosis yang
buruk. Leukositosis hebat hampir selalu menunjukkan adanya infeksi bakteri sering
ditemukan pada keadaan bakteremi, dan risiko terjadinya komplikasi lebih tinggi.
Pada infeksi Clamydia pneumoniae kadang – kadang ditemukan eosinofilia. Efusi
pleura merupakan cairan eksudat dengan sel PMN berkisar antara 300 – 100.000 /
mm3, protein > 2,5 g/dL, dan glukosa relatif lebih rendah dibandingkan glukosa
darah. Kadang – kadang terdapat anemia ringan dan laju endap darah ( LED ) yang
meningkat. Trombositopeni dapat ditemukan pada 90% penderita pneumonia
dengan empiema. Secara umum hasil pemeriksaan darah perifer tidak dapat
membedakan antara infeksi virus dan infeksi bakteri secara pasti.5

b. C-Reactive Protein dan LED

26
CRP adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit. Sebagai
respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP secara cepat distimulasi oleh
sitokin, terutama IL – 6, IL – 1, dan TNF. Meskipun fungsinya belum diketahui,
CRP sangat mungkin berperan dalam opsonisasi mikroorganisme atau sel yang
rusak. Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan
antara faktor infeksi dan non infeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi bakteri
superfisialis dan profunda, dimana kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi
virus dan infeksi bakteri superfisialis dibandingkan infesksi bakteri profunda.5

c. Pemeriksaan Foto Thoraks


Foto toraks dengan proyeksi antero – posterior merupakan dasar diagnosis
untuk pneumonia. Foto lateral dilakukan bila diperlukan informasi tambahan,
misalnya efusi pleura. Kelainan foto toraks pada pneumonia tidak selalu
berhubungan dengan gambaran klinis. Kadang – kadang bercak – bercak sudah
ditemukan pada gambaran radiologis sebelum timbul gejala klinis. Akan tetapi,
resolusi infiltrat sering memerlukan waktu yang lebih lama setelah gejala klinis
menghilang. Pada pasien dengan pneumonia tanpa komplikasi, ulangan foto
rontgen tidak diperlukan. Ulangan foto rontgen toraks diperlukan bila gejala klinis
menetap, penyakit memburuk, atau untuk tidak lanjut. Secara umum gambaran foto
toraks terdiri dari: 5
− Pneumonia / infiltrat interstisial: ditandai dengan peningkatan corakan
bronkovaskular, peribronchial cuffing, dan hiperaerasi. Biasanya
disebabkan oleh virus atau Mycoplasma. Bila berat dapat terjadi patchy
consolidation karena atelektasis
− Infiltrat alveolal : merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram.
Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut dengan pneumonia lobaris,
atau terlihat sebagai lesi tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk
sferis, berbatas yang tidak terlalu tegas, dan menyerupai lesi tumor paru,
dikenal sebagai round pneumonia. Biasanya disebabkan oleh bakteri
pnuemokokus atau bakteri lain.

27
− Bronkopneumonia : ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua
paru, berupa bercak – bercak infiltrat halus yang dapat meluas hingga daerah
perifer paru, disertai dengan peningkatan corakan peribronkial.

Gambar 2.3 Perbedaan Bronkopneumonia dan Pneumonia Lobaris

Gambaran foto rontgen toraks pada anak meliputi infiltrat ringan pada satu
paru hingga konsolidasi luas pada kedua paru. Pada suatu penelitian ditemukan
pneumonia pada anak terbanyakk di paru kanan, terutama lobus atas. Bila
ditemukan di lobus kiri, dan terbanyak di lobus bawah, maka hal tersebut
merupakan prediktor perjalanan penyakit yang lebih berat dengan risiko terjadinya
pleuritis lebih meningkat. 5
Gambaran foto toraks pada pneumonia dapat membantu mengarahkan
kecenderungan etiologi pneumonia. Penebalan peribronkial, infiltrat interstisial
merata, dan hiperinflasi cenderung terlihat pada pneumonia virus. Infiltrat alveolar
berupa konsolidasi segmen atau lobar, bronkopnumonia, dan air bronchogram
sangat mungkin disebabkan oleh bakteri. Pada pneumonia Stafilokokus sering
ditemukan abses – abses kecil dan pneumoatokel dengan berbagai ukuran. 5
Gambaran foto toraks pada pneumonia Mikoplasma sangat bervariasi. Pada
beberapa kasus terlihat sangat mirip dengan gambaran foto rontgen toraks
pneumonia virus. Selain itu, dapat juga ditemukan gambaran bronkopneumonia
terutama di lobus bawah, inflitrat interstisial retikulonodular bilateral, dan yang
jarang adalah konsolidasi segmen atau subsegmen. Biasanya gambaran foto toraks

28
yang jauh lebih berat dibandingkan gejala klinis. Meskipun tidak terdapat gambaran
foto toraks yang khas, tetapi bila ditemukan gambaran retikulonodular fokal pada
satu lobus, hal ini cenderung disebabkan oleh infeksi Mikoplasma. Demikian pula
bila ditemukan gambaran perkabutan atau ground – glass consolidation, serta
transient pseudoconsolidation. 5

d. Pemeriksaan Mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologis untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin
dilakukan kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di RS. Untuk pemeriksaan
mikrobiologik, spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret nasofaring,
bilasan bronkus, darah, pungsi pleura, atau aspirasi paru. Pemeriksaan sputum
kurang berguna. Diagnosis dikatakan definitif apabila kuman ditemukan dalam
darah, cairan pleura, atau aspirasi paru, kecuali pada masa neonatus, dimana
kejadian bakteremia sangat rendah sehingga kultur darah jarang positif. 5

e. Uji Serologis
Uji serologis untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri
tipik mempunyai sensitivitas yang rendah dan secara umum tidak terlalu
bermanfaat dalam mendiagnosis infeksi bakteri atipik. 5

2.2.11 DIAGNOSIS BANDING


a. Pneumonia lobaris
Biasanya pada anak yang lebih besar disertai badan menggigil dan
kejang pada bayi kecil. Suhu naik cepat sampai 39 – 40 oC dan biasanya tipe
kontinua. Terdapat sesak nafas, nafas cuping hidung, sianosis sekitar hidung
dan mulut dan nyeri dada. Anak lebih suka tidur pada sisi yang terkena.
Pada foto rotgen terlihat adanya konsolidasi pada satu atau beberapa lobus. 24
b. Bronkioloitis
Diawali infeksi saluran nafas bagian atas, subfebris, sesak nafas,
nafas cuping hidung, retraksi intercostal dan suprasternal, terdengar
wheezing, ronki nyaring halus pada auskultasi. Gambaran labarotorium

29
dalam batas normal, kimia darah menggambarkan asidosis respiratotik
ataupun metabolik.24
c. Aspirasi benda asing
Ada riwayat tersedak, stridor atau distress pernapasan tiba – tiba,
wheezing atau suara pernapasan yang menurun yang bersifat fokal.24

d. Tuberkulosis
Pada TB, terdapat kontak dengan pasien TB dewasa, uji tuberkulin
positif ( > 10 mm atau pada keadaan imunosupresi > 5 mm ), demam 2
minggu atau lebih, batuk 2 minggu atau lebih, pertumbuhan buruk/kurus
atau berat badan menurun, pembengkakan kelenjar limfe leher, aksila,
inguinal yang spesifik, pembengkakan tulang/sendi punggung, panggulm
lutut, dan falang, dan dapat disertai nafsu makan menurun dan malaise yang
dapat ditegakkan melalui skor TB.24

e. Atelektasis
Adalah pengembangan tidak sempurna atau kempisnya bagian paru
yang seharusnya mengandung udara. Dispnoe dengan pola pernafasan cepat
dan dangkal, takikardia, sianosis. Perkusi mungkin batas jantung dan
mediastinum akan bergeser dan letak diafragma mungkin meninggi.24

2.2.12 PENATALAKSANAAN
a. Tatalaksana Umum
- Pemberian Oksigen dengan target saturasi > 92%
- Pada pneumonia berat atau asupan oral kurang → balance cairan ketat
- Analgetik-antipiretik dapat diberikan untuk menjaga kenyamanan pasien
dan mengontrol batuk
- Nebulisasi dengan B2 Agonis dan / atau NaCl dapat diberikan untuk
memperbaiki mucocilliary clearance25
b. Pemberian Antibiotik
- Amoksisilin menjadi pilihan pertama untuk antibiotik oral jika curiga S.
Pneumoniae yang menjadi patogen dan diberikan pada anak <5 tahun

30
karena efektif melawan sebagian besar patogen yang menyebabkan
pneumonia pada anak, ditoleransi dengan baik dan murah. Alternatifnya
adalah co-Amoxiclav, ceflacor, eritromisin, claritromisin dan azitromisin.
- Makrolid diberikan jika curiga disebabkan oleh M. Pneumonia atau C.
Pneumonia. Dan diberikan sebagai pilihan utama secara empiris padaanak
usia > 5 tahun.
- Makrolid atau flucloxacillin + amoksisilin diberikan jika disebabkan oleh S.
Aureus
- Antibiotik intravena diberikan jika pasientidak dapat menerima obat oral
(misal karena muntah) atau termasuk pneumonia berat.
- Antibiotik intravena : ampisilin dan kloramfenikol, co-amoxiclav,
ceftriakson, cefuroksim, cefotaksim.25

2.13 KOMPLIKASI
Komplikasi pneumonia pada anak meliputi empyema torasis, purulenta,
pneumotoraks, abses paru, dan gagal napas akut. Selain itu, dapat terjadi infeksi
ekstrapulmonal seperti meningitis, abses sistem saraf pusat, perikarditis,
endokarditis, dan osteomielitis. Sepsis dan sindrom hemolitik uremik dapat terjadi
sebagai komplikasi sistemik. Efusi dan empiema merupakan komplikasi tersering
yang terjadi pada pneumonia.5

31
BAB 3
LAPORAN KASUS

Identitas Pasien
• Nama : RAZ
• Umur : 4 bulan 2 hari ( 13-08-2022 )
• Jenis kelamin : Perempuan
• No MR : 01.15.82.25
• Nama ayah / ibu : Tn. D / Ny. M
• Alamat : Solok Selatan
• Tanggal pemeriksaan : 12 Desember 2022

Anamnesis
Keluhan Utama
Sesak napas bertambah sejak 12 jam sebelum masuk Rumah Sakit.
Riwayat Penyakit Sekarang
• Batuk sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit, dan semakin bertambah
sejak 2 hari yang lalu, batuk berdahak, dahak tidak dapat dikeluarkan,
disertai pilek.
• Sesak napas bertambah sejak 2 hari sebelum masuk Rumah Sakit terus
menerus, tidak menciut, tidak dipengaruhi aktivitas, cuaca maupun
makanan.
• Demam sejak 1 minggu sebelum masuk Rumah Sakit, demam tinggi, hilang
timbul, tidak disertai berkeringat maupun menggigil serta tidak disertai
kejang.
• Muntah sejak 2 hari yang lalu yang terjadi setelah batuk, frekuensi 2-3 kali
sebanyak ½ - 1 sendok makan
• Muntah keluar lewat hidung disangkal
• Tampak pucat disadari orang tua 12 jam sebelum masuk rumah sakit,
perdarahan kulit, hidung, mulut tidak ada
• Tangan dan kaki kaku sejak 1 minggu yang lalu, kejang disangkal

32
• Kepala tampak semakin membesar sejak usia 2 minggu, anak belum bisa
miring kiri-kanan
• Anak mendapat susu formula sejak lahir, max 20-30cc/1-2jam
• BAB warna dan konsistensi biasa. BAK warna dan jumlah biasa.
• Riwayat kontak dengan penderita TB disangkal

Riwayat Penyakit Dahulu


Anak memiliki riwayat demam saat usia 1 minggu, dirawat 1 minggu di RS
Swasta dan kepala tampak membesar.

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan yang sama

Riwayat Persalinan
• Lama hamil : Kurang bulan (34-35 minggu)
• Cara lahir : Spontan
• Ditolong oleh : Bidan
• Berat lahir : 2100 g
• Panjang lahir : - cm
• Saat lahir : Langsung menangis lemah
• Kesan : Riwayat persalinan spontan kurang bulan

Riwayat Makanan dan Minuman


• Bayi
o ASI : 0 bulan sampai sekarang
o Susu formula : 0 bulan sampai sekarang
o Buah biskuit : -
o Bubur susu :-
o Nasi tim :-
o Makanan utama : -
• Anak
o Makan utama : -

33
o Daging :-
o Ikan :-
o Telur :-
o Sayur :-
o Buah :-
• Kesan : kualitas baik.

Riwayat Imunisasi
Imunisasi Dasar (Umur) Booster (Umur)
BCG - -
DPT 1 - -
2 - -
3 - -
Polio 1 1 bulan -
2 - -
3 - -
Hepatitis B 1 - -
2 - -
3 - -
Haemofilus influenza B 1 - -
2 - -
3 - -
Campak - -
Kesan : Imunisasi dasar tidak lengkap

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan


Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Umur
Tertawa -
Miring -
Tengkurap -
Duduk -
Merangkak -

34
Berdiri -
Lari -
Gigi pertama -
Bicara -
Membaca -
Prestasi di sekolah -
Riwayat Gangguan Perkembangan Mental Umur
Isap jempol -
Gigit kuku -
Sering mimpi -
Mengompol -
Aktif sekali -
Apatik -
Membangkang -
Ketakutan -
Pergaulan jelek -
Kesukaran belajar -
Kesan: Pertumbuhan dan perkembangan terlambat

Riwayat Keluarga
Ayah Ibu
Nama Tn. D Ny.M
Umur 40 tahun 38 tahun
Pendidikan SMK SMA
Pekerjaan Swasta IRT
Penghasilan Rp3.500.000 -
Perkawinan 1 1
Penyakit yang pernah diderita Tidak ada Tidak ada

35
No. Saudara Kandung Umur Keadaan Sekarang
1 Laki-Laki 14 tahun Sehat
2 Laki-Laki 7 tahun Sehat
3 Pasien 4bulan Sakit
4 - - -

Riwayat Perumahan dan Lingkungan


• Rumah tempat tinggal : Rumah bata, permanen
• Sumber air minum : depot air minum isi ulang
• Buang air besar : toilet
• Pekarangan : Sempit
• Sampah : dibuang ke TPS
• Kesan : Higiene dan sanitasi baik

3.1. Pemeriksaan Fisik


Umum
• Keadaan umum : Sakit berat
• Kesadaran : Sadar, kurang aktif
• Tekanan darah : 90/50 mmHg
• Frekuensi nadi : 140 x/menit
• Frekuensi napas : 45 x/menit
• Suhu : 38°C
• Edema : tidak ada
• Ikterus : tidak ada
• Anemia : tidak ada
• Sianosis : tidak ada
• Berat badan : 3,2 Kg
• Tinggi badan : 50 cm
• Lingkar kepala : 44 cm
• Lingkar lengan atas : 9 cm
• BB/U : dibawah -3 SD
• TB/U : dibawah -3 SD

36
• BB/TB : -1 < SD < 0
• Status gizi : Gizi buruk dengan perawakan sangat pendek
Khusus
• Kulit : Teraba hangat, turgor baik
• Kelenjar getah bening : Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening
• Kepala : Tampak besar, Lingkar Kepala 44 cm
(makrocephal), UUB teraba mombonjol dengan ukuran 4x3 cm, UUK 2x2
cm
• Rambut : Rambut belum tumbuh
• Mata :Sunset Phenomenom (+), Konjungtiva anemis (+/+),
sklera ikterik (-/-), pupil isokor (2mm/2mm), refleks cahaya +/+
• Telinga : tidak ada kelainan bawaan, tidak berair
• Hidung : Napas cuping hidung ada
• Tenggorok : faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1 tenang
• Gigi dan mulut : mukosa mulut dan bibir basah
• Leher : Tidak teraba pembesaran KGB, kaku kuduk (-)
• Toraks
o Paru
▪ Inspeksi : retraksi epigastrium (+)
▪ Palpasi : Krepitasi tidak ada
▪ Perkusi : sonor kiri dan kanan
▪ Auskultasi : Suara napas bonkovesikuler, Rh +/+ basah halus
nyaring, Wh -/-
o Jantung
▪ Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
▪ Palpasi : Iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V
▪ Perkusi : sulit dinilai
▪ Auskultasi : bunyi jantung reguler, murmur (-)
• Abdomen
o Inspeksi : distensi tidak ada, hernia umbilical (+)
o Palpasi : supel, hepar teraba ¼ - ¼ pinggir tajam, permukaan
rata, lien tidak teraba

37
o Perkusi : timpani
o Auskultasi : Bising usus (+) normal
• Punggung : Tidak ada kelainan
• Genitalia : A1P1G1
• Anggota gerak : Akral hangat, CRT < 2 detik.

Pemeriksaan Penunjang
Hematologi dan Kimia Klinik ( 08 Desember 2022 )
• Hb : 6,8 g/dL
• Leukosit : 16.510/mm3
• Hematokrit : 20 %
• Trombosit : 519.000/mm3
• Eritrosit : 4,4 Juta
• Retikulosit : 3,64%
• Hitung jenis : 0/0/15/61/18/7
• Glukosa sewaktu: 110 mg/dl
• Elektrolit lisis, PT APTT beku
Hematologi dan Kimia Klinik ( 10 Desember 2022 )
• Hb : 11,2 g/dL
• Leukosit : 14.480/mm3
• Hematokrit : 31 %
• Trombosit : 438.000/mm3
• Eritrosit : 3,98 Juta
• Retikulosit : 5,75%
• Hitung jenis : 0/1/2/83/9/5

38
Rontgen Thorax (10 September 2022)

Rontgen Thorax (08 Desember 2022)

Kesan : Pneumonia Bilateral

39
CT-SCAN (10 September 2022)

Kesan : Susp hidrosefalus congenital comunican dengan susp peningkatan TIK


CT-SCAN (08 Desember 2022)

Kesan : Hidrosefalus non comunicans dengan edema periventrikuler dan septated ventrikel
lateral cornu posterior

40
Diagnosis Kerja dan Diagnosis Banding
- Respiratory Distress ec Pneumonia dd aspirasi pneumonia
- Hidrosefalus kongenital ec susp ventriculitis
- Gizi buruk

Penatalaksanaan
- CPAP PEEP 7 FiO2 40%
- IVFD KAEN 1B 264 cc/ hari restriksi 20%
- Ampicilin 4x160 mg iv
- Gentamicin 1x25 mg iv
- Diamox 3x30 mg PO
- Paracetamol 4x40
- Bicnat 3x1/3 tab

Edukasi
• Istirahat cukup
• Perhatikan apabila ada napas cepat, atau kesulitan bernapas
• Menyarankan kepada ibu agar menjauhi anak apabila ada anggota keluarga yang sedang
batuk, pilek

41
• Follow up
12/12/22 S/ Anak terpasang CPAP PEEP 5 FiO2 30%
Demam dan kejang tidak ada
Anak tidak bertambah sesak
Tidak ada desaturasi
Tidak ada tanda-tanda perdarahan
BAK tidak ada kelainan

O/ KU kesadaran TD HR RR T
Berat sadar 83/40 120 x/’ 33 x/’ 37,1 C

Mata : konjungtiva anemis -/-, sclera ikterik (-/-),


Thoraks : Retraksi Epigastrium (+), Rh +/+, Wh -/-
Cor : Bj reguler
Abdomen: supel, hepar teraba ¼ - ¼ , distensi (-), BU
(+) normal
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2’

A/ • RD ec pneumonia dd aspirasi pneumonia


• Hidrosefalus kongenital ec susp ventriculitis
• Gizi buruk

P/ • Pantau vital sign


• Tunggu hasil kultur
• Rencana pindah HCU

13/12/22 S/ Anak terpasang O2 Nasal Canul 2L/m


Demam dan kejang tidak ada
Anak tidak bertambah sesak
Tidak ada desaturasi
Tidak ada tanda-tanda perdarahan
BAK tidak ada kelainan

42
KU kesadaran TD HR RR T
O/ Berat sadar 75/50 110 x/’ 45 x/’ 36,7 C

Mata : konjungtiva anemis -/-, sclera ikterik (-/-),


Thoraks : Retraksi (-), Rh +/+, Wh -/-
Cor : BJ reguler
Abdomen: supel, hepar teraba ¼ - ¼ , distensi (-), BU
(+) normal
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2’

A/ • RD ec pneumonia dd aspirasi pneumonia


• Hidrosefalus kongenital ec susp ventriculitis
• Gizi buruk

P/ • Pantau vital sign


• Rencana pindah ke akut

14/12/22 S/ Anak terpasang O2 Nasal Canul 2L/m


Demam dan kejang tidak ada
Anak tidak bertambah sesak
Tidak ada desaturasi
Tidak ada tanda-tanda perdarahan
BAK tidak ada kelainan

O/ KU kesadaran TD HR RR T
Berat sadar 85/50 112 x/’ 45 x/’ 36,7 C

Mata : konjungtiva anemis -/-, sclera ikterik (-/-),


Thoraks : Retraksi (-), Rh +/+, Wh -/-
Cor : BJ reguler
Abdomen: supel, hepar teraba ¼ - ¼ , distensi (-), BU
(+) normal
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2’

43
• RD ec pneumonia dd aspirasi pneumonia
• Hidrosefalus kongenital ec susp ventriculitis
• Gizi buruk

• Pantau vital sign


• Rencana pindah ke akut

44
BAB 4
DISKUSI

Studi kasus dilakukan pada pasien An. RAZ berusia 4 bulan dengan keluhan utama
sesak napas. Pasien sesak napas bertambah sejak 12 jam sebelum masuk Rumah Sakit.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada anamnesis
didapatkan bahwa pasien batuk sejak 7 hari SMRS, batuk berdahak namun pasien tidak dapat
mengeluarkan dahak. Batuk merupakan refleks pertahanan tubuh yang timbul akibat iritasi
percabangan trakeobronkial. Rangsangan yang biasanya menimbulkan batuk adalah
rangsangan mekanik, kimia dan peradangan.3
Hidrosepalus pada pasien ini disebabkan karena penyumbatan aliran CSS dari dalam
ventrikel ke luar ventrikel yang di akibatkan oleh kelainan kongenital pada bayi ini. Klinis nya
khas karna tampak adanya sunset eyes/ sunset phenomenom pada bayi ini dan juga kategori
kepalanya makrocephal, sehingga pada anak ini direncanakan untuk pemasangan VP Shunt.
Pasien juga diberikan obat asetazolamide untuk mengurangi cairan yang produksi CSS serta
diberikan bicnat untuk mengimbangi cairan yang diperlukan.
Pasien mengalami demam sejak 7 hari SMRS, demam tinggi, hilang timbul tidak
menggigil, tidak berkeringat serta tidak disertai kejang. Pasien juga mengalami sesak napas
sejak 2 hari SMRS, sesak terus menerus, tidak menciut, tidak dipengaruhi aktivitas, cuaca
maupun makanan.Pada pemeriksaan fisik juga ditemukan tanda-tanda sesak napas seperti
frekuensi napas cepat 54x/menit, dimana pada bayi usia diatas 2 bulan- <12 bulan dikatakan
napas cepat jika >50 x/menit, serta pada pasien juga ditemukan retraksi dinding dada ke dalam.
Pada anak yang menderita batuk atau sukar bernapas dengan ditemukan gejala tarikan dinding
dada ke dalam, di klasifikasikan ke dalam pneumonia berat.23 Hal ini semakin dikuatkan
dengan hasil foto thoraks pasien yaitu gambaran infiltrat di kedua paru, kesan pneumonia
bilateral.
Penatalaksanaan yang diberikan pada pneumonia berat ialah pemberian Oksigen 2-3
L/menit dan pemberian antibiotik. Pilihan antibiotik yang diberikan kepada anak yang tidak
bisa menelan obat oral adalah Ampisilin + Gentamisin IM, IV. Pada pasien diberikan ampisilin
4x160 mg IV (dosis 15-25 mg/kg/kali) dan gentamisin 1x25 mg IV (dosis 5-6 mg/kg/hari).
Selain terapi medikamentosa, keluarga perlu di edukasi mengenai penyakit pasien yang
meliputi penyebab, faktor predisposisi, cara penularan dan pencegahan penyakitnya. Keluarga
juga diedukasi agar dapat menjaga hygiene bayi, keluarga serta lingkungan tempat tinggal.

45
Pemberian ASI dan nutrisi pada bayi juga perlu diperhatikan keluarga menimbang pasien
termasuk kedalam kategori gizi buruk.

46
DAFTAR PUSTAKA

1. Passat J. Malformasi susunan saraf. Dalam: Soetomenggoolo T S, Ismael sofyan,


penyunting. Buku ajar neurologi anak. Jakarta: BP IDAI;1999.h.137-141
2. Kliegman RM. Congenital anomaly of the central nerveous system. Dalam : Nelson
Textbook of Pediatrics. 20 ed. Philadelphia: WB Saunders Co 2016.p.2008-2012.
3. Garne E, Loane M, Addor M C, Boyd P A, Barisic I, Dolk H. Congenital
hydrocephalus-prevalence, prenatal diagnosis and outcome of pregnancy in European
regions. Eoropean journal of paediatric neurology.2010.
4. Lotfinia I. A Review in Pediatric Hydrocephalus: Physiology, Classification, Clinical
Presentation, Imaging and Treatment. Department of Neurosurgery. Tabriz University
of Medical Science Tabriz. Iran.2017.
5. Mandell J G. Neuberger T. Drapaca C S. Webb A G. Schiff S J. The dynamics of brain
and cerebrospinal fluid growth in normal versus hydrocephalic mice. Journal of
Neurosurgery:Pediatrics.2010:Vol 6.No.1.
6. Tsai D J. Kuo T H, Chou I C. Hydraencepaly in neonates. Taiwan pediatric association.
Department of pediatrics.Taiwan.2008.
7. Karimzadeh P. Management of hydrocephalus. Pediatric neurology department: Shahid
beheshti university of medical sciences. Pediatrican neurology research center.Tehran
Iran.2012.
8. Carrion E. Hertzog JH, Medlock, Hauser JG, Dalton JH. Use asetazolamide to decrease
cerebrospinal fluid production in chronically ventilated patients with ventriculopleural
shunt. 2000.
9. Dahlan Z. 2009. Pneumonia. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,Alwi I, Simadibrata
M, Setiati S, ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Ed V. Jakarta: Interna
Publishing, hal 2196.
10. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W, ed. 2000. Kapita Selekta
Kedokteran Jilid 2. Ed 3. Jakarta: Media Aesculapius. hal 465 – 469.
11. Price SA, Wilson LM. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit,
Edisi 6, Jakarta: EGC, hal: 804.
12. Soeparman, Waspadji S. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Balai Penerbit FKUI. Jakarta:
1999. hal: 695-705.
13. Raharjoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. 2010. Buku Ajar Respirologi Anak. 1st ed.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI. hal 350 -365.
47
14. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Profil Kesehatan Indonesia 2010.
Jakarta: Departemen Kesehatan.
15. Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat. 2013. Profil Kesehatan Provinsi Sumatera
Barat Tahun 2012. Padang: Dinas Kesehatan.
16. Behrman RE, kliegman RM, Jenson B. Nelson textbook of Pediatrics, 17th ed.
Philadelphia : WB Saunders, 2008: 433 – 35. 3.
17. Asih R, Setiawati L, Makmuri. 2006. Kuliah Pneumonia dalam Continuing
Education Ilmu Kesehatan Anak XXXVI. Surabaya.
18. Kurniawan Y, Indriyani SAK. 2012. Karakteristik Pasien Pneumonia di Ruang Rawat
Inap Anak Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa Tenggara Barat. CDK-191, 39 (3), pp
196 – 197.
19. Priyanti ZS, Lulu M, Bernida I, Subroto H, Sembiring H, Rai IBN, et al. Pneumonia
Komuniti: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta:
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2002.
20. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of Pediatrics.
18th ed. [ e – book ]. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2007.
21. Sunyataningkamto, Iskandar Z, Alan RT, Budiman I, Surjono A, Wibowo T, dkk. 2004.
The role of indoor air pollution and other factors in the incidence of pneumonia in
under-five children. Paediatrica Indonesiana, 44 (1-2), pp 25-29.
22. Hartati S. 2011. Analisis Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian
Pneumonia pada Anak Balita di RSUD Pasar Kebo Jakarta. Depok: Fakultas Ilmu
Keperawatan UI.
23. The United Nations Children’s Fund (UNICEF), World Health Organization (WHO).
2006. Pneumonia the forgotten killer of children.
http://www.unicef.org/publications/index_35626.html. Diunduh 7 Juni 2013, pukul
21.00 WIB.
24. Klemm RDW, Labrique AB, Christian P, Rashid M, Shamlm AA, Katz J, et al. 2008.
Newborn Vitamin A Supplementation Reduced Infant Mortality in Rural Bangladesh.
Pediatrics, 122, pp 242-250.
25. Soewignjo S, Gessner BD, Sutanto A, Steinhoff M, Prijanto M, Nelson C, et al. 2001.
Streptococcus pneumonia Nasopharyngeal Carriage Prevalence, Serotype Distribution,
and Resistance Patterns among Children on Lombok Island, Indonesia.Clinical
Infection Disease, 32, pp 1039 – 1043.

48
26. World Health Organization (WHO). April 2013. Pneumonia.
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs331/en/. Diunduh 3 Mei 2013, pukul
20:10 WIB.
27. Niessen LW. Hove AT, Hilderink H, Weber M, Mulholland K, Ezzati M. 2009.
Comparative impact assessment of child pneumonia interventions. Bull World Health
Organ, 87(6), pp 472-80.
28. Yuwono, Aji T. 2008. Faktor-faktor lingkungan fisik rumah yang berhubungan dengan
kejadian pneumonia pada anak balita di wilayah kerja puskesmas Kawunganten
Kabupaten Cilacap. Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang.
29. Herman. 2002. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian pneumonia pada
anak balita di kab. Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan. Jakarta: Fakultas Kesehatan
Masyarakat UI.
30. Soedarsono. 2010. Pneumonia. Dalam :WibisonoMJ, Winariani, Hariadi S (eds). Buku
Ajar Ilmu Penyakit Paru. Departemen Ilmu PenyakitParu FK UNAIR-RSUD
Dr.Soetomo. Surabaya. pp 149-179.
31. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Manajemen Terpadu Balita Sakit
(MTBS). Jakarta: Depkes RI.
32. Tim Adaptasi Indonesia.2008. Pedoman pelayanan kesehatan anak di rumah sakit
rujukan tingkat pertama di kabupaten. Jakarta : WHO Indonesia. Hal 86-93.
33. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti, 2009. Pedoman Pelayanan Medis. Ikatan Dokter
Anak Indonesia. Jakarta : Hal 250.

49

Anda mungkin juga menyukai