Anda di halaman 1dari 63

LAPORAN KASUS

PROSEDUR PEMERIKSAAN MAGNETIC RESONANCE


CHOLANGIO PANCREATOGRAPHY (MRCP)
PADA KASUS BATU EMPEDU
DI MRCCC SILOAM HOSPITAL SEMANGGI

Diajukan Sebagai Penyelesaian Tugas Praktek Kerja Lapangan (PKL) VI


Progam Studi Sarjana Terapan Teknologi Radiologi Pencitraan

DI SUSUN OLEH :

MUHAMAD FIQI RIFALDI SUGEHA


02.22.05.488

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN


TEKNOLOGI RADIOLOGI PENCITRAAN
AKADEMI TEKNIK RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI BALI
(ATRO BALI)
2023

i
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan kasus ini telah diperiksa dan disetujui untuk memenuhi tugas

Praktek Kerja Lapangan VI mahasiswa Akademi Teknik Radiodiagnostik dan

Radioterapi (ATRO) Bali di Departeman Radiologi MRCCC Siloam Hospital

yang bernama :

Nama : MUHAMAD FIQI RIFALDI SUGEHA

NIM : 02.22.05.488

Judul : Prosedur Pemeriksaan Magnetic Resonance Cholangio

Pancreatography (MRCP) Pada Kasus Batu Empedu di

Departemen Radiologi MRCCC Siloam Hospital Semanggi

Jakarta Selatan, 11 Juli 2023

Ucok Noptua H., S.Tr.Rad

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha

Kuasa atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan Laporan Kasus yang berjudul “Prosedur Pemeriksaan

Magnetic Resonance Cholangio Pancreatography (MRCP) Pada Kasus Batu

Empedu di Rumah Sakit MRCCC Siloam Semanggi.

Penyusunan Laporan Kasus ini dimaksudkan untuk memenuhi syarat

Praktek Kerja Lapangan (PKL) VI Akademi Teknik Radiodiagnostik dan

Radioterapi (ATRO) Bali.

Dalam penyusunan laporan kasus ini penulis mendapat bimbingan

dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan

terima kasih yang sebesar-besarnya kepada

1. Direktur Akademi Teknik Radiodia gnostik dan Radioterapi (ATRO) Bali,

dr. I Bagus Gede Dharmawan, Sp.Rad

2. Direktur MRCCC Siloam Semanggi, dr. Adityawati Ganggaiswari, M.

Biomed, MARS

3. Penanggung Jawab Departemen Radiologi MRCCC Siloam Semanggi,

dr. Nina ISH Supil, Sp.Rad

4. Clinical Instruktur (CI), Bapak Ucok Noptua H., S.Tr.Rad

5. Seluruh Radiografer di Departemen Radiologi MRCCC Siloam Semanggi

6. Rekan-rekan mahasiwa yang melaksanakan Praktek di Departemen

Radiologi MRCCC Siloam

7. Serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang terlibat

iii
baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses penyusunan

laporan kasus ini.

Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih banyak

kekurangan dan jauh dari sempurna, mengingat keterbatasan pengetahuan

dan kemampuan penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan

saran yang membangun guna kesempurnaan laporan kasus ini. Semoga

laporan kasus ini dapat bermanfaat untuk kita semua.

Jakarta Selatan, 11 Juli 2023

Penulis

Fiqih Sugeha

iv
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i


HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ ii
KATA PENGANTAR ............................................................................................ iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 5
C. Tujuan Penulisan ............................................................................................ 5
D. Manfaat Penulisaan ....................................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 6
A. Anatomi dan Fisiologi ................................................................................... 6
B. Patologi Cholelithiasis .................................................................................. 10
C. Dasar-dasar MRI ............................................................................................. 11
D. Pemeriksaan MRCP ....................................................................................... 33
1. Pengertian ................................................................................................. 33
2. Persiapan Pasien .................................................................................... 33
3. Persiapan Alat dan Bahan ................................................................... 33
4. Teknik Pemeriksaan ............................................................................. 34
BAB III PEMAPARAN KASUS DAN PEMBAHASAN ................................... 42
A. Pemaparan Kasus ........................................................................................... 42
B. Pembahasan ..................................................................................................... 52
BAB IV PENUTUP ............................................................................................... 55
A. Kesimpulan ....................................................................................................... 55
B. Saran .................................................................................................................... 56
BAB II DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 57

v
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sistem billiaris adalah suatu sistem yang terdiri dari duktus

billiari, gallbladder (GB), dan duktus pankreatikus. Duktus billiari adalah

suatu saluran yang mengalirkan empedu dari hati ke dalam duodenum

yang dimulai dari kanal Hering dan menyatu menjadi sistem saluran

interlobular, septal, dan utama, kemudian bergabung untuk membentuk

saluran empedu ekstrahepatik yaitu duktus hepatikus kanan dan kiri yang

bergabung menjadi duktus hepatikus kommunis, selanjutnya mengalirkan

cairan empedu ke usus melalui duktus koledokus atau common bile ducts

(CBD). GB adalah kantung yang berbentuk seperti terong yang berfungsi

untuk menyimpan dan mengkonsentrasikan cairan empedu yang berasal

dari hati diantara dua periode makan. Cairan tersebut dipindahkan ke

dalam duodenum melewati ductus sistikus, duktus koledokus dan ampula

vateri. Duktus pankreatikus merupakan saluran dari pankreas yang akan

menyatu dengan duktus koledukus dan akan bermuara di duodenum

(Netter et al., 2017).

Patologi pada sistem billiaris adalah cholelithiasis, pankreatitits,

cholangio ca, dan ca pancreas. Dari beberapa kelainan ini, Cholelithiasis

merupakan kelainan yang paling banyak ditemukan pada sistem biliaris.

Cholelitiasis adalah istilah yang diberikan pada keadaan dimana batu

empedu terbentuk dalam sistem biliaris. Cholelithiasis merupakkan

1
endapan satu atau lebih komponen empedu antara lain kolesterol,

bilirubin, garam empedu, kalsium, protein, asam lemak, dan fosfolipid.

Prevalensi cholelitiasis adalah 10% sampai 25% akan meningkat seiring

bertambahnya usia. Cholelithiasis dapat terjadi pada pria maupun wanita,

tetapi lebih sering terjadi pada wanita gemuk, dikarenakan kehamilan

yang merupakan predisposisi hiperkolesterolemia akibat gangguan dalam

pengosongan kandung empedu serta pembesaran rahim (Netter et al.,

2017).

Deteksi cholelitiasis dapat dilakukan dengan pencitraan Magnetic

Resonance Imaging (MRI). MRI adalah suatu teknik penggambaran

penampang tubuh berdasarkan prinsip resonansi magnetik inti atom

hydrogen. Teknik penggambaran modalitas ini relatif kompleks, karena

citra yang dihasilkan tergantung pada banyaknya parameter. MRI

memiliki kemampuan membuat citra potongan coronal, sagital maupun

axial tanpa banyak merubah posisi pasien. MRI mampu memberi detail

citra anatomi dengan lebih jelas dan dapat melakukan pemeriksaan

kepala, abdomen, ekstremitas, difusi, perfusi dan spektroskopi

(Notosiswoyo dkk, 2004).

Pemeriksaan MRI abdomen yang paling banyak dilakukan adalah

Magnetic Resonance Cholangiopancreatography (MRCP). Pemeriksaan ini

merupakan metode pemeriksaan non-invasif yang memliki peranan yang

dapat diandalkan dalam mendeteksi batu saluran empedu (Virzì et al.,

2018).

2
Prosedur pemeriksaan MRCP dimulai dengan persiapan pasien

puasa 6 jam sebelum pemeriksaan, teknik pemeriksaan menggunakan

MRI 1,5 Tesla dengan menggunakkan coil Quadrature (QD) spine coil dan

jenis sekuen yang digunakan adalah Axial T1 Weighted, Axial T2

Weighted, 2D T2 Weighted single BH, Coronal T2 FASE serta 3D CE-Fast

(D & Abhinay, 2021).

Prosedur pemeriksaan MRCP dimulai dengan persiapan pasien

puasa 4-6 jam sebelum pemeriksaan dan menyarankan penggunaan

kontras oral, teknik pemeriksaan menggunakan phased array torso coil,

dan jenis sekuen yang digunakan adalah AX T2 Weighted, 2D thick slab SS-

FSE dengan teknik breath hold (tahan nafas) dan 3D MRCP navigator

dengan teknik triggered (Eason et al., 2013).

Prosedur pemeriksaan MRCP menggunakan MRI 1,5 tesla dan

atau 3 tesla, persiapan pasien puasa 4-6 jam, diberikan jus nanas sebelum

pemeriksaan dimulai, teknik pemeriksaan menggunakan Body Coil atau

Volume torso array coil, pulsa sekuen dasar yang dapat digunakan pada

pemeriksaan MRCP adalah Coronal breath-hold SS-FSE, Axial

SE/FSE/incoherent (spoiled) GRE T1 /− in and out of phase, Axial SE/FSE

T2 or GRE T2*, SS-FSE MRCP, Opsional untuk kontras media adalah sekuen

Axial SE/FSE/breath-hold incoherent (spoiled) GRE T1 contrast, SS-

FSE/GRE-EPI/SE-EPI/diffusion imaging (Westbrook, 2014).

Pemeriksaan MRCP menggunakan sekuen 2D Thick slab SS-FSE

dengan metode Breath Hold (BH) atau teknik menahan nafas saat proses

3
scanning yang merupakan pemeriksaan radiografi non-invasif karena

tidak menggunakan radiasi dan tidak menggunakan kontras media, serta

sangat sensitif dan akurat dalam medeteksi batu saluran ekstrahepatik

(You et al., 2018).

Pemeriksaan MRCP menggunakan sekuen rapid 3D Navigator

dengan metode Triggered dapat menghasilkan kualitas citra secara

keseluruhan yang jauh lebih optimal dengan waktu scanning yang

berkurang secara signifikan tanpa penurunan kualitas citra dibandingkan

dengan sekuen 3D navigator konvensional MRCP pada modalitas MRI 3

Tesla (Sun et al., 2020).

Dari beberapa literature terdapat beberapa perbedaan terkait

prosedur pemeriksaan MRCP yakni perbedaan pada persiapan pasien dan

perbedaan protokol atau sekuen yang digunakan yakni sekuen 2D thick

Slab SS-FSE dengan metode Breath Hold (BH) dan sekuen 3D navigator

dengan metode triggered. Sekuen 2D thick slab hanya bisa diaplikasikan

pada pasien yang kooperatif yang dapat menerima instruksi tahan nafas

dengan baik dan untuk pasien yang tidak kooperatif menggunakan sekuen

3D navigator MRCP.

Berdasarkan pengalaman penulis selama melaksanakan praktek

di Departemen Radiologi MRCCC Siloam Hospital, pada pemeriksaan

MRCP menggunakan sequen Survey (Localizer 3 plan), T2W TSE Axial,

T2W SPAIR Axial, Ax Dual FFE Nav, DWI_3b, T2W SPAIR Cor, T2W Spair

Sagital, BTFE, sMRCP 3D HR, dan SSh MRCP.

4
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Teknik Pemeriksaan Magnetic Resonance Cholangio

Pancreatography (MRCP) pada kasus Batu Empedu di Departemen

Radiologi MRCCC Siloam Hospital ?

2. Bagaimana hasil diagnosa pada Pemeriksaan Magnetic Resonance

Cholangio Pancreatography (MRCP) pada kasus Batu Empedu di

Departmen Radiologi MRCCC Siloam Hospital ?

C. Tujuan Penulisan

Untuk Mengetahui Prosedur Pemeriksaan Magnetic

Resonance Cholangio Pancreatography (MRCP) pada kasus Batu

Empedu di Departemen Radiologi MRCCC Siloam Hospital

D. Manfaat Penulisan

1. Manfaat Praktis

Penulisan ini diharapkan mampu menjadi referensi

dilapangan dalam meningkatkan pelayanan radiologi, agar dapat

menghasilkan kualitas citra yang optimal pada pemeriksaan Magnetic

Resonance Cholangio Pancreaticography (MRCP). Menjadi referensi

terkait dengan penggunaan pulsa sekuen DWI.

2. Manfaat Teoritis

Penulisan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan

wawasan pembaca tentang prosedur pemeriksaan Magnetic

Resonance Cholangio Pancreatography (MRCP) pada kasus Batu

Empedu di Departemen Radiologi MRCCC Siloam Hospital.

5
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Anatomi Fisiologi

Sistem Biliari adalah suatu sistem yang terdiri dari duktus billiari,

gallbladder (GB) dan duktus pankreatikus. Anatomi sistem biliari terdiri

atas:

1. Hepar

Keterangan :
1. Hepar Lobus Kanan 4, Duktus Hepatikus Kiri
2. Hepar Lobus Kiri 5. Duktus Hepatikus Komunis
3. Duktus Hepatikus Kanan 6. Duktus Sistikus

Gambar 2.1 Hepar dan Duktus Hepatikus


(Netter et al, 2017)

Hepar merupakan kelenjar paling kompleks yang memiliki

banyak fungsi yang terdiri dari dua lobus yaitu lobus kanan dan lobus

kiri yang berdekatan dengan Diaphragma dan Facies visceralis

dengan tepi bawah anterior (Margo inferior) mengarah ke organ

dalam Abdomen (Netter et al., 2017).

Hepar memiliki berbagai fungsi antara lain menghasilkan

glikogen, menghasilkan bilirubin dari limfa untuk memproduksi

empedu dan juga berperan dalam mengeluarkan cairan empedu ke

6
bagian duodenum. Pada hepar terdapat Duktus interlobaris pada

masing masing lobus yang membentuk duktus hepatikus. Duktus

hepatikus dextra berasal dari lobus kanan hepar dan duktus hepatikus

sinistra berasal dari lobus kiri hepar dan bersatu membentuk duktus

hepatikus kommunis pada porta hepatikus. Panjang duktus hepatikus

komunis kurang lebih 3 cm dan bersatu dengan duktus sistikus

membentuk duktus koledokus (Netter et al., 2017)

4. Kandung Empedu (Gallbladder)

Keterangan
1. Duktus Hepatikus Kanan 8. Corpus
2. Duktus Hepatikus Kiri 9. Fundus
3. Duktus Hepatikus Communis 10. Duktus Koledokus
4. Dukstus Sistikus 11. Duodenum
5. Plica Spiralis 12. Ampula Vateri
6. Collum 13. Papila Vateri
7. Hartman S Pounch 14. Duktus Pancreatikus

Gambar 2.2 Kandung Empedu Dan Duktus Ektrahepatik


(Netter et al., 2017)

Kandung empedu seperti kantong berbentuk seperti buah

terong yang terletak pada permukaan inferior hati. Ukuran kantung

empedu adalah 7 cm hingga 10 cm dan berdiameter 3 sampai 5 cm.

7
kantung empedu menempel pada hati oleh jaringan ikat longgar yang

mengandung vena dan saluran limfatik yang menghubungkan

kantung empedu dan dengan hati.

Fungsi dari kandung empedu yaitu menyimpan dan

mengkonsentrasikan cairan empedu yang berasal dari hati diantara

dua periode makan. Cairan tersebut dialirkan ke dalam duodenum

melewati duktus sistikus, duktus koledokus atau common bile duct

(CBD) dan ampula vateri yang berfungsi untuk membantu

mempercepat proses mencerna lemak yang ada pada makanan yang

telah dikonsumsi dalam 24 jam (Netter et al., 2017). Kandung empedu

terdiri dari collum, corpus dan fundus.

a. Collum merupakan bagian yang sempit pada muara kandung

empedu yang kemudian berlanjut sebagai duktus sistikus. Collum

kadang mempunyai tonjolan seperti kantung yang disebut

Hartmann’s pouch.

b. Corpus berhubungan dengan facies visceralis hati, mengarah ke

atas belakang serta kiri, dan melekat dengan perantara jaringan

ikat.

c. Fundus berbentuk agak bundar dan menonjol melewati tepi

bawah hati yang tajam, mengarah ke bawah, ke depan dan ke

kanan.

8
5. Pankreas

Keterangan
1. Caput Pankreas 5. Common Bile Dukt
2. Duktus Pankreas 6. Duktus Santorini
3. Body Pankreas 7. Duktus Wirsungi
4. Tail Pankreas

Gambar 2.3 Pankreatic Duktus


(Netter et al., 2017)

Pankreas merupakan kelenjar majemuk yang mirip dengan

kelenjar ludah yang memiliki panjang 4 hingga 6 inci atau 15 cm mulai

dari dudenum sampai limpa. Caput pancreas adalah bagian yang

paling lebar letaknya di sebelah kanan rongga abdomen. Permukaan

posterior caput pancreas menyentuh vena cava inferior dan vena

renalis kiri. kepala menyempit ke leher pankreas saat melintasi

anterior ke aorta dan asal vena portal. Bagian utama dari pankreas

adalah body pancreas, letaknya di belakang lambung dan di depan

vertebrae lumbal 1. Bagian ekor pankreas berbentuk runcing letaknya

di sebelah kiri yang sering membuat kontak dengan limpa.

Pankreas disebut juga sebagai organ rangkap yang

mempunyai dua fungsi. Fungsi utama eksokrin dilaksanakan oleh sel

sekretori lobulanya, yang membentuk getah pankreas yang berisi

9
enzim dan elektrolit. Cairan pencerna berjalan melalui saluran

ekskretori halus dan akhirnya di kumpulkan oleh dua saluran utama

ductus wirsungi dan sebuah saluran lain yaitu ductus santorini yang

masuk kedalam duodenum. Saluran utama bergabung dengan saluran

empedu di ampula vateri. Saluran pencerna ini mengandung

proenzim pencernaan yang tidak diaktifkan sampai mencapai

duodenum karena pH lingkungan relatif lebih rendah (Netter et al.,

2017)

B. Patologi Cholelithiasis

Cholelithiasis atau batu empedu adalah timbunan kristal yang

berlebih pada komponen empedu antara lain kolesterol, bilirubin, garam

empedu, kalsium, protein, asam lemak, dan fosfolipid. Prevalensi

cholelithiasis adalah 10% sampai 25% akan meningkat seiring

bertambahnya usia. Cholelithiasis dapat terjadi pada pria maupun wanita,

tetapi lebih sering terjadi pada wanita gemuk, dikarenakan kehamilan

yang merupakan predisposisi hiperkolesterolemia akibat gangguan dalam

pengosongan kandung empedu serta pembesaran rahim (Netter et al.,

2017).

Cholelithiasis menyebabkan tiga kelainan utama antara lain

kolesistitis, kolik biliaris dan koledokolitiasis.

1. Kholesistitis disebabkan karena impaksi batu empedu dalam duktus

sistikus.

2. Kolik Biliaris biasanya disebabkan karena batu yang berada dalam

10
kandung empedu berpindah tempat, yang mengakibatkan

penyumbatan sesaat di leher kandung empedu, duktus sistikus, atau

duktus koledokus.

3. Koledokolitiasis terjadi akibat adanya batu yang berada di duktus

koledokus, dapat dibentuk di duktus tersebut sejak dari awal atau

karena migrasi batu dari kandung empedu. Batu yang dibentuk sejak

awal di duktus koledokus disebut koledokolitiasis primer.

Koledokolitiasis terjadi karena migrasi dari kandung empedu, disebut

koledokolitiasis sekunder (Netter et al., 2017)

Keterangan
1. Gall Blader 4. CBD Stone
2. Gall Stones 5. Collum Stone
3. CBD

Gambar 2.4 Cholelithiasis


(Netter et al., 2017)

C. Dasar-Dasar MRI

1. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Magnetic Resonance Imaging (MRI) adalah salah satu alat

dalam bidang kedokteran yang memanfaatkan medan magnet dan

energi gelombang radio frekuensi dengan teknik penggambaran

11
penampang tubuh berdasarkan prinsip resonansi magnetik inti atom

hydrogen (Westbrook et al., 2011).

2. Komponen Dasar MRI

Ada beberapa proses untuk menghasilkan citra MRI. Proses

tersebut termasuk nuclear alignment, eksitasi radiofrekuensi, spatial

encoding dan image formation. Menurut Catherine Westbrook et al.,

(2011) secara garis besar instrumen MRI terdiri dari magnet utama,

koil gradien, koil radiofrekuensi dan sistem komputer, adapun

penjelasannya adalah sebagai berikut:

Gambar 2.5 Instrumentasi MRI


(Westbrook et al., 2011)

a. Magnet Utama

Magnet utama dipakai untuk membangkitkan medan

magnet berkekuatan besar yang mampu menginduksi jaringan

tubuh sehingga menimbulkan magnetisasi. Terdapat tiga tipe

magnet yang berbeda yaitu magnet permanen, resistive magnet

12
dan magnet superkonduktor (Westbrook et al., 2011)

b. Shim Coil

Ketika magnet mengalami shimming dengan logam maka

disebut passive shimming, namun ketika shimming terjadi

dengan kumparan kawat yang membawa arus maka disebut

active shimming. Keduanya menghasilkan medan magnet rata

atau homogen (Westbrook et al., 2011).

c. Gradient Coil

Gradient Coil digunakan untuk membangkitkan suatu

medan magnet yang mempunyai fraksi-fraksi kecil terhadap

medan magnet utama. Gradien digunakan untuk memvariasikan

medan pada pusat magnet. Terdapat tiga medan yang saling tegak

lurus antara ketiganya, yaitu :

1) Gradient coil X, untuk membuat citra potongan sagittal

2) Gradient koil Y, untuk membuat citra potongan coronal

3) Gradient koil Z, untuk membuat citra potongan axial

Gambar 2.6 Skema gradien x, y, z


(Westbrook et al., 2011)

13
d. Koil Radiofrekuensi

Koil radiofrekuensi terdiri dari dua tipe yaitu koil

pemancar dan penerima. Koil pemancar berfungsi untuk

memancarkan gelombang radio pada inti yang terlokalisir

sehingga terjadi eksitasi anatomis, sedangkan koil penerima

berfungsi untuk menerima sinyal output dari sistem setelah

proses eksitasi. Jenis koil ada 3 macam yaitu volume coil, surface

coil dan array coil (Westbrook et al., 2011). Beberapa jenis coil

yang sering digunakan antara lain :

1) Volume Coil

Volume coil terdiri dari transmiter dan reciver radio

frequency pulse (RF) yang disebut tranceiver. Banyak coil

jenis ini adalah quadrature coil yang menggunakan dua

pasang coil untuk transmiter dan receiver sinyal, sehingga

meningkatkan SNR. Coil ini memiliki kelebihan dalam

mecakup anatomi yang besar dan mencakup sinyal yang

seragam dalam FOV. Contoh volume coil adalah body coil.

2) Phased Array Coil

Phased array coil terdiri dari multiple coil dan

receiver. Sinyal dari receiver dari masing-masing coil

dikombinasikan untuk membentuk satu gambar. Phased

array coil dapat digunakan untuk pemeriksaan dengan area

yang luas seperti spinal cord, atau untuk menyeragamkan

14
sinyal dan intensitas pada area kecil seperti breast.

3) Surface atau Local Coil

Surface coil meningkatkan SNR dengan kombinasi

volume coil karena ditempatkan dekat dengan organ yang

akan diperiksa, maka akan meningkatkan amplitudo sinyal

pada coil, dan noise hanya diterima pada sekitar coil. Surface

coil hanya menerima sinyal yang melewati tepi coil dan dalam

coil.

4) Parallel Imaging atau Multi Coil

Parallel imaging atau multi coil menggunakan data

dari multiple coil atau channel yang disusun mengelilingi area

yang diperiksa untuk mengurangi scan time dan atau

meningkatkan resolusi. Dalam coil ini diperlukan perangkat

keras dan perangkat lunak. Perangkat keras meliputi

beberapa coil tegak lurus satu sama lain atau satu coil dengan

beberapa channel. Jumlah coil atau channel bervariasi, paling

kecil 2 dan paling besar 32. Selama akusisi, masing-masing

coil mengisi baris K-space (jika 2 coil digunakan bersama,

satu coil mengisi baris K-space dan baris K-space lainnya). K-

space diisi dua kali lebih cepat atau meningkatkan resolusi

dua kali pada scan time yang sama.

15
3. Prinsip Dasar MRI

Menurut (Westbrook & Talbot, 2019) atom terdiri atas tiga

partikel yaitu proton (bermuatan positif), neutron (tidak memiliki

muatan) dan elektron (bermuatan negatif). Nukleus pada sebuah

atom terdiri atas proton dan neutron, sementara elektron terletak

pada orbit yang mengelilingi nukleus. Karakteristik atom tergantung

dari jumlah partikel yang dimilikinya. Nukelus yang tidak berinteraksi

dengan medan magnet eksternal (B0) tidak dapat dideteksi dengan

MRI. Nukleus yang dapat berinteraksi dengan MRI adalah nucleus

yang mempunyai nomor massa ganjil. Adapun jenis-jenis interaksi

atom dengan medan magnet eksternal adalah sebagai berikut:

a. Spin

Spin (gerakan berputar yang berotasi pada sumbunya)

dari suatu partikel bermuatan yaitu proton akan menghasilkan

moment dipole magnetic yang disebut juga dengan spin.

(Westbrook & Talbot, 2019).

b. Presesi

Tiap inti atom hydrogen membentuk Net Magnetization

Vektor (NMV) spin pada sumbu atau prosesnya. Pengaruh dari

magnet eksternal (B₀) menghasilkan spin sekunder atau gerakan

NMV mengelilingi B₀. Perputaran ini disebut presisi dan

menyebabkan magnetic moment bergerak secara circular

mengelilingi B₀. Jalur sirkulsi pergerakan itu disebut precessional

16
path dan kecepatan gerakan NMV mengelilingi B₀ disebut

frekuensi presisi. Frekuensi presisi proton tergantung pada kuat

medan magnet disebut dengan frekuensi Larmor yang mengikuti

persamaan berikut :

ω0 = B0 x γ
Keterangan :
ω0 = Frekuensi Larmor (MHz)
B0 = kuat medan magnet eksterna (T)
γ = koefisien gyromagnetic (MHz/T)

Gambar 2.7 Presesi


(Westbrook & Talbot, 2019)

c. Resonance

Resonance adalah fenomena yang terjadi ketika suatu

objek diberikan frekuensi yang sama dengan frekuensi larmor.

Penerapan pulsa RF yang menyebabkan resonansi adalah NMV

yang akan berotasi dari bidang longitudional ke transversal.

Peristiwa ini terjadi apabila inti atom menyerap energi yang lebih

rendah. Energi untuk proses ini berasal dari pulsa RF, ketika pulsa

RF off, inti atom akan menyerap energi yang berpindah dari

17
tingkat yang lebih tinggi dan akan menjadikannya berputar anti

paralel. Ketika resonansi magnetik dihentikan inti atom akan

kehilangan energi dan kembali ke posisi semula. Sudut yang

menggerakkan NMV disebut flip angle (Westbrook & Talbot,

2019).

Gambar 2.8 Arah magnetisasi


(Westbrook & Talbot, 2019)

d. MR Signal

MR signal merupakan akibat dari resonansi NMV yang

mengalami inphase pada bidang transversal. Menurut hukum

Faraday, medan magnet berubah menyebabkan partikel

bermuatan bergerak. Aliran elektron ini adalah tegangan, dan jika

receiver coil ditempatkan dimedan magnet yang bergerak

misalnya NMV mengalami presisi pada bidang transversal akan

dihasilkan tegangan dalam receiver coil. Tegangan ini disebut

signal (Westbrook & Talbot, 2019).

18
e. Waktu Relaksasi

Selama relaksasi, inti hidrogen melepaskan energi RF dan

NMV kembali ke Bₒ. Pada saat yang sama tetapi secara terpisah,

momen magnetik inti hidrogen kehilangan magnetisasi

transversal karena dephasing. Relaksasi menghasilkan recovery

magnetisasi longitudinal dan decay magnetisasi transversal.

Recovery magnetisasi longitudinal disebabkan oleh proses yang

dinamakan T1 recovery, sedangkan decay magnetisasi

transversal disebabkan oleh proses yang dinamakan T2 decay

(Westbrook & Talbot, 2019).

f. Fenomena T1 dan T2

T1 recovery disebabkan oleh inti atom yang melepaskan

energi kelingkungan sekitarnya atau lattice, sehingga sering

disebut dengan Spin-Lattice Relaxation. Energi yang dibebaskan

ke lingkungan sekitar akan menyebabkan magnetisasi bidang

longitudinal akan semakin lama semakin menguat (recovery)

dengan waktu recovery yang konstan dan berupa proses

eksponensial yang disebut waktu relaksasi T1. Yakni waktu yang

diperlukan suatu jaringan untuk mencapai pemulihan

magnetisasi longitudinal hingga 63%. Waktu T1 relaksasi

dikontrol oleh TR karena TR mengontrol seberapa jauh vector

dapat recovery sebelum aplikasi RF berikutnya. (Westbrook &

Talbot, 2019).

19
Gambar 2.9 T1 Recovery
(Westbrook & Talbot, 2019)

T2 decay disebabkan oleh interaksi antara medan magnet

dari inti atom hidrogen satu dengan yang lainnya. Decay mengacu

pada hilangnya magnetisasi transversal dan T2 yang

berhubungan dengan proses relaksasi yang disebut spin

relaxation. Waktu yang diperlukan suatu jaringan kehilangan

energinya hingga 37% dikenal dengan waktu relaksasi T2.

waktu decay dikontrol oleh TE karena TE waktu antara pulsa RF

(Westbrook & Talbot, 2019).

Gambar 2.10 T2 Decay


(Westbrook & Talbot, 2019)

20
g. Parameter MRI

Menurut Catherine Westbrook et al., (2011) parameter

yang digunakan pada pemeriksaan MRI adalah:

1) Repetition Time

Repetition time merupakan waktu pengulangan

antara pulsa RF 90° yang sebelumnya dengan berikutnya. TR

ditentukan dari jumlah relaksasi yang diperbolehkan terjadi

antara pulsa RF selanjutnya, TR ditentukan dari jumlah

relaksasi T1 yang telah terjadi. Menaikkan TR akan

meningkatkan SNR dan number of slice selama akuisisi.

Menaikkan TR juga akan menaikkan waktu scan.

2) Echo Time (TE)

Echo time atau TE adalah waktu dari aplikasi pulsa

RF menuju puncak induksi signal pada coil dalam satuan ms.

TE menentukan banyaknya decay magnetisasai transversal

yang terjadi sebelum signal terbaca. Oleh karena itu, TE

dikontrol oleh jumlah relaksasi T2 yang telah terjadi.

Menaikkan TE akan menurunkan SNR.

21
Gambar 2.11 Basic Pulse Sequence
(Westbrook et al., 2011)

3) Number Of Exitacion ( NEX)

Number of Exitacion (NEX) atau Number of Signal

Average (NSA) merupakan nilai yang menunjukkan jumlah

pengulangan pencatatan data selama akuisisi dengan

amplitudo dan phase encoding yang sama. NSA mengontrol

sejumlah data yang disimpan dalam K-space. Data tersebut

terdiri dari signal dan noise. K-space merupakan area

frekuensi spasial dimana signal berupa frekuensi yang

berasal dari pasien akan disimpan. Menaikkan NEX akan

meningkatkan SNR pada jaringan dan mereduksi motion

artefak karena rata-rata sinyal. Menaikkan SNR juga akan

menaikkan scan time (Westbrook et al., 2011).

4) Slice Thickness

Slice thickness adalah tingkat ketebalan irisan atau

potongan. Satuan slice thickness adalah millimeter (mm).

22
Besarnya slice thickness akan mempengaruhi resolusi spasial

citra yang dihasilkan. Slice thickness yang tipis akan

menghasilkan resolusi yang baik, namun akan menambah

besar FOV sehingga membutuhkan waktu akuisisi data yang

lebih lama (Westbrook et al., 2011).

5) Slice Interval

Slice interval adalah besarnya jarak antar slice. Slice

interval dibutuhkan untuk menghindari cross contamination.

Timbulnya overlapping RF antar slice dapat mempengaruhi

proses resolusi spasial sehingga dapat menurunkan SNR

(Westbrook et al., 2011).

6) Field Of View (FOV)

FOV adalah diameter obyek yang akan direkontruksi

ke dalam matriks. Satuan FOV adalah milimeter (mm).

Besarnya FOV mempengaruhi scan time dan semakin besar

FOV maka akan menghasilkan pixel yang besar. Peningkatan

FOV akan menurunkan resolusi spasial (Westbrook et al.,

2011).

7) Matrix

Matrix merupakan jumlah elemen gambar (pixel)

dalam satu field of view (FOV). Satuan matrix adalah pixel.

Menaikkan matrix akan menaikkan spatial resolution dan

waktu scan. SNR berkurang jika ukuran piksel berkurang. Jika

23
ukuran piksel tetap sama, SNR akan meningkat karena lebih

banyak phase encode yang dilakukan.

8) Flip Angle

Flip Angle merupakan sudut yang ditempuh Net

Magnetisation Vector (NMV) pada waktu relaksasi. Besarnya

FA pada GRE bervariasi 5°-110° sehingga waktu scan GRE

lebih singkat dibanding SE. Nilai FA akan mempengaruhi

kontras gambar.

9) Bandwith

Bandwith merupakan rentang frekuensi yang

disampel selama proses scan. Meningkatkan bandwidth akan

meningkatkan nilai noise yang diterima sehingga akan

menurunkan SNR.

h. Pulse Sequence MRI

1) Spin Echo Konvensional

Spin echo adalah pulsa sekuen yang memiliki standar

emas untuk pencitraan karena merupakan pulse sequence

yang paling sering digunakan pada pemeriksaan MRI.

Sequence ini mengaplikasikan eksitasi pulsa 90° diikuti

dengan aplikasi pulsa 180° rephasing.Pembobotan T1 pada

sequence ini sangat baik untuk mendemonstrasikan anatomi,

karena memiliki SNR yang tinggi, serta mendemonstrasikan

kelainan patologis dengan enhancement media kontras

24
sementara dalam pembobotan T2 dapat dengan jelas dilihat

adanya kelainan-kelainan berupa oedematous dan pembuluh

darah. Hal tersebut disebabkan karena komponen air dalam

jaringan tersebut meningkat sehingga akan memberikan

sinyal yang tinggi dan mudah diidentifikasi. Sekuen ini

digunakan untuk pembobotan T1, T2 dan roton density (PD).

(Westbrook et al., 2011).

Gambar 2.12 phase encode Spin Echo


(Westbrook et al., 2011)

2) Fast Spin Echo (FSE) atau Turbo Spin Echo (TSE)

Fast Spin Echo adalah salah satu pengembangan dari

sekuen spin echo yang digunakan untuk mempercepat waktu

scan, dengan mengaplikasikan beberapa kali pulsa 180°

rephasing dalam satu TR. Pengaplikasian beberapa pulsa

180° dalam satu TR menghasilkan rangkaian echo yang

disebut dengan Echo Train Length (ETL). Disamping

keunggulan, sequence FSE juga mempunyai keterbatasan,

diantaranya berkurangnya jumlah slices, adanya Contrast

25
Overaging (K- space overaging) sehingga Cerebro Spinal Fluid

(CSF) menjadi lebih terang pada pembobotan proton density

dan multiple sclerosis serta lesi-lesi kecil tidak dapat dilihat

serta adanya blurring akibat pemilihan ETL yang digunakan

Westbrook et al., 2011).

Gambar 2.13 phase encode Fast Spin Echo


(Westbrook & Talbot, 2019)

3) Inversion Recovery (IR)

Invertion Recovery adalah uurutan pulsa spin echo

yang menggunakan pulsa pembalik RF untuk menekan sinyal

dari jaringan tertentu. Urutan pulsa IR dimulai dengan pulsa

RF 180⁰ inversi dilanjut dengan 90⁰ eksitasi kemudian pulsa

180⁰ rephrasing.

26
Gambar 2.14 Invertion Recovery
(Westbrook & Talbot, 2019)

Parameter utama dalam Invertion Recoverya adalah

Time Repetition (TR), Time Echo (TE), dan Time Inversion

(TI). TI merupakan parameter utama dari Inversion Recovery

yang digunakan untuk mengontrol kontras. Jika pulsa 90⁰

eksitasi diaplikasikan setelah NMV relaksasi dan kembali ke

bidang transversal, kontras citra akan bergantung pada

jumlah recovery longitudinal dari setiap vektor. Hasilnya

adalah T1WI. Jika pulsa 90⁰ eksitasi tidak diaplikasikan

sampai NMV full recovery, menghasilkan citra Proton Density

karena lemak dan air full recovery.

4) Gradient Echo (GRE)

Prinsip dasar gradient echo atau disebut dengan

gradient recalled echo (GRE) adalah pulsa RF dengan flip

angle dibawah 90⁰ dan pembalikkan gradient diphase

sehingga akan didapatkan TR yang pendek dan waktu

scanning lebih cepat. Penggunaa flip angle dibawah 90⁰ dan

27
TR yang pendek bertujuan untuk mengghasilkan rapid

acquistion. Hal ini dapat meminimalisir ketidaknyamanan

pasien akibat lamanya waktu pemeriksaan, serta

meminimalisir pergerakan yang dapat menyebabkan mortion

artifact. Sekuen GRE diklasifikasikan menjadi beberapa

macam yaitu:

5) Coherent Gradient Echo

Coherent gradient echo menggunakan pulsa eksitasi

variable flip angle dan gradient rephrasing untuk

menghasilkan gradient echo. Sekuens ini merupakan steady

state yang merupakan komponen transverse dari

magnetization untuk membangun pencapaian dari TR. Steady

state dipertahankan dengan memilih TR yang lebih pendek.

Sequence ini dapat digunakan untuk menghasilkan citra T1

atau T2* weighted.

Gambar 2.15 Coherent Gradient Echo


(Westbrook & Talbot, 2019)

28
6) Incoherent Gradient Echo

Incoherent gradient echo dimulai dengan pulsa

eksitasi variable flip angle dan menggunakan gradient refase

untuk menghasilkan gradient echo. Steady stated

pertahankan sehingga residual transverse magnetization

tersisa dari pengulangan sebelumnya. Sekuens dephase atau

spoil magnetization ini berpengaruh sangat sedikit terhadap

kontras citra. Hanya magnetisasi transversal dari eksitasi

sebelumnya yang digunakan sehingga memungkinkan

kontras T1 lebih banyak.

Gambar 2.16 Incoherent Gradient Echo


(Westbrook & Talbot, 2019)

7) Steady State Free Precession (SSFP)

Dalam sequences SSFP didapatkan gambar yang

memiliki TE panjang dan T2* yang minimal dibandingkan

dengan urutan steady state lainnya. Sekuens SSFP digunakan

29
untuk memperoleh gambar yang menunjukkan T2 weighted

sebenarnya, karena T2 sebenarnya sangat berguna pada

pemeriksaan otak dan sendi dengan akuisisi 2D dan 3D.

8) Balance Gradient Echo

Sekuens ini merupakan perkembangan dari sekuens

coherent gradient echo yang menggunakan system balanced

gradient untuk memperbaiki fase dalam aliran darah dan CSF.

FID dan spin echo dijadikan satu sehingga menghasilkan

gambaran lemak dan air yang menghasilkan sinyal lebih

tinggi. Balanced gradient echo dikembangkan untuk

pencitraan jantung, pembuluh darah besar, bahkan

digunakan juga dalam pencitraan spine, terutama cervical

dan internal auditory meatus, juga digunakan dalam

pencitraan sendi dan abdomen.

Gambar 2.17 Balance Gradient Echo


(Westbrook & Talbot, 2019)

30
9) Fast Gradient Echo

Fast gradient echo menggunakan sekuens incoherent

atau coherent gradient echo dengan TE yang pendek. Hal

tersebut diperoleh dengan memberikan pulsa eksitasi RF,

sehingga sedikit waktu yang dibutuhkan untuk

menghidupkan dan mematikannya. Hanya partial echo yang

dibaca. Cara tersebut memungkinkan pengurangan waktu

scanning karena TR sangat berkurang. Dapat digunakan

untuk single-slice atau volume breath-hold acquisitions pada

abdomen, dan untuk peningkatan kontras dinamis. Sekuen ini

sangat sensitif untuk flow gradient rephasing, sehingga

flowing nuclei selalu memberikan sinyal. Karena itu, sekuen

gradient echo dapat digunakan untuk menghasilkan gambar

jenis angiography.

10) Single Shot Fast Spine Echo ( SS-FSE)

SS-FSE adalah teknik single shot yang berarti bahwa

data dari semua k-space diperoleh setelah satu pulsa eksitasi

90º. Teknik SS-FSE membutuhkan ETL yang sangat panjang.

31
Gambar 2.18 Phase encode SS-FSE
(Westbrook & Talbot, 2019)

Untuk meminimalkan jumlah garis pengambilan

sinyal, SS-FSE menggunakan phase-conjugate symmetry (a

partial Fourier method) yang memanfaatkan pembentukan

seolah-olah "bayangan-cermin" tertentu dari k-space dan

sinyal MR. Hal ini memungkinkan hanya sedikit lebih dari

setengah data k-space untuk dikumpulkan secara langsung,

sedangkan garis yang tersisa dapat dikira kira.

Pengisian K-Space dengan teknik half Fourier

bertujuan untuk mempersingkat waktu pemeriksaan dengan

hanya mengisi setengah ruang K-Space dalam arah phase

encoding. Separuh lainnya akan dihitung dari data half

Fourier, dimana bagian atas dan bawah K-Space adalah

cermin satu sama lain dengan polaritas yang berbeda,

sehingga dapat mereduksi waktu scanning.

32
D. Pemeriksaan Magnetic Resonance Cholangiopancreatography

(MRCP) pada kasus Cholelithiasis

1. Pengertian

Magnetic Resonance Cholangiopancreatography (MRCP)

merupakan pemeriksaan tanpa menggunakan sinar radisi pengion

tetapi dengan menggunakan sifat magnetis pada proton-proton

hydrogen yang konsentrasinya berbeda diantara jaringan tubuh

untuk memvisualisasikan citra anatomis. MRCP adalah pemeriksaan

imaging non invasif yang dilakukan untuk mengevaluasi pathologi

pada sistem biliaris yang terdiri dari duktus biliaris, duktus

pancreatikus dan kandung empedu (Westbrook, 2014).

2. Persiapan pasien

Pada pemeriksaan MRCP, persiapan pasien dimulai dengan

pasien harus puasa 4-6 jam sebelum pemeriksaan. Pasien diberikan

penjelasan tentang prosedur pemeriksaan, mengisi lembar informed

consent dan diberikan jus nanas serta selalu memastikan pasien

senyaman mungkin selama proses pemeriksaan berlangsung

(Westbrook, 2014).

3. Persiapan Alat dan Bahan

a. Pesawat MRI 1,5 Tesla atau 3 Tesla

b. Respiratory gating

c. Body array coil

d. Ear plugs (headphone)

33
e. Peripheral gating jika diperlukan

4. Teknik Pemeriksaan

Teknik pemeriksaan MRCP dimulai dengan memposisikan

pasien supine diatas meja pemeriksaan dengan tubuh pasien diatur

parallel terhadap Mid Sagittal Plane (MSP) dan tubuh pasien berada

pada center magnet. Pasien diposisikan longitudinal alignment light

berada pada midline obyek yang diperiksa, dan horizontal alignment

light pada setinggi vertebra lumbal. Protokol pada Pemeriksaan MRCP

adalah dengan menggunakan pulsa sekuen dasar sebagai berikut

(Westbrook, 2014):

a. Three Plane Localizer

Dimulai dengan three plane localizer dengan sekuen

T1WI dengan spasial resolusi rendah yang digunakan untuk

identifikasi struktur anatomi untuk planning berikutnya atau

menentukan pulse sequence yang digunakan. Pada sekuen ini

pasien melakukan breath hold sebanyak 5 kali setiap bidang.

b. Coronal T2 breath-hold SS-FSE

Tujuan dari sekuen ini untuk membantu ketepatan

peletakan planning irisan pada sekuen berikutnya pada bidang

yang berbeda karena gambar yang dihasilkan memiliki spasial

resolusi yang jauh lebih baik dibandingkan dengan potongan

coronal pada localizer. Coronal T2 memanfaatlkan teknik single

shot fast spin echo ( SSFSE) atau teknik half-fourier dengan

34
metode breath hold (tahan nafas).

c. Axial SS-FSE T2

Pada sequence ini menggunkan TE yang lebih panjang

sehingga gambaran kandung empedu dan salurannya lebih

hiperintens. Apabila ada batu akan tampak hipointens diantara

cairan hiperintens di kandung empedu dan salurannya. Apabila

ada lumpur pada kandung empedu, akan tampak gradasi, dan

lumpur selalu berada pada bagian bawah ( pundus ) dari kandug

empedu.

Gambar 2.19 Planning dan citra axial SS-FSE


(Westbrook, 2014)

d. Axial SE/FSE/incoherent (spoiled) GRE T1 /− in and out of phase

Sekuen ini menggunakan teknik breath hold dengan slice

thickness 5-6 mm. Dual echo merupakan sekuen GRE yang

membantu mengevalusi infiltrasi lemak , Focal Fatty sparing dan

kelainan pada liver. Teknik dual echo menghasilkan gambaran

T1- weighted yang mampu memperlihatkan 4 gambaran

sekaligus yaitu water image, fat image, in phase dan out off phase.

35
Dual echo adalah sekuen single spin echo multi-repetition

digunakan untuk menghasilkan dua gambar dengan nilai TE yang

berbeda. Pada in phase menggunakan TE yang lebih tinggi dari

out phase. Waktu relatif TE.1 dan TE.2 didasarkan pada

perbedaan frekuensi antara air dan lemak. Spin echo pada echo

pertama sekuen TE.1, berdasarkan pada waktu dari Pulsa RF 90°

dan 180°, menyejajarkan sinyal air dan lemak (perbedaan fase

nol). Ini biasa disebut sebagai in phase. Spin echo pada echo kedua

sekuen TE.2 dengan gradien out off phase, fase relatif antara

sinyal air dan lemak adalah oposisi (perbedaan fase 180°). Ini

biasanya disebut opposed phase (out of phase). Pada sekuen dual

echo ini yang diamati terutama pada in phase dan out off phase

karena bisa menampakkan apabila ada Fatty liver.

Gambar 2.20 citra in phase dan out phase


(Westbrook, 2014)

e. Axial SE/FSE T2 atau GRE T2*,

Pada sekuen ini menggunakan fast gradient echo yang

menggunakan sekuens incoherent atau coherent gradient echo

36
dengan TE dan TR yang pendek. Pulsa sekuen fast gradient echo

memungkinkan pengurangan waktu scanning karena

penggunaan TR yang sangat pendek.

Gambar 2.21 Axial SE/FSE T2/GRE T2*


(Westbrook, 2014)

f. Balance GRE (BGRE) / T2*

Balance Gradient Echo adalah sekuen steady-state yang

menggunakan TR yang sangat pendek untuk mereduksi waktu

scan dan Flip Angle yang besar untuk meningkatkan SNR. Short

TR dapat mereduksi flow Effect, sedangkan balance GRE dapat

mereduksi low artifact. Kharakteristik dari sekuen ini ultra short

TR dan TE, sehingga menghasilkan pembobotan gambaran

dengan ratio T2/T1

g. SS-FSE MRCP

Sekuen SS-FSE MRCP adalah merupakan sekuen utama

dalam pemeriksaaan MRCP dimana cairan yang tidak mengalir

37
(stationary fluid) seperti empedu, sekresi pancreas dan cairan

didalam usus memiliki intensitas sinyal yang tinggi sedangkan

organ padat memiliki intensitas sinyal yang rendah dan

pembuluh darah tidak memiliki sinyal untuk dapat diukur.

Gambar 2.22 citra SS-FSE MRCP


(Westbrook, 2014)

h. 2D Thick Slab MRCP

Sekuen ini menggunakan radial slice yang dimulai dari

pancreatic canal sampai atas gall bladder. Penempatan radial slice

dari citra axial pada Common Bile Duct (CBD) dengan slice

thickness 50-70 mm dengan menggunakan teknik breath hold

atau menahan nafas pada tiap scanning dengan memberikan

instruksi kepada pasien dan menggunakan respiratory gating

yang dipasang di bagian mediastinum pasien untuk mendeteksi

pergerakan nafas.

Interval waktu antar scanning minimal 10 detik sebelum

slice selanjutnya dengan tujuan agar pasien dapat mengatur nafas

38
dengan baik sehingga hasil citra yang dihasilkan lebih optimal.

Hasil citra yang dihasilkan pada sekuen ini dalam bentuk dua

dimensi.

Gambar 2.23 Planning radial dan citra radial MRCP


(Elmaoglu & Celik, 2013)

Gambar 2. 24 Normal anatomi pada citra MRCP


(Griffin et al., 2012)

Gambar 2. 25 citra 2D Thick Slab dengan cholelithiasis ditunjukkan


tanda panah
(Griffin et al., 2012)

39
i. 3D navigator triggered MRCP

Sekuen ini merupakan sekuen utama dalam pemeriksaan

MRCP di mana mampu membuat irisan coronal atau paracoronal

yang mencakup pankreas dan gallbladder dengan slice thickness

yang tipis yaitu 1-2 mm yang menghasilkan citra pada tiga bidang

yaitu axial, sagittal dan coronal yang dapat direkonstruksi dalam

bentuk MPR, MIP dan VRT. Sekuen ini menggunakan heavily T2-

weighted di mana cairan yang tidak mengalir (stationary fluids)

seperti empedu, sekresi pancreas dan cairan didalam usus

memiliki intensitas sinyal yang tinggi, sedangkan organ padat

memiliki intensitas sinyal yang rendah dan pembuluh darah tidak

memiliki sinyal yang dapat di ukur.

Pada sekuen ini menggunakan metode triggered dengan

teknik pengambilan gambar dilakukan pada fase inspirasi dan

ekspirasi secara otomatis dengan cara menavigasi untuk

menentukan arah dan posisi nilai respiratory rate yang terukur.

Sekuen ini banyak di gunakan pada pasien yang tidak kooperatif

dan bayi. Cakupan volume yang luas dan slice thickness yang tipis

pada sekuen 3D MRCP meningkatkan spasial resolusi citra pada

saat dilakukan rekonstruksi MIP. Sekuen ini memiliki kualitas

citra yang lebih tinggi dibandingkan pencitraan 2 dimensi.

40
A B

Gambar 2.26 planning potongan axial dan sagital (A) dan citra 3D
MRCP(B)
(Elmaoglu & Celik, 2013)

Gambar 2. 27 citra 3D MRCP dengan cholelithiasis ditunjukkan tanda


panah
(Mandelia et al., 2013)

41
BAB III

PEMAPARAN KASUS DAN PEMBAHASAN

A. Pemaparan Kasus

Pasien atas nama Ny. X datang ke departemen radiologi bagian

MRI MRCCC Siloam Hospital Semanggi dengan membawa permintaan

pemeriksaan magnetic resonance cholangio pancreatography (MRCP)

dengan diagnosa cephalgia batu empedu simptomatik.

1. Data Pasien

a. Nama : Ny. X

b. Umur : 48 Tahun

c. Dokter Pengirim : dr. A

d. Tanggal Pemeriksaan : 26 Juni 2023

e. Jenis Pemeriksaan : MRCP

f. Diagnosa Klinis : Cephalgia batu empedu simptomatik

2. Pemeriksaan MRI

a. Persiapan Pasien

Pada pemeriksaan MRCP pasien mulai di instruksikan untuk

melakukan puasa selama 4 jam sebelum pemeriksaan. Pasien

diberikan penjelasan mengenai prosedur pemeriksaan dan

menayakan riwayat tindakan operasi, riwayat penyakit, keluhan

yang dirasakan saat sebelum pemeriksaan dan apakah pasien

sedang menggunakan benda- benda berbahan logam di dalam

tubuh. Pasien di arahkan untuk mengganti baju pasien yang telah

42
disediakan, kemudian melepas benda-benda berbahan logam

seperti jam tangan, handphone, dan jepit rambut. Pasien

dipersilahkan masuk ke ruang pemeriksaan MRI.

b. Persiapan Alat dan Bahan

1) Pesawat MRI 3 Tesal

Gambar 3.1 Pesawat MRI 3 Tesla

2) Respiratory Gating

Gambar 3.2Respiratory Gating

43
3) Coil Torso Abdomen

Gambar 3.3 Coil Torso Abdomen

4) Headphone

Gambar 3.4 Headphone

5) Selimut

44
6) System Console

Gambar 3.5 System Console

c. Teknik Pemeriksaan

Teknik Pemeriksaan MRCP dimulai dengan memposisikan

pasien tidur terlentang di atas meja pemeriksaan dengan posisi

head first, kemudia kedua lengan diletakkan di atas kepala.

1) Registrasi Pasien

Radiografer memasukkan data pasien ke dalam

Komputer dengan menekan klik pada new pasien kemudian

membuka RIS (Radiology Information System) dan melilih

nama pasien yang diperiksa pada worklist. Selanjutnya

pastikan data pasien benar dan tambahkan yang masih

kosong berupa berat badan, dan di proceed. Kemudian

memilih protocol pemeriksaan MRCP.

45
2) Protocol Scanning

a) Survey

Survey dilakukan sebelum melakukan scanning

pada sequen-sequen selanjutnya dan berfungsi sebagai

dasar dalam planning pemeriksaan MRCP. Survey yang di

dapatkan yaitu axial, sagital, dan coronal.

b) Protocol sequen yang di gunakan sebagai berikut :

(1) T2W_Spair_Ax

Parameter yang digunakan pada sequen

T2W SPAIR Axial yaitu :

- TR : 756

- TE : 70

- FOV : 350

- Slice Thickness : 4

- Slice : 33

- NSA : 2

Gambar 3.6 Hasil Citra T2W Spair Axial

(2) T2W_TSE_Ax

- TR : 863

- TE : 80

46
- FOV : 350

- Slice Thickness : 4

- Slice : 43

- NSA : 2

Gambar 3.7 Hasil Citra T2W TSE Axial

(3) Ax_Dual-FFE_Nav

- TR : 180

- TE : 1.2

- FOV : 350

- Slice Thickness : 4

- Slice : 43

- NSA : 1

Gambar 3.8 Hasil Citra Ax_Dual_FFE_Nav

47
(4) DWI

- TR : 2091

- TE : 52

- FOV : 350

- Slice Thickness : 4

- Slice : 43

- NSA : 4

Gambar 2.10 Hasil Citra DWI B800

(5) T2W_Spair_Cor

- TR : 931

- TE : 80

- FOV : 370

- Slice Thickness : 4

- Slice : 28

- NSA : 2

Gambar 3. 11 Hasil Citra T2W Spair Coronal

48
(6) T2W_Spair_Sag

- TR : 877

- TE : 80

- FOV : 370

- Slice Thickness : 5

- Slice : 38

- NSA : 1

Gambar 3.12 Hasil Citra T2W Spair Sagital

(7) BTFE

- TR : 2,5

- TE : 1,2

- FOV : 375

- Slice Thickness : 4

- Slice : 43

- NSA : 1

49
Gambar 3.13 Hasil Citra BTFE

(8) sMRCP_3D_HR

- TR : 2516

- TE : 917

- FOV : 300

- Slice Thickness : 2

- Slice : 100

- NSA : 1

3.9 Hasil Citra sMRCP_3D_HR

(9) SSh_MRCPrad

- TR : 5670

- TE : 740

- FOV : 300

- Slice Thickness : 4

- Slice : 15

50
- NSA : 1

Gambar 3.14 Hasil Citra SSh_MRCPrad

3) Hasil Ekspertise

a) Duktus-Duktus Bilier Intrahepatik : Normal

b) Duktus Hepatikus Kanan : Normal

c) Duktus Hepatikus Kiri : Normal

d) Bifurkasio : Normal

e) Duktus Hepatikus Komunis : Normal

f) Duktus Sistikus : Normal

g) Kantung Empedu : Dua buah batu

hipointens pada

lumen GB dengan

diameter terbesar

+/- 0,5 cm

h) Duktus Choledokus : Normal

i) Duktus Pancreatikus Utama : Normal

j) Hepar : Normal

k) Lien : Normal

l) Dinding Kantung Empedu : Normal, tidak

51
menebal

m) Pancreas : Normal

n) Kelenjar Getah Bening : Tidak tampak

pembesaran

o) Cairan Bebas : Tidak tampak

p) Adrenal : Normal

q) Ginjal : Normal

r) Kesan :

- Multiple cholecystolithiasis tanpa gambaran

cholecystitis / cholestasis

- Tidak tampak ascites, ileus, maupun pembesaran

signifikan KGB

B. Pembahasan

1. Prosedur pemeriksaan magnetic resonance cholangio

pancreatography (MRCP) pada kasus batu empedu di Departemen

Radiologi MRCCC Siloam Hospital.

Pemeriksaan magnetic resonance cholangio

pancreatography (MRCP) pada kasus batu empedu merupakan

pemeriksaan yang terprogram minimal 1 hari sebelum pemeriksaan

sudah terdaftar. Hal ini bermaksud untuk memberikan penjelasan

mengenai persiapan yang harus dilakukan pasien. Persiapan pasien

yaitu melakukan puasa selama 4 jam sebelum dilakukan

pemeriksaan. Dengan persiapan tersebut diharapkan di dalam

52
gaster dan duodenum bersih dari makanan dan cairan.

Selanjutnya pasien datang di hari pemeriksaan dan di

anamnesa mengenai keadaan pasien apakah pasien memilik riwayat

operasi, apakah telah terpasang benda-benda yang mengandung

logam berupa stent atau peace maker. Kemudian pasien dijelaskan

mengenai prosedur yang akan dilakukan dan diberikan instruksi

berupa tarik nafas dan tahan nafas dengan mengikuti abah-abah dari

petugas selama pemeriksaan berlangsung. Setalah diberikan

penjelasan pasien disarankan untuk buang air kecil terlebih dahulu,

karena pemeriksaan yang dilakukan kurang lebih sekitar 45 menit

dan mengganti baju dengan baju pasien, menaggalkan benda-benda

yang mengandung logam seperti handphone, kacamata, dan dompet.

Persiapan alat dan bahan yang dilakukan di Departemen

Radiologi MRCCC Siloam Hospital yaitu MRI Philips 3 tesla,

respiratory gatting, torso coil abdomen, headphone, fixing belt,

emergency bell, selimut, dan monitor CCTV.

Posisi pasien yaitu supine di atas meja pemeriksaan dengan

posisi foot first kedua lengan diletakkan diatas kepala agar tidak

mengganggu obyek yang diperiksa, pasang respiratory gatting, coil

torso abdomen rekatkan fixing belt, headphone, di telinga pasien

dengan tujuan untuk mengurangi kebisingan saat proses

pemeriksaan berlangsung. Beri emergency bell kepada pasien dan

dijelaskan mengenai penggunaannya hanya dalam keadaan darurat

53
saat proses masih berlangsung. Iso center pada pertengahan coil

torso abdomen setelah itu pasien diberi selimut agar tidak

kedinginan dan memberikan instruksi agar tidak melakukan

gerakan selama pemeriksaan berlangsung.

Setelah memposiskan pasien, selanjutnya yaitu registrasi

pasien, kemudian membuat survey dengan scout 3 plane yaitu

potongan coronal, axial, dan sagital. Citra scout dibuat dari batas atas

diafragma dan batas bawah kedua SIAS. Pemeriksaan MRCP di

Departemen Radiologi MRCCC Siloam Hospital menggunakan

protocol Survey (Localizer 3 plan), T2W TSE Axial, T2W SPAIR Axial,

Ax Dual FFE Nav, DWI_3b, T2W SPAIR Cor, T2W Spair Sagital, BTFE,

sMRCP 3D HR, dan SSh MRCP. Setelah hasil scanning selesai

gambaran dikirim melalui PACS.

Setelah pemeriksaan selesai, pasien dikeluarkan dari ruang

MRI dan dipersilahkan untuk mengganti bajunya kembali dan

diperbolehkan untuk pulang.

54
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Prosedur pemeriksaan magnetic resonance cholangio

pancreatography (MRCP) pada kasus Batu Empedu di Departemen

Radiologi MRCCC Siloam Hospital. Persiapan pasien yaitu melakukan

puasa selama 4 jam sebelum dilakukan pemeriksaan. Selanjutnya

pasien datang di hari pemeriksaan dan di anamnesa mengenai

keadaan pasien apakah pasien memilik riwayat operasi, apakah telah

terpasang benda-benda yang mengandung logam berupa stent atau

peace maker. Kemudian pasien dijelaskan mengenai prosedur yang

akan dilakukan dan diberikan instruksi berupa tarik nafas dan tahan

nafas dengan mengikuti abah-abah dari petugas selama pemeriksaan

berlangsung. Persiapan alat dan bahan yaitu MRI Philips 3 tesla,

respiratory gatting, torso coil abdomen, headphone, fixing belt,

emergency bell, selimut, dan monitor CCTV. Posisi pasien yaitu supine

di atas meja pemeriksaan dengan posisi foot first kedua lengan

diletakkan diatas kepala agar tidak mengganggu obyek yang

diperiksa, pasang respiratory gatting, coil torso abdomen rekatkan

fixing belt, headphone dan beri emergency bell. Setelah memposiskan

pasien, selanjutnya yaitu registrasi pasien, kemudian membuat

survey dengan scout 3 plane yaitu potongan coronal, axial, dan sagital.

Sequen yang digunakan yaitu protocol Survey (Localizer 3 plan), T2W

55
TSE Axial, T2W SPAIR Axial, Ax Dual FFE Nav, DWI_3b, T2W SPAIR

Cor, T2W Spair Sagital, BTFE, sMRCP 3D HR, dan SSh MRCP. Setelah

hasil scanning selesai gambaran dikirim melalui PACS.

2. Hasil diagnosa radiologi kesan, Multiple cholecystolithiasis tanpa

gambaran cholecystitis / cholestasis dan tidak tampak ascites, ileus,

maupun pembesaran signifikan KGB

B. Saran

Pemeriksaan MRCP sebaiknya dilakukan persiapan yang optimal

sebelum pemeriksaan dimulai diet makanan berlemak, diharapkan gaster

dan duodenum lebih bersih dari makanan dan cairan sehingga

mendapatkan hasil gambaran yang lebik baik.

56
DAFTAR PUSTAKA

1. D, N. K. L., & Abhinay, A. C. (2021). Role of Magnetic Resonance


Cholangiopancreatography ( MRCP ) as a diagnostic aid in various
Pancreaticobiliary tract pathologies. 4(5), 268–271.
2. Eason, J. B., Taylor, A. J., & Yu, J. (2013). MRI in the workup of biliary tract
filling defects. Journal of Magnetic Resonance Imaging, 37(5), 1020–1034.
3. Elmaoglu, M., & Celik, A. (2013). MRI Handbook MR Physisc, Patient
Positioning, and Protocol (1st ed., Vol. 53, Issue 9). Springer New York
Dordrecht Heidelberg London.
4. Griffin, N., Charles-Edwards, G., & Grant, L. A. (2012). Magnetic resonance
cholangiopancreatography: The ABC of MRCP. Insights into Imaging, 3(1),
11–21.
5. Joshi, A., Rajpal, K., Kakadiya, K., & Bansal, A. (2014). Role of CT and MRCP
in Evaluation of Biliary Tract Obstruction. Current Radiology Reports,
2(11).
6. Mandelia, A., Kumar Gupta, A., Kumar Verma, D., & Sharma, S. (2013). The
value of Magnetic Resonance Cholangio-Pancreatography (MRCP) in the
detection of choledocholithiasis. Journal of Clinical and Diagnostic
Research, 7(9), 1941–1945.
7. Netter, F. H., Reynolds, J. C., & Distinguished, J. F. K. (2017). The Netter
Collection Digestive System Part III — Liver, Biliary Tract, and Pancreas
(M. James C. Reynolds (ed.); 2st ed.). Department of Medicine Drexel
University College of Medicine Philadelphia, Pennsylvania.
8. Notosiswoyo dan Suswati. (2004). Notosiswoyo.Pdf: Vol. XIV.
9. Polistina, F. A. (2015). Accuracy of magnetic resonance cholangiography
compared to operative endoscopy in detecting biliary stones, a single
center experience and review of literature. World Journal of Radiology,
7(4), 70.

10. Sun, B., Chen, Z., Duan, Q., Xue, Y., Zheng, E., He, Y., Lin, L., Li, G., & Zhang,

57
11. Z. (2020). Rapid 3D navigator-triggered MR cholangiopancreatography
with SPACE sequence at 3T: only one-third acquisition time of
conventional 3D
12. SPACE navigator-triggered MRCP. In Abdominal Radiology (Vol. 45, Issue
1, pp. 134–140).
13. Virzì, V., Ognibene, N. M. G., Sciortino, A. S., Culmone, G., & Virzì, G. (2018).
Routine MRCP in the management of patients with gallbladder stones
awaiting cholecystectomy: a single-centre experience. Insights into
Imaging, 9(5), 653–659.
14. Westbrook, C. (2014). Handbook of MRI Technique (4st ed., Vol. 58, Issue
12). 9600 Garsington Road, Oxford, OX4 2DQ, UK The Atrium, Southern
Gate, Chichester, West Sussex, PO19 8SQ.
15. Westbrook, C., Roth, C. kaut, & Talbot, J. (2011). MRI in Practice Fourth
Edition. In Journal of Chemical Information and Modeling (4st ed., Vol. 53,
Issue 9). 9600 Garsington Road, Oxford, OX4 2DQ, UK The Atrium,
Southern Gate, Chichester, West Sussex, PO19 8SQ, UK 350 Main Street,
Malden, MA 02148-5020, USA For.
16. Westbrook, C., & Talbot, J. (2019). Handbokk of MRI. In Journal of Materials
Processing Technology (5st ed., Vol. 1, Issue 1). Wiley Blackwell 9600
Garsington Road, Oxford, OX4 2DQ, UK.
17. You, M.-W., Jung, Y. Y., & Shin, J.-Y. (2018). Role of Magnetic Resonance
Cholangiopancreatography in Evaluation of Choledocholithiasis in
Patients with Suspected Cholecystitis. Journal of the Korean Society of
Radiology, 78(3), 147.

58

Anda mungkin juga menyukai