Anda di halaman 1dari 2

Steak dan Gaya Hidup

Di era komunikasi global ini beragam informasi masakan masuk sebagai


trend baru gaya hidup, tak terkecuali steak. Orang –orang muda, terutama pelajar
dan mahasiswa, diakui merupakan pemicu tumbuh suburnya warung steak di
Yogya. Dapat dikatakan, pertumbuhan warung steak di Yogya termasuk tinggi PEMBUKA
dibandingkan dengan kota-kota besar lainnya di Indonesia.
Steak merupakan bagian dari sajian pesta barbegue dengan menu daging
atau ikan yang dipanggang di atas api. Tidak banyak yang tahu bahwa secara
harfiah steak berarti “ sayatan daging dalam ukuran tebal”. Kata itu mengacu
sayatan daging di bagian tubuh tertentu, seperti sayatan pada tenderloin atau
sirloin. Meskipun daging kambing dan daging lainnya dapat pula di steak, tetapi di JEMBATAN
Amerika dan Eropa, kata steak hanya untuk daging sapi. Akhirnya sering
dikonotasikan bahwa steak identik dengan daging sapi.
Di Yogya beberapa tahun yang lalu steak hanya bisa ditemui di restoran-
restoran hotel berbintang. Sebagai menu utama turis mancanegara steak memang
menjadi pilihan utama bagi mereka yang kurang cocok dengan masakan Indonesia.
Namun sekarang, di beberapa ruas jalan utama Yogya mudah ditemui warung-
warung steak dengan spanduk besar dan mencolok. Tentu saja, makanan yang
mencerminkan gaya hidup western itu ditawarkan dengan harga relatif terjangkau,
kalau tidak dapat dikatakan sangat murah. Dengan beberapa pertimbangan,
terutama berkaitan dengan daya beli, kemunculan warung-warung steak dengan
beragam variasi makanannya bukan merupakan hal yang aneh. Apakah variasi itu
masih layak disebut steak atau tidak, hal itu bukan merupakan persoalan. Mungkin
dari sudut variasi penyajiannya inilah arti kata steak bergeser dari yang semula
‘daging sapi panggang’ menjadi ‘penyajian dalam gaya masakan ala barat’.
Dengan munculnya variasi menu steak ikan laut, steak ayam, steak babi,
bahkan sampai steak bekicot, yang kemudian disebut dengan ‘masakan ala steak’
eksistensi steak justru menjadi beragam. Dengan keragaman menu itu tak heran
bila munculnya warung-warung steak mendapat tanggapan sangat baik dari ISI
konsumennya. Bisa terjadi, steak yang ditawarkan dengan harga murah itu sama
sekali bukan terderloin atau sirloin asli, tetapi hanya empal sapi yang dimasak ala
steak. Jika hal ini terjadi, bagaimanapun juga, siapa yang peduli? Karena sajian
ini merupakan menu utama kaum borjuis, tak pelak jika kemudian banyak orang
muda menganggap steak sebagai makanan favorit yang “wajib” dicoba. Rupanya
anak-anak muda cenderung menganggap bahwa dengan mengonsumsi produk yang
berasal dari luar negeri life style mereka dapat meningkat lebih tinggi. Boleh jadi
gaya hidup seperti itulah yang ingin mereka tiru. Dengan demikian, makan steak
diasumsikan identik dengan upaya meningkatkan “derajat sosial” ke arah yang
lebih tinggi.
Lepas dari itu semua, duduk di warung steak tentunya lebih bergengsi
daripada di warung Padang, misalnya. Bukankah untuk sebagian orang gengsi
adalah segala-galanya? PENUTUP

Anda mungkin juga menyukai