JAMBORE SEKAMI
KEUSKUPAN AGUNG PALEMBANG
Pengantar
JAMBORE SEKAMI Keuskupan Agung Palembang merupakan ruang formasi dan animasi
misioner bagi remaja dan pendamping. Dalam alur proses misioner ini, di dalamnya
banyak orang dan kelompok kerja yang terlibat. Kebersamaan yang semakin
memperjelas wajah kebinekaan. Dari sini tampaklah bawa dinamika ini menjadi
diperindah dan bercorak transformatif bagi semua.
Sebagai sebuah ruang formasi dan animasi misioner, setiap acara, model, dan
hal-hal teknis penyokong lainnya selalu memiliki dimensi formatif dan animatif
tersebut.
Sebagai kegiatan semodel jambore, Jambore SEKAMI 2018 memposisikan
peserta untuk memiliki sukacita dalam kondisi serba terbatas. Dinamika kelompok,
pentas seni, doa, Ekaristi, dan interaksi antarpeserta menjadi ruang untuk
menghidupi dan merayakan kebinekaan sebagai anugerah Tuhan. Sementara pola
konsumsi selama kegiatan juga mengusung maksud formasi di bidang kesadaran
ekologis untuk hormat dan ramah pada alam ciptaan. Alur ini makin dipertegas
dengan materi-materi verbal yang mengarah langsung pada tema Berbagi Sukacita
Injil dalam Kebinekaan.
Maka, hadirnya bahan untuk pendamping ini mesti dilihat dalam konteks
kebutuhan formasi dan animasi misioner yang melibatkan banyak orang dan kelompok
kerja ini. Ia menjadi teman bagi para pendamping rohani beserta rekan kerjanya
untuk menemukan informasi, bahan tambahan materi, alur refleksi, dan tuntunan
teknis. Sementara bagi panitia, buku ini bisa menjadi rujukan untuk kerja dan
pelayanan yang harus diselenggarakan sesuai dengan konteks dan tujuan Jambore.
Proses Acara
Dinamika Jambore SEKAMI berproses dalam tiga bagian pokok, yakni selebrasi,
edukasi/formasi, dan animasi misioner. Berikut adalah pokok-pokok makna dari
masing-masing proses.
Selebrasi misioner ialah kegiatan yang sifatnya perayaan. Misalnya,
opening/closing ceremony, perayaan SEKAMI ke-175; pentas seni, perwakilan dari
masing-masing Keuskupan atau Regio; serta perayaan Ekaristi harian, ibadat, dan
doa-doa dalam keluarga maupun perkampungan.
Jika gelaran massal SEKAMI nasional dinamakan “jambore”, ide yang hendak
diadopsi ialah suasana jambore tersebut. Yakni, jumlah massa yang banyak, sarana
dan prasarana yang terbatas jika dibandingkan dengan fasilitas rumahan sehari-hari,
aneka kegiatan bersama yang saling menghargai, dan sebagian besar aktivitas
diselenggarakan di alam terbuka.
Nah, dalam konsep jambore yang demikian, peserta diajak untuk keluar dari
zona nyaman kehidupan sehari-hari, menjadikannya sebagai tantangan untuk tetap
menemukan sukacita dalam kesederhanaan dan keterbatasan yang ada, berani
menghargai dan membagikan kekhasannya masing-masing demi saling memperkaya
sebagai sesama anak-anak Allah.
Kiranya, kondisi tersebut bisa menjadi gambaran bahwa inilah tantangan yang
dihadapi oleh setiap murid Kristus yang dipanggil untuk menjadi misionaris bagi
Tuhan Yesus. Mereka harus berani keluar dari diri sendiri (egoisme), menjumpai yang
lain, dan berbagi sukacita dalam kebersamaan (children helping children). Maka,
sangat diharapkan, jambore bisa menjadi medan perjumpaan untuk saling belajar
dan berbagi sesama murid Kristus dalam upaya menjadi misionaris bagi-Nya.
-o0o-
TEMA:
Berbagi Sukacita Injil Dalam Kebinekaan
JAMBORE SEKAMI 2018 menjadi medan perjumpaan anak-anak remaja dan
pendamping SEKAMI dari seluruh utusan. Yang menjadi fokus formasi dan animasi
misioner acara ini ialah “Berbagi Sukacita Injil dalam Kebinekaan”. Pesan ini bermula
dari kesadaran spiritualitas SEKAMI untuk berbagi, lalu merefleksikan hakikat Gereja
yang diutus mewartakan sukacita Injil di tengah konteks kehidupan sehari-hari
Indonesia yang ditandai dengan kebinekaan.
Berbagi
Semangat “berbagi” merupakan spiritualitas atau semangat SEKAMI. Setiap
anak SEKAMI ialah seorang “misionaris bagi Yesus”. Semangat SEKAMI ini meliputi
doa, derma, kurban, dan kesaksian (2D2K). Inilah praktik cara hidup yang mau
mengungkapkan moto children helping children, sebagaimana diajarkan oleh Bapa
Pendiri SEKAMI Mgr Charles Auguste Marie de Forbin Janson (1785-1844).
Tindakan berbagi menjadi roh sentral SEKAMI dalam menjalani setiap
perutusannya, di mana pun dan kapan pun. Pada gelaran JAMNAS SEKAMI 2018 ini,
spiritualitas yang lahir sekitar 175 tahun yang lalu tersebut akan didalami dan
disiarkan agar menjadi gerakan hidup bagi anak-anak remaja maupun pendamping
SEKAMI.
Sukacita Injil
Memiliki dan mewartakan “Sukacita Injil” menunjuk pada hakikat Gereja yang
senantiasa ada dalam perutusan untuk meneruskan sukacita yang diterima dari Tuhan
Yesus. Untuk itu, di sini ditekankan pentingnya kesadaran “memiliki” dan
“mewartakan” sukacita Injil. Sukacita tersebut memenuhi hati dan hidup seseorang
karena perjumpaannya dengan Yesus. “Bersama Kristus, sukacita senantiasa
dilahirkan baru,” demikian tegas Paus Fransiskus dalam seruan apostolik Sukacita
Injil (Evangelii Gaudium 1).
Sementara dari sisi pengalaman negatif, Bapa Suci menyebut bahwa kesedihan
dan kecemasan yang lahir dari hati yang puas diri tapi tamak merupakan bahaya yang
sangat nyata bagi umat beriman. Ketika batin kita terbelenggu oleh kelesuan dan
kepentingan diri, tak ada lagi ruang bagi sesama, dan suara Allah tak lagi terdengar.
Berikutnya, orang lain akan menjadi korban. Akhirnya, rasa benci, marah, dan lesu
terus tumbuh subur di sekitaran kita.
“Konsekuensinya, seorang pewarta Injil tidak pernah boleh seperti orang yang
baru pulang dari pemakaman! Marilah kita memulihkan dan memperdalam semangat
kita, sehingga ada sukacita yang menggembirakan dan menghibur untuk mewartakan
kabar baik, bahkan bila kita harus menabur dengan deraian air mata,” tandas Paus
(EG 10).
Bineka
Kata “bineka” memiliki makna “beraneka ragam” atau “berbeda-beda”.
Sebagai pribadi manusia, setiap orang adalah unik karena Allah menciptakan kita
masing-masing secara istimewa. Sementara dalam konteks keindonesiaan,
kebinekaan kita meliputi perbedaan fisik atau ras, suku, budaya, bahasa, agama,
tingkatan sosial, dan lain sebagainya.
Kebinekaan (diversity) merupakan konteks hidup Gereja Indonesia. Inilah locus
bagi hidup dan kesaksian kita selaku anak-anak Allah. Kebinekaan menjadi sebuah
kondisi tak tertawarkan yang kita miliki serta turut membentuk hidup kita. Kita lahir
tanpa bisa memilih menjadi si A atau si B, di pulau ini atau pulau itu. Maka, kondisi
kebinekaan sebenarnya merupakan sebuah anugerah Allah yang sangat berharga.
Inilah anugerah untuk setiap pribadi manusia, suatu masyarakat, suatu bangsa.
Event Jambore SEKAMI bisa menjadi gambaran kebinekaan (diversity) yang
dihayati Gereja-gereja lokal di Indonesia. Di ruang kegiatan inilah, kita mau belajar
menerima, menghargai, dan mencintai setiap perbedaan yang ada. Sebab, berbeda
itu indah. Berbeda itu anugerah!
Akhirnya, gerak pembaruan inilah yang selanjutnya hendak kita hidupi di
tempat kita masing-masing: hidup dalam satu Roh yang mempersatukan, sint unum
(“supaya mereka menjadi satu”, Yoh 17:22).
-o0o-
ANAK-ANAK Sekami merupakan anak misioner. Artinya, anak yang menyadari diri
bahwa ia hidup bukan hanya untuk dirinya sendiri, bahwa ia beriman bukan hanya
untuk keselamatannya sendiri. Setiap anak diutus untuk membagikan hidupnya,
sukacitanya. Inilah semangat hidup anak Sekami.
Kurang lebih begitulah pernyataan Direktur Nasional Karya Kepausan Indonesia
(Dirnas KKI), Romo Markus Nur Widi berkenaan dengan hari ulang tahun Sekami yang
ke-174.
“Konkretnya, kita mau mengajak anak-anak untuk berbagi sebagaimana ada
dalam semangat 2D2K (doa, derma, kurban, dan kesaksian). Kita juga ingin agar
anak-anak memiliki wajah berseri sebagai bentuk sukacita Injil. Inilah bentuk
kesaksian kanak-kanak sebagai bintang misioner bagi Kristus,” simpulnya.
Kini, kita ingin mengembangkan makna berbagi dan sukacita sebagai bentuk
nyata perutusan anak dan remaja di kancah kehidupan sehari-hari mereka.
Mendalami tema ini, kita ingin belajar dari Bapa Paus Fransiskus.
Boks:
“Jangan biarkan kita kehilangan sukacita, rasa humor. Bahkan, kita mesti
memiliki keberanian untuk menertawakan diri sendiri, dan ini akan
memampukan orang tetap baik hati walau tengah berada dalam situasi yang
sulit. Betapa menguntungkan memiliki cita rasa humor!”
Paus Fransiskus
-o0o-
SEBUT saja namanya Dhipa. Usianya sekitar 70 tahun. Kakek ini hidup seorang diri di
sebuah rumah kayu panggung di tengah rawa lahan gambut daerah Sumatera.
Kesehariannya hanya duduk-duduk di rumah. Ia tidak bisa bepergian ke luar rumah.
Kakinya lumpuh akibat kecelakaan saat bersepeda menuju gereja.
Untunglah, istrinya, yang beberapa tahun lalu meninggal, mewarisinya dana
pensiun. Jumlahnya 600-an ribu. Uang yang diterima tiap bulan ini dikelolakan oleh
tetangganya untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Pokoknya ia percaya
saja. Uang sepeser pun tak dipegangnya.
Dhipa selalu enak kalau diajak berbincang-bincang. Cerita-ceritanya seakan tak
pernah habis. Selalu saja ada sambungannya. Suaranya masih tegas, menyiratkan
suatu semangat yang hidup. Dari kisah-kisahnya yang terus mengalir itu tak
ditemukan nada mengeluh atau menyalahkan sesiapa atas apa yang ia jalani.
Satu kesempatan ia mengungkapkan bahwa dirinya rela dan legawa menjalani
hidup yang sekarang ini. Ia merasa tidak memiliki beban. Ia juga enggan merepotkan
orang lain. Hartanya, berupa tanah seluas 2 hektar, sudah ia hibahkan untuk
kebutuhan kampung. Tanah sepetak tempat gubuknya berdiri saat ini juga akan ia
hibahkan untuk gereja. Toh, kalau mati nanti juga tidak membawa apa-apa.
Sesederhana itulah ia beralasan.
“Yang saya butuhkan cuma itu,” jelasnya sambil menunjuk ke arah ruang
tidurnya. Saya pun bergerak ke arah telunjuknya tertuju. Di sana, saya melihat
sebuah kotak kayu persegi panjang. Ternyata sebuah peti mati. Katanya, peti itu
seharga 2 juta. Ia sudah berpesan pada tetangganya yang semuanya Muslim, jika mati
nanti ia minta dikuburkan di samping rumahnya.
Kesahajaan Mbah Dhipa inilah yang melintas di benak saya ketika mesti melihat
makna “memberi” atau “berbagi”. Caranya yang sederhana dalam menghayati milik
yang ia punyai serta ekspresi ketetanggaannya seakan ingin mengungkapkan bahwa
memberi itu bukan persoalan materi, juga bukan perhitungan untung-rugi.
Memberi merupakan sebuah proses hidup, sebuah perjalanan diri untuk
membuka dan berbagi hidup bersama dengan yang lain. Inilah gerak mengurangi
keterpusatan pada diri sendiri, lalu menuju pada yang lain. Aktivitas ‘memberi’
membuat kita senantiasa terhubung dengan orang lain. Apa pun bentuknya, jika yang
kita lakukan adalah pemberian diri, itu akan mendatangkan arti dan dampak positif.
Ia menghadirkan makna bagi hidup si pemberi maupun penerima.
Tepatlah apa yang ditulis Azim Jamal dan Harvey McKinnon dalam The Power of
Giving, “Sikap yang Anda bawa ketika memberi itu mencerminkan apa yang akan
Anda dapat.” Ketulusan tanpa pamrih yang Dhipa hayati membuatnya merasa
bahagia, penuh energi, hidup lebih bermakna, dan mampu melihat pengharapan di
tengah aneka situasi. Semakin banyak ia memberikan diri, semakin diperkaya pula
dirinya.
Dhipa punya alasan sendiri untuk merasa bahagia dan enggan menggerutukan
hidup yang ia jalani. Bisa jadi, ini merupakan sebuah isyarat bahwa ia makin
mengenali siapa dirinya dan berani menerima diri sebagaimana adanya. “Untuk bisa
menemukan dirimu sendiri, benamkanlah dirimu dalam pelayanan bagi sesama,”
sebut Mahatma Gandhi.
Lalu apa upahnya dari memberi? Keuntungan dan kebahagian dari seseorang
yang memberi adalah bahwa ia boleh berbagi, bahwa ia boleh ambil bagian dalam
dunia di mana ia hadir dan hidup. Itulah memberi diri.
Jadi, tak perlu menunda hingga jadi kaya untuk bisa berbagi. Sebab, selalu tak
pernah ada kata cukup bagi seorang rakus. Sebab, justru memberi itulah yang
membuat hidup menjadi berkelimpahan, dan bukan sebaliknya.
Elis Handoko
(Majalah Missio KKI, Januari 2017, pg. 9)
-o0o-
Elis Handoko
(Majalah Missio KKI, Januari 2017, pg. 10)
-o0o-
TOKOH-TOKOH KEBINEKAAN
a. Yos Sudarso
Laksamana Madya Yosaphat Sudarso lahir di Salatiga, Jawa Tengah, pada 24
November 1925.
Yos sudarso menyelesaikan pendidikannya di HIS Salatiga dan melanjutkan
pendidikannya ke sekolah guru di daerah Muntilan, Magelang. Akan tetapi ia berhenti
saat Jepang datang dan menguasai Indonesia. Yos kemudian dipindahkan ke sekolah
tinggi pelayaran di Semarang dan ikut pendidikan opsir di Giyu Usamu Butai yaitu
sebagai salah satu murid lulusan terbaik.
Ia lalu bekerja sebagai mualim kapal milik Jepang. Setelah proklamasi
kemerdekaan Indonesia usai, ia masuk di BKR Laut yang kini dikenal sebagai TNI
Angkatan Laut. Ia juga terlibat operasi militer antar pulau Maluku untuk memberikan
informasi tentang kemerdekaan Indonesia di bagian Indonesia Timur yang masih
dijajah oleh Belanda.
Setelah kedaulatan RI, ia kemudian diangkat sebagai komandan kapal yang
kemudian memimpin di KRI Alu, KRI Rajawali, KRI Gajah Mada, dan KRI Pattimura.
Tahun 1958, ia pernah menjabat hakim pengadilan tentara walaupun cuma sekitar 4
bulan.
Tanggal 19 Desember 1961 presiden Sukarno membentuk sebuah Tri Komando
Rakyat (TRIKORA) untuk upaya pembebasan Irian Barat yang dijajah oleh Belanda.
Presiden Sukarno membentuk sebuah komando mandala untuk pembebasan Irian
Barat yang berkedudukan di Makasar, dan Yos menjadi pemimpinnya.
Kemudian ia mengadakan patroli di sekitar daerah perbatasan pada tanggal 15
Januari 1962, yakni di laut Aru, Maluku, dengan 3 kapal motor jenis torpedo boat
yaitu KRI macan tutul, KRI harimau dan KRI macan kumbang.
Akan tetapi, Belanda rupanya sudah tahu akan rencana Yos tersebut. Belanda
menyiapkan kapal perusak dan pesawat pengintai untuk membasmi pasukan Yos. Yos
kemudian mengeluarkan perintah bertempur kepada Belanda. Yos memiliki strategi,
dengan KRI macan tutul di bawah pimpinannya ia berusaha untuk menarik perhatian
dari kapal Belanda agar kedua kapal lainnya bisa melarikan diri.
Namun tanggal 15 Januari 1962 di Laut Aru, di usianya yang masih muda, yaitu
36 tahun, ia tertembak oleh Hr. Ms. Eversten, kapal patroli milik Belanda dan kapal
KRI macan tutul pun tenggelam. Yos bersama rekan-rekannya gugur dan tenggelam
bersama awak kapal tersebut.
Namanya kini diabadikan menjadi nama KRI dan nama pulau. Namanya juga
dijadikan nama jalan di Jakarta dan Papua, dan monumennya dibangun di kota
Surabaya.
Yos Sudarso menganut agama Katholik, dan ia memiliki lima orang anak (dua di
antaranya meninggal).
(Sumber :https://rubrikkristen.com)
b. Adi Sucipto
Adi Sucipto lahir di Salatiga, Jawa Tengah, 3 Juli 1916. Ia adalah seorang
penganut agama Katholik.
Adi Sucipto mengenyam pendidikan GHS (Sekolah Tinggi Kedokteran) dan
lulusan Sekolah Penerbang Militaire Luchtvaart di Kalijati, Subang, Jawa Barat.
Pada tanggal 15 November 1945, Adi Sucipto mendirikan Sekolah Penerbang
di Yogyakarta, tepatnya di Lapangan Udara Maguwo, yang kemudian diganti namanya
menjadi Bandara Adi Sucipto (salah satu bandara terbesar di Indonesia), untuk
mengenang jasanya sebagai pahlawan nasional.
Pada saat Agresi Militer Belanda I, Adi Sucipto dan Abdulrahman
Saleh diperintahkan terbang ke India menggunakan pesawat Dakota VT-CLA.
Penerobosan blokade udara Belanda menuju India dan Pakistan berhasil dilakukan.
Sebelum pulang ke Indonesia, mereka singgah di Singapura untuk mengangkut
bantuan obat-obatan Palang Merah Malaya, sehingga pesawat baru berangkat kembali
pada pukul 13.00.
Pesawat ini mengangkut total 9 orang, antara lain: Agustinus Adi Sucipto,
Abdulrahman saleh (kelak menjadi nama bandara di Malang) dan Adisumarmo (kelak
menjadi nama bandara di Solo).
Sementara itu, di Lanud Maguwo, Yogyakarta, Kepala Staf S. Suryadarma telah
menunggu kedatangan pesawat ini dan memerintahkan agar pesawat tidak perlu
berputar-putar sebelum mendarat, untuk menghindari kemungkinan serangan udara
terhadap pesawat tersebut, mengingat di dalam pesawat ada dua tokoh penting
AURI, yakni Agustinus Adi Sucipto dan Abdulrachman Saleh.
Saat telah mendekati Lanud Maguwo pada 29 Juli 1947 pukul 16.30, pesawat ini
pun tetap berputar-putar untuk bersiap mendarat. Tiba-tiba muncul dua pesawat
milik Belanda yang diawaki oleh Lettu B.J. Ruesink dan Serma W.E. Erkelens,
langsung menembaki pesawat tersebut. Akibatnya pesawat hilang kendali, jatuh dan
terbakar. Semua orang di pesawat meninggal, kecuali A. Gani Handonocokro.
Adi Sucipto dimakamkan di pemakaman umum Kuncen I dan II, dan kemudian
pada tanggal 14 Juli 2000 dipindahkan ke Monumen Perjuangan TNI AU di
Ngoto, Bangunharjo, Sewon, Bantul, Yogyakarta.
(Sumber :https://rubrikkristen.com)
c. Frans Seda
Ketika Bung Karno dibuang ke Flores pada tahun 1936, ia mengunjungi sebuah
SD di desa Ndao. Bung Karno terpukau mendengar kata sambutan spontan oleh
seorang murid berusia sepuluh tahun. Pidato bocah itu disampaikan dalam bahasa
Belanda yang sempurna dan isinya berbobot. Bocah cilik itu adalah Frans Seda, yang
kemudian menjadi menteri dan penasihat ekonomi Presiden Soekarno. Lebih dari itu,
Seda juga kemudian menjadi penasihat ekonomi Presiden Soeharto, Habibi,
Abdurrahman Wahid, dan Megawati.
d. RB Monginsidi
Robert Wolter Monginsidi lahir di Manado, Sulawesi Utara, pada 14
Februari 1925.
Monginsidi memulai pendidikannya pada 1931 di sekolah dasar (HIS) dan sekolah
menengah (MULO) Frater Don Bosco di Manado. Monginsidi lalu dididik sebagai guru
bahasa Jepang pada sebuah sekolah di Tomohon. Setelah studinya, dia mengajar
Bahasa Jepang di Liwutung, Minahasa dan di Luwuk, Sulawesi Tengah, sebelum
ke Makassar, Sulawesi Selatan.
Ketika kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, Monginsidi berada di Makassar.
Namun, Belanda berusaha untuk mendapatkan kembali kendali atas Indonesia setelah
berakhirnya Perang Dunia II. Mereka kembali melalui NICA (Netherlands Indies Civil
Administration/Administrasi Sipil Hindia Belanda). Dan Monginsidi terlibat dalam
perjuangan melawan NICA di Makassar.
Pada tanggal 17 Juli 1946, Monginsidi dengan rekan-rekannya membentuk
Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS), yang selanjutnya menyerang
posisi Belanda. Dia ditangkap oleh Belanda pada 28 Februari 1947, tetapi berhasil
kabur pada 27 Oktober 1947.
Belanda menangkapnya kembali dan kali ini Belanda menjatuhkan hukuman
mati kepadanya. Monginsidi dieksekusi oleh tim penembak pada 5 September 1949
saat ia berusia 24 tahun. Jasadnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Makassar
pada 10 November 1950.
Wolter Monginsidi dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah
Indonesia pada 6 November 1973. Dia juga mendapatkan penghargaan tertinggi
Negara Indonesia, Bintang Mahaputra (Adipradana), pada 10 November 1973.
Ayahnya, Petrus, yang berusia 80 tahun pada saat itu, menerima penghargaan
tersebut.
Bandara Wolter Monginsidi di Kendari, Sulawesi Tenggara dinamakan sebagai
penghargaan kepada Monginsidi. Demikian juga kapal Angkatan Darat Indonesia, KRI
Wolter Monginsidi dan Yonif 720/Wolter Monginsidi. Sejumlah jalan di berbagai kota
juga dinamai menurut namanya.
(Sumber :https://rubrikkristen.com)
g. Tjilik Riwut
Tjilik (baca: Cilik) Riwut lahir di Kasongan, Kalimantan Tengah, pada 2
Februari 1918. Ia berjasa memimpin Operasi Penerjunan Pasukan Payung Pertama
dalam sejarah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia pada tanggal 17
Oktober 1947 oleh pasukan MN 1001, yang ditetapkan sebagai Hari Pasukan Khas TNI-
AU yang diperingati setiap 17 Oktober. Waktu itu pangkat Tjilik Riwut adalah Mayor.
Tjilik Riwut juga adalah salah seorang yang berjasa bagi masuknya pulau
Kalimantan ke pangkuan Republik Indonesia. Sebagai seorang putera Dayak ia telah
mewakili 142 suku Dayak pedalaman Kalimantan bersumpah setia kepada Pemerintah
RI secara adat di hadapan Presiden Sukarno di Gedung Agung Yogyakarta, 17
Desember 1946.
Sebagai tentara, pengalaman perangnya meliputi sebagian besar pulau
Kalimantan dan Jawa. Setelah perang usai, Tjilik Riwut aktif di pemerintahan. Dia
pernah menjadi Gubernur Kalimantan Tengah, menjadi koordinator masyarakat suku-
suku terasing untuk seluruh pedalaman Kalimantan, dan terakhir sebagai
anggota DPR RI.
Ia meninggal dalam usia 69 Tahun di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, pada
tanggal 17 Agustus 1987 (bertepatan dengan hari kemerdekaan Indonesia) dan
dimakamkan di Makam Pahlawan Sanaman Lampang, Palangka Raya.
Namanya diabadikan sebagai nama bandara di Palangka Raya, serta nama jalan
utama di ibu kota Kalimantan Tengah tersebut.
Tjilik Riwut merupakan seorang penulis yang produktif. Buku-bukunya antara
lain adalah: Makanan Dayak (1948), Sejarah Kalimantan (1952), Kalimantan
Memanggil (1958), Memperkenalkan Kalimantan Tengah dan Pembangunan Kota
Palangka Raya (1962), Manaser Panatau Tatu Hiang (1965), dan Kalimantan
Membangun (1979).
(Sumber :https://rubrikkristen.com)
“What kind of world do we want to leave to those who come after us,
to children who are now growing up?”
Pope Francis
ENTAH berapa kali dalam setahun kita mendengar, menyaksikan, bahkan mungkin
mengalami sendiri bencana alam, dari gunung berapi meletus, gempa bumi, tsunami,
hingga banjir atau tanah longsor. Musim panas dan kekeringan juga cenderung
meningkat dan tak menentu.
Memang dari sekian bencana itu ada yang merupakan proses alami. Namun,
tidak sedikit di antaranya berbanding lurus dengan aktivitas yang dilakukan manusia
atas bumi. Karena hal ini ikut menentukan kebahagiaan hidup manusia, Bergoglio
(nama Paus Fransiskus) memberi perhatian khusus agar setiap orang menghormati
alam.
Kerusakan alam adalah salah satu tantangan terbesar yang kita miliki.
Pertanyaan yang sering kita lupakan untuk kita tanyakan pada diri sendiri adalah,
“Bukankah hal ini sama saja bahwa manusia sedang melakukan bunuh diri melalui
tindakan memanfaatkan alam secara ngawur dan keji?”
Dalam Ensiklik Laudato Si’, Bergoglio menuliskan beberapa catatannya
mengenai seruan ekologis dalam menghormati alam sebagai “rumah kita bersama”.
Dalam salah satu catatannya, ia menyatakan bahwa manusia, sebagai makhluk bumi,
berhak hidup bahagia dan bermartabat. Mau tak mau kita mesti mempertimbangkan
bagaimana kerusakan lingkungan, model pembangunan dewasa ini, dan budaya
sampah berpengaruh terhadap kehidupan manusia.
Sesungguhnya, kerusakan lingkungan dan kemerosotan masyarakat lebih
berdampak pada pihak yang paling lemah di bumi. Baik pengalaman hidup sehari-hari
maupun penelitian ilmiah, menunjukkan bahwa efek paling parah dari semua
perusakan lingkungan diderita oleh kaum miskin.
Kalau kita memberi “tamparan” pada alam maka alam akanmelakukan hal
serupa kepada kita. Ketika kita menyakiti alam, alam tidak pernah bisa memaafkan.
Ia akan membalas sama seperti yangkita berikan padanya. Pemikiran ini seharusnya
menyadarkan kita bahwa pendekatan ekologis yang sejati adalah berupa pendekatan
sosial yang mengintegrasikan keadilan dalam diskusi tentang lingkungan hidup, untuk
mendengarkan jeritan bumi maupun jeritan kaum miskin.
Apa yang bisa kita lakukan untuk bumi yang menjadi rumah kita ini?
Ada banyak cara sederhana untuk menyelamatkan bumi dari kehancuran,
seperti membiasakan diri untuk menghemat energi dan menjaga kebersihan
lingkungan rumah kita, di antaranya dengan mengonsumsi listrik dan air seperlunya.
Menghemat energi listrik, misalnya, bisa kita lakukan dengan menyalakan
lampu seperlunya saja pada malam hari lalu mematikannya ketika fajar mulai
merekah. Menyetrika pakaian secara terjadwal dan mengisi tampungan atau bak air
hingga penuh setiap hari sehingga tidak ada istilah “nyala-mati-nyala”, juga bisa
menjadi cara untuk menghemat energi listrik. Menampung air bekas cucian sayur,
buah, ataupun beras, bisa kita lakukan untuk menyiram tanaman bunga di
pekarangan rumah. Selain hemat energi, kebiasaan rumahan ini juga bisa menghemat
tagihan listrik dan air di rumah kita.
Mudah, bukan? Bayangkan kalau setiap keluarga di bumi ini melakukannya?
Inilah warisan untuk generasi mendatang agar mereka masih bisa ‘menikmati’
kebaikan alam.
-o0o-
Pope Francis
LIMA tahun terakhir, saya tinggal dan bekerja di salah satu kota di Sumatera. Dalam
setahun, saya setidaknya mengalami dua bencana periodik yang mengiringi perguliran
musim panas dan penghujan. Musim panas atau kemarau adalah waktu untuk
membuka lahan perkebunan. Baik perorangan maupun perusahaan lebih memilih
membuka lahan dengan cara membakarnya. Alasannya, ada perhitungan yang sangat
praktis dan ekonomis. Pada laman cnnindonesia.com tercatat biaya pembukaan lahan
dengan cara dibakar membutuhkan 600-800 ribu rupiah per hektar, sedangkan tanpa
dibakar butuh 3-4 juta rupiah per hektar. Tidak hanya itu, untuk membayar orang
membakar lahan, pemilik lahan mengeluarkan 500-700 ribu rupiah per 10 hektar.
Bisa kita bayangkan apa yang terjadi jika setiap orang dan perusahaan memilih
membakar hutan saat membuka lahan. Bencana kabut asap tidak akan terhindarkan,
seperti yang pernah terjadi pada 2015 silam. Saat itu adalah bencana asap paling
parah yang pernah terjadi di Indonesia. Hampir semua bagian pulau Sumatera,
Kalimantan, hingga beberapa pulau di Indonesia bagian timur dikepung asap. Dampak
terparah dialami oleh masyarakat kecil dan miskin. Kegiatan sekolah terganggu.
Mereka yang tinggal di rumah kayu tanpa penyejuk ruangan (AC) tidak bisa
menghindar dari paparan asap hingga tak sedikit dari mereka yang akhirnya sakit dan
meninggal dunia. Bukan hanya jadwal penerbangan yang dibuat terkatung-katung,
transportasi darat juga dibikin repot karena jarak pandang terbatas.
Konon, beberapa bagian wilayah kota tempat saya tinggal dulu merupakan
rawa-rawa. Karena kebutuhan area perumahan, rawa-rawa itu ditimbun dan ditanami
beton-beton hunian. Sayangnya, penimbunan ini tidak disertai dengan pengadaan
sistem drainase yang memadai. Akibatnya saat memasuki musim penghujan, air pun
menggenang dan banjir terjadi. Di sudut lain, tidak sedikit sampah menumpuk di
kanal-kanal sungai yang pada musim kemarau mengering.
Itulah pengalaman saya tentang bencana tahunan di tempat tinggal saya. Kita
masing-masing tentu memiliki pengalaman sendiri terkaithal ini. Paling tidak, dari
layar kaca atau halaman berita harian, kita menemukan tidak sedikit daerah yang
dilanda bencana banjir atau tanah longsor saban tahunnya. Kiranya fakta ini
membuat kita maklum bahwa alam memang tidak bisa memaafkan. Sebagian besar
bencana di bumi terjadi akibat ulah manusia.
National Geogragraphic pernah mengangkat ulasan Bergoglio sehubungan
dengan krisis lingkungan hidup. Krisis ekologi sedang mengancam hidup manusia.
Bumi memanas, musim bergulir tak tertebak. Sebagai rumah kita, bumi kini lebih
menyerupai gundukan sampah yang menjulang. Rumah bersama kita sedang dijarah
dan dirusak keserakahan. Bergoglio mengingatkan bumi yang kita diami ini bukan
hanya warisan dari generasi masa lalu melainkan juga pinjaman dari generasi yang
akan datang. Artinya, kita juga harus menyiapkan kondisi yang nyaman bagi generasi
berikutnya yang akan mendiami bumi ini.
Oleh karena itu, relasi antara manusia dengan alam semestinya dikendalikan
suatu harmoni untuk saling menghormati dan memelihara. Pengembangan ekonomi
memproduksi sumber daya alam tidak boleh mengesampingkan manusia, lebih-lebih
mereka yang kecil dan miskin.
Demikian pula upaya pelestarian dan pemulihan ekologis harus selalu
melibatkan hidup orang-orang miskin yang selama ini tidak terperhatikan.
Hukum alam mengajari kita untuk selalu berteman secara arif dengan alam
semesta, bumi, dan segala isinya. Bumi adalah rumah kita. Sudah semestinya kita
merawatnya agar nyaman dan aman untuk ditinggali. Jangan biarkan alam marah
akibat ulah serakah kita!
Ada ungkapan yang mengatakan, “Anything is better than nothing.” Berbuat
sesuatu itu pasti berfaedah, tak peduli seberapa kecil yang kita lakukan. Mari kita
mulai dari rumah kita, dari hal-hal kecil, namun nyata. Buanglah sampah pada
tempatnya. Mari merawat dan memelihara lingkungan di sekitar rumah kita. Mari
menanam pohon dan memeliharanya.
Bayangkan, jika setiap orang di bumi ini melakukan hal kecil seperti itu, betapa
asri dan segarnya lingkungan hidup kita!
-o0o-