Tionghoa Padang
Cina Padang
Jumlah populasi
±12.000 (2016)[2]
Bahasa
Agama
Daftar isi
1Sejarah
2Hubungan antaretnis
3Eksodus
4Sosial dan kemasyarakatan
5Kampung Cina
6Agama
7Catatan kaki
o 7.1Rujukan
o 7.2Daftar pustaka
Sejarah[sunting | sunting sumber]
Sejak kehadiran bangsa Belanda di bawah bendera VOC, Padang makin berkembang menjadi pelabuhan
yang ramai dikunjungi oleh para pendatang, termasuk orang Tionghoa
Atraksi barongsai di Padang
Ketika terjadinya kerusuhan Mei 1998, tidak pernah ada laporan mengenai tindak
kekerasan dan kriminal di Padang yang menjadikan orang Tionghoa sebagai sasaran.
[20]
Di Padang, orang Tionghoa mendapat perlakuan yang sama dengan etnis lainnya.
Pemerintah Kota Padang tidak memberi pembatasan dan pelarangan bagi orang
Tionghoa Padang untuk melaksanakan kegiatan mereka baik itu bersifat keagamaan
maupun tradisi. Sampai sekarang, Pemerintah Kota Padang terus melibatkan orang
Tionghoa Padang untuk ikut serta dalam setiap perayaan ulang tahun kota. Bahkan,
atraksi yang ditampilkan oleh orang Tionghoa seperti barongsai dan sipasan menjadi
salah satu daya tarik wisata di Kota Padang.[21][22]
Orang Tionghoa Padang telah beradaptasi dengan masyarakat lokal tempat mereka
berada, salah satunya ditandai dengan penggunaan bahasa Minangkabau sebagai
bahasa sehari-hari. Hal ini berbeda dengan, sebagai contoh, orang Tionghoa di pantai
Timur Sumatra.[23] Bahkan, mayoritas orang Tionghoa Padang tidak dapat lagi bercakap
dalam bahasa asal mereka.[24] Bahasa Minang yang dipertuturkan oleh orang Tionghoa
Padang dikenal sebagai bahasa Pondok atau bahasa Minang dialek Pondok, hasil
percampuran antara bahasa Indonesia dengan bahasa Minang tapi memakai
logat Mandarin.[9] Bahasa tersebut membuat mereka bisa berbaur dengan masyarakat
Minangkabau.[25]
Pemerintah Kota Padang secara rutin mendukung kegiatan yang menampilkan budaya
Tionghoa Padang dan pembaurannya. Dalam setiap perayaan Imlek, ditampilkan
atraksi budaya yang ada dari berbagai etnis yang menghuni Kota Padang. Di antara
atraksi yang ditampilan oleh orang Tionghoa Padang adalah barongsai, arak-arakan
kio, dan sipasan.[26] Pada 2013, atraksi sipasan yang dibawakan oleh perkumpulan HTT
mencatat rekor dunia di Guinness World Records sebagai atraksi mengarak tandu
terpanjang, yakni dengan panjang arak-arakan 243 meter dan jarak tempuh 1,9 km.
Pencapaian ini mengalahan rekor sebelumnya untuk atraksi serupa yang ditampilkan
di Kinmen, Taiwan.[27][28] Sejak 2018, perayaan Imlek telah masuk menjadi kalender
wisata Kota Padang yang dikemas dalam Festival Multikultural.[29][30]
Pada 2019, untuk kali pertama diadakan Festival Bakcang Ayam dan Lamang Baluo.
Dalam kegiatan ini, sebanyak 10.000 bakcang ayam dan lamang baluo dibagikan
kepada masyarakat secara gratis. Kedua kuliner tersebut memiliki kesamaan dalam
bahan yang digunakan dan pembuatannya, yakni ketan dengan isian dan dibungkus
dengan daun.[31] Selain pembagian makanan, Festival Bakcang Ayam dan Lamang Balio
dimeriahkan pulo dengan berbagai pertunjukan budaya Tionghoa Padang dan Minang.
[32]
Eksodus[sunting | sunting sumber]
Wikimedia Commons
memiliki media
mengenai Kampung Cina
Padang.
Agama[sunting | sunting sumber]
Agama orang Tionghoa Padang meliputi agama tradisional
Tionghoa, Katolik, Protestan, dan Islam. Saat ini, mayoritas orang Tionghoa Padang
menganut Katolik. Hal ini disebabkan banyaknya anak-anak Tionghoa yang belajar di
sekolah yang didirikan oleh misionaris Katolik pada masa kolonial Belanda di Padang. [2]
Pada tahun 1978 pemerintah Soeharto menerbitkan Surat Edaran Menteri Dalam
Negeri No. 477/4054/B.A.01.2/4683/95 tanggal 18 November 1978 yang menyatakan
bahwa agama yang diakui oleh pemerintah pada saat itu adalah Islam, Kristen, Katolik,
Hindu, dan Budha. Akibatnya, penganut agama Konghucu dan Tao banyak yang pindah
ke agama Buddha, Katolik, Protestan, bahkan Islam. [40]
Pada 1993, Muslim Tionghoa Padang membentuk cabang Persaudaraan Islam
Tionghoa Indonesia (PITI).[41] Pada 2016, terdapat sekitar 300 Muslim Tionghoa di
Padang, tetapi sulit untuk mengidentifikasinya karena mereka cenderung
menyembunyikan status mualaf mereka dari keluarga dan kerabat. Muslim Tionghoa
biasanya mendapatkan diskriminasi atau dikucilkan dari lingkungan keluarga dan
kerabatnya.[42][2]
Catatan kaki