Anda di halaman 1dari 14

KLINIK DISI

Alamat

KEPUTUSAN
PENANGGUNG JAWAB KLINIK DISI
Nomor : 188.4/ /SK/05.12/2023

TENTANG

KEBIJAKAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI


DI KLINIK DISI

PENANGGUNG JAWAB KLINIK DISI,

Menimbang : a. Bahwa Pencegahan dan Pengendalian Infeksi


merupakan faktor penting dalam mendukung
upaya peningkatan mutu dan keselamatan pasien
klinik;
b. bahwa untuk mengurangi resiko infeksi
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu
ditetapkan Kebijakan Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi
Mengingat : 1. Undang - undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan;
2. Undang – undang Nomor 9 Tahun 2014 Tentang
Klinik;
3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 27 Tahun 2017 Tentang Pedoman
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan;
4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 14 Tahun 2021 Tentang Standar Kegiatan
Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan
Perizinan Berusaha Risiko Sektor Kesehatan;
5. Peraturan Menteri Kesehatan No. 30 Tahun 2022
tentang Indikator Nasional Mutu Pelayanan
Kesehatan Tempat Praktik Mandiri Dokter dan
Dokter Gigi, Klinik, Pusat Kesehatan Masyarakat,
Rumah Sakit, Laboratorium Kesehatan, dan Unit
Transfusi Darah;
6. Peraturan Menteri Kesehatan No. 34 Tahun 2022
tentang Akreditasi Pusat Kesehatan Masyarakat,
Klinik, Laboratorium Kesehatan, Unit Transfusi
Darah, Tempat Praktik Mandiri Dokter, dan
Tempat Praktik Mandiri Dokter Gigi;
7. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor HK.01.07/MENKES/1983/2022 Tentang
Standar Akreditasi Klinik
MEMUTUSKAN

MENETAPKAN : KEPUTUSAN PENANGGUNG JAWAB KLINIK DISI


TENTANG KEBIJAKAN PENCEGAHAN DAN
PENGENDALIAN INFEKSI
KESATU : Klinik Menyusun dan melaksanakan program PPI
sesuai dengan pelayanan dan resiko infeksi yang ada.
Penanggung jawab klinik menetapkan dan
melaksanakan program PPI sesuai dengan pelayanan
dan resiko yang ada di klinik sebagai berikut:
a) Kewaspadaan standar yang terdiri atas:
 kebersihan tangan;
 penggunaan apd;
 dekontaminasi dan sterilisasi
peralatan perawatan pasien;
 pengendalian lingkungan;
 pengelolaan limbah;
 penatalaksanaan linen;
 perlindungan kesehatan petugas;
 penempatan pasien;
 etika batuk dan bersin;
 praktik menyuntik yang aman
b) Kewaspadaan berdasarkan transmisi
yaitu:
 kewaspadaan transmisi kontak;
 kewaspadaan transmisi droplet;
dan
 kewaspadaan transmisi udara
(airbone).
c) Bundles
d) Survailans
e) Pendidikan dan pelatihan
f) Penggunaan anti mikroba yang bijak

KEDUA : Beberapa program PPI tersebut dapat dijadikan


indikator mutu klinik yang diukur, dievaluasi dan
dilaporkan secara berkala kepada pemilik dan
penanggungjawab klinik.
KETIGA : Adapun kebijakan dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan terlampir
dalam surat keputusan ini.
KEEMPAT : Surat keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan
dengan ketentuan terdapat kekeliruan akan diadakan
perbaikan/perubahan sebagai mana mestinya.

Ditetapkan di :
Pada Tanggal :

PENANGGUNG JAWAB KLINIK DISI

NAMA :
LAMPIRAN
KEPUTUSAN PENANGGUNG JAWAB
KLINIK DISI NOMOR 188.4/
/SK/05.12/2023
TENTANG
KEBIJAKAN PENCEGAHAN DAN
PENGENDALIAN INFEKSI

KEBIJAKAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI

A. KEWASPADAAN STANDAR
a. Kebersihan tangan:
Kebersihan tangan merupakan salah satu cara yang sangat efektif
dalam pencegahan infeksi yang wajib dilakukan baik Oleh petugas
kesehatan, pasien, pengunjung, dan masyarakat luas. penerapan
dan edukasi tentang kebersihan tangan perlu dilakukan secara
terus menerus agar dapat dilaksanakan secara konsisten
b. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) secara benar dan sesuai
indikasi Alat Pelindung Diri (APD) digunakan dengan benar untuk
mencegah dan mengendalikan infeksi Alat Pelindung Diri (APD)
digunakan dengan benar untuk mencegah dan mengendalikan
infeksi Alat Pelindung Diri (APD) digunakan dengan benar untuk
mencegah dan mengendalikan infeksi, APD yang dimaksud meliputi
tutup kepala (topo, masker, google (pensai wajah), sarung tangan,
gaun pelindung, sepatu pelindung digunakan secara tepat dan
benar oleh petugas Puskesmas, dan digunakan sesuai dengan
indikasi dalam pemberian asuhan pasien
c. Erika batuk dan bersin
Etika batuk dan bersin diterapkan untuk semua orang untuk kasus
infeksi dengan transmisi droplet atau airborne. Ketika batuk atau
bersin tutup hidung dan mulut dengan menggunakan tisu atau
lengan dalam baju, segera buang tisu yang sudah dipakai ke dalam
tempat sampah, kemudian cuci tangan dengan menggunakan air
bersih dan sabun atau pencuci tangan berbasis alkohol, dan wajib
menggunakan masker.
d. Penempatan pasien dengan benar pasien dengan penyakit infeksi
harus ditempatkan terpisah dengan pasien bukan penyakti infeksi.
penempatan pasien harus disesuaikan dengan pola transmisi infeksi
dan sebaiknya ditempatkan di ruangan tersendiri. Bila tidak tersedia
ruangan tersendiri dapat dilakukan kohorting. Jarak antara tempat
tidur pasien yang satu dengan yang lain minimal satu meter.
e. Penyuntikan yang aman
Tindakan penyuntikan yang aman perlu memperhatikan kesterilan
alat yang digunakan dan prosedur penyuntikannya. Pemakaian
spuit dan jarum suntik steril harus sekali pakai, dan berlaku juga
pada penggunaan Vial multi dosis untuk mencegah timbulnya
kontaminasi mikroba Saat obat dipakai pada pasien. penyuntikan
yang aman berdasarkan prinsip PPI meliputi :
(1) menerapkan teknik aseptik untuk mencegah kontaminasi alat
Injeksi.
(2) semua alat suntik yang dipergunakan harus sekali pakai untuk
satu pasien dan satu prosedur walaupun jarum suntiknya
berbeda.
(3) gunakan single dose untuk Obat injeksi dan cairan pelarut/
(4) proses penyampuran obat dilaksanakan sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(5) pengelolaan limbah tajam bekas pakai perlu dikelola dengan
benar sesuai perundang-undangan yang berlaku.
f. Dekontaminasi peralatan perawatan pasien dengan benar.
Menurunkan risiko infeksi melalui kegiatan dekontaminasi rnelalui
proses pembersihan awal (pre cleanning), pembersihan, disinfeksi dan
/atau sterilisasl dengan mengacu pada kategori Spaulding. meliputl
(1) kritikal berkaitan dengan alat kesehatan yang digunakan pada
jaringan steril atau sistim pembuluh darah dengan menggunakan
Tehnik Sterilisasi, sepcrti instrumen bedah, partus set.
(2) semi kritikal, peralatan yang digunakan pada selaput mukosa dan
area kecil dikulit yang lecet dengan menggunakan Disinfeksi
Tingkat Tinggi (DTT), seperti Oropharyngeal airumy (OPA)/Guedel,
penekan lidah, kaca gigi.
(3) non kritikal peralatan yang digunakan pada permukaan tubuh
yang berhubungan dengan kulit yang utuh dilakukan Disinfeksi
Tingkat Rendah, seperti tensimeter atau termometer. proses
dekontaminasi tersebut meliputi:
• pembersihan aval dilakukan Oleh petugas di tempat kerja
dengan menggunakan APD dengan cara membersihkan
dari semua kotoran, darah dan cairan tubuh dengan air
mengalir, untuk kemudian dilakukan transportasi ke
tempat pembersihan, disinfeksi dan sterilisasi.
• pembersihan merupakan proses secara fisik membuang
semua kotoran, darah, atau cairan tubuh lainnya dari
permukaan peralatan secara manual atau mekanis dengan
mencuci bersih dengan detergen (golongan disinfenktan
dan klorin dengan komposisi sesuai dengan standar yang
berlaku) atau larutan enzymatic, dan ditiriskan sebelum
dilakukan disinfeksi atau sterilisasi.
• disinfeksi tingkat tinggi dilakukan untuk peralatan semi
kritikal untuk menghilangkan semua mikroorganisme
kecuali beberapa endospore bacterial dengan cara
merebus, menguapkan atau menggunakan disinfektan
kimiawi.
• sterilisasi merupakan proscs menghilangkan semua
mikroorganisme termasuk endospore menggunakan uap
bertekanan tinggi (autoclave), panas kering (oven),
sterilisasi kimiawi, atau cara sterilisasi yang Iain.
Dekontaminasi lingkungan yaitu pernbersihan permukaan
lingkungan yang berada di sekitar dari kernungkinan kontaminasi
darah, produk darah atau cairan tubuh. Pembersihan dilakukan
dengan menggunakan cairan desinfektan seperti klorin untuk
permukaan lingkungan dan 0,5% pada lingkungan yang
terkontaminasi darah dan produk darah_ Selain klorin dapat
digunakan desinfektan Iain sesuai ketentuan.
g. Pengelolaan linen dengan benar
Pengelolan linen yang baik dan benar adalah salah satu upaya untuk
menurunkan resiko infeksi. Linen terbagi menjadi linen kotor non
infeksius dan linen kotor infeksius. Linen kotor infeksius adalah linen
yang terkena darah atau cairan tubuh Iainnya. Penatalaksanaan
linen yang sudah digunakan harus dilakukan dengan hati-hati.
Kehatihatian ini mencakup penggunaan APD petugas yang mengelola
linen, clan kebersihan tangan sesuai prinsip PPI terutama pada linen
infeksius. Fasilitas kesehatan hat-us membuat regulasi pengelolaan.
Penatalaksanaan linen meliputi penatalaksanaan linen di tuangan,
transportasi linen ke ruang cuci/ laundry, dan penatalaksanaan linen
di ruang cuci/ laundry, Prinsip yang harus diperhatikan dalam
penatalaksanaan linen adalah selalu memisahkan antara linen
bersih, linen kotor dan steril atau dengan kata Iain setiap kelompok
linen tersebut harus ditempatkan pada tempat yang terptsah
h. Pengelolaan limbah dengan benar dan sesuai vrraturan perundangan.
Puskesmas setiap harinya menghasilkan limbah, terutama limbah
infeksius, benda tajam dan jarum yang apabila pengelolaan
pembuangan dilakukan dengan tidak benar dapat menimbulkan
risiko infeksi. Pengelolaan limbah infeksius meliputi pengelolaan
limbah cairan tubuh infeksius, darah, sampel laboratorium, benda
tajam (seperti jar-am) dalam safety box (penyimpanan khusus) , dan
limbah B3. proses edukasi kepada karyawan mengenai pengelolaan
yang aman, ketersediaan tempat penyimpanan khusus dan pelaporan
pajanan limbah infeksius atau tertusukjarum dan benda tajam.
Pengelolaan limbah meliputi
(1) limbah infeksius adalah limbah yang terkontaminasi darah dan
cairan tubuh, sample laboratorium, produk darah dan lain-lain,
yang dimasukan kedalam kantong plastik berwarna kuning dan
dilakukan proses sesuai ketentuan peraturan
perundangundangan.
(2) limbah benda tajam adalah sernua limbah yang memiliki
permukaan tajam yang dimasukkan ke dalam safety box
(penyimpanan khusus tahan tusukan dan tahan air).
penyimpanan tidak boleh melebihi 4/4 isi safety box.
(3) limbah Cair infeksius segera dibuang ketempat pernbuangan
limbah Cair (spoel hoek)
(4) pengelolaan limbah dimaksud meliputi identifikasi,
penampungan, pengangkutan, tempat penampungan
sementara, pengolahan akhir limbah pernbuangan benda tajam
(seperti jarum) Yang tidak benar merupakan salah satu
penyebab bahaya luka tusuk jarum Yang berisiko pada
penularan penyakit infeksi melalui darah sehingga diperlukan
pengelolaan risiko pasca pajanan.
i. Perlindung petugas terhadap infeksi.
Petugas kesehatan dalarn menjalankan tugas pelayanan perlu
dilindungi terhadap terpapar infeksi. Perlindungan petugas dilakukan
melalu pemeriksaan berkala, pemberian vaksinasi, dan perlindungan
serta tindak lanjut jika terjadi pajanan.
B. KEWASPADAAN TRANSMISI
Kewaspadaan berdasarkan transmisi sebagai tambahan Kewaspadaan
Standar yang dilaksanakan sebelum pasien didiagnosis dan setelah
terdiagnosis jenis infeksinya. Jenis kewaspadaan berdasarkan transmisi
sebagai berikut:
1. Melalui kontak
2. Melalui droplet
3. Melalui udara (Airborne Precautions)
4. Melalui common vehicle (makanan, air, obat, alat, peralatan)
5. Melalui vektor (lalat, nyamuk, tikus)
1. Kewaspadaan Transmisi Melalui Kontak
Kewaspadaan ini bertujuan untuk menurunkan risiko timbulnya
Healthcare Associated Infections (HAIs),terutama risiko transmisi
mikroba yang secara epidemiologi diakibatkan oleh kontak
langsung atau tidak langsung.
a) Kontak langsung meliputi kontak dengan permukaan kulit
yang terbuka dengan kulit terinfeksi atau kolonisasi.
Misalnya pada saat petugas membalikkan tubuh pasien,
memandikan, membantu pasien bergerak, mengganti
perban, merawat oral pasien Herpes Simplex Virus (HSV)
tanpa sarung tangan.
b) Transmisi kontak tidak langsung adalah kontak dengan
cairan sekresi pasien terinfeksi yang ditransmisikan
melalui tangan petugas yang belum dicuci atau benda mati
dilingkungan pasien, misalnya instrumen, jarum, kasa,
mainan anak, dan sarung tangan yang tidak diganti.
c) Hindari menyentuh permukaan lingkungan lainyang tidak
berhubungan dengan perawatan pasien sebelum
melakukan aktivitas kebersihan tangan (hand hygiene).
d) Petugas harus menahan diri untuk tidak menyentuh mata,
hidung, mulut saat masih memakai sarung tangan
terkontaminasi/tanpa sarung tangan.
2. Kewaspadaan Transmisi Melalui Droplet
Transmisi droplet terjadi ketika partikel droplet berukuran >5 µm
yang dikeluarkan pada saat batuk, bersin, muntah, bicara,
selama prosedur suction, bronkhoskopi, melayang di udara dan
akan jatuh dalam jarak <2 m dan mengenai mukosa atau
konjungtiva, untuk itu dibutuhkan APD atau masker yang
memadai, bila memungkinkan dengan masker 4 lapis atau yang
mengandung pembunuh kuman (germ decontaminator). Jenis
transmisi percikan ini dapat terjadi pada kasus antara lain
common cold, respiratory syncitial virus (RSV), Adenovirus, H5N1,
H1N1.
3. Kewaspadaan Transmisi Melalui Udara (Air-Borne Precautions)
Transmisi melalui udara secara epidemiologi dapat terjadi bila
seseorang menghirup percikan partikel nuklei yang berdiameter 1-
5 µm (<5 µm) yang mengandung mikroba penyebab infeksi. Mikroba
tersebut akan terbawa aliran udara >2 m dari sumber, dapat
terhirup oleh individu rentan di ruang yang sama atau yang jauh
dari sumber mikroba. Penting mengupayakan pertukaran udara
>12 x/jam (12 Air Changes per Hour/ACH). Dikombinasikan dengan
pertukaran udara mekanis yang menggunakan kipas angin dan
ekshaust fan untuk mengatur udara di dalam suatu ruangan agar
menghindari/meminimalkan terjadinya penularan. Hal ini selaras
dengan rekomendasi dari WHO. Langkah-langkah penerapan
kewaspadaan transmisi melalui udara antara lain:
a) Pengaturan penempatan posisi pemeriksa, pasien dan
ventilasi mekanis di dalam suatu ruangan dengan
memperhatikan arah suplai udara bersih yang masuk dan
keluar.
b) Penempatan pasien TB yang belum pernah mendapatkan
terapi OAT, harus dipisahkan dari pasien lain, sedangkan
pasien TB yang telah mendapat terapi OAT secara efektif
berdasarkan analisis resiko tidak berpotensi menularkan
TB baru dapat dikumpulkan dengan pasien lain.
c) Peringatan tentang cara transmisi infeksi dan penggunaan
APD pada pasien, petugas dan pengunjung penting
dicantumkan di pintu ruangan rawat pasien sesuai
kewaspadaan transmisinya.
C. SURVEILANS
Surveilans kesehatan adalah kegiatan pengamatan yang sistematis dan
terus menerus terhadap data dan informasi tentang kejadian penyakit
atau masalah kesehatan dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya
peningkatan dan penularan penyakit atau masalah kesehatan untuk
memperoleh dan memberikan informasi guna mengarahkan tindakan
pengendalian dan penanggulangan secara efektif dan efisien.Salah satu
dari bagian surveilans kesehatan adalah Surveilans infeksi terkait
pelayanan kesehatan (Health Care Associated Infections/HAIs).
Surveilans infeksi terkait pelayanan kesehatan (Health Care Associated
Infections/HAIs) adalah suatu proses yang dinamis, sistematis, terus
menerus dalam pengumpulan, identifikasi, analisis dan interpretasi data
kesehatanyang penting di fasilitas pelayanan kesehatan pada suatu
populasi spesifik dan didiseminasikan secara berkala kepada pihak-
pihak yang memerlukan untuk digunakan dalam perencanaan,
penerapan, serta evaluasi suatu tindakan yang berhubungan dengan
kesehatan.
Kegiatan surveilans HAIs merupakan komponen penunjang penting
dalam setiap program pencegahan dan pengendalian infeksi. Informasi
yang dihasilkan oleh kegiatan surveilans berguna untuk mengarahkan
strategi program baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan maupun
pada tahap evaluasi.Dengan kegiatan surveilans yang baik dan benar
dapat dibuktikan bahwa program dapat berjalan lebih efektif dan efisien.
D. PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
Untuk dapat melakukan pencegahan dan
pengendalian infeksi dibutuhkan pendidikan dan
pelatihan baik terhadap seluruh SDM fasilitas pelayanan
kesehatan maupun pengunjung dan keluarga pasien.
Bentuk pendidikan dan/atau pelatihan pencegahan dan
pengendalian infeksi terdiri dari:
a. Komunikasi, informasi, dan edukasi
b. Pelatihan PPI
Pendidikan dan pelatihan pencegahan dan
pengendalian infeksi diberikan oleh pemerintah,
pemerintah daerah, dan/atau organisasi profesi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta
petugas fasilitas pelayanan kesehatan yang memiliki
kompetensi di bidang PPI, termasuk Komite atau Tim PPI.
Pendidikan dan pelatihan bagi Komite atau Tim PPI
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan dasar dan lanjut
serta pengembangan pengetahuan PPI lainnya.
b. Memiliki sertifikat yang dikeluarkan oleh lembaga
pelatihan sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
c. Mengembangkan diri dengan mengikuti
Seminar, lokakarya dan sejenisnya.
d. Mengikuti bimbingan teknis secara berkesinambungan.
e. Perawat PPI pada Komite atau Tim PPI (Infection
Prevention and Control Nurse/IPCN) harus
mendapatkan tambahan pelatihan khusus IPCN
pelatihan tingkat lanjut.
f. Infection Prevention and Control Link Nurse/IPCLN
harus mendapatkan tambahan pelatihan PPI tingkat
lanjut.
Pendidikan dan pelatihan bagi Staf Fasilitas Pelayanan
Kesehatan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Semua staf pelayanan di fasilitas pelayanan kesehatan
harus mengetahui prinsip-prinsip PPI antara lain melalui
pelatihan PPI tingkat dasar.
b. Semua staf non pelayanan di fasilitas pelayanan kesehatan
harus dilatih dan mampu melakukan upaya pencegahan
infeksi meliputi hand hygiene, etika batuk, penanganan
limbah, APD (masker dan sarung tangan) yang sesuai.

c. Semua karyawan baru, mahasiswa, PPDS harus


mendapatkan orientasi PPI.
d. Pendidikan bagi Pengunjung dan keluarga pasien berupa
komunikasi, informasi, dan tentang PPI terkait penyakit
yang dapat menular.

E. PENGENDALIAN RESISTENSI ANTI MIKROBA


Pemberian terapi antimikroba merupakan salah satu tata laksana
penyakit infeksi yang bertujuan membunuh atau menghambat
pertumbuhan mikroba di dalam tubuh. Mikroba yang melemah atau
mati akibat antimikroba, akan dihancurkan oleh sistem pertahanan
tubuh secara alamiah. Jika mikroba penyebab infeksi telah resisten
terhadap antimikroba yang digunakan, maka mikroba tersebut tetap
bertahan hidup dan berkembang biak sehingga proses infeksiterus
berlanjut.
Pemberian antibiotik pada pasien dapat berupa:
1. Profilaksis bedah pada beberapa operasi bersih (misalnya
kraniotomi, mata) dan semua operasi bersih terkontaminasi adalah
penggunaan antibiotik sebelum, selama, dan paling lama 24 jam
pasca operasi pada kasus yang secara klinis tidak memperlihatkan
tanda infeksi dengan tujuan mencegah terjadinya infeksi daerah
operasi. Pada prosedur operasi terkontaminasi dan kotor,pasien
diberi terapi antibiotik sehingga tidak perlu ditambahkan antibiotik
profilaksis.
2. Terapi antibiotik empirik yaitu penggunaan antibiotik pada kasus
infeksi atau diduga infeksi yang belum diketahui jenis bakteri
penyebabnya. Terapi antibiotik empirik ini dapat diberikan selama
3-5 hari. Antibiotik lanjutan diberikan berdasarkan data hasil
pemeriksaan laboratorium dan mikrobiologi. Sebelum pemberian
terapi empirik dilakukan pengambilan spesimen untuk pemeriksaan
mikrobiologi. Jenis antibiotik empirik ditetapkan berdasarkan pola
mikroba dan kepekaan antibiotik setempat.
3. Terapi antibiotik definitif adalah penggunaan antibiotik pada kasus
infeksi yang sudah diketahui jenis bakteri penyebab dan
kepekaannya terhadap antibiotik.
F. MONITORING DAN EVALUASI

Anda mungkin juga menyukai