Anda di halaman 1dari 15

e-ISSN 2715-0798

https://ejournal.sttgalileaindonesia.ac.id/index.php/ginosko Volume 1, No 2, Mei 2020 (69-83)

Implikasi Pengajaran Hukum Kasih dalam Matius 22:34-40


bagi Pembentukan Karakter

Petrus Suryadi
Sekolah Tinggi Teologi Galilea, Yogyakarta
petrussuryadi@yahoo.com

Abstraksi: Teaching the law of love based on Mat 22: 34-40 is an activity of learning the law of love
to members of the congregation in the church with the aim of inculcating spiritual values and
encouraging students / congregations to live in love. The teaching of the law of love aims to make
Christians experience moral change, not just to gain knowledge but to apply it. So the application of
the law of love based on Matt 22: 34-40 is very important to the GKAI 'Macedonia' Kadirojo Church,
Yogyakarta, so that the church can grow in faith and have character according to God's will. Has the
Kadirojo GKAI Church of Macedonia implemented the law of love? Is there a relationship between
the teaching of the law of love and the formation of the character of the church?
Keywords: formation of character; GKAI; law of love; Matthew 22

Abstrak: Pengajaran hukum kasih berdasarkan Mat 22:34-40 adalah kegiatan pembelajaran hukum
kasih kepada warga jemaat di gereja dengan tujuan untuk menamkan nilai-nilai rohani dan
mendorong peserta didik/jemaat supaya dapat hidup dalam kasih. Pengajaran hukum kasih bertujuan
supaya orang Kristen mengalami perubahan moral, bukan sekedar memperoleh pengetahuan tetapi
bisa menerapkannya. Jadi penerapan hukum kasih berdasarkan Mat 22:34-40 sangat penting bagi
Jemaat GKAI ’Makedonia’ Kadirojo, Yogyakarta, supaya jemaat dapat bertumbuh dalam iman dan
mempunyai karakter yang seturut dengan kehendak Allah. Apakah Jemaat GKAI “Makedonia”
Kadirojo telah menerapkan hukum kasih? apakah ada hubungan antara Pengajaran hukum kasih
dengan pembentukkan karakter jemaat?
Kata kunci: GKAI; hukum kasih; pembentukkan karakter; Matius 22

PENDAHULUAN
Kasih merupakan unsur terpenting dalam hidup manusia. Orang yang belum mengenal
kasih Allah secara benar telah belajar mengenal kasih bahkan menerapkan dalam kehidupan
pribadi menurut caranya sendiri. Baik itu kasih persaudaraan dalam keluarga, kasih
persahabatan, kasih atau cinta terhadap calon pasangan yang berbeda jenis kelamin. Kasih
pada umumnya menjadi sesuatu hal yang bisa mewarnai hidup manusia, karena melalui
“kasih” manusia dapat mengerti arti kehidupan ini. Media masa sebagai alat komunikasi
dalam hidup manusia telah banyak memuat berita tentang pembunuhan, penipuan, peram-
pokan, pemerkosaan, dan berbagai macam tindakan kejahatan. Berita ini dapat dibaca, died-
ngar, dan disaksikan melalui media cetak dan elektonik. Berita ini banyak terjadi di kota-
kota besar, bahkan sampai di pelosok desa yang terisolasi. Demikian juga “para pelaku
kejahatan bukan hanya pada masyarakat perkotaan juga masyarakat desa.”1

1
Harian Kedaulatan Rakyat, edisi 6 Juni 2013.

Copyright© 2019, GINOSKO: Jurnal Teologi Praktika| 69


Implikasi Pengajaran Hukum Kasih dalam Matius 22:34-40…(Petrus Suryadi)

Tindak kriminalitas terjadi karena manusia tidak lagi mengedepankan “hidup dalam
kasih,” sebaliknya memupuk rasa dengki, iri hati, kemarahan, dan tidak mau mengampuni
terhadap sesama manusia. Sebaliknya peristiwa ini dimungkinkan terjadi karena kesalah-
pahaman atau ambisi manusia untuk menguasai sesama. Peristiwa-peristiwa ini terjadi di
masyarakat karena pelanggaran terhadap hukum yang ditetapkan oleh masyarakat atau
negara, juga rendahnya pemahaman terhadap hukum dan moralitas yang dimiliki oleh para
pelaku kejahatan. Rasul Paulus memberi nasihat kepada orang Kristen di Efesus supaya
meninggalkan segala macam bentuk kejahatan dan menghimbau supaya hidup ramah
seorang dengan yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni.
Salah satu penyebab terjadinya kejahatan dalam kehidupan orang Kristen karena
pelanggaran terhadap hukum yang dibuat dan ditetapkan oleh pemerintah. Orang Kristen
terjebak dalam tindakan kejahatan karena ambisi atau pengaruh dalam pergaulan bebas
sehingga menjadi pelaku kejahatan. Sebagai warga negara yang baik orang Kristen tidak
boleh melawan hukum dan pemerintah yang ditetapkan oleh Allah tetapi harus tunduk pada
hukum yang ditetapkan oleh pemerintah. Apakah Jemaat GKAI “Makedonia” Kadirojo telah
menerapkan hukum kasih? Faktor–faktor apa yang mempengaruhi dalam pembentukkan
karakter? apakah ada hubungan antara Pengajaran hukum kasih dengan pembentukkan
karak-ter jemaat? Alkitab dipenuhi pengajaran kasih, baik dalam Perjanjian Lama maupun
dalam Perjanjian Baru. Pengajaran kasih menjadi tema utama dalam Alkitab. Puncak kasih
Allah dinyatakan ketika Ia mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal supaya setiap orang yang
percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.
Hukum kasih dalam Matius 22:37-40 yang diajarkan oleh Tuhan Yesus sesungguhnya
adalah rangkuman Hukum Taurat dalam kitab Perjanjian Lama. Kesepuluh hukum yang
terdapat dalam kitab Keluaran 20:1-17 dan hukum kasih dalam Matius 22:37-40 tidak boleh
dipisahkan satu dengan yang lain dan sama sekali tidak ada yang bertentangan. Kesepuluh
hukum itu diringkas menjadi hukum kasih dalam Matius 22:37-40. Pernyataan ini diperkuat
oleh Bekker,
Bagaimanakah kesepuluh hukum itu dibagi? Dalam dua loh batu. Lihatlah Keluaran
31:18 dan 32:16. Kesepuluh hukum ituu dapat dibagi atas dua bagian. Hukum yang
pertama sampai hukum yang keempat termasuk bagian yang pertama dan hukum yang
kelima sampai hukum yang kesepuluh termasuk bagian yang kedua.2
Implikasi Hukum Taurat secara teologis dan etika “tetap berlaku” secara teologis di
antaranya menjadikan umat Allah mengenal dosa dan keadilan Allah, bagaimana umat Allah
bisa beribadah dalam penyembahan kepada Allah secara benar. Manusia bisa memahami
kasih Allah kepada umatnya dan mengajarkan bagaimana manusia saling mengasihi. Hukum
Taurat, adalah hukum kasih di Perjanjian Lama, mengajarkan kepada bangsa Israel bagai-
mana bangsa Israel harus mengasihi Allah. Kasih kepada Allah harus itu dinyatakan dengan
cara mematuhi segala perintah Allah, hidup seturut dengan peraturan-peraturan yang telah
ditetapkan Allah. Dengan kata lain bangsa Israel harus hidup sesuai dengan hukum yang
telah diberikan Allah kepada bangsa ini. Ringkasan hukum Taurat yang ditulis oleh Musa di
gu-nung Sinai ini terdapat dalam Ulangan 6:4-5.

2
D. Bakker Sr, Penghibur Sejati (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992), 40.

Copyright© 2019, GINOSKO: Jurnal Teologi Praktika| 70


GINOSKO: Jurnal Teologi Praktika; Vol 1, No 1 (November 2019)

Dalam Perjanjian Lama, khususnya dalam lima kitab Musa, mengajarkan hukum kasih
melalui sepuluh perintah Allah (Hukum Taurat), yang dikenal sebagai “suatu tugas
agamawi”. Allah sebagi objek kasih telah menunjukan kasih-Nya kepada manusia. Ada tiga
sifat kasih Allah dinyatakan. Pertama, kasih bersifat pribadi (Allah mengasihi) seseorang,
seperti kasih seorang Ibu kepada anak-anaknya (band: Yes 49:14-15). Kedua kasih bersifat
“selektif”, khu-susnya dalam kitab Ulangan yang mendasari hubungan perjanjian antara
Israel dengan Allah. Dasar sifat kasih yang kedua ini adalah “TUHAN (Yahweh),
mengambil prakarsa dengan cara memilih bangsa Israel karena Ia mengasihi (Ul. 4:37; 7:6).
Ketiga, kasih spontan dari Allah, tidak ditimbulkan oleh suatu nilai dari obyeknya, tetapi
menciptakan nilai dari kasih Allah itu. Hal ini berarti bahwa kasih yang datang dari Allah
bukan merupakan balasan atau imbalan karena sesuatu hal. Jika Allah mengasihi orang yang
dikasihi-Nya, tetapi tidak salah jika Ia membenci orang-orang yang tidak dikasihi-Nya
dengan syarat jika orang-orang itu tidak mengenal-Nya secara benar dan hidup dalam dosa
serta pelanggaran terhadap hukum yang telah ditetapkannya.

METODOLOGI
Penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan pengajaran hukum kasih dalam Marius
22:34-40 diterapkan dalam pembentukan karakter Jemaat GKAI Makedonia Kadirejo.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif teologis. Peneliti memaparkan bagaimana
pengajaran hukum kasih dengan mengkaji secara teologis maksud Matius 22:34-40.
Kemudian dengan bantuan penelitian pustaka meneliti definisi karakter dan bagaimana
pembentukan karakter itu terjadi, dan mengaitkannya dengan hukum kasih dalam Matius
22:34-40.

PEMBAHASAN
Pembentukkan Karakter
Penerapan hukum kasih dapat membentuk karakter pada jemaat sehingga jemaat dapat
berjiwa misi, yaitu jemaat mau menjangkau dunia ini bagi Kristus. Karakter misi dari jemaat
dapat diukur melalui sumber dana, daya, dan doa yang diprioritaskan bagi pelayanan keluar,
yaitu menjangkau jiwa-jiwa bagi Tuhan Yesus. Penginjilan adalah suatu tanggapan alami
kepada pertobatan, yang didasarkan atas perintah Yesus (Mat. 28:18-20).3 Membagikan
kabar baik adalah menjadi tanggung-jawab dari jemaat.4 Sebab menceritakan kepada orang
lain tentang Yesus menjadi suatu prioritas yang sangat tinggi.
Karakter adalah suatu sikap yang dimiliki seseorang yang menjadi suatu ciri khas
orang tersebut yang biasanya terbentuk dengan sendirinya atau dipengaruhi oleh lingkungan
di seki-tarnya. Karakter berasal dari bahasa Yunani “karasso” yang berarti “to mark” yaitu
mengukir, yang memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk
3
Abdon A Amtiran, “Memahami Missio Dei Sebagai Suatu Perjumpaan Misioner Dengan Budaya,”
MAGNUM OPUS: Jurnal Teologi dan Kepemimpinan Kristen 1, no. 1 (2019): 13–21. Band: Fransiskus Irwan
Widjaja, Misiologi Antara Teori, Fakta Dan Pengalaman, 1st ed. (Yogyakarta: Andi Offset, 2018).
4
Y M Imanuel Sukardi, “Gereja Ekstra Biblikal Dan Tanggung Jawab Dalam Menyelesaikan Amanat
Agung,” KHARISMATA: Jurnal Teologi Pantekosta 1, no. 2 (2019): 37–39, http://www.e-
journal.stajember.ac.id/index.php/kharismata/article/view/22. Band: Fransiskus Irwan Widjaja, Daniel Ginting,
and Sabar Manahan Hutagalung, “Teologi Misi Sebagai Teologi Amanat Agung,” THRONOS: Jurnal Teologi
Kristen 1, no. 1 (2019): 17–24.

Copyright© 2019, GINOSKO: Jurnal Teologi Praktika| 71


Implikasi Pengajaran Hukum Kasih dalam Matius 22:34-40…(Petrus Suryadi)

tindakan atau tingkah laku. Istilah karakter erat kaitannya dengan personality (kepribadian)
seseorang. Menurut Belferik Manullang, “karakter adalah sifat pribadi yang relatif stabil
pada diri individu yang menjadi lkitasan bagi penampilan perilaku dalam sekitar nilai dan
norma yang tinggi.”5 Dikatakan bahwa sifat pribadi yang relatif stabil oleh karena pada
dasarnya individu dapat mencerminkan karakternya dengan menunjukkan sikap dan
tanggapannya terhadap sesuatu. Oleh karenanya, sekalipun hal itu berhubungan dengan
bagaimana jemaat GKAI Makedonia menerapkan Hukum Kasih dalam hidup mereka sehari-
hari, maka karakter mereka dapat terlihat melalui sikap yang ditunjukkan dalam kehidupan
berjemaat.
Karakter adalah kualitas atau kekuatan mental, akhlak individu yang merupakan kepri-
badian khusus yang menjadi pendorong dan penggerak, serta yang membedakan dengan
individu lain. Elisabet Hurlock mengungkapkan: “Karakter adalah tata cara, kebiasaan, dan
adat dimana dalam perilaku dikendalikan oleh konsep-konsep moral yang memuat peraturan
yang telah menjadi kebiasaan bagi anggota dan yang menentukan dalam perilaku yang
diharapkan oleh seluruh anggota kelompok.”6 Pembentukan karakter merupakan proses
yang dilakukan seseorang dalam upaya menanamkan suatu nilai-nilai yang menimbulkan
suatu perilaku yang dikendalikan oleh konsep-konsep moral yang menjadi kebiasaan bagi
anggota dan menentukan dalam perilaku yang diharapkan.
Perkembangan dan perubahan karakter manusia memerlukan proses. Proses diartikan
sebagai runtutan perubahan yang terjadi dalam perkembangan sesuatu. Maksud perubahan
adalah tahapan-tahapan yang dialami jemaat sebagai akibat dari proses pemahaman tentang
pencurahan Roh Kudus. Manusia pada dasarnya tidak pernah statis atau mandek, tetapi
senantiasa berubah dan berkembang. Perkembangan atau perubahan dalam diri seseorang
termasuk karakternya. Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas
tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat,
bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat
keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang dibuat.
Mukhlas Samasi
Pendidikan karakter adalah upaya sadar dan sungguh-sungguh dari seorang pendidik
untuk mengajarkan nilai-nilai kepada siswanya. Pendidikan karakter membantu warga
binaan Kristen mengembangkan inti pokok dari nilai-nilai kinerja, seperti kepedulian,
kejujuran, kerajinan, keadilan, keuletan dan ketabahan, tanggung jawab, menghargai
diri sendiri serta orang lain.7

Karakter memerlukan proses yang relatif lama dan terus-menerus, sejak dini harus
ditanamkan pendidikan karakter.8 Pendidikan karakter tidak hanya diajarkan melalui pelaja-
ran secara formal, tetapi juga melalui kegiatan non formal. Karakter memuat dua segi yang

5
Belferik Manullang, Pendidikan Karakter Dalam Pembangunan Bangsa (Jakarta: Grasindo, 2011), 47.
6
Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan (Jakarta: Erlangga, 1993), 74.
7
Mukhlas Samasi & Harianto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter (Bandung:: BPK Penabur, 2011),
43
8
Vitaurus Hendra, “Peran Orang Tua Dalam Menerapkan Kasih Dan Disiplin Kepada Anak Usia 2-6
Tahun Sebagai Upaya Pembentukkan Karakter,” KURIOS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen) 3,
no. 1 (2015): 48–65, www.sttpb.ac.id/e-journal/index.php/kurios.

Copyright© 2019, GINOSKO: Jurnal Teologi Praktika| 72


GINOSKO: Jurnal Teologi Praktika; Vol 1, No 1 (November 2019)

berbeda, yaitu segi batiniah dan segi lahiriah. Orang yang baik adalah orang yang memiliki
sikap batin yang baik dan melakukan perbuatan-perbuatan yang baik. Karakter dapat diukur
secara tepat apabila kedua seginya diperhatikan. Milan Rianto karakter dikelompokkkan
dalam dua hal nilai, yaitu: “Karakter terhadap Tuhan dan karakter terhadap sesama.”9
Karakter Terhadap Tuhan
Karakter jemaat yang berhubungan dengan Tuhan sangat perlu dibentuk dengan
mengajarkan tentang Tuhan Allah yang menciptakan alam semesta yang sekarang dikenal di
dalam Yesus Kristus.10 Karakter terhadap Tuhan merupakan penggambaran tingkah laku
seseorang yang terikat dengan nilai baik secara eksplisit maupun implisit berhubungan
dengan batiniah dan lahiriah yang menggambarkan adanya hubungan pribadi orang tersebut
dengan Tuhan. Hal ini seperti yang ditunjukkan oleh para jemaat mula-mula, di mana
mereka hidup dalam pola karakteristik Kristen sejati.11 Hal inilah yang harus diajarkan
kepada gereja Tuhan sepanjang zaman.
Mengenal Tuhan
Mengenal Tuhan merupakan karakter yang harus ditanamkan kepada semua orang
yakni agar sejak dini anak-anak mengenal Tuhan.12 Manusia pada dasarnya adalah orang
berdosa, men-dorong semua orang untuk melakukan dosa dan bertindak seolah-olah tidak
mengenal Tuhan. Tozer menjelaskan: “apabila manusia tidak mengenal Tuhan, maka yang
dikerjakannya senantiasa bertentangan dan melawan Allah.”13 Inilah yang seharusnya
ditegaskan dalam pengajaran oleh gembala dan para pelayan yakni bagaimana mengenal
Tuhan dengan benar. Tindakan meletakkan pengharapan di dalam Allah, harus didahului
dengan pengenalan yang benar tentang siapa Allah. Calvin menjelaskan bahwa: “pengenalan
tentang Allah dengan benar membawa manusia untuk mempercayai Allah dengan sungguh-
sungguh, tunduk, menghambakan diri pada kekuasaan-Nya.”14 Sikap tunduk atau
menghambakan diri kepada Allah, bukanlah suatu sikap yang serta merta dimiliki seseorang
setelah orang mengenal Allah. Orang akan belajar mempercayakan diri kepada Allah yang
dikenalnya, dan melalui pembelajaran itu kemudian merasakan bagaimana Allah menjadi
pribadi yang dapat diper-caya. Hal inilah yang membawa seseorang sampai kepada sikap
tunduk dan menghambakan diri kepada Allah.
Pengenalan jemaat akan Kristus akan tergambar dari sikap dan karakter mereka. Hal
ini memiliki arti bahwa jika pengenalan akan Kristus menjiwai kehidupan jemaat, maka
iman jemaat dapat terlihat dari pelayanan dan pribadi jemaat. Bukan hanya itu saja, yang
lebih dalam adalah pengenalan mereka akan Allan, mendorong jemaat untuk meneladani

9
Milan Riyanto, Pendidikan Pada Usia Dini: Tuntunan Psikologis dan Pedagogis Bagi Pendidik dan
Orang Tua (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004), 27.
10
Noh Ibrahim Boiliu et al., “Mengajarkan Pendidikan Karakter Melalui Matius 5 : 6-12,” Kurios: Jurnal
Teologi dan Pendidikan Agama Kristen 6, no. 1 (2020): 6–12, http://www.sttpb.ac.id/e-
journal/index.php/kurios.
11
Harls Evan Siahaan, “Karakteristik Pentakostalisme Menurut Kisah Para Rasul,” DUNAMIS (Jurnal
Teologi dan Pendidikan Kristiani) 2, no. 1 (2017): 12–28.
12
Ezra Tari and Talizaro Tafonao, “Pendidikan Anak Dalam Keluarga Berdasarkan Kolose 3:21,” Kurios:
Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen 5, no. 1 (2019): 24–35.
13
A. W. Tozer, Mengenal Yang Maha Kudus, (Bandung: Kalam Hidup, 1989), 33.
14
Yohanes Calvin, Institutio, Pengajaran Agama Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 11.

Copyright© 2019, GINOSKO: Jurnal Teologi Praktika| 73


Implikasi Pengajaran Hukum Kasih dalam Matius 22:34-40…(Petrus Suryadi)

Allah dan sifat-sifatNya. Tapi terlebih dahulu jemaat menerima Yesus sebagai Tuhan dan
Juruselamat, maka jemaat dapat menjadi saksi dan berkenan kepada Allah.
Hubungan Akhlak Kepada Tuhan
Akhlak dapat dimengerti sebagai sesuatu yang terdapat dalam diri dan batin seseorang
yang ditunjukkan melalui sikap. Akhlak yang mulia tergambar dari bagaimana seseorang
mengenal Tuhan dan menghormatiNya. Akhlak disebut juga perilaku. Hubungan akhlak
kepada Tuhan adalah perilaku atau sikap dalam mengasihi dan menghormati Tuhan dalam
pengenalan yang benar. Hubungan akhlak kepada Tuhan adalah sikap batiniah yang
ditunjukkan seseorang sebagai bentuk pengakuannya akan kasih Tuhan dalam hidupnya.
Hubungan akhlak kepada Tuhan dapat dimungkinkan apabila seseorang sudah percaya dan
menerima Yesus sebagai Juruselamatnya. Tozer menjelaskan: “sikap batin yang dimiliki
seseorang sangat erat hubu-ngannya dengan sejauh mana orang itu mengenal Tuhan dengan
benar yakni mengenal seluruh keberadaanNya dan sifat-sifatNya.”15
Hubungan akhlak kepada Tuhan adalah bentuk respon manusia secara batiniah kepada
Tuhan untuk segala sesuatu yang dialami bersama dengan Tuhan. Respon tersebut dimung-
kinkan melalui pengenalan akan Tuhan dengan benar yakni mengenal seluruh
keberadaanNya dan sifat-sifatNya. Pengenalan ini berangkat dari sikap batin yang dimiliki
seseorang yang membawa orang tersebut sampai kepada sebuah kesimpulan bahwa apa yang
dikerjakannya dengan membangun hubungan dengan Allah, adalah sebuah tindakan yang
tepat. Sikap ini pada akhirnya menjadi sebuah siklus yang mendorong seseorang semakin
ingin mengenal dan lebih dekat kembali dengan Allah.
Hubungan akhlak dengan Tuhan merupakan ukuran yang dapat dipakai untuk melihat
bagaimana sikap atau tindakan dinyatakan atau diungkapkan yang sejalan dengan Firman
Tuhan. Meskipun hal ini merupakan sesuatu yang penting, hubungan akhlak dengan Tuhan
kerap terabaikan oleh beberapa orang dalam komunitas jemaat. Hal ini disebabkan oleh
dang-kalnya pemahaman dan pengenalan akan Tuhan. Yang dimengerti bahwa hubungan
dengan Tuhan hanya dapat terlihat melalui mengenal Tuhan dengan datang beribadah dan
sujud menyembahNya dengan datang dalam sebuah ibadah. Oleh beberapa orang dalam
penga-matan peneliti bahwa hubungan akhlak dengan Tuhan akahirnya dimengerti hanya
dengan sebuah ketaatan dan kesetiaan dalam melakukan apa yang dikatakan atau
disampaikan Tuhan dalam FirmanNya yang terkadang mengabaikan respon batiniahnya oleh
karena tuntutan terhadap ketaatan semata.
Karakter Terhadap Sesama
Salah satu nilai karakter yang harus dimiliki oleh jemaat adalah karakternya terhadap
sesama manusia. Jemaat harus memiliki nilai-nilai karakter terhadap sesama manusia seperti
meng-hormati, mengasihi, mengampuni, melakukan kebajikan, menginjili dan berbagai
karakter lainnya. Karakter yang telah ditanamkan dalam diri jemaat akan menjadi ciri
kepribadiannya yang akan terlihat dalam sikap hidupnya. Mengasihi sesama dengan jalan
membantu meringankan beban penderitaan orang yang sedang berduka, bermasalah, dan
ditimpa musibah. Menyisihkan sebagian dari apa yang dimiliki untuk dapat dibagikan

15
Tozer, Mengenal Yang Mahakudus, 41.

Copyright© 2019, GINOSKO: Jurnal Teologi Praktika| 74


GINOSKO: Jurnal Teologi Praktika; Vol 1, No 1 (November 2019)

kepada orang yang tak berpunya juga merupakan wujud karakter yang berhubungan dengan
sesama. Mem-bentuk karakter yang demikian tidaklah mudah. Jemaat diharapkan
mempunyai karakter yang jujur terhadap diri sendiri dan bertanggung jawab. Karena ini
dapat membentuk pribadi jemaat yang berkenan kepada Tuhan. Jemaat juga diharapkan
menghargai diri, mampu menerima diri dan kekurangan serta mengucap syukur dalam
segala hal.
Jemaat harus bisa menunjukkan sikap mengampuni pada orang lain. Apabila sikap
jemaat tidak berkenan pada orang lain, maka jemaat harus bisa meminta maaf dan menerima
nasihat dengan baik. Dalam hal ini, pemahaman jemaat terhadap sikap ini sering menjadi
rancu dengan keinginan untuk dihargai. Dalam sebuah relasi antara orang percaya, masih
ditemui keinginan untuk masing-masing dihargai atau dihormati. Hal ini baru terlihat
dengan jelas apabila terjadi kekeliruan atau kesalahpahaman atau kesalahan yang disengaja.
Pihak yang merasa dirugikan akan menuntut untuk meminta maaf dan pihak yang lain tidak
meminta maaf karena menuntut untuk dihargai.
Jemaat harus mampu menghargai dan menghormati sesamanya, mengasihi sesama
seperti mengasihi diri sendiri, mengampuni sesama tanpa menyimpan dendam terhadap
perlakuan orang lain dan tidak menuntut untuk dihargai dan diperhatikan orang lain.
Tuntutan untuk dihargai dan dihormati oleh orang lain, sering terlihat berlebihan dan hal ini
muncul dalam komunitas berjemaat atau diantara orang-orang percaya. Tuntutan untuk
dihargai atau dihormati mulai dari hal-hal yang kecil sampai hal-hal yang besar bahkan hal-
hal yang sepele. Untuk mengasihi seperti yang ditekankan dalam Matius 22, tuntutan untuk
dihargai dan dihormati akan menjadi penghalang. Hal ini disebabkan oleh karena mengasihi
tidaklah dibatasi dengan aturan, kaidah, hubungan sosial dan status sosial. Mengasihi
dengan murni merupakan sikap yang ditunjukkan dengan kerelaan hati tanpa memandang
batas-batas sosial.
Menghormati sesama merupakan ciri karakter terhadap sesama yang patut dipupuk
oleh jemaat. Jemaat yang menghormati sesamanya tentu tidak akan memperlakukan
sesamanya dengan semena-mena seperti menindas, mengancam, melakukan tindakan susila
bahkan tidak akan membunuh atau menghilangkan nyawa sesamanya dengan alasan apapun.
Menghormati sesama tergambar dari sikap dan kesadaran bahwa apa yang menjadi milik
sesamanya merupakan hak yang tidak boleh diganggu atau dirampas dengan alasan apapun.
Untuk jemaat dapat mempunyai karakter yang sesuai dengan kehendak Tuhan, maka jemaat
harus terlebih dahulu mengalami pembenaran, yakni hidup yang dibaharui melalui
perjumpaan dengan Kristus dalam iman dalam Kristus yang dikerjakan oleh Roh Kudus.
Karakter terhadap sesama adalah sikap dan watak yang memberi penghormatan kepada
sesama, sehingga tidak mudah untuk melakukan penindasan, penganiayaan, dan perlakuan
lain yang merugikan sesama; melainkan bertindak mengasihi, memberi pengampunan dan
dengan sadar meminta maaf apabila melakukan sesuatu yang tidak berkenan bagi orang lain.
Lingkungan mempunyai peran penting dalam mewujudkan kepribadian seseorang, khusunya

Copyright© 2019, GINOSKO: Jurnal Teologi Praktika| 75


Implikasi Pengajaran Hukum Kasih dalam Matius 22:34-40…(Petrus Suryadi)

lingkungan keluarga.16 Lingkungan keluarga merupakan faktor penentu utama terhadap


perkembangan anak.17 Alasan pentingnya peranan keluarga bagi perkembangan anak adalah:
(a) keluarga merupakan kelompok sosial pertama yang menjadi pusat identifikasi anak;
(b) keluarga merupakan lingkungan pertama yang mengenal nilai-nilai kehidupan
kepada anak; (c) orangtua dan anggota keluarga lainnya “Significant People” bagi
perkembangan kepribadian anak; (d) keluarga sebagai institusi yang memasilitasi
kebu-tuhan dasar insani (manusiawi), baik yang bersifat fisik-biologis, maupun sosio-
psikologis, dan (e) anak banyak menghabiskan waktunya di lingkungan keluarga 18
Lingkungan masyarakat dapat berperan membentuk karakter anak. Lingkungan masyarakat
merupakan proses pembentukan kepribadian seseorang sesuai dengan keberadaannya.
Karak-ter terhadap lingkungan masyarakat ialah: sikap dan watak seseorang yang
mencerminkan re-aksi atau respon positif terhadap apa yang lingkungan berikan sebagai
bagian dari sosialisasi seseorang dengan lingkungan masyarakat di mana dia berada seperti
memilih teman, menjunjung nilai budaya yang berlaku, dan memperlakukan orang-orang
disekitarnya dengan sikap yang terpuji.
Dampak melakukan hukum kasih adalah jemaat akan mengasihi Tuhan dan sesama
manusia dan membuat jemaat memiliki inisiatif untuk penginjilan. Roh Kudus yang
memim-pin jemaat melakukan penginjilan ke seluruh dunia. Dampak penerapan hokum
kasih bagi jemaat meliputi sikap yang terbuka untuk menerima sesama orang beriman.
Kehidupan yang harmonis mengasihi Tuhan dan mengasihi satu dengan yang lain ini
ditentukan oleh perse-kutuan dengan Kristus.
Faktor yang Memengaruhi Pembentukkan Karakter
Tidak mudah untuk membentuk karakter manusia. Butuh perjuangan dan jalan yang
panjang harus dilalui untuk mewujudkannya. Bukan berarti tidak mungkin tetapi sangat
menyita waktu dan emosi. Hanya saja mereka yang mampu mengelola kehidupan menjadi
lebih baik sembari tetap memfokuskan pikiran kepada hal yang positif akan menemukan
jalan agar terbentuk suatu sifat-sifat yang berkualitas.
Faktor Keturunan
Faktor keturunan merupakan hal yang berpengaruh paling penting dalam membentuk
karakter seseorang. Faktor keturunan akan dibawa oleh seseorang melalui pembentukan
dalam keluar-ga dan cara komunitas sosial keluarga memberi perlakuan terhadap seseorang.
Apabila komu-nitas sosial seseorang dimana dia dibesarkan menunjukkan sikap atau sifat
yang bertendensi kepada hal-hal yang dipenuhi kekerasan dan rasial, maka seseorang akan
memiliki karakter yang keras dan suka membeda-bedakan orang dalam komunitasnya ketika
dia bertumbuh menjadi dewasa. Informasi tentang kepribadian yang diperoleh dari luar
(lingkungan) tentang karakter diri sendiri. Perolehan informasi tentang karakter yang benar
sangat penting dalam kehidupan seseorang. Ada beberapa contoh karakter yang bisa diikuti
oleh seseorang.

16
Rida Sinaga, “Perilaku Sosialisasi Anak Ditinjau Dari Latar Belakang Keluarga,” KHARISMATA:
Jurnal Teologi Pantekosta 2, no. 1 (2019): 42–56.
17
Handreas Hartono, “Membentuk Karakter Kristen Pada Anak Keluarga Kristen,” KURIOS (Jurnal
Teologi dan Pendidikan Agama Kristen) 2, no. 1 (2014): 62–69, www.sttpb.ac.id/e-journal/index.php/kurios.
18
Abin Samsudin, Psikologi Kependidikan (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), 7, 323.

Copyright© 2019, GINOSKO: Jurnal Teologi Praktika| 76


GINOSKO: Jurnal Teologi Praktika; Vol 1, No 1 (November 2019)

Dorongan spritual (ajaran Tuhan–kebenaran)


Dorongan spiritual dalam diri seseorang tergantung dari kedekatannya dengan pelayan
dan anggota jemaat lainnya. Manusia yang enggan bahkan tidak pernah meninggalkan
perse-kutuaan bersama orang-orang beriman lebih kuat dorongan spiritualnya untuk
memiliki kepri-badian yang sesuai dengan ajaran Tuhan serta karakternya akan baik. Akan
tetapi orang yang hanya menjadikan persekutuan tempat untuk melakukan aktifitas rohani
tanpa ingin terlibat dalam komunitas persekutuan dengan ambil bagian dalam pelayanan,
maka orang akan cenderung tidak memiliki dorongan spiritual untuk mempertimbangkan
atau bahkan memu-tuskan sesuatu dalam hidupnya. Sehingga dapat berakibat, kerohanian
tidak lagi mendominasi atau memberi pengaruh dalam sikap dan tindakannya.
Keluarga (orang tua dan saudara)
Anak bisa meniru langsung kepribadian orang tuanya atau ia bisa juga belajar dari
nasihat yang mereka berikan. Tetapi diatas semuanya itu, “Nasihat terbaik dari orang tua
adalah saat mereka mampu menjadi contoh yang baik bagi anak-anaknya.” Anak yang
dibesarkan oleh orang tua yang hidup dalam kerohanian yang baik, akan memberikan respon
rohani pada waktu hal itu dibutuhkan. Contoh yang diberikan orang tua akan ditiru oleh
anak. Oleh karenanya, orang tua harus memiliki ketundukan untuk melakukan hal-hal yang
alkitabiah dan benar dihadapan Tuhan.19
Kaum keluarga lain juga dapat menjadi sumber inspirasi bagi seseorang. Terlebih
ketika saudara tersebut mencolok dari yang lainnya maka pastilah ia akan menjadi panutan
yang pantas. Sehingga ia akan memiliki kepribadian yang sesuai dengan ajaran Tuhan serta
karak-ternya akan baik. Oleh karenanya, orang tua seharusnya menjaga agar anak tidak
terkontami-nasi dengan hadirnya orang-orang dekat yang bertendensi negatif.
Teman dan Sahabat di Sekitar
Saat bergabung dalam organisasi tertentu pastilah seseorang memiliki teman dan
sahabat. Ini bisa menjadi contoh terutama jikalau perilaku dan prinsip hidupnya adalah
sesuai dengan nilai-nilai kebaikan hati dan dengan perintah Tuhan. Sehingga ia akan
memiliki kepribadian yang sesuai dengan ajaran Tuhan serta karakternya akan baik. Teman
dan sahabat di sekitar adalah persentase terbesar yang memberi pengaruh bagi seorang anak
untuk meniru sehingga karakter anak lebih banyak terbentuk dengan hal itu. Apabila teman
dan sahabat dekat di sekitarnya adalah orang orang yang berperilaku buruk, makaanak akan
menunjukkan karakter yang buruk pula. Orang tua haruslah memberi perhatian terhadap
siapa anak bergaul dan membangun komunitas persahabatan. Tidak jarang terdengar
keluhan orang tua yang gagal dalam membentuk karakter anak oleh karena teman dan
sahabat disekitarnya telah mendo-minasi pembentukan karakternya.
Lingkungan Pergaulan Budaya Masyarakat Luas
Lingkungan tempat tinggal juga bisa memengaruhi pemikiran pribadi. Terutama saat
ada ke-biasaan tertentu di dalam masyarakat yang mencirikan kekhasan daerah tersebut.
Selama budaya yang ditekuni oleh masyarakat tidak mendukung nilai-nilai kebenaran sejati

19
Zinzendorf Dachi, “Prinsip Kepemimpinan Orang Tua Dalam Keluarga Menurut Ulangan 11:18-
21,”Kairos 1, No. 1 (Juni 2018): 33, diakses 6 Maret 2020

Copyright© 2019, GINOSKO: Jurnal Teologi Praktika| 77


Implikasi Pengajaran Hukum Kasih dalam Matius 22:34-40…(Petrus Suryadi)

maka selama itu pula kita masih harus menjauhinya. Sehingga ia akan memiliki kepribadian
yang sesuai dengan ajaran Tuhan serta karakternya akan baik. Lingkungan pergaulan-
budaya ma-syarakat luas pada umumnya cenderung positif oleh karena diwarai oleh norma
budaya masyarakat yang cenderung positif pula. Lingkungan pergaulan-budaya masyarakat
luas, sering menjadi pagar bagi terbentuknya karakter seseorang. Dikatakan pagar, oleh
karena lingkungan pergaulan-budaya masyarakat akan mengontrol seseorang bila orang
tersebut salah dalam mensikapi keadaan atau norma atau keadaan yang terjadi
disekelilingnya. Ketika seseorang memberi respon yang salah, maka lingkungan pergaulan-
budaya masyarakat akan bereaksi untuk sesuatu yang tidak sesuai dengan norma yang
berlaku dalam masyarakat. Sehingga seseorang akan terkontrol dan segera merubahnya
untuk menjadi lebih baik. Terkadang lingkungan pergaulan-budaya masyarakat, dapat
menjadi hakim bagi pembentukan karakter seseorang.
Lembaga pendidikan informal dan formal
Seorang anak bisa saja dibentuk kepribadiannya lewat pendidikan yang ditempuh.
Lembaga pendidikan sebagai tempat kita belajar dan mengasah kemampuan otak untuk
melakukan berbagai aktivitas yang positif. Kelembagaan ini ada yang bersifat formal
maupun informal, sehingga ia akan memiliki kepribadian yang sesuai dengan ajaran Tuhan
serta karakternya akan baik. Memilih lembaga pendidikan informal dan formal merupakan
bagian kunci dari pembentukan karakter seseorang. Meskipun persentase pengaruhnya tidak
bagitu besar, akan tetapi lembaga pendidikan informal dan formal yng dipilih yang tidak
memberi penegasan terhadap sikap kerohanian yang jelas, akan memberi pengaruh terhadap
hidup kerohanian seseorang. Sikap rohani menunjukkan bahwa karakter seseorang juga
cenderung rohani sementara seseorang yang tidak dapat menentukan posisi rohaninya,
akanmenunukkan sikap yang kurang baik sebagai gambaran dari karakternya. Lembaga
pendidikan informal dan formal saat ini memberi penekanan tentang pembentukan akhlak
dan kerohanian orang yang dididik dalam lembaga tersebut.
Media yang Dinikmati
Ada media yang menampilkan keburukan dengan kedok acara-acara populer. Bahkan
ada jalan cerita dalam sebuah kisah tidak ada nilai estetikanya dan kurang menampilkan
kebaikan dan kejahatan secara bersamaan. Selama kita menyadari perbedaan antara kedua
hal ini lalu berusaha untuk menghindarkan diri yang jahat maka selama itu pula media tidak
akan bisa mengubah kepribadian kita yang baik. Sikap yang selalu fokus kepada Tuhan di
segala waktu dan selektif juga kritis mencerna informasi akan membantu kita untuk
menemukan sifat-sifat yang berkualitas baik.
Teknologi yang maju sekarang ini sangat memberi pengaruh kepada pembentukan ka-
rakter seseorang. Munculnya game yang bertendensi kekerasan akan memberi dampak nega-
tif terhadap seorang anak dan berpengaruh saat dia dewasa. Kehadiran media sosial yang da-
pat diakses melalui internet secara khusus di smartphone belakangan ini menunjukkan
tingkat kejahatan dan penyimpangan seks yang tinggi yang merusak tatanan kehidupan
orang muda dan memberi pengaruh terhadap perkembangan karakter anak-anak saat ini.

Copyright© 2019, GINOSKO: Jurnal Teologi Praktika| 78


GINOSKO: Jurnal Teologi Praktika; Vol 1, No 1 (November 2019)

Masalah dan Tekanan


Persoalan hidup adalah pelajaran paling berharga dalam kehidupan ini. Informasi ten-
tang kepribadian yang berkualitas yang bisa di dapat dari setiap masalah yang di lalui.
Karena itu, amati dan renungkan baik-baik segala pergumulan hidup kita. Ini adalah
kesempatan untuk belajar menyesuaikan diri sampai terciptalah keinginan untuk hidup
mandiri tanpa harus bergantung kepada orang lain. Pembentukan karakter yang baik
menunjukkan bahwa seseorang tidak gampang menyerah di tengah-tengah masa sulit yang
dihadapinya, atau seseorang akan mudah menyelesaikan berbagai masalah dengan
melibatkan orang-orang terdekat yang memperhatikannya.
Memikirkan Baik atau Buruk
Seorang yang bijak turut membanding-bandingkan sebuah perilaku yang akan
diterapkannya. Harus disadari bahwa beberapa karakter manusia yang keluar dari zona
nyaman jelas meng-ambil resiko yang besar untuk hidupnya. Karena itu, ketidaknyamanan
tidak berhubungan dengan kebenaran. Misalnya saja saat seseorang berbuat baik tetapi
orang lain menjadikan kebaikannya itu sebagai cara untuk mengacuhkan dan
mengabaikannya. Demikian orang-orang yang tegar selalu menerima tantangan untuk
meningkatkan kemam-puan mengendalikan diri sehingga membuat karakter diri menjadi
lebih baik dari hari ke hari. Sesuatu yang pantas ditiru atau tidak bergantung dari penilaian
masing-masing pribadi. Dapat juga menanyakan tentang sifat-sifat yang baik dan benar
kepada orang-orang di sekitar. Pilihlah orang tua, guru, dosen, hamba Tuhan atau orang
yang dikenal baik lainnya, sehingga ia akan memiliki kepribadian yang sesuai dengan ajaran
Tuhan serta karakternya akan baik.
Seseorang seharusnya belajar lebih banyak tentang bagaimana memikirkan apakah se-
suatu itu baik atau buruk, Sikap ini perlu dipupuk dan dilatih bukan untuk membawa
seseorang menjadi ragu-ragu. Akan tetapi pertimbangan yang diambil harus didasarkan
kepada Alkitab sebagai ukuran dari sesuatu yang dapat dikatakan baik atau buruk. Karakter
yang baik akan muncul bila seseorang sering mengambil keputusan untuk melakukan
sesuatu yang baik dan memutuskan untuk tidak terlibat dengan hal-hal yang buruk.
Tahapan Pengujian atau Rintangan
Saat hendak menerapkan suatu karakter dalam diri sendiri, sebaiknya mulailah dari
hal-hal yang kecil dan di lakukan dalam keluarga, saudara, sahabat, rekan kerja dan lain-
lain. Jika melakukannya kita tetap luwes dan percaya diri. Sifat yang rendah hati dan mau
memaafkan anggota keluarga lainnya akan membuat diri lebih luwes20, terlebih ketika hal
tersebut ditentang oleh orang tua, dan saudara lainnya. Jika tekanan karena kepribadian
tersebut mampu kita tanggung saat melakukannya di dalam rumah sendiri maka kitapun
sudah siap untuk menerapkannya di lingkungan yang lebih luas. Sehingga kita bisa menilai
diri sendiri apakah sifat-sifat itu sudah baik ataupun belum. Biasakan diri untuk
mengoreksinya dalam waktu tertentu dengan melakukan kilas balik ke belakang. Sehingga
ia akan memiliki kepribadian yang sesuai dengan ajaran Tuhan serta karakternya akan baik.

20
Nelly, “Menerapkan Kesabaran Menurut Kitab Amsal Dalam Mengajar Sekolah Minggu,”
KHARISMATA: Jurnal Teologi Pantekosta 2, no. 1 (2019): 20–27.

Copyright© 2019, GINOSKO: Jurnal Teologi Praktika| 79


Implikasi Pengajaran Hukum Kasih dalam Matius 22:34-40…(Petrus Suryadi)

Energi Kebahagiaan
Sebelum menekuni suatu sifat maka pastikanlah bahwa kita sedang berada dalam
keadaan bahagia. Sebab mereka yang sedang tidak bahagia selama menjalani hidup
cenderung kurang mampu menerima hal-hal baru. Bahagia tidak dilihat dari materi tetapi
bisa dibentuk sendiri dalam hati. Untuk mencapai hal ini kita harus mampu mengatasi rasa
sakit di dalam hati. Jika otak sudah berkembang sehingga bisa menepis rasa sakit yang
ditimbulkan diri sendiri mau-pun orang-orang disekitar maka akan dimungkinkan untuk
menciptakan kebahagiaan sendiri.
Mulailah dengan senantiasa bersyukur dan memuliakan Tuhan di segala waktu agar
pikiran terbuka hingga rasa senang-sukacita yang terkendali, tenang dan damai memenuhi
hati yang meluap dalam senyuman mungil di bibir masing-masing. Sehingga ia akan
memiliki kepribadian yang sesuai dengan ajaran Tuhan serta karakternya akan baik.
Ketidaktulusan
Pastikanlah ekspresi dilakukan dengan tulus tanpa maksud-maksud jahat. Karena itu,
jangan biarkan diri terlena memikirkan cita-cita masa depan melainkan, tetap fokus kepada
Tuhan, pekerjaan, pelajaran yang sedang ditekuni. Kebaikan yang dilakukan kepada
manusia hanya kepada Allah saja dengan demikian tetap menjadi orang yang tulus.
Sehingga ia akan memi-liki kepribadian yang sesuai dengan ajaran Tuhan serta karakternya
akan baik.
Provokasi atau Hasutan Sesama
Ada suara-suara yang akan menggoyahkan dan menguatkan, itu sebabnya harus
selektif menanggapi semuanya itu; jangan terima bulat-bulat tetapi koreksi diri sendiri
sembari tetap fokus kepada Tuhan. Sehingga ia akan memiliki kepribadian yang sesuai
dengan ajaran Tuhan serta karakternya akan baik.
Relasi yang Dimiliki
Tidak perlu memanfaatkan relasi yang dimiliki secara berlebihan. Tidak baik jika kita
hanya bersembunyi di balik kekuatan orang lain untuk sekedar berlindung dari kesalahan
melainkan hadapi semuanya itu apa adanya. Sehingga ia akan memiliki kepribadian yang
sesuai dengan ajaran Tuhan serta karakternya akan baik. Relasi seseorang dengan orang
yang Takut akan Tuhan pasti akan memberi pengaruh yang besar terhadap bagaimana
seseorang itu akan bersi-kap secara rohani dalam mempertimbangkan atau memutuskan atau
mengerjakan sesuatu.
Enggan Merasa Sakit
Kadang kala manusia merasa sakit sekalipun ia berada diposisi yang baik. Seperti bayi
keluar dari rahim Ibunya, langsung menangis karena pertama sekali menghirup atmosfer dan
merasakan suhu udara di bumi. Bayi menangis karena terlalu takut setelah keluar dari zona
nyaman. Padahal semuanya itu hanya berlangsung sesaat saja. Demikianlah, rasa sakit akan
memberi suatu tekanan di dalam otak untuk membantu dan membimbingnya berkembang.
Jika kemampuan berpikir sudah mumpuni sehingga dapat menghilangkan rasa ini maka akan

Copyright© 2019, GINOSKO: Jurnal Teologi Praktika| 80


GINOSKO: Jurnal Teologi Praktika; Vol 1, No 1 (November 2019)

dimungkinkan untuk meraih berbagai suasana hati yang baik dan positif. Sehingga ia akan
memiliki kepribadian yang sesuai dengan ajaran Tuhan serta karakternya akan baik.
Pendendam: Enggan Memaafkan
Tidak ada manusia yang sempurna, juga tidak ada sifat yang selalu diekspresikan atau
ditang-gapi secara sempurna. Bisa saja ada kesilafan di tengah-tengah semuanya itu maka
dari sana-lah hati tersakiti. Kita harus mulai belajar untuk memaafkan dan mengikhlaskan
semuanya itu, terserah siapapun yang salah. Mulailah belajar melupakan masa lalu, yang
buruk-buruk tidak perlu dibahas di dalam hati melainkan selalu fokuskan pikiran kepada
Tuhan. Sehingga ia akan memiliki kepribadian yang sesuai dengan ajaran Tuhan serta
karakternya akan baik.

Sifat yang Diulang-ulang dalam Waktu yang Lama


Agar suatu sifat menjadi budaya, harus dilakukan secara terus-menerus. Ketekunan
kita dalam melaksanakan semuanya itu akan membuatnya menjadi kebiasaan. Sedang hal-
hal yang sudah terbiasa jika dilakukan secara konsisten dalam waktu yang lama akan
menjadi budaya. Yaitu sesuatu yang terjadi begitu saja tanpa harus disuruh/ diperintahkan
oleh sistem sadar dalam otak manusia. Nikmatnya gemerlapan duniawi dapat membuat kita
bahagia, puas, damai dan tenteram untuk sementara saja. Saat sedang menyendiri, kita
merasa sifat-sifat ini sudah sempurna padahal itu hanya fatamorgana karena kenikmatan
duniawi membuat kita terlena. Butuh perjuangan dan pengorbanan untuk mengembangkan
suatu kepribadian yang positif. Harus siap menanggung rasa sakit yang disebabkan oleh diri
sendiri maupun oleh orang lain. Sadarilah bahwa karakter yang berkualitas harus melalui
dapur peleburan alias ujian kehidupan agar sifat-sifat tersebut semakin murni (tulus) adanya.
Pada akhirnya, semua proses pembentukan ini tidak hanya membutuhkan waktu dua-
tiga hari saja melainkan berbulan-bulan bahkan sampai bertahun-tahun. Mereka yang rendah
hati, tidak kenal lelah, rela berkorban dan terus berjuang akan menemukan titik dimana
semua sifat itu akan mendatangkan kebahagiaan dan ketenteraman hati sekalipun situasi
dilingkungan sekitar sedang bergejolak Sehingga ia akan memiliki kepribadian yang sesuai
dengan ajaran Tuhan serta karakternya akan baik.

KESIMPULAN
Setiap manusia harus mengasihi Tuhan dengan segenap hati, segenap jiwa, dan
segenap akal budi serta mengasihi sesama manusia seperti dirinya sendiri. Pada mulanya
tingkat pemah-aman dan penerapan jemaat GKAI Kadirojo tentang hukum kasih masih
kurang. Hal ini kemungkinan dikarenakan faktor usia, tingkat pendidikan yang bervariasi,
masalah kesulitan dalam menerima dan menerapkan pengajaran hukum kasih, dan faktor-
faktor lain. Setelah terbentuk kelompok pemuridan dalam jemaat dan kegiatan pembelajaran
hukum kasih sehingga jemaat mengerti dan menerima pengajaran hukum kasih, memahami
isinya dan menerapkan dalam kehidupan pribadi yang meliputi: Mengasihi Tuhan dengan
segenap hati, segenap jiwa, dan segenap akal budi serta mengasihi sesama manusia seperti
dirinya sendiri.

Copyright© 2019, GINOSKO: Jurnal Teologi Praktika| 81


Implikasi Pengajaran Hukum Kasih dalam Matius 22:34-40…(Petrus Suryadi)

Ketika Jemaat sudah memahami dan mengerti tentang hukum kasih, maka diharapkan
jemaat terus termotivasi dan mengambil komitmen untuk menerapkan apa yang telah
diterimanya dalam lingkungan keluarga, dalam komunitas jemaat, dan lingkungan
masyarakat sehingga nama Tuhan akan dipermuliakan. Penerapan hukum kasih dilakukan
dengan cara hidup dalam doa, hidup dalam pujian penyembahan; merenungkan dan
melakukan firman Tuhan; penyerahan hidup kepada Tuhan; penyerahan pikiran, perasaan,
dan kehendak kepada Tuhan; dan mengasihi semua anggota keluarga, mengasihi saudara
seiman, mengasihi masya-rakat, dan mengasihi musuh. Tujuan penerapan hukum kasih
supaya jemaat, bisa hidup setu-rut dengan kehendak Allah, mengalami pertumbuhan iman
secara kualitas dan kuantitas sehingga Tuhan dimuliakan.

REFERENSI
Alkitab. Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta: 2002.
Amtiran, Abdon A. “Memahami Missio Dei Sebagai Suatu Perjumpaan Misioner Dengan
Budaya.” MAGNUM OPUS: Jurnal Teologi dan Kepemimpinan Kristen 1, no. 1
(2019): 13–21.
Boiliu, Noh Ibrahim, Aeron Frior Sihombing, Christina M Samosir, and Fredy Simanjuntak.
“Mengajarkan Pendidikan Karakter Melalui Matius 5 : 6-12.” Kurios: Jurnal Teologi
dan Pendidikan Agama Kristen 6, no. 1 (2020): 6–12. http://www.sttpb.ac.id/e-
journal/index.php/kurios.
Boehikle, Robert R. Sejarah Perkembangan Pemikiran Dan Praktek Pendidikan Agama
Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997.
Dachi, Zinzendorf. “Prinsip Kepemimpinan Orang Tua Dalam Keluarga Menurut Ulangan
11:18-21,”Kairos 1, No. 1 (Juni 2018): 33, diakses 6 Maret 2019
Fances, Eddy. Gereja Yang Mulia Dan Misioner. Jakarta: Yayasan Sinar Nusantara, 2000.
Graendorf, Werner C. Pendidikan Agama Kristen di Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2000.
Hartono, Handreas. “Membentuk Karakter Kristen Pada Anak Keluarga Kristen.” KURIOS
(Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen) 2, no. 1 (2014): 62–69.
www.sttpb.ac.id/e-journal/index.php/kurios.
Hendra, Vitaurus. “Peran Orang Tua Dalam Menerapkan Kasih Dan Disiplin Kepada Anak
Usia 2-6 Tahun Sebagai Upaya Pembentukkan Karakter.” KURIOS (Jurnal Teologi dan
Pendidikan Agama Kristen) 3, no. 1 (2015): 48–65. www.sttpb.ac.id/e-
journal/index.php/kurios.
Heath, W. Stanley. Penginjilan Dan Pelayanan Pribadi. Surabaya: Yakin, t.t.
Homrighausen., E. G. dan I. H. Enklaar. Pendidikan Agama Kristen. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2002.
Hybels, Bill., dan Mittelberg, Mark. Menjadi Orang Kristen Yang Menular. Yogyakarta:
Andi Offset, 2000.
Kuiper, Arie. Missiologia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998.
Kristianto, Paulus Lilik, Prinsip dan Praktik Pendidikan Agama Kristen Yogyakarta: Andi
Offset, 2008.
Menzies, William W. & Horton, Stanley M. Doktrin Alkitab. Malang: Gandum Mas, 1998.
Nainggolan J. M., Menjadi Guru Agama Kristen Bandung: Generasi Info Media, 2010.
Nelly, Nelly. “Menerapkan Kesabaran Menurut Kitab Amsal Dalam Mengajar Sekolah
Minggu.” KHARISMATA: Jurnal Teologi Pantekosta 2, no. 1 (2019): 20–27.
Poerwadarminta, W. J. S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1988.

Copyright© 2019, GINOSKO: Jurnal Teologi Praktika| 82


GINOSKO: Jurnal Teologi Praktika; Vol 1, No 1 (November 2019)

Sairin, Weinata. Identitas dan Ciri Khas Pendidikan Kristen di Indonesia. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2000.
Siahaan, Harls Evan. “Karakteristik Pentakostalisme Menurut Kisah Para Rasul.”
DUNAMIS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani) 2, no. 1 (2017): 12–28.
Sidjabat B. S., Menjadi Guru Professional Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1994.
Sinaga, Rida. “Perilaku Sosialisasi Anak Ditinjau Dari Latar Belakang Keluarga.”
KHARISMATA: Jurnal Teologi Pantekosta 2, no. 1 (2019): 42–56.
Sproul, R. C. Kebenaran-Kebenaran Dasar Iman Kristen. Malang: Literatur SAAT, 1998.
Sukardi, Y M Imanuel. “Gereja Ekstra Biblikal Dan Tanggung Jawab Dalam Menyelesaikan
Amanat Agung.” KHARISMATA: Jurnal Teologi Pantekosta 1, no. 2 (2019): 37–39.
http://www.e-journal.stajember.ac.id/index.php/kharismata/article/view/22.
Tari, Ezra, and Talizaro Tafonao. “Pendidikan Anak Dalam Keluarga Berdasarkan Kolose
3:21.” Kurios: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen 5, no. 1 (2019): 24–35.
Tim Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2007.
Tomatala, Yakob. Penginjilan Masa Kini 1. Malang: Gandum Mas, 1998.
Widjaja, Fransiskus Irwan. Misiologi Antara Teori, Fakta Dan Pengalaman. 1st ed.
Yogyakarta: Andi Offset, 2018.
Widjaja, Fransiskus Irwan, Daniel Ginting, and Sabar Manahan Hutagalung. “Teologi Misi
Sebagai Teologi Amanat Agung.” THRONOS: Jurnal Teologi Kristen 1, no. 1 (2019):
17–24.

Copyright© 2019, GINOSKO: Jurnal Teologi Praktika| 83

Anda mungkin juga menyukai