DI SUSUN OLEH:
KELOMPOK 2
KATA PENGANTAR.....................................................................................i
DAFTAR ISI…............................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LatarBelakang ...................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Kasus penyimpangan sila Ketuhanan Yang Maha Esa…………..
2.2 Radikalisme, terorisme, dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa……
2.3 Peran masyarakat mengatasi ancaman radikalisme dan terorisme..........5
DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat rahmat dan karunianya kami dapat menyelesaiakan makalah yang
berjudul “KETUHANAN YANG MAHA ESA” sesuai tepat pada waktunya.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
Ketuhanan Yang Maha Esa terdapat pada sila pertama yang mengandung nilai,
bahwa negara yang didirikan sebagai perwujudan tujuan manusia sebagai makhluk
Tuhan yang Maha Esa, sehingga segala hal yang berkaitan dengan pelaksanaan dan
penyelenggaraan negara bahkan moral negara, peraturan perundang-undangan dan
hak asasi warga negara harus di jiwai dengan nilai-nilai Ketuhanan.
Indonesia terdiri dari banyak suka, ras, agama dan budaya, tentu kita harus
menjunjung tinggi rasa persatuan dan hidup saling menghargai, tapi di jaman yang
serba digital ini segala hal mudah di akses dan salah satu dampak negatife dari hal
ini adalah menyebarnya berita hoaks yang memicu perselisihan apalagi jika
menyangkut masalah agama. Munculnya isu radikalisme menyebabkan aksi
terorisme tumbuh di Indonesia. Sikap radikalisme ini muncul karena minimnya
pemahaman agama, belajar agama secara dangkal memicu mereka melakukan
kekerasan, bahkan hal itu di anggap benar sesuai dengan atas nama agama dan
membawa nama tuhan.
PEMBAHASAN
Ada beberapa ciri yang bisa dikenali dari sikap dan paham radikal. 1) intoleran
(tidak mau menghargai pendapat &keyakinan orang lain), 2) fanatik (selalu
merasa benar sendiri; menganggap orang lain salah), 3) eksklusif (membedakan
diri dari umat Islam umumnya) dan 4) revolusioner (cenderung menggunakan
cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan). Sementara pengertian terorisme
berdasarkan pada Undang-Undang Republik Indonesia nomor 5 tahun 2018
tentang perubahan atas Undang-Undang nomor 15 tahun 2013 tentang penetapan
peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang nomor 1 tahun 2002 tentang
pemberantasan tindak pidana terorisme adalah perbuatan menggunakan kekeasan
atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana terror atau rasa takut secara
meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat masal, dana tau
menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis,
lingkungan hidup, fasilitas public, atau fasilitas internasional dengan motif
ideologi, politik atau gangguan keamanan.
Contoh dari terorisme yang mengatasnamakan agama ialah Bom Bali I yang
terjadi pada 12 Oktober tahun 2002. Sebenarnya anggapan tentang penyebab bom
ini dapat berbeda-beda. Menurut Ali Imron, pelaku bom Bali I tahun 2002, latar
utama pemboman di Bali tergabung dalam Darul Islam penerus dari Negara Islam
Indonesia (NII). Namun di tahun 2002 mereka berganti nama menjadi Jamaah
Islamiah (JI). Biasanya otak aksi teror di Indonesia memiliki 2 niatan. Yang
pertama ialah teroris ingin menegakkan agama Islam seutuhnya di Indonesia.
Kedua, ingin merealisasikan jihad (menurut pandangan Islam, jihad adalah
meninggal karena membela agama) dalam arti perang.Pendapat saya tentang
kejadian terorisme yang terjadi, yaitu dalam bahasan ini adalah tragedi bom Bali I,
adalah prihatin atas kejadian yang mengenaskan. Tindakan siapa saja yang
melakukan terorisme merupakan tindakan yang kejam dan tidak dibenarkan dalam
agama apapun.Menurut saya, akar persoalan dari terorisme sebenarnya sepele tapi
bila sudah tertanam kebencian dan dorongan dari pihak yang salah maka akan
menjadikan hal sepele itu menjadi api dalam sekam. Ditambah ketika tindakan
terorisme itu malah menjadi tujuan untuk melakukan "perbuatan yang mulia"
(sebenarnya suatu anggapan yang salah total karena tidak mungkin ada perbuatan
mulia yang dilakukan dengan penghilangan nyawa orang lain).Terorisme tidak
dapat benar-benar diberantas, namun dapat dilakukan tindakan preventif dan
represif terjadinya terorisme. Tindakan preventif dengan cara pemerintah
didukung oleh tokoh agama dan tokoh masyarakat tidak boleh terpengaruh paham
terorisme melainkan harus memberantas pola pikir terorisme, terutama pada
kalangan muda, dalam bidang pendidikan, hal itu dimulai dari lingkungan terdekat
yaitu keluarga, sekolah, dan lingkungan sekitar serta dengan cara memperkuat
pertahanan negara sehingga negara aman dari serangan terorisme. Tindakan
represif yang dapat dilakukan bila terorisme telah terjadi adalah dengan cara
negara bertanggungjawab pada rakyat dan memberi bantuan bagi rakyat yang
menjadi korban.
Peran Masyarakat Dalam Menghadapi Ancaman Radikalisme dan
Terorisme
Dalam konteks ini, maka orang tua harus dibekali pengetahuan dan pemahaman
yang baik tentang nasionalisme kebangsaan. Selama ini peran keluarga seakan
terlupakan oleh negara dalam mencermati persoalan-persoalan kebangsaan yang
muncul. Selain Itu, minimnya pemahaman tentang Pancasila dalam keluarga dan
sekolah juga menyebabkan nilai-nilai yang terkandung didalamnya mulai
terabaikan. Karena itu, Pancasila harus eksis kembali, dimana terminologi
kandungannya harus muncul lagi dalam keluarga dan sekolah. Dengan
memberikan pemahaman dan pengetahuan tentang nasionalisme dalam keluarga,
diharapkan perlahan-lahan bisa mencegah tumbuhnya radikalisme.
Sikap berketuhanan yang merupakan cermin sila pertama ini, secara langsung
berhubungan dengan sila kedua: kemanusiaan yang adil dan beradab. Pada fase
yang lebih luas, radikalisme merupakan cerminan lumpuhnya sila ketiga:
persatuan Indonesia. Bagaimana pun, kelompok radikal ini biasanya berada di
lingkungan pergaulan yang sempit & tertutup. Sehingga memiliki ilmu dan
pandangan yang terbatas. Daya permusyawaratan dan kepemimpinan yang buruk
di negeri ini pun jadi penyebab munculnya beragam aksi radikalisme dan
terorisme di Indonesia. Para teroris umumnya memiliki jaringan dengan ingatan
yang pedih. Terakhir, negara kurang mampu mewujudkan sila kelima: Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Umumnya, ketimpangan sosial ini
menghadirkan radikalisme di berbagai negara di belahan dunia. Kasus bom di
Norwegia pun, merupakan hasil dari ketimpangan sosial di negara tersebut.
Islam bukanlah teroris. Islam tidak pernah mengajarkan intoleran kepada umat
yang lain. Agama apapun tidak pernah mengajarkan tindakan teror. Ajaran agama
justru mendorong setiap manusia untuk berjalan sesuai dengan relnya. Jika
fondasi agamanya kuat, maka perilaku sehari-harinya akan memberikan berkah
bagi lingkungannya. Itulah kenapa sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi sila
pertama dalam Pancasila. Karena ajaran agama merupakan dasar dari segalanya.
Namun belajar dan memahami agama harus dilakukan pada orang yang tepat. Hal
ini penting, karena para kelompok intoleran dan pelaku teror, rata-rata salah dalam
menerapkan ajaran agama.
Sementara itu, Pancasila juga memberikan rambu-rambu bagi setiap warga negara
Indonesia, untuk tidak melakukan tindakan yang menyakiti orang lain. Ironisnya,
bagi kelompok radikal, Pancasila justru dimaknai sebagai bagian dari thogut atau
kafir. Bagaimana mungkin lima sila itu bagian dari kafir? Salahkah memeluk
agama berdasarkan keyakinannya masing-masing? Lalu memanusiakan manusia,
menjaga persatuan dan kesatuan apakah juga salah? Bagaimana dengan
musyawarah untuk mufakat? Lalu mendorong terciptanya keadilan bagi seluruh
rakyat. Apakah semuanya itu juga salah? Marilah gunakan logika kita. Jadilah
warga negara yang cerdas dan jangan mudah terprovokasi.
Pancasila tidak bertentangan dengan ajaran Islam atau ajaran agama lainnya.
Justru nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, sejalan dengan ajaran agama.
Sadarlah, bahwa kesimpangsiuran informasi ini sengaja dimunculkan, agar
masyarakat bimbang. Namun jika kita bisa berpikir obyektif, cek ricek setiap
mendapatkan informasi, pasti tidak akan mudah terbuai bujuk rayu kelompok
radikal dan teroris. Radikalisme dan terorisme merupakan ancaman bagi
Indonesia dan seluruh negara. Jika tidak saling menguatkan untuk melawan,
paham kekerasan ini akan terus menyusup di setiap sendi-sendi masyarakat.
Namun jika semua menjalankan periantah agama, dan tidak melukan budaya
lokal, paham kekerasan itu akan sulit masuk ke dalam lingkungan kita
MEMASUKI bulan Mei tahun 2018 ini, bangsa kita dikejutkan dengan
serangkaian tindak kekerasan. Seperti kekerasan di Mako Brimob Jakarta yang
memakan kurban jiwa. Teror bom berlanjut di tiga gereja di Surabaya yang
menimbulkan belasan kurban jiwa. Kemudian juga di Sidoarjo dan dilanjutkan
penggerebekan tempat-tempat yang diduga sarang teroris.
Tindakan terorisme tersebut sangat biadab dan tidak bisa ditolerir, baik dari
hukum agama maupun hukum negara. Perbuatan itu tidak sesuai karakteristik dan
kepribadian bangsa. Sehingga perlu dilakukan upaya pembudayaan Pancasila
untuk menangkalnya.
Keluarga Pancasila
Contoh pembudayaan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa dalam keluarga.
Sila pertama ini dipersepsi sebagai identitas kebangsaan yang memberikan
apresiasi terhadap toleransi atas perbedaan agama. Sehingga dalam kehidupan
sosial menghormati keluarga yang terdiri atas beragam agama.
Sadar Pancasila
Dengan berbagai upaya di atas, maka Pancasila akan menjadi penangkal yang
sangat ampuh terhadap radikalisme, terorisme. Juga tindak kekerasan di negara
Indonesia tercinta.
(Prof Dr Buchory MS MPd. Pengurus ICMI Orwil DIY dan Guru Besar
Program Pasca Sarjana Universitas PGRI Yogyakarta. Artikel ini dimuat Surat
Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Rabu 31 Mei 2018)
Teror yang berarti sebuah ancaman harus dihancurkan, karena berbahaya bagi
kehidupan umat manusia. Ideologi teroris itu terus yang justru membuat umat
manusia Indonesia semakin goyah. Teroris merupakan musuh bersama
kemanusiaan, karena tindakan mereka yang membuat orang lain tidak aman, tidak
nyaman, selalu diselimuti rasa ketakutan dan mengacaukan sistem sosial, dan
hukum yang sudah mapan dianut bangsa Indonesia.
Pancasila sebagai pilar bangsa Indonesia sejatinya harus mampu dipahami oleh
seluruh bangsa Indonesia dan umat Islam di Indonesia. Pancasila sebagai ideologi
bangsa Indonesia ini tentunya, diharapkan mampu menyelesaikan persoalan
terorisme di Indonesia. Pancasila adalah petunjuk, pandangan hidup masyarakat
Indonesia dalam bertindak dan berbuat dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Bung Karno secara tegas berkata: ” Apabila bangsa Indonesia ini melupakan
Pancasila, tidak melaksanakan dan bahkan mengamalkannya maka bangsa ini
akan hancur berkeping-keping”. Oleh karena itu, manusia Indonesia harus
mengimplementasikan seluruh nilai-nilai pancasila tersebut dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Pancasila jangan hanya di sebuah wacana saja dan manis di bibir saja, akan tetapi,
nilai-nilai pancasila perlu di ejawantahkan dalam setiap tindakan dan perbuatan
manusia Indonesia. Penanaman dan pemberian pemahaman pancasila menjadi
sangat signifikant saat untuk memerangi aksi terorisme, yang mana mereka telah
mengabaikan nilai-nilai pancasila.
Pelaku terorisme saat ini telah menyalahi nilai-nilai pancasila, terutama dalam
Dalam sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, dalam sila pertama, setiap warga
negara wajib berketuhanan Yang Maha Esa, sikap saling menghormati dan
bekerjasama antar umat beragama perlu diimplementasikan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, sebagai upaya menjalankan sila pertama dengan tujuan
untuk menghindari praktik aksi terorisme dan kekerasan atas nama agama dengan
tujuan menciptakan kerukunan antar umat manusia.
Sila kedua, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Sila kedua ini menekankan
bahwa setiap warga negara harus selalu menghargai harkat dan martabat orang
lain, tidak boleh berbuat tercela menghina atau bahkan melakukan ancaman atau
teror. Harkat dan martabat manusia harus dijunjung dengan cara yang adil dan
beradab. Pengakuan atas harkat dan martabat kemanusiaan yakni kedudukan dan
derajat yang sama. Saling mencintai sesama manusia.
Sila ketiga, upaya merajut rasa kebangsaan dan cara mengatasi persoalan
terorisme harus dipererat kembali dengan mengimplementasikan sila ketiga atas
pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga aksi terorisme
dapat diatasi dengan menggunakan pemahaman atas sila ketiga, yakni
mengedepankan rasa kebangsaan bersama untuk persatuan dan kesatuan di antara
warga negara Indonesia.
Sejak awal Reformasi 1998 sampai kira-kira beberapa tahun lalu kita jarang
mendengar antusiasme publik dalam memperbincangkan Pancasila. Kita baru
membicarakan Pancasila dengan serius kembali di saat situasi kebangsaan kita
mengkhawatirkan belakangan ini.
Mengapa kita tiba-tiba berteriak kembali dengan lantang tentang Pancasila? Apa
benar Pancasila idle alias terlelap di saat kita tidak membicarakannya dalam
wacana publik?
Beberapa temuan dalam riset disertasi tersebut kiranya relevan untuk membantu
kita membicarakan ulang Pancasila di tengah gelombang radikalisme agama.
Radikalisme Agama
Pada hari pertama bulan suci Ramadhan lalu kita dihentakkan oleh ledakan bom
bunuh diri di Kampung Melayu, Jakarta, yang kesekian kalinya telah memakan
korban jiwa dan luka-luka di negeri ini. Dari perbatasan Filipina, Marawi, aksi
kekerasan yang melibatkan jaringan militan ISIS membuat ancaman terorisme
juga semakin mencolok.
Dengan perspektif apa pun kita membaca peristiwa itu, radikalisme atau terorisme
telah sangat mengkhawatirkan. Kekhawatiran tidak hanya menyangkut aksi
pemboman. Dalam skala yang lebih ringan intoleransi dan renggangnya
kohesivitas sosial akibat ujaran kebencian yang semakin marak belakangan ini
juga sangat memprihatinkan.
Dalam disertasi saya di atas, gejala intoleransi itu dengan halus sebenarnya sudah
masuk ke relung hubungan sosial keagamaan kita sejak lama. Meskipun pada satu
sisi relasi sosial di masyarakat masih kokoh, gejala fanatisme agama dan
ekslusivisme yang berlebihan telah secara perlahan-lahan menggerogoti
kohesivitas sosial di akar rumput. Dalam konteks masyarakat Muslim dan Kristen
di Jawa, gejala itu ditandai antara lain oleh beberapa fenomena.
Pertama, Islam atau Kristen yang semula berorientasi lokal mulai bergeser
arahnya ke orientasi yang lebih transnasional. Islam tidak lagi berorientasi Jawa,
tapi berorientasi ke Arab atau Timur Tengah. Sedangkan Kristen juga tidak lagi
njawani, tapi lebih berorientasi ke Korea atau Amerika.
Akibatnya, agama terasa bukan lagi sebagai entitas yang adem, dingin,
sebagaimana karakter budaya lokal yang menjadi titik temu perbedaan. Relasi
keagamaan, bukan hanya antar-agama, tapi juga intra-agama, terasa lebih panas
dan menegangkan. Dalam situasi seperti itu identitas agama kemudian lebih
menjadi pemisah, bukan penyambung, relasi sosial.
Ketiga, radikalisme agama menjauhkan umat beragama pada tanah air. Bagi
kelompok Islam radikal, menghormati simbol-simbol kenegaraan atau
nasionalisme merupakan tindakan yang haram. Di sisi lain, bagi kelompok Kristen
fundamentalis, berjuang memperbaiki Indonesia bukanlah menjadi tanggung
jawab mereka dan karena itu kemudian cenderung menutup diri berinteraksi
dengan yang lain.
Apabila situasi ini tidak disadari dan dipulihkan segera, bisa saja mungkin kita
terlambat dan terkejut atas bangkrutnya rasa nasionalisme yang penting bagi
upaya menjaga keutuhan bangsa. Sampai di sini, ancaman segregasi sosial di akar
rumput sebenarnya juga sudah cukup serius terjadi.
Setelah dalam waktu lama Pancasila dimanipulasi oleh tafsir rezim Orde Baru
untuk menyokong kekuasaan politiknya, pemerintah maupun masyarakat pada
lima belas tahun awal era Reformasi seperti kapok atau enggan berbicara
Pancasila.
Baru kemudian setelah gerakan politik Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) semakin
menguat belakangan ini, kita berteriak keras tentang pentingnya memperkuat
Pancasila. Pancasila dianggap menjadi ideologi mujarab penangkal ideologi
politik transnasional seperti yang dikumandankan HTI.
Seorang warga menyebutkan, “Saya dari keluarga Pancasila, keluarga saya terdiri
dari beragam agama dan hidup rukun.” Apa makna keluarga Pancasila di situ?
Sementara Pancasila adalah dasar atau ideologi negara yang sebenarnya tidak ada
sangkut-pautnya dengan kategori keluarga.
Pernyataan itu memiliki makna diskursif yang sangat mendalam. Pertama, narasi
“keluarga Pancasila” merepresentasikan bekerjanya ideologi Pancasila dalam
identitas keluarga. Secara sosiologis, keluarga adalah institusi sosial terkecil
masyarakat. Pancasila, terutama keberadaan sila 1 “Ketuhanan Yang Maha Esa”,
dipersepsi sebagai identitas kebangsaan yang mengapresiasi perbedaan agama.
Karena itu, dia mengidentifikasi keluarganya yang terdiri dari beragam agama
sebagai keluarga Pancasila.
Kedua, pernyataan di atas menunjukkan perbedaan tidak saja diterima, tapi
mereka juga hidup rukun dalam perbedaan itu. Jadi, Pancasila ditafsirkan bukan
saja urusan pengakuan terhadap perbedaan, namun juga sekaligus bagaimana
hidup rukun dalam perbedaan tersebut.
Tentu tidak semua dari kita memiliki keluarga dengan latar belakang agama yang
berbeda, tetapi pelajaran yang bisa kita petik dari ujaran tersebut adalah
bagaimana kita sesama anak bangsa dapat menumbuhkan perasaan sebagai bagian
dari keluarga besar Pancasila. Dalam istilah lain, bagaimana menjadikan
Indonesia sebagai rumah bersama.
Meskipun mungkin kita tidak suka dengan politisasi Pancasila di era Orde Baru,
kuatnya doktrin Pancasila pada saat itu membuat efek retorik yang sangat
mendalam di kalangan sebagian warga.
Ketika tim sepak bola PSSI berlaga, tidak kurang dari seratus ribu warga yang
didominasi kaum muda menyanyikan lagu kebangsaan dan yel-yel “Garuda di
Dadaku” dengan sangat antusias. Di bioskop, puluhan film bertemakan Pancasila,
nasionalisme, dan kepahlawanan dibuat oleh anak bangsa, ambil contoh
diantaranya Garuda di Dadaku, Trilogi Merdeka, Tanah Air Beta, dan seterusnya.
Kiranya tidak berlebihan kalau tantangan kebangsaan yang kita hadapi belakangan
ini menuntut kita segera menemukan rumusan penguatan Pancasila yang
kontekstual bagi tantangan kekinian kita, sebelum terlambat.
Contoh dari terorisme yang mengatasnamakan agama ialah Bom Bali I yang
terjadi pada 12 Oktober tahun 2002. Sebenarnya anggapan tentang penyebab bom
ini dapat berbeda-beda. Menurut Ali Imron, pelaku bom Bali I tahun 2002, latar
utama pemboman di Bali tergabung dalam Darul Islam penerus dari Negara Islam
Indonesia (NII). Namun di tahun 2002 mereka berganti nama menjadi Jamaah
Islamiah (JI). Biasanya otak aksi teror di Indonesia memiliki 2 niatan. Yang
pertama ialah teroris ingin menegakkan agama Islam seutuhnya di Indonesia.
Kedua, ingin merealisasikan jihad (menurut pandangan Islam, jihad adalah
meninggal karena membela agama) dalam arti perang.
Pendapat saya tentang kejadian terorisme yang terjadi, yaitu dalam bahasan ini
adalah tragedi bom Bali I, adalah prihatin atas kejadian yang mengenaskan.
Tindakan siapa saja yang melakukan terorisme merupakan tindakan yang kejam
dan tidak dibenarkan dalam agama apapun.
Menurut saya, akar persoalan dari terorisme sebenarnya sepele tapi bila sudah
tertanam kebencian dan dorongan dari pihak yang salah maka akan menjadikan
hal sepele itu menjadi api dalam sekam. Ditambah ketika tindakan terorisme itu
malah menjadi tujuan untuk melakukan "perbuatan yang mulia" (sebenarnya suatu
anggapan yang salah total karena tidak mungkin ada perbuatan mulia yang
dilakukan dengan penghilangan nyawa orang lain).
Sila pertama
Ada beberapa ciri yang bisa dikenali dari sikap dan paham radikal. 1) intoleran
(tidak mau menghargai pendapat &keyakinan orang lain), 2) fanatik (selalu
merasa benar sendiri; menganggap orang lain salah), 3) eksklusif (membedakan
diri dari umat Islam umumnya) dan 4) revolusioner (cenderung menggunakan
cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan). Sementara pengertian terorisme
berdasarkan pada Undang-Undang Republik Indonesia nomor 5 tahun 2018
tentang perubahan atas Undang-Undang nomor 15 tahun 2013 tentang penetapan
peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang nomor 1 tahun 2002 tentang
pemberantasan tindak pidana terorisme adalah perbuatan menggunakan kekeasan
atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana terror atau rasa takut secara
meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat masal, dana tau
menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis,
lingkungan hidup, fasilitas public, atau fasilitas internasional dengan motif
ideologi, politik atau gangguan keamanan.
Alasan seseorang mejadi radikal yaitu biasanya karena kepentingan personal dan
ideology finansial, kelompok radikal menyebarluaskan dengan menebar janji-janji
kebutuhan finansial yang akan mencukupi seseoang dan juga propaganda politik
yang menarik untuk seseorang. Tidak hanya itu faktor-faktor penyebab paham
radikalisme bisa menyerang seseorang diakrenakan beberapa faktor, diantaranya :
1.Faktor Pemikiran Radikalisme dapat berkembang karena adanya pemikiran
bahwa segala sesuatunya harus dikembalikan ke agama walaupun dengan cara
yang kaku dan menggunakan kekerasan.
5.Faktor Psikologis Peristiwa pahit dalam hidup seseorang juga dapat menjadi
faktor penyebab radikalisme. Masalah ekonomi, masalah keluarga, masalah
percintaan, rasa benci dan dendam, semua ini berpotensi membuat seseorang
menjadi radikalis.
6.Faktor pendidikan Pendidikan yang salah merupakan faktor penyebab
munculnya radikalis di berbagai tempat, khususnya pendidikan agama. Tenaga
pendidik yang memberikan ajaran dengan cara yang salah dapat menimbulkan
radikalisme di dalam diri seseorang.
Paham radikalisme dan terorisme merupakan sesuatu yang dapat merugikan bagi
seseorang, bangsa maupun negara terutama di Indonesia. Untuk itu perlu adanya
strategi agar seseorang tidak mudah terkena paham radikalisme dan terorisme agar
tercegah dari paham-paham yang dapat menyesatkan seseorang, diantaranya
adalah:
Hal pertama yang dapat dilakukan untuk mencegah paham radikalisme dan tindak
terorisme ialah memperkenalkan ilmu pengetahuan dengan baik dan benar.
Pengenalan tentang ilmu pengetahuan ini harusnya sangat ditekankan kepada
siapapun, terutama kepada para generasi muda. Hal ini disebabkan pemikiran para
generasi muda yang masih mengembara karena rasa keingintahuannya, apalagi
terkait suatu hal yang baru seperti sebuah pemahaman terhadap suatu masalah dan
dampak pengaruh globalisasi.
Dalam hal ini, memperkenalkan ilmu pengetahuan bukan hanya sebatas ilmu
umum saja, tetapi juga ilmu agama yang merupakan pondasi penting terkait
perilaku, sikap, dan juga keyakinannya kepada Tuhan. Kedua ilmu ini harus
diperkenalkan secara baik dan benar, dalam artian haruslah seimbang antara ilmu
umum dan ilmu agama. Sedemikian sehingga dapat tercipta kerangka pemikiran
yang seimbang dalam diri.
Hal kedua yang dapat dilakukan untuk mencegah pemahaman radikalisme dan
tindak terorisme ialah memahamkan ilmu pengetahuan dengan baik dan benar.
Setelah memperkenalkan ilmu pengetahuan dilakukan dengan baik dan benar,
langkah berikutnya ialah tentang bagaimana cara untuk memahamkan ilmu
pengetahuan tersebut. Karena tentunya tidak hanya sebatas mengenal, pemahaman
terhadap yang dikenal juga diperlukan. Sedemikian sehingga apabila pemahaman
akan ilmu pengetahuan, baik ilmu umum dan ilmu agama sudah tercapai, maka
kekokohan pemikiran yang dimiliki akan semakin kuat. Dengan demikian, maka
tidak akan mudah goyah dan terpengaruh terhadap pemahaman radikalisme
sekaligus tindakan terorisme dan tidak menjadi penyebab lunturnya bhinneka
tunggal ika sebagai semboyan Indonesia.
Menjaga persatuan dan kesatuan juga bisa dilakukan sebagai upaya untuk
mencegah pemahaman radikalisme dan tindakan terorisme di kalangan
masyarakat, terbelih di tingkat Negara. Sebagaimana kita sadari bahwa dalam
sebuah masyarakat pasti terdapat keberagaman atau kemajemukan, terlebih dalam
sebuah Negara yang merupakan gabungan dari berbagai masyarakat. Oleh karena
itu, menjaga persatuan dan kesatuan dengan adanya kemajemukan tersebut sangat
perlu dilakukan untuk mencegah masalah radikalisme dan terorisme. Salah satu
yang bisa dilakukan dalam kasus Indonesia ialah memahami dan penjalankan
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, sebagaimana semboyan yang tertera
di sana ialah Bhinneka Tunggal Ika.
mungkin secara khusus dilakukan untuk mencegah tindakan terorisme agar tidak
terjadi. Kalau pun sudah terjadi, maka aksi ini dilakukan sebagai usaha agar
tindakan tersebut tidak semakin meluas dan dapat dihentikan. Namun apabila kita
tinjau lebih dalam bahwa munculnya tindakan terorisme dapat berawal dari
muncul pemahaman radikalisme yang sifatnya baru, berbeda, dan cenderung
menyimpang sehingga menimbulkan pertentangan dan konflik. Oleh karena itu,
salah satu cara untuk mencegah agar hal tersebut (pemahaman radikalisme dan
tindakan terorisme) tidak terjadi ialah dengan cara memberikan dukungan
terhadap aksi perdamaian yang dilakukan, baik oleh Negara (pemerintah),
organisasi/ormas maupun perseorangan.
Peranan yang dilakukan di sini ialah ditekankan pada aksi melaporkan kepada
pihak-pihak yang memiliki kewenangan apabila muncul pemahaman radikalisme
dan tindakan terorisme, entah itu kecil maupun besar. Contohnya apabila muncul
pemahaman baru tentang keagamaan di masyarakat yang menimbulkan keresahan,
maka hal pertama yang bisa dilakukan agar pemahaman radikalisme tindak
berkembang hingga menyebabkan tindakan terorisme yang berbau kekerasan dan
konflik ialah melaporkan atau berkonsultasi kepada tokoh agama dan tokok
masyarakat yang ada di lingkungan tersebut. Dengan demikian, pihak tokoh-tokoh
dalam mengambil tindakan pencegahan awal, seperti melakukan diskusi tentang
pemahaman baru yang muncul di masyarakat tersebut dengan pihak yang
bersangkutan.
7.Meningkatkan pemahaman akan hidup kebersamaan
Menyaring informasi yang didapatkan juga merupakan salah satu cara yang dapat
dilakukan untuk mencegah pemahaman radikalisme dan tindakan terorisme. Hal
ini dikarenakan informasi yang didapatkan tidak selamanya benar dan harus
diikuti, terlebih dengan adanya kemajuan teknologi seperti sekarang ini, di mana
informasi bisa datang dari mana saja. Sehingga penyaringan terhadap informasi
tersebut harus dilakukan agar tidak menimbulkan kesalahpahaman, di mana
informasi yang benar menjadi tidak benar dan informasi yang tidak benar menjadi
benar. Oleh karena itu, kita harus bisa menyaring informasi yang didapat sehingga
tidak sembarangan membenarkan, menyalahkan, dan terpengaruh untuk langsung
mengikuti informasi tersebut.
PENYEBAB TERORISME
1. Kesukuan, nasionalisme/separatisme
(Etnicity, nationalism/separatism)
Tindak teror ini terjadi di daerah yang dilanda konflik antar etnis/suku atau pada
suatu bangsa yang ingin memerdekan diri. Menebar teror akhirnya digunakan pula
sebagai satu cara untuk mencapai tujuan atau alat perjuangan. Sasarannya jelas,
yaitu etnis atau bangsa lain yang sedang diperangi.Bom-bom yang dipasang di
keramaian atau tempat umum lain menjadi contoh paling sering. Aksi teror
semacam ini bersifat acak, korban yang jatuh pun bisa siapa saja.
3. Non demokrasi
(non)democracy)
Negara non demokrasi juga disinyalir sebagai tempat tumbuh suburnya terorisme.
Di negara demokratis, semua warga negara memiliki kesempatan untuk
menyalurkan semua pandangan politiknya. Iklim demokratis menjadikan rakyat
sebagai representasi kekuasaan tertinggi dalam pengaturan negara. Artinya, rakyat
merasa dilibatkan dalam pengelolaan negara.Hal serupa tentu tidak terjadi di
negara non demokratis. Selain tidak memberikan kesempatan partisipasi
masyarakat, penguasa non demokratis sangat mungkin juga melakukan tindakan
represif terhadap rakyatnya. Keterkungkungan ini menjadi kultur subur bagi
tumbuhnya benih-benih terorisme.
5. Radikalisme agama
(Religion)
Butir ini nampaknya tidak asing lagi. Peristiwa teror yang terjadi di Indonesia
banyak terhubung dengan sebab ini. Radikalisme agama menjadi penyebab unik
karena motif yang mendasari kadang bersifat tidak nyata. Beda dengan
kemiskinan atau perlakuan diskriminatif yang mudah diamati. Radikalisme agama
sebagian ditumbuhkan oleh cara pandang dunia para penganutnya. Menganggap
bahwa dunia ini sedang dikuasi kekuatan hitam, dan sebagai utusan Tuhan mereka
merasa terpanggil untuk membebaskan dunia dari cengkeraman tangan-tangan
jahat.
Kronologi Bom
Berdasarkan rekaman, ledakan terjadi saat suatu yang ditumpangi oleh 2 orang
kakak beradik memasuki kompleks gereja dan nyaris menabrak seorang jemaat
sebelum akhirnya meledak persis di antara para jemaat yang sedang berjalan kaki.
GKI Diponegoro
Sedikitnya 11 orang tewas dan 41 korban luka-luka saat rangkaian bom bunuh diri
terjadi di tiga gereja di Jawa Timur. Kabid Humas Polda Jawa Timur, Kombes Pol
Frans Barung Mangera, mengatakan serangan itu terjadi dalam waktu hampir
bersamaan, antara pukul 06.00 hingga 08.00 WIB, Minggu (13/5).
Berikut kronologi kejadian yang dihimpun tim merdeka.com dari keterangan kean
dan sejumlah saksi:
Serangan bom pertama terjadi di Gereja Santa Maria Tak Bercela di Jalan Ngagel
Madya, Kecamatan Gubeng.
Sejumlah saksi menyebut serangan terjadi saat pergantian jemaat misa. Ledakan
keras terdengar hingga radius 100 meter.
07.15 WIB
Serangan bom kedua terjadi di Gereja Kristen Indonesia Jalan Raya Diponegoro
Sejumlah saksi sempat melihat wanita bercadar membawa dua balita memasuki
halaman gereja. Ibu dan dua anaknya yang berupaya masuk ke ruang kebaktian ini
sempat dihalau oleh seorang sekuriti di pintu masuk GKI Jalan Diponegoro
Surabaya, sebelum kemudian ketiganya meledakkan diri di halaman gereja.
07.53 WIB
Saksi mata menuturkan ledakan terjadi dari tempat parkir kendaraan. Diduga
serangan bom mobil. Api langsung membumbung tinggi di lokasi kejadian.
08.00 WIB
Foto dan video bom di Surabaya beredar viral di masyarakat seluruh Indonesia.
Polda Jatim mengkonfirmasi serangan bom terjadi di tiga tempat. telah bergerak
ke titik-titik serangan.
09.00 WIB
Kabid Humas Polda Jatim Kombes Pol Frans Barung Mangera menyebut dua
polisi yang berjaga di Gereja Santa Maria Tak Bercela ikut menjadi korban. Data
awal yang diterimanya, serangan di gereja tersebut membuat dua orang tewas
sementara belasan lain luka.
10.00 WIB
Polisi merilis data awal korban tewas rangkaian bom di gereja Surabaya
berjumlah empat orang. Sementara korban luka 33 orang. Para korban sudah
dibawa ke RSUD dr Sutomo.
10.20 WIB
Tim Gegana yang melakukan penyisiran menemukan sebuah bom yang belum
meledak dalam sebuah mobil di Gereja Pantekosta. Mereka kemudian
melumpuhkan bom itu dengan cara meledakannya.
10.30-11.00 WIB
Polda Jatim memperbarui informasi bahwa korban meninggal dunia dari peristiwa
ledakan bom di Surabaya ini telah mencapai 8 orang. Sementara korban luka telah
mencapai 38 orang.
Wakapolrestabes Surabaya AKBP Benny Pramono mengkonfirmasi, pelaku bom
bunuh diri di Gereja Kristen Indonesia (GKI) Jalan Diponegeroro membawa 2
balita. Seorang ibu bercadar itu menggandeng dua orang balita. Ketiganya tewas
seketika.
13.40 WIB
Kapolri Jenderal Tito Karnavian tiba di Gereja Santa Maria, Surabaya. Gereja
tersebut merupakan satu dari tiga gereja yang diserang kelompok teroris, pagi
tadi. Selain Kapolri, Wali Kota Tri Rismaharini tampak sudah tiba di lokasi.
14.30 WIB
Presiden Joko Widodo tiba di Surabaya untuk mengunjungi korban ledakan bom
di tiga gereja di Surabaya pada Minggu.
14.40 WIB
Kabid Humas Polda Jatim Kombes Frans Barung Mangera menyampaikan kabar
terbaru terkait korban peristiwa bom gereja di Surabaya. Dia mengatakan, jumlah
korban meninggal dunia bertambah. Korban tewas menjadi 11 orang sementara 41
orang luka-luka.
Liputan6.com, Jakarta - bom bunuh diri meledak di tiga gereja Surabaya pada
Minggu, 13 Mei pagi. Hingga Senin (14/5/2018) pagi, total korban tewas 14
orang. Enam di antaranya pelaku bom bunuh diri.
Pukul 06.30 WIB, pertama kali meledak di Gereja Katolik Santa Maria Tak
Bercela di Jalan Ngagel. Di sini, pelaku dua orang menggunakan sepeda motor.
Bom dipangku di atas motor.
Ledakan selanjutnya pukul 07.15 WIB, terjadi di Gereja Kristen Indonesia, Jalan
Diponegoro. Pelaku seorang wanita bersama dua anak perempuannya. Bom
dibawa dengan dililitkan di perut.
Namun, ketiga lokasi ledakan ini rupanya dilakukan oleh enam orang yang masih
satu keluarga. Terdiri dari ayah, ibu dan empat orang anaknya. Mereka adalah
Dita Supriyanto (ayah), Puji Kuswati (ibu) dan anak-anaknya, yakni Fadila Sari
(12), Pamela Riskika (9), Yusuf Fadil (18) dan Firman Halim (16).
Paham radikal di keluarga Dita tampaknya sudah sangat kental. Bukan tanpa
alasan, keluarga ini juga diketahui baru saja pulang dari Suriah, markas ISIS.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian menegaskan, ada sekitar 1.100 WNI yang pergi
ke Suriah, dan 500 sudah kembali. Sisanya ada yang tewas dan masih menetap di
sana.
"Yang kembali dari Suriah 500, termasuk di antaranya keluarga ini," kata Kapolri
Jenderal Tito dalam konferensi pers di RS Bhayangkara Surabaya, Minggu (13/5).
Puji Kuswati berjalan bersama dua anaknya, Fadila dan Pamela, masuk ke GKI
Jalan Diponegoro setelah diturunkan oleh sang ayah. Sempat dihalangi satpam
gereja, akhirnya bom meledak.
Parahnya, Puji yang saat itu memakai cadar tak hanya melilitkan bom di dalam
perutnya, tapi juga kepada dua anak perempuannya. Tito mengungkapkan, jenis
bom ini membuat bagian perut terduga pelaku tidak utuh.
"Sementara bagian atas tubuh dan bagian kaki relatif masih utuh," katanya di RS
Bhayangkara Polda Jatim, Minggu (13/5) sore.
Pelaku utama di tiga gereja Kota Surabaya adalah sang kepala keluarga, Dita
Supriyanto. Bahkan, boleh dibilang jabatan Dita di jaringan radikal itu tak
sembarangan.
Dia adalah Ketua Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Surabaya. Hal ini diungkap
oleh Kapolri Tito Karnavian.
Pimpinan JAD dan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) di Indonesia adalah Aman
Abdurahman yang saat ini ditahan di Mako Brimob Kelapa Dua Depok, Jawa
Barat.
"Peledakan gereja di Surabaya diduga dipimpin oleh Dita Supriyanto, Ketua JAD
Surabaya, yang meledakkan bom di Gereja Pusat Pantekosta Surabaya di Jalan
Arjuno," kata Tito.
Polisi menemukan empat bom aktif di rumah Dita Supriyanto. Bom ditemukan
ketika polisi melakukan penggeledahan di kediaman Dita, Kompleks Perumahan
Jalan Wonorejo Asri XI, Kecamatan Rungkut, Surabaya.
"Empat bom ini ditemukan di tempat berbeda, dan juga bahan bom yang belum
dirakit ini semuanya diledakkan oleh tim gegana," kata Rudi Setiawan kepada
wartawan, Minggu (13/5).
Biasanya, pelaku teror tinggal di sebuah rumah kontrakan, tapi tidak untuk teror
yang terjadi di tiga gereja Kota Surabaya.
Dita dan keluarganya tinggal di Kompleks Perumahan Jalan Wonorejo Asri XI,
Kecamatan Rungkut, yang tergolong menengah ke atas. Rumah di perumahan ini
rata-rata dijual seharga Rp 1 miliar lebih.
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini bahkan ikut kaget. Dari kasus-kasus
terorisme sebelumnya, biasanya para terduga teroris berasal dari kalangan
menengah ke bawah.
Untuk profesi, Dita diketahui seorang pengusaha. Menurut tetangga, Dita kerap
menjual berbagai jenis minyak, seperti wijen dan kemiri.
Din menegaskan serangan bom atas tiga gereja itu merupakan tindakan biadab
dan tidak dapat dibiarkan, dan karenanya meminta meminta aparat keamanan
untuk mengusut secara tuntas, terutama menyingkap aktor intelektual.
Din mensinyalir serangan bom tersebut bukan sekadar tindakan terorisme, tapi
barangkali ada motif-motif lain ikut menyertai.
"Ada skenario ingin mengadu domba antar umat beragama, khususnya umat
Nasrani dan umat Islam," ujarnya.
Oleh karena itu, Din Syamsudin mengimbau seluruh umat beragama, terutama
kaum muslim dan umat Kristen, untuk menahan diri. Din juga menyampaikan
belasungkawa atas keluarga korban meninggal dan cedera.
Pohon-pohon yang terbakar di luar satu dari tiga gereja yang diserang bom bunuh
diri di Surabaya, Indonesia, 14 Mei 2018.
Ketiga serangan ini terjadi dalam rentang waktu lima menit. Dita menyopiri
Toyota Avanza berisi bom bersama istrinya, Puji, dan 2 anaknya yaitu FS dan P.
Dita menurunkan Puji, FS, dan P di GKI Diponegoro, kemudian berlanjut
membawa mobil itu ke Gereja Pantekosta. Sedangkan, YF dan FH berboncengan
motor ke Gereja Santa Maria Tak Bercela.
Kecaman keras juga disampaikan oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban
Tindak Kekerasan (Kontras) atas serangan bom terjadi di Gereja Santa Maria Tak
Bercela, Gereja Kristen Indonesia (GKI), dan Gereja Pantekosta.
Serangan bom ini terjadi beberapa hari setelah kerusuhan di Markas Komando
Brimob dilakukan oleh para tahanan teroris, mengakibatkan enam orang tewas,
termasuk lima polisi.
Peristiwa terorisme paling parah dalam sejarah Indonesia terjadi pada tanggal 12
Oktober 2002 dan merupakan suatu tragedi kemanusiaan besar di Pulau Bali.
Hampir 17 tahun lalu terjadi tiga rangkaian ledakan bom pada malam hari yang
meluluh lantahkan area di jantung pariwisata Indonesia tersebut mencatat adanya
dua ledakan pertama terjadi di Paddy’s Club dan Sari Club di Jalan Legian, Kuta,
Bali. Ledakan terakhir terjadi di kantor Konsulat Amerika Serikat yang jaraknya
cukup jauh. Peristiwa itu menyebabkan 202 korban jiwa dan 209 korban luka atau
cedera, kebanyakan korban adalah wisatawan asing yang sedang mengunjungi
kedua klub populer tersebut.
Dua bom meledak dalam waktu yang hampir bersamaan yaitu pada pukul 23.05
WITA di Paddy’s Club dan Sari Club. Kurang lebih 10 menit kemudian, ledakan
yang mengguncang Bali kembali terjadi. Ledakan tersebut terjadi di Renon, dekat
kantor Konsulat Amerika Serikat, namun tidak ada korban jiwa dalam ledakan ini.
Bom yang meledak di diskotek Paddy’s disimpan dalam tas punggung dan
merupakan bom bunuh diri. Bom kedua disimpan di dalam mobil Mitsubishi Colt
L300 yang diparkir di depan Sari Club, meledak beberapa belas detik kemudian
dengan pemicu jarak jauh. Ledakan di depan Sari Club meninggalkan sisa berupa
lubang sedalam 3 kaki.
1. Latar belakang peristiwa bom di bali yang dilakukan oleh teroris menggunakan bom
bunuh diri adalah untuk memberikan efek yang lebih menyeramkan kepada
masyarakat. Dengan bom bunuh diri diharapkan masyarakat lebih merasakan efek
ketakutan yang seharusnya sesuai dengan tujuan peledakan bom tersebut. Latar
belakang peristiwa bom bali berawal dari beberapa kejadian sebelumnya.
2. Bali dipilih sebagai lokasi bom karena Bali adalah simbol yang banyak dikenal oleh
masyarakat internasional. Dengan memilih Bali sebagai lokasi pengeboman,
diharapkan efek yang diinginkan akan lebih mendunia daripada jika bom diledakkan
di lokasi lainnya. Banyak orang asing yang berada di Bali sehingga sasaran para
teroris ditujukan kepada orang – orang asing tersebut terutama orang Amerika.
3. Latar belakang peristiwa bom bali pertama juga berasal dari peristiwa di Poso dan
Ambon. Bom bali adalah balas dendam para teroris karena dalam kedua peristiwa
tersebut banyak umat muslim terbunuh akibat konflik yang terjadi. Selain itu, bom
bali dilakukan untuk membela rakyat dalam sejarah perang afganistan atas
penindasan yang dilakukan Amerika Serikat karena para teroris menganggap
penyebab perang afganistan telah sangat menindas rakyat disana.
4. Latar belakang peristiwa bom bali terjadi juga karena para teroris menganggap
bahwa Bali adalah pusat maksiat dan lokasi yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Para teroris secara umum memang menargetkan lokasi – lokasi yang dianggapnya
menjadi pusat kemaksiatan. Walaupun mungkin memang benar banyak terjadi
kegiatan maksiat di satu tempat, tapi cara pengeboman tetap tidak dapat
dibenarkan karena memakan banyak korban yang tidak bersalah.
5. Teroris memiliki paham radikal untuk menciptakan negara yang sesuai dengan yang
mereka inginkan. Ketika ada kondisi yang menyimpang dari tujuan tersebut maka
mereka tidak akan segan untuk menggunakan kekerasan demi mencapai tujuannya
termasuk mengorbankan banyak orang dengan bom. Mereka juga menggunakan
istilah jihad sebagai pembenaran akan aksi – aksi kekerasan tersebut dan
menghalalkan jatuhnya korban untuk tercapainya kebaikan yang lebih besar.
Ketahui juga mengenai.
Para pelaku pengeboman di Bali bergabung dalam Darul Islam (DI) suatu
organisasi penerus Negara Islam Indonesia (NII). Pada tahun 2002, DI
memisahkan diri dan mengganti namanya menjadi Jamaah Islamiyah (JI), namun
mereka tetap meneruskan tujuan dari NII.Menurut Ali Imron, salah satu terpidana
seumur hidup kasus bom bali I, rencananya bom akan diledakkan pada tanggal 11
September 2002 persis setahun setelah peristiwa WTC di Amerika Serikat. Pada
saat perencanaan latar belakang peristiwa bom di bali di Solo tahun 2002, Imam
Samudera menginginkan bom bali menjadi peringatan akan peristiwa WTC
tersebut. Namun Amrozi dan Dulmatin memprotesnya karena tidak sanggup
melakukan aksi dalam waktu satu bulan saja. Rapat persiapan di Jawa Barat
dipimpin oleh Mukhlas dan Imam Samudra selama bulan Agustus dan September.
Latar belakang peristiwa bom bali berawal dari Ali Ghufron / Mukhlas yang pergi
ke Afghanistan selama enam tahun sejak tahun 1984 – 1990. Sepulangnya dari
sana, ia mengajak Amrozi saudaranya untuk melakukan aksi teror di Bali tersebut.
Ali Imron, adik Amrozi juga diajak ke Solo untuk merencanakan aksi tersebut.
Ada tiga bom yang akan diledakkan sesuai dengan rencana awal. Pertama adalah
bom mobil yang dirakit dan berbobot mencapai satu ton, lalu bom motor seberat
50 kilogram dan bom rompi. Imam Samudera diangkat sebagai pemimpin
lapangan.
Ali Imron dan yang lainnya berangkat ke Denpasar, Bali pada 8 September 2002
untuk mencari lokasi peledakan bom. Kawasan Kuta disurvei untuk mencari
lokasi mana yang paling banyak dikunjungi oleh turis asing, dan Sari Club dipilih
sebagai lokasi pertama dengan persetujuan Imam Samudera. Bahan peledak
dikirim dari Jawa menuju Denpasar pada tanggal 8 – 16 September 2002 sehingga
terkumpul satu ton lebih. Bom mulai diracik pada taggal 17 – 20 September 2002.
Ali Imron membeli mobil dari rekannya di Lamongan dan mobil tersebut dibawa
ke Bali untuk diisi bom.
Amrozi bin Nurhasyim sebagai salah satu tersangka kunci ditangkap pada 5
November 2002 di rumahnya di Desa Tenggulun, Lamongan, Jawa Timur. Begitu
pula dengan 10 orang lainnya yang diduga juga terlibat ditangkap di sejumlah
lokasi berbeda di Pulau Jawa. Pada tanggal 10 Novemner 2002 lima orang tim inti
pengeboman akhirnya dibeberkan oleh Amrozi. Mereka adalah Ali Imron (adik
Amrozi), Ali Fauzi (saudara Amrozi lain ibu), Qomaruddin yang menjadi
eksekutor di Sari Club dan Paddy’s. M. Gufron, kakak Amrozi dan Mubarok
membantu menyiapkan peledakan sedangkan kakak tiri Amrozi bernama Tafsir
juga diburu polisi. Imam Samudra ditangkap pada 26 November 2002 di dalam
bus Kurnia yang berada di kapal Pelabuhan Merak, hendak melarikan diri ke
Sumatera. Ali Gufron ditangkap pada 3 Desember 2002 di Klaten, Jawa Tengah.
Ketahui juga mengenai
Saat ini perekonomian Bali yang terpuruk akibat peristiwa tersebut telah kembali
pulih dan mulai meroket. Di lokasi ledakan dibangun monumen untuk mengenang
latar belakang peristiwa bom bali tersebut dan kini kerap dijadikan lokasi selfie
para wisatawan, yang tidak sepenuhnya mengerti akan efek yang masih tersisa
hingga saat ini dari peristiwa tersebut. Para korban selamat ada yang masih
mengalami trauma psikis dan bahkan cacat fisik akibat peristiwa tersebut. Masih
ada korban yang hingga kini masih bergulat dengan keterbatasan fisik karena
peristiwa itu tanpa adanya bantuan yang memadai untuk dapat melanjutkan masa
depannya secara mandiri.
Latar Belakang
Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan
membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Di zaman yang
semakin maju ini, terorisme tidak hanya terjadi pada negara yang telah maju saja.
Setahun yang lalu, Indonesia dikejutkan oleh terorisme aksi pengeboman di tiga
gereja sekaligus di Kota Surabaya. Saya memilih untuk membahas peristiwa teror
aksi bom ini karena kasus ini sudah sangat terkenal di dunia maya maupun di
dunia nyata.
Banyak orang yang selalu berjaga-jaga setelah adanya kasus ini dan mereka mulai
mencurigai sesama mereka,khususnya pada masyarakat berumat Islam.
2.Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah alur cerita atau kronologi dari kasus teror aksi pengeboman
tiga gereja di Surabaya?
2. Apa yang harus dilakukan masyarakat untuk menghilangkan firasat buruk
pada masyarakat berumat Islam?
3. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rekaman CCTV, ledakan terjadi saat suatu sepeda motor yang
ditumpangi oleh 2 orang kakak beradik memasuki kompleks gereja dan nyaris
menabrak seorang jemaat sebelum akhirnya meledak persis di antara para jemaat
yang sedang berjalan kaki.
GKI Diponegoro
Saksi mata lain, juru parkir Mulyanto, melihat ketiganya mengenakkan rompi dan
satpam Antonius melihat ketiganya berjalan berjajar di pinggir jalan depan GKI,
masuk ke pintu halaman gereja, dihadang oleh seorang satpam yang kemudian ia
peluk sebelum akhirnya terjadi ledakan.
GPPS Jemaat Sawahan
Pada malam pada hari yang sama pada pukul 20:00 WIB, terjadi ledakan di
sebuah Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Wonocolo, kawasan
Sepanjang, Sidoarjo, Jawa Timur. Ledakan tersebut terjadi pada Blok B di lantai 5
dan terdengar hingga lima kali dan dikonfirmasi merupakan sebuah ledakan bom
rakitan yang dibuat oleh penghuni rusunawa.
Kapolri Tito Karnavian telah menkonfirmasi kepada salah seorang anak pelaku
yang selamat bahwa ledakan yang terjadi di Rusunawa Wonocolo adalah sebuah
kecelakaan saat perakitan bom.
Polrestabes Surabaya
Kepala Bidang Humas Polda Jawa Timur Kombes Frans Barung menyatakan
bahwa pada Senin, 14 Mei 2018 pukul 08:50 WIB, sebuah ledakan terdengar di
depan Polrestabes Surabaya.
Ledakan berasal dari sepeda motor bernomor polisi L 6629 NN dan L 3559 G
yang setidaknya membuat empat pelaku tewas dan sepuluh warga dan polisi
terluka.Petugas polisi juga menyelamatkan seorang anak perempuan pelaku dari
lokasi kejadian.
Kasus di atas adalah sebuah contoh terorisme di Indonesia yang sangat terkenal.
Dari peristiwa diatas dapat dilihat bahwa masyarakat milenial zaman sekarang
tidak bisa memanfaatkan teknologi yang maju dengan benar dan akhirnya
menimbulkan banyak korban jiwa. Tidak hanya itu saja,menurut saya para pelaku
tidak dapat menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam diri mereka,khususnya sila ke-
2 dan ke-3 dalam Pancasila.
Bersatu disini bukan bersatu dengan sesama umat yang memiliki agama yang
sama,tetapi bersatu pada tiap individu yang memiliki perbedaan yang berbeda-
beda.
Setelah peristiwa teror aksi pengeboman 3 gereja di Surabaya ini, banyak sekali
gerak-gerik masyarakat yang mulai berubah.Hal itu dapat dilihat dimana banyak
warga Indonesia yang mulai was-was terhadap orang lain yang beragama muslim
khususnya.
Di dunia ini kita memiliki banyak perbedaan,oleh karena itu kita harus selalu
mengangkat nilai kemanusiaan dalam bersosialisasi, khususnya juga menjaga
persatuan antar sesama sebagai masyarakat Indonesia.
Nah, untuk menghilangkan firasat buruk terhadap agama tertentu, tentunya kita
harus lebih melihat sikap dan gerak-gerik orang itu di dalam kehidupan. Kita
harus pandai-pandai dalam melihat karakteristik orang jahat dan orang baik.
Perlu diingat, semua penjahat didunia ini tidak hanya masyarakat Islam, jadi kita
tidak boleh seenaknya menyalahkan agama Islam. Dalam sebuah kasus, yang
salah itu bukan agama yang dianut pelaku,namun tingkah dan sikap dari pelaku
sendiri.
BAB III . PENUTUP
Sama seperti salah satu unsur 4C yaitu Conscience, kita harus berbuat baik pada
banyak orang dan tentunya tidak melihat latar belakang agama,ras,atau suku
mereka. Apa yang dilakukan pelaku pada kasus ini,menimbulkan banyak kerugian
mulai dari banyaknya korban jiwa,kasus keributan antar agama dan masih banyak
lagi.
2. Kesimpulan
Terorisme adalah tindakah jahat yang semua orang dapat lakukan. Pelaku
terorisme sendiri selalu yakin bahwa apa yang mereka lakukan itu benar. Tetapi
sebagai manusia yang cerdas,alangkah baiknya kita tidak melakukan hal jahat itu
karena selain merugikan diri sendiri, pastinya nanti akan banyak pula korban jiwa
dari sebuah kasus terorisme.
Dan sebagai manusia yang berperikemanusiaan akan lebih baik jika di dunia ini
kita menabur kebaikan pada sesama manusia daripada melakukan tindakan jahat
kepada orang lain yang nantinya dapat merugikan kita sendiri. Dan jika, ada kasus
seperti ini lagi,ada baiknya masyarakat menilainya dari sudut pandang tingkah
laku dan sikap pelaku, bukan dari sudut pandang agama yang dianut pelaku.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengecam keras terjadinya aksi bom di
tempat ibadah. Pelaku tak memegang nilai agama.
Menurut Menag, tindakan teror bertentangan dengan nilai agama. "Pelaku aksi bom itu
adalah orang-orang yang tidak memegangi nilai-nilai agama karena tidak ada agama
manapun yang ajarkan aksi terorisme," ujar Lukman dalam keterangan tertulisnya di
Jakarta, Minggu (13/05).
"Tetap tenang dan tidak panik karena kepanikan itulah yang diharapkan pelaku. Mari
bersama-sama meningkatkan kewaspadaan lingkungan agar tidak ada ruang bagi teroris
untuk melakukan aksinya," tutur Lukman.
Lukman juga mengajak masyarakat untuk berkomunikasi secara etis di media sosial.
Caranya, tidak menyebarkan foto-foto memilukan yang bisa menjadi teror tersendiri.
"Jangan mengomentari aksi ini dengan perdebatan yang memicu konflik. Sebaliknya,
mari saling menguatkan sesama anak bangsa yang ingin Indonesia aman dan damai,"
tutur Lukman,
Kepada korban meninggal, Lukman berdoa untuk hal terbaik bagi mereka dan keluarga
yang ditinggalkan diberi ketabahan. "Mari kita doakan pelaku dan dalang aksi ini agar
bertobat dan kembali ke jalan yang benar," harapnya.
Terjadi ledakan bom pada tiga gereja di Surabaya. Dua di antaranya adalah gereja
Kristen, yaitu: Gereja Kristen Indonesia Surabaya; dan Gereja Pantekosta Pusat
Surabaya. Sedang satu lainnya, gereja Katolik, yaitu: Gereja Katolik Santa Maria Tak
Bercela, Ngagel, Surabaya.
3. Mengambil paham yang tidak baik dari ajaran yang tidak benar ekstremis Islam
yang menganggap bahwa Indonesia harus menjadi negeri yang berlandaskan
Islam. Keyakinan fanatik tersebut mendorong rasa primordialisme yang berlebih,
dimana kemudian menciptakan pikiran paling benar sendiri. Pada akhirnya kita
pun melihat fakta-fakta aksi radikal yang dilakukan atas nama agama hanya
karena mereka lupa (atau bahkan tidak mau mengakui) bahwa Indonesia dibangun
atas dasar keberagaman. Banyak pengamat terorisme menyebut fenomena di atas
sebagai bentuk radikalisme budaya.
Tindakan dari dua jenis tersebut dapat mengancam keutuhan Negara. Selain
menghilangkan nyawa masyarakat sipil, menimbulkan keresahan yang pada
akhirnya dapat menurunkan kepercayaan kepada pemerintah
Oleh sebab itu perlu diupayakan pembinaan yang serius dan berkelanjutan
terhadap masyarakat luas mengenai bahaya isu radikalisme dan pentingnya
mendukung perdamaian. Pembinaan ini, jika benar dilakukan dengan serus, maka
akan mendorong masyarakat untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa
berkembang di Indonesia begitu pesat. Menurut dia, hal ini menjadi pekerjaan
rumah bagi kelompok nasionalis agar ideologi radikal tidak semakin meluas.
Adriana menjelaskan, ada empat alasan mengapa radikalisme dapat berkembang
di Indonesia.
“Proses seseorang menjadi radikal itu sangat rumit. Jika dia tidak merasa
nyaman dengan situasi demokrasi saat ini, dia akan mencari ideologi lain,
termasuk radikalisme,” ujar Adriana di Hotel Aryaduta Semanggi, Jakarta, pada
Senin 19 Februari 2018.
Fasilitas seperti pelatihan dan transportasi juga, menurut Adriana bisa menjadi
alasan seseorang bergabung dengan kelompok radikal. “Ini bisa dilihat dalam
perekrutan Negara Islam Irak dan Suriah atau ISIS,” kata Adriana. Selain itu,
menurut Adriana, pemahaman soal penyucian diri juga menjadi alasan kuat bagi
seseorang yang masuk ke dalam lingkaran radikalisme.
“Permusuhan antar elit politik juga tidak baik. Hal semacam ini menimbulkan
sinisme bahwa demokrasi bukan yang terbaik,” tutur Adriana di Hotel Aryaduta
Semanggi, Jakarta pada Senin, 19 Februari 2018.
menjadi alternatif bagi masyarakat yang kecewa dengan demokrasi. Menurut
dia, saat ini implementasi demokrasi di Indonesia sedang bermasalah. Ia
mengatakan, hal ini juga semakin meningkat dalam momentum pemilihan
kepala daerah (Pilkada) Serentak 2018 dan Pemilihan Umum (Pemilu) 2019.
Sebenarnya kiita tidak perlu takut terhadap para terorisme yang selalu
berupaya mengancam kedaulatan bangsa kita. Mengenai masalah keberanian,
hal itu sudah ditunjukkan oleh pemimpin nomor satu di bangsa kita, yakni
Bapak Jokowi. Meskipun kunjungannya ke Negara Afganistan waktu lalu
dipenuhi dengan sejumlah aksi bom yang menewaskan ratusan orang di
negara tersebut. Beliau tidak membatalkan kunjungan kenegaraan yang sudah
dijadwalkan tersebut.
Seperti yang pernah dingkapkan oleh Pramono Anung pada akun twitternya,
“Besok tetap akan ke Afghanistan, walau banyak yang menyarankan untuk
menunda kunjungannya karena adanya ledakan bom di Kabul. Presiden
enggak ada takutnya," Sabtu, 27 Januari 2018.
Ketika keberanian itu sudah ditunjukkan oleh Bapak Presiden kita, bahkan
bersama dengan Ibu Negara dan sejumlah menteri, hal tidak boleh berbanding
terbalik dengan masyarakat Indonesia. Kitapun, sebagai masyarakat, harus
menunjukkan bahwa bangsa kita adalah bukan bangsa penakut apalagi merasa
gentar ketika semakin maraknya aksi bom yang dilakukan oleh terorisme
tersebut.
Mulai dari penembakan di Pos Satuan Lalu Lintas Resor Tuban, Jawa Timur;
menerobos markas Polres Banyumas, Jawa Tengah; bom bunuh diri yang
meledak didekat beberapa polisi yang berjaga di Kampung Melayu, Jakarta
Timur; menyusup ke pos pintu keluar Polda Sumatera Utara; menikam dua
personel polri di Mesjid Falatehan, tak jauh dari Markas Besar Polri,
Kebayoran Baru; dan terakhir pembakaran Markas Polres Dharmasraya,
Sumatera Barat.
Aksi brilian kedua yang sedang diupayakan pemerintah pada saat ini, yakni
menerbitkan undang-undang Anti Terorisme, dimana sebelum tanggal 14
Februari nanti, Undang-Undang ini akan diresmikan oleh Pemerintah bersama
dengan DPR. Undang-undang ini sebenarnya sudah cukup lama dibahas,
yakni sejak Mei 2016 lalu. Seperti yang dilansir dari nasional.tempo.com
(7/2/2018).
Perlunya Undang-undang yang baru untuk bisa menindak aksi terorisme
tersebut, disebabkan undang-undang yang lama, yakni UU No 15/2003 tidak
relevan lagi di dalam menanggulangi masalah terorisme yang semakin
menjadi-jadi belakangan ini. Diperlukan payung hukum baru agar langkah
aparat di lapangan dalam memberantas terorisme lebih trengginas namun
tidak melanggar aturan. Beberapa hal yang dinilai bolong-bolong dalam
undang-undang yang ada, misalnya, tidak adanya ancaman pidana terhadap
perbuatan makar atau aktivitas seseorang, atau organisasi masyarakat yang
mendukung tindak pidana terorisme.
Kemudian hal yang mencuat tentang RUU Anterorisme ini, nama populernya,
yakni melibatkan unsur TNI didalamnya. TNI bersama dengan Polri saling
bekerjasama didalam menanggulangi masalah terorisme ini. Menurut
Ryamizard jika sebuah serangan sudah menggunakan bom, masalah itu sudah
masuk dalam ancaman negara karena menggunakan alat perang. "Ya yang
menanganinya pasukan perang pertahanan, yaitu TNI," turur dia di Komisi
Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat, 28 Januari 2018 lalu. Kemudian,
beliau mengingatkan bahwa tugas pokok TNI sebagai penjaga keutuhan dan
keselamatan bangsa. Maka penyelesaian terorisme, juga harus melibatkan
TNI.
"Ya, supaya mantan napi terorisme tuh melihat dengan jelas korbannya apa,"
kata pria yang akrab disapa JK itu di kantornya, Jalan Medan Merdeka Utara,
Jakarta, Selasa, 6 Februari 2018.
secara dangkal dapat memicu mereka melakukan kekerasan, bahkan atas nama
agama. Tindakan terorisme balakangan ini dilakukan dengan cara bunuh diri,
misalnya bom bunuh diri, sebab Islam justru melarang tindakan bunuh diri,
perbuatannya dengan jihad, padahal mereka sebenarnya tidak tahu makna jihad
sesungguhnya. Untuk itu kita harus belajar agama pada yang ahlinya yang tahu
itu komunitas-komunitas ini juga ikut aktif dalam pengawasan sehingga jika
Hasil penelitian terbaru mencatat pengguna internet di Indonesia yang berasal dari
teman (lama dan baru) dan untuk hiburan. Hal inilah yang menjadi celah bagi para
karena itu, dibutuhkan aksi dari pemuda sebagai pengguna internet terbanyak di
mengunggah konten damai di social media seperti tulisan, komik, dan meme.
Menunjukkan sikap bela Negara para Generasi Muda saat ini dapat
Pancasila dan UUD 1945 dengan menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan
bangsa yang bertujuan untuk melawan segala macam paham kebencian dan
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dilihat dari jumlah kasus kekerasan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri
yang banyak terjadi dapat disimpulkan bahwa TKI banyak mengalami kekerasan
fisik maupun mental. Ada pula yang mengakibatkan kematian. Kebanyakan
penyebabnya bersal dari karakter majikan yang egois, kurang manusiawi dan
sering meremehkan TKI yang bekerja dengannya. Pemerintah telah menetapkan
beberapa perlindungan terhadap hak asasi manusia pada TKI contohnya
Perlindungan TKI menurut UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
3.2 Saran
Saran dari kami mengenai kasus kekerasaan TKI ini adalah sebagai
berikut:
a. Bagi para calon TKI, sebaiknya gunakan jalur penyaluran tenaga kerja
yang legal dan terpercaya.
b. Para penyalur TKI ke luar negeri hendaknya memberi pembinaan dan
pelatihan khusus pada calon TKI. Tak hanya tentang cara bekerja, tapi
juga bagaiamana kebiasaan orang luar negeri dan tata cara bersikap.
c. Baik penyalur maupun pemerintah hendaknya selalu memantau para TKI
agar kekerasan pada TKI bisa diminimalisir.
d. Pemerintah dan BNP2TKI harus menindak tegas para penyalur TKI illegal
yang bisa menyebabkan para TKI mendapat hal-hal yang tidak
menyenangkan saat bekerja di luar negeri.
e. Pemerintah harus bisa memberi jaminan perlindungan terhadap para TKI
di luar negeri.