Anda di halaman 1dari 7

Tionghoa Padang

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian

Tionghoa Padang
Cina Padang

Kelenteng See Hien Kiong.

Jumlah populasi

9.498 (Sensus 2010)[1]

±12.000 (2016)[2]

Daerah dengan populasi signifikan

Kecamatan Padang Selatan

Bahasa

Bahasa Minang Pondok

Agama

Agama tradisional Tionghoa, Kristen, Islam

Tionghoa Padang atau Cina Padang adalah masyarakat keturunan Tionghoa yang


tinggal di Kota Padang, Sumatra Barat, Indonesia. Tionghoa Padang merupakan salah
satu dari berbagai etnis yang menghuni Padang selain orang
Minangkabau, Jawa, Batak, Nias, Melayu, Sunda, dan Mentawai.[1] Mereka setidaknya
telah tinggal selama delapan generasi di Padang. [3] Kebanyakan mereka bekerja
sebagai pedagang. Permukiman orang Tionghoa Padang terkonsentrasi di
daerah Pondok dan sekitarnya di wilayah Kecamatan Padang Selatan yang dikenal
sebagai Kampuang Cino (bahasa Indonesia: Kampung Cina). [4][5]
Tidak ada catatan pasti kapan orang Tionghoa pertama tiba ke Padang. Diperkirakan
orang Tionghoa mulai datang sejak perusahaan dagang Belanda Vereenigde
Oostindische Compagnie (VOC) mendirikan markasnya di Padang pada abad ke-17. [6]
[7]
 Pada tahun 2000, populasi orang Tionghoa Padang pernah menjadi nomor tiga
terbesar sesudah Minang dan Jawa dengan presentasi 1,90% dari populasi kota.
Namun, sesudah gempa bumi pada 2009, banyak dari mereka yang meninggalkan
Padang dan pindah ke luar wilayah Sumatra Barat. [8] Menurut data Badan Pusat
Statistik (BPS) pada tahun 2010, persentasi orang Tionghoa Padang tinggal 1,1% dari
populasi kota atau sebanyak 9.498 jiwa, nomor empat sesudah Minang, Jawa, dan
Batak.[1] Pada 2016, populasi Tionghoa Padang sekitar 12.000 orang. [2]
Orang Tionghoa Padang mampu beradaptasi dengan budaya Minangkabau. Bahkan,
generasi orang Tionghoa Padang kini banyak yang tidak bisa bercakap dalam rumpun
bahasa Tionghoa karena mereka telah berasimilasi dengan masyarakat Minangkabau.
Bahasa yang mereka pertuturkan dikenal sebagai Bahasa Minang Pondok. [9] Meskipun
demikian, mereka tidak meninggalkan adat dan tradisi mereka. Lewat perkumpulan
sosial, budaya, dan kematian Himpunan Tjinta Teman (HTT) dan Himpunan Bersatu
Teguh (HBT) yang sudah berdiri sejak abad ke-19, eksistensi adat dan tradisi orang
Tionghoa tetap terjaga di tengah masyarakat Kota Padang hingga kini. [10][11][12]

Daftar isi

 1Sejarah
 2Hubungan antaretnis
 3Eksodus
 4Sosial dan kemasyarakatan
 5Kampung Cina
 6Agama
 7Catatan kaki
o 7.1Rujukan
o 7.2Daftar pustaka

Sejarah[sunting | sunting sumber]
Sejak kehadiran bangsa Belanda di bawah bendera VOC, Padang makin berkembang menjadi pelabuhan
yang ramai dikunjungi oleh para pendatang, termasuk orang Tionghoa

Seperti di daerah lainnya di Nusantara, keberadaan orang Tionghoa di Padang tidak


lepas dari fenomena diaspora atau keluarnya orang Tionghoa dari tanah kelahiran
mereka untuk tujuan perdagangan. Walaupun tidak ada catatan pasti kapan orang
Tionghoa pertama tiba di Padang, mereka diperkirakan telah tiba di pantai barat
Sumatra pada abad ke-17, mendahului kedatangan bangsa Belanda dan Inggris.
Mereka datang dari Banten, yang kala itu menjadi pusat perdagangan di Nusantara.
[13]
 Pada tahun 1630-an, diketahui telah banyak bersandar kapal-kapal Tionghoa di
sekitar perairan pantai barat Sumatra. Di antara kota yang ramai dikunjungi oleh kapal-
kapal Tionghoa adalah Pariaman. Di daerah tersebut, orang Tionghoa menjual
kebutuhan-kebutuhan pokok, terutama garam. Namun, kebanyakan mereka hanyalah
agen dari pedagang Tionghoa yang ada di Banten. [14] Pada tahun 1633, dilaporkan telah
ada orang Tionghoa yang menetap di Pariaman. [15]
Pada tahun 1664, Belanda melalui VOC menjadikan Padang sebagai markas besar
mereka untuk wilayah pantai barat Sumatera yang ditandai dengan didirikannya sebuah
benteng.[16] Belanda mencoba mengalihkan aktivitas perdagangan dari Pariaman ke
Padang. Melihat kondisi tersebut, orang Tionghoa mulai berdatangan dan menetap di
Padang untuk dapat ikut serta dalam aktivitas perdagangan. [17]
Orang Tionghoa di Padang diperkirakan merupakan mereka yang sebelumnya menetap
Pariaman. Pada tahun 1673, ada laporan tentang "Nahkoda Banten" Tionghoa yang
memiliki rumah di Padang bersama beberapa orang Tionghoa lainnya. [7] Rumah yang
mereka punya lebih bagus dibandingkan dengan rumah penduduk setempat.
[18]
 Permukiman mereka mengelompok di kawasan di sekitar pinggir Batang Arau.
Mereka dapat membeli tanah dari penguasa setempat yang bergelar "panglima raja".
Pada tahun 1682, seiring banyaknya jumlah orang Tionghoa di Padang, seorang
"Letnan Cina" diangkat untuk mengatur dan mengontrol sesama orang Tionghoa. [19]

Hubungan antaretnis[sunting | sunting sumber]


Suasana perayaan Imlek pada 2018 di Padang yang turut dihadiri Wali Kota Padang Mahyeldi Ansharullah

Atraksi barongsai di Padang

Ketika terjadinya kerusuhan Mei 1998, tidak pernah ada laporan mengenai tindak
kekerasan dan kriminal di Padang yang menjadikan orang Tionghoa sebagai sasaran.
[20]
 Di Padang, orang Tionghoa mendapat perlakuan yang sama dengan etnis lainnya.
Pemerintah Kota Padang tidak memberi pembatasan dan pelarangan bagi orang
Tionghoa Padang untuk melaksanakan kegiatan mereka baik itu bersifat keagamaan
maupun tradisi. Sampai sekarang, Pemerintah Kota Padang terus melibatkan orang
Tionghoa Padang untuk ikut serta dalam setiap perayaan ulang tahun kota. Bahkan,
atraksi yang ditampilkan oleh orang Tionghoa seperti barongsai dan sipasan menjadi
salah satu daya tarik wisata di Kota Padang.[21][22]
Orang Tionghoa Padang telah beradaptasi dengan masyarakat lokal tempat mereka
berada, salah satunya ditandai dengan penggunaan bahasa Minangkabau sebagai
bahasa sehari-hari. Hal ini berbeda dengan, sebagai contoh, orang Tionghoa di pantai
Timur Sumatra.[23] Bahkan, mayoritas orang Tionghoa Padang tidak dapat lagi bercakap
dalam bahasa asal mereka.[24] Bahasa Minang yang dipertuturkan oleh orang Tionghoa
Padang dikenal sebagai bahasa Pondok atau bahasa Minang dialek Pondok, hasil
percampuran antara bahasa Indonesia dengan bahasa Minang tapi memakai
logat Mandarin.[9] Bahasa tersebut membuat mereka bisa berbaur dengan masyarakat
Minangkabau.[25]
Pemerintah Kota Padang secara rutin mendukung kegiatan yang menampilkan budaya
Tionghoa Padang dan pembaurannya. Dalam setiap perayaan Imlek, ditampilkan
atraksi budaya yang ada dari berbagai etnis yang menghuni Kota Padang. Di antara
atraksi yang ditampilan oleh orang Tionghoa Padang adalah barongsai, arak-arakan
kio, dan sipasan.[26] Pada 2013, atraksi sipasan yang dibawakan oleh perkumpulan HTT
mencatat rekor dunia di Guinness World Records sebagai atraksi mengarak tandu
terpanjang, yakni dengan panjang arak-arakan 243 meter dan jarak tempuh 1,9 km.
Pencapaian ini mengalahan rekor sebelumnya untuk atraksi serupa yang ditampilkan
di Kinmen, Taiwan.[27][28] Sejak 2018, perayaan Imlek telah masuk menjadi kalender
wisata Kota Padang yang dikemas dalam Festival Multikultural.[29][30]
Pada 2019, untuk kali pertama diadakan Festival Bakcang Ayam dan Lamang Baluo.
Dalam kegiatan ini, sebanyak 10.000 bakcang ayam dan lamang baluo dibagikan
kepada masyarakat secara gratis. Kedua kuliner tersebut memiliki kesamaan dalam
bahan yang digunakan dan pembuatannya, yakni ketan dengan isian dan dibungkus
dengan daun.[31] Selain pembagian makanan, Festival Bakcang Ayam dan Lamang Balio
dimeriahkan pulo dengan berbagai pertunjukan budaya Tionghoa Padang dan Minang.
[32]

Eksodus[sunting | sunting sumber]

Makam korban gempa 2009 dari orang Tionghoa Padang di Bungus

Sesudah terjadinya gempa bumi yang mengguncang Sumatra Barat pada 30


September 2009, banyak orang Tionghoa Padang yang mengungsi keluar kota. Hal
tersebut berakibat pada menurunnya populasi orang Tionghoa Padang. Hingga kini,
belum semua orang Tionghoa yang meninggalkan Padang kembali, walaupun kondisi
kota telah pulih. Mengingat Padang merupakan daerah rawan tsunami, orang Tionghoa
banyak yang memutuskan pindah keluar kota, seperti Pekanbaru, Medan, dan Jambi. [8]
[32]
 Ketika dilakukan Sensus Penduduk pada tahun 2010, persentase orang Tionghoa
Padang hanya tinggal 1,1% dari populasi kota atau berjumlah 9.498 jiwa. [1]
Dampak paling terasa dari gampa bumi 2009 adalah runtuhnya Kelenteng Se Hien
Kiong. Akibatnya, aktivitas ritual orang Tionghoa Padang sempat terhambat. Selama
beberapa waktu, orang Tionghoa Padang menyelanggarakan ibadahnya di bangunan
sederhana yang bersifat sementara di depan bangunan kelenteng. [33][34] Pada Desember
2010, masyarakat Tionghoa Padang sepakat untuk mendirikan kelenteng baru.
Rancangan bangunannya tidak jauh berbeda dengan kelenteng lama, tapi dengan
lokasi baru. Kelenteng baru diresmikan pada Maret 2013. Pembangunannya menelan
biaya sekitar Rp5 miliar.[35]
Sosial dan kemasyarakatan[sunting | sunting sumber]
Orang Tionghoa Padang berasal dari berbagai marga. Sistem marga dalam keluarga
etnis Tionghoa didasarkan pada asal keturunan dari leluhur yang sama. Keberadaan
sebuah marga biasanya ditandai dengan rumah marga. Aktivitas utama rumah marga
adalah menyelenggarakan sembayang kepada leluhur dan dewa yang mereka diyakini.
Selain itu, anggota rumah marga saling membantu dan memperhatikan antarsesama.
[36]
 Namun, karena beberapa marga jumlahnya tidak banyak, hanya ada tujuh marga di
Padang yang memiliki rumah marga sendiri, yakni marga Tan, marga Oei, marga Ong,
marga Choa, marga Lie & Kwee, marga Gho, dan marga Lim. [37]

Kampung Cina[sunting | sunting sumber]

Kampuang Cina Padang pada masa kolonial Belanda.

Wikimedia Commons
memiliki media
mengenai Kampung Cina
Padang.

Orang Tionghoa di Padang tinggal mengelompok dan membentuk permukiman yang


dikenal sebagai Kampung Cina.[4] Letak kawasan tersebut berada di sisi utara dekat
muara Batang Arau, Kecamatan Padang Selatan. Dulunya, orang Tionghoa memilih
tinggal dekat muara karena dekat dengan akses transportasi laut yang kala tu
merupakan sarana utama dalam perdagangan ekspor dan impor. Mengelompoknya
tempat tinggal orang Tionghoa tidak lepas pula dari adanya peraturan yang dikeluarkan
oleh pemerintah kolonial Belanda, yaitu sistem sentralisasi permukiman pada satu
kawasan bagi penduduk pendatang. Oleh Belanda, permukiman orang Tionghoa
Padang dikonsentrasikan pada satu kawasan, yakni di daerah Pondok dan sekitarnya
sehingga lama-kelamaan daerah itu menjadi permanen sebagai permukiman orang
Tionghoa Padang sampai saat ini.[5]
Di Kampung Cina, terdapat sebuah kelenteng yang bernama Kelenteng See Hien
Kiong. Letaknya berada dekat tepi Batang Arau, menghadap ke Bukit Gado-
Gado di Subarang Palinggam. Meskipun tahun pambangunannya tidak diketahui pasti,
kelenteng ini diperkirakan berdiri pada sekitar pertangahan abad ke-19, berdasarkan
tinggalan berupa lonceng (genta) yang ada di dalam kelenteng yang bertarikh tahun
1841.[33] Kelenteng See Hien Kiong menjadi tempat sembahyang orang Tionghoa
terhadap dewa atau leluhur yang mereka sembah. Peruntukan kelenteng ini adalah
untuk orang Tionghoa di Padang pada umumnya. Keberadaan kelenteng di Kampung
Cina yang hanya satu menunjukkan bahwa mayoritas orang Tionghoa Padang
mempunyai leluhur yang sama. Hal ini membuatnya berbeda dengan orang Tionghoa
yang tinggal di beberapa kota di Indonesia, misalnya orang Tionghoa
di Jakarta dan Semarang yang punya banyak kelenteng masing-masing berdasarkan
leluhur dan dewa yang disembah.[38] Kelenteng See Hien Kiong bahkan menjadi
kelenteng satu-satunya di Sumatra Barat.[39]

Agama[sunting | sunting sumber]
Agama orang Tionghoa Padang meliputi agama tradisional
Tionghoa, Katolik, Protestan, dan Islam. Saat ini, mayoritas orang Tionghoa Padang
menganut Katolik. Hal ini disebabkan banyaknya anak-anak Tionghoa yang belajar di
sekolah yang didirikan oleh misionaris Katolik pada masa kolonial Belanda di Padang. [2]
Pada tahun 1978 pemerintah Soeharto menerbitkan Surat Edaran Menteri Dalam
Negeri No. 477/4054/B.A.01.2/4683/95 tanggal 18 November 1978 yang menyatakan
bahwa agama yang diakui oleh pemerintah pada saat itu adalah Islam, Kristen, Katolik,
Hindu, dan Budha. Akibatnya, penganut agama Konghucu dan Tao banyak yang pindah
ke agama Buddha, Katolik, Protestan, bahkan Islam. [40]
Pada 1993, Muslim Tionghoa Padang membentuk cabang Persaudaraan Islam
Tionghoa Indonesia (PITI).[41] Pada 2016, terdapat sekitar 300 Muslim Tionghoa di
Padang, tetapi sulit untuk mengidentifikasinya karena mereka cenderung
menyembunyikan status mualaf mereka dari keluarga dan kerabat. Muslim Tionghoa
biasanya mendapatkan diskriminasi atau dikucilkan dari lingkungan keluarga dan
kerabatnya.[42][2]

Catatan kaki

Anda mungkin juga menyukai