JURNAL ILMIAH (Revisi)
JURNAL ILMIAH (Revisi)
Disusun oleh :
DAFTAR ISI........................................................................................................................................ii
BAB I....................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN................................................................................................................................1
BAB II..................................................................................................................................................2
LANDASAN TEORI...........................................................................................................................2
BAB III.................................................................................................................................................3
METODE PENELITIAN....................................................................................................................3
BAB IV.................................................................................................................................................4
ANALISA MASALAH........................................................................................................................4
4.1 Analisa..................................................................................................................................4
BAB V...................................................................................................................................................8
5.1 Kesimpulan..........................................................................................................................8
5.2 Saran.....................................................................................................................................8
5.3 Solusi.....................................................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................10
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Indonesia merupakan negara ke-24 (dua puluh empat) di dunia sebagai
negara dengan kasus terorisme terbanyak di dunia, sehingga hal ini dapat ditelaah
lebih dalam mengenai motif para teroris yang membawa korelasi antar terorisme
dan agama. Mengapa perlu dipertanyakan korelasi mengenai terorisme dan
agama? Mungkin itu yang terlintas di pikiran, namun memang begitu adanya.
Karena sebagian besar terorisme di Indonesia melakukan tindakan-tindakan terror
mereka atas dasar jihad agama. Mereka tidak segan untuk meledakkan tempat
ibadah sebagai bentuk jihad-nya.
1
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Teori Jejaring aktor
Teori jejaring aktor merupakan teori yang jaringannya lebih luas dari teori
sosiologi lainnya. Teori jejaring aktor melihat peran jejaring atau network dalam
mempengaruhi tindak sosial. Dalam teori ini individu hanyalah bagian kecil dari
jejaring sosial yang sangat luas, sehingga menjadikan individu sebagai
penghubung antar individu lain yang saling terkoneksi dalam menciptakan makna
(baik material dan semiotik).
2
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian Grounded theory yang mana peneliti
menarik generelalisasi atas penelitian yang diamati/dianalisa sehingga
mendapatkan hasil akhir yang akurat. Sehingga hasil akhir penelitian ini mampu
menjadi jawaban atas suatu fenomena yang perlu dicari keabsahannya dalam teori
abstrak.
3
BAB IV
ANALISA MASALAH
4.1 Analisa
1. Korelasi Mengenai Agama dengan Terorisme dan Dampaknya
Indonesia merupakan negara peringkat ke-24 (dua puluh empat) dengan
kasus teroris terbanyak di dunia menurut Global Terrorism Index. Banyak
masyarakat bertanya-tanya mengenai korelasi antara agama dan terorisme
dikarenakan banyak nya kasus yang menjurus kesana ( dalam hal ini Islam),
namum pemerintah, sarjana, ulama (termasuk Majelis Ulama Indonesia) bahkan
tokoh agama non-muslim dengan tegas mendengungkan slogan “Teroris tidak
bertuhan” atau “Teroris tidak beragama” karena menurut mereka tindakan
terorisme tidak diajarkan dalam agama manapun dan demikian mereka (para
teroris) merupakan “penganut ajaran sesat”.
Hal ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang lebih banyak lagi dan
bertambah rumit, seperti : jika memang agama tidak mengajarkan terorisme,
kenapa cukup banyak teroris yang lahir dari atau berafiliasi ke agama/kelompok
agama tertentu (ormas,sekte) atau di dorong oleh spirit, norma, atau nilai-nilai
keagamaan tertentu? Apakah agama dapat menjadi penyebab atau faktor
munculnya tindakan terorisme?. Dalam buku Terror in the Mind of God karya
Mark Juergensmeyer membahas cukup detail mengenai kasus terorisme di
berbagai negara yang para pelakunya berafiliasi dengan agama atau sekte tertentu.
Kemudian dibahas juga dalam buku The Cambridge Companion to Religion and
Terrorism yang menganalisis keterkaitan antara terrorisme dan agama.
Motivasi dari tindakan terorisme beraneka ragam, tidak hanya didorong
oleh faktor keagamaan. Begitu juga dengan tujuannya, tujuan aksi-aksi terorisme
sangat bervariasi, bahkan sasaran dari aksi terror bukan hanya tempat ibadah
namun dapat juga gedung atau bangunan seperti hotel, bank, kantor, mall dan
sebagainya. Contohnya, pada saat bom bali.
Mengaitkan tindakan terrorisme dengan agama jelas tidak fair. Pengaitan
itu mengabaikan faktor-faktor di luar agama (politik,ekonomi,kultural, dlsb) yang
juga sangat penting dalam berperan aksi-aksi terorisme. Meski sejumlah pelaku
4
terorisme mengidentifikasi sebagai “kelompok religious”, pengikut fanatik agama,
ataupun mengaku didorong atau dimotivasi oleh faktor agama tertentu.
Kembali pada korelasi antara agama dan terorisme, kedua hal itu dapat di
definisikan tergantung bagaimana mengidentifikasi keduanya melalui istilah,kata,
atau konsep. Bahkan lembaga internasional seperti Persatuan Bangsa-Bangsa
(PBB) juga gagal untuk merumuskan definisi dan komponen pembentuk
terorisme, hal ini disebabkan perbedaan pendapat dalam menentukan “aktor
terorisme”. Meski tidak ada kesepakatan umum mengenai definisi terorisme,
namun ada sejumlah ciri utama atau karakteristik mendasar mengenai hal ini,
antara lain :
a. Menebarkan rasa takut di masyarakat atau menciptakan ketakutan publik,
b. Menggunakan tindak kekerasan yang mematikan melawan masyarakat sipil
maupun aparat pemerintah,
c. Memakai alat-alat/media yang sangat berbahaya seperti bom, senjata kimia,
atau senapan,
d. Memiliki tujuan tertentu, baik yang berdimensi politik, agama dan lainnya.
Celakanya apa yang di dalam “institusi” atau “tubuh” agama itu tidak selalu
bernuansa positif, konstruktif, damai, humanis, dan penuh “berkat” tetapi dapat
sebaliknya. Hal ini lah yang berpotensi untuk dimaknai sebagai dimanipulasi oleh
individu, kelompok, atau pengikut “agama tertentu” untuk kepentingan tertentu.
Agama bisa saja tidak mengajarkan terorisme secara langsung namun ia mampu
berpotensi menginspirasi pengikutnya untuk melakukan tindak terorisme.
1. Ancaman masa kini tidak mengenal batas wilayah negara (borderless state),
berhubungan satu sama lain baik pada tingkat global, regional, dan
nasional,
2. Tidak ada negara yang mampu bertahan sendiri dari ancaman tersebut,
3. Setiap negara akan bertekad untuk memenuhi tanggung jawab dalam
melindungi rakyatnya.
5
Menurut Hamdi Muluk (Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia),
terorisme merupakan hasil dari proses radikalisasi mulai dari level individu
hingga kelompok yang mengatasnamakan agama. Proses tersebut meliputi
praradikalisasi, identifikasi diri, komitmen dan indoktrinasi, dan ideologisasi
jihad. Teror atau terorisme selalu identik dengan kekerasan, hal ini juga yang
membuat beberapa orang menyimpulkan jika terorisme adalah puncak aksi
kekerasan. Oleh karena itu menurut Prof. Brian Jenkins,Phd., terorisme
merupakan pandangan yang subjektif.
6
Oleh karena itu terorisme tidak berkaitan dengan pemeluk agama tertentu
karena dilakukan tidak berdasarkan ajaran agama, malah terorisme itu musuh
keamanan dan perdamaian, musuh semua manusia. Jadi paham apapun atau aliran
manapun yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik
dengan cara kekerasan bisa disebut dengan radikal, tinggal bagaimana mereka
menindaklanjutkannya.
Menurut Syaikh Dr. Najih Ibrahim dan Syaikh Ali Hasan Al-Halaby, ada 2
(dua) faktor utama mengapa paham radikalisme keagamaan lebih terkemuka,
yaitu:
1. Paham ekstrim terhadap jihad. Jihad yang diartikan perang semata dan
melakukan teror (irhab), sehingga dibolehkan untuk membunuh termasuk
anak-anak dan perempuan padahal hal ini sangat dilarang keras dalam
islam.
2. Kesalahpahaman terhadap doktrin agama. Modus gerakan radikalisme
menggunakan forum-forum keagamaan, sebagai ajakan untuk masuk
kedalam faham-faham mereka.
Dalam salah satu wawanacara mantan teroris, Ali Imran. Ia mengatakan
jika hanya butuh 2 jam baginya untuk membuat seseorang terpapar paham
radikalisme dan melakukan aksi bunuh diri, terutama pada generasi muda. Ia
hanya perlu menyampaikan keutamaan jihad dan hasil jihad adalah mati syahid.
Basic dalam Al-Qur’an dan sunnah, ia poles lalu dibelokan. Hal ini lah yang
membuat gerakan-gerakan radikalisme menjadi underground dan tertutup.
7
BAB V
5.2 Saran
Perubahan yang berkembang sangat cepat tidak hanya dapat dilihat dari
aspek hukum saja tetapi juga dari aspek politik dan security (keamanan) juga.
Perang terhadap teror (war on terror) tidak hanya mengandalkan pendekatan
8
“hukum pidana konvensial” yang berdasarkaan prinsip “mens rea” dan “actus
reus”; suatu perbuatan jahat harus terbukti dari selain niatnya juga tindakan dan
akibatnya, sehingga ketika berhadapan dengan aksi teror maka harus ada
pergerseran paradigma pendekatan dalam hal penegakan hukumnya yang tadinya
bersifat reaktif (reactive law enforcement) artinya penegakan hukum dapat
dilakukan setelah adanya perbuatan yang berakibat bagi korban dan masyarakat.
Untuk melakukan upaya pencegahan radikalisme-terorisme perlu adanya sarana
hukum pidana baik materiil Maupun hukum pidana formil.
5.3 Solusi
Solusi dari masalah ini dapat dilakukan dengan adanya pencegahan berupa
pembinaan terhadap masyarakat (untuk mengantisipasi potensi radikalisme).
Namun meski begitu Undang-Undang mengenai terorisme belum mampu untuk
meredam paham radikalisme yang mengarah pada aksi terorisme selama ini
dikarenakan pendekatan yang kurang pada bagaimana mengejar pelaku (follow
the suspect) sehingga untuk dapat dijatuhi sesuai dengan Undang-Undang.
Jaringan yang begitu luas dan tertutup membuat jaringan mereka terjaga
dan juga tidak efektif untuk mencegah dan menindak para pelaku yang terlibat
dalam kegiatan terorisme. Karena mereka tidak hanya menyediakan para pelaku
yang siap secara sukarela meledakan diri, namun juga ada donatur yang
menyediakan dana sebagai pembiayaan pembelian bahan peledak, senjata,
penyewaan markas, atau pesembunyian dan biaya oprasional lainnya.
9
DAFTAR PUSTAKA
10