Panduan Pengelolaan Limbah B3 PLTS Final
Panduan Pengelolaan Limbah B3 PLTS Final
Indonesia memiliki potensi energi surya yang sangat besar. Potensi energi surya
berdasarkan data publish Kementerian ESDM tahun 2021 adalah sebesar 3294,36 GW
dengan kapasitas PLTS yang telah terpasang sampai dengan tahun 2021 sebesar 153
MW.
Akhirnya, kami berharap semoga Buku Panduan Pengelolaan Limbah B3 PLTS dapat
memberikan manfaat bagi semua pihak yang berpartisipasi dalam pengembangan
PLTS di Indonesia.
Jakarta, 2022
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan
dan Konservasi Energi
Dadan Kusdiana
i
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, kami sampaikan
bahwa Buku Panduan Pengelolaan Limbah B3 PLTS telah selesai disusun. Buku
Panduan memberikan referensi dan rujukan kepada pengembang PLTS diantaranya
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi terkait lainnya, dan pengembang PLTS
dalam mengidentifikasi dan menyelenggarakan pengelolaan limbah B3 PLTS.
Limbah B3 baik dari sumber domestik maupun industri masih merupakan masalah
yang dihadapi, tidak terkecuali pembangkit PLTS. Jumlah, jenis, dan karakteristik
limbah B3 sangat berbeda dalam setiap pengelolaanya. Oleh karena itu, identifikasi
limbah sangat diperlukan untuk mengetahui bagaimana limbah untuk dapat
ditindaklanjuti pengelolaanya dengan baik.
Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih atas kerja sama seluruh pihak yang
terlibat dalam penyusunan buku panduan ini dan kami juga menyampaikan
permohonan maaf apabila ada hal yang kurang di dalam buku ini. Masukan dan saran
untuk penyempurnaan buku panduan ini sangat kami harapkan.
Jakarta, 2022
Tim Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Peta potensi radiasi energi surya di Indonesia (sumber: KESDM, 2021) ................. 5
Gambar 2. Ilustrasi prinsip kerja modul surya (sumber: NREL).................................................... 6
Gambar 3. Komponen utama pada PLTS Groung Mounted (sumber: NREL) .............................. 7
Gambar 4. Skema perjalanan Logam Berat dari sumber pencemar sampai ke tubuh Manusia
(sumber: KLHK) .................................................................................................................................. 12
Gambar 5. Reaksi pada baterai (sumber: University of Washington) ........................................ 13
Gambar 6. Komponen penyusun modul surya Silikon Kristalin (sumber: Solarquotes) .......... 14
Gambar 7. Grafik penggolongan Logam Beracun (sumber: KLHK) ............................................ 15
Gambar 8. Proses daur ulang limbah modul surya (sumber: Enea Consulting) ....................... 16
Gambar 9. Proyeksi limbah modul surya di dunia (sumber: IRENA) .......................................... 17
Gambar 10. Baterai Lead Acid (sumber: GIZ)................................................................................ 20
Gambar 11. Struktur penyusun baterai Lead Acid (sumber: GIZ) .............................................. 21
Gambar 12. Contoh baterai Lithium Ion yang digunakan pada PLTS Terpusat (sumber: GIZ)
.............................................................................................................................................................. 24
Gambar 13. Struktur penyusun baterai Lithium (sumber: GIZ) .................................................. 25
Gambar 14. Format Rincian Teknis penyimpanan limbah B3 ...................................................... 30
Gambar 15. Penyimpanan limbah B3 PLTS memerlukan Rincian Teknis ................................... 30
Gambar 16. Ringkasan pengelolaan limbah B3 ............................................................................. 39
Gambar 17. Gambar kedudukan Persetujuan Teknis dalam persetujuan lingkungan ............. 40
Gambar 18. Rancang bangun berupa bangunan Tempat Penyimpanan Sementara (TPS)
limbah B3 pada PLTS ......................................................................................................................... 41
Gambar 19. Contoh tata ruang fasilitas penyimpanan limbah B3 berupa bangunan .............. 42
Gambar 20. Contoh pola penyimpanan limbah B3 menggunakan kemasan Drum .................. 43
Gambar 21. Penyimpanan limbah B3 dengan menggunakan Jumbo Bag ................................. 43
DAFTAR TABEL
iv
DAFTAR SINGKATAN
v
BAB I
PENDAHULUAN
Energi kerap menjadi sorotan dunia dalam beberapa dekade ini dikarenakan
merupakan hal yang vital namun seringkali terbentur oleh masalah lingkungan.
Pencarian terhadap sumber yang berkelanjutkan terus dilakukan salah satunya melalui
energi surya. Saat ini energi surya dikonversi menjadi energi listrik dengan tujuan
energi listrik dapat dihasilkan dengan sumber yang berkelanjutan tanpa mengakibatan
permasalahan lingkungan.
Pada prinsipnya pemanfaatan energi surya melalui Pembangkit Listrik Tenaga Surya
(PLTS) memang tidak menghasilkan emisi. Namun, bukan berarti PLTS tidak
menghasilkan limbah. Limbah baik pada tahap produksi, konstruksi, operasi,
pemeliharaan dan pasca operasi PLTS dapat menjadi potensi yang berbahaya bagi
lingkungan alih-alih mencari sumber energi terbarukan. Oleh karena itu, proses pada
setiap tahapan tersebut harus menerapkan prinsip pengelolaan limbah yang sesuai
dengan ketentuan sehingga terhindar dari dampak berbahaya pada lingkungan
sekitar.
PLTS saat ini menjadi prioritas pemenuhan energi nasional dalam mewujudkan bauran
energi nasional sebesar 23% pada tahun 2025. Hal ini didukung oleh perkembangan
teknologi yang cepat, harga yang semakin terjangkau, sumber energi yang melimpah
serta portabilitas yang memungkinkan dipasang dimanapun selama mendapat sinar
1
matahari. Dengan berkembangnya regulasi dan kebijakan PLTS, maka infrastruktur
PLTS diharapkan dapat dilaksanakan dengan aman dan ramah lingkungan. Oleh
karena itu perlu disusun sebuah buku Panduan Pengelolaan Limbah B3 PLTS sebagai
salah satu referensi pengembangan PLTS.
Secara garis besar Panduan Pengelolaan Limbah B3 PLTS ini akan memberikan
penjelasan dan petunjuk untuk mengidentikasi limbah pada PLTS dan juga
pengelolaannya. Untuk memberikan pemahaman terstruktur dengan baik,
pengelolaan limbah B3 PLTS pada buku ini dijabarkan sebagai berikut:
1) Bab I menjelaskan tentang latar belakang, gambaran umum PLTS, maksud dan
tujuan, ruang lingkup serta kebijakan pemanfaatan energi dan limbah B3 di
Indonesia.
2) Bab II menjelaskan tentang gambaran umum PLTS terdiri dari potensi energi
surya, prinsip kerja PLTS, komponen penyusun PLTS, dan identifikasi potensi
limbah PLTS.
3) Bab III menjelaskan tentang potensi limbah B3 yang dihasilkan dari konstruktsi,
operasi, pemeliharaan, dan pasca operasi pengelolaan PLTS sebagai proses
pemanfaatan energi surya serta klasifikasi limbah B3 PLTS.
4) Bab IV menjelaskan tentang aspek regulasi khusus pada pengelolaan limbah B3
PLTS, pelaku usaha pada proses pengelolaan limbah B3 PLTS, serta proses
pengelolaan limbah B3 PLTS disisi komersial dan masyarakat.
Panduan Pengelolaan Limbah B3 PLTS ini diharapkan dapat menjadi salah satu
rujukan dalam pengelolaan limbah B3 pada pengembangan PLTS mulai dari konstruksi
sampai dengan pengoperasian, pemeliharaan dan pasca operasi. Selain itu, panduan
ini diharapkan dapat mencegah dan mengurangi kemungkinan pencemaran
lingkungan akibat limbah yang dihasilkan PLTS dan menjamin operasional sistem PLTS
yang aman dan nyaman bagi lingkungan sekitar.
2
Panduan Pengelolaan Limbah B3 PLTS bertujuan untuk memberikan petunjuk
mengenai regulasi, mengidentifikasi potensi limbah B3 PLTS, memberikan
rekomendasi pengelolaan, mengendalikan dan mencegah atau mengurangi potensi
bahaya dan risiko khususnya pada sistem PLTS dan lingkungan di sekitarnya yang
bisa berdampak fatal pada tenaga kerja, komponen PLTS maupun lingkungan di
sekitar PLTS.
Buku panduan ini membahas hal-hal yang berkaitan dengan aspek pengelolaan limbah
B3 PLTS yang dapat berdampak pada tercemarnya lingkungan sekitar. Pokok bahasan
panduan pengelolaan B3 PLTS dimulai dari gambaran umum PLTS, identifikasi limbah
PLTS, regulasi pengelolaan limbah PLTS, pelaku pengelolaan limbah B3 PLTS, serta
pengelolaan limbah B3 PLTS.
3
8. Peraturan Menteri Lingkungan hidup dan Kehutanan Nomor 74 tahun 2019 tentang
Program Kedaruratan Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun dan/atau
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
9. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 29 tahun 2020
tentang Pengelolaan Polychlorinated Biphenyls
10. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 4 Tahun 2021 tentang
Daftar Usaha dan/atau Kegiatan Yang Wajib Memiliki Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan hidup, Upaya Pengelolaan Lingkungan hidup dan Upaya Pemantauan
Lingkungan hidup atau Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan
Pemantauan Lingkungan hidup
11. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 6 Tahun 2021 tentang
Tata Cara dan Persyaratan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
12. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.7 tahun 2021 tentang
Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan
Fungsi Kawasan Hutan, serta Penggunaan Kawasan Hutan
13. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.8 tahun 2021 tentang Tata
Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan di
Hutan Lindung dan Hutan Produksi
14. Peraturan Menteri Perhubungan No. 48 tahun 2014 tentang Tata Cara Pemuatan,
Penyusunan, Pengangkutan, dan Pembongkaran Barang Dengan Kereta Api
4
BAB II
GAMBARAN UMUM PLTS
PLTS adalah sistem pembangkit listrik yang mengkonversi energi matahari (radiasi
matahari) menjadi listrik. Lokasi-lokasi dengan radiasi matahari yang optimal
menandakan potensi yang memungkinkan untuk instalasi PLTS. Indonesia yang
merupakan negara tropis dan terletak pada garis khatulistiwa diuntungkan oleh
intensitas sinar matahari yang tersedia sepanjang tahun.
Gambar 1. Peta potensi radiasi energi surya di Indonesia (sumber: KESDM, 2021)
5
2.2. Prinsip Kerja PLTS
PLTS bekerja sebagai satu kesatuan dengan komponen utama berupa modul surya,
inverter dan baterai sebagai penyimpanan energi. Modul surya bekerja dengan cara
mengubah radiasi sinar matahari menjadi energi listrik. Prinsip kerja pembangkit listrik
tenaga surya dimulai saat radiasi sinar matahari (foton) mengenai bahan
semikonduktor pada modul surya yang kemudian menghasilkan energi kinetik dan
menyebabkan pelepasan elektron ke pita konduksi yang mengalir menjadi arus listrik
searah (DC). Sel-sel semikonduktor tersebut melepaskan elektron-elektronnya saat
disinari oleh cahaya matahari (foton). Semakin besar intensitas cahaya (foton) yang
diterima maka energi kinetik yang dihasilkan akan makin besar. Proses tersebut
dikenal sebagai efek fotovoltaik. Secara singkat, prinsip kerja modul surya adalah:
a. Sinar matahari sampai ke sel silikon dan diteruskan ke semikonduktor tipe n dan
tipe p
b. Sinar matahari yang membawa radiasi dan cahaya memberi energi gerak (kinetik)
dari sambungan semikonduktor n dan p
c. Energi kinetik bergerak bebas melepaskan elektron ke pita konduksi
d. Pita konduksi mengalirkan arus listrik searah (DC)
Setelah arus listrik searah dihasilkan, arus dialirkan kepada inverter untuk diubah
menjadi arus bolak-balik (AC) yang bisa dimanfaatkan kepada jaringan. Jika PLTS
dimanfaatkan langsung maka modul surya akan terhubung dengan bebannya atau
dimanfaatkan secara off-grid (tidak bergantung pada sistem yang terhubung
jaringan). Sementara jika PLTS berlangsung secara 24 jam diperlukan baterai PLTS
pada PLTS off-grid sebagai komponen utama tambahan.
6
2.3. Komponen PLTS
Instalasi PLTS terdiri dari tiga jenis sesuai dengan tempat pemasanganya yaitu PLTS
di atas tanah (ground mounted), PLTS Atap (rooftop) dan PLTS Terapung (floating).
Ketiga tipe ini dapat dioperasikan baik secara on-grid maupun off-grid. PLTS off-grid
umumnya memiliki baterai untuk menyimpan energi serta komponen yang mengatur
proses pengisian baterai untuk mensiasati ketiadaan energi pada malam hari.
Komponen utama PLTS umumnya terdiri dari modul surya, inverter serta komponen
pendukung lain yang dapat dilihat pada gambar 3. PLTS Terapung (floating) memiliki
komponen tambahan berupa floater serta jangkar dan kelengkapannya. Floater
merupakan area pemasangan modul surya yang berada di atas air dan jangkar
berfungsi untuk menahan floater agar modul surya tidak berpindah dari posisinya.
Selain Komponen utama PLTS diatas, komponen PLTS juga dapat terdiri dari beberapa
komponen tambahan sesuai dengan lokasi instalasi PLTS berada. Komponen PLTS
secara rinci dapat dilihat pada Tabel 1.
7
Tabel 1. Komponen PLTS dan fungsinya
Fungsi/ Prediksi
Nama Komponen dan Gambar
Keterangan Masa Hidup
8
Fungsi/ Prediksi
Nama Komponen dan Gambar
Keterangan Masa Hidup
9
Fungsi/ Prediksi
Nama Komponen dan Gambar
Keterangan Masa Hidup
Jangkar dan Tali Jangkar (Anchor) dan Tali Jangkar 20-25 tahun
Jangkar (Mooring) berguna untuk menahan
pergerakan PLTS Terapung agar tidak
berpindah. Jangkar umumnya terbuat
simpangan besarnya fluks yang
dari beton sedangkan tali jangkar
diberikan cahaya tersebut
terbuat dari besi.
Limbah PLTS umumya berasal dari masa pakai dari komponen PLTS yang sudah
berumur. Komponen PLTS tidak mengeluarkan limbah operasional harian dan hanya
berupa limbah yang dihasilkan dari kegiatan operasional, namun limbah yang
10
dihasilkan adalah limbah dari hasil penggantian komponen rusak ataupun hasil
pememeliharaan berkala. Limbah PLTS yang dihasilkan dari kegiatan konstruksi,
operasi, pemeliharaan dan pasca operasi dapat mencakup pada jenis limbah B3.
11
BAB III
IDENTIFIKASI POTENSI LIMBAH B3 PLTS
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) merupakan jenis limbah yang meliputi
bahan-bahan yang membahayakan bagi lingkungan sekitar. Karakteristik limbah B3
meliputi mudah meledak, mudah menyala, reaktif, korosif, infeksius dan/atau
beracun. Limbah B3 yang dapat menyebabkan bahaya sekitar perlu diidentifikasi dari
setiap aktivitas yang mengandung komponen berbahaya dan mencemari lingkungan
yang berujung pada kesehatan mahluk hidup sekitar sebagaimana dijelaskan gambar
4 dimana limbah B3 berupa logam berat dapat meracuni manusia.
Gambar 4. Skema perjalanan Logam Berat dari sumber pencemar sampai ke tubuh Manusia
(sumber: KLHK)
Selain logam beracun, limbah B3 beracun dapat meliputi limbah beracun dalam bentuk
cairan yang dapat merusak lingkungan ataupun mengakibatkan kematian pada
makhluk hidup sekitar. Limbah B3 beracun seperti turunan dari minyak bumi dapat
mengakibatkan risiko yang tinggi bagi kerusakan tanah dan perairan. Selain itu kontak
12
dengan limbah B3 cair beracun berdampak pada makhluk hidup secara langsung
ataupun tidak langsung.
Limbah B3 yang korosif dalam bentuk cairan juga perlu diperhatikan penangananya
dimana perlu penyimpanan dalam kemasan kedap sehingga tidak mengenai limbah
lainnya ataupun tercecer menginat dampaknya yang dapat berdampak langsung bagi
manusia yang dapat mengakibatkan luka-luka.
Pada modul surya silikon kristalin, jika ditelurusi lebih jauh, komponen penyusun
utama terdiri dari kaca, bingkai alumunium, laminasi (enkapsulasi), sel surya, serta
13
penutup belakang modul, dan kotak panel penghubung. Ilustrasi komponen penyusun
pada modul surya sebagaimana gambar 6 berikut.
Penyumbang utama berat total modul PV silikon kristal adalah kaca (75%), polimer
(10%), aluminium (8%), silikon (5%), tembaga (1%) dan sejumlah kecil perak, timah,
dan komponen logam lainnya. Timbal dan timah, jika larut ke dalam tanah dan air
tanah menyebabkan masalah kesehatan dan lingkungan.
Secara singkat potensi limbah B3 pada modul surya adalah sebagai berikut:
• Modul surya silikon kristalin mengandung elemen seperti timah dan timbal.
• Modul surya thin film dapat mengandung seng dan tembaga. Modul surya thin film
juga dapat mengandung indium, gallium, selenium, cadmium tellurium.
14
Logam-logam limbah B3 diatas memiliki potensi beracun sebagaimana disebutkan
pada gambar 7 dibawah. Limbah logam tersebut sebenarnya berpotensi untuk daur
ulang sebagai salah satu cara yang aman agar tidak mencemari lingkungan.
Dalam penanganan limbah, daur ulang dapat menjadi solusi dalam penangan limbah
modul surya. Secara umum daur ulang modul surya dapat dibagi menjadi 5 tahapan:
1. Pengumpulan limbah modul
2. Transportasi limbah modul
3. Pembongkaran limbah modul
4. Pemisahan dan pemurnian limbah modul
5. Peningkatan nilai limbah dan penggunaan kembali
Proses daur ulang modul harus disesuaikan dengan teknologi penyusunya. Terdapat
dua teknologi utama modul fotovoltaik yaitu teknologi crystalline (C-Si : mono dan
poly-crystalline) dan teknologi thin film (Si-amorphous, CdTe, CIGS).
15
Representasi proses daur ulang untuk kelima tahapan diatas dapat dirinci sebagai
berikut.
Pengumpulan PENGUMPULAN
limbah modul
Transportasi TRANSPORTASI
limbah modul
Plastik Bingkai
Material Kaca
Cell bekas bekas alumunium
logam bekas bekas
bekas
PENINGKATAN
NILAI DAN
PENGGUNAAN
Daur Daur KEMBALI
ulang ulang
logam silikon Dijual Digunakan kembali di industri FV
Gambar 8. Proses daur ulang limbah modul surya (sumber: Enea Consulting)
16
International Renewable Energy Agency (IRENA) dalam publikasi End Of Life
Management Solar Photovoltaic Panels menyebutkan proyeksi limbah dari modul surya
di Dunia mencapai 78 juta ton dengan skema early loss dan 60 juta ton dengan skema
regular loss pada tahun 2050.
Dalam publikasi IRENA, pada tahun 2050 Indonesia diproyeksikan menghasilkan 1,7
juta ton limbah modul surya dengan skema early loss dan 600 ribu ton limbah modul
surya dengan skema regular loss.
17
Skema early loss mempertimbangkan masa hidup modul surya yaitu berkisar 30 tahun
serta petimbangan kerusakan awal seperti tahun kedua karena instalasi, kerusakan
pada tahun kesepuluh dan kelima belas dikarenakan degradasi, serta juga
mempertimbangkan kerusakan pada transportasi dan instalasi, skema regular loss
hanya mepertimbangkan masa hidup modul surya yang bekisar 30 tahun.
Definisi baterai bekas secara umum adalah apabila baterai yang digunakan telah
melampaui siklus masa pakainya sesuai dengan spesifikasi dari pabrikan. Namun
demikian pada kenyataan di lapangan untuk sistem PLTS, banyak ditemukan baterai-
baterai yang tidak dapat digunakan lagi atau tidak berfungsi optimal dalam membantu
menstabilisasikan supplai listrik, meskipun siklus masa pakai belum terlampaui. Hal ini
dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain salah satunya dikarenakan
pengelolaan dan pemeliharaan sistem baterai yang tidak benar, seperti kelebihan
beban, disfungsi discharge dan charging, dan sebagainya. Untuk itu definisi baterai
bekas / rusak pada sistem PLTS perlu didefinisikan lebih tegas dan jelas.
Hingga saat ini belum tersedia, aturan maupun panduan yang disepakati untuk
menyatakan bahwa baterai sudah tidak laik atau rusak meskipun masih dalam
tenggang waktu masa pakai baterai. Untuk itu dalam panduan ini, disarankan untuk
menggunakan definisi baterai bekas atau rusak dalam sistem PLTS sebagai berikut:
Sistem baterai dinyatakan telah menjadi baterai bekas/rusak apabila menunjukkan
beberapa indikator berikut;
• Kapasitas pelayanan baterai terhadap beban kurang dari satu malam (8 jam)
• Terjadi kerusakan baterai secara fisik
• Hasil pengukuran karakteristik kelistrikan yang jauh dari spesifikasi pabrikan
• Usia baterai telah melewati masa perkiraan umur baterai yang telah ditetapkan
oleh pabrikan
18
Adapun metode untuk melakukan identifikasi baterai bekas/rusak dalam sistem PLTS
terhadap beberapa tahapan, antara lain:
19
▪ Komparasi antara pengukuran dan pertama akan memperlihatkan baterai yang
rusak apabila tegangan menurun sangat signifikan padahal tidak ada beban.
Diperlukan performa baterai yang cukup agar dapat melayani beban pada PLTS
komunal, untuk itu kegiatan evaluasi kualitas baterai dengan cara melakukan
pengukuran nilai resistansi sangat direkomendasikan dilakukan untuk dapat
mengidentifikasi kerusakan sebuah sistem baterai lebih dini.
Alat yang digunakan untuk mengukur nilai resistansi dalam adalah Internal Resistance
Meter. Pengukuran dilakukan ketika kondisi SOC 100%. Adapun jenis teknologi yang
digunakan bervariasi seiring dengan perkembangan ketersediaan penyedia baterai di
Indonesia, hal ini dikelompokan dalam 3 jenis teknologi, yaitu;
1. Lead Acid
Baterai berjenis lead acid paling banyak digunakan dalam implementasi PLTS off-grid
di Indonesia karena cenderung andal dalam waktu lama, lebih aman, mudah
20
digunakan, dan biaya yang relatif lebih murah jika dibandingkan dengan teknologi
lainnya dalam hitungan per siklusnya. Selain penggunaan untuk PLTS, baterai jenis ini
paling banyak digunakan pada otomotif karena memilki nilai daya yang besar untuk
melakukan proses starting mesin.
Struktur utama dari baterai jenis lead acid adalah terdiri dari;
1. Katoda (plat positif)
2. Anoda (plat negative)
3. Separator
4. Elektrolit
21
Tabel 3. Karakteristik baterai Lead Acid berdasarkan konstruksi dan komponennya
22
Baterai lead acid merupakan baterai dengan teknologi yang sudah cukup tua, namun
penggunaannya masih banyak dilakukan karena banyak kelebihan dibandingkan
dengan sistem penyimpan energi yang lain, adapun kelebihan dan kekuran dari baterai
berjenis lead acid adalah sebagai berikut;
Tabel 4. Kekurangan dan kelebihan baterai Lead Acid
Kelebihan Kekurangan
Sebanyak 65% dari komponen baterai lead acid merupakan timbal (Pb) yang
merupakan salah satu jenis logam berat yang berbahaya bagi lingkungan dan
kesehatan manusia. Paparan dalam jumlah tertentu pada manusia akan merusak otak
dan ginjal, serta perkembangan otak pada anak. Keracunan timbal juga dapat
menyebabkan kematian. Komponen lain yang tidak kalah berbahaya adalah cairan
asam H2SO4 (Asam Sulfat) sekitar 10-15% dari total berat baterai, cairan ini dapat
menyebabkan luka bakar dan kerusakan mata apabila tersentuh langsung oleh
manusia. Pada saat baterai sudah mengalami kerusakan, timbal dan cairan asam yang
terkandung di dalam baterai menetap dan membutuhkan penanganan khusus agar
tidak mencemari lingkungan.
23
2. Lithium Ion
Baterai lithium mempunyai densitas energi yang tinggi dan cenderung lebih aman.
Tidak mempunyai memory effect dan juga tidak memerlukan siklus terjadwal untuk
memperpanjang umur baterai. Baterai lithium banyak digunakan pada perangkat
elektronika seperti kamera, kalkulator, telepon genggam hingga motor dan mobil
listrik.
Gambar 12. Contoh baterai Lithium Ion yang digunakan pada PLTS Terpusat (sumber: GIZ)
Beberapa jenis baterai lithium yang banyak dijual dan digunakan di pasaran:
• LNMC (lithium-nickel-manganese-cobalt-oxide)
• LCO (lithium-cobalt-oxide)
• LNCA (lithium-cobalt-aluminium-oxide)
• LMO (lithium-manganese-oxide)
• LFP (lithium-iron-phosphate)
• LTO (lithium-titanate)
Konstruksi baterai lithium memiliki kesamaan dengan baterai lead acid, yaitu terdiri
dari plat positif dan negative, separator dan juga elektrolit. Hanya saja material
pembangunannya berbeda dengan lead acid yang sekitar 60% menggunakan timbal,
pada lithium menggunakan lithium. Pada baterai berjenis kobalt (LNMC, LCO dan
LNCA) memilki densitas energi yang tinggi dibandingkan dengan jenis baterai lithium
lainnya, namun harganya juga lebih mahal. Penggunaan lithium dalam PLTS yang
paling sering digunakan adalah tipe LMO dan LFP.
24
Selain itu baterai berjenis lithium membutuhkan perangkat khusus yang digunakan
untuk mengatur proses pengisian maupun pelepasan energi listrik, perangkat
elektronik ini diberi nama dengan Battery Management System (BMS).
Berbeda dengan baterai lead acid, baterai jenis lithium tidak memiliki kandungan
logam yang berharga sehingga limbah baterai jenis ini cenderung diabaikan,
ketersediaan pabrik yang melakukan pengolahan limbah baterai lithium dapat
dikatakan sangat sedikit. Baterai jenis ini juga tidak memiliki logam berat sehingga
tidak terlalu merusak lingkungan. Akan tetapi dalam penggunaannya, baterai jenis ini
mempunyai potensi bahaya yang sangat besar. Dengan densitas energi yang tinggi,
penggunaan yang salah (overcharging dan overdischarging) akan menyebabkan
baterai ini mudah meledak dan menyebabkan kerusakan yang fatal jika terhubung
dalam jumlah besar (runaway heat).
Aktivitas kegiatan di PLTS memerlukan minyak trafo/minyak insulasi untuk trafo agar
dapat beroperasi secara normal. Penggunaan minyak trafo sebagai insulator
memerlukan kehati-hatian. Minyak trafo merupakan turunan dari minyak bumi yang
sangat beracun bagi lingkungan. Turunan minyak bumi ini tidak dapat dibuang pada
sembarang tempat dan harus disimpan dan disalurkan pada pengelolah limbah B3
atau penimbun limbah B3 cair. Sama seperti minyak mineral lainnya, minyak trafo
25
dapat menyebabkan keracunan dan kematian bagi makhluk hidup dan merusak
lingkungan. Kontak ringan dengan minyak trafo dapat menyebabkan iritasi pada kulit
dan dapat menyebabkan dermatitis dan kanker kulit.
Sisa kabel dan pembungkus dari pemasangan jaringan PLTS, disimpan dengan baik
sehingga apabila akan ada pergantian kabel bisa digunakan kembali, dan kabel yang
rusak diidentifikasi untuk dipisahkan dengan limbah yang cair. Kabel yang digunakan
umumnya mengandung tembaga. Tembaga merupakan logam berat yang perlu
dipilah pada saat proses pengolahan limbah B3. Jika tidak dilakukan pemilahan dan
pengelolaan yang sesuai prosedur, tembaga dapat meracuni perairan dan daratan
sehingga mengancam kehidupan makhluk hidup.
Limbah komponen PLTS lainnya pada Inverter, Solar Charger Controller, dan Battery
Management System terdiri dari printed circuit board dimana dapat mengandung
logam berat seperti timbal, timah dan tembaga. Selain itu komponen umum elektronik
pendukung seperti switch/kontaktor serta lampu flueresen yang dapat mengandung
raksa/merkuri (Hg) yang beracun.
26
Tabel 5. Kode limbah B3 pada komponen PLTS (sumber: KLHK)
2 Baterai: A102d
• Lead Acid
• Lithium Ion B326-1 Baterai sel kering dan pemanfaatan
• Zinc Air baterai bekas, baterai yang tidak
memenuhi spesifikasi teknis dan
Sumber cemaran B3: kedaluwarsa
Timbal, bahan-bahan B327-1 Baterai sel basah : Baterai bekas,
mudah meledak dan baterai yang tidak memenuhi
menyala (terbakar), bahan spesifikasi teknis, dan kedaluwarsa
korosif (asam sulfat)
3 Minyak trafo dan oli bekas B105d Minyak pelumas bekas antara lain
minyak pelumas bekas hidrolik,
Sumber cemaran B3: mesin, gear, lubrikasi, insulasi, heat
minyak mineral transmission, git chambers, separator
dan/ atau campurannya
4 Komponen elektronik A328-1, A328-2, Mercury contactor/switch, Lampu
(Inverter, Solar Charger B328-4, B328-5 fluoresen (Hg), Printed circuit board
Controller, dan Battery (PCB), Limbah kabel logam &
Management System) insulasinya.
Kriteria kunci untuk menentukan klasifikasi limbah adalah konsentrasi zat terlarut pada
cairan yang sudah terekspos oleh limbah B3 PLTS. Prosedur Pelindian Karakteristik
Beracun (Toxicity Characteristic Leaching Procedure) yang disingkat menjadi TCLP
adalah prosedur laboratorium untuk memprediksi potensi pelindian B3 dari suatu
limbah. Berdasarkan Lampiran 1 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup nomor 6 tahun
2021 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun, batas rekomendasi konsentrasi zat tercemar maelalui uji TCLP terlampir pada
27
tabel 4 berikut. Penetapan limbah sebagai limbah B3 jika memiliki konsentrasi zat
pencemar lebih kecil atau sama dengan TCLP-A dan lebih besar dari nilai TCLP-B.
28
BAB IV
PENYELENGGARAAN PENGELOLAAN LIMBAH B3 PLTS
Saat ini pengelolaan limbah dengan aktivitas tertentu memerlukan persetujuan teknis
pengelolaan limbah B3 terintegrasi dengan dokumen Amdal atau formulir UKL/UPL
(persetujuan lingkungan). Pelaku usaha yang tidak melakukan pengelolaan limbah B3
secara mandiri (hanya menyimpan) terbebas dari kewajiban untuk menyusun
persetujuan teknis terkait limbah B3. Pelaku usaha dengan kegiatan penyimpanan
hanya memerlukan rincian teknis yang dilampirkan dalam UKL/UPL atau Amdal.
29
Gambar 14. Format Rincian Teknis penyimpanan limbah B3
30
Sehubungan dengan PP 22/2021 dimana ruang lingkup penyelenggaraan pengelolaan
limbah B3 sesuai dengan terdiri dari 14 aktivitas dimana setiap aktivitas memiliki
ketentuan yang berlaku, diantaranya adalah penetapan limbah B3, pengurangan
LImbah B3, penyimpanan limbah B3, pengumpulan limbah B3, pengangkutan limbah
B3, pemanfaatan limbah B3, pengolahan limbah B3, penimbunan limbah B3, dumping
(pembuangan) limbah B3, pengecualian limbah B3, perpindahan lintas batas limbah
B3, penanggulangan pencemaran lingkungan hidup dan/atau kerusakan lingkungan
hidup dan pemulihan fungsi lingkungan hidup, sistem tanggap darurat dalam
pengelolaan limbah B3, dan pembiayaan. Penjelasan atas ruang lingkup adalah
sebagai berikut:
1. Penetapan Limbah B3
Menentukan bahan dapat menjadi suatu limbah B3 dengan memiliki karakteristik
yang meliputi: mudah meledak, mudah menyala, reaktif; korosif, infeksius, dan
beracun, dan limbah dinyatakan B3 dengan melakukan uji karakteritik.
2. Pengurangan Limbah B3
Dapat dilakukan melalui subtitusi bahan (pemilihan bahan baku dan/atau bahan
penolong yang semula mengandung B3 digantikan dengan bahan baku dan/atau
bahan penolong yang tidak mengandung B3), modifikasi proses (pemilihan dan
penerapan proses produksi yang lebih efisien), dan menggunakan teknologi ramah
lingkungan.
3. Penyimpanan Limbah B3
Kegiatan menyimpan limbah B3 yang dilakukan oleh penghasil limbah B3 dengan
maksud menyimpan sementara Limbah B3 yang dihasilkannya.
a. Berdasarkan Pasal 51 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Nomor 6 Tahun 2021 tekait Penyimpanan Limbah B3, penghasil limbah B3 yang
menyimpan limbah B3 wajib menyusun Rincian Teknis (Rintek). Penyusunan
rincian teknis limbah B3 diterapkan untuk usaha dan/atau kegiatan wajib Amdal
atau UKL-UPL yang melakukan penyimpanan limbah B3. Rincian teknis
31
langsung terintegrasi dalam lampiran persetujuan lingkungan tanpa perlu
diterbitkan persetujuan oleh instansi lingkungan hidup.
b. Persyaratan teknis tempat penyimpanan limbah B3 dengan memenuhi bebas
banjir dan tidak rawan bencana alam, memenuhi permeabilitas tanah waste
pile dan waste impoundment (permeabilitas tanah paling besar 10-5 cm/detik)
dan waste impoundment (permeabilitas tanah paling besar 10-5 cm/detik dan
memiliki lapisan kedap di atas tanah), dan berada dalam penguasaan setiap
orang.
c. Waktu penyimpanan limbah B3 : 90 hari (50 kg/hari atau lebih), 180 hari
(kurang dari 50 kg/hari untuk Limbah B3 kategori 1), 365 hari (kurang dari 50
kg/hari untuk Limbah B3 kategori 2 dari sumber tidak spesifik dan sumber
spesifik umum), dan 365 hari (limbah B3 kategori 2 dari sumber spesifik
khusus)
d. Wajib memenuhi ketentuan persyaratan kemasan:
1. Menggunakan kemasan yang terbuat dari bahan logam atau plastik yang
dapat mengemas limbah B3 sesuai dengan karakteristik Limbah B3
2. Mampu mengungkung limbah B3 untuk tetap berada dalam kemasan
3. Memiliki penutup yang kuat untuk mencegah terjadinya tumpahan saat
dilakukan penyimpanan, pemindahan, dan/atau pengangkutan
4. Berada dalam kondisi tidak bocor, tidak berkarat, dan tidak rusak
4. Pengumpulan Limbah B3
Badan usaha yang melakukan kegiatan pengumpulan limbah B3 sebelum dikirim
ke tempat pengolahan limbah B3, pemanfaatan limbah B3, dan/atau penimbunan
limbah B3, pengumpul limbah B3 wajib mengumpulkan:
a. Melaksanakan kewajiban sebagaimana tercantum dalam persetujuan teknis
pengelolaan limbah B3 untuk kegiatan pengumpulan limbah B3.
b. Melaksanakan segregasi limbah B3.
c. Melakukan penyimpanan limbah B3 paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak
limbah B3 diserahkan oleh setiap orang yang menghasilkan limbah B3.
32
d. Menyusun dan menyampaikan laporan pembangunan pengumpulan limbah B3,
bagi pengumpul limbah B3 yang masih melakukan pembangunan fasilitas
pengumpulan limbah B3.
e. Menvusun dan menyampaikan laporan pengumpulan limbah B3 yang memuat:
a) Nama, sumber, karakteristik, dan iumlah limbah B3
b) Salinan bukti penyerahan limbah B3
c) Identitas pengangkut limbah B3
d) Pelaksanaan pengumpulan limbah B3. Penyerahan limbah B3 kepada
pemanfaat limbah B3, pengolah limbah B3, dan/atau penimbun limbah B3
f. Penerbitan SLO kepada pengumpul limbah B3 dilakukan paling lama 7 (tujuh)
hari setelah verifikasi dilakukan.
g. SLO untuk kegiatan pengumpulan limbah B3 menjadi dasar dimulainya
kegiatan operasional pengumpulan limbah B3 dan pengawasan terhadap
ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dalam perizinan
berusaha.
33
• Kepmenhub No 30 Tahun 2002 Tentang Perubahan Kepmenhub No. 69
tahun 1993 Penyelenggaraan Angkutan Barang di Jalan
• Permenhub No. 48 tahun 2014 tentang Tata Cara Pemuatan,
Penyusunan, Pengangkutan, dan Pembongkaran Barang Dengan Kereta
Api
• SK Dirjen Perhubungan Darat No. SK.725/AJ-302/DRJD/2004 tentang
Penyelenggaraan Pengangkutan B3 di Jalan
b) Untuk pengangkutan transportasi laut
• Permenhub Nomor 29 Tahun 2014 tentang Pencegahan Pencemaran
Lingkungan Maritim
• SE Dirjen Perhubungan Laut Nomor UM.003/1/2/DK-15 tentang
Pengangkutan Limbah B3 bagi Kapal-kapal Berbendera Indonesia
c) Untuk pengangkutan transportasi udara
• PM nomor 90 Tahun 2013 tentang Keselamatan Pengangkutan Barang
Berbahaya dengan Pesawat Udara
• Setiap Pengangkut Limbah B3 wajib memiliki rekomendasi
pengangkutan limbah B3 serta izin pengangkutan limbah B3
6. Pemanfaatan limbah B3
Kegiatan penggunaan kembali, daur ulang, dan/atau perolehan kembali yang
bertujuan untuk mengubah limbah B3 menjadi produk yang dapat digunakan
sebagai substitusi bahan baku, bahan penolong , dan/atau bahan bakar yang aman
bagi kesehatan manusia dan lingkungan hidup.
a. Pemanfaatan limbah B3 wajib dilaksanakan oleh setiap orang yang
menghasilkan limbah B3
b. Dalam hal setiap orang, pemanfaatan limbah B3 diserahkan kepada Pemanfaat
limbah B3
c. Pemanfaat limbah B3 wajib:
1) Melaksanakan kewajiban sebagaimana tercantum dalam persetujuan teknis
pengelolaan limbah B3 untuk kegiatan pemanfaatan limbah B3
2) Melakukan penyimpanan limbah B3 yang dihasilkan di tempat penyimpanan
limbah B3
34
3) Melakukan pengemasan limbah B3 yang dihasilkannya
4) Melakukan pengumpulan limbah B3 yang dihasilkannya
5) Melakukan pemanfaatan limbah B3 yang dihasilkannya sesuai dengan
ketentuan dalam persetujuan teknis pengelolaan limbah B3 untuk kegiatan
pemanfaatan limbah B3
6) Menaati baku mutu air limbah, jika pengolahan limbah B3 menghasilkan air
limbah
7) Menaati baku mutu emisi, jika pemanfaatan limbah B3 menghasilkan emisi
8) Menyusun dan menyampaikan laporan pembangunan fasilitas pemanfaatan
limbah B3, bagi pemanfaat limbah B3 yang belum memiliki fasilitas
pemanfaatan limbah B3
9) Menyusun dan menyampaikan laporan uji coba pemanfaatan limbah B3,
bagi pemanfaatan limbah B3 sebagai subtitusi bahan baku yang tidak
memiliki standar nasional indonesia dan/atau substitusi sumber energi
10)Menyusun dan menyampaikan laporan pemanfaatan limbah B3
11)Memiliki dan melaksanakan sistem tanggap darurat berupa dokumen
program kedaruratan pengelolaan limbah B3
12)Memiliki tenaga kerja yang memiliki sertifikat kompetensi di bidang
pengelolaan limbah B3
7. Pengolahan limbah B3
Proses untuk mengurangi dan/atau menghilangkan sifat bahaya dan/atau sifat
racun.
a. Pengolahan limbah B3 wajib dilaksanakan oleh setiap orang yang menghasilkan
limbah B3
b. Dalam setiap orang tidak mampu melakukan sendiri, pengolahan limbah B3
diserahkan kepada pengolah limbah B3
c. Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 yang akan melakukan pengolahan
limbah B3 wajib memiliki persetujuan lingkungan dan perizinan berusaha
d. Pengolah limbah B3 wajib memiliki:
1) Melaksanakan kewajiban sebagaimana tercantum dalam persetujuan teknis
pengelolaan limbah b3 untuk kegiatan pengolahan limbah B3.
35
2) Melakukan penyimpanan limbah B3 yang dihasilkan di tempat penyimpanan
limbah B3
3) Melakukan pengemasan limbah B3 yang dihasilkannya
4) Melakukan pengumpulan limbah B3 yang dihasilkannya
5) Melakukan pengolahan limbah B3 yang dihasilkannya sesuai dengan
ketentuan dalam persetujuan teknis pengelolaan limbah B3 untuk kegiatan
pengolahan limbah B3
6) Memenuhi standar pelaksanaan pengolahan limbah B3
7) Menaati baku mutu air limbah, jika pengolahan limbah B3 menghasilkan air
limbah
8) Melakukan penyimpanan residu dan/atau sisa pembakaran, jika pengolahan
limbah B3 dilakukan dengan cara termal
9) Menyusun dan menyampaikan laporan pembangunan fasilitas pengolahan
limbah B3, bagi pengolah limbah B3 yang belum memiliki fasilitas
pengolahan limbah B3
10)Menyusun dan menyampaikan laporan uji coba pengolahan limbah B3, bagi
pengolahan limbah B3
11)Menyusun dan menyampaikan laporan pengolahan limbah B3
12)Memiliki dan melaksanakan sistem tanggap darurat berupa dokumen
program kedaruratan pengelolaan limbah B3
13)Memiliki tenaga kerja yang memiliki sertifikat kompetensi di bidang
pengelolaan limbah B3
8. Penimbunan limbah B3
Kegiatan menempatkan limbah B3 pada fasilitas penimbunan dengan maksud tidak
membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan hidup.
a. Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melaksanakan penimbunan
limbah B3
b. Dalam setiap orang tidak mampu melakukan sendiri, penimbunan limbah B3
diserahkan kepada penimbun Limbah B3
c. Penimbun limbah B3 wajib memiliki:
36
1) Pelaksanaan kewajiban sebagaimana tercantum dalam persetujuan teknis
pengelolaan limbah B3 untuk kegiatan penimbunan limbah B3
2) Melakukan penyimpanan limbah B3 yang dihasilkan di tempat penyimpanan
limbah B3
3) Melakukan penimbunan limbah B3 yang dihasilkannya sesuai dengan
ketentuan dalam persetujuan teknis pengelolaan limbah B3 untuk kegiatan
penimbunan limbah B3
4) Memenuhi standar lingkungan hidup dan/atau baku mutu llingkungan
hidup mengenai pelaksanaan penimbunan limbah B3
5) Menaati baku mutur air limbah, jika penimbunan menghasilkan air limbah
6) Melakukan pemagaran dan memberi tanda tempat penimbunan limbah B3
7) Melakukan pemantauan kualitas air tanah dan menanggulangi dampak
negatif yang mungkin timbul akibat keluarnya limbah B3 ke lingkungan
hidup.
8) Menutup bagian paling atas fasilitas penimbunan akhir limbah B3
9) Menyusun dan menyampaikan laporan pembangunan fasilitas penimbunan
limbah B3
10)Menyusun dan menyampaikan laporan penimbunan limbah B3
37
dan/atau kegiatan dan/atau mengubah penggunaan dan/atau memindahkan
lokasi dumping (pembuangan) limbah B3
14. Pembiayaan
Aspek penting untuk mendapatkan pengembangan atas pengelolaan limbah B3
serta pengembangan bisnis atas pengelolaan limbah B3.
38
4.2. Pelaku Pengelola Limbah B3 PLTS
39
Gambar 17. Gambar kedudukan Persetujuan Teknis dalam persetujuan lingkungan
(sumber: KLHK)
PLTS yang dibangun sebagai PLTS skala utilitas dapat menyediakan fasilitas
penyimpanan limbah B3 sebelum limbah diangkut ataupun diolah. Hal ini bertujuan
limbah B3 yang dihasilkan pada proses konstruksi, operasi, pemeliharaan dan pasca
operasi tidak mencemari lingkungan sekitar dan mudah untuk ditransportasikan atau
diolah kembali.
PLTS yang dibangun dalam area yang luas perlu menyediakan fasilitas Penyimpanan
limbah B3 sehingga dapat menyimpan limbah B3 yang timbul secara berkala. Apabila
dihasilkan kurang dari 50 kg/hari maka waktu penyimpanan dapat mencapai 1 (satu)
tahun sebelum diserahkan kepada pemanfaat limbah B3.
40
Rancang bangun Tempat Penyimpanan Sementara (TPS) limbah B3 PLTS mengikuti
Lampiran VI Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 6 Tahun
2021 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun. Fasilitas penyimpanan limbah B3 berupa bangunan harus dirancang terdiri
dari beberapa bagian penyimpanan, dengan ketentuan bahwa setiap bagian
penyimpanan hanya cocok untuk menyimpan satu karakteristik limbah B3 dan limbah
B3 yang saling cocok. Antara bagian penyimpanan satu dengan lain harus dibuat
batas pemisah/tanggu untuk menghindari tercampurnya atau masuknya tumpahan
limbah B3 kebagian penyimpanan limbah B3 lainnya.
Gambar 18. Rancang bangun berupa bangunan Tempat Penyimpanan Sementara (TPS)
limbah B3 pada PLTS
Selain itu fasilitas penyimpanan limbah B3 harus dilengkapi dengan berbagai sarana
penunjang dan tata ruang yang tepat sehingga penyimpanan limbah B3 dapat
berlangsung dengan baik dan aman bagi lingkungan. Sara penunjang fasilitas
penyimpanan limbah B3 antara lain kolam penampungan darurat dan peralatan
penanganan tumpahan contoh tata ruang fasilitas penyimpanan limbah B3 berupa
bangunan dapat dilihat pada gambar 18.
41
Gambar 19. Contoh tata ruang fasilitas penyimpanan limbah B3 berupa bangunan
Limbah B3 dari PLTS yang dibangun pada area yang luas dilakukan pergantian secara
menyeluruh, maka pihak pengelola dapat langsung menyerahkan limbah B3 kepada
pemanfaat limbah B3. Alternatif lain seperti kerjasama kepada produsen modul surya
atau produsen baterai dapat menjadi opsi mengingat lokasi pengangkut dan
pemanfaat limbah B3 terkadang tidak tersedia dilokasi pembangkit PLTS, dapat juga
dilakukan kerjasama dengan produsen komponen dalam tahap pemeliharaan
sehingga limbah yang dihasilkan dapat dikelola kembali oleh produsen.
42
Gambar 20. Contoh pola penyimpanan limbah B3 menggunakan kemasan Drum
Drum, tangki IBC atau kontainer biasanya digunakan untuk menyimpan limbah B3
fase cair dimana dalam limbah B3 PLTS dapat digunakan untuk minyak insulasi
ataupun cairan asam sulfat. Sedangkan jumbo bag dapat digunakan untuk mengemas
butiran, serbuk atau serpihan dari limbah-limbah B3 padat.
43
Selain penyimpanan dan pengemasan. Program kedaruratan terhadap risiko
kedaruratan limbah B3 juga perlu diperhatikan. Minyak trafo dan larutan asam sulfat
rawan mengalami tumpah atau tercecer dalam proses penggantian atau penyimpanan
sehingga diperlukan kehati-hatian dalam pengelolaan limbah B3 yang bersifat cair dan
mudah tercecer. Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 74 Tahun
2019 tentang Program Kedaruratan Pengelolaan B3 dan atau Limbah B3, peralatan
yang digunakan dalam tanggap darurat disesuaikan dengan potensi bahaya yang
dihadapi, sifat atau klasifikasi B3, dan/atau karakteristik limbah B3. Adapun tindakan
mitigasi diperlukan ketika terjadi kedaruratan dan menyiapkan peralatan seperti alat
pelindung diri serta alat penanggulangan kedaruratantumpahan dan kebocoran
seperti spill kit, absorben, oil boom dan sekop.
Secara umum pengelolaan dan penanganan limbah pada komponen PLTS adalah
sama dengan penanganan limbah pada umumnya tergantung dari karakteristik limbah
yang terkandung pada komponen tersebut. Dengan menyadari ancaman beserta risiko
limbah PLTS terhadap ekosistem maka masyarakat perlu mengantisipasi ancaman
pencemaran lingkungan sejak dini. Sehubungan dengan aktivitas masyarakat tersebut
Pemerintah perlu menyiapkan fasilitas pengelolaan sampah.
Limbah yang dihasilkan dari PLTS off-grid disimpan dalam Tempat Penyimpanan
Sementara (TPS) seperti PLTS Komersial. Apabila dihasilkan kurang dari 50 kg/hari
maka waktu penyimpanan dapat mencapai 1 (satu) tahun sebelum diserahkan kepada
pemanfaat limbah B3. Tempat harus memiliki fasilitas penyimpanan yang harus di
lengkapi dengan upaya pengendalian pencemaran lingkungan hidup, lokasi
penyimpanan sementara harus berada dalam lokasi area kegiatan, lokasi
penyimpanan harus terbebas dar genangan air (misal pada saat hujan air tidak
menggenangi lokasi penyimpanan limbah B3), tempat penyimpanan berada pada
lokasi jarak aman terhadap benda atau material yang dapat mudah terkontaminasi
atau terbakar dan tidak berdekatan dengan fasilitas umum, dan tempat penyimpanan
44
harus memiliki perlengkapan alat tanggap darurat (pemadam api, sarung tangan,
sepatu, kacamata, masker).
PLTS yang dibangun oleh masyarakat seperti PLTS Atap, limbah/sampah B3 yang
dihasilkan dari PLTS masyarakat/kawasan (umum) masuk dalam kategori sampah
spesifik. Masyarakat dapat memberikan limbah kepada Fasilitas Pengeloalan Sampah
Spesifik (FPSS), FPSS dikelola oleh Pemerintah/Pemerintah Daerah/Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang bekerja sama dengan badan usaha setempat.
Perusahaan yang akan melakukan pengumpulan limbah perlu mengajukan izin ke
Pemerintah setempat serta pengumpulannya dilakukan berdasarkan skala wilayah dan
Pengelolaan limbah B3 yang bersumber rumah tangga atau kawasan mengacu pada
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Spesifik
dimana sampah hasil PLTS termasuk sampah elektronik.
45
DAFTAR PUSTAKA
46
LAMPIRAN
Pemanfaatan Pemanfaatan
Pemanfaatan
Provinsi Sebagai Sebagai Penimbun Pengolah
Lainnya
Bahan Bakar Bahan Baku
Bali 0 0 0 0 0
Banten 2 8 4 1 5
Bengkulu 0 1 0 0 0
DI Yogyakarta 0 0 0 0 1
DKI Jakarta 0 4 1 0 1
Jambi 2 1 2 0 0
Jawa Barat 6 26 5 6 13
Jawa Tengah 0 5 2 1 3
Jawa Timur 3 15 4 4 12
Kalimantan Barat 0 0 0 0 1
Kalimantan Selatan 1 2 4 0 3
Kalimantan Tengah 1 1 1 0 1
Kalimantan Timur 2 10 0 3 5
Kalimantan Utara 0 2 2 0 1
Kepulauan Bangka
Belitung 0 1 1 0 0
Kepulauan Riau 0 6 1 2 1
Lampung 0 3 1 0 1
Nanggroe Aceh
Darussalam 0 0 0 0 0
Papua 0 0 0 0 1
Papua Barat 0 0 1 0 1
Riau 0 3 1 0 3
Sulawesi Selatan 1 0 1 0 2
Sulawesi Tengah 0 0 1 0 1
Sulawesi Tenggara 0 1 1 0 2
Sulawesi Utara 0 1 0 0 0
Sumatera Barat 0 1 0 0 0
Sumatera Selatan 0 0 0 1 0
Sumatera Utara 4 8 2 0 3
47
b. Jumlah badan usaha pengelola limbah B3 baterai sel kering - baterai bekas, baterai yang
tidak memenuhi spesifikasi teknis, dan baterai kadaluwarsa (kode limbah: B326-1)
Pemanfaatan Pemanfaatan
Pemanfaatan
Provinsi Sebagai Sebagai Bahan Penimbun Pengolah
Lainnya
Bahan Bakar Baku
Banten 0 0 0 0 0
Bengkulu 0 0 0 0 0
DKI Jakarta 1 0 0 1 0
Jawa Barat 1 3 1 1 2
Jawa Tengah 0 1 0 0 0
Jawa Timur 0 0 0 1 0
Kalimantan
Timur 0 0 0 1 0
Kepulauan Riau 0 1 0 1 0
Sumatera Utara 1 0 0 1 0
c. Jumlah badan usaha pengelola limbah B3 baterai sel basah – baterai bekas, baterai yang
tidak memenuhi spesifikasi teknis, dan baterai kadaluarsa (kode limbah: B327-1)
Pemanfaatan Pemanfaatan
Pemanfaatan
Provinsi Sebagai Sebagai Penimbun Pengolah
Lainnya
Bahan Bakar Bahan Baku
Banten 0 1 0 0 0
Jawa Barat 0 4 0 2 2
Jawa Tengah 0 1 0 0 0
Kepulauan Riau 0 1 0 0 0
Riau 0 0 0 1 0
Sumatera Utara 1 1 0 0 0
II. Jumlah badan usaha pengelola limbah B3 minyak trafo – meliputi insulasi (kode
limbah: B105d)
Pemanfaatan Pemanfaatan
Pemanfaatan
Provinsi Sebagai Sebagai Penimbun Pengolah Dumping
Lainnya
Bahan Bakar Bahan Baku
Bali 2 2 0 0 0 0
Banten 14 11 7 7 0 0
Bengkulu 1 0 1 0 0 0
DI
Yogyakarta 1 1 0 1 0 0
DKI Jakarta 6 7 1 4 0 0
Gorontalo 1 0 0 1 0 0
Jambi 2 1 1 1 0 0
Jawa Barat 72 47 18 28 2 0
Jawa Tengah 11 10 0 3 1 0
Jawa Timur 23 29 6 12 0 1
Kalimantan
Barat 2 0 0 1 0 0
48
Pemanfaatan Pemanfaatan
Pemanfaatan
Provinsi Sebagai Sebagai Penimbun Pengolah Dumping
Lainnya
Bahan Bakar Bahan Baku
Kalimantan
Selatan 5 7 2 4 1 0
Kalimantan
Tengah 1 3 2 1 0 0
Kalimantan
Timur 11 13 2 10 3 0
Kalimantan
Utara 2 2 1 2 1 0
Kepulauan
Bangka
Belitung 1 0 0 1 0 0
Kepulauan
Riau 15 8 2 6 0 0
Lampung 6 4 0 3 1 0
Maluku Utara 1 0 0 0 0 0
Nanggroe
Aceh
Darussalam 0 0 0 0 0 0
Nusa
Tenggara
Barat 1 2 0 1 0 0
Papua 0 0 0 0 0 0
Papua Barat 1 2 0 1 0 0
Riau 5 3 1 3 1 0
Sulawesi
Selatan 2 3 1 0 0 0
Sulawesi
Tengah 0 1 0 1 0 0
Sulawesi
Tenggara 1 1 0 0 0 0
Sulawesi
Utara 1 1 0 0 0 0
Sumatera
Barat 2 0 0 0 0 0
Sumatera
Selatan 3 1 0 0 1 0
Sumatera
Utara 9 2 3 7 1 0
49
III. Jumlah Badan Usaha Pengelola Limbah Elektronik
a. Jumlah badan usaha pengelola limbah B3 elektronik – mercury contactor/switch (kode
limbah: A328-1)
Pemanfaatan Pemanfaatan
Pemanfaatan
Provinsi Sebagai Sebagai Bahan Penimbun Pengolah Dumping
Lainnya
Bahan Bakar Baku
Jawa Barat 0 0 0 1 0 0
Jawa Tengah 0 0 0 1 1 0
Kepulauan Riau 0 0 0 0 0 0
b. Jumlah badan usaha pengelola limbah B3 elektronik – Lampu fluoresen (kode limbah:
A328-2)
Pemanfaatan Pemanfaatan
Pemanfaatan
Provinsi Sebagai Sebagai Bahan Penimbun Pengolah Dumping
Lainnya
Bahan Bakar Baku
Kepulauan Riau 0 0 0 0 1 0
Jawa Barat 0 0 0 0 1 0
c. Jumlah badan usaha pengelola limbah B3 elektronik – printed circuit board (kode limbah:
B328-4)
Pemanfaatan Pemanfaatan
Pemanfaatan
Provinsi Sebagai Sebagai Bahan Penimbun Pengolah Dumping
Lainnya
Bahan Bakar Baku
Banten 1 0 0 1 0 0
Jawa Barat 5 4 2 2 1 0
Kepulauan Riau 1 1 1 1 0 0
Riau 0 0 0 0 0 0
d. Jumlah badan usaha pengelola limbah B3 elektronik – limbah kabel dan insulasinya (kode
limbah: B328-5)
Pemanfaatan Pemanfaatan
Pemanfaatan
Provinsi Sebagai Sebagai Bahan Penimbun Pengolah Dumping
Lainnya
Bahan Bakar Baku
Banten 0 0 0 2 0 0
DKI Jakarta 0 0 0 0 0 0
Jawa Barat 0 1 0 1 1 0
Jawa Tengah 1 2 1 1 0 0
Jawa Timur 1 1 0 1 0 0
Kalimantan
Selatan 0 0 0 0 1 0
Kepulauan Riau 0 1 0 0 0 0
Sumber data badan usaha: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, November 2022.
Data badan usaha lebih lengkap (nama perusahaan & alamat) serta terbaru dapat diakses
melalui website: pelayananterpadu.menlhk.go.id
50