Anda di halaman 1dari 8

TUGAS SEJARAH INDONESIA

BIOGRAFI PAHLAWAN NASIONAL

Disusun Oleh :
Fhyantika Zahwa Ayu Munandar (14)

XI MIPA 2
SMA NEGERI 1 SIDAREJA
Dr. Johannes Leimena (6 Maret 1905-29 Maret 1977)

Johannes Leimena adalah seorang dokter, politis, dan Pahlawan Nasional Indonesia. Ia
tercatat sebagal menteri yang menjabat paling lama selama pemerintahan presiden
Soekamo, dengan total masa jabatan hampir 20 tahun. Leimena duduk dalam 18 kabinet
yang berbeda, dimulai dari Kabinel Sjalviril sampai Kabinet Dwikora (1966), baik
sebagal Menteri Kesehatan, Wakil Perdana Mentert, Menko Distribusi, Wakil Menteri
Pertama maupun Menteri Sosial. Di luar itu, la juga menjabat sebagai anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dan Konsthante, dan mengetual Partal Kristen Indonesia (Parkindo)
antara 1950 hingga 1961.

1. Masa Muda
Leimena dilahirkan di kota Ambon, Maluku pada tanggal 6 Maret 1905. Ayahnya,
Dominggus Leimena, merupakan guru yang diperbantukan ke sekolah dasar di
Ambon, dan ibunya Elizabeth Sullatu juga merupakan seorang guru. Selama kanak-
kanak, Leimena biasa tinggal di kota Ambon itu sendiri atau di kampung-kampung
asal orangtuanya di Ema atau Lateri. Dominggus Leimena merupakan keturunan dari
raja Ema, dan keluarga Leimena merupakan pemeluk agama Kristen.Dominggus
meninggal saat Leimena berusia lima tahun dan Elizabeth menikah lagi, sehingga
Leimena pindah ke rumah paman dan bibinya sementara ketiga saudaranya tinggal
bersama ayah tiri. Selama di Ambon, Leimena bersekolah di Ambonsche
Burgerschool yang berbahasa Belanda.
Pada tahun 1914, Leimena pindah ke Cimahi, Jawa Barat, karena pamannya
diangkat menjadi kepala sekolah di sana. Setelah sembilan bulan, pamannya
dipindahkan lagi ke Batavia, sehingga Leimena turut kesana. Di Batavia, Leimena
sempat belajar di Europeesche Lagere School (ELS, setara sekolah dasar), tetapi
kemudian pindah ke Paul Krugerschool. Leimena melanjutkan studinya ke salah satu
Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO, setara SMP) yang dikhususkan untuk
murid Kristen. Selulusnya dari MULO, Leimena berniat untuk lanjut ke
Hogereburgerschool (HBS, setara SMA) atau sekolah teknik Koningin Wilhelmina
School (KWS), tetapi bibinya melarang masuk HBS dan la gagal seleksi KWS. la
juga ditolak saat melamar kerja ke kantor pos dan kantor kereta api, sampai akhirnya
ia diterima di sekolah kedokteran STOVIA.
Selama studinya di STOVIA, Leimena aktif dalam organisasi pemuda seperti Jong
Ambon dan Christen Studenten Vereniging (Perkumpulan Pelajar Kristen). la
menjadi tokoh yang berpengaruh dalam organisasi Jong Ambon, pada masa ketika
banyak organisasi Ambon yang terbelah antara mendukung gerakan kebangkitan
nasional Indonesia atau mendukung pemerintah Hindia Belanda (di bawah Leimena,
Jong Ambon awalnya mengambil sikap netral). Karena pergaulannya dengan tokoh-
tokoh Sumatra seperti Amir Sjarifuddin dan Mohammad Yamin, Leimena bergabung
dengan Perhimpunan Teosofi. Pergeseran pandangan Leimena ke arah mendukung
kemerdekaan Indonesia berlangsung selama pertengahan 1920-an, didorong oleh
dibentuknya Partai Nasional Indonesia oleh Soekarno dan berkembangnya
Perhimpoenan Indonesia di Belanda. Leimena menjadi salah seorang anggota panitia
dalam Kongres Pemuda Pertama tahun 1926, dan juga Kongres Pemuda Kedua
tahun 1928. Gerakan olkumene yang pada masa itu baru mulai masuk Indonesia juga
menarik perhatian Leimena.la lulus dari STOVIA tahun 1930.

2. Karier

a. Masa Hindia Belanda


Setelah lulus dari STOVIA, Leimena mulai bekerja di Centraal Burgerlijke
Ziekenhuis (sekarang RS Cipto Mangunkusumo), la sempat ditugaskan ke
Keresidenan Kedu seusai meletusnya Gunung Merapi pada tahun 1930, sebelum
pindah ke RS Zending Imanuel di Bandung. Di Bandung la diberikan tanggung
jawab untuk melatih perawat-perawat baru sejak tahun 1936, dan la bekerja
sama dengan sejumlah bidan dan klinik yang beroperasi di sekitar rumah sakit.
Karena banyak rakyat Muslim setempat yang ragu untuk berobat ke rumah sakit
misionaris Kristen, Leimena memulai sistem pengumpan dengan poliklinik-
poliklinik di desa-desa yang dijalankan oleh mantri-mantri setempat untuk
menyediakan pelayanan kesehatan, khususnya fungsi pencegahan penyakit.
Selagi menjadi dokter, la juga melanjutkan studinya dan pada tahun 1939 la
lulus dari Geneeskundige Hoogeschool te Batavia sebagai seorang dokter
spesialis penyakit hati. Pada tahun 1941, la ditunjuk menjadi kepala RS Banyu
Asin di Purwakarta. Seusal invasi Jepang, RS Banyu Asin sempat diduduki
pasukan Jepang untuk sementara sebelum Leimena diperbolehkan kembali
bekerja. Leimena ditahan oleh tentara pendudukan Jepang pada tahun 1943,
kemungkinan karena perkawanannya dengan Amir Sjarifuddin atau karena ia
merawat tentara Belanda yang terluka dalam Pertempuran Kalijati. Selama
enam bulan di dalam tahanan, Leimena dipukuli oleh tentara Jepang. la
dilepaskan setelah merawat perwira Kenpeltal yang terjangkit malaria sampal
sembuh, tetapi tempat kerjanya dipindahkan dari Purwakarta ke Tangerang.

b. Revolusi dan RMS


Pada saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Leimana sedang bertugas di
Tangerang. Seusal tewasnya 30 orang kadet TKR dalam peristiwa Lengkong,
Leimena merawat sejumlah korban luka dan selama menjalankan tugas ini
Leimena bertemu Soekamo yang menjenguk korban. 23 Dua bulan setelah
peristiwa ini ia diundang untuk menjadi Menteri Muda Kesehatan dalam
Kabinet Sjahrir II. Awalnya la menolak karena tugasnya sebagal dokter, tetapi
kawannya Amir Sjarifuddin mendorongnya untuk menerima tawaran tersebut.
Leimena ditunjuk sebagal Menteri Kesehatan dalam Kabinet Amir Sjarifuddin
yang dibentuk tanggal 3 Jull 1947, dan terus menjabat sebagal Menkes sampai
jatuhnya Kabinet Wilopo pada tahun 1953. Selama periode revolusi, Leimena
juga berperan dalam pendirian Parkindo tahun 1947 dan menjadi anggota
pimpinan partal. Belakangan Leimena ditunjuk menjadi Ketua Umum Parkindo
sesuai Kongres III Parkindo April 1950.
Di luar jabatannya sebagai menteri Leimena juga menjabat Ketua Umum
organisasi Pemuda Indonesia Maluku (PIM), sebuah organisasi yang didirikan
oleh Johannes Latuharhary yang beranggotakan pemuda Ambon yang
mendukung kemerdekaan Indonesia. Meskipun kedua tokoh tersebut dihormati
oleh anggota-anggota PIM, pengaruh mereka atas kegiatan PIM sehari-hari
terbatas karena kurangnya koordinasi PIM (yang bergerak di Indonesia Timur)
dengan tokoh-tokoh di pulau Jawa Selama menjabat menteri, Leimena awalnya
tinggal di Jakarta, tetapi pada tahun 1946 la pindah ke Yogyakarta karena
tentara Belanda yang kelamaan semakin banyak di Jakarta Leimena dikirim
sebagai anggota tim perundingan dalam berbagai perjanjian Perundingan
Linggarjati tahun 1946, Perjanjian Renville dan Perjanjian Roem-Roijen tahun
1948, dan Konferensi Meja Bundar tahun 1949 (sebagal anggota delegasi
militer) Leimena merupakan salah seorang menteri RI yang tidak tertangkap
selama Agresi Militer Belanda II, dan pada bulan Januari 1949 la turut
berunding dengan perwakilan negara-negara bagian Republik Indonesia Serikat
di Jakarta.
Setelah kedaulatan diserahkan ke Indonesia, Republik Maluku Selatan
dideklarasikan di Ambon, sehingga Leimena diutus sebagai kepala juru runding
pemerintah ("misi Leimena") beserta kapal perang KRI Hang Tuah.
Sebelumnya, Leimena berencana terbang ke Ambon, tetapi keputusannya
dianulir Menteri Pertahanan. Para pemimpin RMS tidak bersedia menerima
undangan Leimena untuk berunding di atas kapal Hang Tuah dan meminta agar
perundingan dilangsungkan di atas kapal berbendera netral dibawah
pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Mereka juga meminta agar dalam
perundingan RMS diberlakukan sebagai suatu negara merdeka, dan permintaan
ini tidak dapat diterima tim perundingan Indonesia). Setelah beberapa kali
gagal, Leimena kembali dikirim pada Juni 1950 untuk mencoba lagi, tetapi kali
ini gagal karena tidak adanya jalur transportasi ke Maluku. Pada tanggal 27
September, Leimena diutus kembali ke Namlea, Buru dengan wewenang
memberikan amnesti ke pemimpin RMS dan untuk merundingkan otonomi
khusus, tetapi sehari kemudian TNI mendarat di Ambon sebelum perundingan
dapat bermulai.

c. Sebagai Menkes
Ketika perang kemerdekaan sudah usai, kondisi pelayanan kesehatan
masyarakat di Indonesia berada di bawah harapan para pemimpin Republik,
karena pemerintah kolonial yang kurang peduli, malnutrisi dan pengambilalihan
rumah sakit selama pendudukan militer Jepang. Ditambah lagi oleh keributan
selama masa perang kemerdekaan. Sebagal Menteri Kesehatan, Leimena
memandang kesehatan masyarakat sebagai komponen penting untuk
pembangunan Indonesia dan untuk memajukan sosioekonomi masyarakat,
karena itu la berfokus untuk mengembangkan sistem profilaksis (pencegahan)
dan kebersihan di wilayah-wilayah pedesaan. Kebijakan ini bertolakbelakang
dengan kebijakan zaman kolonial, yang memfokuskan pelayanan kesehatan
diwilayah perkotaan.
Pada tahun 1950, pemerintah daerah Bandung merintis proyek kesehatan yang
berdasarkan jaringan rumah sakit misionaris seperti tempat Leimena sempat
bekerja, dengan sejumlah klinik di pedesaan yang mendukung jalannya
pelayanan dari rumah sakit pusat di kota. Sistern ini dijalankan dengan
sistemnya sendiri dan diarahkan oleh dokter kepala di tingkatan kabupaten.
Sistem ini, yang dikenal dengan istilah "Bandung Plan" (alias "Leimena Plan"),
didukung oleh Leimena dan berdasarkan hasil kerjanya di RS Zending Imanuel.
Bandung Plan ini awalnya direncanakan akan diimplementasikan di seluruh
Indonesia pada tahun 1954, tetapi rencana ini batal karena masalah administratif
dan ketersediaan anggaran. Di luar kedua masalah tersebut, ketersediaan dokter
menjadi faktor lainnya. Banyak dokter warga Indonesia yang menjadi perwira
militer atau politikus sedangkan dokter keturunan Eropa banyak yang
meninggalkan Indonesia setelah perang kemerdekaan. Walaupun terhalang oleh
rintangan- rintangan tersebut, Bandung Plan menjadi landasan dari sistem
Puskesmas yang mulai diluncurkan pada akhir tahun 1960-an.
Selain itu, masalah angka kematian ibu dan anak yang cukup tinggi juga
menjadi perhatian Leimena. Pada tahun 1951, statistik di rumah sakit besar
menunjukkan angka kematian ibu melahirkan mencapal 12-16%, yang artinya
ada 12-16 kematian per 1000 ibu melahirkan, Angka kematian bayi mencapai
115- 300%, yang artinya ada 115-300 kematian per 1000 bayi yang dilahirkan.
Angka mortalitas Ibu dan bayl selain di rumah sakit besar diperkirakan lebih
tinggi lagi. Sebagai menteri kesehatan, Leimena menginisiasi pendirian Balai
Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA) pada 1951.
Di bawah kepemimpinan Leimena, sejumlah UU yang berkaitan dengan
kesehatan masyarakat disetuju Dewan Perwakilan Rakyat, termasuk UU yang
mencakup aturan yang mewajibkan dokter bekerja sebagai dokter pemerintah
minimal tiga tahun sebelum menjadi dokter swasta, memperbolehkan
pemerintah melarang klinik-klinik swasta, dan memungkinkan pemerintah
untuk mengambil alih jasa medis swasta dalam keadaan genting. Pada tahun
1952, Leimena juga merumuskan peraturan yang membatasi perizinan
membuka praktek kesehatan hanya kepada dokter yang memenuhi kualifikasi
dan bukan kepada praktisi medis lain seperti perawat atau bidan. Dalam hal gizi,
Leimena membentuk Lembaga Makanan Rakyat yang berfungsi mendidik
masyarakat mengenal nutrisi.
Pada tahun 1953, Leimena melakukan kunjungan kerja ke Eropa dengan
pendanaan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). DI Eropa, la mengamati sistem
kesehatan publik di Norwegia, Britania Raya (National Health Service), dan
Yugoslavia. Dalam perjalanan pulang, la juga berkunjung ke Mesir, India, dan
Singapura untuk berpartisipasi dalam kullah dan diskusi publik selain juga
mempelajari sistem kesehatan di sana. Leimena terkesan khususnya oleh sistem
kesehatan di Norwegia yang mengaitkan pentingnya asupan gizi dan kondisi
kerja dalam kesehatan publik. Dalam hal urusan luar negeri, Leimena khawatir
akan kemungkinan bantuan kesehatan yang digunakan negara maju untuk
mempengaruhi kebijakan luar negeri dan politik internal Indonesia, sehingga la
menyerukan agar bantuan kesehatan diberikan tanpa syarat Periode pertamanya
sebagal Menkes berakhir tanggal 30 Jull 1953. Leimena kemudian kembali
menjabat sebagal Menkes dalam Kabinet Burhanuddin Harahap pada 12
Agustus 1955.
Dalam bulan-bulan terakhir Kabinet Burhanuddin Harahap, Leimena diutus ke
Jenewa untuk merundingkan masalah Irlan Barat dengan Belanda. Meskipun
delegasinya berhasil mendapatkan persetujuan delegasi Belanda terhadap
penghapusan Uni Belanda-Indonesia dan sejumlah konsesi ekonomisi lainnya,
pergolakan politik di Indonesia mengakibatkan delegasi tersebut dipanggil
kembali. Leimena tinggal di Jenewa selama beberapa waktu dan merasa frustasi,
sampal la sempat mempertimbangkan untuk mundur dari Jabatannya karena
merasa "seperti nelayan yang sudah menangkap ikan, disuruh dilempar
kembali". Setelah jatuhnya Kabinet Burhanuddin Harahap, All Sastroamidjojo
dengan sengaja tidak mengundang menteri-menteri dalam kabinet tersebut
untuk kembali menjadi menteri, sehingga Leimena tidak lagi menjabat sebagal
menteri kesehatan. Sekitar waktu itu, Leimena sudah terpilih menjadi anggota
Dewan Perwakilan Rakyat dari dapil Maluku dan fraksi Parkindo seusal Pemilu
1955. Setelah DPR hasil pemilihan umum tersebut dibubarkan pada tahun 1959,
Leimena ditunjuk kembali sebagal anggota DPR transisional oleh Soekarno.
Namun, ia tidak hadir dalam pengambilan sumpah jabatan DPR pada tanggal 23
Jull 1959 dan la pun mengundurkan diri dari DPR,beberapa minggu kemudian
Leimena juga terpilih sebagal anggota Konstituante dari dapil Maluku, dan
menjadi wakil ketua lembaga tersebut, namun mengundurkan diri setahun
kemudian karena ditunjuk sebagai menteri.
Di luar jabatan menterinya, Leimena turut serta dalam organisasi Dewan Gereja
Indonesia (sekarang menjadi Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, PGI) dan
terpilih sebagai wakil ketuanya pada tahun 1950. Jabatan ini dipegang Leimena
sampai tahun 1964 dan sejak tahun itu hingga la wafat, la memegang jabatan
ketua kehormatan. Pada tahun 1950 Juga, Leimena mendirikan Gerakan
Mahasiswa Kristen Indonesia.

d. Demokrasi Terpimpin
Setelah Kabinet All Sastroamidjojo II jatuh, Leimena menyatakan bahwa
kabinet-kabinet kedepannya harus bersifat lebih inklusif dan mencakup partai-
partal yang sebelumnya tidak masuk dalam pemerintahan. Leimena sendiri
diikutsertakan dalam Kabinet Djuanda, awalnya sebagal Menteri Sosial ketika
kabinet tersebut diumumkan tanggal 9 April 1957, tetapi la ditunjuk sebagal
Wakil Perdana Menteri (Waperdam) tahun itu juga. Sejak bulan Mei 1957,
Leimena menjadi anggota Dewan Nasional dan masih di tahun itu la ditunjuk
sebagal anggota Panitia 7 orang yang bertugas untuk menangani permasalahan
dalam TNI Angkatan Darat beserta Presiden dan Wapres Soekarno dan
Mohammad Hatta, Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja, Kasad TNI AD
Abdul Haris Nasution, Sultan Hamengkubuwono IX, dan Menkes Abdul Azis
Saleh. Leimena dianggap seorang loyalls Soekamo yang masih mendukung
Soekamo seusal Dekret Presiden 5 Juli 1959. Dikarenakan kesibukan Lelmena
dalam pemerintahan, jabatan ketua umum Parkindo didelegasikan ke Albert
Mangaratua Tambunan.
Seusai Dekret 1959, Leimena ditunjuk menjadi Menteri Distribusi, lalu kembali
menjadi Waperdam, Dalam kapasitasnya sebagai Menteri Distribusi, Leimena
memandang pentingnya memperbaiki asupan gizi untuk meningkatkan
produktivitas pekerja, sehingga la bertekad untuk mencapai swasembada beras.
Untuk mencapai target ini, la mendorong memajukan pertanian intensif di pulau
Jawa, dan memperluas lahan pertanian di luar Jawa. Meskipun rencana Leimena
dianggap ambisius, implementasinya menghadapi masalah karena perlunya
koordinasi dengan kementerian-kementerian lainnya.Selama Operasi Trikora,
Leimena menjadi anggota Komando Operasi Tertinggi. Dalam kapasitas ini, la
diberikan pangkat tituler sebagai Laksamana Madya pada tahun 1962 dan
Laksamana (bintang empat) pada tahun 1964. Djuanda mendadak wafat pada
bulan November 1963, sehingga presiden Soekarno membentuk presidium
beranggotakan tiga orang yang terdiri dari Lelmena, Subandrio dan Chaerul
Saleh untuk memimpin kabinet. Selama masa demokrasi terpimpin Ini, Leimena
yang dikenal berpihak ke Soekarno dinilai berbakat dalam menangani kalangan
politikus dan elite lainnya, meskipun la tidak begitu sukses dalam menggalang
dukungan masyarakat umum. la sempat tujuh kali menjabat sebagai penjabat
Presiden selama masa ini.

e. G30S dan Supersemar


Pada 1965, pecah peristiwa G30S yang menyebabkan enam jenderal TNI AD
dan satu perwira gugur. Pada 1 Oktober, Leimena dipanggil oleh Presiden
Soekarno ke Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Sebelum berangkat,
Leimena bertemu dengan Soeharto, yang memintanya untuk menyuruh Presiden
Soekarno meninggalkan Halim sebelum pukul 16.30. Hal itu dikarenakan,
Soeharto yang mengambil alih pimpinan TNI AD akan menyerbu Pangkalan
Halim yang diduga sebagai sarang kelompok G30S. Begitu sampai di Halim,
Leimena terus berada di dekat Presiden Soekarno dan memintanya untuk
kembali ke istana. Namun, Omar Dhani, Kepala TNI AU, meminta Presiden
Soekarno untuk pergi ke Madiun, Jawa Timur, atau Bali. Akan tetapi, Leimena
berhasil menahan Presiden Soekarno dan membuatnya kembali ke Istana Bogor.

f. Orde Baru
Awalnya Soeharto berniat untuk menjadikan Leimena menteri juga dalam
pemerintahannya, tetapi Leimena sendiri menolak secara tidak langsung melalu
Hamengkubuwono IX.190) Maka itu, Leimena ditunjuk sebagal caretaker
(pejabat sementara) Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) antara
1966 dan 1968. Seusal masa jabatannya habis, ia tetap menjadi anggota DPA
sampai tahun 1973. Dalam ranah ini la meluruskan isu-isu Internal DPA
khususnya dalam perihal perpajakan, pendidikan, dan suksesi presiden. la juga
ditunjuk sebagai direktur di Rumah Sakit Cikini pada tahun 1968.191) Selama
masa Orde Baru, Leimena menjadi salah satu dari segelintir politisi yang tidak
menjauhkan diri dari Soekarno. Dalam pemilihan umum 1971, Leimena terpilih
menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, tetapi la tidak dilantik. Seusai fusi
antara Parkindo dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada tahun 1973,
Leimena ditunjuk sebagai wakil ketua dewan pertimbangan pusat PDI.

3. Pandangan Politik
Sebelum Indonesia merdeka, Leimena beberapa kali berbicara mengenaI perbedaan
antara gerakan Kristiani di skala internasional dan gerakan kemerdekaan Indonesia
di skala nasionaL. Dalam pidato-pidato yang disampaikan dalam pertemuan DGI,
Leimena mendorong pandangannya bahwa ada kesamaan kepentingan antara pihak
gereja dan pihak negara.
Leimena merupakan seorang tokoh yang secara vokal menolak Darul Islam,
separatisme, dan komunisme sehingga la dinilal sehaluan dengan posisi politik
Soekarno yang mendorong negara berdasarkan Pancasila serta dengan sejumlah
tokoh Islam yang cenderung sosialis seperti Mohammad Natsir dan Syafruddin
Prawiranegara. Menurut Soekarno, Leimena "berjiwa dominee, tetapi la tak pernah
berhenti melawan imperialisme-kolonialisme". Soekarno sendiri sering menyebut
Leimena dengan julukan "mijn dominee" (pendetaku).

4. Kehidupan Pribadi
Selama bersekolah di STOVIA, Leimena aktif bermain sepakbola dan sering kall
ikut dalam tim sepakbola STOVIA dan sejumlah klub lokal pada masanya. la
bertemu dengan istrinya Wijarsih Prawiradilaga selama bertugas sebagai dokter di
Bandung. Pasangan ini memiliki delapan anak yaitu empat anak laki-laki dan empat
anak perempuan. Salah seorang putrinya, Melani Leimena Suharli, menjadi Wakil
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat periode 2009-2014.
Leimena dikenang keluarganya sebagai sosok sederhana, khususnya dalam hal
pakaian. Ia terbiasa memakai kemeja putih dengan gaya yang sama tiap kali.
Menurut Soekamo dalam autobiografinya, Leimena tidak memiliki pakaian formal
selama jalannya revolusi, sehingga saat ia dikirim dalam kapasitas diplomasi la harus
meminjam jas dan dasi dari koleganya.

5. Wafat
Leimena meninggal di Jakarta pada tanggal 29 Maret 1977, sekitar pukul 7.30 pagi.
la sempat mengeluh sakit seusai pulang dari Eropa sebelumnya dan saat kembali ke
Indonesia, la menggunakan kursi roda. Seusai acara pemakamannya, Leimena
dikuburkan secara militer di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
6. Peninggalan
Menurut Soekamo dan Mohammad Roem, Leimena merupakan seorang politisi yang
jujur dan diplomat yang berbakat. Menurut Sutan Sjahni, hubungan antara Leimena
dan Soekarno berjalan dengan Leimena menyampaikan pikirannya "secara tulus
kepada Bung Karno, tetapi dia tak akan pernah melepaskan Bung Karno sendirian. ta
dianggap sebagai tokoh senior oleh sejawatnya, sehingga la tidak dijuluki "Bung"
sebagaimana biasa, tetapi lebih umum dijuluki "Om Jo" .
7. Catatan Kaki
Leimena tidak menjabat sebagai Menteri Kesehatan dalam Kabinet Pemerintah
Darurat Republik Indonesia antara 19 Desember 1948 sampai 13 Jul 1949. Dalam
kabinet tersebut, Sukiman Wirjosandjojo menjabat sebagai Menkos. Meskipun
begitu, Leimena masih menjabat dalam Kabinet Hatta I yang tidak dianggap bubar.

Anda mungkin juga menyukai