Anda di halaman 1dari 42

MAKALAH

ADAPTASI FISIOLOGI DAN PATOLOGIS PERSALINAN KALA 3

Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata


Kuliah Matrikulasi Patologis pada Kasus Kebidanan
Program Studi Profesi Bidan
Poltekkes Kemenkes
Tasikmalaya

Dosen Pembimbing:
Hj. Sri Gustini, SST., M.Keb.

Disusun Oleh:
Elis Megalia
Endang Siti Mariam
Meilawati Munggaran
Ria Amalia Kusmawati
Shiva Muaebah
Vika Alvianika

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES
TASIKMALAYA JURUSAN KEBIDANAN TASIKMALAYA
2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb
Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala, atas karunia dan hidayah-Nya
tim penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah ini dengan judul “Adaptasi
Fisiologis dan Patologis pada Persalinan Kala III”. Makalah ini dipergunakan untuk
memenuhi tugas mata kuliah matrikulasi (patologis dalam kebidanan) dalam kegiatan
pembelajaran Program Studi Profesi Bidan Poltekkes Tasikmalaya.
Pada kesempatan ini, tim penulis mengucapkan rasa terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada dosen pembimbing, Hj. Sri Gustini, SST., MKeb., yang telah
memberikan bimbingan dan arahannya untuk penulisan makalah ini.
Dalam penyusunan makalah ini kami menyadari masih banyak kekurangan dan
kelemahannya. Oleh karena itu kami sangat memerlukan kritik dan saran yang
bersifat membangun untuk menyempurnakan makalah ini.
Akhir kata, kami barharap semoga makalah ini bemanfaat khususnya bagi kami
dan umumnya bagi seluruh mahasiswa dan pembaca. Kami menyadari bahwa
kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT, untuk itu kami menerima kritik dan saran
yang membangun. Terimakasih.
Wassalamualaikum Wr. Wb

Tasikmalaya, 17 Juli 2023

Tim Penyusun

i
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI................................................................................................................ii
DAFTAR LAMPIRAN..............................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1
1.1 Latar Belakang................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...........................................................................................3
1.3 Tujuan.............................................................................................................3
1.3.1 Tujuan umum....................................................................................3
1.3.2 Tujuan Khusus..................................................................................3
1.4 Manfaat...........................................................................................................4
1.4.1 Manfaat Teoritis................................................................................4
1.4.2 Manfaat Praktis.................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................5
2.1 Adaptasi Fisiologis Persalinan Kala III..........................................................5
2.1.1 Pengertian Kala III............................................................................5
2.1.2 Perubahan Fisiologis Kala III............................................................5
2.1.3 Tanda Terjadinya Kala III.................................................................6
2.1.4 Manajemen Persalinan Kala III.........................................................6
2.2 Komplikasi Persalinan Kala III.......................................................................9
2.2.1 Retensio Plasenta...............................................................................9
2.2.2 Inversio Uteri...................................................................................23
BAB III KESIMPULAN...........................................................................................33
3.1 Kesimpulan.................................................................................................33
3.2 Saran............................................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................33
LAMPIRAN...............................................................................................................vii

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kedalaman Implantasi Plasenta.................................................................14


Gambar 2. Penanganan Retensio Plasenta...................................................................22
Gambar 3. Klasifikasi Inversio Uteri...........................................................................24
Gambar 4. Gambaran Inversio Uteri Secara Fisik.......................................................27
Gambar 5. Gambaran Inversio Uteri Secara MRI.......................................................27
Gambar 6. Hasil Penelitian Inversio Uteri...................................................................28
Gambar 7. Penanganan Inversio Uteri.........................................................................32

iii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Media Persalinan Kala III.......................................................................vii


Lampiran 2. Evaluasi...................................................................................................vii

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Persalinan merupakan rangkaian proses fisiologis yang berakhir dengan
pengeluaran hasil konsepsi oleh ibu. Pengeluaran plasenta merupakan bagian dari
proses fisiologis dalam manajemen aktif kala III persalinan. Kala III persalinan
adalah waktu pelepasan plasenta dari insersinya. Kala III persalinan dimulai saat
proses kelahiran janin selesai dan berakhir dengan lahirnya plasenta secara
keseluruhan, tali pusat, dan ketuban yang berlangsung tidak lebih dari 30 menit.
Normalnya saat plasenta dilahirkan maka rahim berkontraksi (mengeras dan
menyusut) untuk menghentikan perdarahan dari tempat perlekatan plasenta. Saat
setelah bayi lahir merupakan saat-saat penting untuk pencegahan, diagnosa, dan
penanganan risiko perdarahan. Dibandingkan dengan risiko-risiko lain pada ibu
seperti infeksi, maka kasus perdarahan dengan cepat dapat mengancam jiwa. Seorang
ibu dengan perdarahan hebat akan cepat meninggal apabila tidak mendapatkan
penanganan segera.(Wahidah, 2017)
Perlu diketahui bahwa di Indonesia 30% kematian ibu diakibatkan karena
perdarahan postpartum pada persalinan kala III. Angka tersebut dapat diturunkan
dengan penanganan yang optimal dari tenaga kesehatan. Akan tetapi dalam
menurunkan angka kejadian perdarahan postpartum akibat perdarahan tidak hanya
mengurangi risiko kematian ibu, tetapi juga menghindarkannya dari risiko kesakitan
yang berhubungan dengan perdarahan postpartum.(Widiastutik, 2020)

1
Sebagian besar kasus perdarahan dalam masa nifas terjadi karena retensio
plasenta dan atonia uteri. retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya
plasenta hingga atau melebihi 30 menit setelah bayi lahir. Sedangkan atonia uteri
adalah kegagalan miometrium untuk berkontraksi setelah persalinan sehingga uterus
dalam relaksasi penuh, melebar, dan lembek, dan tidak mampu menjalankan oklusi
pembuluh darah. Oleh karena itu, maka pada manajemen aktif kala III merupakan
salah satu hal yang sangat penting dalam upaya menurunkan kesakitan dan kematian
ibu yang disebabkan karena perdarahan pasca persalinan.(fatmawati, 2020)
WHO merekomendasikan agar semua tenaga kesehatan yang menolong
persalinan baik dokter maupun bidan dapat melaksanakan manajemen aktif kala III.
Tujuan manajemen aktif kala III adalah untuk menghasilkan kontraksi uterus yang
lebih efektif sehingga dapat mempersingkat waktu pada kala III, mencegah
perdarahan, dan mengurangi kehilangan darah pada kala III persalinan. Manajemen
aktif kala III merupakan suatu intervensi penting asuhan persalinan normal untuk
menurunkan angka kematian ibu.(fatmawati, 2020)
Berdasarkan hasil penelitian oleh Sulenti di salah satu PMB Surabaya pada
tahun 2020 didapatkan bahwa manajemen aktif kala III dilaksanakan dengan
sempurna berjumlah 36 (60%) ibu bersalin dan ibu yang tidak mengalami perdarahan
postpartum primer berjumlah 33 (55%) ibu. Berdasarkan kejadian terdapat adanya
hubungan antara manajemen aktif kala III dengan kejadian perdarahan postpartum
primer. Berdasarkan hasil literature review oleh Darmawansyah dan Muaningsih di
Makasar pada tahun 2020 bahwa ada hubungan usia, paritas dan manajemen aktif
kala III dengan kejadian perdarahan postpartum dan hubungan manajemen aktif kala
III dengan kejadian perdarahan postpartum. Manajemen aktif kala III sangat
mempengaruhi perdarahan postpartum karena apabila tidak dilakukan manajemen
aktif kala III dalam persalinan maka beresiko banyaknya darah yang akan dikeluarkan
oleh ibu dan akan mengakibatkan kematian.(Widiastutik, 2020)

2
Dalam serangkaian proses pengeluaran hasil konsepsi pada persalinan tersebut
maka ibu bersalin akan mengeluarkan banyak energi yang dapat mengakibatkan
perubahan, baik secara fisiologis maupun psikologis secara alamiah. Dengan adanya
perubahan fisiologis dan psikologis secara alamiah pada proses persalinan tersebut,
ibu bersalin membutuhkan tindakan pendukung dan penenang selama persalinan,
sehingga mampu memberikan efek yang positif baik secara emosional maupun
fisiologis terhadap ibu dan janin. Oleh sebab itu, penting bagi seorang tenaga
kesehatan (bidan) untuk bisa memahami perubahan fisiologis dan psikologis ibu
bersalin. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis tertarik melakukan penelitian
mengenai “ Adaptasi Fisiologi dan Patologis Persalinan kala III”.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana adaptasi fisiologis persalinan kala 3 dan komplikasi yang dapat
terjadi pada persalinan kala 3?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan umum
Untuk mengetahui adaptasi fisiologis persalinan kala 3 dan komplikasi yang
dapat terjadi pada persalinan kala 3
1.3.2 Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus makalah ini sebagai berikut:
(1) Untuk mengetahui adaptasi fisiologis persalinan kala 3 berupa pengertian kala
3, perubahan fisiologis, tanda pelepasan plasenta, dan manajemen aktif kala 3
(2) Untuk mengetahui komplikasi yang dapat terjadi pada persalinan kala 3 yaitu
retensio plasenta dan inversio uteri

3
1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat Teoritis
(1) Dapat meningkatkan pengetahuan mengenai adaptasi fisiologis dan patologis
persalinan kala 3
(2) Dapat meningkatkan pemahaman teori mengenai adaptasi fisiologi dan
patologis persalinan kala 3
1.4.2 Manfaat Praktis
(1) Dapat mengaplikasikan asuhan kebidanan pada persalinan kala 3 fisiologis dan
patologis berbasis bukti (evidence based midwifery)

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Adaptasi Fisiologis Persalinan Kala III


2.1.1 Pengertian Kala III
Persalinan kala III merupakan tahapan berikutnya setelah proses kala II
terlewati, kala III dimulai sejak bayi lahir sampai lahirnya plasenta. Kala III disebut
juga kala uri atau kala pengeluaran plasenta dan selaput ketuban setelah bayi lahir.
Keluarnya plasenta berlangsung tidak lebih dari setengah jam setelah bayi lahir.
Lama kala III < 10 menit pada sebagian besar kelahiran dan <15 menit pada 95%
kelahiran. Rahim terasa kencang ketika berada di atas bagian tengah, dan rahim akan
berkontraksi kembali setelah beberapa menit untuk melepaskan plasenta dari
dindingnya.(Elvira, D, Prastowo, & Marasing, 2023)

2.1.2 Perubahan Fisiologis Kala III


Terjadinya pelepasan plasenta dari dinding rahim akibat adanya kontraksi
(spontan atau dengan stimulus). Setelah kala II persalinan berlalu plasenta terlepas
dari dinding rahim, menyebabkan otot-otot rahim berkontraksi pada kala III
persalinan dan terjadinya penurunan volume rongga rahim setelah bayi lahir. Karena
pengosongan rongga rahim dan adanya kontraksi sehingga menyebabkan plasenta
terlepas dari perlekatannya dan darah berkumpul di ruang uteroplasenta.
Penyusutan menyebabkan ukuran dari tempat implantasi plasenta mengecil,
ketika letak perlekatan plasenta mengecil tetapi untuk ukuran plasenta tidak
mengalami perubahan atau tetap sama, plasenta akan terlipat, menebal, kemudian
selanjutnya dikeluarkan dari dinding rahim sehingga membuat plasenta terlepas dari
dinding uterus.

5
Plasenta akan turun ke bagian bawah rahim dan menuju ke bawah dari rahim
atau vagina bagian atas. Berat plasenta dapat memudahkan selaput ketuban terlepas
dan dapat dikeluarkan lebih mudah, lokasi perlekatan plasenta mempengaruhi
kecepatan pemisahan plasenta dan mekanisme pelepasan plasenta. (Elvira et al.,
2023)

2.1.3 Tanda Terjadinya Kala III


(1) Bentuk fundus dan tinggi fundus mengalami perubahan.
Setelah bayi lahir dan sebelum miometrium mulai berkontraksi,uterus
berbentuk bulat penuh dan tinggi fundus biasanya dibawah pusat. Setelah
uterus berkontraksi dan plasenta terdorong ke bawah, uterus berbentuk segitiga
atau seperti buah pear atau alpukat dan fundus berada di atas pusat.
(2) Tali pusat memanjang
Adanya tanda ahfeld yaitu tali pusat terjulur melewati bagian vulva dan vagina
atau tali pusat tampak memanjang keluar.
(3) Semburan darah yang muncul secara tiba-tiba
Darah yang terkumpul di belakang plasenta akan membantu mendorong
plasenta keluar dibantu oleh gaya gravitasi. Apabila kumpulan darah
(retroplacental pooling) dalam ruang diantara dinding uterus dan permukaan
dalam plasenta melebihi kapasitas tampungnya maka darah tersembur keluar
dari tepi plasenta yang terlepas. Tanda ini umumnya terlihat dalam waktu satu
menit setelah bayi lahir dan biasanya berlangsung dalam lima menit.(Elvira et
al., 2023)

2.1.4 Manajemen Persalinan Kala III


Manajemen aktif kala III adalah penatalaksanaan secara aktif pada kala III
untuk membantu menghindarkan terjadinya perdarahan pasca persalinan. Terdiri dari
tiga langkah utama :

6
(1) Pemberian oksitosin
Pemberian suntikan oksitosin dilakukan dalam 1 menit pertama setelah bayi
lahir. Perlu diperhatikan saat pemberian oksitosin memastikan tidak ada bayi
lain di dalam uterus. Hal ini dikarenakan oksitosin dapat menyebabkan uterus
berkontraksi yang dapat menurunkan pasokan oksigen pada bayi. Oksitosin
dengan dosis 10 unit diberikan secara intramuskular (IM) pada sepertiga bagian
atas paha bagian luar (aspektus lateralis). Oksitosin dapat menyebabkan uterus
berkontraksi dengan kuat dan efektif sehingga dapat membantu pelepasan
plasenta dan mengurangi kehilangan darah.(Nurasiah, Ani, & Dewi, 2012)
(2) Melakukan penegangan tali pusat terkendali (PTT)
a. Berdiri di samping ibu
b. Pindahkan klem pada tali pusat sekitar 5-10 cm dari vulva. memegang tali
pusat lebih dekat vulva akan mencegah avulsi.
c. Letakan tangan lain pada abdomen ibu (beralaskan kain) tepat diatas simfisis
pubis. Setelah terjadi kontraksi yang kuat tegangkan tali pusat dengan satu
tangan dan tangan lain (pada dinding abdomen) menekan uterus ke arah
lumbal dan kepala ibu (dorso kranial). lakukan secara hati-hati untuk
mencegah terjadinya inversio uteri.
d. Bila plasenta belum lepas, tunggu hingga uterus berkontraksi kembali
(sekitar dua atau tiga menit berselang) untuk mengulangi kembali
penegangan tali pusat terkendali
e. Saat mulai kontraksi (uterus menjadi bulat atau tali pusat menjulur)
tegangkan tali pusat ke arah bawah. lakukan tekanan dorso kranial hingga
tali pusat makin menjulur dan korpus uteri bergerak ke atas, yang
menandakan plasenta telah lepas dan dapat dilahirkan.

7
f. Tetapi jika langkah lima diatas tidak berjalan sebagaimana mestinya dan
plasenta tidak turun setelah 30-40 detik dimulainya penegangan tali pusat
dan tidak ada tanda-tanda yang menunjukan lepasnya plasenta, jangan
lakukan penegangan tali pusat.
g. Pegang klem dan tali pusat dengan lembut dan tunggu sampai kontraksi
berikutnya.
h. Pada saat kontraksi berikutnya terjadi, ulangi penegangan tali pusat kembali
dan tekanan dorso kranial pada korpus uteri secara serentak.
i. Setelah plasenta terpisah anjurkan ibu untuk meneran agar plasenta
terdorong keluar melalui introitus vagina.
j. Pada saat plasenta terlihat di introitus vagina, lahirkan plasenta dengan
mengangkat tali pusat keatas dan topang plasenta dengan tangan lainnya
untuk diletakan pada wadah penampung.
k. Lakukan penarikan dengan lembut dan perlahan-lahan untuk melahirkan
selaput ketuban untuk mencegah tertinggalnya selaput ketuban dijalan
lahir. (Nurasiah et al., 2012)
(3) Masase fundus uteri
Segera setelah plasenta lahir, lakukan masase fundus uteri dengan tangan kiri,
sedangkan tangan kanan memastikan bahwa kotiledon dan selaput plasenta
dalam keadaan lengkap. Periksa sisi maternal dan fetal. Periksa kembali uterus
setelah satu hingga dua menit untuk memastikan uterus berkontraksi. (Nurasiah
et al., 2012)

8
2.2 Komplikasi Persalinan Kala III
2.2.1 Retensio Plasenta
(1) Definisi Retensio Plasenta
Menurut Sarwono Prawirohardjo, retensio plasenta adalah tertahannya atau
belum lahirnya plasenta hingga atau melebihi waktu 30 menit setelah bayi lahir.
Retensi plasenta adalah salah satu komplikasi serius yang terjadi setelah proses
persalinan. Plasenta atau ari-ari, yang merupakan organ temporary yang
menghubungkan janin dengan dinding rahim, tidak dapat lepas dengan sempurna
setelah bayi lahir. Kondisi ini menyebabkan sisa plasenta yang tertinggal di dalam
rahim, yang dapat menyebabkan perdarahan postpartum yang mengancam nyawa.
(Perlman & Carusi, 2019; Prawirohardjo, 2014)
Apabila sebagian placenta lepas sebagian lagi belum, terjadi perdarahan karena
uterus tidak bisa berkontraksi dan beretraksi dengan baik pada batas antara dua
bagian itu. Selanjutnya apabila sebagian besar placenta sudah lahir, tetapi sebagian
kecil masih melekat pada dinding uterus, dapat timbul perdarahan masa nifas.
Disamping kematian, perdarahan post partum akibat retensio placenta memperbesar
kemungkinan terjadinya infeksi puerperal karena daya tahan penderita yang kurang.
Oleh karena itu sebaiknya penanganan kala III pada persalinan mengikuti prosedur
tetap yang berlaku.(Prawirohardjo, 2014)

(2) Etiologi Retensio Plasenta


Beberapa faktor yang dapat menyebabkan retensio plasenta diantaranya sebagai
berikut:
1. Atonia Uteri: Ini adalah kondisi ketika otot-otot rahim tidak berkontraksi
dengan cukup kuat setelah bayi lahir, sehingga tidak dapat mendorong plasenta
keluar dari rahim.
2. Adhesi Plasenta: Pada beberapa kasus, plasenta terlalu melekat erat pada
dinding rahim sehingga sulit untuk lepas dengan sendirinya.

9
3. Inversi Uteri: Ketika rahim terbalik ke luar, plasenta tertarik ke dalam dan
terjebak, menyebabkan retensi.
4. Penyumbatan Jalan Lahir: Jika ada sumbatan atau hambatan di jalan lahir,
plasenta mungkin tidak dapat keluar dengan baik.
5. Infeksi: Infeksi pada rahim atau jalan lahir dapat menyebabkan plasenta tidak
lepas dengan sempurna.
6. Kehamilan Ganda: Pada kehamilan ganda, plasenta mungkin lebih besar atau
memiliki konfigurasi yang rumit, sehingga lebih sulit untuk lepas.
7. Placenta sudah lepas tetapi belum dilahirkan. Keadaan ini dapat terjadi karena
atonia uteri dan dapat menyebabkan perdarahan yang banyak dan adanya
lingkaran konstriksi pada bagian bawah rahim. Hal ini dapat disebabkan karena
penanganan kala III yang keliru/salah dan terjadinya kontraksi pada bagian
bawah uterus yang menghalangi placenta(placenta inkaserata).

(3) Faktor Risiko Retensio Plasenta


Faktor predisposisi Retensio Plasenta
yaitu:
1. Kelahiran premature
2. Pengeluaran buah kehamilan antara 28 minggu dan 37 minggu atau bayi
dengan beratbadan antara 1000 gram dan 2499 gram.
3. Kontraksi uterus yang lemah
4. Tindakan manajemen aktif Kala III yang tidak benar (Kementrian
Kesehatan Republik indonesia, 2023)
Adapun faktor predisposisi lainnya yaitu:
1. Grandemultipara
2. Persalinan lebih dari 4 kali.
3. Multiparitas
4. Usia ibu < 20 tahun dan > 35 tahun
5. Overdistensi rahim, seperti kehamilan kembar, hidramnion, atau bayi besar.

1
6. Partus lama Persalinan yang berlangsung lebih dari 24 jam pada primi dan
lebihdari 18 jam pada multi.
7. Partus presipitatus
8. Kotiledon tertinggal
9. Riwayat atonia uteri
10. Plasenta akreta, inkreta dan perkreta
11. Gangguan koagulopati seperti anemia dan hipofibrinogenemi.
12. Pembedahan uterus sebelumnya
13. Kebiasaan merokok.
14. Riwayat retensi plasenta pada kehamilan sebelumnya.
15. Riwayat kehamilan dengan komplikasi, seperti preeklamsia atau diabetes
gestasional.
16. Riwayat operasi pada rahim sebelumnya, seperti kuretase atau operasi Caesar.
17. Kehamilan berusia lebih dari 40 minggu (melewati masa kehamilan normal).
18. Kelainana placenta seperti pada kelainna letak placenta, Plasenta previa, yaitu
kondisi ketika plasenta menutupi sebagian atau seluruh leher rahim.
19. Melahirkan bayi yang mati di dalam kandungan.
20. Kelainan Uterus (Perlman & Carusi, 2019; Ramadhan, Rasyid, 2019)

(4) Tanda dan Gejala Retensio Plasenta


Gejala yang selau ada adalah palsenta belum lahir dalam 30 menit. Perdarahan
segera, kontrkasi uterus baik. Gejala yang kadang-kadang timbul yaitu tali pusat
putus akibat traksi berlebihan, inversi uteri akibat tarikan, perdarahan lanjutan.
Tertinggalnya plasenta (sisa plasenta), gejala yang selaalu ada yaitu plasenta atau
sebagian selaput (mengandung pembuluh darah) tidak lengkap dan perdarahan
segera. Gejala yang kadang-kadang timbul uterus berkontraksi baik, tetapi fundus
tidak berkurang.

1
Gejala retensi plasenta mungkin meliputi:
1. Perdarahan yang Berlebihan: Terjadi perdarahan yang lebih banyak dari yang
diharapkan setelah proses persalinan.
2. Plasenta Tidak Keluar Sepenuhnya: Perasaan bahwa plasenta atau sebagian dari
plasenta masih ada di dalam rahim setelah proses persalinan.
3. Nyeri: Nyeri pada rahim atau perut bagian bawah.
4. Kram: Kram hebat yang berlangsung lebih lama dari yang diharapkan setelah
persalinan.(Kementrian Kesehatan Republik indonesia, 2023)

(5) Klasifikasi Retensio Plasenta


Jenis-jenis perlekatan plasenta yang abnormal yaitu:
1. Plasenta Adhesiva
Tipis sampai hilangnya lapisan jaringan ikat Nitabush, sebagian atau seluruhnya
sehingga menyulitkan lepasnya plasenta saat terjadi saat terjadi kontrakti dan
retraksi otot uterus.
2. Plasenta Akreta
Implantasi jonjot korion plasenta hingga memasuki sebagian lapisan
miometrium. Selain itu, hilangnya lapisan jaringan ikat longgar nitabush
sehingga plasenta sebagian atau seluruhnya mencapai lapisan desidua basalis.
Dengan demikian agak sulit melepaskan diri saat kontraksi atau retraksi otot
uterus. Dapat terjadi tidak diikuti perdarahan karena sulitnya plasenta lepas.
Plasenta manual sering tidak lengkap seningga perlu diikuti dengan kuretase.
Tanda dan gejala plasenta akreta parsial/ separa yaitu :
a. Konsistensi uterus kenyal
b. TFU setinggi pusat atau diatas pusat
c. Bentuk uterus discoid
d. Perdarahan sedang-banyak
e. Tali pusat terjulur Sebagian

1
f. Ostium uteri terbuka
g. Separasi plasenta lepas Sebagian
h. Syok sering terjadi
Tanda dan gejala plasenta akreta yaitu :
a. Konsistensi uterus cukup
b. TFU setinggi pusat atau diatas pusat
c. Bentuk uterus discoid
d. Pedarahan sedikit / tidak ada
e. Tali pusat menjulur tidak memanjang
f. Ostium uteri terbuka
g. Separasi plasenta melekat seluruhnya
h. Syok jarang sekali, kecuali akibat inversion oleh tarikan kuat pada tali pusat
3. Plasenta Inkreta
Implantasi jonjot plasenta sampai mencapai otot uterus (myometrium),
sehingga tidak mungkin lepas sendiri. Perlu dilakukan plasenta manual, tetapi
tidak akan lengkap dan harus diikuti kuretase tajam dan dalam, dan
histerektomi.
4. Plasenta Perkreta
Jonjot plasenta menembus lapisan otot dan sampai lapisan peritoneum kavum
abdominalis. Retensio plasenta tidak diikuti perdarahan. Plasenta manual
sangan sukar, bila dipaksa akan terjadi perdarahan dan sulit dihentikan atau
perforasi. Tindakan defintif hanya histerektomi.
5. Plasenta Inkarserata
Plasenta telah lepas dari implantasinya, tetapi tertahan di dalam kavum uteri
disebabkan oleh konstruksi ostium uteri. Pada kasus retensio, plasenta harus
dikeluarkan karena dapat menimbulkan perdarahan dan infeksi. Jika plasenta
tidak dikeluarkan, maka dapat terjadi plasenta inkarserata, dapat terjadi polip
plasenta dan terjadi degenerasi sel ganas korio karsinoma.

1
Tanda dan gejala plasenta inkaserata yaitu :
a. Konsistensi uterus keras
b. TFU 2 jari bawah pusat
c. Bentuk uterus globula
d. Perdarahan sedang
e. Tali pusat terjulur
f. Ostium uteri terbuka
g. Separasi plasenta sudah lepas
h. Syok jarang.(Rohani, Saswita, & Marisa, 2013)

Gambar 1. Kedalaman Implantasi Plasenta

1
Adapun penjelasan terstuktur dari klasifikasi retensio urine disajikan dalam bentuk
tabel sebagai berikut:

Tabel 1. Klasifikasi Retensio Plasenta


Gejala Separasi/ Plasenta Plasenta akreta
Akreta Parsial Inkarserata
Konsistensi uterus Kenyal Keras Cukup
Tinggi fundus Sepusat 2 jari bawah pusat Sepusat
Bentuk uterus Discoid Agak globuler Discoid
Perdarahan Sedang-banyak Sedang Sedikit/tidak ada
Tali Pusat Terjulur Sebagian Terjulur Tidak terjulur
Ostium uteri Terbuka Kontriksi Terbuka
Separasi Plasenta Sudah lepas Sudah lepas Melekat seluruhnya
Syok Sering Jarang Jarang sekali, kecuali
akibatinversion oleh
tarikan yang kuat

(6) Perasat untuk Mengetahui Plasenta Lepas dari Implantasinya


Berikut perasat untuk mengetahui plasenta lepas dari implantasinya
1. Prasat Kustner
a. Tali pusat ditegangkan
b. Tangan ditekankan di atas simfisis, bila tali pusat masuk kembali, berarti
plasenta belum lepas.
2. Prasat Strassman
Tangan kanan meregangkan atau menarik sedikit tali pusat. Tangan kiri
mengetok-ngetok fundus uteri. Bila terasa getaran pada tali pusat yang
diregangkan ini berarti plasenta belum lepas dari dinding uterus.

1
3. Prasat Klein
Parturien (pasien yang melahirkan) tersebut disuruh mengejan sehingga tali
pusat tampak turun kebawah. Bila mengejan dihentikan dapat terjadi:
a. Tali pusat tertarik kembali, berarti plasenta belum lepas dari dinding uterus.
b. Tali pusat tetap di tempat, berarti plasenta sudah lepas.
4. Prasat Maryunani
Tangan kiri memegang uterus pada segmen bawah rahim, sedangkan tangan
kanan memegang dan mengencangkan tali pusat. Kedua tangan ditarik
berlawanan, dapat terjadi:
a. Tarikan terasa berat dan tali pusat tidak memanjang, berarti plasenta belum
lepas.
b. Tarikan terasa ringan dan tali pusat memanjang berarti plasenta telah lepas.
5. Prasat Crede
a. Empat jari-jari pada dinding rahim belakang, pasien jari di fundus depan
tengah
b. Lalu pijat rahim dan sedikit dorong ke bawah, tapi jangan terlalu kuat,
sepertimemeras jeruk
c. Lakukan sewaktu ada his
d. Jangan tarik tali pusat, karena bisa terjadi inversion uteri (Rohani et al.,
2013)

(7) Dampak Retensio Plasenta


1. Perdarahan
Terjadi terlebih lagi bila retensio plasenta yang terdapat sedikit perlepasan
hingga kontraksi memompa darah tetapi bagian yang melekat membuat luka
tidak menutup.
2. Infeksi
Sebagai benda mati yang tertinggal di dalam rahim meningkatkan pertumbuhan
bakteri dibantu dengan port d’entre dari tempat perlekatan plasenta.

1
3. Polip plasenta
Sebagai massa proliferative yang mengalami infeksi sekunder dan nekrosis.
Dengan masuknya mutagen, perlukaan yang semula fisiologik dapat berubah
menjadi patologik (displastik-diskariotik) dan akhirnya menjadi karsinoma
invasif. Sekali menjadi mikro invasive atau invasive, proses keganasan akan
berjalan terus. Sel ini tampak abnormal tetapi tidak ganas. Para ilmuwan yakin
bahwa beberapa perubahan abnormal pada sel-sel ini merupakan langkah awal
dari serangkaian perubahan yang berjalan lambat, yang beberapa tahun
kemudian bisa menyebabkan kanker. Karena itu beberapa perubahan abnormal
merupakan keadaan prekanker, yang bisa berubah menjadi kanker.(Asfia &
Rahmayanti, 2022)

(8) Pencegahan Retensio Plasenta


Meskipun tidak selalu dapat dicegah, ada beberapa langkah yang dapat diambil
untuk mengurangi risiko retensi plasenta, yaitu:
1. Pemeriksaan Kehamilan Teratur: Mengikuti pemeriksaan kehamilan secara
teratur untuk mendeteksi potensi masalah yang dapat menyebabkan retensi
plasenta.
2. Pemeriksaan USG: Memastikan melakukan pemeriksaan ultrasonografi secara
teratur untuk memantau pertumbuhan dan perkembangan plasenta.
3. Perawatan Infeksi: Mengobati infeksi rahim atau jalan lahir dengan segera
untuk mencegah retensi plasenta yang disebabkan oleh infeksi.
4. Perencanaan Persalinan: Jika ada riwayat retensi plasenta pada kehamilan
sebelumnya, berkonsultasi dengan dokter untuk merencanakan persalinan yang
aman dan tepat.

1
(9) Penanganan Retensio Plasenta
1. Penanganan Umum
a. Jika placenta terlihat dalam vagina, mintalah ibu untuk mengedan. Jika
anda dapat merasakan placenta dalam vagina, keluarkan placentaa tersebut.
Pastikan kandung kemih sudah kosong.
b. Jika placenta belum keluar, berikan oksitoksin 10 unti i.m. Jika belum
dilakukanpada penanganan aktif kala III.
c. Jika uterus berkontraksi, lakukan PTT.
d. Jika PTT belum berhasil cobalah untuk melakukan pengeluaran placenta
secaramanual.
2. Tindakan Khusus Retensio plasenta dengan pendarahan
a. Lakukan plasenta manual
b. Berikan cairan
c. Berikan tranfusi
d. Proteksi dengan antibiotika
e. Mempersiapkan plasenta manual dengan pengaruh narkosa
f. Rujuk ke RS bila perlu
3. Tindakan Khusus Retensio plasenta tanpa pendarahan
Hal ini terjadi biasanya pada grandemultaipara dengan implantasi plasenta
dalam bentuk plasenta adhesiva, akreta, dan Perkerata. Tanda penting untuk
diagnosis pada pemeriksaan luar adalah ikutnya fundus/korpus apabila tali
pusat ditarik. Pada pemeriksaan dalam, sulit ditentukan tepi plasenta karena
implantasi yang dalam upaya yang dapat dilakukan pada fasilitas pelayanan
kesehatan dasar adalah menentukan diagnosis, stabilitas pasien dan rujuk ke
RS.

1
4. Penatalaksanaan manual plasenta
Pada kondisi Retensio Plasenta dengan perdarahan >500cc, maka perlu
langsung melakukan plasenta manual.
a. Persiapan
• Memasang infusan
• Berikan 20-40 IU oksitosin dalam 1000ml larutan NaCl 0.9% atau
ringer laktat dengan kecepatan 60 tetes/menit dan 10 IU IM.
• Menjelskan pada ibu prosedur dan tujuan tindakan
• Melakukan anastesi verbal/analgesic per rectal
• Menyiapkanan jalankan prosedur pencegahan infeksi
b. Teknik plasenta manual :
• Alat kemaluan bagian luar pasien didisinfeksi begitu pula tangan dan
lengan bawah si penolong.
• Pakai sarung tangan.
• Lakukan kateterisasi kandung kemih untuk mengosongkan kandung
kemih.
• Menjepit tali pusat dengan klem pada jarak 5-10 cm dari vulva,
tegangkan dengan satu tangan sejajar lantai.
• Secara obstetrik masukkan satu tangan (punggung tangan ke bawah)
ke dalam vagina dengan menelusuri tali pusat bagian bawah.
• Setelah tangan mencapai pembukaan serviks, minta asisten untuk
memegang kocher, kemudian tangan lain penolong menahan fundus
uteri.
• Sambil menahan fundus uteri, masukkan tangan dalam ke kavum uteri
sehingga mencapai tempat implantasi plasenta.
• Buka tangan obstetrik menjadi seperti memberi salam (ibu jari merapat
ke pangkal jari telunjuk)
• Melepas plasenta dari dinding uterus. Tentukan implantasi plasenta,
temukan tepi plasenta yang paling bawah. Bila plasenta berimplantasi

1
di korpus belakang, tali pusat tetap di sebelah atas dan sisipkan ujung
jari-jari tangan diantara plasenta dan dinding uterus dimana punggung
tangan menghadap ke bawah (posterior ibu). Bila di korpus depan
maka pindahkan tangan ke sebelah atas tali pusat dan sisipkan ujung
jari-jari tangan diantara plasenta dan dinding uterus dimana punggung
tangan menghadap ke atas (anterior ibu). Setelah ujung-ujung jari
masuk diantara plasenta dan dinding uterus, maka perluas pelepasan
plasenta dengan jalan menggeser tangan ke kanan dan kiri sambil
digeserkan ke atas (kranial) hingga perlekatan plasenta terlepas dari
dinding uterus.
• Mengeluarkan plasenta. Sementara satu tangan masih di dalam kavum
uteri, lakukan eksplorasi untuk menilai tidak ada sisa plasenta yang
tertinggal. Pindahkan tangan luar dari fundus ke supra simpisis (tahan
segmen bawah uterus) kemudian instruksikan asisten/penolong untuk
menarik tali pusat sambil tangan dalam membawa plasenta keluar
(hindari terjadinya percikan darah). Lakukan penekanan (dengan
tangan yang menahan supra simpisis) uterus ke arah dorso kranial
setelah plasenta dilahirkan dan tempatkanplasenta di dalam wadah
yang telah disediakan
• Pencegahan infeksi pasca tindakan, Dekontaminasi sarung tangan
(sebelum dilepaskan) dan peralatanlain yang digunakan. Lepaskan dan
rendam sarung tangan serta peralatan lainnya di dalam larutan klorin
0,5% selama 10 menit. Selanjutnya, cuci tangan.(Rahyani et al., 2020)

2
5. Penanganan retensio placenta menurut tingkatan
a. Di tempat bidan
• Setelah dapat memastikan keadaan umum pasien segera
• Memasang infus dan membrikan cairan, merujuk penderita ke pusat
dengan fasilitas cukup untuk mendapatkan penanganan yang lebih
baik.
• Memberikan transfuse proteksi dengan antibiotic. Mempersiapkan
placenta manual.
b. Tingkat polindes
• Penanganan resiko plasenta dari tingkat desa sebelumnya.
• Persiapan donor darah yang tersedia dari warga setempat yang telah
dipilih dan dicocokkan dengan darah pasien
• Diagnosis yang dilakukan stabilitasi dankemudian lakukan plasenta
manual untuk kasus adhesive simpleks berikan uterotonika antibiotika
serta rujuk untuk kasus berat
c. Tingkat puskesmas
a. Diagnosis dilakukan stabilisasi kemudian lakukan palcenta manual,
untuk kasus resiko rendah, sedangkan untuk kasus berat rujuk dan
berikan uterotonika antibiotika
d. Tingkat rumah sakit
b. Diagnosis stabilisasi placenta manual histerektomi, transfuse
uterotonika antibiotika kedaruratan komplikasi.(Rahyani et al., 2020)

2
Gambar 2. Penanganan Retensio Plasenta

(10) Kewenangan Retensio Plasenta


Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK.01.07/MENKES/320/2020 BAB III Tentang Standar Profesi Bidan.
1. Pada point B kompetensi 5, yang berbunyi kemampuan melaksanakan
asuhan kebidanan komprehensif dan berkualitas pada ibu bersalin, kondisi
gawat darurat dan rujukan.
2. Pada point B kompetensi 4, yang berbunyi Bidan memiliki pengetahuan
yang diperlukan untuk memberikan penanganan situasi kegawatdaruratan
dan sistem rujukan. Bidan memiliki pengetahuan dan mampu melakukan
asuhan kebidanan yang tepatketika terjadi kegawatdaruratan, salah satunya
yaitu retensio plasenta. (Kepmenkes No.320 Tahun 2020 Tentang Standar Profesi
Bidan, 2020)

2
Menurut IBI ruang lingkup standar kebidanan meliputi 24 standar yang
meliputi standar pelayanan umum, standar pelayanan antenatal, standar pertolongan
persalinan, standar pelayanan nifas dan standar penanganan kegawatdaruratan.
Standar pelayanan kebidanan tersebut yang berhubungan dengan retensio plasenta
antara lain:
1. Standar 11 : penatalaksanaan Aktif Persalinan Kala Tiga
Membantu secara aktif pengeluaran plasenta dan selaput ketuban secara
lengkap untuk mengurangi kejadian pasca persalinan, memperpendek kala III,
mencegah atonia uteri dan retensio plasenta.
2. Standar 20 : penanganan kegawat daruratan Retensio Plasenta
Standar 20 tentang penanganan retensio plasenta yang berbunyi, “Bidan mampu
mengenali dan melakukan tindakan yang tepat ketika terjadi retensio
plasenta total/parsial”. (Wewenang bidan dalam menangani kegawatdaruratan
khususnya pada kasus retensio plasenta adalah bidan harus mampu mengenali
retensio plasenta dan memberikan pertolongan pertama termasuk manual
plasenta dan penanganan perdarahan sesuai dengan kebutuhan). Tujuannya
adalah mengenali dan melakukan tindakan yang tepat ketika terjadi retensio
plasenta.Hasil yang diharapkan ialah penurunan kejadian retensio plasenta. Ibu
dengan retensio plasenta mendapatkan penanganan yan cepat dan tepat.
Penyelamatan ibu dengan retensio plasenta meningkat.

2.2.2 Inversio Uteri


(1) Definisi Inversio Uteri
Uterus berputar balik melalui serviks sehingga endometrium terdapat disebelah
luar. Kejadian inversio ini dapat terjadi paska persalinan atau disebut inversio uteri
obstetri, maupun bukan paska persalinan yang lebih dikenal dengan inversio uteri
ginekologi, akibat proses primer di uterus seperti fibroid, sarkoma dan kanker
endometrium.

2
Inversio uteri pada paska persalinan ini menjadi masalah komplikasi
postpartum yang serius dan dapat berakibat pada perdarahan yang bisa terjadi pada
persalinan kala III. (Kesrouani, Cortbaoui, Khaddage, Ghossein, & Nemr, 2021;
Sadikin, 2018; Widiyanti & Putra, 2022)

(2) Klasifikasi
Pada beberapa studi, inversio uteri terbagi menjadi beberapa klasifikasi,
diantaranya sebagai berikut:
1. Berdasarkan besarnya robekan
a. Inkomplit, yaitu kondisi uterus berputar tapi tidak keluar dari serviks
sehingga hanya terdapat lekukan pada fundus uteri
b. Komplit, dimana fundus uteri menonjol keluar dari serviks
c. Inversio prolaps, terjadi seluruh uterus yang berputar balik terdapat diluar
introitus vagina (Kesrouani et al., 2021; Sadikin, 2018)

Gambar 3. Klasifikasi Inversio Uteri

2. Berdasarkan waktu
a. Akut, apabila inversion uteri terjadi setelah persalinan
b. Subakut, apabila sudah terdapat kontriksi serviks
c. Kronik, ketika terjadi lebih dari 4 minggu setelah persalinan atau tidak
berhubungan dengan persalinan atau kelainan ginekologis (Sadikin, 2018;
Thakur M, 2023)

2
(3) Etiologi Inversio Uteri
Etiologi inversio uterus umumnya terjadi karena kesalahan tata laksana pada
persalinan kala tiga akibat dilakukannya traksi tali pusat eksesif dan tekanan fundus
uteri sebelum separasi plasenta saat persalinan kala tiga. Inversio uterus juga dapat
terjadi tanpa ada hubungannya dengan kehamilan.
1. Etiologi Inversio Uterus yang Berhubungan dengan Kehamilan
Inversio uterus yang berhubungan dengan kehamilan terjadi saat persalinan kala
tiga. Traksi tali pusat eksesif dan tekanan fundus uteri sebelum separasi
plasenta dapat menyebabkan terjadinya inversio uterus. Kedua etiologi ini
umumnya terjadi di negara berkembang oleh tenaga medis yang kurang terlatih.
Selain itu, ada beberapa faktor risiko telah dihubungkan dengan terjadinya
inversio uterus. Berikut ini merupakan faktor risiko inversio uterus:
a. Persalinan cepat
b. Plasentasi invasive
c. Pengeluaran plasenta secara manual
d. Tali pusar pendek
e. Penggunaan agen relaksasi uterus
f. Distensi uterus berlebih
g. Atonia uteri
h. Janin makrosomnia
i. Nullipara
j. Plasenta previa
k. Kelainan jaringan ikat, seperti sindroma Marfan dan sindroma Ehler-
Danlos
2. Etiologi Inversio Uterus yang Tidak Berhubungan dengan Kehamilan
Inversio uterus yang tidak berhubungan dengan masa post partum umumnya
terjadi karena adanya massa pada uterus.

2
Berikut ini merupakan beberapa etiologi inversio uterus yang tidak
berhubungan dengan masa postpartum:
a. Mioma uteri
b. Polip endometriu
c. Tumor maligna
d. Leiomyosarcoma
e. Sarcoma Mullerian campuran
f. Rhabdomiosarkoma
g. Karsinoma endometrium dan servikal

Prolaps dan ekstrusi leiomioma, terutama leiomioma submukosa fundus,


cenderung menjadi faktor yang paling umum yang memicu inversi pada 80-85%
kasus, bersama dengan etiologi lain seperti hormon-hormon dan adanya peningkatan
tekanan intra-abdomen. Sebuah tinjauan sistematis tahun 2018 terhadap 170 laporan
kasus menemukan bahwa leiomioma jinak adalah penyebab utama inversi uterus
kronis (57,2%) diikuti oleh leiomiosarkoma sebesar 13,5%.(Kesrouani et al., 2021)

(4) Tanda dan Gejala Inversio Uteri


Tanda dan gejala utama inversio uteri akut adalah perdarahan dan syok.
Ketepatan dan kecepatan diagnosa dan penanganan kasus akan mengurangi
morbiditas dan mortalitas akibat inversio uteri. Presentasi klinis pasien inversio
uterus umumnya datang dengan benjolan pada vagina yang disertai perdarahan dan
tanda syok. Diagnosis inversio uterus dapat dicurigai ketika klinisi tidak menemukan
fundus uterus pada abdomen. Pemeriksaan bimanual merupakan pemeriksaan paling
penting dalam mendiagnosis inversio uterus, yang dapat menemukan ada tidaknya
fundus uterus pada abdomen dan fundus uterus pada daerah vagina pasien.

2
Gambar 4. Gambaran Inversio Uteri Secara Fisik

Pemeriksaan penunjang umumnya jarang dilakukan, akan tetapi pada beberapa


kasus yang mencurigakan dapat dilakukan pemeriksaan ultrasonografi abdomen
untuk menyingkirkan diagnosis banding, seperti prolaps fibroid dan prolaps uterus.
Tujuan penanganan kasus inversio uterus adalah menjaga stabilitas hemodinamik
pasien dan mereposisi uterus ke letak anatomisnya.

Gambar 5. Gambaran Inversio Uteri Secara MRI

2
Pada penelitian yang dilakukan oleh Herath (2020), menemukan hasil bahwa
USG dan MRI telah berhasil digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis klinis.
Selain itu, identifikasi jaringan endometrium berupa anita atau laparoskopi akan
membantu untuk konfirmasi jika USG dan MRI tidak dapat membedakan
kondisinya. Prosedur Haultain tampaknya merupakan metode yang paling berhasil
reposisi anit, Walaupun, pada anita n besar anita akan membutuhkan histerektomi.
(Herath, Patabendige, Rashid, & Wijesinghe, 2020)

Gambar 6. Hasil Penelitian Inversio Uteri

(5) Dampak dari Inversio Uteri


Kasus akut dapat menyebabkan syok hemoragik, tetapi penanganan yang cepat
biasanya dapat mengurangi gejala sisa jangka panjang. Selain itu, komplikasi kondisi
ini berkisar pada perdarahan, kerusakan multi-organ, syok, sindrom Sheehan, dan
histerektomi. Tanpa pengobatan, kondisi ini dapat menyebabkan kehilangan darah
dan nekrosis jaringan yang signifikan dan terus-menerus.(Thakur M, 2023)

2
(6) Penanganan untuk Inversio Uteri
1. Penanganan inversio uteri secara umum
Pada prinsipnya ada dua tujuan penanganan inversio uteri akut, yaitu reposisi
uterus dan penanganan syok yang terjadi. Kunci keberhasilan penanganan
adalah kerjasama team sebab keduanya harus dilakukan secara
berkesinambungan. dan kadang syok tidak akan teratasi sebelum reposisi
uterus. Keberhasilan reposisi inversio uteri sangat tergantung pada kecepatan
deteksi dini. Semakin lama uterus terinversi akan semakin sulit melakukan
reposisi. Penanganan hipovolemia dilakukan dengan pemasangan jalur
intravena dengan jarum besar (ukuran 18 gauge atau yang lebih besar) dan
penggantian cairan, sedangkan cara untuk menangani syok neurogenik adalah
dengan reposisi uterus. Penggantian volume darah dilakukan dengan cairan
kristaloid sebanyak 3 kali jumlah perdarahan. Bila diperlukan dapat dipasang
jalur intravena tambahan. Personil yang kompeten juga diperlukan dalam
penanganan inversio uteri, seperti dokter anesthesia, personil ruang operasi dan
asisten pembedahan. Lebih baik waspada untuk bertindak lebih awal daripada
terlambat bertindak. Pemeriksaan darah lengkap dan waktu pembekuan harus
dilakukan dan persediaan darah untuk transfusi harus ada. Tanda vital pasien
harus dipantau secara ketat dan kateter urin harus terpasang untuk memonitor
produksi urin. Pemberian oksitosin ditunda dan usaha reposisi uterus melalui
vagina harus segera dilakukan. Para peneliti menganjurkan dilakukan dahulu
reposisi uterus secara manual, sebelum dilakukan usaha untuk melepaskan
plasenta dan reposisi secara operatif. Jika plasenta dilepaskan sebelum reposisi
uterus, risiko penderita untuk kehilangan darah dan syok akan sangat tinggi.
Setelah reposisi, biasanya plasenta akan dengan mudah terlepas.(Widiyanti &
Putra, 2022)

2
2. Penanganan Inversio Uteri Non Bedah
Penanganan inversio uteri non-bedah Terdapat beberapa tehnik non-bedah
untuk reposisi inversio uteri, antara lain: manuver Johnson, manuver Henderson
dan Alles, penggunaan tokolitik, dan reposisi dengan tekanan hidrostatik.
(Widiyanti & Putra, 2022)
a. Manuver Henderson dan Alles
Prinsip manuver ini adalah uterus didorong ke dalam cavum abdomen
hingga di atas umbilikus agar terjadi reposisi. Diperkirakan bahwa aktivitas
pasif dari ligamentum uterus akan mereposisi uterus. Kemungkinan reduksi
spontan adalah 43-88%. Menurut Johnson, manuver ini dilakukan dengan
memasukkan seluruh tangan hingga dua per tiga lengan bawah ke dalam
vagina. Bagian uterus yang keluar terakhir, harus terlebih dulu dimasukkan.
Dengan memegang fundus uteri dengan telapak tangan dan ujungujung jari
diletakkan pada utero-servikal junction, fundus uteri didorong hingga di
atas umbilikus. Diperlukan tekanan jari- jari secara konstan selama
beberapa menit (minimal 5 menit). Hal ini akan menegangkan ligamentum
uterus, dan akibatnya cincin servikalis akan relaks dan melebar, sehingga
mempermudah pergerakan fundus melalui cincin tersebut. Sehingga
inversio uteri terkoreksi. Jika reposisi dilakukan sebelum terbentuknya
cincin servikalis, prosedur ini relatif mudah dilakukan. Metode ini
mengurangi jumlah lapisan uterus yang harus melalui serviks pada saat
yang sama. Setelah uterus direposisi, tangan operator tetap berada di dalam
cavum uteri hingga terjadi kontraksi dan hingga diberikan oksitosin
intravena. Masalah utama penerapan manuver Johnson adalah karena kasus
inversio uteri akut sangat jarang, sulit bagi penolong persalinan untuk
mendapatkan kompetensi dalam melakukan prosedur ini. Oleh karena itu,
perlu diadakan pelatihan simulasi.(Widiyanti & Putra, 2022)

3
b. Penggunaan Tokolitik
Manuver ini dilakukan dengan cara memegang cincin serviks dengan ring
forseps, kemudian fundus uterus didorong ke arah atas atau anterior.
Manuver ini dilakukan bila dengan cara manual, reposisi belum berhasil.
(Widiyanti & Putra, 2022)
c. Reposisi dengan Tekanan Hidrostatik
Dengan adanya cincin konstriksi, reposisi inversio uteri akan sangat sulit.
Tokolitik berperan untuk merelaksasikan uterus, sebelum reposisi manual
maupun sebelum penggunaan tekanan hidrostatik. Namun perlu
diperhatikan bahwa efek samping penggunaan tokolitik adalah perdarahan
postpartum akan semakin banyak, yang tentu sangat tidak diharapkan
terjadi pada pasien yang telah syok sebelumnya..(Widiyanti & Putra, 2022)
3. Penanganan inversio dengan pembedahan
Prosedur pembedahan untuk reposisi inversio uteri dapat dilakukan melalui
vagina maupun abdominal, dari cara laparotomi hingga penggunaan
laparoskopi. Namun yang direkomendasikan saat ini adalah prosedur
pembedahan melalui abdominal, yaitu Prosedur Huntington, dengan
laparotomireposisi melalui abdominal dan Prosedur Haultain, dengan
laparotomi- insisi cincin servikalis-reposisi melalui abdominal. Prosedur
reposisi melalui vagina tidak direkomendasikan, karena tingginya risiko
perluasan insisi hingga ke vesika urinaria, ureter dan pembuluh darah besar di
sekitarnya. Selain itu, pasien ini berisiko mengalami inkompetensi serviks pada
kehamilan berikutnya. Dalam prosedur ini, cavum abdomen dibuka melalui
kolpotomi anterior (Prosedur Spinelli) maupun kolpotomi posterior (Prosedur
Kustner).(Widiyanti & Putra, 2022)

3
Gambar 7. Penanganan Inversio Uteri

3
BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Kesimpulan pada makalah ini adalah sebagai berikut:
(1) Persalinan kala III merupakan tahapan berikutnya setelah proses kala II
terlewati, kala III dimulai sejak bayi lahir sampai lahirnya plasenta. Terjadinya
pelepasan plasenta dari dinding rahim akibat adanya kontraksi. Setelah kala II
persalinan berlalu plasenta terlepas dari dinding rahim, menyebabkan otot-otot
rahim berkontraksi dan terjadinya penurunan volume rongga rahim setelah bayi
lahir. Pengosongan rongga rahim menyebabkan plasenta terlepas dari
perlekatannya dan darah berkumpul di ruang uteroplasenta. Tanda pelepasan
plasenta yaitu uterus globuler, tali pusat memanjang, dan keluar semburan
darah. Adapun manajemen aktif kala 3 terdiri dari pemberian oksitosin,
penegangan tali pusat terkendali, dan masase fundus uteri.
(2) Komplikasi yang dapat terjadi pada persalinan kala 3 yaitu retensio plasenta
dan inversio uteri. Retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya
plasenta hingga atau melebihi waktu 30 menit setelah bayi lahir. Adapun
inversion uteri adalah kondisi dimana uterus berputar balik melalui serviks
sehingga endometrium terdapat disebelah luar.

3.2 Saran
Adapun saran-sarannya sebagai berikut:
(1) Diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan mengenai persalinan pada kala 3
baik secara fisiologis dan patologis
(2) Diharapkan dapat meningkatkan kembali keterampilan persalinan baik dalam
fisiologis ataupun komplikasi agar mencegah kematian pada ibu dan bayi

3
DAFTAR PUSTAKA

Asfia, F., & Rahmayanti, E. (2022). Determinan Kejadian Perdarahan Post Partum
Karena Retensio Plasenta. Journal of Baja Health Science, 2(02), 158–171. doi:
10.47080/joubahs.v2i02.2195
Elvira, D, A., Prastowo, & Marasing. (2023). Buku Ajar Asuhan Kebidanan Pada
Persalinan Kala III. Jakarta: Mahakarya Citra Utama.
fatmawati. (2020). Hubungan Manajemen Aktif Kala III.
Herath, R. P., Patabendige, M., Rashid, M., & Wijesinghe, P. S. (2020).
Nonpuerperal Uterine Inversion: What the Gynaecologists Need to Know?
Obstetrics and Gynecology International, 2020. doi: 10.1155/2020/8625186
Kementrian Kesehatan Republik indonesia. (2023). Retensio Plasenta.
Kepmenkes No.320 tahun 2020 tentang Standar Profesi Bidan. (2020).
Kesrouani, A., Cortbaoui, E., Khaddage, A., Ghossein, M., & Nemr, E. (2021).
Characteristics and Outcome in Non-Puerperal Uterine Inversion. Cureus, 13(2),
5–8. doi: 10.7759/cureus.13345
Nurasiah, A., Ani, & Dewi. (2012). Asuhan Persalinan Normal Bagi Bidan.
Bandung: PT Refika Aditama.
Perlman, N. C., & Carusi, D. A. (2019). Retained placenta after vaginal delivery:
Risk factors and management. International Journal of Women’s Health, 11,
527–534. doi: 10.2147/IJWH.S218933
Prawirohardjo, S. (2014). Prawirohardjo, Sarwono. 2014. Ilmu Kebidanan Sarwono
Prawirohardjo. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Rahyani, N. K. Y., Lindayani, K., Suarniti, N. W., Mahayati, N. M. D., Astiti, N. K.
E., & Dewi, I. N. (2020). Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Yogyakarta: Andi.
Ramadhan, Rasyid, & R. (2019). Profil Pasien Hemorrhagic Postpartum di RSUP Dr
. M . Djamil Artikel Penelitian. Jurnal Kesehatan Andalas, 8(Supplement 2),

v
46–53.
Rohani, Saswita, & Marisa. (2013). Asuhan Kebidanan pada Masa Persalinan.
Jakarta: Salemba Medika.
Sadikin, R. D. H. (2018). Panduan Praktik Klinik Obstetric&Gynaecology.
Thakur M, T. A. (2023). Uterine Inversion. StatPearls. Retrieved from
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK525971/
Wahidah, N. J. (2017). Modul Pengantar Asuhan Kebidanan Persalinan Perubahan
Fisiologi dan Psikologi Ibu Bersalin. Fakultas Kedokteran UNS, 1–32.
Widiastutik, S. (2020). Hubungan Manajemen Aktif Kala Iii Dengan Kejadian
Perdarahan Post Partum Primer Di Pbm Umi Surabaya. J-HESTECH (Journal
Of Health Educational Science And Technology), 3(1), 35. doi:
10.25139/htc.v3i1.2383
Widiyanti, E. S., & Putra, I. G. M. (2022). Penanganan inversio uteri: sebuah tinjauan
pustaka. Intisari Sains Medis, 13(1), 136–142. doi: 10.15562/ism.v13i1.1262

v
LAMPIRAN

Lampiran 1. Media Persalinan Kala III


https://drive.google.com/drive/folders/13hQZ7XN2V9OW1LoS--7gldx8wFQPBPh_

Lampiran 2. Evaluasi
1. Ny.E 38 yg melahirkan anak ketiga. Bayi lahir 30 menit yll dlm kondisi sehat,
bayi jenis kelamin laki2 & memiliki BB lahir 3000 gr, tetapi plasenta belum
lahir. Diagnosis yg tepat sesuai kasus tersebut adalah...
a. Atonia Uteri
b. Inversio Uteri
c. Plasenta Previa
d. Solusio Plasenta
e. Retensio Plasenta
2. Ny.H 32 th G2P1A0 melahirkan 30 menit yll di RS & plasenta blm lahir. Hasil
pemeriksaan KU ibu dlm bts normal.Tindakan yg tepat dilakukan oleh bidan
adalah...
a. Pasang infuse
b. Pasang tranfusi
c. Injeksi oksitosin
d. Manual plasenta
e. Pasang oksigenasi

v
3. Ny.L 30 th melahirkan bayi pukul 12.00 WIB di BPM.Plasenta lahir 30 menit
kemudian,drh keluar,kontraksi uterus lemah.setelah dilakukan pemeriksaan
kelengkapan plasenta ternyata ad bbrapa kotiledon yg blm lengkap. Tindakan
yg tepat dilakukan adalah...
a. KBI
b. KBE
c. Masase Uterus
d. Manual Plasenta
e. Eksplorasi Plasenta
4. Pada tanggal 17 Juli 2023, Ny N bersalin diparaji. Kemudian, paraji segera
mengantar Ny.N ke BPM Bidan Bunga dengan kondisi perdarahan, dan seluruh
uterus berputar balik diluar introitus vagina. Kondisi tersebut dinamakan…
a. Inversio Uteri Inkomplit
b. Inversio Uteri Komplit
c. Inversio Uteri Prolaps
d. Inversio Uteri Akut
e. Inversio Uteri Kronik
5. Penanganan inversion uteri non-bedah, kecuali….
a. Manuver Johnson
b. Manuver Henderson dan Alles
c. Penggunaan tokolitik
d. Reposisi dengan tekanan hidrostatik
e. Laparatomi

Anda mungkin juga menyukai