Anda di halaman 1dari 48

MAKALAH

KEADILAN HUKUM DALAM ISLAM


Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Seminar Agama Islam
Dosen Pengampu : Mohamad Romdon, M.Ag.

Disusun oleh :
Kelompok 7
Kelas E

Ami Mi’raj Zakiyah 22843078


Ari Ahmad Febrianto 22844075
Dian Nuryaman 22842085
Mentary Sopiawati Pazrin 22843082
Najmah Shabibah 22842087
Resti Putri Prajaswati 22843056

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS PENDIDKAN ILMU SOSIAL, BAHASA DAN SASTRA
INSTITUT PENDIDIKAN INDONESIA
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan saya kemudahan
sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya saya tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah
ini dengan baik. Sholawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda
tercinta kita yaitu nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nanti kan syafaatnya di
akhirat nanti.
Saya mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat schat-
Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga saya mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah dengan judul “KEADILAN HUKUM
DALAM ISLAM.”
Semoga makalah ini bisa berguna untuk kedepannya nanti dan saya
memohon maaf jika ada kesalahan dalam penulisan makalah ini.

Garut, Mei 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

SAMPUL DEPAN...................................................................................................i
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang.............................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................3
C. Tujuan Masalah............................................................................................3
D. Sistematika Penulisan...................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................5
A. Landasan pemikiran hukum dalam Islam....................................................5
B. Tindakan yang bersangsikan Had..............................................................11
C. Tindakan yang bersangsikan Qishas..........................................................18
D. Tindakan yang bersangsikan Ta’zir...........................................................22
E. Hikmah Diadakannya Hukuman dalam Islam...........................................30
BAB III PENUTUP..............................................................................................34
A. Kesimpulan................................................................................................34
B. Saran...........................................................................................................34
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah


Keadilan merupakan sesuatu yang sangat signifikan dalam
kehidupan sehari-hari. Berlaku adil merupakan salah satu prinsip Islam yang
dijelaskan dalam berbagai nas al-Qur’an. Prinsip ini benar-benar merupakan
akhlak mulia yang sangat ditekankan dalam islam, sehingga wajar bila
tuntunan dan aturan agama semuanya dibangun di atas dasar keadilan dan
seluruh lapisan manusia diperintahkan untuk berlaku adil. Syari’at Islam yang
diturunkan dari Allah SWT, telah menanamkan dasar keadilan dalam
masyarakat muslim yang tidak ada duanya, yang tidak dikenal oleh
masyarakat manusia dalam sejarah mereka dahulu, dan tidak sampai
kepadanya dalam sejarahnya sekarang. Hal ini karena ia mengaitkan
terealisasinya keadilan dalam dengan Allah, Allah-Lah yang memerintahkan
untuk berbuat adil, dan Dia-Lah yang mengawasi pelaksanaannya dalam
kehidupan nyata. Keadilan yang dibicarakan dan dituntut oleh alquran
sangat bervariasi, tidak hanya pada proses penetapan hukum atau terhadap
pihak yang berseteru, melainkan alquran juga menuntut keadilan terhadap
diri sendiri, baik ketika berucap, menulis, atau bersikap batin. Di kalangan ahli
hukum, syari’ah disebutkan lebih banyak memuat hukum- hukum yang
bersifat teoritis dan masih memerlukan penafsiran untuk
praktisnya. Hal ini disebabkan syari’ah lebih kepada prinsip-prinsip dasar
hukum Islam itu sendiri. Sedangkan, fiqh justru lebih bersifat praktis dan
menyentuh segi-segi hukum yang konkret dan horizontal, karena fiqh lahir
dari produk pemikiran manusia, maka fiqh relatif mengandung interpretable
dan dapat berubah sesuai dengan tuntutan realitas. Terlebih lagi dalam
wacana hukum Islam modern, hukum diakui tat-kala hukum tidak semata-
mata merupakan peraturan, tetapi harus termuat dalam suatu
bingkai ketentuan
hukum yang tertulis melalui proses taqnîn.
Perkembangan hukum Islam disinyalir oleh Joseph Schacht telah

1
mengalami perubahan substansial pada segi-segi hukumnya disebabkan oleh:

2
Pertama, pada awal waktu pengenalan teori hukum, mengindikasikan bahwa
sumber hukum material hukum Islam bukan hanya Al-Quran dan Sunnah,
tetapi juga ijtihâd (ra’yu); Kedua, pada masa modern hukum diakui apabila
ditransformasikan ke dalam bentuk perundang-undangan (taqnîn) secara
tertulis, legal dan formal sejalan dengan kebijakan politik hukum suatu negara.
Karena dua hal itu, maka hukum Islam berlalu dipengaruhi oleh faktor sosial,
budaya, politik, geografis dan pemikiran para ahli hukum. Oleh karena itu,
berlakunya hukum Islam dalam kehidupan masyarakat muslim akan
berhadapan dengan pemikiran masyarakat modern barat. Dimana
perkembangan teknologi dan kebudayaan barat tanpa disadari telah berbaur
dengan kaidah-kaidah dasar hukum Islam, sehingga keadaan ini secara
simultan akan merangsang perubahan cara pandang dan pola pikir umat Islam
dalam menjalankan hukum Islam. Tidak dapat dipungkiri bahwa kejahatan di
atas bumi ini tidak akan pernah hilang sejak zaman dahulu hingga saat ini.
Akan tetapi untuk meminimalisir terjadinya kejahatan tersebut sangat penting
adanya aturan berupa sanksi yang akan dikenakan kepada pelakunya, dengan
fungsi sebagai pelajaran dan pencegahan, agar si pelaku atau pun orang lain
tidak berani untuk melakukan kejahatan lagi. Hukum Islam merupakan hukum
yang bersumber dari Allah selaku pencipta alam semesta dan pengatur segala
hal yang ada di dalamnya. Hukum Islam memiliki karakter yang menyeluruh
dan sempurna hingga menyentuh berbagai sendi kehidupan manusia.
Menurut Hasbi Ash Shiddiqie Hukum Islam memiliki karakter takamul
yakni lengkap dan sempurna lagi bulat, di dalamnya terkumpul berbagai
macam segi kehidupan dan menghimpunnya dalam satu kesatuan dan saling
melengkapi (Ash-Shiddieu, 1993). Di antara sendi kehidupan yang
disentuh Hukum Islam adalah segi Hukum Pidana atau hukum tentang
kejahatan. Menurut Andi Sofyan, Hukum Pidana pada hakikatnya adalah
hukum atau ketentuanketentuan mengenai tindak kejahatan dan pidana
(Sofyan & Azisa, 2017). Dalam Hukum Islam (fikih) pembahasan mengenai
Hukum Pidana diberikan ruang tersendiri yakni dalam Fikih Jinayah yakni
bagian dari Hukum Islam yang secara khusus membahas mengenai berbagai
tindak pidana

3
dalam Islam (dalam Hukum Pidana Islam disebut jarimah/jinayah) dan segala
hal yang terkait di dalamnya.
Pembagian tindak pidana (jarimah) dalam Islam dapat dilihat dari
berbagai segi, salah satunya adalah dalam hal berat ringannya hukuman yang
dibebankan kepada pelakunya. Ketiga jenis jarimah yang telah disebutkan di
atas tentunya tidak diterapkan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) mengingat Indonesia bukan merupakan negara yang berasaskan
Hukum Islam melainkan negara dengan asas dan falsafah bangsa yang kita
kenal sebagai Pancasila. Namun demikian, rupanya dalam kehidupan sehari-
hari istilah-istilah yang digunakan dalam Hukum Pidana Islam sering
digunakan baik sebagai istilah belaka maupun sebagai legitimasi sebuah
aturan. Contoh penggunaan istilah tersebut semisal ditemukan dalam lembaga
pesantren yang sering menggunakan istilah ta’zir dalam menyebut hukum atau
aturan yang ditegakkan dalam lingkungannya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Landasan Pemikiran Hukum dalam Islam?
2. Tindakan Apa yang Bersangsikan Had?
3. Tindakan Apa yang Bersangsikan Qishas?
4. Tindakan Apa yang Bersangsikan Ta’zir?
5. Apa Hikmah Diadakannya Hukuman dalam Islam?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Landasan Pemikiran Hukum dalam Islam
2. Memahami Tindakan yang Bersangsikan Had
3. Memahami Tindakan yang Bersangsikan Qishas
4. Memahami Tindakan yang Bersangsikan Ta’zir
5. Mengetahui Hikmah Diadakannya Hukuman dalam Islam

4
D. Sistematika Penulisan
Dalam menyusun makalah ini, agar dalam pembahasan terfokus pada
pokok permasalahan dan tidak melebar kemasalah yang lain, maka penulis
membuat sistematika penulisan makalah sebagai berikut :
BAB 1 PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis membahas tentang latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB 2 PEMBAHASAN
Dalam bab ini penulis membahas tentang landasan pemikiran hukum
dalam islam, tindakan yang bersangsikan had, tindakan yang bersangsikan
qishas, tindakan yang bersangsikan ta’zir dan hikmah diadakannya hukuman
dalam islam.
BAB 3 PENUTUP
Dalam bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Landasan Pemikiran Hukum dalam Islam

Alquran dan sunah merupakan sumber dan dalil hukum yang disepakati
oleh para ulama. Sunah nabi merupakan penjelasan Alquran dan dengan kata
lain Alquran dan sunah adalah dua sepadan yang tidak dapat dipisahkan,
seperti halnya al-Mubayyan dengan al-Bayyan. Alquran merupakan garis
besar syariat Islam yang menyeluruh, sedangkan sunah merupakan
penjabaran bagian- bagiannya. Dengan demikian Alquran merupakan sumber
pertama dan utama hukum Islam karena secara kerangka historis merupakan
fenomena menarik di mana Alquran diturunkan tidaklah sekaligus secara
utuh. Akan tetapi memakan waktu yang cukup lama yaitu semenjak
Rasulullah diangkat menjadi Rasul sampai beliau wafat, lebih kurang 23
tahun. Namun demikian keotentikannya dijamin oleh Allah Swt.
1. Pengertian Sumber dan Dalil Hukum
Sumber dalam pengertian bahasan berarti: rujukan utama, tempat
dikembalikan sesuatu. Alquran merupakan sumber yang pertama dari syariat
dan bahkan ia merupakan satu-satunya sumber. Karena sumber yang
hanyalah Alquran. Sementara sunah merupakan sumber kedua setelah
Alquran. Kata sumber hanya dapat digunakan untuk Alquran dan as- sunah.
Jadi dapat dipahami bahwa sumber hukum merupakan tempat mengambil
dalil hukum, yakni Alquran dan sunah. Sedangkan dalil dapat digunakan
untuk Alquran, sunah, ijmak, qiyas namun yang dimaksud dengan mashadir
al ahkam dalam Islam adalah Alquran dan as-sunah. Ayat dalam Alquran
dan matan sunah jika diambil dan digunakan atau dijadikan sebagai
landasan berpikir maka ayat dan atau matan sunah itu disebut dalil. Contoh
bahwa hukum melaksanakan salat adalah wajib bersumber dari Alquran
dengan dalil (dengan menyebutkan ayat tentang salat) dan bersumber dari
hadis, dalilnya (dengan menyebutkan matan hadis tentang salat).

6
Abdul Wahab Khalaf menyatakan bahwa pengertian dalil al hukum
identik dengan ushul al ahkam (dasar-dasar hukum) dengan demikian kata
dalil dapat digunakan hanya untuk Alquran dan as-sunnah. Sementara
ulama’ ushul fikih mengklasifikasikan dalil syara’ pada dua kelompok,
yaitu:
a. Adillah al-ahkam al-mutafa’ alaihi. Yaitu dalil-dali syara’ yang
disepakati, yang termasuk katagori ini Alquran dan as-sunah, dan
iijmak
b. Adillah al-ahkam al-mukhtalif fiha, yaitu dalil syara’ yang
diperselisihkan, yang termasuk katagori ini adalah qiyas, istihsan,
maslahah al mursalah, al urfu, sad azdariah, syar’u man qoblana.
Dilihat dari pembagian kekuatan hukum dari segi sumbernya yaitu;
a. Hukum yang sumbernya, nash yang qoth, ini wajib diikuti oleh setiap
muslim dan tidak boleh diperselisihkan.
b. Hukum yang sumber Nasnya zhannni ini dilakukan ijtihad. Hukum
yang tidak memiliki nash yang goth’i dan zhonni tapi inigad, ini
dilakukan dengan ijmak”.
c. Hukum yang tidak ada nasnya,tidak qathi, tidak zhonni, dan tidak
in’iqad ini dilakukan dengan istinbat.
2. Pengertian Al Quran
Secara etimologis Alquran adalah bacaan. Hal ini dapat dijumpai dalam
firman Allah surat Al-Qiyamah;17-18 :
P‫ي ج َم َعه‬ ‫ذا قرأنه قانع قرانه َرأَه‬Pِ‫إن علينا جمعه وفرة انه َفإ‬
‫ ب ع نَ ا‬Pَّ‫َفات‬
ِ
‫ع‬
َ‫ل‬
Artinya : “Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di
dadamu)dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai
membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.”
Secara terminologi pengertian Alquran ditemukan
a. Menurut al Almidi;
‫مغزل علينا على لسان جير على‬P ‫القرآن ال‬
jibril”. perantara dengan kita kepada diturunkan yang “Alquran

7
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa Alquran adalah lafaz
berbahasa Arab, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw yang
dinukilkan secara

8
mutawatir, yang mengandung mukjizat dan beribadah membacanya,
terdapat dalam mushaf, yang dimulai dari surat al-Fatihah dan ditutup
dengan surat An-Nas. Alquran mengandung beberapa unsur yang
menjelaskan hakikatnya sebagai kitab Alquran, diantaranya:
a. Berbentuk lafaz
b. Berbahasa Arab
c. Di turunkan kepada Nabi Muhammad
d. Di nukilkan secara mutawatir.
Ulama Ushuliyyun dan ulama’ lainnya sepakat menyatakan bahwa
Alquran adalah sumber pertama dan utama hukum Islam yang diturunkan
Allah Swt. Sebelum membahas dan meneliti ayat Alquran, seorang mujtahid
tidak dibenarkan menjadikan dalil lain sebagai hujjah. Apabila suatu kasus
yang dicari belum ditemukan dalam Alquran barulah menggunakan dalil
lain. Alquran adalah sumber hukum yang asasi yang berlaku semenjak
turunnya wahyu, sekarang dan akhir zaman.
Ada faktor- faktor yang membuat Alquran itu menjadi mukjizat yang
tidak dapat ditandingi oleh akal manusia biasa, yaitu:
a. Aspek keindahan dan ketelitian redaksianya.
b. Aspek pemberitaan gaib yang di paparkan Alquran
c. Isyarat-syarat ilmiyah yang dikandung Alquran.
Sedangkan hukum-hukum yang terkandung dalam Alquran adalah :
a. Hukum-hukum Itiqad yaitu hukum yang berhubungan dengan
kewajiban mahallaf untuk mempercayai Allah Swt, malaikat, kitab-
kitab, dan Rasul-Nya serta hari kiamat.
b. Hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlak dalam mencapai
keutamaan.
c. Hukum-hukum amaliah, hukum ini terbagi kepada dua bagian, yaitu :
1) Hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah
2) Hukum-hukum yang berkaitan dengan muamalah

9
3. Pengertian Sunah
Secara etimologi sunah bermakna cara yag biasa dilakukan terpuji atau
tidak terpuji. Sedangkan sunah secara terminologi, menurut ulama
Mutakadimin bermakna Sesuatu yang bersumber dari Rasulullah Saw,
berupa perkataan, perbuatan ataupun taqrir.
Sedangkan ulama Usuliyyin mengemukakan sebagai berikut:
‫در ما‬PPP‫ه ص‬P P P‫ير هلال رسول عن‬PPP‫ول من القرآن غ‬PPP‫ل أو ق‬PPP‫ر أو فع‬PPP‫تقري‬
Artinya : “Sesuatu yang bersumber dari Rasulullaha saw, selain Alquran
baik perkataan, perbuatan ataupun taqrir, yang dapat dijadikan dalil dalam
menetapkan hukum.”
Dari definisi yang di atas dipahami bahwa sunah menurut ulama tersebut
adalah sesuatu yang disandarkan kepada nabi hanya saja ulama Usuliyyin
menekankan kepada perbuatan, perkataan, dan taqrir nabi yang dapat
dijadikan dalil hukum setelah nabi menjadi rasul, karena ulama Usuliyyin
bertugas untuk menggali hukum hukum agama baik dari nash atau dari
hadis dan objek kajiannya yang bermuatan hukum syari. Para ulama
membagi sunah menjadi tiga macam, yaitu:
a. Sunah gauliyah adalah sunah yang langsung diucapkan oleh
Rasulullah Saw.
b. Sunah filiyah adalah sunah yang berkaitan dengan perbuatan Nabi
Saw, seperti salat dan haji.
c. Sunah taqririyah adalah perbuatan para shahabat yang dilakukan atas
sepengetahuan Rasulullah tetapi Rasul hanya diam saja dan tidak
membatalkanya.
Perbuatan Nabi Saw tidak semuanya harus di ikuti oleh umatnya,
disebabkan pebuatan tersebut ada yang tidak mempunyai daya hukum,
seperti perbuatan Nabi Saw sebagai manusia biasa (makan, minum, menjahit
sepatu). Dan ada perbuatan khusus yang dilakukan oleh nabi dan umat
menyepakati hal itu. Sementara perbuatan yang dilakukan oleh para sahabat,
dengan sikap diam Rasulullah tersebut dan tidak menolak perbuatan atau
ucapan para sahabat itu di pandang atas persetujuan beliau.

1
4. Kedudukan dan Fungsi Sunah
a. Kedudukan Sunah
Penerapan ajaran Alquran dalam kehidupan, antara Alquran dan al
sunah sebagai sumber hukum tidak dapat dipisahkan. Tanpa sunah dan
Alquran tidak dapat dimengerti karena kedudukan sunah menempati
urutan kedua setelah Alquran. Yakni sebagai rujukan bagi mujtahid
dalam menentukan hukum. Hal ini menunjukan bahwa, Alquran
merupakan sumber pokok dan pertama bagi pembentukan hukum Islam.
Maka apabila di dalam Alquran dijumpai nash mengenai hukum Islam
maka nash itu harus diikuti. Tapi apabila belum dijumpai dalam Alquran
maka harus dikembalikan pada alsunah. Apabila didapati hukum yang
pasti di dalam sunah, maka sunah tersebut harus diikuti. Jadi derajat
sunah sebagai dalil berada setelah Alquran berdasarkan :
1) Alquran qath’i sedangkan sunah zhanni. Sunah di pandang zhanni
secara umum tidak secara terperinci. Berbeda dengan Alquran yang
dipandang qoth’i secara umum dan tidak secara terperinci. Yang
qath’i hendaklah didahulukan dari yang zhannimaka jelaslah
Alquran lebih didahulukan dari al sunah.
2) Sunah merupakan penjelasan Alquran. Bila sunah sebagai bayan,
maka tempatnya yang kedua setelah mubayyan. Dan apabila sunah
bukan merupakan bayan, maka ia dipakai ketika persoalan tersebut
tidak diperoleh di dalam Alquran.
Menurut as Syatibi, penetapan sunah sebagai sumber bukan berarti
mendahulukan sunah dari Alquran dan atau membuang Alquran, seolah-
olah sunah sama dengan tafsir dan syarah dari makna hukum yang
terdapat dalam Alquran. Dalam ungkapan Alquran ada yang mengandung
dua pengertian atau lebih, maka sunahlah yang memperjelaskan
maksudnya. Dalam hal ini yang diamalkan adalah sunah, bukan unkapan
Alquran. Selain itu sunah juga mentakyid kemutlakan Alquran, dan
mengkhususkan keumumannya.

1
b. Fungsi Sunah
1) Menjelaskan maksud hukum yang mutlak yang ada dalam Alquran.
Artinya perintah Allah ini tidak menjelaskan ukuran yang dipotong
dan nisab harta yang dicuri. Tugas Rasulullah adalah menjelaskan
yang mutlak tersebut, yaitu bahwa tangan yang dipotong itu sampai
dengan pergelangan tangan dan nisab barang yang dicuri itu
seperempat dinar.
2) Merinci kemujmalan Alquran. Tugas Rasulullah menjelaskan
bilangannya, syarat dan waktunya di antara penjelasanya.
3) Mengkhususkan hukum-hukum yang bersifat umum dalam
Alquran, seperti masalah-masalah pembagian harta warisan.
5. Kehujjahan Sunnah
Umat Islam telah sepakat bahwa apa yang bersumber dari Rasulullah
berupa perkataan, perbuatan maupun takrir, merupakan sumber hukum yang
kedua setelah Alquran. Karena Alquran sebagai sumber rujukan istinbat
hukum syariat bagi makallaf yang pertama Kehujjahan sunah diperkuat
dengan dalil-dalil sebagai berikut.
a. Nash Alquran
Banyak dari ayat Alquran menyuruh hamba-Nya dengan perintah
iman kepada Rasullah berarti taat kepada Allah. Allah telah
menggandengkan perintah iman kepada-Nya dengan perintah iman
kepada Rasulullah-Nya.
b. Ijmak Sahabat
Sahabat sepakat tentang kehujjahan sunah dengan wajibnya mengikuti
sunah tersebut baik ketika Rasulullah masih hidup maupun sesudah
wafatnya. Karena kehujjahan sunah merupakan dalil pokok dan dalil
syara’ di masa Abu Bakar, Umar dan sahabat lainnya jika tidak menemui
hukum dari sesuatu permasalahan di dalam Alquran maka mereka
menetapkan hukum dengan sunah.
c. Menurut Akal
Allah mewajibkan kepada manusia untuk melakukan ibadah fardu
dengan tidak menjelaskan secara detail, mengenai hukumnya atau

1
caranya.

1
Dan yang menjelaskan keumuman tersebut adalah Rasulullah Saw.
Setiap sunah menjelaskan hukum yang ada dalam Alquran maupun yang
tidak ada (belum ditemukan) dalam Alquran.
Sebagai implikasi dari dua sumber hukum di atas, maka dalam kajian
pemikiran hukum Islam dikenal dua aliran utama dalam madzhab hukum
Islam, yaitu aliran fuqaha yang berpegang pada nash atau biasa disebut
dengan ahl al-hadîts/mutakallimîn (Imam Syâfi‘i dan pengikutnya) dan aliran
fuqaha yang lebih berpegang kepada ra’yu/akal dalam merumuskan metode
hukumnya, dikenal sebagai ahl al-ra’yu (Imam Hânafi dan pengikutnya). Di
antara hal-hal yang diperselisihkan oleh para ulama dan dua aliran besar
dalam hukum Islam tentang kedudukan sumbersumber hukum Islam adalah:
Pertama, masalah hadits/sunnah yang diperdebatkan sisi orisinalitas dan
validitasnya baik dari segi sanad, rawi maupun materi (matan) haditsnya serta
tingkat orientasi dan kecenderungan ulama di dalam memakai hadits sebagai
dasar hukum; Kedua, perbedaan pendapat tentang sumber hukum Islam selain
Al-Quran dan Sunnah, yaitu Qiyash, Istihsân, Mashlahah al-Mursalah, dan
sebagainya.

B. Tindakan yang Bersangsikan Had


1. Jarimah Hudud
Jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had. Had
secara bahasa adalah pemisah antara dua hal supaya tidak bercampur dengan
yang lainnya, atau batasan antara satu dengan yang lainnya, atau pemisah
antara dua hal yang sudah mempunyai batas. Sebagai contoh batas tanah,
batas haram dan sebagainya.
Menurut istilah Syara‘, sebagaimana dinyatakan oleh ‘Abd al-Qadir
‘Awdah, jarimah hudud yaitu:
had. ‫الى‬P ‫ق هلال تع‬P ‫درة ح‬PP‫ة المق‬P P ‫د هو العقوب‬P‫ والح‬.‫اقب عليها بحد‬PP‫رائم المع‬P ‫جرائم الحدود هو الج‬
hukuman dengan diancam yang jarimah adalah hudud “Jarimah Artinya:
dan macam ditentukan telah yang hukuman ancaman adalah had Dan
Allah.” hak menjadi dan jumlahnya

1
Demikian juga yang dinyatakan oleh Muhammad Abu Syuhbah bahwa
had merupakan hak mutlak bagi Allah, tidak boleh ditunda tanpa alasan
yang jelas, ditambah dan dikurangi. Penguasa dalam hal ini hanya berhak
melaksanakan sebagaimana ketentuan yang terdapat dalam ketentuan syara‘.
Selanjutnya Abu Syuhbah mengatakan had bukan merupakan hak khalifah
atau qadi dan tidak ada toleransi dalam penegakannya. Wahbah
Zuhayli mendefinisikan, had adalah suatu ketentuan yang apabila
dilanggar, maka pelakunya dihukum dengan hukuman yang telah
ditentukan dalam al-Qur’an, tidak boleh ditambah dan dikurangi.
Berdasarkan keterangan tersebut dapat dipahami bahwa, had adalah
hukuman yang telah ditentukan batas, jenis dan jumlahnya, dan hukuman itu
merupakan hak Allah dengan pengertian bahwa hukuman tersebut tidak bisa
ditambah, dikurangi oleh siapapun dan tidak mempunyai batas tertinggi atau
terendah. Juga yang dimaksud dengan hak Allah di sini adalah setiap
hukuman yang dikehendaki oleh kepentingan umum untuk memelihara
ketenteraman dan keamanan masyarakat. Dengan kata lain setiap jarimah
yang mengganggu kepentingan masyarakat berarti telah mengganggu
hak Allah dan pantas dihukum dengan ketentuan-Nya.
Jarimah hudud, lebih lanjut meliputi perbuatan maksiat yang “besar”,
yang sudah pasti dan tertentu bentuknya sebagaimana yang telah disepakati
oleh fuqaha’ ada tujuh macam, yaitu: Zina, qadhaf (menuduh orang
berbuat Zina), mencuri, minum khamar, merampok, memberontak dan
murtad. Terhadap bentuk-bentuk jarimah di atas, fuqaha’ menamakannya
dengan hudud tanpa diikuti kata jarimah, seperti jarimah zina, jarimah
minum khamar dan seterusnya. Hukuman terhadap bentuk-bentuk jarimah
tersebut, oleh fuqaha’ dinamakan dengan hudud, dan penyebutannya tetap
memakai kata-kata hudud, seperti had sirqah (hukuman mencuri), had
syurbah (hukuman minum khamar), dan lain-lain, tidak dengan
menggunakan istilah ‘uqubah akan tetapi maksudnya adalah ‘uqubah sirqah
(hukuman mencuri), ‘uqubah syurbah (hukuman minum khamar).
Kejahatan-kejahatan jarimah tersebut di atas, hukumannya langsung
ditetapkan oleh syara‘ atas dasar

1
kepentingan dan perlindungan masyarakat, yang merupakan hak Allah swt.
yang tidak dapat ditambah, dikurangi dan dihapus oleh siapapun, baik
atas nama pribadi, masyarakat ataupun atas nama penguasa (kepala negara).
Penguasa hanya dapat bertindak menetapkan jarimah ini berdasarkan
ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh syara‘. Apabila seseorang terbukti
di muka hakim telah melakukan salah satu dari jarimah yang diancam
dengan hukuman had, maka hakim atau penguasa tidak ada hak untuk
campur tangan selain menjatuhkan hukuman terhadap pelaku yang telah
terbukti itu. Jadi dalam hal hukuman had ini, syari‘ah Islam tidak
mengenal apa yang disebut dengan istilah grasi, amnesti dan abolisi
dari kepala negara sebagaimana yang dikenal dalam hukum pidana positif.
2. Bentuk Jarimah Hudud dan Hukumannya
Untuk lebih jelasnya di bawah ini akan diuraikan bentuk jarimah hudud
dan hukumannya, yaitu:
a. Zina
Zina adalah melakukan hubungan seksual antara laki-laki dan
perempuan yang belum memiliki ikatan nikah, yaitu dengan
memasukkan zakar ke dalam faraj yang haram tanpa ada syubhat dan
secara naluri mengundang syahwat.Hukuman terhadap pelaku zina
adalah dicambuk seratus kali berdasarkan firman Allah swt. surat an-Nur
ayat 2:
‫ ˚م‬P˚‫ِ في ˚ي ِا ˚ن ك ˚نت‬ ‫˚ه مائ „ة ۖ َّو َل ˚م ِب ِه‬ ‫وا ِح‬ ‫ل َّزا ِن وال ي ˚وا‬Pَ‫ا‬
‫ّلِال‬ ‫رأ˚َفة ِن‬ ˚‫ ج ˚لَد َما خذ‬P˚‫أ‬Pَ‫َما ة ت‬ ‫„د كل‬ ‫َية˚ َّزا ِن َفا ج‬
‫˚ د‬ ‫˚ك‬ ˚‫ِلد‬
‫ِم ˚ن‬
‫˚ه ِٕىف ّن ا ˚ل ˚م ˚ؤ ِم ِن ˚ين‬ َ ‫ت˚ ˚ ؤ ا ٰ ˚ و ِ م ا ˚ ٰ ل و‬
ِ ˚‫َما ة‬ ‫هد‬ ‫ر وا ˚ل ˚ل‬Pِ“ ‫ِمن˚ ˚ون ّللِ ِخ‬
‫عَذا ط ۤا م‬ ˚ ‫َي َي‬
‫َب‬ ‫ش‬
Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka
deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah
belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan)
agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan
hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan
1
orang-orang yang beriman.”
Untuk menentukan seseorang telah melakukan zina harus terlebih
dahulu dibuktikan di hadapan pengadilan. Oleh karena itu hakim
mempunyai peran penting untuk menghadirkan bukti-bukti yang

1
mengarah kepada seseorang telah melakukan zina. Adapun alat bukti zina
adalah keterangan saksi (syahadah) dan pengakuan (igrar). Adapun
ketentuan jumlah para saksi adalah empat orang sesuai dengan surat An-
Nisa' ayat 15:
˚‫ا ˚ ل ب˚ ي‬ ‫ ˚و‬Pَ‫˚وا َفا‬ ‫“ َف ِا‬ ‫˚ ر َب‬ ‫˚ك ˚م س ˚وا ˚ي‬ ‫والٰ ِت أ˚ ا ˚لَفا ش‬
‫˚م ش س ˚وت ن ِفى‬ ‫َعة˝ ن ˚ن ِّم ˚ن‬ ‫َفا س ۤا ت ش ِه‬ ˚ ‫ِت ˚ي ِح ن ة‬
‫ِهد˚ ˚ك‬ ‫اَ ˚ك ˚م‬ َ‫ِهد˚ عل‬ ‫ن‬ ‫ي‬
‫ٕى‬ ‫م‬

‫لَ س ِب ˚ي ˝ل‬ َ ‫ى َت َوٰفى ا ˚ل َم ت‬PٰP‫حت‬


‫ع ˚هن‬ ‫˚ه ˚و ن َا‬
˚‫ّلال‬ ‫ل‬ ‫˚و‬
‫ج‬
Atinya: “Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji,
hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya).
Kemudian apabila mereka Telah memberi persaksian, Maka kurunglah
mereka (wanita- wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui
ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya.”
Had zina atau hukuman zina ditegakkan untuk menjaga keturunan dan
nasab Adanya dasar penetapan perbuatan zina ada 2 cara diantaranya:
1) Empat orang saksi dengan syarat: semuanya laki-laki adil,
memberikan kesaksian yang sama tentang tempat, waktu dan cara
melakukannya.
2) Pengakuan dari pelaku, dengan syarat sudah baligh dan berakal.
Jika orang yang mengaku telah berbuat zina itu belum baligh atau
sudah baligh tapi akalnya terganggu atau gila, maka tidak bisa
ditetapkan had zina padanya.
Macam-macam had bagi pezina juga terbagi 2 yaitu:
1) Had bagi pelaku zina muhsan (orang yang sudah baligh, berakal,
dan pernah melakukan hubungan dengan jalan yang sah) yaitu
dirajam atau dilempari dengan batu sampai mati.
2) Had bagi pelaku zina Ghairu muhsan (orang yang belum pernah
menikah) yaitu didera atau dicambuk sebanyak 100 kali dan
diasingkan satu tahun ketentuan ini sesuai dengan hadist nabi:
“Perzinaan yang dilakukan oelh laki-laki perjaka dengan
1
perempuan perawan hukumnya seratuskali dera dan dibuang
selama satu tahun (Hr.Muslim)”.

1
b. Qadzaf
Qadhaf menurut bahasa adalah melempar. Menurut istilah syara’
adalah menuduh orang lain telah berzina (baik yang dituduh itu laki-laki
atau perempuan), seperti perkataan; hai penzina, atau dengan perkataan;
y “kamu bukan anak bapakmu”, perkataan seperti ini tuduhan bukan
ditujukan kepada yang mendengarnya (mukhatab) tetapi kepada ibunya.
Qadzaf (penuduh zina) dengan tidak mendatangkan empat orang saksi
dijilid delapan puluh kali berdasarkan surat an-Nur 4:
‫ َبد˝ “ا‬Pَ‫ ا‬P˝‫ش َهاَدة‬ َ‫˚قَبل˚ ˚وا ل‬ ‫ ٰم ج‬Pَ‫ ˚ر َبع َهدَ ˚و ˚ه ˚م ث‬Pَ‫˚وا ِبا‬ ˚‫˚ م ˚ م ٰ ث‬ ‫والَّ ِذ‬
‫ِن ˚ين اج ِلد˚ ˚ل َ ˚ه ˚م و َل ت‬
‫ة‬ ‫د‬ ‫ِة ˚م َيأ˚ت˚ ۤا َء‬ ‫˚و ˚ح ن َّم‬ ‫˚ين‬
P˝ ‫˚ر ن ا‬ ۤ
‫ش‬ ‫ت‬ ‫و ٰل‬P˚‫وا‬
‫˚ل ص‬
‫˚م ا‬ ‫ِٕىك‬
‫˚ل ٰف ˚ون‬
˚‫ه˚ ِسق‬
Artinya : “Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang
baik (berzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka
deralah mereka delapan puluh kali, dan janganlah kamu terima kesaksian
mereka untuk selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik.”
c. Sariqah (Mencuri)
Adapun yang dimaksud dengan “perbuatan mencuri” menurut bahasa
ialah mengambil harta orang lain dengan cara sembunyi-sembunyi dan
dengan cara penipuan. Dalam pengertian syari‘at didefenisikan oleh para
fuqaha’ (ahli hukum fiqh) yaitu harta yang diambil oleh seorang yang
sudah berakal, baligh dan dilakukan secara diam-diam dari tempat
penyimpanan yang biasa tanpa alasan yang dapat ditolerir. Hukuman
terhadap pelaku pencuri adalah potong tangan.
d. Khamar (Minum yang memabukkan)
Larangan minuman keras dijelaskan secara tegas dalam alQur’an dan
sunnah. Penetapan larangan tersebut diturunkan secara bertahap.
Mulanya dikatakan bahwa dari buah kurma dan anggur dapat dibuat
minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik-baik (surat an-Nahl:
67). Dan dikemukakan dalam minum keras (khamr) mengandung dosa
besar disamping ada manfaatnya. Tetapi dosanya lebih besar dibanding

2
manfaatnya (al-Baqarah: 219). Khamr termasuk seburuk-buruk dosa dan
bahaya yang mengancam kehidupan pribadi dan masyarakat. Karena itu

2
Allah mengharamkan dan menegaskan berulangkali dengan
sejumlah isyarat mengenai hal itu di tengah kebiasaan masyarakat Arab
yang menggandrungi minum keras. Ditegaskan bahwa khamr adalah
keji, kotor dan merusakkan akal, dari khamar akan timbul
rentetan perbuatan lain.
e. Hirabah (Merampok)
Perampokkan adalah pengambilan harta orang dengan cara kekerasan
dan pembunuhan, hukuman terhadap pelaku hirabah adah dibunuh atau
disalib atau dipotong tangan dan kakinya secara berseling, atau
diasingkan.
f. Pemberontakan
Pemberontakan atau al-Baghyu menurut bahasa adalah Mencari atau
menuntut sesuatu. Pengertian tersebut kemudian menjadi populer untuk
mencari dan menuntut sesuatu yang tidak halal, baik karena dosa
maupun kezaliman. Menurut Istilah al-baghyu adalah keluar dari ketatan
kepada imam (kepala negara) yang benar (sah) dengan cara yang tidak
benar (sah).
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan ada tiga
unsur pemberontakan:
1) Pembangkangan terhadap kepala negara
2) Pembangkangan dilakukan dengan kekuatan
3) Ada niat yang melawan hukum.
Sanksi pidana terhadap pemberontakan adalah dihukum mati.
g. Murtad
Murtad atau riddah adalah kembali dari agama Islam kepada
kekafiran, baik dengan niat, perbuatan yang menyebabkan kekafiran, atau
dengan ucapan.27 Adapun unsur-unsur jarimah riddah ini adalah kembali
atau keluar dari Islam dan adanya niat melawan hukum (kesengajaan).
Dasar hukum jarimah riddah adalah surat Al-Baqarah ayat 217:
‫صٌّد ِب ل ٱ و ُك ْف ْل س ِج ِد‬ ‫ح َرا ل ِفي ِه ۖ قُ ِفي ك ِبي ٌر‬ ‫سَـُٔلو نَ ك ع ِر‬
‫ٌر ِب ِۦه َم‬ ‫عن ي‬ ‫ۖو‬ ‫ا ِه‬Pَ‫ْل ِقت‬ ‫ا‬Pَ‫ِم ِقت‬ ‫ِن ٱل ٱ ْل‬
َِّ ‫س ل‬ ‫ل‬ ‫ش ْه‬
‫وٱ‬
‫ل‬

2
‫و ََل َي ن ُي َٰقَ ِتلُون حتَّ ُ ُّ‬
‫ردو ُك ْم‬ ‫من ٱ‬ ‫وٱ ْل ِفتْنَةُ أ‬ ‫م ْنهُ أ عنَد ٱ َ‬ ‫ٱ ْل َ ِ َ ج َأ‪P‬‬
‫ُك ْم َٰى‬ ‫َزالُو‬ ‫ْلق ‪َْP‬تل ۗ‬ ‫ْكَب ُر‬ ‫ْك َب ُر ل َِّ‬ ‫را إ را ْه لِ‬
‫لۚ‬ ‫ِم و خ ۦِه‬
‫ح‬

‫‪2‬‬
‫ َٰ َطُعو ۟ا ۚ َو َمن ي‬P‫َع َٰ َمُل ُه ْت ِئ َك ُ َو َكافَن ِديِنۦِه َفَي ُم ِديِن ُك ْم ِإ ِن ٱ ْس َت‬
‫ ِد ْد ِمن ُك ْم ع‬Pَ‫ْرت‬ ‫و َٰلْت َوه‬PP۟ ُ‫ع َح ِبط ٌر َفأ‬Pَ‫ن ْم ِفى أ‬
‫ٱلدُّ ْن َيا‬
Artinya: “Barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu
dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di
dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di
dalamnya.”
Hudud mempunyai sifat-sifatnya yang khusus, yaitu :
a. Kesalahan-kesalahan hudud telah ditetapkan syara’.
b. Hukuman-hukuman siksanya telah ditentukan jenis-jenisnya dan berat
ringannya oleh ketetapan syara’, tiada siapa yang boleh mengubah
melibihi atau menguranginya. La wajib dilaksanakan seperti adanya.
c. Kesalahan-kesalahan hudud boleh dimaafkan sebelum ia dibawa
kedepan hakim, tetapi tiada siapa pun yang dapat memaafkan atau
mengurangkan hukuman setelah dibawa ke depan pengadilan.
d. Semua orang yang mencukupi syarat yang dikenakan hukuman yang
sama tanpa terkecuali.
e. Taubat tidak menggugurkan siksa kecuali dalam hal kejahatan
perampokan dimana perampok digugurkan dari siksa, jika ia bertaubat
sebelum dapat ditangkap, dan orang-orang murtad yang bertaubat
sebelum dibawa kemuka pengadilan.
Hudud disyariatkan untuk kemaslahatan hamba dan memiliki tujuan yang
mulia, diantaranya adalah :
a. Hukuman bagi orang yang berbuat siksaan bagi orang yang berbuat
kejahatan dan membuatnya jera. Apabila ia merasaan sakitnya
hukuman ini dan akibat buruk yang muncul darinya, maka ia akan jera
untuk mengulangi dan dapat mendorongnya untuk istiqamah serta
selalu taat kepada Allah SWT.
b. Mencegah orang lain agar tidak terjerumus dalam kemaksiatan. Oleh
karena itu Allah memerintahkan untuk mengumumkan had dan
melakukannya di hadapan manusia.Allah berfirman dalam surah An-
Nur ayat 2 yang artinya “dan hendaklah pelaksanaan hukuman mereka

2
disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”. Syaikh Ibnu
Utsaimin rahimahullah menyatakan bahwa diantara hikmah hudud
adalah membuat jera pelaku untuk tidak mengulangi dan mencegah
orang lain agar tidak terjerumus padanya,serta pensucian dan
penghapusan dosa.
c. Hudud adalah penghapus dosa dan pensuci jiwa pelaku kejahatan
tersebut.
d. Menciptakan suasana aman bagi masyarakat dan menjaganya.
e. Menolak keburukan,dosa dan penyakit pada masyarakat, karena
apabila kemaksiatan telah merata dan menyebar pada masyarakat
maka Allah akan menggantinya dengan kerusakan dan musibah serta
dihapusnya kenikmatan dan ketenangan. Untuk menjaga hal ini maka
solusi terbaik adalah menegakkan dan menerapkan hudud.

C. Tindakan yang Bersangsikan Qishas


Para ulama mendefinisikan pembunuhan sebagai perbuatan manusia yang
menyebabkan hilangnya nyawa. Pembunuhan dapat diartikan pula sebagai
suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dan atau beberapa orang yang
mengakibatkan seorang dan atau beberapa orang meninggal dunia (Ali,
2012:24).
Ulama Malikiyah membagi jenis pembunuhan menjadi dua, yaitu
pembunuhan sengaja dan pembunuhan tidak sengaja. Sedangkan ulama
Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hambali membagi pembunuhan menjadi tiga
jenis, yaitu (1) pembunuhan sengaja (qatl al-amd) merupakan suatu perbuatan
penganiayaan terhadap seseorang dengan maksud untuk menghilangkan
nyawa oranglain, (2) pembunuhan semi sengaja (qatl syibh al-‘amd)
merupakan perbuatan penganiayaan terhadap seseorang tidak bermaksud
untuk membunuhnya namun mengakibatkan kematian, (3) pembunuhan
karena kesalahan (qatl al-khata’) merupakan pembunuhan yang disebabkan
salah dalam perbuatan, salah dalam maksud dan kelalaian (Munajat,
2010: 139). Sanksi bagi pelaku pembunuhan sengaja adalah berupa hukuman
pokok,

2
hukuman pengganti, dan hukuman tambahan. Hukuman pokok untuk
pembunuhan sengaja adalah qishash. Hukuman qishash diberlakukan apabila
terdapat unsur rencana dan tipu daya, serta tidak mendapat maaf dari keluarga
korban. Jika keluarga korban memaafkan maka hukuman pengganti yang
dikenakan pada pelaku pembunuhan adalah diyat. Apabila hukuman qishash
dan diyat dimaafkan oleh keluarga korban maka pelaku pembunuhan
dikenakan hukuman pengganti berupa ta’zir, serta mendapatkan hukuman
tambahan berupa terhalangnya hak atas warisan dan wasiat. Sanksi pokok
bagi pelaku pembunuhan semi sengaja dan pembunuhan karena kesalahan
adalah diyat dan kaffarat, sedangkan untuk hukuman penggantinya adalah
puasa dan ta’zir, serta mendapat hukuman tambahan berupa terhalangnya
menerima warisan dan wasiat (Audah, 1963:286).
Dasar hukum dilarangannya melakukan pembunuhan terdapat dalam Al-
Qur’an surah Al-Isra’ ayat 33 :
˚‫ا ˚ قل َت‬ ِ ‫ِ س طن˝ا ف‬ ‫َ ع‬ ‫َّن ˚ف س ال َّ ِا َّل ِبا ح ˚ن ق˚ ˚و َقد‬P ‫ل˚وا ال‬P˚‫ ˚قت‬Pَ‫ت‬
‫ِل ف‬ ‫َ ل ي˚ ر‬ , ‫ِي‬ ‫˚ل‬ ˚ ‫ق ِتل و َم ˝ما‬Pِِّ ˚‫ِتي ر ˚ل ّلال‬ ‫و َل‬
˚ ˚‫مظل‬ ‫َم‬
‫ِف‬ ‫ل‬ ‫ه‬ ‫نَ ا‬
‫ِى‬ ‫س‬ ‫ِل‬ ‫َو‬ ‫ج‬ ‫ح‬
‫اَِّن ˚ه كان م ص ˚و ˝را‬
‫˚ن‬
Artinya : “Dan janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan
Allah (membunuhnya), kecuali dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barang
siapa dibunuh secara zalim, maka sungguh, Kami telah memberi kekuasaan
kepada walinya, tetapi janganlah walinya itu melampaui batas dalam
pembunuhan. Sesungguhnya dia adalah orang yang mendapat pertolongan”.
Tujuan dari adanya sanksi yaitu untuk memelihara dan menciptakan
kemaslahatan, serta menjaga mereka dari hal-hal yang mafsadah. Islam
sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin bertujuan untuk memberi petunjuk
dan pelajaran kepada manusia. Hukuman ditetapkan agar manusia dapat
memperbaiki dirinya, memberikan perlindungan bagi masyarakat dan
mewujudkan tertib sosial dalam hal ini menerapkan hukuman bagi pelaku
pembunuhan.
Qishash dalam terminologi hukum Islam diartikan sebagai hukuman yang

2
dijatuhkan sebagai pembalasan serupa dengan perbuatan pembunuhan,

2
melukai atau merusak anggota badan berdasarkan ketentuan yang diatur oleh
syara’ (Mujib, 1994:278).
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhidalam melaksanakan hukuman
qishashmenurut ulama fikih, yaitu (1) adanya kepastian pelaku kejahatan, (2)
keterbatasan hukuman pada pelaku kejahatan,(3)pelaku pembunuhan
sudah mukallaf, (4) pelaku pembunuhan bukan orang tua korban, (5)
korban harus seorang yang maksum al-dam, (6) para penuntut qishash
(mustahiq alqishash) harus sudah mukallaf, (7) semua penuntut qishash
sepakat atas tuntutannya, (8) keputusan harus ditetapkan oleh pemerintah
atau hakim, (9) pelaksanaan hukuman qishash harus dihadiri oleh pemerintah
yang sah atau aparat penegak hukum yang berwenang, (10) pelaksanaan
hukuman qishash harus disaksikan oleh ahli waris yang menuntut qishas
(Burlian, 2015: 76-87).
Menurut pendapat mayoritas ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan salah satu
riwayat Imam Ahmad, hukum asal pelaksanaan qishash yakni dengan cara
yang sama dilakukan oleh pelaku kriminal tersebut atau disebut sebagai
mutslah atau mumatsalah. Sehingga jika pelaku membunuh dengan pedang
maka pelaku juga diqishash dengan pedang, jika pelaku membunuh dengan
memukulkan batu sampai mati, maka pelaku diqishash dengan batu sampai
mati, dan seterusnya. Namun hal ini tidak berlaku jika pelaku membunuh
dengan sesuatu yang haram seperti sihir, khamar, liwath dan semisalnya.
Apabila dengan cara yang sama dapat mengakibatkan pelaku terlalu lama
tersiksa, maka qishasnya dengan pedang. Seandainya mustahiq al-qishash
menggantinya dengan hukuman pancung menggunakan pedang, maka
diperbolehkan dan itu lebih utama (Zuhaili, 2004 : 5685). Menurut Abu
Hanifah hukuman qishashharus dilakukan hanya dengan pedang, tidak
dengan membalas seperti cara pelaku tersebut membunuh (Abidin, 1987 :
346). Ketentuan ini berlaku secara mutlak, baik pelaku pembunuhan tersebut
membunuh dengan senjata ataupun tidak. Serta berlaku untuk pembunuhan
yang dilakukan dengan pemenggalan leher, mencekik, melemaskan dalam air,
membakar, atau yang lainnya.

2
Pemberian sanksi dalam hukum pidana Islam kepada pelaku pembunuhan
mengandung nilai-nilai humanisme (Doi, 1992 : 24), yaitu pertama, hukum
qishash diyat merupakan bentuk koreksi terhadap hukuman pada zaman
jahiliyah yang sangat diskriminatif. Pada masa itu kabilah yang kuat
berpeluang mendominasi keputusan hukum sehingga suku yang lemah akan
selalu tertindas oleh suku yang kuat dan ketika diterapkan qishash tidak ada
keadilan hukum antara kesalahan dengan hukuman yang harus diterima.
Ketika terdapat keluarga yang terbunuh maka yang dibalas adalah pembunuh
dan keluarganya yang tidak berdosa. Islam datang melegitimasi hukum
qishash dengan prinsip penegakan nilai-nilai keadilan dan persamaan di muka
hukum tanpa memandang kabilah maupun kehormatan. Kedua, menegakkan
nilai-nilai keadilan demi tegaknya supremasi hukum, baik pada saat
merevisi hukum jahiliyah maupun kebutuhan hukum untuk sepanjang
zaman. Ketiga, perlindungan bagi korban atau walinya secara langsung. Islam
mengajarkan adanya persamaan (equality), kemurahan hati (mercy) dengan
menetapkan bahwa pembunuhan dibalas dengan pembunuhan (qishash), serta
penganiayaan dibalas dengan penganiayaan. Namun jika pelaku pembunuhan
dimaafkan, maka diganti dengan membayar diyat yang reasonable.
Sebagaimana dijelaskan oleh Al-Jurjawi bahwa hikmah dari adanya hukuman
qishash diyat adalah keberlangsungan hidup manusia di dunia karena Islam
menghukum orang yang membunuh orang lain sebagai langkah preventif
agar manusia tidak mudah saling membunuh.
Adanya hukuman qishash dapat menghindari kemarahan dan dendam dari
keluarga korban yang terbunuh supaya dendam tersebut tidak berkelanjutan
yang dapat menyebabkan saling bunuh antar keluarga. Selain itu, hikmah dari
adanya hukuman diyat adalah untuk kepentingan dua belah pihak. Dengan
membayar denda secara damai kepada keluarga terbunuh, maka pembunuh
akan merasakan kehidupan baru yang aman dan bertaubat ke jalan yang
benar, serta dapat menyadari betapa berharganya kehidupan. Bagi keluarga
korban pembunuhan yang menerima denda dengan damai dapat
memanfaatkan harta tersebut untuk keberlangsungan hidupnya dan
meringankan sedikit

2
beban kesedihannya. Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan bahwa alat-alat bukti
dalam menetapkan sebuah kejahatan yang mengakibatkan qishash atau
diyat meliputi: pertama, pengakuan. Syarat pengakuan dalam tindak pidana
yang berakibat qishash atau diyat adalah harus jelas dan terperinci.
Pengakuan yang umum dan masih terdapat syubhat akan mengakibatkan
tidak sah. Kedua, persaksian. Syarat minimal adalah 2 orang saksi lelaki yang
adil. Apabila terdakwa mengingkari kesaksian dua saksi tersebut, maka
terdakwa harus bersumpah atas pengingkarannya tersebut, dan dilakukan
pembuktian terbalik. Ketiga, menarik diri dari bersumpah yakni ketika
terdakwa menarik diri (mengelak) dari bersumpah yang diajukan kepada
terdakwa melalui hakim.Keempat,al-qasamah yakni sebuah sumpah yang
diulang-ulang pada kasus pidana pembunuhan. Sumpah dilakukan sebanyak
50 kali sumpah dari 50 laki-laki.

D. Tindakan yang Bersangsikan Ta’zir


Kata ta’zir merupakan bentuk masdar dari kata “ázara” yang artinya
menolak. Sedangkan menurut istilah adalah pencegahan atau pengajaran
terhadap tindakan pidana yang tiada ketentuannya dalam had, kifarat maupun
qishas. Ta’zir adalah hukuman atas tindakan pelanggaran atau
kriminalitas yang tidak diatur secara pasti didalam had. Hukuman ini berbeda-
beda sesuai dengan perbedaan kasus dan pelakunya. Dari satu segi ta’zir
ini sejalan dengan hukuman had yakni tindakan yang dilakukan
untuk memperbaiki perilaku manusia, dan untuk mencegah orang lain agar
tidak melakukan tindakan yang sama.
Jarimah ta’zir jumlahnya sangat banyak, yaitu semua jarimah selain
diancam dengan hukuman had, kifarat dan qishash semuanya termasuk
jarimah ta’zir. Jarimah ta’zir dibagi menjadi dua : Pertama: Jarimah yang
bentuk dan macamnya sudah ditentukan oleh nash Qur’an dan Hadits tetapi
hukumannya diserahkan kepada manusia. Kedua : Jarimah yang bentuk dan
macamnya, begitu pula hukumannya diserahkan kepada manusia, Syara’
hanya memberikan ketentuanketentuan umumnya saja. Syara’ tidak
menetukan

3
macam-macam hukuman untuk setiap jarimah ta’zir, tetapi hanya
menyebutkan sekumpulan hukuman dari yang seringan-ringannya sampai
seberat-beratnya. Syara’ hanya menentukan sebagian jarimah ta’zir yaitu
perbuatan yang selama- lamanya akan dianggap sebagai jarimah: seperti riba,
menggelapkan titipan, suapmenyuap, memaki orang dan sebagainya.
Sedangkan sebagian jarimah ta’zir diserahkan kepada penguasa untuk
menentukan hukumannya, dengan syarat harus sesuai dengan kepentingan-
kepentingan masyarakat dan tidak boleh bertentangan dengan nash-nash
(ketentuan syara’) dan prinsip umum. Dengan maksud agar mereka dapat
mengatur masyarakat dan memelihara kepentingankepentingannya serta
dapat menghadapi persoalan yang sifatnya mendadak. Perbedaan antara
jarimah ta’zir yang ditentukan oleh syara’ dan yang ditetapkan oleh
penguasa ialah kalau jarimah ta’zir macam yang pertama tetap dilarang
selama-lamanya dan tidak mungkin menjadi perbuatan yang tidak dilarang
pada waktu apapun juga akan tetapi jarimah ta’zir macam yang kedua bisa
menjadi perbuatan yang tidak dilarang manakala kepentingan masyarakat
menghendaki demikian.
1. Macam-macam Jarimah Ta’zir
a. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan pembunuhan
Seperti diketahui bahwa pembunuhan itu diancam dengan hukuman
mati dan apabila qishash diyatnya dimaafkan, maka ulil amri berhak
menjatuhkan ta’zir bila hal itu dipandang maslahat. Adanya sanksi ta’zir
kepada pembunuh sengaja yang dimaafkan dari qishash dan diyat adalah
aturan yang baik dan membawa kemaslahatan. Karena pembunuhan itu
tidak hanya melanggar hak perorangan melainkan juga melanggar
hak masyarakat. Dengan demikian ta’zir dapat dijatuhkan terhadap
pembunuh dimana sanksi qishash tidak dapat dilaksanakan karena tidak
memenuhi syarat.
b. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan perlukaan
Imam malik berpendapat bahwa ta’zir dapat dikenakan pada jarimah
perlukaan yang qishashnya dapat dihapuskan atau dilaksanakan karena
sebab hukum. Adalah sangat logis apabila sanksi ta’zir dapat

3
pula dikenakan pada pelaku jarimah perlukaan selain qishash itu
merupakan sanksi yang diancamkan kepada perbuatan yang berkaitan
dengan hak perorangan maupun masyarakat. Maka kejahatan yang
berkaitan dengan jama’ah dijatuhi sanksi ta’zir. Sudah tentu percobaan
perlukaan merupakan jarimah ta’zir yang diancam dengan sanksi ta’zir.
c. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan kejahatan terhadap kehormatan
dan kerusakan akhlak
Berkenaan dengan jarimah ini yang terpenting adalah zina, menuduh
zina dan menghina orang. Diantara kasus perzinahan yang diancam
dengan dengan hukuman ta’zir yaitu perzinahan yang tidak memenuhi
syarat untuk dijatuhi hukuman had atau terdapat syubhat. Para ulama
berbeda pendapat tentang menuduh zina dengan binatang, homoseks dan
lesbian. Menurut ulama hanafiyah sanksinya ta’zir, sedang ulama yang
menggunakan qiyas berpendapat bahwa sanksinya adalah had qodzaf
termasuk dalam hal ini percobaan menuduh zina.
d. Jarimah ta’zir yang berkenaan dengan harta
Jarimah yang berkaitan dengan harta diancam dengan hukuman had
adalah pencurian dan perampokan. Oleh karena itu pencurian
dan perampokan yang tidak memenuhi persyaratan untuk dijatuhi
hukuman had maka termasuk jarimah ta’zir yang diancam dengan sanksi
ta’zir. Perbuatan ma’shiat dalam kategori ini diantaranya percopet,
percobaan pencurian, ghasab, penculikan dan perjudian.
e. Jarimah ta’zir yang berkenaan dengan kemaslahatan individu
Suap diharamkan didalam al-Qur’an dan al-Hadits. Allah berfirman
dalam Q.S. al-Maidah : 42 ;
‫ ض ع ˚ن ˚ه ˚م فََل ˚ن‬P˚‫˚م َب ˚يَن ˚ه ˚م ِ ˚م “ َو ِا ˚ن ت‬ ‫˚ء‬ ˚ ‫س ٰمع˚ ˚ل ٰكل˚ لل سح‬
‫ اح ˚ك ر ˚ع ِر ض ع ˚ن‬Pَ‫ ˚و ا‬Pَ‫ا‬ ‫˚ون َك ِذ ˚و ن ِت ن ˚وك‬
‫˚ه‬ ‫ِا ج ۤا‬ ‫ل ب َا‬
‫ع‬
‫˚م ط ˚ين‬ ‫˚ن ˚ ت َب ˚يَن ˚ه ˚م بِا‬ ‫ض ُّر ˚وك‬
‫ل َّال ي˚ ˚قس‬ ‫˚ل ِقسط ح ˚ك ˚م‬ ‫ا‬َ
‫ف‬ ‫م‬ ِ ‫ا‬ ‫و‬ ‫ش‬
‫˚ئًـا‬
‫ِح ن ب ا‬ ‫ح‬
‫َك‬
‫˚ل‬
Artinya: “Mereka sangat suka mendengar berita bohong, banyak
3
memakan (makanan) yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang
kepadamu (Muhammad untuk meminta putusan), maka berilah putusan
di antara mereka atau berpalinglah dari mereka, dan jika engkau
berpaling dari

3
mereka maka mereka tidak akan membahayakanmu sedikit pun. Tetapi
jika engkau memutuskan (perkara mereka), maka putuskanlah dengan
adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.”
Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “akkaluna
lissuhti” adalah memakan hasil suap.
a. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan keamanan dan
kestabilan pemerintah
Para Ulama memberi contoh seorang hakim yang dholim menjatuhkan
hukuman kepada orang yang tidak terbukti bersalah. Hakim seperti itu
menurut mereka dapat diberhentikan dengan tidak hormat bahkan diberi
sanksi ta’zir. Begitu juga pegawai yang meninggalkan pekerjaan tanpa
ada alasan yang dibenarkan oleh hukum juga dapat dikenai sanksi ta’zir
sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Selain itu jarimah ta’zir
yang berkaitan dengan kepentingan umum juga yang berkenaan langsung
dengan masalah ekonomi seperti penimbunan barang untuk kepentingan
pribadi atau mempermainkan harga bahan pokok karena hal itu
bertentangan dengan maqasid al-syari’ah.
Abdul Qodir Awdah membagi jarimah ta’zir menjadi tiga, yaitu :
1) Jarimah hudud dan qishash diyat yang mengandung unsur syubhat
atau tidak memenuhi syarat, namun hal itu sudah dianggap sebagai
perbuatan ma’shiat, seperti pencurian harta syirkah, pembunuhan
ayah terhadap anaknya, dan percurian yang bukan harta benda.
2) Jarimah ta’zir yang jenis jarimah-nya ditentukan oleh nash,
tetapi sanksinya oleh syari’ah diserahkan kepada penguasa, seperti
sumpah palsu, saksi palsu, mengurangi timbangan, menipu,
mengingkari janji, menghianati amanah, dan menghina agama.
3) Jarimah ta’zir dimana jenis jarimah dan sanksinya secara penuh
menjadi wewenang penguasa demi terealisasinya kemaslahatan
umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi perimbangan yang
paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap peraturan lingkungan
hidup, lalu lintas, dan pelanggaran terhadap pemerintah lainnya

3
2. Hukuman Jarimah Ta’zir
Dalam menetapkan jarimah ta’zir, prinsip utama yang menjadi acuan
penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota
masyarakat dari kemudharatan (bahaya). Di samping itu, penegakkan
jarimah ta’zir harus sesuai dengan prinsip syar’i. Hukuman-hukuman ta’zir
banyak jumlahnya, yang dimulai dari hukuman paling ringan sampai
hukuman yang terberat. Hakim diberi wewenang untuk memilih diantara
hukuman- hukuman tersebut, yaitu hukuman yang sesuai dengan keadaan
jarimah serta diri pembuatnya.
Hukuman-hukuman ta’zir antara lain :
a. Hukuman mati
Pada dasarnya menurut Syari’at Islam, hukuman ta’zir
adalah memberikan pengajaran (ta’dib) dan tidak sampai membinasakan.
Oleh karena itu, dalam hukuman ta’zir tidak boleh ada pemotongan
anggota badan atau penghilangan nyawa. Akan tetapi beberapa
fuqoha’ memberikan pengecualian dari aturan umum tersebut, yaitu
kebolehan dijatuhkan hukuman mati jika kepentingan umum
menghendaki demikian, atau kalau pemberantasan tidak bisa terlaksana
kecuali dengan jalan membunuhnya, seperti mata-mata, pembuat
fitnah, residivis yang membahayakan. Namun menurut sebagian
fuqoha’ yang lain dalam jarimah ta’zir tidak ada hukuman mati. Di luar
ta’zir hukuman mati hanya dikenakan terhadap perbuatan-perbuatan
tertentu seperti zina, gangguan keamanan, riddah (murtad, keluar dari
Islam), pemberontakan dan pembunuhan sengaja.
b. Hukuman cambuk
Dikalangan fuqoha’ terjadi perbedaan tentang batas tertinggi hukuman
cambuk dalam ta’zir. Menurut pendapat yang terkenal di kalangan
ulama’ Maliki, batas tertinggi diserahkan kepada penguasa karena
hukuman ta’zir didasarkan atas kemaslahatan masyarakat dan atas dasar
berat ringannya jarimah. Imam Abu Hanifah dan Muhammad
berpendapat bahwa batas tertinggi hukuman cambuk dalam ta’zir adalah
39 kali, dan menurut Abu

3
Yusuf adalah 75 kali.32 Sedangkan di kalangan madzhab Syafi’i ada tiga
pendapat. Pendapat pertama sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah
dan Muhammad. Pendapat kedua sama dengan pendapat Abu
Yusuf. Sedangkan pendapat yang ketiga, hukuman cambuk pada ta’zir
boleh lebih dari 75 kali, tetapi tidak sampai seratus kali, dengan syarat
lain bahwa jarimah ta’zir yang dilakukan hampir sejenis dengan jarimah
hudud. Dalam mazhab Hambali ada lima pendapat. Tiga diantaranya
sama dengan pendapat mazhab Imam Syafi’i. Pendapat ke empat
mengatakan bahwa hukum cambuk yang diancam atas sesuatu perbuatan
jarimah tidak boleh menyamai hukuman yang dijatuhkan terhadap
jarimah lain yang sejenis, tetapi tidak boleh melebihi hukuman jarimah
lain yang tidak sejenisnya. Pendapat ke lima mengatakan bahwa
hukuman ta’zir tidak boleh melebihi 10 kali. Pada dasarnya hukuman
cambuk adalah hukuman yang pokok dalam Islam. Dimana untuk
jarimah hudud sudah tentu jumlahnya, misalnya 100 untuk perbuatan
zina dan 80 untuk qodzaf, sedang untuk jarimah ta’zir tidak tentu
jumlahnya.
Adapun hukuman cambuk dalam alQur’an seperti dijelaskan dalam
Q.S. An-Nisa’ ayat 34 :
‫ص ِل ٰحت‬ ‫˚ع‬ ‫ِب َما‬
‫ اَ ˚م َوا لِ ِه ˚م‬Pَ‫ ا‬P˜‫ِب َما‬ ‫ضل ّلال˚ ˚ه‬ ‫˚م علَى ال‬ ‫ِر جا‬Pّ ‫ل‬Pَ‫ا‬
‫ال م ˚ن‬ ‫ع ˚نَفق˚ ˚وا ض‬ ‫َب ˚ ع ˚ م‬ ‫َف‬ ‫ِن‬ ‫˚ون‬ ‫ل‬
‫و‬ ‫ٰل ى‬ ‫ض‬ ‫س ۤا‬ ‫َّوا‬
‫ِء‬
‫ضا ِج ِع‬ ‫ن ىا‬ ‫َ ز ن ظ وا ˚ ر‬ ‫َوال ت ˚و‬ ‫ب ح‬ ‫ق ِن ٰتت ح ˚ل َغ‬
‫˚ل َم‬ ‫˚و‬ ‫ه‬ ˚ ˚ ‫ِع ˚وه‬ ˚ ‫ه‬ ˚ ‫ن‬ ‫ف‬ ‫ا‬‫خ‬ ‫ي‬ ˚‫َما ِفظ ِت ّلال‬ ‫ِفظ ˚ي‬
‫ج‬ ‫ن‬ ‫˚ ن ش‬ ‫تل‬
‫˚و‬
‫˚ي ˝ل اِن لَّ كان ع ك ِب ˚ي ˝را‬ ˚‫ ˚بغ‬Pَ‫˚م َف َل ت‬ ‫ن “ ِا‬ ˚‫واض ِرب‬
‫ِل‬ ‫˚وا ط ˚ع َن ِهن س ِب ˚ي ال‬ ‫˚ن َا‬ ‫˚و‬
‫ًّيا‬ ‫˚ك عَل‬
Artinya : “Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena
Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang
lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan
nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh adalah

3
mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya)
tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan
yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat
kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan
(kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka
janganlah kamu

3
mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi,
Maha besar.”
c. Hukuman Kawalan (Penjara Kurungan)
Ada dua macam hukuman kawalan dalam hukum Islam. Pembagian
ini didasarkan pada lama waktu hukuman. Pertama, hukuman kawalan
terbatas. Batas terendah dari hukuman ini adalah satu hari, sedangkan
batas tertinggi, ulama berbeda pendapat. Ulama Syafi’iyyah menetapkan
batas tertingginya satu tahun, karena mereka mempersamakannya dengan
pengasingan dalam jarimah zina. Sementara ulama’-ulama’ lain
menyerahkan semuanya kepada penguasa berdasarkan maslahat. Kedua,
hukuman kawalan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa hukuman
kawalan ini tidak ditentukan terlebih dahulu, melainkan berlangsung
terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang yang
dikenakan hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya atau orang yang
berulang ulang melakukan jarimah-jarimah yang berbahaya.
d. Hukuman Pengasingan (at-Taghrib wal Ib’ad)
Mengenai masa pengasingan dalam jarimah ta’zir menurut madzhab
Syafi’i dan Ahmad tidak boleh lebih dari satu tahun, menurut Abu
Hanifah masa pengasingan lebih dari satu tahun sebab hukuman disini
adalah hukuman ta’zir.
e. Hukuman Salib
Hukuman salib sudah dibicarakan dalam jarimah gangguan keamanan
(hirobah), dan untuk jarimah ini hukuman tersebut merupakan hukuman
had. Akan tetapi untuk jarimah ta’zir hukuman salib tidak dibarengi atau
didahului dengan oleh hukuman mati, melainkan si terhukum disalib
hidup-hidup dan tidak dilarang makan minum, tidak dilarang
mengerjakan wudhu, tetapi dalan menjalankan shalat cukup dengan
isyarat. Dalam penyaliban ini, menurut fuqoha’ tidak lebih dari tiga hari.
f. Hukuman Ancaman (Tahdid), Teguran (Tahbih) dan Peringatan
Ancaman juga merupakan salah satu hukuman ta’zir, dengan syarat
akan membawa hasil dan bukan hanya ancaman kosong. Misalnya dengan

3
ancaman jilid, dipenjarakan atau dihukum dengan hukuman yang lain
jika pelaku mengulangi tindakannya lagi. Hukuman peringatan juga
diterapkan dalam Syari’at Islam dengan jalan memberikan nasihat, kalau
hukuman ini cukup membawa hasil. Hukuman ini dicantumkan dalam al-
Qur’an sebagaimana hukuman terhadap istri yang berbuat dikhawatirkan
berbuat nusyuz.
g. Hukuman Pengucilan (Al Hajru)
Hukuman pengucilan merupakan salah satu jenis hukuman ta’zir yang
disyari’atkan oleh Islam. Dalam sejarah, Rasulullah pernah melakukan
hukuman pengucilan terhadap tiga orang yang tidak ikut serta dalam
perang Tabuk, yaitu Ka’ab bin Malik, Miroroh bin Rubai’ah dan Hilal
bin Umayyah. Mereka dikucilkan selama lima puluh hari tanpa diajak
bicara.
h. Hukuman Denda (Al-Gharamah)
Hukuman denda ditetapkan juga oleh Syari’at Islam sebagai hukuman.
Antara lain mengenai pencurian buah yang masih tergantungdipohonnya,
hukumannya didenda dengan lipat dua kali harga buah tersebut,
disamping hukuman lain yang sesuai dengan perbuatannya tersebut.
Hukuman yang sama juga dikenakan terhadap orang
yang menyembunyikan barang hilang. Dengan demikian sanksi denda
sejalan dengan semangat al-Qur’an. Sebenarnya hukuman ta’zir
bertujuan memberi pelajaran dan mendidik serta mencegah orang lain
agar tidak melakukan perbuatan serupa.
Hukuman-hukuman ta’zir ditinjau dari segi tempat
dilakukannya hukuman, yaitu :
a. Hukuman badan, yaitu yang dijatuhkan atas badan seperti hukuman
mati, dera, penjara dan sebagainya.
b. Hukuman jiwa, yaitu dikenakan atas jiwa seseorang, bukan
badannya, seperti ancaman, peringatan dan tegoran.
c. Hukuman-harta, yaitu yang dikenakan terhadap harta seseorang,
seperti diyat, denda dan perampasan harta.

3
Penerapan asas legalitas bagi jarimah ta’zir berbeda dengan penerapan
jarimah hudud dan qisas. Jarimah hudud dan qisas diyat seperti kita ketahui
bersifat ketat artinya setiap jarimah hanya diberikan sanksi yang sesuai
dengan ketentuan syara’ sebaliknya, jarimah ta’zir bersifat longgar. Oleh
karena itu tidak ada ketentuan bagi tiap-tiap jarimah secara sendiri,
disamping itu, untuk beberapa jarimah yang mempunyai kesamaan jarimah
lain tidak diperlukan aturan asas legalitas yang khusus. Cukup apabila
jarimah tersebut mempunyai kesamaan sifat yang telah ditentukan secara
umum. Oleh karena itu kemungkinan bisa saja beberapa jarimah yang
berbeda akan mendapat hukuman yang sama. Itulah yang dimaksud dengan
jarimah ta’zir yang bersifat elastis.
Perbedaan yang menonjol antara jarimah hudud, qishash, dan jarimah
ta’zir adalah sebagai berikut:
a. Dalam jarimah hudud tidak ada pemaafan, baik oleh perorangan
maupun oleh ulul amri. Sedangkan jarimah ta’zir kemungkinan
pemaafan itu ada, baik oleh perorangan maupun oleh ulul amri, bila
hal itu lebih mashlahat.
b. Dalam jarimah ta’zir hakim dapat memilih hukum yang lebih tepat
bagi si pelaku sesuai dengan kondisi pelaku, situasi, dan tempat
kejahatan. Sedangkan dalam jarimah hudud yang diperhatikan oleh
hakim hanyalah kejahatan material.

E. Hikmah Diadakannya Hukuman Dalam Islam


Dalam Islam, hukuman adalah bentuk menjaga hukum dan ketertiban dan
memastikan keadilan dalam masyarakat. Ia juga merupakan bagian dari sistem
sosial yang terkait dengan nilai-nilai Islam, yaitu pemeliharaan keadilan dan
pencegahan kejahatan.
Dalam Islam, tujuan hukuman adalah untuk meningkatkan perilaku dan
mencegah tindakan yang merugikan masyarakat. Tujuan pemidanaan bukan
untuk membalas dendam atau menghukum orang yang melakukan kekerasan
saja, melainkan untuk memperbaiki perilaku pelaku kejahatan ke arah yang

4
lebih baik. Selain itu, hukuman Islam juga memiliki efek jera bagi pelaku
kejahatan. Hukuman yang keras menimbulkan efek jera, artinya pelaku akan
berpikir dua kali sebelum melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat
lagi. Tujuan dari efek ini adalah untuk mencegah agar kejahatan yang sama
tidak dilakukan di masa depan sehingga masyarakat dapat menghindari
kegiatan tersebut. Selain itu, hikmah dari kata-kata islami juga terkait dengan
konsep keadilan.
Islam menuntut keadilan dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk
penerapan hukum. Hukuman harus proporsional dengan tingkat kejahatan
yang dilakukan sehingga pelakunya tidak didiskriminasi. Dengan putusan
yang adil, masyarakat merasa keadilan telah ditegakkan dan memiliki
keyakinan terhadap sistem hukum yang ada. Selain itu, ilmu hukuman Islam
dapat mengajarkan manusia tidak hanya untuk taat kepada Allah SWT ketika
mendapat kesenangan, tetapi juga ketika mereka diuji dalam bentuk hukuman.
Menghadapi hukuman dengan kesabaran dan keikhlasan merupakan bentuk
ketakwaan kepada Allah SWT.
Dalam Islam, hikmah menahan hukuman juga terkait dengan konsep
taubat. Dalam Islam, setiap orang diberi kesempatan untuk bertaubat dan
memperbaiki diri. Tujuan dari hukuman yang diberikan juga untuk membuka
jalan bagi pelakunya untuk bertaubat, memperbaiki dan kembali ke jalan yang
benar. Dalam hal ini, pidana digunakan sebagai sarana pembinaan dalam
rangka perbaikan kehidupan moral dan spiritual masyarakat.

4
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Al-Quran merupakan sumber utama dan sumber pokok hukum Islam.
Bagi orang Islam tidak diperkenankan mengambil dasar hukum dan
jawaban atas proble-matikanya dari luar Al-Quran selama hukum dan
jawaban tersebut dapat ditemukan dalam nashnash Al-Quran. Apabila
ditilik dari segi hierarki hukum Islam, maka produk hukum dan undang-
undang buatan manusia tidak boleh menyalahi kaidah-kaidah dan
norma- norma hukum dalam Al-Quran. Kesesuaian dan kesejiwaan
hukum dengan Al-Quran adalah sesuatu yang dikehendaki, sehingga
manusia mencapai kesejahteraannya. Dengan kata lain, Al-Quran bukan
sekadar dipahami sebagai kalam Allah, tetapi merupakan
pedoman tertinggi (way of life) bagi penentu arah kehidupan
manusia. Bukti yang menyatakan bahwa Al-Quran merupakan sumber
dan dalil hukum yang utama dan pokok dapat ditemukan dalam ayat-ayat
Al- Quran sendiri. Sebagaimana telah dijelaskan, sunah menurut ulama
adalah sesuatu yang disandarkan kepada nabi hanya saja ulama Usuliyyin
menekankan kepada perbuatan, perkataan, dan taqrir nabi yang dapat
dijadikan dalil hukum setelah nabi menjadi rasul, karena ulama Usuliyyin
bertugas untuk menggali hukum hukum agama baik dari nash atau dari
hadis dan objek kajiannya yang bermuatan hukum syari. Bisa dikatakan
bahwa Sunnah menempati urutan kedua sumber hukum Islam setelah
AlQuran.
2. Tindak pidana dalam hukum pidana Islam disebut dengan istilah jarimah.
Jarimah hudud sebagaimana telah dikemukakan di atas, adalah jarimah
yang ketetapan hukumannya sudah pasti disebutkan kadarnya dalam al-
Qur’an dan al-Hadits. Tindak pidana yang termasuk kategori hudud
yaitu, Zina dihukum bagi yang ghairu muhsan 100 kali cambuk dan
muhsan dihukum rajam, qadhaf (menuduh orang berbuat Zina) dihukum
80 kali

4
cambuk, pencurian, apabila sudah mencapai nisab dihukum potong
tangan, minum khamar dihukum 40 kali cambuk, perampokan dihukum
sesuai dengan kiteria perbuatan yang dilakukan, pemberontakan
dihukum mati, dan murtad dihukum mati apabila tidak mau diajak
untuk bertaubat. Ketujuh macam kejahatan tersebut merupakan hak Allah
swt. Karena nash telah menetapkan jenis tindak pidana dan ukuran sanksi
pidananya. Pihak yang berwenang atau hakim wajib
memutuskan hukuman sesuai dengan yang telah diatur di dalam nash
tersebut, tidak boleh merubah, menambah dan mengurangi
ketentuan tersebut.
3. Hukuman bagi pelaku pembunuhan sengaja dalam Islam berupa
hukuman pokok yakni qishash. Qishash diberlakukan apabila terdapat
unsur rencana dan tipu daya, serta tidak mendapat maaf dari keluarga
korban. Jika keluarga korban memaafkan maka hukuman penggantinya
adalah diyat. Apabila hukuman qishash dan diyat dimaafkan oleh
keluarga korban maka dikenakan hukuman pengganti berupa ta’zir,
serta mendapatkan hukuman tambahan berupa terhalangnya hak atas
warisam dan wasiat. Sanksi pokok bagi pelaku pembunuhan semi sengaja
dan pembunuhan karena kesalahan adalah diyat dan kaffarat, sedangkan
untuk hukuman penggantinya adalah puasa dan ta’zir, serta mendapat
hukuman tambahan berupa terhalangnya menerima warisan dan
wasiat. Hikmah dari hukuman qishash diyat adalah keberlangsungan
hidup manusia di dunia karena Islam menghukum orang yang
membunuh orang lain sebagai langkah preventif agar manusia tidak
mudah saling membunuh. Hukuman qishash diyat dalam hukum pidana
Islam dapat menjadi sebuah alternatif sanksi pidana bagi pelaku
pembunuhan di Indonesia karena dapat menjamin rasa keadilan, tidak
hanya bagi pelaku pembunuhan namun juga keadilan bagi keluarga
korban pembunuhan yang kehilangan anggota keluarganya.
4. Ta’zir adalah hukuman atas tindakan pelanggaran atau kriminalitas yang
tidak diatur secara pasti didalam had. Hukuman ini berbeda-beda sesuai

4
dengan perbedaan kasus dan pelakunya. Dari satu segi ta’zir ini sejalan
dengan hukuman had yakni tindakan yang dilakukan untuk memperbaiki
perilaku manusia, dan untuk mencegah orang lain agar tidak melakukan
tindakan yang sama. Jika dilihat dari segi sifat, maka jarimah ta’zir dapat
dibagi kepada tiga, yaitu: pertama; jarimah ta’zir karena melakukan
perbuatan maksiat, kedua; jarimah ta’zir karena melakukan perbuatan
yang membahayakan kepentingan umum, dan ketiga; jarimah ta’zir
karena melakukan pelanggaran hukum.
5. Islam menuntut keadilan dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk
penerapan hukum. Hukuman harus proporsional dengan tingkat
kejahatan yang dilakukan sehingga pelakunya tidak didiskriminasi.
Dengan putusan yang adil, masyarakat merasa keadilan telah ditegakkan
dan memiliki keyakinan terhadap sistem hukum yang ada. Selain itu,
ilmu hukuman Islam dapat mengajarkan manusia tidak hanya untuk taat
kepada Allah SWT ketika mendapat kesenangan, tetapi juga ketika
mereka diuji dalam bentuk hukuman. Menghadapi hukuman dengan
kesabaran dan keikhlasan merupakan bentuk ketakwaan kepada Allah
SWT. Dalam Islam, hikmah menahan hukuman juga terkait dengan
konsep taubat. Dalam Islam, setiap orang diberi kesempatan untuk
bertaubat dan memperbaiki diri.

B. Saran
Hukum Islam merupakan hukum yang bersumber dari Allah selaku
pencipta alam semesta dan pengatur segala hal yang ada di dalamnya. Hukum
Islam memiliki karakter yang menyeluruh dan sempurna hingga menyentuh
berbagai sendi kehidupan manusia. Sebagai seorang muslim kita harus taat
menjalankan apa yang telah disyariatkan oleh agama tanpa pengecualian
termasuk untuk berbuat adil dalam penerapan hukum.

4
DAFTAR PUSTAKA

IF Rosyadah. 2019. Konsep Adil dalam Islam. Diakses pada 13 Mei 2023 dari
https://etheses.vinsgd.ac.id.
Kusnadi, Didi. 2014. Pemikiran Hukum Islam Klasik dan Modern: Karakteristik,
Metode, Pengembangan, dan Keberlakuannya. Diakses pada 13 Mei dari
https://journalvinagd.ac.id/index.php/asy-syariah/article/download/
622/594.
Surya, Reni. 2018. Klasifikasi Tindak Pidana Hudud dan Sanksinya dalam
Perspektif Hukum Islam.Diakses pada 13 Mei dari https://jurnal.arraniry.a
c.id/index.php/samarah/article/view/4751.
Rofiq, Pujiyono & Arief. 2021. Eksistensi Tindak Pidana Ta’zir dalam Kehidupan
Masyarakat Indonesia. Diakses pada 13 Mei dari
https://journalvib.ac.id/index.php/jjr/article/ gdownload/49 57/1760/.
Sudarti. 2021. HUKUM QISHASH DIYAT: Sebuah Alternatif Hukuman Bagi
Pelaku Kejahatan Pembunuhan. Diakses pada 13 Mei
https://journal.iainkudus.ac.id/index.php/Yudisia/article/download/8
991/pdf.

Anda mungkin juga menyukai