Anda di halaman 1dari 4

Wakaf telah dikenal dalam Islam sejak keberadaan Nabi Muhammad SAW.

Artinya sejak dia


hijrah ke Madinah, dia mewajibkannya pada tahun kedua Hijriah. Legalisasi wakaf dimulai
ketika sahabat Umar bin Khattab mengakuisisi perkebunan di Khaibar, Umar menanyakan
pendapat Nabi tentang harta tersebut. Kemudian Nabi menasihatinya bahwa jika Umar
menginginkannya, tanah tersebut harus disumbangkan dan pendapatannya harus diberikan
kepada orang miskin (miskin). Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, wakaf
Umar adalah yang pertama dan terkenal di dunia Islam, yang kemudian diikuti oleh para
sahabat lainnya. Bahkan, menurut Imam Syafi'i, setelah peristiwa wakaf Umar, ada delapan
puluh sahabat di Madinah yang tetap mengorbankan hartanya untuk menggunakan wakaf
juga. Di antara para sahabat adalah: Abu Thoha yang menghibahkan kebun kesayangannya
"Baihara", Abu Bakar yang menghibahkan tanahnya di Makkah yang diberikan kepada
keturunannya yang tiba di Makkah, Usman yang menghibahkan hartanya di Khoibar, Ali bin
Abi Tholib yang menghibahkan hartanya properti berbuah tanah, Anas bin Malik dan lainnya.
Semangat asli Wakaf adalah apa yang dilakukan umat Islam di seluruh dunia dari waktu ke
waktu untuk beribadah kepada Allah SWT.
Muslim memperkenalkan wakaf di bawah Bani Umayyah di tempat-tempat seperti Mesir,
Lebanon, dan Suriah. Saat itu, harta wakaf begitu besar sehingga Mesir merasa perlu
membuat kantor khusus untuk menanganinya. Dalam hal ini, orang pertama adalah Tauban
bin Ghar al-hadramy pada masa pemerintahan Khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Beliau
sangat prihatin dan tertarik dengan perkembangan wakaf sehingga dibentuk lembaga wakaf
tersendiri. Lembaga wakaf ini pertama kali diperkenalkan dalam pengelolaan wakaf di
Mesir, bahkan di seluruh negara muslim. Ia mendirikan lembaga wakaf di Basyrah, sejak itu
pengelolaan lembaga wakaf di bawah kewenangan Kementerian Kehakiman dikelola dengan
baik dan disalurkan kepada mereka yang berhak dan membutuhkan.

Di Mesir pada masa Dinasti Ayubiyah perkembangan wakaf cukup menggembirakan,


dimana hampir seluruh tanah pertanian menjadi harta wakaf dan semuanya dikuasai negara
dan menjadi milik negara (baitul mal) untuk pendidikan, dan pada tahun 1178/572 H
ditetapkan kebijakan . bahwa pedagang Kristen dari Iskandar yang masuk harus membayar
bea cukai. Pendapatan Adat digunakan untuk kesejahteraan Ulama dan kepentingan Dakwah
Mazhab Sunni. Menurut Mundzir Qahaf, wakaf Islam dimulai bersamaan dengan kenabian
Muhammad di Madinah, ditandai dengan dibangunnya Masjid Quba, sebuah masjid yang
dibangun dari bawah ke atas berdasarkan takwa, yang menjadi wakaf pertama dalam Islam. .
untuk tujuan keagamaan. Kejadian ini terjadi setelah Nabi hijrah ke Madinah dan sebelum
beliau hijrah ke rumah pamannya di Bani Najjar. Disusul dengan pembangunan Masjid
Nabawi yang dibangun di atas tanah anak yatim Bani Najjar setelah Nabi membelinya
seharga delapan ratus dirham. Oleh karena itu, Nabi mewakafkan tanah untuk membangun
masjid. Dalam sejarah Islam, wakaf sudah dikenal sejak zaman Nabi SAW, karena wakaf
didirikan setelah Nabi SAW hijrah ke Madinah pada tahun kedua Hijriah. Dua pendapat
terbentuk di antara para ahli hukum (fuqaha ') tentang siapa yang pertama kali menerapkan
wakaf syariah. Menurut beberapa ahli, Nabi SAW yang pertama kali menyiapkan wakaf,
yaitu wakaf milik Nabi SAW untuk pembangunan masjid. Peristiwa sejarah yang sangat
penting dan mungkin peristiwa wakaf terbesar dalam sejarah umat manusia baik dari segi
implementasi maupun perluasan pemahaman wakaf adalah tanah wakaf yang dikeluarkan
oleh Umar bin Khattab di beberapa negara seperti Syria, Mesir. dan Irak. Umer melakukan
ini setelah berkonsultasi dengan teman-temannya, akibatnya dia tidak diizinkan memberikan
tanah pertanian kepada tentara dan pemberontak yang ikut serta dalam pembebasan. Umar
memutuskan bahwa tanah ini akan digunakan untuk umat Islam dan generasi umat Islam
yang akan datang. Petani yang menggunakan tanah wakaf harus membayar pajak tanah dalam
ekonomi Islam.

Kata wakaf berasal dari kata bahasa Arab waqafa, yang artinya berhenti atau menahan, diam.
Mengenai terminologi wakaf, para ahli fikih menggunakan dua kata yaitu habas dan wakaf,
sehingga habasa atau ahbasa dan auqafa sering digunakan untuk menyatakan kata kerja.
Sedangkan waqf dan habas adalah kata benda yang bentuk jamaknya adalah awqaf, ahbas dan
mahbus. Namun pada dasarnya, al habsu dan al wakaf sama-sama berarti al imsak (menjaga),
al man'u (mencegah) dan at-tamakkus (diam). Dikatakan sah karena wakaf tersebut tidak
dijual, rusak atau sebaliknya bertentangan dengan tujuan wakaf itu sendiri. Mengenai
pengertian wakaf dari sudut pandang para ulama, terdapat perbedaan pendapat yang
mendefinisikan wakaf berbeda-beda menurut perbedaan madzhab yang dianut, dan menurut
keumuman dan kekhususannya. Kondisi akses dalam urusan wakaf atau status pemilik harta
benda wakaf setelah dihibahkan. Selain itu, terdapat perbedaan metode pelaksanaan wakaf.
Dalam mendefinisikan wakaf, ulama merujuk pada imam yang menjadi petunjuk seperti
Imam Malik, Abu Hanifah, dan Imam Syafi'i, serta ulama lainnya. Sehingga yang terlintas di
benak penulis setelah membaca definisi yang mereka buat adalah seolah-olah definisi
tersebut adalah kutipan dari mereka padahal seharusnya tidak. Karena pemahaman ini hanya
dibuat oleh para ahli fikih yang datang belakangan. Untuk menerapkan prinsip-prinsip umum
ulama masing-masing madzhab

1) Menurut sekte Syafi'i


Para ahli fikih mazhab Syafi'i mengartikan wakaf dengan definisi yang berbeda-beda, yang
terangkum sebagai berikut:
a) Imam Nawawi dari mazhab Syafi mendefinisikan wakaf sebagai “harta yang tidak dapat
dipergunakan untuk dirinya sendiri sedangkan benda itu tetap ada dan dipergunakan untuk
kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.” Al-Munawi mengutip makna ini dalam
bukunya Al-Taisir.

b) Al-Syarbani Al-Khatib dan Ramli Al-Kabir mendefinisikan wakaf sebagai “kepemilikan


harta yang dapat digunakan untuk mengamankan sesuatu dan memutuskan kepemilikan
sesuatu dari pemilik untuk hal-hal yang diperbolehkan.” c) Ibnu Hajar Al-Haitami dan Syaikh
Umairah mendefinisikan wakaf sebagai “kepemilikan harta yang dapat dilakukan dengan
tetap menjaga keutuhan harta dengan memutuskan kepemilikan barang dari pemiliknya, yang
diperbolehkan.” d) Syaikh Syihabuddin Al-Qalyubi mendefinisikan wakaf sebagai
“kepemilikan harta untuk digunakan dalam hal-hal yang diperbolehkan dengan tetap menjaga
keutuhan harta itu sendiri”. 2) Menurut mazhab Hanafi
Ulama mazhab Hanafi berbeda pendapat tentang pengertian wakaf. Adanya pembedaan
wakaf ini karena permasalahan yang mereka hadapi. Ketika ulama Hanafiah membahas
pengertian wakaf, mereka membedakan antara pengertian yang diberikan oleh Imam Abu
Hanifah dan kedua pengikutnya (Abu Yusuf dan Muhammad. Red.). Pertama kita akan
membahas pengertian wakaf menurut Imam Abu Hanifah. a) Menurut Imam Abu Hanifah
Imam Syarkhasi mendefinisikan wakaf sebagai “habsul mamluk an al-tamlik min al-ghair”
yang berarti menahan harta dari orang lain (kepemilikan). Arti kata manluk adalah kata yang
membatasi harta yang biasanya dianggap bukan harta. Namun, kata an-tamlik min al-ghair
berarti bahwa harta wakaf tidak dapat digunakan untuk wakaf. Seperti dalam hal subsidi,
pembelian dan penjualan atau jaminan. Adapun kata al-habsu artinya mengeluarkan dana
yang bukan bagian dari dana wakaf. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menurut
Imam Syarkhas, wakaf harus menjaga harta milik orang lain dan menjaga keutuhan harta jika
harta tersebut tidak dapat digunakan untuk kepentingan wakif. Al-Murghinany memberikan
pernyataan tentang pengertian wakaf menurut Imam Abu Hanifah sebagai wakaf menurut
Abu Hanifah, yaitu Habsul 'aini ala Miki al-Wakif wa tashaduq bi al-manfa'ah (pemilik
memiliki harta, termasuk memberikan harta ) . sedekah). Ungkapan seperti itu juga
digunakan oleh penulis Al-Tanwir dan penulis Al-Kanz.
Penulis kitab Al-Durr Al-Mukhtar memberikan pendapat tentang pengertian wakaf menurut
versi Imam Abu Hanifah yaitu: Habs al'aini ala hukmi Milki al-waqif, wa tashaduq bi al-
manfa' ah wa lau bi al-sum. (Pelestarian harta dengan memberikan hak milik kepada wakif
dan memberikan manfaat atas harta tersebut, meskipun tidak ditentukan). B. Menurut dua
pengikut Imam Abu Hanifah
Ulama Hanafiyah menafsirkan wakaf Imam Abu Hanifah sebagai penulis dua penerus, yaitu
Tanwir al-Abshar dan Al-Dur Al-Mukhtar dengan definisi yang berbeda. Namun definisi ini
tidak mengikuti makna yang diberikan oleh penulis Tanwir Al-Abshari. Menurut keduanya,
wakaf dianggap sebagai milik Allah SWT dan manfaatnya diberikan kepada mereka yang
menginginkan. 3) Menurut mazhab Malikiyah
Ibnu Arafah mendefinisikan wakaf sebagai kemaslahatan sesuatu selama keberadaannya,
sedangkan wakaf tersebut tetap berada dalam penguasaan pemiliknya, meskipun hanya
berupa dugaan (penilaian). 4) Menurut Ulama Zahidiyah
Ulama Zaidiyah memaknai wakaf dengan berbagai definisi, antara lain:
Pengertian pengarang Al-Syifah yang dikutip Ibnu Miftah adalah pengabdian khusus dengan
cara khusus dan tujuannya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pengertian wakaf
yang diberikan oleh Ahmad bin Qasim Al-Anisy bahwa wakaf adalah harta benda yang dapat
dimanfaatkan dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui keutuhan harta
tersebut. 5) Menurut Hanabilah, Syiah dan Ja'fariyah
Ulama Hanabilah, Syi'ah dan Ja'fariyah mendefinisikan wakaf dengan definisi sebagai
berikut:
Definisi Ibnu Qudamah tentang kalangan Hanabilah bahwa wakaf memegang yang asli dan
kemudian memberikan hasil. Syamsuddin Al-Maqdasy, wakaf memegang yang asli dan
memberikan manfaat. Al-Muhaqiq Al-Huly di kalangan Ja'fariyah menyatakan bahwa wakaf
adalah akad yang hasilnya memelihara aslinya dan memberikan manfaat. Muhammad Al-
Husny, wakaf memiliki harta dan kemudian memberikan hasilnya. Definisi di atas adalah
pernyataan pemahaman untuk setiap garis pemikiran. Sedangkan pengertian wakaf menurut
hukum positif di Indonesia adalah sebagai berikut. “Wakaf adalah perbuatan hukum seorang
wakif untuk mengalihkan atau memberikan sebagian dari harta miliknya untuk dipergunakan
bagi kepentingannya selama-lamanya atau untuk jangka waktu tertentu untuk ibadah atau
kesejahteraan umum menurut aturan syariat.
Sementara itu, menurut rangkuman penulis, setelah melihat berbagai pengertian wakaf,
penulis akhirnya memaknai wakaf sebagai penguasaan harta yang semula milik wakif, yang
dapat digunakan untuk kepentingan bersama, menjaga keutuhan harta. . dirinya dan berusaha
mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Anda mungkin juga menyukai