Anda di halaman 1dari 28

8 Kuliner Khas Makassar Aneka Makanan

Sulawesi
Publish on December 12, 2014 9:50 pm under Aneka Masakan by hasbihtc |

Bekunjung ke sulawesi selatan dikota dara daeng, gak lengkap rasanya jika tidak menyempatkan
diri mencicipi aneka masakan khas kuliner makassar, berikut ini saya akan mencoba berbagi
artikel Aneka masakan khas Makassar, memang pada dasarnya sulawesi selatan

Adalah sala satu tempat tujuan tepat wisata terbaik disulawesi, setelah manado yang terkenal
dengan bunaken, makassar sangat terkenal dengan losari beatch, namun inilah ciri khas makassar
yang sesunggunya ada pada kulinernya, penasaran seperti apa kuliner makasaar yuk kita simak
bersama selengkapnya mengenai 7 Kuliner Khas Makassar Aneka Masakan Sulawesi, bisa menjadi
bahan referensi jika anda berkunjung kemakassar sulawesi selatan.

8 Kuliner Khas Makassar Aneka Makanan Sulawesi


1. Coto Makassar Atau Soto Mangkasara

Makanan khas makassar yang kaya rempah ini memang sangat terkenal di seluruh penjuru Nusantara
bahkan Mancanegara sekalipun, dan banyak orang yang datang ke Makassar pasti pernah mencicipi coto
makassar

2. Sop Saudara
Sekilas memang Sop Saudara sebuah nama makanan yang menjadi identitas, makanan berkuah yang
dihidangkan dalam mangkuk tapi jika dilihat lebih dekat dan dirasakan pastilah berbeda. Makanan
tradisional khas Kabupaten Pangkep sulawesi selatan ini dapat dijumpai di Makassar. Sop saudara dibuat
dari daging sapi, bihun dan kentang goreng yang biasanya dibentuk bola-bola kecil, dan paru sapi yang
digoreng, biasanya disajikan bersama dengan nasi putih, ikan bakar, dan telur rebus sebagai tambahan
lauknya. Tambahan sebagai pelengkap menu adalah sambal kacang dan irisan Timun,

3. Sop Konro
Sup Konro adalah masakan tradisional khas Indonesia yang berasal dari tradisi Bugis dan Makassar. Sup
ini berbahan dasar iga sapi atau daging sapi. Daging sapi direbus bersama dengan bahan lain seperti kayu
manis, air asam jawa dan berbagai bahan lainnya. Kemudian tumisan campuran beberapa bumbu masak
seperti merica, pala, kacang merah dan bahan lainnya, dituangkan kedalam rebusan iga sapi. Warna gelap
sop konro berasal dari buah kluwak yang memang berwarna hitam. Bumbunya relatif “kuat” akibat
digunakannya ketumbar. Konro aslinya dimasak berkuah dalam bentuk sup yang kaya rempah-rempah,
akan tetapi kini terdapat variasi bakar yang disebut “Konro bakar” yaitu iga sapi bakar dengan bumbu
khas konro. Masakan berkuah warna coklat kehitaman ini pada umumnya disajikan atau dimakan bersama
nasi putih dan sambal.

4. Barongko
Barongko adalah makanan penutup khas daerah Bugis-Makassar berupa kue pisang yang sangat lembut.
Pisang yang menjadi bahan baku utamanya di olah sedemikian rupa, daging pisang dihaluskan bersama
bahan yang lain seperti telur, gula, garam dan susu bubuk, lalu dibungkus memakai daun pisang berbentuk
bungkusan pecal. baca resep kue bugis makassar

5. Pisang Epe
Dilihat dari namanya pastilah makanan khas kota Makassar ini terbuat dari pisang. Pisang yang dijadikan
bahan pembuatannya yaitu pisang kepok setangah mengkal. Proses pembuatannya pun tergolong sangat
mudah dan bahan-bahan yang dibutuhkan juga gampang untuk dicari.

Pisang yang telah dikupas dibakar diatas bara api, kemudian dibolak-balik hingga harum dan lembek.
Pisang diambil kemudian di tekan hingga pipih, kemudian di bakar kembali. Setelah melakukan
pembakaran, pisang ditaruh diatas piring dan kemudian untuk toppingnya gula merah dicampur dengan air
daun pandan ditambah dengan garam dan durian yang direbus hingga kental, dan kemudian disiramkan
keatas susunan pisang yang disajikan diatas piring

6. Es Palu Butung
Es Palu Butung adalah es campur gaya Makassar yang merupakan makanan penutup sangat populer dari
Makassar, Sulawesi Selatan. Bahan utama pembuatan es ini berupa pisang hijau yang dipotong-potong
yang diletakkan diatas semacam bubur berwarna putih yang terbuat dari santan ditambah dengan es serut
dan susu kental. Es ini juga biasa tersaji di warung-warung karena memang dua hidangan ini berasal dari
daerah yang sama.
7. Es Pisang Hijau

Es pisang Hijau adalah hidangan khas dari kota aging mammiri, namun demikian hidangan ini cukup
populer dibanyak daerah. Es ini terbuat dari pisang raja atau kepok, paduan pisang dan tepung beras
ditambah bubur, sirop dan es serut membuat es ini benar-benar mengugah rasa. Cocok dinikmati saat
udara panas. Jadi kata ijo itu bukan menunjukkan bahwa jajanan ini terbuat dari pisang hijau tetapi dari
tepung pembungkusnya yang berwarna hijau dari daun pandan,

8. Gogogso

Gogoso adalah salah satu makanan khas orang bugis makassar yang sangat digemari di Sulawesi Selatan
ketika lebaran, selain ketupat lebaran, gogoso pun juga turut meramaikan bersama dengan bersama
dengan aneka masakan lainya pada hari-hati biasa, gogoso banyak ditemukan didaerah pantai losari atau
dipinggir-pinggir jalan kota makassar biasanya dijajakan oleh pedagang asongan bisanya dijajakan
bersama telur asin atau lebih akrab dengan sebutan orang makassar Bayao Kannasa, dan kacang rebus.
baca resep gogoso

Demikianlah persembahan dari saya yang sudah membahas mengenai 8 Kuliner Khas Makassar Aneka
Makanan Sulawesi sebenarnya ada masih banyak lagi mengenai masakan sulawesi seperti coto kuda atau
gantala jarang. Wassalam.
Geografi
Provinsi Sulawesi Selatan terletak di 0°12' - 8° Lintang Selatan dan 116°48' - 122°36' Bujur Timur. Luas wilayahnya
62.482,54 km². Provinsi ini berbatasan dengan Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat di utara, Teluk Bone dan
Sulawesi Tenggara di timur, Selat Makassar di barat dan Laut Flores di selatan.

Sosial Kemasyarakatan
Suku Bangsa
Bugis, Makassar, Mandar, Toraja, Duri, Pattinjo, Bone, Maroangin, Endekan, Pattae dan Kajang/Konjo

Bahasa
Bahasa yang umum digunakan adalah Makassar, Bugis, Luwu, Toraja, Mandar, Duri, Konjo dan Pattae.

Agama
Mayoritas beragama Islam, kecuali di Kabupaten Tana Toraja dan sebagian wilayah lainnya beragama Kristen.

Jumlah Penduduk
Sampai dengan Mei 2010, jumlah penduduk di Sulawesi Selatan terdaftar sebanyak 8.032.551 jiwa dengan
pembagian 3.921.543 orang laki-laki dan 4.111.008 orang perempuan.

Pemerintahan
5 tahun setelah kemerdekaan, pemerintah mengeluarkan UU Nomor 21 Tahun 1950, yang menjadi dasar hukum
berdirinya Provinsi Administratif Sulawesi. 10 tahun kemudian, pemerintah mengeluarkan UU Nomor 47 Tahun
1960 yang mengesahkan terbentuknya Sulawesi Selatan dan Tenggara. 4 tahun setelah itu, melalui UU Nomor 13
Tahun 1964 pemerintah memisahkan Sulawesi Tenggara dari Sulawesi Selatan. Terakhir, pemerintah memecah
Sulawesi Selatan menjadi dua, berdasarkan UU Nomor 26 Tahun 2004.
Kabupaten Majene, Mamasa, Mamuju, Mamuju Utara dan Polewali Mandar yang tadinya merupakan kabupaten
di provinsi Sulawesi Selatan resmi menjadi kabupaten di provinsi Sulawesi Barat seiring dengan berdirinya provinsi
tersebut pada tanggal 5 Oktober 2004 berdasarkan UU Nomor 26 Tahun 2004.

Kabupaten dan Kota


No. Kabupaten/Kota Ibu kota

1 Kabupaten Bantaeng Bantaeng

2 Kabupaten Barru Barru

3 Kabupaten Bone Watampone

4 Kabupaten Bulukumba Bulukumba

5 Kabupaten Enrekang Enrekang

6 Kabupaten Gowa Sungguminasa

7 Kabupaten Jeneponto Jeneponto


8 Kabupaten Kepulauan Selayar Benteng

9 Kabupaten Luwu Belopa

10 Kabupaten Luwu Timur Malili

11 Kabupaten Luwu Utara Masamba

12 Kabupaten Maros Turikale

13 Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Pangkajene

14 Kabupaten Pinrang Pinrang

15 Kabupaten Sidenreng Rappang Pangkajene Sidenreng

16 Kabupaten Sinjai Sinjai

17 Kabupaten Soppeng Watan Soppeng

18 Kabupaten Takalar Pattalassang

19 Kabupaten Tana Toraja Makale

20 Kabupaten Toraja Utara Rantepao

21 Kabupaten Wajo Sengkang

22 Kota Makassar -

23 Kota Palopo -

24 Kota Parepare -

Wali Pitue
Wali Pitue Masyarakat Sulawesi Selatan Siapakah dia ?
Syeck Yusuf (Toanta Salamaka), Petta Lasinrang (Petta Lolo), Arung Palakka (Petta to malampe gemmena), KH.
Harun, Pettabarang, Imam Lapeo, Dt. Sangkala

Syech Yusuf (toanta Salamaka)  Seorang Penyebar agama islam dari tanah mekkah sampai Banten, Petta
Lasinrang Seorang Raja dari Tanah Pinrang yang arif nan bijak sana dan gencar menyebarkan agama islam. yang
terpenting Beliau Pemberani, Arung Palakka Seorang Raja Bone yang bisa membebaskan Masyarakat bone dari
penindasan oleh kerajaan Gowa dan beliau di Juluki Sang Pembebas, KH. Harun : informasi yang saya dapat beliau
berasal dari Kerajaan Tallo, Petta Barang atau petta To risappae konon beliau mallajang diatas kudanya dan
penunggu kudanya hingga sekarang masih ada. beliau adalah keturunan raja barru yang kuat akan agama, Imam
Lapeo : seorang imam di desa lapeo yang sederhana dan menyebarkan agama islam sampai ketanah bugis. sering
memperlihatkan mukzisat dari sang Kuasa, Dt. Sangkala : Infonya belum jelas >>> mungkin saya bisa
dibantuMohon Tambahan dan masukkannya sapa tau ada yang salahSemoga Bermanfaat

merekalah ke tujuh wali yang diyakini oleh Masyarakat sulwesi selatan. Selain itu terdapat beberapa wali lagi yang
di yakini oleh masyarakat indonesia yakni Wali songo, dan Wali Pitu yang berada di Bali. Wali pitu di bali ini juga
saya baru dengar informasinya saya dapat pada internet. Terus siapa saja wali pitu yang ada di bali ? Mas Sepuh
Raden Raden Amangkuningrat di Kabupaten Badung, Chabib Umar Bin Maulana Yusuf Al Magribi di Tabanan,
Chabib Ali Bin abu Bakar Bin Umar Bin Abu Bakar Al Khamid di Klungkung, Chabib Ali Zaebal Abidin Al Idrus di
Karangasem, Syech Maulana Yusuf Al Baghdi Al Magribi di Karangasem, The Kwan Lie di Buleleng, dan Chabib Ali
Bin Umar Bin Abu Bakar Bafaqih di Jembrana.

Wali Pitue Di Sul-Sel

Download Gambar
Yang menjadi pertanyaan saya pribadi apakah masyarakat sulawesi selatan yang sampai tidak mengetahuinya di
sebabkan karena kurangnya publikasi akan wali pitue selama ini ataukan memang mereka baru tahu kalau
memang kebudayaan kita juga memiliki wali pitue ?

Artikel Terkait:

sumber: http://portalbugis.wordpress.com/about-m/wali-pitue/

Visit Makassar – Berikut ini 24 kabupaten/Kota di provinsi Sulawesi Selatan:


1. Kabupaten Maros 15. Kabupaten Luwu Utara

2. Kabupaten Pangkep 16. Kabupaten Luwu Timur

3. Kabupaten Barru 17. Kabupaten Sinjai

4. Kota Pare-pare 18. Kabupaten Gowa

5. Kabupaten Pinrang 19. Kota Makassar

6. Kabupaten Sidrap 20. Kabupaten Takalar

7. Kabupaten Enrekang 21. Kabupaten Jeneponto

8. Kabupaten Bone 22. Kabupaten Bantaeng

9. Kabupaten Wajo 23. Kabupaten Bulukumba

10. Kabupaten Soppeng 24. Kabupaten Selayar

11. Kabupaten Tana Toraja

12. Kabupaten Toraja Utara

13. Kota Palopo


14. Kabupaten Luwu

Sejarah Badik, Senjata Khas Sulawesi Selatan


EWAKO !!!

adalah sebuah kata yang akrab di telinga masyarakat Sulawesi Selatan, khususnya masyarakat Bugis-Makassar....
Menurut Kamus Populer Inggris-Makassar Indonesia-Makassar, kata rewako merupakan terjemahan dari kata
‘berani’ dalam bahasa Indonesia, dan ‘brave’ dalam bahasa Inggris. Keberanian masyarakat Bugis-Makassar
tergambar dalam semboyan pelaut Bugis-Makassar, yang juga menjadi petuah (pappasang) Bapak Gubernur
Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo: Takunjunga bangunturu’ Takugunciri gulingku Kualleanna Tallanga Natoalia.
Artinya: Tidak begitu saja aku ikut angin buritan. Aku akan putar kemudiku. Lebih baik aku tenggelam daripada
balik haluan.
Mungkin kata-kata EWAKO ini memang cocok dengan senjata khas Sulawesi Selatan yang akan kita bahas yaitu
"BADIK"

Badik atau badek adalah pisau dengan bentuk khas yang dikembangkan oleh masyarakat Bugis dan Makassar.
Badik bersisi tajam tunggal atau ganda. Seperti keris, bentuknya asimetris dan bilahnya kerap kali dihiasi dengan
pamor. Namun demikian, berbeda dari keris, badik tidak pernah memiliki ganja (penyangga bilah).

Badik ini merupakan senjata khas tradisonal Makassar, Bugis dan Mandar yang berada dikepulauan Sulawesi.
Ukurannya yang pendek dan mudah dibawa kemana mana, tapi jangan salah lho kalau badik ini sudah keluar dari
sarungnya pantang untuk dimasukkan sebelum meminum darah.

Maka biasanya senjata adat yang bernama Badik ini dahulu sering dipakai oleh kalangan petani untuk melindungi
dirinya dari binatang melata dan atau membunuh hewan hutan yang mengganggu tanamannya. Selain itu karena
orang bugis gemar merantau maka penyematan badik dipinggangnya membuat dia merasa terlindungi.

Badik memiliki bentuk dan sebutan yang berbeda-beda tergantung dari daerah mana ia berasal. Di Makassar badik
dikenal dengan nama badik sari yang memiliki kale (bilah) yang pipih, batang (perut) buncit dan tajam serta cappa
dan banong (sarung badik). Sementara itu badik Bugis disebut kawali, seperti kawali raja (Bone) dan kawali
rangkong (Luwu). Kawali Bone terdiri dari bessi (bilah) yang pipih, bagian ujung agak melebar serta runcing.
Sedangkan kawali Luwu terdiri dari bessi yang pipih dan berbentuk lurus. Kawali memiliki bagian bagian: Pangulu
(ulu), bessi (bilah) dan wanoa (sarung)

Quote:
Umumnya badik digunakan untuk membela diri dalam mempertahankan harga diri seseorang atau keluarga. Hal
ini didasarkan pada budaya siri' dengan makna untuk mempertahankan martabat suatu keluarga. Konsep siri' ini
sudah menyatu dalam tingkah laku, sistem sosial budaya dan cara berpikir masyarakat Bugis, Makassar dan
Mandar di Sulawesi Selatan. Selain dari pada itu ada pula badik yang berfungsi sebagai benda pusaka, seperti
badik saroso yang memiliki nilai sejarah. Ada pula sebagian orang yang meyakini bahwa badik berguna sebagai
azimat yang berpengaruh pada nilai baik dan buruk seseorang.

Macam-macam Badik

1. Badik Raja (gecong raja, bontoala)


Quote:

Gambar 1. Badik Raja (gecong raja, bontoala)

badik yang asalnya dari daerah kajuara kabupaten bone , dalam pembuatan badik ini,, orang2 disekitar kajuara
sana masih percaya jika badik raja dibuat oleh makhluk halus, ketika malam, terdengar suara palu bertalu-talu
dalam lanraseng gaib sampai paginya masyarakat sana menemukan jadilah sebuah badik raja,, badik ini bilahnya
aga” besar ukurannya 20-25 cm, menurut bang ray divo, Ciri-ciri badik raja hampir mirip dengan badik
lampobattang, bentuk bilahnya agak membungkuk, dari hulu agak kecil kemudian melebar kemudian meruncing.
Pada umumnya mempunyai pamor timpalaja atau mallasoancale di dekat hulunya. Bahan besi dan bajanya
berkualitas tinggi serta mengandung meteorit yang menonjol dipermukaan, kalau kecil disebut uleng-puleng kalau
besar disebut batu-lappa dan kalau menyebar di seluruh permukaan seperti pasir disebut bunga pejje atau busa-
uwae. Badik raja di masa lalu hanya digunakan oleh arung atau dikalangan bangsawan-bangsawan dikerajaan
Bone.
2. Badik Lagecong
Quote:

Gambar 2. Badik Lagecong

Badik lagecong,, Badik bugis satu ini dikenal sebagai badik perang, banyak orang mencarinya karna sangat begitu
terkenal dengan mosonya (racunnya), banyak orang percaya bahwa semua alat perang akan tunduk pada badik
gecong tersebut,,
ada dua versi , yang pertama ,Gecong di ambil nama dari nama sang pandre (empu) yang bernama la gecong, yang
kedua diambil dari bahasa bugis gecong atau geco”, yang bisa diartikan sekali geco” (sentuh) langsung mati,,
sampai saat ini banyak yang percaya kalau gecong yang asli adalah gecong yang terbuat dari daun nipah serta
terapung di air dan melawan arus,, wallahu alam,, panjang gecong biasanya sejengkalan orang dewasa, pamor
lonjo,, bentuknya lebih pipih,tipis tapi kuat.

3. Badik Luwu
Quote:

Gambar 3. Badik Luwu

Badik luwu,, badik luwu yang berasal dari kabupaten luwu, bentuknya agak sedikit membungkuk, mabbukku
tedong (bungkuk kerbau), bilahnya lurus dan meruncing kedepan,, badik bugis kadang diberikan pamor yang
sangat indah, hingga kadang menjadi buruan para kolektor ..di bajanya terdapat rakkapeng atau sepuhan pada
baja yang konon disepuh dengan bibir dan “maaf” alat kelamin gadis perawan sehingga konon tidak ada orang
yang kebal dengan badik luwu ini,

4. Badik Lompo Battang (badik siperut besar/jantung pisang)


Badik lompo battang atau sari,, badik ini berasal dari Makassar, bentuknya seperti jantung pisang, ada jg yang
bilang seperti orang hamil, makanya orang menyebutnya lompo battang (perut besar), konon katanya jika ada
orang terkena badik ini, maka dia tidak akan bertahan dalam waktu 24 jam,
sejarah sejarah yang ada di sulawesi selatan

Sejarah Sulawesi Selatan

Bismillahirrahmanirrahim
Sekitar 30.000 tahun silam pulau ini telah dihuni oleh manusia. Penemuan tertua ditemukan di gua-gua
dekat bukit kapur dekat Maros, sekitar 30 km sebelah timur laut dan Makassar sebagai ibukota Propinsi
Sulawesi Selatan. Kemungkinan lapisan budaya yang tua berupa alat batu Peeble dan flake telah
dikumpulkan dari teras sungai di lembah Walanae, diantara Soppeng dan Sengkang, termasuk tulang-
tulang babi raksasa dan gajah-gajah yang telah punah.

Selama masa keemasan perdagangan rempah-rempah, diabad ke-15 sampai ke-19, Sulawesi Selatan
berperan sebagai pintu Gerbang ke kepulauan Maluku, tanah penghasil rempah. Kerajaan Gowa dan
Bone yang perkasa memainkan peranan penting didalam sejarah Kawasan Timur Indonesia dimasa Ialu.

Pada sekitar abad ke-14 di Sulawesi Selatan terdapat sejumlah kerajaan kecil, dua kerajaan yang
menonjol ketika itu adalah Kerajaan Gowa yang berada di sekitar Makassar dan Kerajaan Bugis yang
berada di Bone. Pada tahun 1530, Kerajaan Gowa mulai mengembangkan diri, dan pada pertengahan
abad ke-16 Gowa menjadi pusat perdagangan terpenting di wilayah timur Indonesia. Pada tahun 1605,
Raja Gowa memeluk Agama Islam serta menjadikan Gowa sebagai Kerajaan Islam, dan antara tahun
1608 dan 1611, Kerajaan Gowa menyerang dan menaklukkan Kerajaan Bone sehingga Islam dapat
tersebar ke seluruh wilayah Makassar dan Bugis.

Perusahaan dagang Belanda atau yang lebih dikenal dengan nama VOC (Vereenigde Oost-Indische
Compagnie) yang datang ke wilayah ini pada abad ke-15 melihat Kerajaan Gowa sebagai hambatan
terhadap keinginan VOC untuk menguasai perdagangan rempah-rempah di daerah ini. VOC kemudian
bersekutu dengan seorang pangeran Bugis bernama Arung Palakka yang hidup dalam pengasingan
setelah jatuhnya Bugis di bawah kekuasaan Gowa.
Belanda kemudian mensponsori Palakka kembali ke Bone, sekaligus menghidupkan perlawanan
masyarakat Bone dan Sopeng untuk melawan kekuasaan Gowa. Setelah berperang selama setahun,
Kerajaan Gowa berhasil dikalahkan. Dan Raja Gowa, Sultan Hasanuddin dipaksa untuk menandatangani
Perjanjian Bungaya yang sangat mengurangi kekuasaan Gowa. Selanjutnya Bone di bawah Palakka
menjadi penguasa di Sulawesi Selatan.
Persaingan antara Kerajaan Bone dengan pemimpin Bugis lainnya mewarnai sejarah Sulawesi Selatan.
Ratu Bone sempat muncul memimpin perlawanan menentang Belanda yang saat itu sibuk menghadapi
Perang Napoleon di daratan Eropa. Namun setelah usainya Perang Napoleon, Belanda kembali ke
Sulawesi Selatan dan membasmi pemberontakan Ratu Bone. Namun perlawanan masyarakat Makassar
dan Bugis terus berlanjut menentang kekuasaan kolonial hingga tahun 1905-1906. Pada tahun 1905,
Belanda juga berhasil menaklukkan Tana Toraja, perlawanan di daerah ini terus berlanjut hingga awal
tahun 1930-an.
Sebelum Proklamasi RI, Sulawesi Selatan, terdiri atas sejumlah wilayah kerajaan yang berdiri sendiri dan
didiami empat etnis yaitu ; Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja.
Ada tiga kerajaan besar yang berpengaruh luas yaitu Luwu, Gowa dan Bone, yang pada abad ke XVI dan
XVII mencapai kejayaannya dan telah melakukan hubungan dagang serta persahabatan dengan bangsa
Eropa, India, Cina, Melayu dan Arab.
Setelah kemerdekaan, dikeluarkan UU Nomor 21 Tahun 1950 dimana Sulawesi Selatan menjadi propinsi
Administratif Sulawesi dan selanjutnya pada tahun 1960 menjadi daerah otonom Sulawesi Selatan dan
Tenggara berdasarkan UU Nomor 47 Tahun 1960. Pemisahan Sulawesi Selatan dari daerah otonom
Sulawesi Selatan dan Tenggara ditetapkan dengan UU Nomor 13 Tahun 1964, sehingga menjadi daerah
otonom Sulawesi Selatan.

Periode Gubernur :
I. Gubernur Sulawesi
1945 – 1949 DR. G. S.S.J. Ratulangi
1950 – 1951 B. W. Lapian
1951 – 1953 R. Sudiro
1953 – A. Burhanuddin
1953 - 1956 Lanto Dg. Pasewang
1956 – 1959 A. Pangerang Pettarani

II. Gubernur Sulawesi Selatan dan Tenggara :


1959 – 1960 A. Pangerang Pettarani
1960 – 1966 A. A. Rivai.

III. Gubernur Sulawesi Selatan


1966 – 1978 Ahmad Lamo (Dua periode)
1978 – 1983 Andi Oddang
1983 – 1993 A. Amiruddin (Dua periode)
1993 - 2003 H. Z. B. Palaguna (Dua periode)
2003 - 2008 H. M. Amin Syam

2088 - Ahmad Tanribali Lamo Pejabat Gubernur Sementara

2008 - Syahrul Yasin Limpo sekarang


Menurut catatan sejarah Budaya Sulsel, ada tiga kerajaan besar yang pernah berpengaruh luas yakni
Kerajaan Luwu, Gowa, dan Bone, disamping sejumlah kerajaan kecil yang beraliansi dengan kerajaan
besar, namun tetap bertahan secara otonom. Berbeda dengan pembentukan Propinsi lain di indonesia,
Sulsel terbentuk menjadi satu kesatuan wilayah administratif tingkat propinsi, atas kemauan dan ikrar
raja-raja serta masyarakat setempat sekaligus bergabung dalam negara kesatuan Republik Iindonesia,
sehingga Sulsel menjadi salah satu propinsi di Indonesia yang diatur dalam UU Nomor 21 tahun 1950 dan
Makassar sebagai pusat pemerintahan.
Dengan undang-undang ini maka Wilayah Administratif Sulsel terbagi menjadi 21 daerah swantantra
tingkat II dan 2 (dua) kotapraja yakni Makassar dan Parepare. Status Propinsi Administratif Sulawesi
berakhir pada tahun 1960 yang ditetapkan dengan UU Nomor 47 Tahun 1960 dan secara otonom
membagi Sulawesi menjadi Propinsi Sulawesi Selatan Tenggara beribukota Makassar dan Propinsi
Sulawesi Utara-Tengah beribukota Manado, Empat tahun kemudian pemisahan wilayah Sulawesi Selatan
dan Tenggara ditetapkan dalam II Nomor 13 Tahun 1964 dan Sulawesi Selatan resmi menjadi daerah
otonom dan terus disempurnakan dengan ditetapkannya UU No. 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok
pemerintahan di daerah yang menggabungkan wilayah administratif daerah-daerah otonom dalam satu
penyebutan yaitu Daerah Tingkat II atau Kotamdya dan Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan
Selanjutnya Propinsi daerah Tingkat I Sulawesi Selatan terbagi dalam 23 Kabupaten/Kotamadya serta 2
(dua) Kota Administratif yakni Palopo di Kabupaten Luwu dan Watampone di kabupaten Bone.
Sedangkan yang sangat berarti adalah perubahan nama ibukota Propinsi sulawesi Selatan dari makassar
ke Ujung Pandang yang ditetapkan dalam PP Nomor 51 tahun 1971 Lembaran negara Republik Indonesia
Nomor 65 tahun 1971.
Sejarah dan Adat Istiadat Suku bugis Asal
Sulawesi Selatan
Penjelasan mengenai Sejarah, Adat Istiadat suku Bugis yang berasal dari Sulawesi Selatan.
Bugis merupakan kelompok etnik atau suku dengan wilayah asal Sulawesi Selatan. Ciri
utama kelompok etnik ini adalah bahasa dan adat-istiadat yang masih melekat kuat. Orang-
orang Bugis banyak menyebar di seluruh provinsi Indonesia.

Awal mula
Suku Bugis tergolong ke dalam suku-suku Melayu Deutero. Masuk ke Nusantara setelah
gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Kata "Bugis" berasal dari
kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama
kerajaan Cina yang terdapat di Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi.
Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka.
Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La
Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara
Lattu, ayah dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan
melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar di
dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang
dipertuan di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi
masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk,
Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.

Bahasa Bugis
Bahasa yang digunakan adalah bahasa Bugis yang tersebar di beberapa kabupaten.
Biasanya masing-masing kabupaten memiliki dialek tersendiri dalam penggunaan bahasa
bugis. Selain itu masyarakat Bugis memiliki penulisan tradisional yang memakai aksara
Lontara.

askara lontara | photo: suku-bugis.blogspot.com


Perkembangan

Dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa kerajaan.


Masyarakat ini kemudian mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara, dan pemerintahan
mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng,
Suppa, Sawitto, Sidenreng dan Rappang. Meski tersebar dan membentuk suku Bugis, tapi
proses pernikahan menyebabkan adanya pertalian darah dengan Makassar dan Mandar.
Saat ini orang Bugis tersebar dalam beberapa Kabupaten yaitu Luwu, Bone, Wajo,
Soppeng, Sidrap, Pinrang, Barru. Daerah peralihan antara Bugis dengan Makassar adalah
Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan Bugis dengan
Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang. Kerajaan Luwu adalah kerajaan yang
dianggap tertua bersama kerajaan Cina (yang kelak menjadi Pammana), Mario (kelak
menjadi bagian Soppeng) dan Siang (daerah di Pangkajene Kepulauan)

Adat Istiadat

Dalam budaya suku bugis terdapat tiga hal yang bisa memberikan gambaran tentang
budaya orang bugis, yaitu konsep ade, siri na pesse dan simbolisme orang bugis adalah
sarung sutra.

Konsep ade

Ade yang dalam bahasa Indonesia adalah adat istiadat. Bagi masyarakat bugis, ada empat
jenis adat yaitu  :
Ade maraja, yang dipakai dikalangan Raja atau para pemimpin.
Ade puraonro, yaitu adat yang sudah dipakai sejak lama di masyarakat secara turun
temurun,
Ade assamaturukeng, peraturan yang ditentukan melalui kesepakatan.
Ade abiasang, adat yang dipakai dari dulu sampai sekarang dan sudah diterapkan dalam
masyarakat.

Menurut Lontara Bugis, terdapat lima prinsip dasar dari ade yaitu ade, bicara, rapang, wari,
dan sara. Konsep ini lebih dikenal sebagai pangngadereng. Ademerupakan manifestasi
sikap yang fleksibel terhadap berbagai jenis peraturan dalam masyarakat.  Rapang lebih
merujuk pada model tingkah laku yang baik yang hendaknya diikuti oleh masyarakat.
Sedangkan wari adalah aturan mengenai keturunan dan hirarki masyarakat sara yaitu
aturan hukum Islam. Siri memberikan prinsip yang tegas bagi tingkah laku orang bugis.

Menurut Pepatah orang bugis, hanya orang yang punya siri yang dianggap sebagai
manusia.
Naia tau de’e sirina, de lainna olokolo’e. Siri’ e mitu tariaseng tau. Artinya Barang siapa
yang tidak punya siri, maka dia bukanlah siapa-siapa, melainkan hanya seekor binatang.
Namun saat ini adat istiadat tersebut sudah tidak dilakukan lagi dikarenakan pengaruh
budaya Islam yang masuk sejak tahun 1600-an
Konsep siri’

Makna “siri” dalam masyarakat bugis sangat begitu berarti sehingga ada sebuah pepatah
bugis yang mengatakan “SIRI PARANRENG, NYAWA PA LAO”, yang artinya :
“Apabila harga diri telah terkoyak, maka nyawa lah bayarannya”.Begitu tinggi makna dari
siri ini hingga dalam masyarakat bugis, kehilangan harga diri seseorang hanya dapat
dikembalikan dengan bayaran nyawa oleh si pihak lawan bahkan yang bersangkutan
sekalipun.
Siri’ Na Pacce secara lafdzhiyah Siri’ berarti : Rasa Malu (harga diri), sedangkan Pacce
atau dalam bahasa Bugis disebu Pesse yang berarti : Pedih/Pedas (Keras, Kokoh
pendirian). Jadi Pacce berarti semacam kecerdasan emosional untuk turut merasakan
kepedihan atau kesusahan individu lain dalam komunitas (solidaritas dan empati).
Kata Siri’, dalam bahasa Makassar atau Bugis, bermakna “malu”. Sedangkan Pacce
(Bugis: Pesse) dapat berarti “tidak tega” atau “kasihan” atau “iba”. Struktur Siri’ dalam
Budaya Bugis atau Makassar mempunyai empat kategori, yaitu :

1. Siri’ Ripakasiri’

Adalah Siri’ yang berhubungan dengan harga diri pribadi, serta harga diri atau harkat dan
martabat keluarga. Siri’ jenis ini adalah sesuatu yang tabu dan pantang untuk dilanggar
karena taruhannya adalah nyawa.

2. Siri’ Mappakasiri’siri’

Siri’ jenis ini berhubungan dengan etos kerja. Dalam falsafah Bugis disebutkan, “Narekko
degaga siri’mu, inrengko siri’.” Artinya, kalau Anda tidak punya malu maka pinjamlah
kepada orang yang masih memiliki rasa malu (Siri’). Begitu pula sebaliknya, “Narekko
engka siri’mu, aja’ mumapakasiri’-siri.” Artinya, kalau Anda punya malu maka jangan
membuat malu (malu-maluin).

3. Siri’ Tappela’ Siri (Bugis: Teddeng Siri’)

Artinya rasa malu seseorang itu hilang “terusik” karena sesuatu hal. Misalnya, ketika
seseorang memiliki utang dan telah berjanji untuk membayarnya maka si pihak yang
berutang berusaha sekuat tenaga untuk menepati janjinya atau membayar utangnya
sebagaimana waktu yang telah ditentukan (disepakati). Ketika sampai waktu yang telah
ditentukan, jika si berutang ternyata tidak menepati janjinya, itu artinya dia telah
mempermalukan dirinya sendiri.

4. Siri’ Mate Siri’

Siri’ yang satu berhubungan dengan iman. Dalam pandangan orang Bugis/Makassar, orang
yangmate siri’-nya adalah orang yang di dalam dirinya sudah tidak ada rasa malu (iman)
sedikit pun. Orang seperti ini diapakan juga tidak akan pernah merasa malu, atau yang
biasa disebut sebagai bangkai hidup yang hidup.
Guna melengkapi keempat struktur Siri’ tersebut maka Pacce atau Pesse menduduki satu
tempat, sehingga membentuk suatu budaya (karakter) yang dikenal dengan sebutan Siri’
Na Pacce.

Penyebaran Islam

Pada awal abad ke-17, datang penyiar agama Islam dari Minangkabau atas perintah Sultan
Iskandar Muda dari Aceh. Mereka adalah Abdul Makmur (Datuk ri Bandang) yang
mengislamkan Gowa dan Tallo, Suleiman (Datuk Patimang) menyebarkan Islam di Luwu,
dan Nurdin Ariyani (Datuk ri Tiro) yang menyiarkan Islam di Bulukumba.

Mata pencarian

Karena masyarakat Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, maka
kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Mata pencaharian
lain yang diminati orang Bugis adalah pedagang. Selain itu masyarakat Bugis juga mengisi
birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan.

Perompak

Sejak Perjanjian Bongaya yang menyebabkan jatuhnya Makassar ke tangan kolonial


Belanda, orang-orang Bugis dianggap sebagai sekutu bebas pemerintahan Belanda yang
berpusat di Batavia. Jasa yang diberikan oleh Arung Palakka, seorang Bugis asal Bone
kepada pemerintah Belanda, menyebabkan diperolehnya kebebasan bergerak lebih besar
kepada masyarakat Bugis. Namun kebebasan ini disalahagunakan Bugis untuk menjadi
perompak yang mengganggu jalur niaga Nusantara bagian timur.

Armada perompak Bugis merambah seluruh Kepulauan Indonesia. Mereka bercokol di


dekat Samarinda dan menolong sultan-sultan Kalimantan di pantai barat dalam perang-
perang internal mereka. Perompak-perompak ini menyusup ke Kesultanan Johor dan
mengancam Belanda di benteng Malaka.

Serdadu bayaran

Selain sebagai perompak, karena jiwa merantau dan loyalitasnya terhadap persahabatan
orang-orang Bugis terkenal sebagai serdadu bayaran. Orang-orang Bugis sebelum konflik
terbuka dengan Belanda mereka salah satu serdadu Belanda yang setia. Mereka banyak
membantu Belanda, yakni saat pengejaran Trunojoyo di Jawa Timur, penaklukan
pedalaman Minangkabau melawan pasukan Paderi, serta membantu orang-orang Eropa
ketika melawan Ayuthaya di Thailand. Orang-orang Bugis juga terlibat dalam perebutan
kekuasaan dan menjadi serdadu bayaran Kesultanan Johor, ketika terjadi perebutan
kekuasaan melawan para pengelana Minangkabau pimpinan Raja Kecil.
Bugis perantauan

Kepiawaian suku Bugis dalam mengarungi samudra cukup dikenal luas, dan wilayah
perantauan mereka pun hingga Malaysia, Filipina, Brunei, Thailand, Australia,
Madagaskardan Afrika Selatan. Bahkan, di pinggiran kota Cape Town, Afrika Selatan
terdapat sebuah suburb yang bernama Maccassar, sebagai tanda penduduk setempat
mengingat tanah asal nenek moyang mereka.

Penyebab merantau

Konflik antara kerajaan Bugis dan Makassar serta konflik sesama kerajaan Bugis pada
abad ke-16, 17, 18 dan 19, menyebabkan tidak tenangnya daerah Sulawesi Selatan. Hal ini
menyebabkan banyaknya orang Bugis bermigrasi terutama di daerah pesisir. Selain itu
budaya merantau juga didorong oleh keinginan
KESENIAN DAN KEBUDAYAAN SULAWESI SELATAN
SEJARAH SULAWESI SELATAN

Provinsi Sulawesi Selatan dibentuk tahun 1964. Sebelumnya Sulawesi Selatan tergabung dengan
Sulawesi Tenggara di dalam Provinsi Sulawesi Selatan-Tenggara. Pembentukan provinsi ini berlandaskan
pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964

Periode terpenting sejarah Sulawesi Selatan adalah pada abad ke 14. Pada saat itu berdiri kerajaan-
kerajaan yang cukup terkenal, seperti Kerajaan Luwu di bawah pemerintahan dinasti Tomanurung
Simpuru Siang, Kerajaan Gowa, Kerajaan Bone di bawah dinasti ManurungE, Kerajaan Soppeng di bawah
pemerintahan Raja To ManurungE ri Dekkannyili, dan Kerajaan Tallo dengan raja pertamanya KaraEng
Loe ri Sero.
Pada tahun 1538, Gowa mulai bersentuhan dengan orang-orang Eropa. Pada tahun tersebut bangsa
Portugis mendarat di Bandar Niaga Makassar dan menghadap Raja Gowa IX Tumapa'risi Kallona.
Kadatangan bangsa Eropa ini selain untuk tujuan berdagang juga melakukan penyebaran agama Katolik,
misalnya dilakukan oleh Antonio de Payya yang menyebarkan Katolik di Parepare.

Pada tahun 1562 terjadi peperangan yang dahsyat antara kerajaan Bone dan Gowa. Raja Gowa
menyerang Bone karena merasa telah dicampuri urusan dalam negerinya. Pada akhir perang, pasukan
Bone berhasil memaksa pasukan Gowa mundur setelah melukai raja mereka. Kurang lebih dua tahun
setelah peperangan tersebut, raja Gowa Tunipallangga kembali menyerang Bone. Namun dalam
peperangan, raja Gowa jatuh sakit dan terpaksa mundur dan kembali ke Gowa. Dia meninggal dunia
sesampainya di Gowa. Peperangan melawan Bone dilanjutkan oleh penerusnya, yaitu, I Tajibarani.
Tajibarani akhirnya tewas dalam peperangan itu. Perang kemudian diakhiri dengan perundingan damai
yang dikenal dengan "Ulukanaya ri Caleppa". Bone mendapat semua daerah di sebelah utara sungai
Tangka, serta semua daerah di sebelah timur sungai WalanaE sampai di Ulaweng dan wilayah Cenrana.

KESENIAN SULAWESI SELATAN

Kesenian Sulawesi Selatan di kenal sebagai kebudayaan tinggi dalam konteks kekinian. Karena pada
dasarnya, seni tidak hanya menyentuh aspek bentuk (morfologis), tapi lebih dari itu dia mampu
memberikan konstribusi psikologis. Disamping memberikan kesadaran estetis, juga mampu melahirkan
kesadaran etis. Diantara kedua nilai tersebut, tentunya tidak terlepas dari sejauhmana masyarakat
kesenian (public art) mampu mengapresiasi dan menginterpretasikan makna dan simbol dari sebuah
pesan yang dituangkan dalam karya seni.
Berbicara tentang estetika, seolah kita terjebak pada suatu narasi yang menghantarkan kita pada
pemenuhan pelipur lara semata, misalnya: gaya hidup, hiburan dan relaksasi. Kita lupa bahwa seni
merupakan variabel yang dapat membentuk kesadaran sosial sekaligus kesadaran religius masyarakat. Di
Sulawesi Selatan, nilai kekhasan kesenian dapat dikatakan sebagai sebuah wasiat kebudayaan yang
menggiring kita pada lokal values (kearifan). Dibutuhkan pelurusan makna seni melalui aspek keilmuan
agar dia tidak terjebak dalam arus kepentingan politik dan industri semata.
Klasifikasi Masyarakat Seni
Arnold Hausser, seorang filosof sekaligus sosiolog seni asal Jerman mengindentifikasi bahwa masyarakat
seni terbagi menjadi empat golongan. Yang pertama: Budaya Masyarakat Seni Elit, yaitu masyarakat seni
intelektual yang banyak memberikan konstribusi perkembangan seni dalam suatu daerah. Masyarakat
seni elit inilah yang banyak memberikan literature dan kajian holistik agar perkembangan seni dapat
berjalan sesuai dengan konteks keilmuan, termasuk pakar kesenian, akademisi dan kritikus seni. Kedua:
Budaya Masyarakat Seni Populer, yaitu masyarakat seni intelektual yang hanya mengedepankan
kepentingan subjektifitas terhadap kebutuhan estetik yang berjalan sesuai dengan konteks (zaman).
Masyarakat seni ini biasanya terdapat dari golongan mapan yang dis-orientasi seni, misalnya dokter,
pengusaha, dan politikus. Ketiga: Budaya Masyarakat Seni Massa. Yaitu budaya masyarakat golongan
menengah kebawah, biasanya golongan ini hanya mementingkan aspek kesenangan dan mudah larut
dalam perkembangan peradaban. Dia senantiasa menikmati hidangan produk-produk kesenian tanpa
memikirkan dampak akibatnya terhadap masyarakat luas. Dan yang keempat: Budaya Masyarakat Seni
Rakyat. Masyarakat seni ini terbentuk secara spontanitas melalui kepolosan. Golongan ini juga
senantiasa mempertahankan wasiat seni para leluhurnya. Dari sinilah budaya masyarakat seni elit
memperoleh referensi dan inspirasi dalam memperkaya kajian kesenian dalam aspek kebudayaan.

KEBUDAYAAN SULAWESI SELATAN


Budaya Sulawesi Selatan Seni Kebudayaan Daerah Sulsel - Mengenal budaya propinsi Sulawesi Selatan
berarti mengenal adat kebudayaan yang ada di seluruh daerah Sulawesi Selatan.

Di Sulsel terdapat Banyak suku/etnis tapi yang paling mayoritas ada 3 kelompok etnis yaitu Makassar,
Bugis dan Toraja. DEmikian juga dalam pemakaian bahasa sehari-hari ke 3 etnis tersebut lebih dominan.
Kebudayaan yang paling terkenal bahkan hingga ke luar negeri adalah budaya dan adat Tanah Toraja
yang sangat khas dan sangat menarik.

Lagu daerah propinsi Sulawesi Selatan yang sangat populer dan sering dinyanyikan di antaranya adalah
lagu yang berasal dari Makasar yaitu lagu Ma Rencong-rencong, lagu Pakarena serta lagu Anging Mamiri.
Sedangkan lagu yang berasal dari etnis Bugis adalah lagu Indo Logo, serta lagu Bulu Alaina Tempe.
Sedangkan lagu yang berasal dari Tana Toraja adalah lagu Tondo.

Untuk rumah tradisional atau rumah adat di propinsi Sulawesi Selatan yang berasal dari Bugis, Makassar
dan Tana toraja dari segi arsitektur tradisional ke tiga daerah tersebut hampir sama bentuknya. Rumah-
rumah adat tersebut dibangun di atas tiang-tiang sehingga rumah adat yang ada di sana mempunyai
kolong di bawah rumahnya. Tinggi kolong rumah adat tersebut disesuaikan untuk tiap tingkatannya
dengan status sosial pemilik rumah, misalnya apakah seorang raja, bangsawan, orang berpangkat atau
hanya rakyat biasa.

Hampir semua masyarakat Sulsel percaya kalau selama ini penghuni pertama zaman prasejarah di
Sulawesi Selatan adalah orang Toale. Hal ini di dasarkan pada temuan Fritz dan Paul Sarasin tentang
orang Toale (orang-orang yang tinggal di hutan/penghuni hutan).

Salah satu upacara adat yang terkenal yang terdapat di Sulawesi Selatan ada di Tanah Toraja (Tator)
Upacara adat tradisional tersebut bernama upacara Rambu Solo (merupakan upacara
dukacita/kematian). Upacara Rambu Solo merupakan upacara besar sebagai ungkapan rasa dukacita
yang sangat mendalam.
Beberapa tarian yang ada di sulawesi selatan :
tari Pakkarena
tari Angin Mamiri
tari Paddupa

Pakaian Daerah Sulsel : Bugis dan Makassar : Baju Bodo dan Jas Tutup, Baju La'bu
Lagu Daerah Silawesi Slatan : Angin Mamiri, Ma Rencong,

OBJEK WISATA TERKENAL DI SUL-SEL

Fort Rotterdam

Salah satu benda cagar berarsitektur Belanda yang dilindungi adalah bangunan yang ada didalam
Benteng Rotterdam, benteng ini dibangun sebagai basis pertahanan dipinggir lautan Makassar. Pada
tahun 1545 ditempat ini berdiri dengan kokoh benteng gaya arsitek setempat yaitu Kerajaan Gowa lalu
kemudian dihancurkan oleh Belanda dan dibangunlah benteng baru yang dapat kita lihat sekarang,
peristiwa tersebut dicatat dalam sejarah akibat adanya bentuk perjanjian Bungaya pada tahun 1667 yang
didalangi oleh siasat Belanda. Sebagaian dari serpiha reruntuhan tmbok benteng tidak direnovasi dengan
alasan sebagai alat pembanding dengan dinding yang direnovasi.

Pantai Losari

Keindahan pantai yang terletak di sebelah barat Makassar ini memang sungguh mempesona, terlebih
ketika matahari terbenam di senja hari.

Semburat merah jingga dari mentari yang akan rebah di kaki cakrawala memantul pada laut di hadapan
pantai Losari, membawa nuansa dan pesona tersendiri bagi yang menyaksikannya. Beberapa perahu
nelayan kecil nampak di kejauhan, kian memperkaya warna senja yang luruh di sana. Dan debur ombak
yang menerpa lembut tanggul pantai bagaikan musik syahdu yang membawa suasana terasa kian
sentimental diiringi hembusan angin sepoi-sepoi dari arah laut. Banyak fotografer yang mengabadikan
kejadian ini untuk menyimpan kenangan keindahannya, akan senyum senja Pantai Losari., dan mungkin
juga tempat curhat muda mudi , santai keluarga di Pantai Losari.
Pantai yang juga merupakan landmark Kota Makassar ini memang menawarkan keindahan yang sangat
eksotis, terutama saat menyaksikan pemandangan matahari terbenam ketika petang menjelang.

Dahulu , sejumlah pedagang makanan bertenda berderet sepanjang kurang lebih satu kilometer di
pesisir Pantai Losari. Sampai-sampai ada yang sempat menjuluki sebagai “meja makan terpanjang di
dunia”. Hidangan yang disajikan pun sangat beragam, namun kebanyakan didominasi oleh makanan laut
dan ikan bakar.
Salah satu hidangan khas dan unik di Pantai Losari adalah Pisang Epe’. Jenis makanan ini berupa pisang
mentah dibakar, lalu dibuat pipih kemudian diberi kuah air gula merah. Untuk menambah aroma dan
kenikmatan, biasanya sang penjual menambahkan durian pada campuran kuah gula merah tadi. Inilah
makanan favorit saya sembari menikmati semilir angin senja yang sejuk membelai tubuh.

Saat ini warung-warung tenda yang menjajakan makanan laut tersebut telah dipindahkan ke sebuah
tempat di depan rumah jabatan Walikota Makassar yang juga masih berada di sekitar Pantai Losari.

Seusai menikmati senja, tak usah risau untuk mencari tempat mengisi perut yang lapar. Dengan hanya
berjalan kaki sekitar 5 menit dari Pantai Losari, anda akan menemukan pusat jajanan “tanah Anging
Mammiri” di Pantai Laguna. Mulai sop konro, coto Makassar, sop Saudara, sop pallubasa, pallu mara dan
ikan bakar, pisang epe, es pisang ijo, pallubutung, sari laut, bakso, nasi goreng, mie kering dan capcai
bisa Anda temukan pada ratusan gerobak yang mangkal di sana. Harganya pun relatif murah
menikmati becak khas Makassar menyusuri sepanjang pinggir pantai. Sarana transportasi yang sudah
hampir langka ini masih bisa kita jumpai di sana. Rasakan sensasi naik becak dengan kayuhan roda si
“daeng” seraya menikmati hempasan angin lembut yang menerpa dari arah depan.

Pantai Losari tak hanya bergeliat di senja hari. Setiap minggu pagi, di sepanjang Jalan Penghibur yang
tepat berada di pinggir pantai, ramai oleh orang yang berolahraga, mulai dari jogging, senam, bersepeda
atau hanya sekadar jalan-jalan menikmati segarnya udara pagi. Berbagai jajanan dan aneka makanan
tradisional tersedia, seperti bubur ayam, bubur kacang ijo, empek-empek Palembang, es pallubutung, es
pisang ijo, soto ayam, gado-gado atau lontong sayur. Bagi Anda yang akan mencicipi tidak perlu merogoh
kocek dalam-dalam, cukup dengan Rp 4000 sampai Rp 6000 per porsi untuk setiap hidangan sarapan
pagi ini.

Tidak terlalu sulit untuk mencapai Pantai Losari karena tempat ini termasuk berada di pusat Kota
Makassar. Sejumlah angkutan umum melintasi jalur Jalan Penghibur yang berada di pinggiran Pantai
Losari. Sejak direnovasi pada 2006, Pantai Losari kian bersolek, semakin bersih dan indah, sebagai salah
satu ikon andalan pariwisata Kota Makassar.
Jadi tak lengkap rasanya, bila anda ke Makassar tidak mampir ke Pantai Losari dan menikmati segala
romansanya…
Sembilan Suku Di Sulawesi Selatan
Adat Sulsel

Assalamu alaikum semuanya… pagi yang cerah, orang jepang nyebutnya “tenkgi ga ii
nee”

Apakah pendengar pernah ke Sulawesi Selatan, dengan ibukota Makassar? mungkin


beberapa di antara pedengar tidak tahu jika di Sulawesi Selatan terdapat beberapa macam
suku yang budaya dan bahasanya sangat berbeda satu dengan yang lainnya. Antara satu
kabupaten dengan yang lainnya beda suku dan bahasa lho… kalo di pulau Jawa, beberapa
propinsi seperti Jawa Timur, Yogyakarta dan Jawa Tengah bisa dikatakan semuanya suku
jawa dengan bahasa yang sama dengan dialek yang berbeda. Jika jawa tengah dan Jogja
lebih halus bahasanya, orang Jawa Timur (arek suroboyo), saya lebih suka menyebutnya
sebagai rame. Pengalaman saya punya teman orang surabaya makan di food court, mereka
cuma bertiga tapi ramenya seperti resepsi nikahan

Back to the topik, berikut suku bahasa yang ada di Sulawesi Selatan. Diklasifikasikan dari
jumlah penduduk terbanyak, kabupaten yang mendiami, tokoh yang terkenal, hingga
kebudayaan suku tersebut:

Suku Makassar:

Perahun Phinisi, Ikon Kota Makassar

Makassar adalah sebuah nama kota di provinsi Sulawesi Selatan saat ini. Kota ini didiami
oleh orang-orang Suku Makassar yang terkenal dengan panggilan “daeng”. Selain itu,
Makassar terkenal dari beberapa sisi, mulai dari sejarahnya yang panjang, budayanya yang
beragam, kulinernya yang membuat tenggorakan ngiler, pemandangan pantainya yang
indah, hingga kebrutalan mahasiswa dan tingkat kekerasannya yang tinggi. Inilah yang
membuat kota Makassar terkenal, setidaknya menjadi stereotip.

Suku Makassar, sebagai suku terbesar di Sulawesi Selatan, menyimpang sejarah yang
sangat panjang. Dalam catatan sejarah yang tertulis dalam “lontara”, suku Makassar sudah
menguasai Pulau Sulawesi sejak abad ke-16. Bahkan kekuasaan orang-orang Suku
Makassar saat itu meliputi Seluruh pulau Sulawesi, Sebagian Kalimantan, Sebagian Pulau
Maluku, Nusa Tenggara, Hingga Timor-Timur (Timor Leste saat ini). Menurut sejarah,
kekuasaan orang-orang Suku Makassar ditandai dengan adanya pohon Lontara. Dimana
ada pohon lontara, maka disitulah batasnya kekuasaan orang Makassar

Suku Makassar sendiri terdiri dari beberapa sub suku yang tersebar luas di selatan pulau
Sulawesi, tersebar dari Kota Makassar, Kabupaten Gowa, Takalar, Je’neponto, Bantaeng,
Bulukumba, Selayar, Maros, dan Pangkep. Sub suku itu seperti, suku Makassar Lakiung,
Turatea (Suku Je’neponto dan Bantaeng), Suku Konjo (Bulukumba dan Sebagian Maros),
dan Suku Selayar. Sub suku ini memiliki dialek bahasa yang berbeda-beda, tetapi masih
dalam rumpun bahasa Makassar. Di perkirakan jumlah populasi orang suku Makassar
sekitar 1,8 juta jiwa.

Sejak dulu, Suku Makassar adalah pelaut ulung. Bahkan karena kekuatan lautnya, sehingga
mampu menyatukan daerah-daerah yang luas seperti Sulawesi, Kalimantan, Nusatenggara,
Timur Leste dan Maluku kedalam satu kekuasaan Kesultanan Goa (Makassar). Orang
Makassar adalah orang yang pantang menyerah. Walaupun, pada pertempuran melawan
Belanda, mereka kalah, tetapi sebagian besar pejuang-pejuang Makassar tidak menerima
kekelahan tersebut. Mereka menyebar ke pulau Jawa, Kalimantan dan Sumatera. Mereka
itu seperti Karaeng Galesong, yang Hijrah ke tanah Jawa dan kerap mengganggu armada
Belanda di laut hingga dia di juluki oleh Spielman “Bajak Laut”. Selain itu ada nama
ulama besar saat itu yang mengabdi untuk kerajaan Banten melawan Belanda, Syekh
Yusuf al-Maqassary. Bahkan Syekh Yusuf lebih di kenal di Afrika Selatan sebagai
penyebar agama Islam, setelah dibuang Belanda kesana. Hingga saat ini, namanya masih
diabadikan menjadi sebuah nama kampung di Afrika Selatan “Kampung Makassar”.

Masih banyak sisi-sisi keunikan dari suku Makassar yang belum sempat diulas, seperti
keunikan sisi kulinernya (pisang ijo, pisang efek, pallu butung, pallu basa, pallu konro,
kacipo, dumpi eja, dan lain-lain) dari segi pemadangan alam pantai yang terkenal (Pantai
Losari, tanjung Bayam, tanjung Bunga, Pasir putih/pantai Bira di Bulukumba dan lain-
lain). Selain itu, masih banyak peninggalan budaya, teknologi dan bangunan kuno seperti
benteng, istana, tarian, kesenian daerah, perahu kora-kora, perahu pinisi dan lain-lain.

Tokoh yang terkenal, yaitu

 Syekh Yusuf Abul Mahasin Al-Taj Al-Khalwati Al-Makassari Al-Banteni.

Syech Yusuf Tajul Khalwati (lahir di Gowa, Sulawesi Selatan, 3 Juli 1626 – meninggal di
Cape Town, Afrika Selatan, 23 Mei 1699 pada umur 72 tahun) adalah salah seorang
pahlawan nasional Indonesia yang lahir dari pasangan Abdullah dengan Aminah dengan
nama Muhammad Yusuf. Nama ini diberikan oleh Sultan Alauddin, raja Gowa, yang juga
adalah kerabat ibu Syekh Yusuf. Nama lengkapnya setelah dewasa adalah Tuanta’ Salama’
ri Gowa Syekh Yusuf Abul Mahasin Al-Taj Al-Khalwati Al-Makassari Al-Banteni.

Dalam peperangan melawan Belanda tahun 1682, Syekh Yusuf ditangkap dan diasingkan
ke Srilanka pada bulan September 1684. Di Sri Lanka, Syekh Yusuf tetap aktif
menyebarkan agama Islam, sehingga memiliki murid ratusan, yang umumnya berasal dari
India Selatan. Kembali ditangkap Belanda, ia diasingkan ke lokasi lain yang lebih jauh,
Afrika Selatan, pada bulan Juli 1693. Di Afrika Selatan, Syekh Yusuf tetap berdakwah,
dan memiliki banyak pengikut. Ketika ia wafat pada tanggal 23 Mei 1699, pengikutnya
menjadikan hari wafatnya sebagai hari peringatan. Bahkan, Nelson Mandela, mantan
presiden Afrika Selatan, menyebutnya sebagai ‘Salah Seorang Putra Afrika Terbaik’.

 Sultan Hasanuddin, Ayam Jantan Dari Timur

Sultan Hasanuddin lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Januari 1631 dan meninggal di
Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Juni 1670 pada umur 39 tahun, adalah Raja Gowa ke-16
dan pahlawan nasional Indonesia yang terlahir dengan nama I Mallombasi Muhammad
Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe. Setelah memeluk agama Islam, ia
mendapat tambahan gelar Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla Pangkana, hanya saja
lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin saja. dia diangkat menjadi Sultan ke 6 Kerajaan
Gowa dalam usia 24 tahun (tahun 1655).

Sementara itu belanda memberinya gelar de Haav van de Oesten alias Ayam Jantan dari
Timur karena kegigihannya dan keberaniannya dalam melawan Kolonial belanda. Sultan
Hasanuddin lahir di Makassar, merupakan putera kedua dari Sultan Malikussaid, Raja
Gowa ke-15. Sultan Hasanuddin memerintah Kerajaan Gowa, ketika Belanda yang
diwakili Kompeni sedang berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah. Gowa
merupakan kerajaan besar di wilayah timur Indonesia yang menguasai jalur perdagangan.

Suku Bugis:

“Panrita” Penasehat Kerajaan Bugis

Ugi bukanlah sebuah kata yang memiliki makna. Tapi merupakan kependekan dari La
Satumpugi, nama seorang raja yang pada masanya menguasai sebagian besar wilayah
Provinsi Sulawesi Selatan. La Satumpugi terkenal baik dan dekat dengan rakyatnya.
Rakyatnya pun menyebut diri mereka To Ugi, yang berarti Orang Ugi atau Pengikut Ugi.

Dalam perjalanannya, seiring gerakan ke-Indonesiaan, Ugi dibahasa-Indonesiakan menjadi


Bugis dan diidentifikasikan menjadi salah satu suku resmi dalam lingkup negara Republik
Indonesia. Maka muncul dan terkenallah Suku Bugis di Indonesia; bahkan di seluruh
dunia.
Wilayah Wilayah utama Suku Bugis di Sulawesi Selatan adalah Barru, Sidrap, Pinrang,
Parepare, Soppeng, Bone, Wajo, dan Palopo. Wilayah-wilayah tersebut berkembang
melalui tiga kerajaan besar Suku Bugis, yaitu Kerajaan Bone, Kerajaan Soppeng, dan
Kerajaan Wajo. Ditambah beberapa kerajaan kecil lainnya.

Invasi Kerajaan Gowa pimpinan Sultan Hasanuddin terhadap Kerajaan-Kerajaan Bugis


membuat banyak orang Bugis merantau untuk menyelamatkan diri. Maka bisa kita dapati
saat ini banyaknya kampung Suku Bugis di wilayah lain di luar Sulawesi Selatan, seperti di
Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, dan Kalimantan; bahkan sampai di
wilayah negara tetangga: Malaysia, Thailand, dan Filipina.

Agama Pada mulanya, agama Suku Bugis adalah animisme yang diwariskan secara turun-
temurun. Namun animisme itu terkikis sejak ulama asal Sumatera bernama Datuk Di Tiro
menyebarkan ajaran Islam di Sulawesi Selatan. Islam kemudian menjadi agama utama
Suku Bugis hingga kini.

Pun demikian, beberapa komunitas Suku Bugis tidak mau meninggalkan animisme. Ketika
Pemerintah Indonesia menawarkan kepada mereka lima agama untuk dianut, mereka lebih
memilih agama Budha atau Hindu yang mereka anggap menyerupai animisme mereka.
Maka jangan heran kalau ada orang Bugis yang menunjukkan KTP-nya bertuliskan agama
Budha atau Hindu.

Bahasa dan Adat Suku Bugis memiliki bahasa sendiri, bahkan dilengkapi dengan huruf
sendiri yang disebut huruf lontara’. Bahkan uniknya, logat bahasa Bugis berbeda di setiap
wilayahnya; ada yang kasar dan ada yang halus.

Selain bahasa, Suku Bugis juga kental dengan adat yang khas: adat pernikahan, adat
bertamu, adat bangun rumah, adat bertani, prinsip hidup, dan sebagainya. Meskipun sedikit
banyaknya telah tercampur dengan ajaran Islam.

Bahasa, huruf, dan adat sendiri yang dimiliki Suku Bugis menandakan satu hal: Suku
Bugis pada masanya memiliki peradaban yang luar biasa hebatnya. Nenek moyang Suku
Bugis adalah orang-orang pintar yang mampu menciptakan dan mewariskan ilmu
pengetahuan.

Tokoh yang terkenal, yaitu: BJ. Habibie (mantan Presiden), Jusuf kalla (mantan wapres),
AM. Mallarangeng dll.
Suku Mandar:

Parade Gadis-Gadis Cantik Suku Mandar

Suku Mandar merupakan suku asli yang berada di Sulawesi Barat  (dulunya bagian dari
Propinsi Sulawesi Selatan).

Wilayah utama Suku mandar mendiami kabupaten Polewali, Mandar dan Majene.
Penyebaran suku Mandar ini juga berada di provinsi Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan
dan Kalimantan Timur.. Populasi suku Mandar di Sulawesi Barat diperkirakan lebih dari
260.000 orang dan di Kalimantan Selatan 29.322 orang pada sensus tahun 2000.
Suku Mandar masih berkerabat dengan suku Bugis dan Makassar, karena terdapat
kedekatan dalam segi asal-usul sejarah, budaya dan bahasa. Suku Mandar ini termasuk
salah satu suku yang suka hidup di laut, termasuk salah satu suku bahari, tapi mereka
berbeda dengan suku Bajo dan suku-suku laut. Pemukiman mereka kebanyakan
berhadapan langsung dengan laut lepas. Mereka menganggap lautan sebagai rumah dan
ladang untuk mencari sumber kehidupan.
Dalam catatan sejarah Tana Mandar, dijelaskan bahwa Pitu Ulunna Salu (Tujuh Hulu
Sungai) dan Pitu Ba, Bana Binanga (Tujuh Muara Sungai), adalah negara wilayah Mandar.
Orang-orang dari wilayah itu, menyatakan diri masih bersaudara dalam kesatuan Mandar.
Orang Mandar percaya bahwa mereka berasal dari Ulu Sa’ (nenek moyang), yang bernama
Tokombong di Wura (laki-laki) dan Towisse di Tallang (perempuan). Mereka itu di sebut
juga To-Manurung di Langi.
Kehidupan laut bagi suku Mandar adalah kehidupan yang telah dilakoni sejak ribuan tahun
yang lalu, sejak dari zaman nenek moyang mereka yang telah bersahabat dengan laut. Laut
bagi mereka adalah pemberi segalanya bagia mereka, yang memberi banyak sumber
pengetahuan bagi mereka. Pengetahuan laut mereka adalah rumpon (roppong) adalah
merupakan teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan yang diciptakan oleh para
pelaut Mandar, yang terbuat dari rangkaian daun kelapa dan rumput laut, dan satu lagi
yaitu perahu sandeq, yang merupakan perahu layar bercadik khas Mandar yang memiliki
kecepatan yang tinggi.

Perahu-perahu suku Mandar terbuat dari kayu, namun mampu dengan lincah menyeberangi
lautan bebas. Panjang sekitar 8-11 m dan lebar 60-80 cm, dan di sisi kiri dan kanan
dipasang cadik dari bambu sebagai penyeimbang. Untuk berlayar, perahu tradisional ini
mengandalkan dorongan angin yang ditangkap dengan layar berbentuk segitiga. Layar itu
mampu mendorong Sandeq hingga berkecepatan 20 knot. Kecepatan yang tinggi untuk
perahu dari kayu.
Pada masa lalu masyarakat suku Mandar memiliki ras nomaden laut, beberapa abad yang
lalu, banyak dari mereka melakukan perjalanan melintas laut menyeberang ke pulau-pulau
lain, sehingga banyak ditemukan pemukiman suku Mandar di daratan pulau Kalimantan,
terutama di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.
Suku Mandar memiliki tradisi adat dan bahasa yang sangat kuat. Filosofi hidup dan prinsip
hidup mereka berbeda dengan suku Bugis, Makassar, Toraja dan suku lainnya yang
menjadi suku tetangga mereka di Sulawesi.

Agama mayoritas suku Mandar adalah pemeluk agama Islam yang taat, diperkirakan
sekitar 90% adalah pemeluk agama Islam, sedangkan pemeluk agama lain hanya sebesar
10%. Beberapa tradisi adat dan budaya suku Mandar banyak dipengaruhi oleh budaya
Islam.

Suku Mandar dalam kehidupan sehari-hari untuk bertahan hidup, mayoritas adalah
berprofesi sebagai nelayan. Mereka menangkap ikan dengan perahu-perahu layar
berukuran kecil selama beberapa hari. Mereka pandai menentukan kapan harus melaut
sesuai dengan kondisi angin dan cuaca yang akan mereka hadapi di tengah laut. Selain itu
beberapa ada juga yang berprofesi sebagai pedagang. Di halaman rumah, mereka
memelihara beberapa hewan ternak untuk melengkapi kebutuhan daging bagi keluarga
mereka

Anda mungkin juga menyukai