Anda di halaman 1dari 53

BAB IV

PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN

Untuk mendeskripsikan dukacita dan kehilangan orang Toraja melalui


ritual ma‟nenek maka penulis melakukan penelitian melalui observasi,
mengikuti ritual ma‟nenek, dan wawancara serta menganalisa persepsi para
partisipan tentang apa makna ma‟nenek dan bagaimana mengekspresikan
dukacita mereka.
Bab ini berisi penyajian data penelitian dan analisis untuk masing-
masing partisipan dalam penelitian. Data dan analisis penelitian dipaparkan
dalam bentuk narasi tentang pengalaman 8 partisipan yang telah
diwawancarai pada waktu, suasana dan tempat yang berbeda. Dalam
penulisan ini penulis mengidentifikasikan partisipan utama sebagai
partisipan pertama (P1) dan partisipan pelengkap diurutkan sebagai
partisipan kedua (P2), partisipan ketiga (P3), partisipan keempat (P4),
partisipan kelima (P5), partisipan keenam (P6), partisipan ketujuh (P7), dan
partisipan kedelapan (P8).

A. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian


1. Tahap Pra-lapangan
Menurut Bogdan ( dalam Moleong, 2010), ada 6 tahap kegiatan
persiapan pra penelitian yang peneliti lakukan yakni menyusun rancangan
penelitian, memilih lapangan penelitian, mengurus perizinan, menjajaki dan
menilai lapangan, memilih dan memanfaatkan informan, menyiapkan
perlengkapan penelitian, memahami etika penelitian.
Sebelum melaksanakan penelitian peneliti telah memiliki data-data
observasi lapangan yang kemudian menjadi bahan untuk menyusun Bab 1

54
sampai Bab 3 yang mencakup latar belakang, tinjauan pustaka dan
metodologi penelitian.
2. Persiapan Penelitian
Setelah melakukan observasi tempat sejak juni 2013 peneliti mulai
menentukan partisipan sesuai dengan karakteristik yang sesuai dan langsung
melakukan wawancara untuk mengambil data awal pada saat mengikuti
ritual ma‟nenek pada bulan Agustus 2013 di To‟Nakka dan Lempo Poton .
Wawancara berlangsung dalam suasan penuh keakraban karena semua
partisipan mengenal baik orang tua peneliti. Sekalipun demikian berdasarkan
etika penelitian maka peneliti tetap menyampaikan maksud dan tujuan
penelitian kepada semua partisipan.Selama wawancara dilakukan, peneliti
melakukan perekaman gambar dan video menggunakan handy cam dan hand
phone.
Analisis Data
Proses analisis data dimulai dengan pengetikan transkrip wawancara
yang peneliti lakukan secara manual dengan mendengar dan menonton
rekaman video sambil mengetik kata perkata. Selanjutnya peneliti
menambahkan nomor (1,2,3...) pada bagian kanan transkripsi wawancara.
Peneliti juga mengetik hasil observasi lapangan yang peneliti kumpulkan
pada saat pengambilan data berlangsung dengan menggunakan buku catatan
serta bolpoin yang selalu peneliti bawa.
B. Deskripsi Partisipan
1. Gambaran umum P1
Seorang ibu rumah tangga berusia 72 tahun. Sejak kecil sampai saat ini
masih melaksanakan ritual ma‟nenek. Wawancara dengan P1 berlangsung di
lumbung yakni tempat menyimpan padi masyarakat Toraja sekaligus tempat
duduk tokoh-tokoh masyarakat pada saat berlangsung upacara Rambu Tuka‟
maupun Rambu Solo‟. Dalam beberapa kali percakapan P1 berbagi cerita

55
tentang pengalaman mengikuti ma‟nenek. Awalnya sekedar ikut-ikutan
sebagai anak kecil, namun akhirnya dapat merasakan sendiri hikmah dibalik
ritual ini. Ibunya meninggal disaat dia masih kecil sehingga P1 sama sekali
tidak bisa mengingat bagaimana wajah ibunya namun ma‟nenek
memungkinkan dia merasa dekat dengan ibunya lagi. Dia juga menyaksikan
bagaimana ayahnya mengekspresikan dukacita yang dalam ketika ibunya
meninggal. Sebagaimana aturan dalam budaya Aluk to dolo (agama asli
orang Toraja) bahwa setiap janda atau duda harus selalu ada di samping
jenasah pasangannya telanjang, tidak makan nasi, selalu menghadap ke arah
selatan, hanya boleh makan makanan dingin dan minum air dingin (mentah)
sepanjang jenazah belum dikuburkan.
Sampai saat ini, menjelang bulan Agustus anak-anak P1 yang ada di
perantauan selalu mengirim kain.

1. Analisis P1 berdasarkan wawancara


I.Proses dukacita Ekspresi perasaan
tersurat dan tersirat
1. Tangisan dan kerinduan
berdasarkan observasi

Masannang omiki’ too nak tibaya’ sussa P1 merasa senang, lega


sia mali’ta maringan mangka omiki’ setelah berkesempatan
sitammu. Saya merasa senang, legami lagi melakukan ritual
(lega setelah ma‟nenek sebagai obat duka ma‟nenek setelah sekian
dan kerinduan). lama menyimpan
Maringan mangka omiki’ sitammu (lega kerinduan dalam hati
rasanya setelah berjumpa lagi) saja
Dipaa lan penaa bang tae’ka ta ma’din
tumangi’ punala (selalu ada kerinduan
dalam hati saya tetapi tidak boleh menangis
sembarang waktu)

2.Harapan

Dikua dennoupa’ temai bati’ na matinuru’ Ada harapan bahwa

56
ndaka’ kande dio lu padang na tau lewat ritual ma‟nenek
..yaa..saya juga percaya kumua na sae anak cucu senantiasa
temai nenek lan pangimpi (saya berharap dilindungi oleh leluhur
semoga anak cucu saya tetap sehat dalam dan ketika sedang rindu
mencari nafkah di rantau orang dan supaya leluhur juga hadir dalam
juga datang dalam mimpiku) mimpi

II.Ekspresi dukacita dan kehilangan Meratap, menangis,


curhat membersihkan
Tulang-tulangnya saya bersihkan,
tulang-tulang jenazah
pakaiannya juga dirapikan
maupun lingkungan
Biasa ada yang menangis, biasa dukana’
sekitar pemakaman
mbating, tumangi’ ba’tu mattuna’-tuna’
sesungguhnya adalah
(saya juga masih sering meratap, dan
pengganti air mata
menangis kalau ada jenazah yang baru
dukacita
diritualkan. Tapi untuk jenazah yang sudah
lama dikuburkan cukup dengan curhat saja)
Diseroi, dialloi ta maringan sondana uai
mata (saya membersihkan, menjemur
tulang-tulang sebagai ganti air mata dan
ternyata itu melegakan perasaan saya)
Saya menangis dalam hati, bicara biasa
seperti ketika mereka masih hidup, saya
cerita banyak too
Semua lingkungan kuburan saya bersihkan

III.Makna ma‟nenek P1 memaknai ma‟nenek


sebagai ungkapan kasih
Belanna dipokaboro’ (karena saya
sayang, hormat dan
menyanyanginya)
penghargaan serta
Saya merasa senang karena saya tetap
kesempatan untuk
massiman-siman sia messa’bi pada mereka
menyatakan dukacita
seperti waktu masih hidup (hormat dan
yang sempat tertunda
penghargaan
Koo mbai saba’ tae’ bang mo ta tanga’
sussa tonna mane male (saya ma‟nenek
sebagai ungkapan kesedihan karena waktu
baru meninggal pikiran hanya tertuju pada

57
persiapan upacara sehingga saya lupa pada
kesedihan saya)

Kesimpulan
Ma‟nenek menjadi kesempatan bagi P1 untuk menyatakan kerinduan yang
telah dipendamnya cukup lama. Melalui perilaku, menjemur tulang-tulang,
curhat dan membersihkan lingkungan di sekitar kuburan sebagai ganti air
mata, P1 juga menyatakan sikap hormat, kasih sayang dan penghargaannya
kepada orang tua sama seperti ketika mereka masih hidup. Perasaannya
menjadi lega dan ringan. Dibalik semua itu terbesit juga harapan P1 agar
leluhur senantiasa menyertai anak cucu dalam mencari nafkah di manapun
mereka berada.

Ma‟nenek merupakan ungkapan kesedihan yang tertunda karena pada saat


orang tuanya baru meninggal pikiran hanya tertuju pada persiapan upacara
pemakaman sehingga P1 lupa pada kesedihannya. Kematian adek iparnya
alm.Toding mengingatkan P1 kembali pada rasa kehilangan terbesar yang
pernah ia alami yakni ketika ayah dan kedua mertuanya meninggal dunia.
Pengalaman ma‟nenek sejak kecil dari sekedar ikut-ikutan sampai
akhirnya terlibat dalam ritual ini tanpa ia sadari ternyata mampu
menumbuhkan perasaan yang sangat dalam, sikap hormat dan sayang
kepada ibu, ayah dan kedua mertuanya sekalipun mereka kini tiada lagi.
Setelah dua kali ma‟nenek maka selanjutnya P1 merasa cukup untuk
“menjenguk” ibu, ayah dan mertuanya saja. Tidak ada lagi tangisan apalagi
ratapan.

2. Gambaran umum P2
Seorang ayah dari 3 orang anak, saudara almarhum Toding, ipar P1. Selama
ini tinggal di Timika, Papua. Pada bulan Agustus 2013 datang ke Toraja

58
untuk menghadiri ritual ma‟nenek bagi adek dan ayahnya. P2 merasa sangat
sedih ketika mendengar adeknya sakit lalu meninggal, karena selama ini
adeknyalah yang menjadi ambe’ tondok (yang di tuakan di kampung) sebagai
pengganti almarhum ayahnya. Berperan sebagai tempat bertanya segala
sesuatu yang berhubungan dengan adat istiadat sekalipun ia masih terbilang
muda. P2 merasa putus asa karena adek yang selama ini ia andalkan tinggal
di kampung kini tiada lagi. Kesedihan yang dalam seperti itu, juga dirasakan
saat ma‟nenek untuk pertama kali bagi ayahnya Nek Tandi di To‟ Nanna‟.
P2 mengisahkan bahwa sejak kecil sering diikutkan oleh orang
tuanya dalam ritual ma‟nenek. Akhirnya diapun terlatih menjadi “ahli”
dalam hal mengikat dan membungkusan jenazah atau tulang-tulang. P2
paham berapa jumlah simpul ikatan untuk setiap jenazah. Hal tersebut
didasarkan pada jumlah kerbau yang dipotong pada saat upacara pemakaman
jenazah tersebut.
Analisis P2 berdasarkan wawancara

I.Proses dukacita Ekspresi perasaan tersurat dan


1.Tangisan dan kerinduan tersirat berdasarkan observasi

Yoo begitu mi anakku baru ada Dua tahun menahan kesedihan yang
tempat untuk menangis karena waktu dalam bukanlah sesuatu yang mudah
baru meninggal pikirkan segala bagi P2.
macam keperluan jadi tidak rasa Maka saat ritual ma‟nenek
sedih. Manee ri sito’doan uai dilaksanakan itulah kesempatan
matangku ( air mataku jatuh baginya untuk menangis
berlinang padahal selama ini saya meringankan segala beban yang
tidak merasakan apa-apa). disimpannya selama ini
Saya menangis sambil
mengeluarkan batang rabukna
(tulang-tulangnya) kasian. Betapa berat dan dalamnya perasaan
Betapa sakitnya mane sito’doan ri kehilangan karena ditinggal adeknya.
uai matangku belanna mali’ku (air
mataku jatuh bercucuran karena
kerinduan yang dalam). Mandaka’
bang tu penaangku (hatiku selalu

59
mencari-cari). Dua tahun mi lebih
ditahan mandaka’ penaa tapi kan
tidak boleh menangis (sudah dua
tahun saya hanya bisa menangis
dalam hati saja)

2.Penolakan Ada perasaan tak rela bahkan


Nakua penaangku matumbai na yaa, menolak, mengapa harus adeknya
mangura maro’paa. Minda paa la yang secepat itu meninggal. P2
kisattuan na tae’ mo adingku lan merasa sangat kehilangan sosok yang
tondok (hatiku bertanya-tanya selama ini diandalkannya
bahkan menolak, mengapa mesti
adekku yang masih muda, siapa lagi
yang dapat kami andalkan di
kampung)

3.Merasa bersalah Di sisi lain P2 merasa bersalah tak


Terlamba’ liuna’ dikka’ rangi dapat menolong adeknya lebih cepat
karebanna adingku dadi susi mi too. padahal kemungkinan itu menurut
Sitonganna bisa bang paa dipotau dia, sebenarnya ada.
(Sebenarnya masih bisa ditolong tapi
sayang sekali saya terlambat
mendapat kabar tentang kondisi
kesehatan adekku)

II.Ekspresi dukacita dan kehilangan P2 mengungkapkan dukacita dan


kehilangan yang dirasakannya pada
Kuseroi dikka’ ku alloi sia ritual ma‟nenek
kukamayai (saya membersihkan dengan membersihkan, menjemur
tulang –tulang adek saya lalu dan membungkus tuang-tulang
menjemurnya)...ternyata beda waktu adeknya.
saya membungkus tulang-tulangnya Amat besar perbedaan yang P2
adekku. Kalau orang lain perasaan rasakan ketika merawat tulang-tulang
biasa saja. Tapi ini adekku saya adeknya dibandingkan dengan orang
betul-betul menangis sambil lain
keluarkan tulang-tulangnya .
Mungkin karena terlalu lama pendam
sedih. Padahal waktu dipesta
(diupacarakan) biasa saja.
Yaa karena pikirkan segala macam
keperluan jadi tidak rasa sedih.

60
Waktu satu bulan mi lebih dikubur
baru terasa. Mapa’dik liuki’ pale’
maneri sito’doan uai matangku (saya
baru merasakan betapa sakitnya
ditinggal adekku).
Dua tahun lebih bayangkan itu
bagaimana sedih ditahan lama-lama.

III.Makna ma‟nenek Ma‟nenek menolong P2 mampu


menerima kenyataan, perasaannya
Untung sudahmi ma‟nenek jadi juga menjadi ringan dari berbagai
kepalaku yang kemarin-kemarin beban yang selama ini ditahannya.
berat sekali sudah langsung kayak
kosong. Maringan liu mo (Kepalaku
yang kemarin terasa amat berat kini
menjadi ringan berkat ma‟nenek)

Melalui proses dukacita , yakni tangisan dan kerinduan P2 menyadari betapa


pentingnya ritual ma‟nenek karena pada saat itulah ia dapat mengungkapkan
dukacitanya yang tertunda selama ini karena sibuk mempersiapkan
kebutuhan upacara pemakaman bagi adeknya. Pada sisi lain juga tradisi tidak
mengizinkan siapapun untuk menangis “tidak pada tempatnya”. Hal tersebut
nampak antara lain dari ungkapan:

Yoo begitu mi anakku baru ada tempat untuk menangis karena waktu baru
meninggal pikirkan segala macam keperluan jadi tidak rasa sedih. Manee ri
sito’doan uai matangku ( air mataku jatuh berlinang padahal selama ini saya
tidak merasakan apa-apa). Betapa sakitnya mane sito’doan ri uai matangku
belanna mali’ku (air mataku jatuh bercucuran karena kerinduan yang dalam).
Mandaka’ bang tu penaangku (hatiku selalu mencari-cari). Dua tahun mi
lebih ditahan mandaka‟ penaa tapi kan tidak boleh menangis. Reaksi lain
yang ditunjukkan oleh P2 atas kepergian adeknya adalah penolakan:

61
Nakua penaangku matumbai na yaa, mangura maro’paa. Minda paa la
kisattuan na tae’ mo adingku lan tondok (hatiku berkata mengapa harus dia
yang masih terlalu muda)

Ada juga perasaan bersalah:

Terlamba’ liuna’ dikka’ rangi karebanna adingku dadi susi mi too.


Sitonganna bisa bang paa dipotau (Sebenarnya masih bisa ditolong tetapi
sayang sekali saya terlambat mendapat kabar tentang kondisi kesehatan
adekku)

P2 mengekspresi dukacita dan kehilangan yang dirasakannya dengan


membersihkan tulang-tulang adeknya lalu menjemur dan menyimpannya
kembali

Kuseroi dikka’ ku alloi sia kukamayai (saya membersihkan dan merawatnya)

Akhirnya bagi P2, makna ma‟nenek adalah ritual dimana ia dapat


mengungkapkan segala kesedihan hatinya sehingga perasaannya menjadi
lega

Untung sudahmi ma’nenek jadi kepalaku yang kemarin-kemarin berat sekali


sudah langsung kayak kosong. Maringan liu mo(syukurlah, setelah ma‟nenek
perasaan saya menjadi lega)

3.Gambaran umum P3
Seorang ibu rumah tangga usia 53 tahun, mempunyai 4 orang anak.
Suaminya sudah bertahun-tahun menjadi TKI di Malaysia dan hanya sekali-
kali pulang ke kampung. Dialah yang tinggal menjaga tongkonan sekaligus
menjadi orang tua tunggal bagi anak-anaknya dan 7 orang anak dari
almarhum kakaknya. Wawancara dengannya berlangsung saat P3 sedang

62
duduk-duduk di pematang setelah menanam padi. Letak sawahnya tidak
jauh dari kuburan keluarga besarnya. P3 sejak kecil juga sudah terbiasa
mengikuti ritual ma‟nenek namun ma‟nenek kali ini benar-benar berbeda
dari sebelumnya. P3 mengatakan bahwa inilah ma‟nenek kedua yang
membuatnya benar-benar sedih setelah ma‟nenek bagi ayahnya. Namun lama
kelamaan akhirnya P3 merasa jauh lebih kuat kembali setelah bertemu
ayahnya lagi dan curhat kepada kakaknya. Baginya, ma‟nenek adalah obat
yang sangat mujarab.

3.Analisis P3 berdasarkan wawancara


Proses dukacita Ekspresi perasaan tersurat dan
tersirat berdasarkan observasi
1.Tangis dan kerinduan
Selalu mau menangis tapi kan tidak Kerinduan kepada almarhum
boleh sembarang too, yaa ditahan mi kakaknya selalu menghantui hari-
saja hari P3. Betapa beratnya kehidupan
Saya baru merasakan betapa tanpa kakaknya lagi.
berartinya kakaku kasian. Lan bang Namun semua itu hanya dipendam
penaangku lai’(saya memendam dalam hati oleh karena sebagai orang
semua perasaan duka dalam hati) Toraja pantang baginya untuk
.Saya rindu sekali kakakku dia menangis di sembarang tempat dan
andalan kami kasian.. waktu.
.sudah lama saya mau datang bercerita
tetapi belum bisa jadi saya menangis
siang dan malam di rumah pada saat
tidak ada orang..itu pun di sini saja (
sambil menunjuk dada) Natappe kan
dikka’ ( dia meninggalkan saya)
Saya selalu berharap dia datang dalam
mimpi. Menjenguk kami. Anak-anaknya
juga masih kecil kasian....
“dikka’ tu kakak ku oo kakakku (Oh
kakak ku mengapa ini harus terjadi )

2.Marah
saya dulu selalu marah dalam hati P3 mencurahkan perasaan
kenapa dia cepat pergi... .matumbai kehilangan yang dialaminya bukan
dikka’ na kakang ku. Tae’ liu na tarimai hanya dengan tangis dalam

63
penaangku. Lama’ apa mokan dikka’ na kerinduan namun juga dengan
tae’pa apa naissan te mai pia (hatiku kemarahan atas kepergian kakaknya.
sangat sulit menerima, mengapa harus
kakakku yang begitu cepat harus
meninggalkan kami).

3.Merasa bersalah
Ku kua tae’ dikka’ pabelang ku untoe P3 juga merasa bersalah seakan-akan
penaam mu kakangku (saya menyesal kematian kakaknya disebabkan oleh
tak mampu mempertahankan nyawa ketidakberdayaannya melakukan
kakakku) . sesuatu untuk menyelamatkan nyawa
kakaknya.

4.Menerima kenyataan
Inang laa tontong diingaran paa bua’ Setelah sekaian lama memendam
rika na laa sule pa. Inaang laa tontong perasaan kehilangan, lalu
diingaran paa ko bua’ rika na laa sule berkesempatan mengungkapkannya
pa
lewat ratapan dan tangis dalam ritual
.mui la tappu’ tu uai matangku inang
tae’ mo gai’na . de’ to na melae mo ma‟nenek akhirnya P2 mampu
dikka’ jo mai sakinna (kenangan menerima kenyataan itu. “bua’ rika
bersama kakakku tak akan pernah na laa sule pa” (dia tak mungkin
terlupakan, namun kenyataan ini saya kembali lagi).
harus terima dengan lapang dada).

III.Ekspresi dukacita dan kehilangan

Mbating na’ lai’, ku tonganni ungkaroi P3 merasa lega setelah


sarro budangku. yoo kalau tidak ada itu mengungkapkan dukacitanya melalui
ma’nenek terpaksa ditahan terus tapi ratapan pada saat ritual.
berat di sini (sambil pegang kepala lalu
dada). Dennoupa’ tontongkan dikka’ na
tiro. De’ too na melayo mo tu kakang ku
(saya meratap mengeluarkan seluruh isi
hatiku. Entah bagaimana hidupku
seandainya tidak ada ma‟nenek karena
disitulah tempatku bisa meratap)

IV.Makna ma‟nenek

Terima kasih ada ji bulan nenek. Bisa Bagi P3, ritual ma‟nenek telah
ketemu . Makan dan tidur sudah enak. menolongnya untuk memutuskan

64
Puas makka bating . Pedappi matoto’ ku hubungan psikososial dengan
te ma’ nenek. Mata na ku sa’ ding yaa almarhum kakaknya sehingga
(sambil pegang kepala lalu dada) sekalipun rasa sedih itu masih ada
ringan...ringan. (saya puas setelah namun ada kelegaan, hati dan kepala
meratap, ringan rasanya...terimakasih sudah terasa lebih ringan.
untunglah ada ma‟nenek)
Tumba yaa kapuanna gai’ na te
ma’nenek. Karapanna yaa na tae’
koo la ma pa’dik bang mo’ aku
dikka’ natemme’ rokko sussangku
(betapa besarnya manfaat ma‟nenek
bagi saya, seandainya tidk ada entah
bagaimana hidupkusetelah ditinggal
kakakku)

Kesimpulan
P3 selalu berusaha menahan kesedihan yang dirasakannya di dalam hati.
Seringkali ingin ke makam kakaknya untuk menangis namun itu tak
mungkin dilakukannya :
.sudah lama saya mau datang bercerita tetapi belum bisa jadi saya menangis siang
dan malam di rumah pada saat tidak ada orang..itu pun di sini saja ( sambil
menunjuk dada) Natappe kan dikka’ ( dia meninggalkan kami)

Reaksi lain yang ditunjukkan P3 karena ketidakmampuan menerima


kenyataan atas kepergian kakaknya yang dianggapnya terlalu cepat adalah
kemarahan, sikap tersebut nampak dari ungkapan:

“saya dulu selalu marah dalam hati kenapa dia cepat pergi... .matumbai dikka’ na
kakang ku. Tae’ liu na tarimai penaangku” (mengapa harus kakakku, hatiku tak
bisa menerima itu).

P3 tidak hanya marah atas kematian kakaknya namun juga merasa bersalah karena
tidak dapat berbuat apa-apa untuk menolong nyawa kakaknya.

65
Ku kua tae’ dikka’ pabelang ku untoe penaam mu kakangku (saya tidak berdaya
mempertahankan nyawamu kakakku).

Setelah melewati waktu yang cukup panjang akhirnya P3 mampu menerima


kenyataan atas kepergian kakaknya
Inang laa tontong diingaran paa bua’ rika na laa sule pa. Inaang laa tontong
diingaran paa ko bua’ rika na laa sule pa (Kenangan bersama kakakku tak akan
pernah terlupakan, namun kenyataan ini saya harus terima dengan lapang dada).

Ia percaya bahwa Tuhan lah yang mengatur kehidupan setiap orang,


Ku kua dikka mbai madosa mo’ ma’pasudung sia sengke lako Puang Matua
apa ko lan mata penaangku inang ku kanassai kumua kenna tang mamaseNa
Puang umpamatoto’kan na laa ma’ apa tongan mokan dikka’.
(Saya merasa berdosa telah marah kepada Tuhan atas kepergian kakakku tapi
hati kecilku sungguh mengimani bahwa hanya Tuhanlah sumber kekuatan
bagiku untuk menerima kenyataan ini)

Meratap sambil mengungkapkan semua dukacita yang terpendam selama ini


menjadi pilihan P3 untuk mengekspresikan dukacita dan kehilangan yang
dirsakannya: Mbating na’ lai’, ku tonganni ungkaroi sarro budangku (saya
meratap mengeluarkan seluruh isi hatiku).

P3 memaknai ma‟nenek sebagai obat manjur pengobat dukacitanya yang


terpendam selama ini. Pedappi matoto’ ku te ma’ nenek. Mata na ku sa’ ding
(ma‟nenek adalah obat mujarab bagi saya, perasaanku menjadi lega).

4.Gambaran umum P4
P4 adalah seorang pemuda berusia 29 tahun, anak sulung dari 7
bersaudara. Menyelesaikan pendidikan S1 di sebuah universitas di Surabaya.

66
Setelah tamat P4 melamar pekerjaan dan diterima sebagai salah satu
karyawan PT Pelni di Jakarta. Dialah yang saat ini menjadi harapan keluarga
untuk membiayai semua adek-adeknya dan membayar utang upacara
pemakaman ayahnya.

Analisis P4 berdasarkan wawancara

I.Aspek dukacita dan kehilangan Ekspresi perasaan tersurat dan


tersirat berdasarkan observasi
1.Tangis dan kerinduan
Saya juga tidak tenang selalu didatangi Kerinduan P4 pada sosok ayah sering
papa dalam mimpi terbawa dalam mimpi
kalau sudah begitu saya langsung
bangun menangis ternyata papaku
benar-benar telah pergi.

2.Putus asa
Kadang saya berfikir lebih baik saya Pencurahan perasaan dilakukan oleh
pulang saja urus adek-adek. Apa P4, kadang putus asa, merasa
gunanya saya bekerja lagi toh papa bahwa apapun yang dilakukannya
juga tidak ikut nikmati gaji saya. tak ada artinya tanpa papanya lagi.
3.Marah
Jujur saya marah . Papa terlalu cepat Disatu sisi P4 juga marah atas
pergi. Mengapa Tuhan seperti itu sama
kepergian papanya yang dianggap
kami kasian. (mengepalkan tangan, diam
lalu tertunduk). Apa yang harus ku terlalu cepat
lakukan untuk adek-adekku.

4.Merasa bersalah
Merasa bersalah ka’. Kasian sekali
papaku terlambat di antar ke Makassar Namun di sisi lain P4 merasa
untuk berobat karena di Jakarta ka‟. bersalah karena tak mampu
Padahal kalau lihat keadaannya waktu menolong papanya lebih cepat
itu masih besar ji peluang untuk sembuh
Tapi yaa begitu ...gara-gara saya
terlambat datang

5.Menerima kenyataan

Saya sebenarnya masih sedih tapi toh Setelah pencurahan berbagai macam

67
semua sudah terjadi. Saya bersyukur perasaan, akhirnya P4 menyadari
bisa lebih kuat. Sekarang ini kalau ingat bahwa kepergian papanya adalah
papa langsung telpon adek-adek di kenyataan yang harus ia terima. Oleh
kampung sebagai pengobat rindu, karena itu berkomunikasi dengan
sesudah bicara dengan mereka hatiku adeknya setiap kali rasa rindu itu
jauh lebih tenang. Hidup mesti jalan
datang adalah cara paling tepat untuk
terus sekalipun tanpa papa lagi
mengobati rasa kehilangannya.

II.Ekspresi dukacita dan kehilangan

Menangis ka’ kasian apa lagi waktu P4 mengungkapkan dukacitanya saat


papa ku dijemur ma‟nenek dengan menangis,
Pokoknya menangis teruska‟ ..saya membersihkan wajah papanya
minta papaku saat ma‟nenek dikasih dengan handuk bahkan memeluknya.
berdiri lalu saya lap mukanya dengan
handuk. Saya pegang lama dan peluk
dari belakang supaya tidak jatuh.

III.Makna ma‟nenek Ma‟nenek menolong P4 untuk


ma‟nenek itu yang bikin saya sekarang memutuskan hubungan psikososial
tidak stres berat lagi kayak dulu. Di dengan papanya. Ada kelegaan,
kuburan saya menangis saya bilang ketenangan dan semangat untuk
papa cepat sekali pergi adek-adekku melanjutkan kehidupan sekalipun
tidak ada yang urus lagi. (dia kemudian tanpa papanya lagi
menceritakan bahwa selama hidup
bapaknyalah yang mengurus adek-
adeknya.)
Jauh beda memang kak. Tapi waktu
sudahmi saya ma‟nenek pertama dan
mengungkapkan semua perasaanku di
kuburannya papa, lebih tenangmo‟ tidak
mimpi buruk lagi. Cuma memang masih
selalu membayangkan papa selalu di
rumah dengan adek-adekku.
Saya juga tidak pusing dan mual-mual
lagi.

68
Kesimpulan
Selama menunggu dilaksanakannya ritual ma‟nenek bagi ayahnya
beban hidupnya terasa begitu berat sekalipun gajinya untuk membayar
utang-utang adat maupun kebutuhan hidup dan pendidikan adek-adeknya
bukanlah masalah bagi dia. P4 selalu merasa ada sesuatu yang paling penting
telah hilang dari kehidupannya. Hidup tanpa ayah baginya berarti kehilangan
segala-galanya.
Proses dukacita yakni tangisan, kerinduan, putus asa, marah dan perasaan
bersalah yang dirasakannya datang silih berganti,

Saya juga tidak tenang selalu didatangi papa dalam mimpi,... apa gunanya saya
bekerja lagi toh papa juga tidak ikut nikmati gaji saya,.... jujur saya marah
papa terlalu cepat pergi, mengapa Tuhan seperti itu sama kami ...merasa bersalah
ka’, kasian sekali papaku terlambat di antar ke Makassar untuk berobat padahal
kalau lihat keadaannya waktu itu masih besar ji peluang untuk sembuh .

Pada akhirnya, setelah melewati proses dukacita akhirnya P4 mampu


menerima kenyataan:
Saya sebenarnya masih sedih tapi toh semua sudah terjadi. Saya bersyukur bisa
lebih kuat. Sekarang ini kalau ingat papa langsung telpon adek-adek di kampung
sebagai pengobat rindu, sesudah bicara dengan mereka hatiku jauh lebih tenang.
..hidup mesti jalan terus sekalipun tanpa papa lagi

Menangis, membersihkan dengan handuk, memeluk jenazah ayahnya saat


ritual ma‟nenek adalah cara P4 mengekspresi dukacita dan kehilangan yang
dirasakannya.

Pokoknya menangis teruska’ ..saya minta papaku saat ma’nenek dikasih


berdiri lalu saya lap mukanya dengan handuk. Saya pegang lama dan peluk
dari belakang supaya tidak jatuh.

Bagi P4 ma‟nenek memberikan makna yang sangat berbeda. Setelah


ma‟nenek, Ia merasakan ketenangan dan tidak lagi mimpi buruk.

Jauh beda memang. Dulunya (sebelum ma’nenek) saya tidak pernah tenang
papaku selalu datang dalam mimpi. Seakan-akan dia mengatakan mengapa
tidak pernah jenguk dia. ...Tapi waktu sudahmi saya ma’nenek pertama dan

69
mengungkapkan semua perasaanku di kuburannya papa, lebih tenangmo’
tidak mimpi buruk lagi.

5.Gambaran umum P5
Seorang perempuan berusia 25 tahun adalah adek dari P4, dia telah
menyelesaikan studinya di sebuah universitas di Makassar. Setelah tamat P5
mencoba melamar pekerjaan dan akhirnya di terima di PT Pertamina dan
ditempatkan di kantor pusat Semarang. Wawancara berlangsung di rumah
kontrakannya di Makassar. Pada saat ma‟nenek, P5 histeris bahkan sampai
pingsan ketika peti ayahnya pertama kali dibuka. Dalam tangisannya dia
mengungkapkan kerinduan pada ayahnya yang begitu cepat pergi. P5 merasa
kini tidak ada lagi yang dia bisa banggakan untuk melindungi dia dan
saudara-saudaranya, tidak punya siapa-siapa lagi karena semasa hidup
ayahnyalah yang lebih banyak memperhatikan mereka.
Kurang lebih 6 bulan setelah ma‟nenek peneliti bertemu lagi dengan
P5, wajahnya jauh lebih ceria P5 lebih bersemangat menjawab pertanyaan-
pertanyaan sekalipun kadang terlihat sedih saat mengingat masa-masa ketika
ayahnya masih hidup. P5 mengatakan bahwa semangat hidupnya kini sudah
bangkit setelah punya kesempatan mencurahkan segala beban pikirannya
selama ini pada ayahnya. P5 menyadari bahwa ayahnya yang sudah
meninggal tidak mungkin mendengar semua itu tetapi yang kini ia rasakan
adalah jauh lebih tenang. Berat badannya naik, makanan dan tidur sudah
bisa ia nikmati lagi.

Analisis P5 berdasarkan wawancara


I.Proses dukacita Ekspresi perasaan tersurat dan
tersirat berdasarkan observasi
1.Tangis dan kerinduan
Sejak papa meninggal tidak enak Menahan tangis dan kerinduan akibat

70
makan . Tidak mampuka‟ ..selalu kehilangan yang teramat dalam
menangis karena rindu sama papa. membuat P5 mengalami gangguan
...Tapi Ini sudah naik 3 kg setelah bukan hanya secara psikis tetapi juga
ma‟nenek (kelihatan gembira) fisik.
lebih tenang mi kurasa . Bisa menangis
sepuasnya di kuburan papa. Lega,
ringan, jadi enak makan tidak kayak
dulu lagi kalau tidak kesehatan lebih
baik saya tidak usah makan saja.

2. Marah

Saya pernah marah sama Tuhan..saya P5 juga marah kepada Tuhan


bilang kenapa kasian harus papa ku . memprotes kepergian papanya yang
Masih banyak ji orang yang lebih tua. dianggap terlalu cepat
Papaku masih kuat, masih sangat kami
butuhkan

II.Ekspresi dukacita dan kehilangan Menangis pada saat ritual ma‟nenek


adalah cara P5 mengungkapkan
saya menangis, bilang kami rindu papa, dukacitanya yang dalam.
jangan tinggalkan kami, kami tidak bisa
tanpa papa.

III.Makna ma‟nenek
Ma‟nenek menolong P5 menerima
Masih sedih kak..tapi setelah menangis kenyataan bahwa papanya kini tiada
di kuburan..lega, ringan, enak makan, lagi namun hidup dan perjuangannya
berat badanku sudah naik, tidak lagi tak boleh berhenti
bangun tengah malam, dada juga tidak
sakit lagi. Kami juga tidak mau sia-
siakan harapan dan perjuangan papa
selama ini bagi kami. Sangat berat
ditinggal papa tapi hidup mesti jalan
terus . Kami harus mandiri sebagimana
harapan papa.

71
Kesimpulan
Kehilangan ayah yang selama ini dirasakan sebagai sosok yang sangat dekat
dengan anak-anaknya menyisakan dukacita yang dalam bagi P5. Melalui
proses dukacita nampak bahwa kesedihan yang dalam mengakibatkan P5
mengalami gangguan makan, sehingga berat badannya pun turun.
Sejak papa meninggal tidak enak makan, tidak mampuka’ ..selalu menangis
karena rindu sama papa.
P4 juga mencurahkan perasaannya melalui kemarahan, Saya pernah marah
sama Tuhan..saya bilang kenapa kasian harus papa ku . Masih banyak ji
orang yang lebih tua. Papaku masih kuat, masih sangta kami butuhkan
Namun akhirnya P5 mampu melewat masa-masa tersulit dan menerima
kenyataan atas kepergian papa yang sangat dirindukannya.
Masih sedih..tapi setelah menangis di kuburan..lega, ringan, enak makan,
berat badanku sudah naik, tidak lagi bangun tengah malam, dada juga tidak
sakit lagi. Kami juga tidak mau sia-siakan harapan dan perjuangan papa
selama ini bagi kami. Sangat berat ditinggal papa tapi hidup mesti jalan
terus .

6.Gambaran umum P6
P6 adalah seorang kakek berusia 65 tahun, adek bungsu dari alm.Nek
Tandi, paman dari almarhum Toding. Satu-satunya anak lelakinya yang
merupakan bungsu dari tiga bersaudara meninggal 4 tahun yang lalu di
perantauan, jenazahnya tidak dibawa pulang dan dikuburkan di Kalimantan .
Sepanjang bulan Agustus (2013) P6 selalu berada di kuburan kakak dan adek
sepupunya almarhum Toding untuk membersihkan, menanam pohon, bunga
atau hanya sekedar duduk-duduk minum kopi yang dia bawa dari rumah.
Kepergian putranya yang begitu mendadak, disusul kemanakannya
membuatnya benar-benar patah semangat.

72
Analisis P6 berdasarkan wawancara

I.Proses dukacita Ekspresi perasaan tersurat dan


1.Putus asa tersirat berdasarkan observasi
Apa para dikka’ gai’ ku tuo male
nasang mo tee to ku sattuanan (tak ada P6 merasa putus asa karena di
artinya lagi saya hidup, karena semua usianya yang sudah lanjut justru
yang kuandalkan telah pergi) orang-orang yang diandalkannya
...begini mi saja...saya selalu duduk telah pergi.
duduk saja kasian melihat kuburan
Kadang ia sangat rindu namun
kakak dan kemanakan dari jauh.
koo bisa paa di boko pi..ke denni “berjumpa lagi” dengan kakak dan
keluarga mambela mane’ rampo kemanakan namun hanya bisa sesaat
(setelah ma‟nenek masih bisa ke jika ada keluarga yang datang dari
kuburan tetapi hanya “dicuri” (dibuka perantauan.
sebentar) kalau ada keluarga yang baru
tiba dari jauh.

II.Ekspresi dukacita dan kehilangan

Dampi na’ dikka’ pa’dikku belanna Membersihkan kuburan hampir


inde malolle’...na turu’ omo inde to setiap hari di bulan Agustus 2013
masaang adikku. Tang pa kulle tongan bahkan kadang-kadang hanya duduk
mo’ (matanya nampak berkaca-kaca). dan melihat kuburan dari jauh,
Saya mengobati luka hatiku karena
merupakan cara P6 untuk mengobati
ditinggal kedua orang terkasih yang
masih sangat muda. rasa kehilangan yang amat dalam
akibat ditinggal anak dan
Saya sering duduk-duduk sendiri kemanakannya di usia yang masih
melihat kuburan anak dan adekku dari muda.
jauh. Hanya itu kasian yang bisa
kulakukan untuk mengobati
rinduku...tidak mungkin saya
menceritakan penderitaan ku ini Mereka
meninggal muda (diam, tertunduk
sambil memijit jari-jarinya).

III.Makna ma‟nenek

Iyo lai’ matana ku sa’ding...koo den Bagi P6 makna ma‟nenek adalah


bang paa yaa lan penaa paa bua’ rika. sarana dimana ia dapat
Tae’ na laa eloran misa ki To

73
Tumampata (saya merasa lega...yaa mengungkapkan dukacitanya
masih tersimpan dalam hati semua sehingga perasaannya menjadi lega,
kenangan, tapi ini lah kenyataan yang mampu menerima perpisahan dengan
harus saya terima) orang-orang yang sangat dikasihinya.
Kepala saya tidak terlalu pusing mi lagi
selama mangka ma‟nenek.
Membersihkan kuburan adalah obat
mujarab bagi saya.
Yaa..makanan sudah enak saya telan,
tidur juga sudah bisa...ringan mi ku rasa
nak.
La sala raka pangato’ na Puang .
Dennoupa’ na tontong pa matoto’ kan
Mangka omiki’ ma’ nenek...den raka mi
anga’
Ku kua kenna sae sia mo sola duai lan
pangimping ku metaa ke mamali’ ona’
(Tuhan tidak mungkin salah, semoga
anak dan adekku selalu datang dalam
mimpi setiap kali saya merindukan
mereka)

Kesimpulan
Bagi P6 ma‟nenek bagi almarhum Toding sekaligus menjadi
kesempatan untuk melampiaskan kerinduan dan dukacita yang amat dalam
atas kepergian anaknya yang masih muda secara mendadak dalam sebuah
kecelakaan kerja di Kalimantan.
Melalui proses dukacita P6 sempat merasa putus asa karena di usianya yang
sudah lanjut justru orang-orang yang diandalkannya telah pergi.

Apa para dikka’ gai’ ku tuo male nasang mo tee to ku sattuanan (tak ada lagi
artinya saya hidup, karena semua yang kuandalkan telah pergi

Seluruh rasa duka dan kehilangan yang dialami P6, diekspresikan dengan
mengunjungi kuburan keluarganya hampir setiap hari dibulan Agustus.
Membersihkan atau hanya sekedar duduk-duduk minum kopi mengenang

74
kembali kebersamaan dengan ayah, anak dan kemanakannya, bahkan
sebelum ritul ma‟nenek P6 hanya bisa melihat kuburan keluarganya dari jauh
untuk megobati rasa rindunya..

Dampi na’ dikka’ pa’dikku belanna inde malolle’...na turu’ omo inde to
masaang adikku. Tang pa kulle tongan mo’ (Saya mengobati luka hatiku karena
ditinggal kedua orang terkasih yang masih sangat muda).

Setelah ma‟ma‟nenek P6 merasakan kelegaan. Kesepian tetap terasa namun


P6 kini mampu menerima kenyataan yang teramat berat itu, kehilangan anak
yang masih sangat muda disusul lagi oleh kemanakannya yang selama ini
berperan sebagai tokoh mayarakat.

Matana ku sa’ding...koo den bang paa yaa lan penaa paa bua’ rika (hatiku
merasa lega) . Yaa..makanan sudah enak saya telan, tidur juga sudah bisa.

La sala raka pangato’ na Puang . Dennoupa’ na tontong pa matoto’ na’

(Tuhan tidak mungkin salah, semoga IA tetap menguatkanku)

C. Memeriksa keabsahan data


Untuk menguji keabsahan data penulis menggunakan metode
triangulasi yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan
sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai
pembanding terhadap data (Moleong, 2005). Triangulasi ini dilakukan
dengan mewawancarai dua orang kepala adat (P7 dan P8) yang sangat
berkompeten dan memiliki pengetahuan yang luas tentang adat istiadat
Toraja khususnya ma‟nenek. Teknik pemeriksaan keabsahan data tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut:

75
E. Triangulasi
Dalam penelitian ini penulis mengumpulkan data untuk mengkaji
dukacita dan kehilangan orang Toraja serta apa makna ritual ma‟nenek. Data
yang dikumpulkan melalui observasi dan keikutsertaan dalam ritual tersebut
sudah cukup kuat namun untuk meningkatkan kredibilitas dan kehandalan
data peneliti melakukan triangulasi data.
1. Triangulasi metode
Triangulasi dari segi metode memungkinkan data yang dikumpulkan
tidak hanya dari hasil observasi tetapi juga diperkuat dengan metode lain
seperti keitkutsertaan peneliti dalam ritual, wawancara dan studi
dokumentasi.
Observasi, wawancara dan studi dokumentasi dalam upaya mengkaji
lebih dalam dukacita dan kehilangan pada orang Toraja yang melaksanakan
ritual ma‟nenek dilakukan dalam satu wancara khusus dengan seorang
kepala adat yang mempunyai wawasan yang luas tentang adat istiadat Toraja
khususnya ma‟nenek yaitu Nek Lumbaa.

7. Gambaran umum P7
Nek Lumbaa adalah Seorang pria berusia 77 tahun yang dalam masyarakat
Toraja dikenal sebagai to minaa (kepala adat). P7 memilih untuk tetap
beragama to dolo meskipun semua masyarakat di sekitarnya sudah menganut
agama kristen. Selama ini P7 menjadi narasumber bagi berbagai kalangan
yang hendak meneliti tentang budaya Toraja baik di dalam maupun dari luar
negeri. Menurut P7 setiap orang harus hidup sesuai budaya leluhurnya
supaya ia tidak semena-mena terhadap alam dan sesamanya. P7 merasa
senang dan bangga bisa berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan siapa
pun, namun menunjukkan ekspresi yang sedih ketika menceritakan
bagaimana orang-orang muda Toraja sekarang tuo tang mekaaluk (hidup

76
tanpa peduli budayanya lagi) sehingga terjadi banyak tindak kejahatan.
Menurutnya banyak orang tidak lagi mengutamakan karapasan lan tondok
(ketenangan bersama), tidak menghargai kehidupan pernikahan, tidak
menghargai orang tua.
Hal itu menurut P7 antara lain nampak dalam ritual ma‟nenek yang hanya
dilihat oleh orang-orang muda sekedar tradisi saja. Padahal menurutnya
berhasil tidaknya seorang anak akan sangat tergantung pada seberapa besar
penghargaannya terhadap orang tua baik ketika mereka masih hidup maupun
setelah mereka sudah meninggal.
Analisis P7 berdasarkan wawancara

I.Ekspresi dukacita dan kehilangan Ekspresi perasaan tersurat dan


tersirat berdasarkan observasi

selesai panen...alla‟ padang (masa Bagi P7 ma‟nenek bukanlah ritual


antara) baru boleh pada waktu dukacita maupun sukacita. Namun Ia
lo‟bang padang (tanah lagi kosong). mengakui bahwa tujuan akhir dari
pelaksanaan ma‟nenek adalah demi
tidak boleh waktu lain (tegas) nanti kelegaan hati. Oleh karena itu waktu
padi mati semua atau gagal panen, ritual dikhususkan. Hanya boleh
pasian (kena hama) Tae‟ na ma‟din sesudah panen di bulan Agustus.
di pogau‟ tu apa senga‟ na kande pasi Diluar itu akan mengakibatkan
tu tananan sia uai saba‟(air bah, bencana bagi masyarakat. Pakaian
sawah longsor). dan makanan juga haruslah
tidak boleh pake warna hitam, tidak sederhana.
boleh juga yang terlalu bagus, tidak
boleh makan jagung dan nasi nanti Menangis pada saat ritual menurut
pulang baru kita ma‟tamman serre‟ P7 masih boleh tetapi tangisan itu
(makan nasi kucing) bukan lagi karena dukacita
boleh (boleh menangis pada saat melainkan permohonan supaya diberi
ma‟nenek) tetapi tidak boleh lagi rejeki yang lebih baik.
katakan oo ibu, oo ayah . kita harus
katakan berikan aku rendenan
tedong, doloanna‟ lako matanna lalan
ke lolangna‟ ma‟lemba kalando,
ammi pasitammuna‟ dalle‟

77
masempo, limbongna‟ pala‟ na to
matasak na benna‟ ringgi‟ di ratu‟i
(saya menangis tetapi bukan lagi
tangis dukacita melainkan
permohonan supaya diberi rejeki
berupa kerbau, uang dan kesehatan)
yaa jangan dibawa terlalu susah tapi
jangan juga dibawa terlalu
senang...yang penting kaliuan
penaanta (kelegaan hati) yaa belanna
la morai piki‟ sitammu, mamallingki‟
(saya selalu merasa rindu untuk
bertemu).

yaa makanya dibungkus. hari Pada saat ma‟nenek leluhur


pertama dibuka, besoknya diperlakukan seperti waktu mereka
ma‟pakande nenek hari kedua ta masih hidup. Prosesinya mesti sesuai
mane ma‟kassa‟i... aturan adat yakni hari pertama peti-
nenek harus diberi makan terlebih peti dibuka, hari kedua menjamu
dahulu baru kita makan, tidak boleh leluhur dengan lauk pilihan dan
sembarang....makanan yang terbaik terakhir dijemur kemudian
dipilih untuknya...” dibungkus lalu disimpan kembali.
. Tapi harus daging pilihan seperti
waktu ma‟pesung (kurban
persembahan untuk leluhur)

II. Makna ma‟nenek

oo karena dulu belum cukup Ma‟nenek merupakan pemenuhan


rezekinya jadi hewan yang dipotong tuntutan adat bagi setiap keluarga
belum cukup, makanya dipaundii . yang berduka, antara lain memotong
hewan kurban sesuai dengan status
Masaki inaa, tang rapa‟ tau, terjadi sosial keluarga yang meninggal.
pertengkaran too, jadi ma‟nenek itu
menjadi obatnya (tangan selalu
dikepal kemudian digaruk-
garuk)...tang rapa‟ ki belanna tae‟ ta
sirempun un nando melona lako
nenek...ia tu to tae‟ bang na
mengkilala inang laa tae‟ duka yaa
apa-apan na too. Susi keluargaku daa
To‟Nakka‟ tang rapa‟

78
..........itu baru sekarang karena Waktu pelaksanaan ma‟nenek juga
disesuaikan dengan kesempatan sudah berubah dan menurut P7
keluarga yang pulang dari kemungkinan disebabkan oleh
perantauan. Semakin mahal juga semakin beratnya tuntutan kebutuhan
kerbai dan babi laa, berat tuntutan upacara pemakaman sehingga
kebutuhan upacara jadi orang mau dukacita keluarga tertunda
cepat-cepat ketemu nenek too

ooooo sangat beda ampo. Kita Pada akhirnya P7 sama dengan


senang sekali kalau sudah pulang. pengalaman partisipan lainnya
Ringan karena rindu terobati lagi. merasakan bahwa ma‟nenek terbukti
Rindu kepada rara buku, buku rapo menolong keluarga yang
ditinggalkan lebih mampu menerima
kenyataan dan menjadi sarana untuk
memutuskan hubungan psikososial
dengan keluarga yang telah
meninggal..

Kesimpulan
Menurut P7 ma‟nenek bukanlah ritual Aluk Rambu Tuka‟ (syukuran)
maupun Aluk Rambu Solo‟ (kedukaan). Oleh karena itu pelaksanaanya tidak
boleh dengan suasana terlalu gembira, namun tidak boleh juga dengan
kesedihan. Pakaian yang dikenakan pun haruslah sederhana. Pandangan
tersebut berbeda dengan hasil wawancara terhadap P1-P6 dan juga
kenyataan di lapangan berdasarkan fakta yang peneliti temukan selama
beberapa kali mengikuti ritual ini. Faktanya adalah keluarga masih meratap,
menangis, syair-syair badong yakni nyanyian dan tarian kedukaan
masyarakat Toraja melalui rekaman masih diperdengarkan. Ekspresi dan
tingkat dukacita keluarga yang ditinggal juga sangat tergantung pada nilai
yang diberikan pada seseorang yang sudah meninggal dan waktu (lama dan
berapa kali ) seseorang diritualkan setelah dimakamkan. Hal tersebut nampak
dari ekspresi dukacita yang ditunjukkan oleh keluarga besar nek Ambaa‟ saat

79
ma‟nenek terhadap jenazah almarhum Toding dan ayahnya almarhum nek
Tandi.
Namun secara tegas P7 juga mengakui bahwa tujuan akhir dari semua yang
dilakukan pada saat ritual adalah demi kaliuan penaa (kelegaan hati) ini
sama dengan pengalaman dan pengakuan P1-P6. Disamping itu P7 juga
mengakui kemungkinan lain dari makna ma‟nenek yaitu kesempatan untuk
mengekspresikan dukacita yang tertunda,

Kusangan duka susi too tae’ri ta paduli belanna buda tu diposara’ sia ditanga’

(saya kira demikian, waktu baru meninggal saya tidak peduli pada kesedihan
karena banyak yang saya dipikirkan dan harus disiapkan).

Bahkan pelaksanaan ritual ma‟nenek yang menurut P7 pada zaman dulu


dilaksanakan sekali dalam 7,9 atau 12 tahun menjadi jauh lebih cepat yakni 3 tahun
sekali bahkan ada daerah seperti To‟Nakka‟ yang melaksanakannya setiap tahun.
Hal tersebut menurut P7 mungkin disebabkan oleh semakin beratnya tuntutan
kebutuhan untuk pelaksanaan upacara pemakaman.

Sa masuli’ suli’ na mo tu allian tedong sa bai ya mo too naurunganni temai


ma’rapu morai madomi’ sitammu nenek mpokada sarro budanna

(harga kerbau dan babi semakin mahal sehingga keluarga ingin segera
ketemu nenek menyampaikan kelu kesahnya)

Ada kebutuhan untuk segera „berjumpa” dengan keluarga yang sudah


meninggal akibat beban perasaan yang tak bisa diungkapkan selama ini.
Oleh karena itu ma‟nenek menjadi amat penting bagi keluarga yang
ditinggalkan. Bukan hanya sebagai kesempatan untuk mengungkapkan
kesedihan tetapi P7 juga meyakini bahwa rejeki keluarga yang ditinggalkan
akan sangat dipengaruhi oleh seberapa besar perhatian mereka kepada
mereka yang telah meninggal.

80
F.Perpanjangan keikutsertaan
Perpanjangan keikutsertaan dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan
data yang sebenar-benarnya tanpa melakukan analisa berdasarkan dugaan-
dugaan. Peneliti menganggap ini sangat penting oleh karena itu peneliti tidak
lagi mendatangi semua partisipan satu persatu untuk melakukan wawancara
ulang melainkan mendatangi seorang mantan ketua adat yang kini telah
menjadi kristen dan juga masih memiliki hubungan kekerabatan dengan P1-
P6
8. Gambaran umum P8
Nek Tonga‟ adalah seorang pria yang merupakan tokoh adat berusia
80 tahun, tidak memiliki anak. Tinggal di kampung yang bernama
To‟Nanna‟. Sehari-harinya bekerja sebagai petani dan oleh masyarakat
setempat dikenal sebagai tabib dan dibawa ke mana-mana di Indonesia
bahkan ke Malaysia untuk mengobati orang sakit. Oleh karena itu sekalipun
tidak berpendidikan P8 bisa berbahasa Indonesia. Baru-baru masuk kristen
setelah istrinya meninggal karena dia berfikir kalau tidak masuk kristen
maka tidak ada yang akan mengurus jenazah istrinya karena semua orang di
kampung itu sudah kristen.
Analisis P8 berdasarkan wawancara

I.Proses dukacita Ekspresi perasaan tersurat dan


tersirat berdasarkan observasi

1.Tangis dan kerinduan Memendam tangis dan kerinduan


Hati kita tidak tenang too, la morai mengakibatkan P8 sering bermimpi
bangki’ tumangi’ sia mbating paa didatangi oleh istri dan leluhurnya
tae’ na ma’din (hati saya tidak
tenang, sedih ingin menangis dan
meratap namun adat melarang itu)
..bisa juga mereka datang dalam
mimpi nakua na tae’ bang mo mu
padulina’.

81
(leluhur kadang datang dalam mimpi
saya dan mengatakan bertanya
mengapa saya tidak lagi
memperhatikan mereka)

2.Harapan

saya meyakini too bahwa dari ma‟ Harapan akan diberi rejeki menjadi
nenek ini nenek dan keluarga yang alasan utama bagi P8 tetap
telah pergi akan selalu menyertai memelihara ritual ma‟nenek.
dalam usaha. Kita juga diberikan
rejeki berupa babi, kerbau, serta
menyertai anak cucu di perantauan...

II.Ekspresi dukacita & kehilangan


sirempunki’ sisola tu ludio mai
padang mambela ta pada pada
unnando kamasakkean...dikua
kampinmo allian manuk, allian bai
sia rendenan tedong
(saya selalu memanggil sanak
saudara di perantauan untuk pulang
agar kami berkumpul memohon
rejeki kepada leluhur melalui
ma‟nenek

III.Makna ma‟nenek

dari dulu memang sudah begitu. Kan Ma‟nenek adalah tradisi yang
ma‟nenek sebagai bukti sayang kita dilakukan sebagai bukti kasih sayang
kepada nenek dan keluarga yang kepada leluhur namun P8 menyadari
sudah meninggal. Paa sitonganna bahwa tujuan sesungguhnya adalah
iatu ma’iringanna kaliuan penaa demi kelegaan hati.
ampo. (bagi saya makna utama Karena pada saat itu dapat
ma‟nenek adalah untuk kelegaan mengungkapkan semua dukacita
hati) yang sempat tertunda akibat seluruh
perhatian hanya tertuju pada
Seandainya tidak ada ma‟nenek persiapan kebutuhan upacara
kasian betul itu keluarga besarku. pemakaman, harga-harga hewan
Indo’mu (tante) Limbong (P1), mbek kurban yang semakin mahal .

82
mu (om) Nek Riman (P6) sia mintu’ P8 lalu mencontohkan bagaimana
anak na to masaang ( anak-anak ma‟nenek telah menolong P1-P6
alamrhum) Sampe Karaeng (P2-P5). melewati dukacitanya.
Sisakian sidodongan, tang Ma‟nenek menandai berakhirnya
ma’rundunan apa na pogau’ belanna seluruh proses dukacita.
pa’dik tang sirau. Paa tae’ ta ma’din
tumangi’ sia masussa puna laa too
(semua sakit, kurus, hidupnya tidak
tenang karena dukacita yang amat
dalam). Bayangkan ampo (cucu)
bagaimana sakitnya kalau hanya
disimpan di hati saja...
untung mereka sudah ma‟nenek jadi
bagus mi sekarang too (keadaan
mereka menjadi lebih baik).
Karena disitumi kita bisa paliu
penaan ta too supaya ringan.
Koo mbai duka saba’ masuli’mo
allian bai la’bi tedong (mungkin
juga karena dulu hanya sibuk urus
pesta dan kerbau jadi saya lupa pada
kesedihan)

Kesimpulan
Memendam tangis dan kerinduan mengakibatkan P8 sering bermimpi
didatangi oleh istri dan leluhurnya . Sama dengan pandangan P7, P8 pun
meyakini bahwa ma‟nenek tdk termasuk ARS maupun ART melainkan saat
dimana keluarga yang ditinggalkan berkesempatan untuk memohon rejeki,
hal tersebut nampak dari ungkapan:

“sirempunki’ sisola tu ludio mai padang mambela ta pada pada unnando


kamasakkean...dikua kampinmo allian manuk, allian bai sia rendenan
tedong”

83
(saya berkumpul bersama sanak keluarga yang kembali dari perantauan
bersama-sama mohon rejeki bahwa tidak ada lagi uang untuk membeli ayam,
babi dan kerbau)
Harapan akan diberi rejeki menjadi alasan utama bagi P8 tetap
memelihara ritual ma‟nenek. Ia meyakini bahwa bertambahnya rejeki
seseorang tergantung pada kasih sayang dan homatnya kepada keluarga yang
telah meninggal melalui ma‟nenek. Pada akhirnya P8 sama seperti P7
menyadari bahwa orang yang sudah meninggal sebenarnya tidak lagi
merasakan apapun yang dilakukan terhadapnya, tetapi itu penting demi
kelegaan hati orang yang ditinggal. Dengan demikian pandangan P7 dan P8
tentang makna ma‟nenek sama dengan pandangan dan pengalaman P1-P6.
Setiap kali P8 selesai melaksanakan ritual ma‟nenek hatinya menjadi ringan,
terhibur dan merasa lebih kuat bekerja. Selain sebagai kesempatan untuk
mengungkapkan kesedihan dan harapan, P8 juga mengakui bahwa ma‟nenek
adalah kesempatan untuk curhat karena semakin beratnya tuntutan tradisi
mntunu (mengurbankan kerbau dan babi).
P8 lalu mencontohkan bagaimana ma‟nenek telah menolong P1-P6 melewati
dukacitanya.

Seandainya tidak ada ma’nenek kasian betul itu keluarga besarku. Indo’mu
(tante) Limbong (P1), mbek mu (om) Nek Riman (P6) sia mintu’ anak na to
masaang ( anak-anak alamrhum) Toding. Sisakian sidodongan, tang
ma’rundunan apa na pogau’ belanna pa’dik tang sirau. Paa tae’ ta ma’din
tumangi’ sia masussa puna laa too (semua sakit, kurus, hidupnya tidak
tenang karena dukacita yang amat dalam). Bayangkan ampo (cucu)
bagaimana sakitnya kalau hanya disimpan di hati saja...

untung mereka sudah ma’nenek jadi bagus mi sekarang too (keadaan


mereka menjadi lebih baik).

84
Dengan demikian sesungguhnya ma‟nenek menandai berakhirnya seluruh
proses dukacita karena mampu menolong keluarga yang ditinggalkan
memutuskan hubungan psikososial dengan orang-orang yang dikasihinya.

Berdasarkan hasil wawancara dan analisis verbatim tentang makna tersurat


dan tersirat dari P1-P8 maka peneliti menyimpulkan proses dukacita, cara
mengekspresikan dukacita dan makna ma‟nenek bagi orang Toraja, sebagai
berikut.

85
G.Makna Ma’nenek

Sekelompok masyarakat di Toraja melaksanakan ritual ma‟nenek sebagai


ekspresi dukacita dan kehilangan yang dalam akibat kematian orang-orang
yang dikasihinya. Tradisi masyarakat Toraja meyakini bahwa ma‟nenek
adalah semata-mata sebuah bentuk penghormatan kepada leluhur agar tetap
memberikan rezeki serta menolong mereka dalam berbagai rencana dan
usaha.

Sebelum ritual peti-peti sudah dikeluarkan dari patane.

Namun peneliti justru menemukan sesuatu yang tidak pernah terlihat selama
ini termasuk bagi mereka yang melaksanakan ritual ma‟nenek. Dari hasil
observasi, wawancara dan keikutsertaan beberapa kali dalam ritual ini di
lokasi yang berbeda, peneliti menemukan bahwa sesungguhnya ma‟nenek
adalah kesempatan bagi keluarga untuk mengungkapkan dukacita dan
kehilangan yang tertunda. Sebagai mana yang telah diungkapkan diawal
tulisan ini bahwa kematian bagi orang Toraja bukan pertama-tama dukacita
melainkan beban berat untuk menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan
demi pelaksanaan upacara pemakaman (baca:pesta) yang berlangsung
berhari-hari, berminggu-minggu bahkan sebulan.

86
Dalam situasi seperti itu mereka sama sekali tidak punya kesempatan untuk
berduka atas kematian yang dihadapi karena lebih sibuk dengan hiruk pikuk
“pesta” sampai acara selesai. Kenyataan inilah yang tidak memberi ruang
yang cukup bagi orang Toraja untuk mengungkapkan dukacita dan
kehilangan yang dialaminya hingga selesainya acara pemakaman.

1. Dukacita dan kehilangan yang unik, “ku seroi ku alloi sia ku kamayai”

Wiryasaputra (2003) mengatakan bahwa setiap kedukaan sesungguhnya


merupakan sebuah pengalaman yang bersifat unik, khas dan sangat pribadi.
Pengalaman kedukaan yang dialami oleh seseorang atau sekelompok orang
dalam budaya tertentu bisa saja berbeda dengan pengalaman orang lain
walaupun sama-sama kehilangan objek yang sama. Waktu, konteks, situasi
dan kondisi yang berbeda dapat membuat penghayatan dan cara
mengekspresikan dukacita dan kehilangan juga akan berbeda.

Semua sanak saudara ikut merasakan dukacita

Jika dibandingkan dengan ketiga etnis lainnya di Sulawesi selatan yakni


Bugis, Mandar dan Makassar, pada dasarnya orang Toraja memiliki
kepribadian yang unik. Hal tersebut antara lain nampak dari rasa
kekeluargaan dan penghormatan kepada para leluhur yang sangat tinggi.

87
Keunikan kepribadian orang Toraja juga nampak dari cara mereka
mengekspresikan dukacita dan kehilangan dalam ritual ma‟nenek. Semua
partisipan mengalami kenyataan ditinggal orang-orang terkasih namun
tingkat kedalaman dukacita dan cara mereka mengungkapkan rasa
kehilangan itu berbeda-beda.

Dalam pelaksanaan ritual ma‟nenek, orang Toraja memiliki cara-cara yang


unik untuk mengartikulasikan perasaan duka dan kehilangan, yakni seperti
yang dilakukan oleh P2:

ku seroi dikka’, ku alloi sia ku kamayai tu batang rabuk na sondana uai


mata (saya membersihkan, menjemur, membungkus lalu menyimpan
kembali tulang-tulangnya sebagai ganti air mata).

P2/W2/4/12/2014 No.24-25

Bahkan beberapa pemuda memakai terlebih dahulu untuk berfoto pakaian


baru yang akan dipakai untuk jenazah, sambil mengikuti gaya orang yang
sudah meninggal itu semasa hidupnya.

2. Litani Ratapan, mbating na’ ku tonganni karoi....

Menurut Scheineider (1984) dukacita dan kehilangan terkait erat dengan


kenangan. Rasa kehilangan merupakan suatu fenomena yang tidak mungkin
dapat dipahami secara langsung karena sifatnya unik, ekspresinya sangat
tergantung pada budaya dan struktur perasaannya tak terlukiskan. Individu
membangun hubungan dengan diri sendiri dan orang lain melalui
kehilangan: kehilangan orang yang dicintai, kehilangan diri sendiri dan
kehilangan masa lalu. Maka setiap orang dari berbagai budaya akan
mengungkapkan perasaan tersebut secara berbeda. Peneliti setuju dengan
pandangan tersebut karena dalam ritual ma‟nenek hal itu dijumpai juga,

88
yakni orang Toraja mengenang dan mengekspresikan dukacitanya dalam
bentuk syair-syair duka yang puitis yang menggambarkan kenangan tentang
orang yang telah meninggal.

Litani ratapan (P1)

Untuk mengungkapkan perasaan tersebut orang Toraja memiliki 2 nyanyian


yang mengartikulasikan perasaannya dalam ritual ma‟nenek, yakni lewat
nyanyian ratapan (bating) dan nyanyian litani (badong).

Menurut Rambe (2014), kedua nyanyian tersebut memiliki paralelisme


dengan motif pengulangan dalam bahasa Toraja tingkat tinggi dan bahasa
yang puitis. Inti dari kedua nyanyian tersebut adalah mengenang orang yang
meninggal dengan cara menghadirkannya dalam ingatan sebagai orang
hidup. Di dalam formulasi nyanyian duka ini orang yang meninggal dunia
tidak pernah disebut sebagai bombo (roh) melainkan selalu disapa dalam
status dan peranannya sebagai manusia secarah utuh seperti semasa ia hidup,
misalnya sebagai ayah, ibu, nenek, kakak dan sebagainya.

Balun (bungkusan tulang yang menyerupai bantal guling) yang dikeluarkan


dari liang dibawa ke tempat yang telah dipersiapkan dimana kaum
perempuan yang duduk dengan menggunakan tutup kepala warna hitam

89
menanti dan menyambut balun-balun tersebut. Mereka memeluk balun-balun
itu sambil meratap seolah-olah baru saja terjadi kematian. Suasana tiba-tiba
menjadi sangat emosional dan relasi antara orang hidup dan yang mati
menjadi sangat intim.

Mengikat balun

Hal tersebut peneliti saksikan dan dengar dari ratapan P3 dan P5 pada saat
ritual ma‟nenek bagi almarhum Toding (26-8-2013):

P2:

mbating na’ ku tonganni karoi sarro sia pa’dik penaangku, soso mokan
dikka’ (saya meratap, meluapkan segala duka yang dalam serta keluh
kesahku, kami tak berdaya lagi.)

P4:

Di kuburan saya menangis saya bilang papa cepat sekali pergi adek-adekku tidak
ada yang urus lagi

P5:

Saya menangis.... saya bilang kami tidak bisa lagi tanpa papa

90
Sementara itu litani badong dimaknai sebagai nyanyian ratapan yang
melibatkan banyak orang baik laki-laki maupun perempuan dengan
membentuk lingkaran, bergerak amat perlahan berlawanan arah jarum jam
serta bergandengan tangan mnggunakan jari kelingking.

Pada pelaksaan ritual ma‟nenek seperti yang beberapa kali peneliti ikuti di
tempat-tempat yang berbeda litani ini cukup diperdengarkan melalui
rekaman hand phone mengiringi prosesi ritual dan akan berhenti pada saat
akan mengganti pakaian jenazah. Berbeda dengan yang dikisahkan oleh P1:

dulu kita ma’nenek itu too dilakukan dengan cara bermalam satu malam
dikuburan membuat pondok-pondok yang beratapkan daun nira yang
disusun secara rapi, pake ki kabola ba’tu peputu’ sambako’ yang dijadikan
dinding lantang-lantang untuk di tempati tidur, membuat patung – patung
dari bambu muda kemudian disusun rapi, setelah itu ma’ Badong dan Ma’
Dondi sae lako melambi’.

(Pada waktu P1 masih kecil ma‟nenek dilakukan dengan membuat pondok-


pondok beratapkan daun-daunan lalu bermalam di kuburan dan
menyanyikan syair dukacita ma‟badong dan ma‟dondi‟ semalam suntuk)

P1/W1/10/2/2014 No 112-121

Salah satu elemen yang terdapat dalam badong adalah ajakan untuk
bersama-sama berduka dan meratap atas kehilangan seseorang (Rambe,
2014). Hal tersebut nampak antara lain dari syair badong sebagai berikut:

Maikomi ta mallun bating ( mari kita semua menangis)


Ta pana‟ta‟ rio-rio ( mari kita semua meratap)
Male tongan mo ambe‟ta ( ayah kita sungguh-sungguh telah pergi)
Litani badong juga berisi penghiburan bagi yang berduka dan
sekaligus ungkapan ketidakberdayaan manusia menghadapi kematian
sebagai peristiwa yang dikehendaki Sang Khalik. Syair badong juga
melukiskan pemahaman tentang kematian sebagai persekutuan kembali

91
dengan para leluhur dan anggota keluarga yang telah meninggal terlebih
dahulu. Hal tersebut sesuai dengan falsafah orang Toraja yang melihat
kematian sebagai kesempatan untuk kembali ke dalam perkumpulan keluarga
yang telah meninggal yakni ke suatu kehidupan yang ideal –ke “rumah tak
berasap”.

Laa diapapi (apa hendak dikata)


Loo mo ma‟tondok senga‟ (dia telah pergi membuat kampung lain)
Unggaraga banua tang merambu (membuat rumah tak berasap)

3.Ungkapan kasih sayang dan hormat, “sebagai bukti kaboro’ sia


pangangga’ ta”

Jenazah yang telah dijemur “berdiri’ lalu dibersihkan dengan handuk

Salah satu pokok kepercayaan aluk to dolo adalah keyakinan akan kontinutas
kehidupan setelah kematian. Dalam masyarakat Toraja di mana ikatan sosial
menempati posisi yang sangat penting maka kematian dipandang bukanlah
sebagai perhentian total dari kehidupan sehari-hari melainkan hanyalah
peralihan ke bentuk kehidupan yang baru.

92
P3 menulis nama alm/almh dibungkusan masing-masing

Perilaku dalam ritual ini mengungkapkan keyakinan tersebut antara lain


tidak boleh melangkahi jenazah yang sedang dijemur, mengganti pakaian
dan bungkusan dengan sangat hati-hati bahkan apapun yang hendak
dilakukan selama ritual harus “ permisi” terlebih dahulu. Dilakukan juga
ma‟pakande nenek (menghidangkan makanan dan minuman bagi
leluhur/keluarga yang sudah meninggal). Hal tersebut sesuai dengan
penjelasan P7:

”...nenek harus diberi makan terlebih dahulu baru kita makan,


tidak boleh sembarang....makanan yang terbaik dipilih untuknya...”
P7/W7/4/3/2014/No. 85-87

Pemenuhan kebutuhan jasmani orang yang meninggal dunia menjadi salah


satu aspek penting dalam ritual ini juga sebagai ungkapan kasih sayang dan
hormat. Jenazah dan tulang-tulang pun tetap diperlakukan sebagaimana
semasa hidupnya. Pandangan ini sesuai juga dengan yang disampaikan oleh

P1:

Kita sayang karena waktu hidup kan mereka sayang juga kita too, Orang tua harus
disayang karena mereka yang besarkan kita. kan ada firman Tuhan yang
mengatakan “ hormatilah ayahmu dan ibumu

93
P1/W1/10/2/2014/No.8-12

Hal tersebut senada dengan apa yang disampaikan oleh P8: dari dulu
memang sudah begitu, kan sebagai bukti kaboro’ sia pangngga’ ta

P8/W8/1/3/2014, No.13-14

4.Kesempatan untuk curhat, mattuna’-tuna’ tu mintu’ apa dadi lan tondok

P1 sedang curhat di depan jenasah keluarganya

Pemahaman tentang kontinuitas seperti di atas juga mempengaruhi sikap


keluarga dalam memperlakukan jenazah atau tulang-tulang. Sebagaimana
waktu masih hidup maka ketika mati pun melalui ritual ini keluarga
menceritakan semua yang terjadi sejak mereka ditinggal.

Hal tersebut terdengar dari tangisan keluarga pada saat ritual ma‟nenek almarhum
Toding di To‟Nakka‟ (26:8-2013).

P2

O adingku maparri’ mo dikka’ temai anakmu mu tampe

(adekku anak-anakmu kini sengsara engkau tinggalkan ).

94
P5

Papa susi bang mo kan dikka’ manuk natampe ndokna, tae’ mo


ummpadulikan, tae’ mo sengkei sia unnada’i kan

(papa kami sudah seperti ayam kehilangan induk, tidak ada yang perhatikan,
tidak ada lagi yang marahi)

Tae’ mo tau sengke ke tae’ ki melada’ ( tidak ada lagi yang marah kalau
kami tidak belajar)

Pada saat ritual juga peneliti memperhatikan P1, setelah duduk cukup lama
di depan pintu kuburan, P1 kemudian berpindah lalu duduk sambil mencabut
rumput rumput namun mulutnya terus komat-kamit. Peneliti hanya
mengambil gambar dari jarak jauh dan tidak berusaha mendekat agar tidak
mengganggu P1 yang kelihatannya sangat serius berbicara pada seseorang
pada hal di sekitarnya tidak nampak seorangpun. Beberapa waktu kemudian
dalam wawancara peneliti bertanya mengapa P1 kelihatan komat-kamit pada
saat ritual.

“mattuna’-tuna’ na’ tu mintu’ apa dadi lan tondok sia umpokadana’ issi
penaangku”

(saya menceritakan kejadian-kejadian di kampung dan isi hatiku).

5.Reuni dan Harapan dibalik ma’nenek, dinii sirampun unnanga’


pangandota

Menurut P7 ma‟nenek adalah kesempatan dinii sirampun unnanga’ pangandota


(berkumpul untuk menyampaikan harapan) P7/W7/4/3/2014 No 32-33

95
Dalam masyarakat Toraja dikenal istilah pa‟rapuan; dari kata rapu
yang artinya hubungan kekeluargaan berdasarkan hubungan darah; keluarga
besar. Hubungan ini menyangkut seluruh anak-cucu. Hubungan darah daging
inilah yang mendasari persekutuan orang Toraja dalam sebuah tongkonan
(rumah keluarga besar) dan juga membangun kuburan bersama.

Reuni keluarga saat ma’nenek

Ma‟nenek menjadi kesempatan bagi keluarga untuk berkumpul kembali


termasuk yang ada di perantauan. Menjelang bulan Agustus mereka kembali
ke kampung halaman dengan “oleh-oleh” masing-masing untuk diberikan
kepada keluarga yang telah meninggal. Pada saat ritual mereka akan
menyampaikan harapan-harapan mereka agar leluhur senantiasa menjauhkan
mereka dari malapetaka dan memberkati pekerjaan mereka di manapun
keluarga besar berada. Jika ada keluarga yang dianggap belum berhasil maka
ia akan diingatkan bahwa jangan-jangan itu disebabkan oleh karena ia tidak
pernah menyayangi leluhurnya. Keyakinan tersebut disampaikan juga oleh
hampir semua partisipan.

6. Kerinduan dan Attachment Behaviour dalam ritual ma‟nenek

Sekali pun P5 sadar bahwa papanya kini tiada lagi namun ia selalu berusaha
untuk mempertahankan kehadiran sosok ayahnya dalam kehidupan sehari-
hari. Hal tersebut nampak dari ungkapan:

96
saya masih bicara, minta pendapat dan izin sama papa. Saya tahu papa
sudah tidak ada tapi saya selalu rindu dan ingin papa ada di samping saya
selalu.
Kode: P5/W5/20/2/2014 No.30-33

Menurut Bedikian (2008) Individu yang berduka perlu menemukan makna


kehilangan. Percaya pada kehidupan akhirat dan percaya bahwa orang yang
meninggal menjadi pembimbing pribadi merupakan respon kognitif yang
berfungsi mempertahankan keberadaan orang yang meninggal. Melakukan
dialog internal dengan orang yang dicintai sambil melakukan aktifitas sehari-
hari adalah upaya untuk mengurangi dampak kehilangan sampai akhirnya
seseorang dapat memahami realitas kehilangan. Hal tersebut nampak juga
dalam ritual ma‟nenek.

Penggunaan tali pengikat kepala sebagai simbol penyatuan terhadap


jenasah

Harapan untuk menikmati “perjumpaan kembali” dengan keluarga yang telah


meninggal dunia menjadikan Agustus dianggap sebagai bulan khusus untuk
nenek sehingga kegiatan-kegiatan yang dianggap dapat mengganggu

97
perjumpaan itu dilarang di bulan Agustus. Pandangan tersebut sesuai dengan
apa yang diungkapkan P1, P6 dan P7.

Tae’ duka ta ma’din unnalli bai dipatuo ...Alla’ padang tae’ ta ma’ din
pogau’ apa senga’ . tidak boleh kerja-kerja sawah sia pa’lak mangka opi
yaa bulan karua too

(tidak boleh membeli hewan piaraan seperti babi...tanah lagi kosong tidak
boleh melakukan pekerjaan-pekerjaan di sawah dan kebun)

P1/W1/10/2/2014/No.144-148

Ziarah ke kubur di luar bulan Agustus tidak diperbolehkan.


Kesempatan untuk ziarah hanya berlangsung sekitar satu bulan lamanya
dimana relasi orang hidup dan yang mati dibangun kembali melalui ritual.
Sepanjang bulan itu kehidupan orang-orang yang hidup terkonsentrasi pada
anggota keluarganya yang sudah meninggal dunia sehingga tabu untuk
melakukan aktifitas lain seperti pekerjaan di sawah maupun kebun.

tidak boleh (tegas) nanti padi mati semua, pasian, ... Tae’ na ma’din di
pogau’ tu apa senga’ na kande pasi tu tananan sia sae uai saba’

(Bulan nenek tidak boleh diganggu supaya tanaman tidak dimakan hama atau
terbawa arus air bah).

P7/W7/7/3/2014/No.56-59

Dengan demikian ritual me‟nenek ini sebenarnya memberi ruang bagi


terbangunnya kembali relasi antara orang yang hidup dan yang mati dalam
kerangka kultus. Di luar kerangka ritual ini membangun relasi antara
keduanya dianggap berbahaya. Orang yang telah meninggal akan tetap

98
dikenang dalam ingatan orang yang hidup, namun bagi orang Toraja,
ma‟nenek memiliki kebutuhan lebih dari sekedar ko-memorasi, yakni
attachment behaviour. Ada kelekatan dan kebutuhan untuk menghadirkan
kembali orang yang meninggal di tengah-tengah persekutuan orang yang
hidup. Kelekatan merupakan suatu hubungan yang didukung oleh tingkah
laku lekat (attachment behaviour) yang dirancang untuk memelihara
hubungan tersebut (Durkin, 1995).

Sikap penyambutan setiap jenazah (peti/balun) yang dikeluarkan dari


kuburan dengan suasana yang penuh emosi dan ketegangan melalui ratapan
dan tangisan baik oleh perempuan, laki-laki maupun anak-anak menunjuk
pada simbol “menghadirkan kembali”. Tindakan ini merupakan simbol
inisiasi kembali untuk mengintegrasikan ulang keluarga yang telah
meninggal ke dalam kehidupan orang yang hidup sekalipun hanya dalam
batas waktu tertentu. Itu berarti “kehadiran” setiap orang yang meninggal
dalam ritual ma‟nenek memungkinkan terjadinya perjumpaan dengan
anggota keluarganya yang diwujudkan melalui sikap hormat terhadap
jenazah, ratapan dan tangisan. Pemberian pakaian baru bagi setiap balun
dihayati sebagai upaya untuk membaharui relasi kedua pihak. Pada bagian
luar setiap balun akan ditulis nama yang bersangkutan (Rambe, 2014).

7.Tuntutan Adat

Menurut P7 dan P8 salah satu alasan pentingnya melakukan ma‟nenek


adalah tuntutan adat yakni diganna’i- dipaundii (dicukupkan). Oleh karena
pada saat seseorang meninggal mungkin rejeki anak cucunya belum cukup
untuk memotong hewan sesuai dengan strata sosialnya.

oo karena dulu belum cukup rezekinya jadi hewan yang dipotong belum
cukup, makanya dipaundii .

99
P7/W7/4/3/2014 No 5-6

Parallu liu tu ma’nenek belannna tuntunan ada’ ..inang pepasanna nenek to


dolo ta ..dinii duka ma’paundii ketanggannna’ pi tu kinallona tonnna mane
male. Belanna tae’pa na ganna’ kaletteran utanna anak ampona
pirambongi’

( Ma‟nenek sangat penting karena tuntutan adat...merupakan pesan nenek


moyang...menjadi kesempatan juga untuk mencukupkan hewan kurban
karena pada saat upacara pemakaman rejeki anak cucunya belum cukup)

P8/W8/7/3/2014 No.25-28

8. Kelegaan hati

Semua partisipan bahkan dan masyarakat Toraja yang memelihara ritual ma‟nenek
menyadari bahwa apap pun yang dilakukan padaa saat ritual tidak lagi diketahui dan
dirasakan oleh keluarga yang sudah meninggal namun semua itu adalah demi
kelegaan hati orang-orang yang ditinggalkan.

Tae’ mo yaa apa na sa’ding...iatu ma’ iringanna inang kaliuan penaanta tu to tuo
(yang terutama adalah kelegaan hati orang yang masih hidup)
Sebaliknya jika ritual ini tidak dilakukan maka perasaan tidak akan tenang, sering
terjadi pertengkaran dan perselisihan di antara keluarga besar karena ada sesuatu
yang belum diselesaikan. Ada utang yang belum dibayar.

Tae’ kamarampasan, tang rapa’ penaa, buda tau sigaga, tang silomban belanna
ma’ kundun bang lan penaan na (tak ada kedamaian, hati tidak tenang, banyak yang
bertengkar, tidak bertegur sapa karena ada beban dalam hati).

9. Berakhirx seluruh proses dukacita

Disamping sebagai kesempatan untuk mengungkapkan dukacita yang


tertunda akibat beban kebutuhan untuk upacara pemakaman, ma‟nenek juga

100
sesungguhnya merupakan ritual yang menandai berakhirnya masa duka.
Titik sentral dari pesan ritual ini adalah pembersihan diri dari situasi “panas”
akibat dari kematian. Dengan kata lain pemulihan dari kondisi kehidupan
yang “tidak normal” menjadi keadaan normal di mana keberlangsungan
kehidupan dengan segala kegiatan keseharian seperti pekerjaan di sawah atau
kebun diperbolehkan kembali dan pesta sukacita seperti pernikahan kembali
memperoleh tempatnya di dalam kehidupan masyarakat di kampung
To‟Nakka‟. Hal tersebut ditandai dengan mengganti pakaian, mencuci muka,
tangan dan kaki setelah ritual sebagaimana yang penulis juga lakukan ketika
mengikuti ritual tersebut.

Tindakan simbolis itu menandai dimulainya babak baru kehidupan tanpa


orang yang meninggal lagi. Terjadi pemulihan yang memungkinkan keluarga
yang berduka memasuki proses reintegrasi ke dalam dunia sekitar dan
komunitasnya dan sekaligus memasuki kembali kehidupan keseharian “yang
normal”.

10.Merayakan kehidupan, dipakaraya tu katuoan,

Ma‟nenek menandai berakhirnya seluruh proses dukacita. Saat – saat


terakhir dari seluruh prosesi ritual ma‟nenek adalah kesempatan untuk
merayakan kembali kehidupan yang pernah dinikmati bersama keluarga yang
telah meninggal. Kenangan itu dikisahkan kembali oleh keluarga sambil
mengikat bungkusan jenazah sebelum disimpan kembali. Hal tersebut
nampak dari ungkapan:

Kutonganni kumalasi tonna sementara dibungku’ tu papa’ masannang na’


kilalai tonna sisolapakan. Kupakaraya meoli-oli.

101
(saya meluapkan kegembiraan sambil meoli - pekikan khas orang Toraja
sebagai ungkapan kegembiraan, ketika mengingat dan mendengar kisah-
kisah baik dan lucu saat papa masih hidup. Saya merayakannya).

P4/W4/18/2/2014 No 59-61

oo matoto’ mo’ yaa mangka kupakaraya tu kamasannanganku belanna na


benna’ Puang Matua tu attu tuo sola anak sa adingku te diomai. Kurre.
Kurre.
(oo saya sudah kuat. Saya sudah merayakan kebaikan Tuhan yang telah
memberi kesempatan kepada saya menikmati hidup bersama anak dan
adekku, trimaksih, terima kasih).

P6/W6/24/2/2014 No 41-43

Ma‟nenek sebagai kesempatan untuk mengekspresikan dukacita dan


kehilangan pada orang Toraja memiliki makna konstruktif. Hal tersebut
membuktikan pandangan Hofstede (1991) bahwa dukacita akibat kematian
merupakan sesuatu yang dibutuhkan juga oleh manusia untuk meringankan
kehidupannya menghadapi kesedihan mendalam. Dukacita adalah nafas
manusia yang merupakan gerakan yang simultan seperti ketika
mengeluarkan udara yang kotor lalu kemudian menghirup udara yang bersih.
Ada nafas dalam, sebagaimana ada duka yang dalam dan ringan untuk dapat
melajutkan kehidupan sekalipun tanpa orang terkasih lagi. Tugas proses
berduka yakni memutus ikatan psikososial terhadap orang yang dicintai akan
membentuk suatu ikatan yang baru, menambah peran dan mengintegrasikan
kehilangan ke dalam kehidupan. sebagaimana yang dikatakan Rando (1984)
menjadi penting sebagai suatu bentuk pemulihan yang sesungguhnya
dijumpai dalam ritual ma‟nenek. Sebagaimana juga yang dikatakan oleh
Kubler-Ross (1969) bahwa tahapan berduka itu terdiri atas penyangkalan,

102
kemarahan, tawar-menawar dan penerimaan. Tahapan dukacita yang juga
dialami oleh masyarakat Toraja yang mememilihara ritual ma‟nenek.

Salah seorang keluarga menggunakan tali, topi dan baju yang akan
dikenakan pada jenasah

Mengangkat balun sambil tersenyum sebelum menyimpannya kembali

Senada dengan itu Bowlby (1980) berpendapat bahwa pada fase re-
organisasi, yakni setelah tiga tahap sebelumnya : mati rasa; penyangkalan,
kerinduan terhadap orang yang dicintai; memprotes kehilangan yang tetap
ada, sulit melakukan fungsi maka keluarga yang berduka mulai membangun

103
kembali rasa identitas personal, arah dan tujuan hidup, percaya diri dan
mandiri. Pengalaman emosional dan afektif ini terkait erat dengan pengakuan
bahwa kehidupan tanpa orang yang dicintai adalah suatu realitas dan karena
itu perlu berbeda. Pada fase ini orang yang meninggal masih dirindukan
tetapi memikirkannya tidak lagi menimbulkan duka yang dalam. Penulis
sepakat dengan pernyataan tersebut karena hal yang sama juga dialami oleh
semua partisipan.

Sekarang ini kalau ingat papa langsung telpon adek-adek sebagai pengobat rindu,
sesudah bicara dengan mereka hatiku jauh lebih tenang.

P4/W4/18/2/2014/No.57-59

P4 masih sangat merindukan ayahnya tetapi setelah ma‟nenek dia merasa


jauh lebih mampu menerima kenyataan sehingga kalau rindu kepada
ayahnya ia cukup menelpon dan ngobrol dengan adeknya maka
kerinduannya itu akan terobati.

Lebih tenang mi kurasa...bisa menangis sepuasnya di kuburan papa


....lega...ringan, jadi enak makan tidak kayak dulu lagi
P5/W5/2/2/2014/No.12-15

Seluruh prosesi dari ma‟nenek diakhiri dengan membungkus lalu


mengikat kembali tulang-tulang jenazah yang telah dijemur dalam
bungkusan yang baru. Hal tersebut baru dapat dilakukan setelah tak ada lagi
yang menangis. Sambil mengganti pakaian jenazah dan selanjutkan mengikat
akan kedengaran gelak tawa dari semua yang hadir di sekitar kuburan itu
karena masing-masing akan menceritakan kembali kenangan-kenangan
indah, lucu dan lain sebagainya dari yang telah meninggal.

104
Menurut Rambe (2014) pada momen ini kehidupan seseorang diberi makna
dan diangkat sama seperti ketika ia masih hidup. Di sini terjadi ko-memorasi
atau pengenangan kembali kehidupan seseorang serta pemberian
penghargaan atas kehidupan itu sendiri. Disini ada ruang untuk glorifikasi
bagi yang meninggal sebagai bagian dari proses pengolahan duka. Tindakan
ini dilakukan secara bersama-sama sebagai bentuk pengesahan bersama bagi
pemberian penghargaan atas kehidupan seseorang. Hal ini nampak dari
percakapan keluarga yang peneliti saksikan saat ritual ma‟nenek dimana
keluarga yang mengelilingi jenazah pada saat membungkus lalu mengikatnya
bercanda, bersahut-sahutan secara spontan sambil tertawa menceritakan
kembali kenangan-kenangan tentang orang yang meninggal itu lalu saling
mengingatkan tentang pesan-pesan almarhum semasa hidupnya.

H. Ritual Ma’nenek dalam pendekatan indigenous psychology

Oleh karena studi ini menggunakan pendekatan psikologi indigenous maka


ritual ma‟nenek menjadi variabel tunggal dan orang Toraja menjadi subjek
uniknya. Studi ini membuktikan pandangan Kim, Huang dan Yang seperti
yang telah disampaikan pada awal tulisan ini bahwa psikologi indigenous
merupakan sebuah pendekatan yang berisi makna sesungguhnya, nilai dan
kepercayaan dalam konteks keluarga, sosial, budaya dan ekologi yang tidak
tergantung pada desain penelitian yang sudah ada.

Perilaku menjemur tulang/jenazah, menangis serta meratapinya, mengganti


pakaian, membungkusnya dengan kain baru lalu mengikatnya adalah
merupakan ekspresi dukacita dan kehilangan mendalam yang dibuat dan
diwariskan oleh leluhur orang Toraja sendiri dan bukan pengaruh dari
budaya orang lain. Hal tersebut juga membuktikan kebenaran dari apa yang
telah dipaparkan oleh Kim dan Berry (1993) bahwa dalam pendekatan
indigenous hanyalah orang pribumi atau orang dalam di sebuah komunitas

105
dan budaya yang dapat memahami fenomena indigenous dan kultural
sedangkan orang luar hanya dapat memiliki pengetahuan yang terbatas.

106

Anda mungkin juga menyukai