BERBASIS INTERNET
SKRIPSI
2005
v
MODUS PEMALSUAN MAKANAN : STUDI EKSPLORATIF
BERBASIS INTERNET
Hanna Asyanti*, Prof. Dr. Ir. Widianarko, M.Sc **, Inneke Hantoro, STP **
ABSTRAK
Food always involves in every aspects of human life. At the present day, many food industries
have either unintentionally or intentionally committed crimes by practising food adulteration.
At practice that puts human health at risk. Facing the ever increasing adulteration of food,
consumers have to be more cautious in choosing their foods. Until now, however, most
segments of the society have been ignorant to food adulteration, especially due to lack of
relevant information. The objective of this study is to uncover modes of food adulteration in
several countries based on date available on the internet. The method used in the present
study is basically data exploration using major internet search engines to obtain relevant
websites to be browsed. A snowballing approach was used in the exploration, i.e. expansion
of the search words based on the previous results of the initial search word. This study
revealed, most adulterations were found in spices (28%), fruits (15.5%), milk and eggs
products (11.7 %). Three most common types of adulteration found in this study was failure
to meet quality standard (11.7 %), where as the least common types of adulteration was
shared by addition of water (2.7%) and genetic modification ( 2.7% ). Lacks of knowledge,
skills, and responsibility among the food producers can, in general, be regarded as the main
causes of food adulteration. The results of this study implied that stricter measures of the
government needed to control the quality of imported foods, especially spices, fruits, milk and
egg products.
PENDAHULUAN
Pangan selalu melibatkan semua manusia pada setiap kehidupan. Dengan kemajuan teknologi
manusia mampu mengawetkan, mengubah bentuk, membuat makanan lebih indah
penampilannya, lebih bergizi dan mempermudah dalam penyajian dan persiapan. Kemajuan
teknologi yang pesat banyak kaitannya dengan kemajuan ilmu kimia, mikrobiologi, dan
keteknikan serta bioteknologi. Berbagai kesalahan teknologi yang diterapkan baik sengaja
maupun tidak sengaja dapat menyebabkan berbagai peluang yang dapat mengancam
kesehatan dan keamanan konsumen. Sebagai contohnya adanya kontaminan kadmium,
intoksikasi, zat warna yang berbahaya, radio nukleotida, zat-zat karsinogenik, adulterasi dan
kadaluarsa (Winarno, 1996).
Dengan ditemukannya berbagai kasus adulterasi pangan, dapat memberikan dampak negatif
bagi kesehatan masyarakat. Kasus adulterasi pangan yang dewasa ini banyak ditemukan
membuktikan bahwa masyarakat harus lebih waspada dalam memilih dan mengkonsumsi
produk pangan terutama produk pangan yang dikemas. Namun sampai saat ini pun, masih
banyak masyarakat yang belum mengetahui adanya kasus adulterasi pangan, yang
disebabkan oleh faktor keterbatasan informasi mengenai kasus ini. Di samping itu karena
penelitian mengenai kasus-kasus semacam ini (adulterasi pangan) juga masih sangat terbatas.
Secara spesifik penelitian ini bertujuan untuk mengungkap modus adulterasi pangan yang ada
di berbagai negara berdasarkan data yang tersedia di internet. Penelitian ini khususnya
diarahkan untuk mengungkap profil modus adulterasi pangan berdasarkan jenis bahan dan
produk pangan, jenis adulterasi, metode deteksi serta negara/daerah yang bersangkutan.
Kata kunci umum yang digunakan adalah “adulteration”. Setelah ditampilkan beberapa
informasi tentang adulterasi pangan, diambil satu atau dua informasi untuk digunakan dalam
pencarian informasi selanjutnya. Informasi yang berhasil diperoleh dari berbagai sumber
dikelompokkan menjadi beberapa kategori, dan disajikan secara deskriptif dalam bentuk
tabel dan grafik. Secara khusus, data adulterasi pangan di Indonesia juga dihimpun dari
berita-berita dalam “warta konsumen” Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)
Jakarta dan balai Pengawasan Obat dan Makanan (POM).
Tabel 1. menunjukkan bahwa adulterasi yang terbesar terjadi pada bumbu-bumbuan (antara
lain : garam, dan terasi) yang mencapai 28,03% dari keseluruhan kasus yang ada. Adulterasi
ini banyak disebabkan karena mutu produk tidak memenuhi standar yang telah ditetapkan.
Sedangkan adulterasi pangan yang terendah terjadi pada kelompok daging dan umbi-umbian
yang masing-masing mencapai persentase sebesar 0,38%. Pada umbi-umbian dimanipulasi
oleh adanya modifikasi genetika pada produk tersebut, dan untuk daging yang sama-sama
mencapai 0,38% dimanipulasi dengan cara subtitusi produk dengan bahan yang lebih murah.
Modus adulterasi melalui cara subtitusi produk dengan bahan yang lebih murah ini
kemungkinan terjadi dikarenakan banyak pihak produsen atau pelaku usaha yang
memanipulasi bahan dan produk pangan tersebut dengan tujuan ingin mendapatkan laba yang
tinggi (Anonim, 1953; Koop, 2002). Hal tersebut secara tidak langsung juga menipu
konsumen karena konsumen terkecoh dengan produk yang dipasarkan tidak sesuai dengan
keinginan, tidak menggunakan bahan dasar alami, dan adanya perbedaan antara kandungan
dan isi produk dengan label yang tertera. Subtitusi produk dengan bahan yang lebih murah
akan mempengaruhi kualitas produk tersebut. Dengan adanya motif tersebut dapat
menyebabkan kualitas produk menurun. Karena bahan baku yang murah harganya pasti
memiliki kualitas bahan rendah dan faktor mutu akan berpengaruh pada biaya produksi
(Wirakartakusumah & Syah, 1990).
Penambahan air
Pada Gambar 1. tampak bahwa jenis adulterasi yang sering terjadi adalah adanya kondisi
produk yang tidak memenuhi standar atau jauh di bawah standar yang telah dianjurkan, yaitu
dengan persentase sebesar 25%. Hal ini mungkin disebabkan masih rendahnya pengetahuan,
keterampilan, dan tanggung jawab produsen pangan (produsen bahan baku, pengolahan, dan
distributor) tentang mutu dan keamanan pangan. Rendahnya tanggung jawab produsen
ditandai dengan ditemukannya sarana produksi dan distribusi pangan yang tidak memenuhi
persyaratan Good Agriculture Practices/GAP, Good Handling Practices/GHP, Good
Manufacturing Practices/GMP, Good Distribution Practices/GDP, dan Good Retailing
Practices/GRP, terutama pada industri kecil/rumah tangga (Fardiaz, 1998). Selain itu,
disebabkan oleh pola pikir pihak industri yang mengandaikan peningkatan mutu suatu produk
akan menyebabkan tingginya biaya yang harus dikeluarkan. Menurut Wirakartakusumah &
Syah (1990), bahwa faktor mutu akan berpengaruh pada biaya produksi suatu barang.
Sedangkan pada Gambar 1. tampak bahwa jenis adulterasi yang paling kecil persentasenya
adalah kelompok penambahan air dan kelompok modifikasi genetik yaitu sebesar 2,65%.
Modus penambahan air ini mungkin dikarenakan adanya modus untuk mendapatkan laba
yang lebih tinggi. Sebagai contohnya pada ikan dengan mensuntikkan air pada tubuh ikan.
Hal ini telah dilakukan oleh banyak pelaku usaha karena berat dan volume ikan akan lebih
besar, sehingga harga ikan yang diperdagangkan akan lebih tinggi dari pada semula. Dengan
demikian pelaku usaha akan mendapatkan laba yang lebih tinggi dari sebelumnya (FDA,
1994). Adanya adulterasi dengan penambahan air memang tidak berbahaya, namun hal ini
merugikan konsumen karena dengan penambahan air maka kandungan gizi yang terdapat
dalam produk tersebut menjadi berkurang, sehingga kualitas dari produk menjadi rendah
(Nag, 2003).
Selain itu, adanya kemungkinan bahwa air yang ditambahkan belum tentu steril, sehingga
menyebabkan jumlah mikroorganisme pada produk tersebut bertambah. Hal ini disinyalir
dapat menurunkan kualitas produk, yang dapat menyebabkan metabolisme tubuh terganggu
sehingga timbul berbagai masalah penyakit. Penting untuk disadari, meskipun air tersebut
jernih masih ada kemungkinan dapat mengandung bahan kimia yang beracun atau organisme
patogen. Dalam keadaan seperti itu air dikatakan sebagai air yang terkontaminasi dan tidak
aman jika dikonsumsi (Volk & Wheeler, 1990).
Menurut Koop (2002), pangan hasil modifikasi genetik tidak aman dan tidak ada gunanya
jika dikonsumsi manusia dan menurut Pusztai (2001), pangan modifikasi genetik juga dapat
menyebabkan alergi. Ini didukung oleh Sudarjat (2002), yang menyatakan bahwa makanan
transgenik dapat menimbulkan alergi pada orang yang peka karena munculnya zat penyebab
alergi yang tidak terduga dan tidak diketahui dalam makanan tersebut. Makanan yang
sebelumnya aman bagi manusia dapat menjadi berbahaya jika setelah direkayasa secara
genetik.
Adanya adulterasi pada berbagai bahan dan produk pangan menandakan bahwa semakin
banyak pihak produsen dalam menghasilkan berbagai jenis pangan, yang seiring dengan
kemajuan teknologi dan persaingan ketat. Banyak pihak produsen maupun penjual yang tidak
memperhatikan kesehatan dan keamanan konsumen. Mereka hanya bersaing untuk
mendapatkan keuntungan yang besar. Oleh karena itu, banyak pihak produsen yang
memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat dalam pengetahuan mutu, gizi dan lain sebagainya
dengan melakukan tindakan yang tidak dibenarkan oleh pemerintah dan organisasi yang
bergerak di bidang pangan dan kesehatan, seperti halnya adulterasi pangan. Sehingga banyak
pihak konsumen yang menerima dampaknya akibat dari adanya adulterasi pangan serta
menanggung risiko yang mungkin ditimbulkannya (Saidi, 1994).
Berdasarkan hasil penelitian ini dan banyaknya kasus adulterasi yang terjadi, perlu untuk
disadari pentingnya pemantauan ataupun pengawasan yang optimal. Pemantauan ini dapat
dilakukan oleh berbagai pihak, baik melalui pihak pemerintah, industri, maupun pihak
konsumen.
KESIMPULAN
- Adulterasi banyak ditemukan pada berbagai komositas, terutama bumbu-bumbuan
(28,03%), buah-buahan (15,53%), susu dan produk telur (11,74%), bahan minuman
(8,71%), makanan jadi (7,58%), ikan (6,82%), konsumsi lainnya (6,06%), kacang-
kacangan (5,30%), minyak dan lemak (4,55%), daging (0,38%), dan umbi-umbian
(sebesar 0,38%).
- Jenis adulterasi yang ditemukan dalam penelitian ini, banyak disebabkan oleh mutu
produk yang tidak memenuhi standar yaitu sebesar 25%, seperti pada bumbu-bumbuan
yang mencapai persentase sebesar 83,78%.
- Jenis adulterasi yang termasuk dalam peringkat terendah yaitu adanya penambahan air
dan modifikasi genetik masing-masing dengan persentase 2,65%.
SARAN
- Adulterasi dapat terjadi, dikarenakan masih rendahnya pengetahuan, keterampilan, dan
tanggung jawab produsen pangan tentang mutu dan keamanan pangan. Oleh karena itu,
pemerintah diharapkan harus ekstra ketat dalam menangani masalah ini terutama bumbu-
bumbuan, buah-buahan, susu dan produk telur yang diimpor dari luar.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. (1953). Food and the Health of a Nation : Adulteration, of commodities and foods,
for economic profit and greed. Encyclopedia Britannica. Vol. 1 page 187.
Ayres, J. C et al., (2004). Chemical and Biological Hazards in Food. Colombia Encylopedia .
Colombia.
Chazawi, A. (2001). Kejahatan terhadap Pemalsuan. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Fardiaz, S. (1998). Pengembangan Sistem Mutu dan Keamanan Pangan Nasional Dalam
Menghadapi Perdagangan Domestik dan Global. Widyakarya Nasional pangan & Gizi
VI.LIPI. Bogor.
Hall, D. & I, Hall. (1996). Practical Social Research Project Work in The Community
Consultant Editor : Jo Campling. Malaysia
Jalal, F. & S. M. Atmojo. (1998). Gizi dan Kualitas Hidup : Agenda Perumusan Program
Gizi Repelita VII untuk mendukung Perkembangan Sumber Daya Manusia yang Berkualitas.
Widyakarya Nasional pangan & Gizi VI.LIPI. Bogor.
Potter, N.N. (1987). Food Science, 3th edition. AVI Publishing Company, Inc. USA.
Pusztai, A.Ph.D.(2000). Genetically Modified Foods : Are They a Risk to Human / Animal
Health ? . Bioscience Productions. Inc . Hungaria.
Saidi, Z. (1994). Musibah Mie : Wajah Epidemi Teknologis. Warta Konsumen, No. 244.
YLKI. Jakarta.
Surdijati, S., A, Sardjimah & Lanni, W. (2001). Identifikasi dan Penetapan Kadar Zat Warna
Merah Dalam Dawet Secara KLT-Densitometri. Jurnal Teknologi Pangan dan Gizi. Vol.2,
No.1: 34-44.