Anda di halaman 1dari 25

Berbagi Sukacita Injil dalam Kebinekaan

JAMBORE SEKAMI
KEUSKUPAN AGUNG PALEMBANG
Pengantar

JAMBORE SEKAMI Keuskupan Agung Palembang merupakan ruang formasi dan animasi
misioner bagi remaja dan pendamping. Dalam alur proses misioner ini, di dalamnya
banyak orang dan kelompok kerja yang terlibat. Kebersamaan yang semakin
memperjelas wajah kebinekaan. Dari sini tampaklah bawa dinamika ini menjadi
diperindah dan bercorak transformatif bagi semua.
Sebagai sebuah ruang formasi dan animasi misioner, setiap acara, model, dan
hal-hal teknis penyokong lainnya selalu memiliki dimensi formatif dan animatif
tersebut.
Sebagai kegiatan semodel jambore, Jambore SEKAMI 2018 memposisikan
peserta untuk memiliki sukacita dalam kondisi serba terbatas. Dinamika kelompok,
pentas seni, doa, Ekaristi, dan interaksi antarpeserta menjadi ruang untuk
menghidupi dan merayakan kebinekaan sebagai anugerah Tuhan. Sementara pola
konsumsi selama kegiatan juga mengusung maksud formasi di bidang kesadaran
ekologis untuk hormat dan ramah pada alam ciptaan. Alur ini makin dipertegas
dengan materi-materi verbal yang mengarah langsung pada tema Berbagi Sukacita
Injil dalam Kebinekaan.
Maka, hadirnya bahan untuk pendamping ini mesti dilihat dalam konteks
kebutuhan formasi dan animasi misioner yang melibatkan banyak orang dan kelompok
kerja ini. Ia menjadi teman bagi para pendamping rohani beserta rekan kerjanya
untuk menemukan informasi, bahan tambahan materi, alur refleksi, dan tuntunan
teknis. Sementara bagi panitia, buku ini bisa menjadi rujukan untuk kerja dan
pelayanan yang harus diselenggarakan sesuai dengan konteks dan tujuan Jambore.

JAMBORE SEKAMI 2018

Jambore Serikat Kepausan Anak dan Remaja Misioner Indonesia (Jambore


SEKAMI) 2018 menjadi ruang dan peluang bersama bagi anak-anak remaja dan
pendamping SEKAMI. Di sinilah mereka mau mengenang kembali bagaimana gaung
spiritualitas misioner yang dilahirkan oleh Mgr Charles Auguste Marie de Forbin
Janson, 175 tahun yang lalu itu tetap memberi daya bagi hidup saat ini.
Di samping itu, Jambore SEKAMI menjadi salah satu sarana dan upaya untuk
mengalami dan merasakan lebih mendalam persekutuan paguyuban-paguyuban
murid-murid yang diutus dalam kegembiraan. Jambore juga menjadi sarana dan
ladang mengembangkan antusiasme misioner dalam semangat doa, derma, kurban,
dan kesaksian (2D2K).
Dasar nilai-nilai spritualitas SEKAMI yang disiarkan Mgr Charles tersebut diberi
bentuk kekinian, yaitu Gereja hari ini dalam wajah keindonesiaan yang ditandai
dengan kebinekaan. Dengan ini, Jambore SEKAMI 2018 ingin mendekatkan peserta
pada hakikat Gereja yang bersifat misioner (bdk. Ad Gentes no. 2). Peserta diajak
untuk menyadari kembali panggilan mereka sebagai seorang misionaris yang diutus
untuk saling membantu sebagai sesama anak (children helping children). Sikap
solider ini diwujudkan melalui 2D2K.
Anak dan remaja SEKAMI mengobarkan semangat Serikat Kanak-kanak Suci,
yaitu “Anak menolong anak” (children helping children). Tuhan Yesus memanggil
anak dan remaja, mengutus mereka menjadi anak-anak misioner yang mewartakan
sukacita Injil kepada siapa saja yang mereka jumpai.
Anak dan remaja SEKAMI berdoa bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan
untuk teman-teman mereka di seluruh dunia, terutama yang sedang berada dalam
situasi-situasi yang memprihatinkan. Mereka berderma untuk teman-teman mereka
yang berkekurangan. Berderma bukan karena mereka berkelimpahan, tetapi seperti
janda miskin yang memberikan seluruh jaminan hidupnya (lih. Mrk 12:42-43), begitu
juga dalam keterbatasan anak dan remaja SEKAMI berbagi kepada sesamanya. Untuk
itu, mereka berani mengurbankan dirinya, waktunya, tenaganya, uang sakunya,
keinginannya demi membantu teman-teman mereka. Sukacita Injil mereka wartakan
dengan kesaksian hidup nyata dalam hidup sehari-hari, hidup yang dibentuk oleh
nilai-nilai Injil.
Aktualisasi dari jati diri misioner tersebut akan diletakkan dalam alur
peziarahan Gereja semesta, sebagaimana dikumandangkan oleh Paus Fransiskus:
“Sukacita Injil memenuhi hati dan hidup semua orang yang menjumpai Yesus”
(Evangelii Gaudium no. 1). Inilah sukacita yang ingin dibagikan di tengah pluralitas
hidup yang ada di Negara Indonesia.

Jiwa Misioner SEKAMI


JAMNAS SEKAMI 2018 memiliki tema “Berbagi Sukacita Injil dalam Kebinekaan”.
Tema ini dideskripsikan ke dalam beberapa gagasan visi formasi misioner sebagai
berikut:
 “Semangat berbagi” merupakan spiritualitas atau semangat SEKAMI selaku
“misionaris bagi Yesus”.
 “Memiliki dan mewartakan Sukacita Injil” menunjuk pada hakikat Gereja
yang senantiasa ada dalam perutusan untuk meneruskan sukacita yang
diterima dari Tuhan Yesus.
 “Hidup dalam kebinekaan” ialah konteks hidup Gereja Indonesia. Inilah locus
bagi hidup dan kesaksian kita selaku misionaris-Nya.

Proses Acara
Dinamika Jambore SEKAMI berproses dalam tiga bagian pokok, yakni selebrasi,
edukasi/formasi, dan animasi misioner. Berikut adalah pokok-pokok makna dari
masing-masing proses.
Selebrasi misioner ialah kegiatan yang sifatnya perayaan. Misalnya,
opening/closing ceremony, perayaan SEKAMI ke-175; pentas seni, perwakilan dari
masing-masing Keuskupan atau Regio; serta perayaan Ekaristi harian, ibadat, dan
doa-doa dalam keluarga maupun perkampungan.

Formasi/edukasi misioner merupakan momen saling belajar. Proses ini


sebagian besar terjadi dalam edukasi atau katekese. Formasi memiliki dua kategori
peruntukan, yakni bagi peserta remaja dan pendamping. Untuk remaja, katekese
dilakukan dalam kelompok massal dengan pemateri utama maupun dalam kelompok-
kelompok kecil atau yang disebut keluarga, dengan bantuan pembimbing rohani
(biarawan-biarawati atau religius). Sementara untuk pendamping, mereka akan
berproses secara tersendiri guna mengisi wawasan dan ketrampilan mereka demi
pelayanan yang lebih baik. Dalam kondisi tertentu, peserta remaja serta pendamping
akan menyatu dalam proses formasi yang sifatnya memberi penyadaran misioner
sebagai sesama anggota Gereja yang diutus.
Ada pun alur formasi misioner harus selalu mengacu pada tema serta visi dan
tujuan Jambore SEKAMI. Output yang diharapkan di ajang Jambore ini adalah peserta
mampu menyadari bahwa siapa pun diri kita, kita sedang berproses menjadi
misionaris bagi Tuhan Yesus di mana pun kita berada.
Animasi misioner merupakan gerak animasi yang membangkitkan jiwa bermisi
bagi peserta Jambore. Ada aktivitas dinamika kelompok, gerak dan lagu, interaksi
misioner, dan sharing. Di sinilah peserta diundang untuk berinteraksi satu dengan
yang lain, untuk saling mengenal dan menghargai keunikan masing-masing, untuk
saling membagikan sukacita. Adapun hal yang mau ditekankan dalam gerak animasi
ini adalah aspek psiko-sosial peserta, yang dalam era kekinian mulai luntur oleh
pengaruh penggunaan digital devices maupun rasa egoisme akibat jejalan tugas dan
pekerjaan di sekolah dan rumah. Aspek lainnya, menyadarkan pada peserta bahwa
setiap sisi kehidupan selalu bersifat misioner.
Dalam praktiknya, tiga model proses kegiatan JAMNAS ini bisa berjalan secara
simultan. Artinya, sementara proses edukasi/formasi misioner berlangsung,
bersamaan dengan itu dipakai juga beberapa jenis dinamika kelompok atau lagu-lagu
SEKAMI sebagai wujud animasi misioner. Bahkan, dalam bentukan acara selebrasi
atau animasi dimungkinkan juga bahwa hal itu pun mengandung aspek formasi
misioner bagi peserta. Sebab, pada setiap dinamika acara yang ada selalu
dimungkinkan terjadinya suatu proses pengayaan dan peneguhan wawasan iman,
pengembangan diri, pengenalan corak hidup panggilan sebagai religius atau
biarawan-biarawati, saat sharing dan diskusi, serta interaksi yang meneguhkan.
Pada pokoknya, keseluruhan proses acara JAMNAS SEKAMI 2018 merupakan
proses edukasi/formasi dan animasi misioner. Artinya, di ajang ini peserta bukan
hanya belajar untuk mengisi diri secara intelektual, melainkan mesti mencapai
kesadaran diri sebagai misionaris, murid-murid Tuhan yang diutus.

Jambore Sebagai Model


Tentu ada yang bertanya, mengapa kegiatan akbar SEKAMI ini diberi nama
“jambore”? Apa kaitan jambore dengan SEKAMI? Bukankah jambore lebih identik
dengan kegiatan Pramuka?
Secara etimologis, kata “jambore” berasal dari istilah bahasa Inggris
“jamboree”. Kamus bahasa Inggris menjelaskan makna kata “jamboree” yang artinya
kira-kira “sebuah perayaan atau pesta besar yang melibatkan massa yang banyak dan
riuh”. Sementara itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (cetakan ke-
5 edisi IV, Januari 2013) istilah “jambore” berarti “pertemuan besar para pramuka”.
Dari dua makna tersebut, paling tidak kita bisa memahami arti yang selama ini
berkembang bahwa jambore merupakan sebuah kegiatan kepramukaan yang diikuti
oleh massa dalam jumlah yang besar.
Lalu bagaimana dari aspek historis penggunaan istilah “jambore”? Menurut
Kamus Oxford Kanada, kata jambore sudah digunakan sejak abad ke-19 yang tidak
diketahui asalnya. Penyair Robert W. Service menggunakan istilah ini jauh sebelum
Jambore Dunia I diselenggarakan. Sementara dalam lagu Athabaska Dick yang
dipopulerkan oleh Rolling Stone (1912), “jambore” berarti “sebuah pertemuan besar
yang gaduh (riuh)”.
Pada Jambore Dunia I di Olympia, Inggris (1920), Baden-Powell menyatakan
bahwa banyak orang mengartikan “jambore” secara berbeda. Namun, mulai tahun
ini, jambore akan dimaknai secara spesifik, yakni dikaitkan dengan pertemuan
pemuda terbesar yang pernah ada. Sedangkan, Olave Baden-Powell (istri Baden-
Powell) menciptakan istilah “jambore” yang merujuk pada bahasa Prancis. Istilah ini
digunakan oleh para Pandu dari berbagai bahasa dan kebiasaan budaya yang sedang
mengadakan pertemuan, baik lokal maupun internasional (bdk. Ensiklopedi Pramuka
Penggalang).
Itulah aspek etimologis dan historis dari istilah “jambore”. Dari sini kita bisa
menarik benang merah tentang jambore: sebuah pertemuan besar (jumlah massa dan
asal-usul), ramai, menjunjung persahabatan dan menghargai berbedaan, dan
diselenggarakan di tempat terbuka sehingga mampu menampung massa.

Jika gelaran massal SEKAMI nasional dinamakan “jambore”, ide yang hendak
diadopsi ialah suasana jambore tersebut. Yakni, jumlah massa yang banyak, sarana
dan prasarana yang terbatas jika dibandingkan dengan fasilitas rumahan sehari-hari,
aneka kegiatan bersama yang saling menghargai, dan sebagian besar aktivitas
diselenggarakan di alam terbuka.
Nah, dalam konsep jambore yang demikian, peserta diajak untuk keluar dari
zona nyaman kehidupan sehari-hari, menjadikannya sebagai tantangan untuk tetap
menemukan sukacita dalam kesederhanaan dan keterbatasan yang ada, berani
menghargai dan membagikan kekhasannya masing-masing demi saling memperkaya
sebagai sesama anak-anak Allah.
Kiranya, kondisi tersebut bisa menjadi gambaran bahwa inilah tantangan yang
dihadapi oleh setiap murid Kristus yang dipanggil untuk menjadi misionaris bagi
Tuhan Yesus. Mereka harus berani keluar dari diri sendiri (egoisme), menjumpai yang
lain, dan berbagi sukacita dalam kebersamaan (children helping children). Maka,
sangat diharapkan, jambore bisa menjadi medan perjumpaan untuk saling belajar
dan berbagi sesama murid Kristus dalam upaya menjadi misionaris bagi-Nya.

Jambore SEKAMI Bernuansa Laudato Si’


Spiritualitas SEKAMI sangat menekankan aspek bahwa setiap anak adalah
misionaris cilik bagi Tuhan Yesus. Artinya, anak-anak Allah diutus di mana pun dan
kapan pun mereka berada. Terkhusus pada konteks dekat ini, yakni di ajang Jambore
SEKAMI ini. Di sinilah anak-anak menjalani masa formasi dan animasi misioner dari
aneka aspek dan model. Harapannya, dari sini anak-anak menyadari untuk
melanjutkan perutusannya dalam hidup sehari-hari.
Inspirasi tema Jambore SEKAMI, berbagi sukacita Injil, diambil dari seruan
pastoral Evangelii Gaudium. Sealur dengan pesan tersebut, sukacita Injil juga mesti
kita bagikan bersama dengan bumi, rumah kita bersama. Rasa hormat dan kerahaman
kita pada bumi akan memungkinkan munculnya sukacita bagi semesta. Di sinilah kita
diingatkan pada Ensiklik Laudato Si yang ditulis oleh Paus Fransiskus, yang salah
satunya adalah seruan untuk merawat lingkungan hidup. Salah satu aspek sukacita ini
juga akan diolah dalam alur Jambore.
Maka, sangat diharapkan bahwa pendamping rohani maupun animator-animatris
untuk menekankan kepada anak-anak agar mereka selalu menjaga lingkungan rumah
keluarga serta kompleks kegiatan Jambore SEKAMI senantiasa bersih dan asri. Sebab,
inilah salah satu wujud perutusan kita selaku misionaris cilik.
Oleh karena itu, acara konsumsi diatur sebagai berikut:
 Makan dan snack: di-packing per kelompok. Setiap jam makan dan snack,
masing-masing keluarga mengutus anak yang ditugaskan untuk mengambil
makanan dan snack di tempat yang telah disiapkan.
 Makan: Setiap peserta (anak-anak remaja, animator-animatris, dan pendamping
rohani) diwajibkan membawa dan menggunakan alat makannya sendiri-sendiri
selama proses Jambore SEKAMI. Keluarga juga bertanggung jawab untuk
membersihkan kembali alat-alat makannya.
 Minum: selama JAMNAS, kita akan melakukan aksi “Bawa Botol Minum” (BBM).
Artinya, untuk kebutuhan minum sehari-hari, setiap peserta memiliki botol
minumnya sendiri-sendiri. Mereka tinggal mengisi ulang air minum yang sudah
disiapkan oleh panitia dalam galon-galon di kompleks kegiatan.

Sebagai olah penyadaran ekologis, dalam acara makan selama kegiatan


Jambore juga akan dipraktikkan pola makan dengan kesadaran ekologis. Langkah-
langkahnya adalah:
 Anak-anak dipersilakan mengambil makanan lalu duduk hingga semua anak
mendapatkan makanannya.
 Berdoa bersama.
 Bacakan “Tujuh Permenungan Sebelum Makan”.
 Pada waktu 5-7 menit pertama, anak-anak diajak makan secara hening.
Setelah itu, baru bisa saling berbicara atau menambah makan.
 Ditutup dengan doa bersama.

Tujuh permenungan sebelum makan:


1) Sepiring makanan kita adalah alam semesta: ibu dapur, para pedagang,
petani, cacing dan mikroba, mineral, sinar matahari, air dan serangga.
Mereka semua bekerja sama, sehingga menghasilkan makanan ini.
2) Mari makan secara berkeadilan: makan secukupnya dan dihabiskan. Paus
Fransiskus berkata, “Membuang makanan sama halnya kita mencuri dari
meja makan orang miskin.”
3) Makan dengan penuh syukur: nikmati keajaiban setiap rasa yang hadir di
lidah, rasa manis, asin, asam, pahit.
4) Kunyah makanan secara perlahan-lahan.
5) Semoga makanan kita penuh welas asih dan tidak di atas penderitaan
makhluk lain.
6) Setelah selesai makan, pandangi piring kosong yang ada di hadapan kita
dengan penuh rasa syukur karena kita telah menerima kebaikan alam.
7) Makanan kita telah bertransformasi atau berubah menjadi tubuh kita dan
kebaikan untuk kita.

-o0o-

NARASI TEMA DAN FORMASI MISIONER

TEMA:
Berbagi Sukacita Injil Dalam Kebinekaan
JAMBORE SEKAMI 2018 menjadi medan perjumpaan anak-anak remaja dan
pendamping SEKAMI dari seluruh utusan. Yang menjadi fokus formasi dan animasi
misioner acara ini ialah “Berbagi Sukacita Injil dalam Kebinekaan”. Pesan ini bermula
dari kesadaran spiritualitas SEKAMI untuk berbagi, lalu merefleksikan hakikat Gereja
yang diutus mewartakan sukacita Injil di tengah konteks kehidupan sehari-hari
Indonesia yang ditandai dengan kebinekaan.

Berbagi
Semangat “berbagi” merupakan spiritualitas atau semangat SEKAMI. Setiap
anak SEKAMI ialah seorang “misionaris bagi Yesus”. Semangat SEKAMI ini meliputi
doa, derma, kurban, dan kesaksian (2D2K). Inilah praktik cara hidup yang mau
mengungkapkan moto children helping children, sebagaimana diajarkan oleh Bapa
Pendiri SEKAMI Mgr Charles Auguste Marie de Forbin Janson (1785-1844).
Tindakan berbagi menjadi roh sentral SEKAMI dalam menjalani setiap
perutusannya, di mana pun dan kapan pun. Pada gelaran JAMNAS SEKAMI 2018 ini,
spiritualitas yang lahir sekitar 175 tahun yang lalu tersebut akan didalami dan
disiarkan agar menjadi gerakan hidup bagi anak-anak remaja maupun pendamping
SEKAMI.

Sukacita Injil
Memiliki dan mewartakan “Sukacita Injil” menunjuk pada hakikat Gereja yang
senantiasa ada dalam perutusan untuk meneruskan sukacita yang diterima dari Tuhan
Yesus. Untuk itu, di sini ditekankan pentingnya kesadaran “memiliki” dan
“mewartakan” sukacita Injil. Sukacita tersebut memenuhi hati dan hidup seseorang
karena perjumpaannya dengan Yesus. “Bersama Kristus, sukacita senantiasa
dilahirkan baru,” demikian tegas Paus Fransiskus dalam seruan apostolik Sukacita
Injil (Evangelii Gaudium 1).
Sementara dari sisi pengalaman negatif, Bapa Suci menyebut bahwa kesedihan
dan kecemasan yang lahir dari hati yang puas diri tapi tamak merupakan bahaya yang
sangat nyata bagi umat beriman. Ketika batin kita terbelenggu oleh kelesuan dan
kepentingan diri, tak ada lagi ruang bagi sesama, dan suara Allah tak lagi terdengar.
Berikutnya, orang lain akan menjadi korban. Akhirnya, rasa benci, marah, dan lesu
terus tumbuh subur di sekitaran kita.
“Konsekuensinya, seorang pewarta Injil tidak pernah boleh seperti orang yang
baru pulang dari pemakaman! Marilah kita memulihkan dan memperdalam semangat
kita, sehingga ada sukacita yang menggembirakan dan menghibur untuk mewartakan
kabar baik, bahkan bila kita harus menabur dengan deraian air mata,” tandas Paus
(EG 10).

Bineka
Kata “bineka” memiliki makna “beraneka ragam” atau “berbeda-beda”.
Sebagai pribadi manusia, setiap orang adalah unik karena Allah menciptakan kita
masing-masing secara istimewa. Sementara dalam konteks keindonesiaan,
kebinekaan kita meliputi perbedaan fisik atau ras, suku, budaya, bahasa, agama,
tingkatan sosial, dan lain sebagainya.
Kebinekaan (diversity) merupakan konteks hidup Gereja Indonesia. Inilah locus
bagi hidup dan kesaksian kita selaku anak-anak Allah. Kebinekaan menjadi sebuah
kondisi tak tertawarkan yang kita miliki serta turut membentuk hidup kita. Kita lahir
tanpa bisa memilih menjadi si A atau si B, di pulau ini atau pulau itu. Maka, kondisi
kebinekaan sebenarnya merupakan sebuah anugerah Allah yang sangat berharga.
Inilah anugerah untuk setiap pribadi manusia, suatu masyarakat, suatu bangsa.
Event Jambore SEKAMI bisa menjadi gambaran kebinekaan (diversity) yang
dihayati Gereja-gereja lokal di Indonesia. Di ruang kegiatan inilah, kita mau belajar
menerima, menghargai, dan mencintai setiap perbedaan yang ada. Sebab, berbeda
itu indah. Berbeda itu anugerah!
Akhirnya, gerak pembaruan inilah yang selanjutnya hendak kita hidupi di
tempat kita masing-masing: hidup dalam satu Roh yang mempersatukan, sint unum
(“supaya mereka menjadi satu”, Yoh 17:22).

-o0o-

WACANA SEPUTAR PENDALAMAN


MATERI FORMASI MISIONER

Anak Misioner Berbagi Sukacita

ANAK-ANAK Sekami merupakan anak misioner. Artinya, anak yang menyadari diri
bahwa ia hidup bukan hanya untuk dirinya sendiri, bahwa ia beriman bukan hanya
untuk keselamatannya sendiri. Setiap anak diutus untuk membagikan hidupnya,
sukacitanya. Inilah semangat hidup anak Sekami.
Kurang lebih begitulah pernyataan Direktur Nasional Karya Kepausan Indonesia
(Dirnas KKI), Romo Markus Nur Widi berkenaan dengan hari ulang tahun Sekami yang
ke-174.
“Konkretnya, kita mau mengajak anak-anak untuk berbagi sebagaimana ada
dalam semangat 2D2K (doa, derma, kurban, dan kesaksian). Kita juga ingin agar
anak-anak memiliki wajah berseri sebagai bentuk sukacita Injil. Inilah bentuk
kesaksian kanak-kanak sebagai bintang misioner bagi Kristus,” simpulnya.
Kini, kita ingin mengembangkan makna berbagi dan sukacita sebagai bentuk
nyata perutusan anak dan remaja di kancah kehidupan sehari-hari mereka.
Mendalami tema ini, kita ingin belajar dari Bapa Paus Fransiskus.

Murung, Tiada Guna


“Namun, seperti setiap orang, kita tak terlindung dari penyakit, kegagalan dan
kelemahan,” ungkap Paus Fransiskus dalam pertemuan tahunan dengan Kuria
Romawi, Desember 2014. Paus mengajak Kuria untuk hidup lebih sehat, harmonis,
dan menyatukan diri dengan Kristus.
Seruan tersebut mengemuka karena Paus melihat adanya beberapa “penyakit”
membahayakan dalam kehidupan di Kuria. Menurutnya, penyakit-penyakit dan
godaan-godaan tersebut melemahkan pelayanan Gereja. Sekurang-kurangnya, Paus
menyebut 15 penyakit. Kiranya, refleksi yang ditujukan bagi Kuria itu juga berlaku
untuk setiap orang Katolik, siapa pun dan di mana pun kita berada.
Salah satu penyakit yang Paus sebut kala itu ialah “penyakit muka murung”.
Paus menamainya penyakit wajah murung alias si muka masam. Menurutnya, orang
yang terpapar penyakit ini berpikir bahwa untuk bisa menjadi seorang yang
berkarakter serius ia harus memasang wajah melankolis dan berat. Ia memperlakukan
orang lain, terutama mereka yang dianggap sebagai bawahan, dengan perilaku yang
kaku, kasar, dan sombong.
Secara terpisah, dalam seruan apostolik Sukacita Injil (Evangelii Gaudium),
Paus menyebut kesedihan dan kecemasan yang lahir dari hati yang puas diri tapi
tamak merupakan bahaya yang sangat nyata bagi umat beriman. Ketika batin kita
terbelenggu oleh kelesuan dan kepentingan diri, tak ada lagi ruang bagi sesama, dan
suara Allah tak lagi terdengar. Berikutnya, orang lain akan menjadi korban. Akhirnya,
rasa benci, marah, dan lesu terus tumbuh subur di sekitaran kita.
Mafhumlah kita sekarang. Muka murung ternyata kontra produktif, berlawanan
dengan jiwa misioner! Masing-masing dari kita pasti merasakannya. Dalam kehidupan
sehari-hari, justru orang yang cenderung menunjukkan wajah berat, dahi berkerut,
dan pesimistis menandakan sebuah gejala seorang pribadi yang diliputi rasa takut,
gelisah, dan tidak aman. Tentu hal ini bisa menumbuhkan suasana tidak nyaman,
entah bagi diri sendiri maupun orang lain.
Sebaliknya, penampilan diri yang ramah, tenang, penuh antusiasme, dan
gembiralah yang mampu mentransfer suasana hati yang dipenuhi sukacita, kapan dan
di mana pun kita berada. Sukacita yang muncul dari kedalaman hati yang tulus akan
mampu memancarkan kegembiraan yang menular bagi orang-orang di sekitarnya.
Sebab, kebaikan selalu cenderung menyebar.
Nah, jika demikian, sebenarnya wajah berseri-seri yang ditampilkan dalam
keseharian juga sudah merupakan sebuah bentuk kesaksian!
“Konsekuensinya, seorang pewarta Injil tidak pernah boleh seperti orang yang
baru pulang dari pemakaman! Marilah kita memulihkan dan memperdalam semangat
kita, sehingga ada sukacita yang menggembirakan dan menghibur untuk mewartakan
kabar baik, bahkan bila kita harus menabur dengan deraian air mata,” tandas Sri
Paus (EG 10).
Mengingat sukacita yang mendalam merupakan sebuah karunia Allah, Paus
mengajak kita untuk tak henti-hentinya belajar sambil terus berdoa. Lebih spesifik,
Bapa Paus menyebut doa Thomas More. Bunyi doanya kira-kira demikian:
“Ya Tuhan, berilah saya pencernaan yang baik dan juga sesuatu yang baik
untuk dicerna. Berilah saya tubuh yang sehat, dan jika perlu rasa humor yang
sehat untuk mempertahankan agar tubuh saya tetap sehat.
Berilah saya jiwa sederhana yang tahu untuk menghargai semua yang baik dan
yang tidak mudah takut pada kejahatan, melainkan mampu menemukan makna
untuk menaruh segala sesuatu pada tempatnya. Berilah saya jiwa yang tidak
lekas merasa bosan, menggerutu, mendesah dan meratap, atau stres
berlebihan...
Ya Tuhan, berilah saya rasa humor yang sehat. Ijinkan saya agar mampu
membawa lelucon dan menemukan dalam hidup suatu sukacita yang
berlimpah, dan bisa membagikannya pada sesama.”
Berbagi, Jalan Solidaritas
Ketika membayangkan tindakan “berbagi”, di kepala kita langsung terlintas
adanya sesuatu yang berkurang dari kepemilikan kita. Logikanya, ketika kita
memberikan sesuatu kepada orang lain, apa yang ada pada kita akan berpindah pada
orang tersebut. Dan milik kita pun berkurang. Bisa jadi memang demikian! Namun,
benarkah tindakan berbagi itu sekadar rumus hitung-hitungan mengikuti logika
pasang-surutnya materi duniawi?
Tentang “berbagi”, Paus Fransiskus memiliki logika yang berbeda dari apa yang
biasa kita bayangkan. Pada pesta St. Perawan Maria dipersembahkan kepada Allah
(21/11/2014), Sri Paus menegaskan, “Anda akan menemukan hidup dengan
memberikan hidup, menemukan harapan dengan memberikan harapan, menemukan
cinta dengan memberikan cinta.”
Untuk itu, Bapa Suci mengajak kita agar jangan menutup diri. Artinya, jangan
terkurung dalam perkara-perkara sepele atau tersandera permasalahan-permasalahan
diri sendiri, seakan-akan kita ini satu-satunya orang paling menderita di jagad ini. Itu
semua akan terpecahkan jika kita pergi ke luar dan menolong orang lain untuk
memecahkan permasalahan mereka.
Inilah persoalan kita, takut akan kekurangan diri sendiri. Jangankan berbagi,
demi menjawab kebutuhan sendiri saja kita masih kurang. Begitulah kita sering
berpikir dan beralasan!
Yang kecil dan berkekurangan pun bisa berbagi. Intinya, siapa pun orangnya,
pertama-tama ia mesti memiliki keterbukaan pada yang lain. Semangat keterbukaan
akan melepaskan kekhawatiran dan ketakutan diri, lalu membukakan jalan bagi
seruan-seruan kebaikan yang berbisik lirih dalam kehidupan kita.
Hal serupa pernah ditandaskan Paus pada Pesta Tubuh dan Darah Kristus. Pada
kondisi serba kekurangan makanan dan sarana lainnya, di hadapan 5000 orang,
kepada para murid Tuhan Yesus berkata, “Kamu harus memberi mereka makan,” (Luk
9:13).
Menarik, walau dalam suasana sama-sama kurang makan dan lapar, Yesus tetap
meminta para murid untuk “memberi”, untuk berbagi. Apa yang bisa para murid
bagikan? Sedikit yang ada pada mereka, lima roti dan dua ikan.
Para murid itu pun semakin bingung. Kala mereka menghadapi ketidakcukupan
sarana, yang harus mencukupi dari kemiskinan dan ketidakmampuan mereka, Yesus
menyuruh 5000-an orang itu duduk, lalu membagi-bagikan roti dan ikan yang ada. Di
luar dugaan, mereka semua puas, semuanya makan sampai kenyang. Sisa
makanannya sebanyak 12 bakul.
Dari kekurangan lahirlah kelimpahan. Bapa Suci menyebut kata kunci dari
mukjizat ini ialah “solidaritas”. Solidaritas merupakan kemampuan untuk membuat
apa yang kita miliki, kapasitas-kapasitas sederhana kita, untuk kita sediakan bagi
Allah. Sebab, dalam Yesus, Dia telah merelakan diri-Nya dipecah-pecah, dibagi-bagi
demi solidaritas-Nya pada anak-anak manusia.
Bukannya kelimpahan yang membuat kita berbagi, melainkan berbagilah yang
membuat hidup kita berkelimpahan. Keyakinan rohani ini meneguhkan kita dari rasa
takut dan khawatir, dari keragu-raguan untuk berbagi. Tak ada seorang pun yang
sangat miskin di dunia ini, sehingga ia tidak bisa memberikan sesuatu apa pun kepada
saudaranya yang lapar.
“Sebab, hanya dengan berbagi, dengan memberi, akan menjadikan hidup kita
berbuah melimpah,” tandas Paus.

Yang Kecil yang Diutus


Rasanya, sudah tak ada celah untuk sekadar beralasan! Saya ini masih kecil.
Saya belum cukup dewasa. Saya tidak pintar. Saya sedang banyak pekerjaan rumah.
Saya sedang dirundung masalah. Ah, apa pun dan siapa pun diri kita, Tuhan Yesus
mencintai kita apa adanya. Cinta-Nya yang tanpa syarat itulah yang membuat kita
mampu. Ia mencintai dan mengutus kita seturut apa adanya diri kita, seturut dunia
kita, seturut bahasa kita. Dari pihak kita, kita hanya diajak untuk terbuka dan siap
sedia menjadi bagian dari perutusan-Nya, sukacita Injil-Nya.
Dalam setiap perayaan Ekaristi, kita selalu diperbarui. Dengannya kita
menyadari identitas kita sebagai sesama anak Allah. Tuhan mengundang kita
melangkah di jalan-Nya, jalan pelayanan, jalan berbagi, jalan memberi dalam
sukacita yang tulus. Dan jika kita mau berbagi dengan suka hati, sesuatu yang sedikit
kita miliki, yang kecil kita adanya, akan diubah-Nya menjadi kaya dan
berkelimpahan.
Menuntasi refleksi ini, baik kiranya kita menyimak pernyataan khusus Paus
Fransiskus pada Hari Anak Misioner Sedunia 2016, “Anak-anak misionerku dari segala
penjuru dunia yang terkasih, betapa gembira dan bahagianya saya melihat kalian ikut
ambil bagian dalam tugas pewartaan Kabar Gembira. Saya bangga dan bahagia
karena kalian mau saling membantu melampau batas-batas paroki, keuskupan,
negara, bahkan benua. Ketahuilah, betapa kecilpun ungkapan doa, derma, dan
kesaksian kalian, jika itu kalian lakukan dengan penuh cinta, maka sungguh semuanya
itu akan menjadi tidak terhingga nilainya dan mulianya di mata Tuhan.”

Yohana Halimah/Elis Handoko


(Majalah Missio KKI, Januari 2017, pg. 3-5)

Boks:
“Jangan biarkan kita kehilangan sukacita, rasa humor. Bahkan, kita mesti
memiliki keberanian untuk menertawakan diri sendiri, dan ini akan
memampukan orang tetap baik hati walau tengah berada dalam situasi yang
sulit. Betapa menguntungkan memiliki cita rasa humor!”
Paus Fransiskus
-o0o-

Berbagi Itu Bikin Kaya

SEBUT saja namanya Dhipa. Usianya sekitar 70 tahun. Kakek ini hidup seorang diri di
sebuah rumah kayu panggung di tengah rawa lahan gambut daerah Sumatera.
Kesehariannya hanya duduk-duduk di rumah. Ia tidak bisa bepergian ke luar rumah.
Kakinya lumpuh akibat kecelakaan saat bersepeda menuju gereja.
Untunglah, istrinya, yang beberapa tahun lalu meninggal, mewarisinya dana
pensiun. Jumlahnya 600-an ribu. Uang yang diterima tiap bulan ini dikelolakan oleh
tetangganya untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Pokoknya ia percaya
saja. Uang sepeser pun tak dipegangnya.
Dhipa selalu enak kalau diajak berbincang-bincang. Cerita-ceritanya seakan tak
pernah habis. Selalu saja ada sambungannya. Suaranya masih tegas, menyiratkan
suatu semangat yang hidup. Dari kisah-kisahnya yang terus mengalir itu tak
ditemukan nada mengeluh atau menyalahkan sesiapa atas apa yang ia jalani.
Satu kesempatan ia mengungkapkan bahwa dirinya rela dan legawa menjalani
hidup yang sekarang ini. Ia merasa tidak memiliki beban. Ia juga enggan merepotkan
orang lain. Hartanya, berupa tanah seluas 2 hektar, sudah ia hibahkan untuk
kebutuhan kampung. Tanah sepetak tempat gubuknya berdiri saat ini juga akan ia
hibahkan untuk gereja. Toh, kalau mati nanti juga tidak membawa apa-apa.
Sesederhana itulah ia beralasan.
“Yang saya butuhkan cuma itu,” jelasnya sambil menunjuk ke arah ruang
tidurnya. Saya pun bergerak ke arah telunjuknya tertuju. Di sana, saya melihat
sebuah kotak kayu persegi panjang. Ternyata sebuah peti mati. Katanya, peti itu
seharga 2 juta. Ia sudah berpesan pada tetangganya yang semuanya Muslim, jika mati
nanti ia minta dikuburkan di samping rumahnya.
Kesahajaan Mbah Dhipa inilah yang melintas di benak saya ketika mesti melihat
makna “memberi” atau “berbagi”. Caranya yang sederhana dalam menghayati milik
yang ia punyai serta ekspresi ketetanggaannya seakan ingin mengungkapkan bahwa
memberi itu bukan persoalan materi, juga bukan perhitungan untung-rugi.
Memberi merupakan sebuah proses hidup, sebuah perjalanan diri untuk
membuka dan berbagi hidup bersama dengan yang lain. Inilah gerak mengurangi
keterpusatan pada diri sendiri, lalu menuju pada yang lain. Aktivitas ‘memberi’
membuat kita senantiasa terhubung dengan orang lain. Apa pun bentuknya, jika yang
kita lakukan adalah pemberian diri, itu akan mendatangkan arti dan dampak positif.
Ia menghadirkan makna bagi hidup si pemberi maupun penerima.
Tepatlah apa yang ditulis Azim Jamal dan Harvey McKinnon dalam The Power of
Giving, “Sikap yang Anda bawa ketika memberi itu mencerminkan apa yang akan
Anda dapat.” Ketulusan tanpa pamrih yang Dhipa hayati membuatnya merasa
bahagia, penuh energi, hidup lebih bermakna, dan mampu melihat pengharapan di
tengah aneka situasi. Semakin banyak ia memberikan diri, semakin diperkaya pula
dirinya.
Dhipa punya alasan sendiri untuk merasa bahagia dan enggan menggerutukan
hidup yang ia jalani. Bisa jadi, ini merupakan sebuah isyarat bahwa ia makin
mengenali siapa dirinya dan berani menerima diri sebagaimana adanya. “Untuk bisa
menemukan dirimu sendiri, benamkanlah dirimu dalam pelayanan bagi sesama,”
sebut Mahatma Gandhi.
Lalu apa upahnya dari memberi? Keuntungan dan kebahagian dari seseorang
yang memberi adalah bahwa ia boleh berbagi, bahwa ia boleh ambil bagian dalam
dunia di mana ia hadir dan hidup. Itulah memberi diri.
Jadi, tak perlu menunda hingga jadi kaya untuk bisa berbagi. Sebab, selalu tak
pernah ada kata cukup bagi seorang rakus. Sebab, justru memberi itulah yang
membuat hidup menjadi berkelimpahan, dan bukan sebaliknya.

Elis Handoko
(Majalah Missio KKI, Januari 2017, pg. 9)

-o0o-

Tertawa Itu Menyehatkan dan Misioner

COBA ingat, dalam sehari Anda biasanya tertawa berapa kali?


Tertawa saja mesti dihitung! Emang, apa efeknya? Mungkin begitulah respons
Anda membaca kalimat pembuka tulisan ini. Namun, ya coba saja! Silakan diingat-
ingat, seberapa sering Anda tersenyum atau tertawa dalam waktu sehari.
Apakah Anda sudah selesai menghitung frekuensi senyum atau tawa Anda?
Bisa dikatakan, ajakan berhitung ini sekadar untuk mengenang kembali ekspresi
tubuh kita yang terjadi dalam hidup sehari-hari yang kita jalani. Khususnya,
berkenaan dengan ekspresi tubuh melalui senyum dan tawa.
Ada data tentang tertawa yang dikeluarkan Web site LAUGH
(www.laughsrus.com). Ia menemukan bahwa setiap hari seorang anak bisa tertawa
sebanyak 150 kali. Sedangkan, seorang dewasa rata-rata tertawa 15 kali sehari.
Jika temuan LAUGH tersebut benar, kita memahami bahwa makin bertambah
usia manusia makin sulit pula ia tersenyum atau tertawa. Tentu ini bukan sebuah
lelucon. Namun, sesuatu yang patut kita pertimbangkan. Sebab, secara tidak
langsung sebenarnya ia menyatakan sesuatu untuk kita.
Kita harus terus belajar untuk tertawa, atau paling tidak belajar tersenyum.
Sebab, tertawa itu penting, seperti sering kita dapati maknanya dalam ungkapan
“Laughter is the best medicine”, tertawa adalah obat termanjur.
Menurut health.kompas.com, ada sebuah penelitian yang menunjukkan bahwa
kalau kita tersenyum atau tertawa, tubuh kita akan melepaskan hormon endorphin.
Inilah senyawa kimia yang mampu mengurangi rasa sakit (natural pain killer),
semacam penghilang nyeri, dan serotonin. Hormon-hormon ini menyebabkan
perubahan pada perasaan dan pikiran kita. Kita akan merasa lebih nyaman, tenang,
senang, gembira dan bahkan dapat mengurangi rasa sakit yang kita derita.
Mari kita simak contoh konkretnya!
Seorang dokter spesialis penyakit dalam lulusan Fakultas Kedokteran
Universitas Gajah Mada memberikan testimoni. Ia berkisah tentang pasiennya,
seorang ibu 50-an tahun. Dalam konsultasi, ibu ini mengeluh pegal linu seluruh sendi
dan otot-ototnya, tegang pada tengkuk, sakit kepala, mual, nyeri, menyesak di
perut, sakit dada, berdebar, dan tidak bisa tidur. Beberapa kali konsultasi, tapi tidak
menunjukkan perubahan. Si dokter pun heran.
Dari gelagat yang ditampilkan si ibu, dokter menangkap kejanggalan. Pasiennya
selalu memasang tampang serius, merengut, jarang tersenyum. Temuannya ini
dikonfrontasi ke anak pasien. Anak pun mengiyakan. Di rumah, ibunya hampir tidak
pernah tersenyum, apalagi tertawa.
Dokter pun memberikan resep jitu. Ia meminta agar ibu tersebut bisa lebih
aktif bergerak. Misalnya, berolahraga, belajar senyum, dan tertawa. Si ibu pun
mempraktikkannya. Setiap pagi, ia selalu berusaha mengawali hidup dengan senyum.
Alhasil, kesehatannya pun membaik.
“Ternyata, kalau saya tersenyum, orang lain di sekitar saya juga tersenyum. Ini
yang membuat saya merasa lebih senang dan sehat. Saya merasa orang lain menjadi
lebih baik, lebih memperhatikan saya, dan hubungan saya juga menjadi lebih
hangat,” tulis sang dokter menirukan tuturan pasiennya.
Senyum dan tawa bukan saja menyehatkan. Ternyata, ia juga menular. Senyum
dan tawa juga berdimensi misioner. Aura positifnya mampu memberi dampak yang
baik bagi kehidupan sekitar. Bahkan ada juga yang menyebut bahwa senyum atau
tawa yang tulus itu sebenarnya hanya memverbalkan sukacita yang ada di dalam hati
seseorang. Maka, kalau sesuatu itu lahir dari kedalaman hati, berarti hal yang
dibahasakan oleh senyum dan tawa merupakan sesuatu yang rohani, yang spiritual.
Hingga di sini, ingatan kita dibawa pada sosok kudus dari Kalkuta, Ibu Teresa.
Santa kita ini dikenal dengan keutamaan senyumnya. Ia meyakini, banyak hal baik
dalam hidup ini bisa dimulai dengan sesuatu yang sangat sederhana, yakni senyum.
Senyum merupakan awal dari kedamaian, mula dari cinta. Senyum yang kita bagikan
memungkinkan bagi bertumbuhnya kasih dalam keluarga.
Terakhir, kita semua pasti pernah memberikan sesuatu hadiah atau barang
tertentu kepada saudara, teman, atau siapa saja yang berkebutuhan. Coba ingat
bagaimana kita melakukannya! Apakah ketika menyerahkan pemberian tersebut kita
melakukannya dengan tersenyum sembari mengarahkan pandang pada si penerima?
“Seseorang yang memberi dengan tersenyum merupakan seorang pemberi yang
baik karena Allah mengasihi seorang yang memberi dengan sukacita.” Masih kata Ibu
Teresa.

Elis Handoko
(Majalah Missio KKI, Januari 2017, pg. 10)

-o0o-

TOKOH-TOKOH KEBINEKAAN

a. Yos Sudarso
Laksamana Madya Yosaphat Sudarso lahir di Salatiga, Jawa Tengah, pada 24
November 1925.
Yos sudarso menyelesaikan pendidikannya di HIS Salatiga dan melanjutkan
pendidikannya ke sekolah guru di daerah Muntilan, Magelang. Akan tetapi ia berhenti
saat Jepang datang dan menguasai Indonesia. Yos kemudian dipindahkan ke sekolah
tinggi pelayaran di Semarang dan ikut pendidikan opsir di Giyu Usamu Butai yaitu
sebagai salah satu murid lulusan terbaik.
Ia lalu bekerja sebagai mualim kapal milik Jepang. Setelah proklamasi
kemerdekaan Indonesia usai, ia masuk di BKR Laut yang kini dikenal sebagai TNI
Angkatan Laut. Ia juga terlibat operasi militer antar pulau Maluku untuk memberikan
informasi tentang kemerdekaan Indonesia di bagian Indonesia Timur yang masih
dijajah oleh Belanda.
Setelah kedaulatan RI, ia kemudian diangkat sebagai komandan kapal yang
kemudian memimpin di KRI Alu, KRI Rajawali, KRI Gajah Mada, dan KRI Pattimura.
Tahun 1958, ia pernah menjabat hakim pengadilan tentara walaupun cuma sekitar 4
bulan.
Tanggal 19 Desember 1961 presiden Sukarno membentuk sebuah Tri Komando
Rakyat (TRIKORA) untuk upaya pembebasan Irian Barat yang dijajah oleh Belanda.
Presiden Sukarno membentuk sebuah komando mandala untuk pembebasan Irian
Barat yang berkedudukan di Makasar, dan Yos menjadi pemimpinnya.
Kemudian ia mengadakan patroli di sekitar daerah perbatasan pada tanggal 15
Januari 1962, yakni di laut Aru, Maluku, dengan 3 kapal motor jenis torpedo boat
yaitu KRI macan tutul, KRI harimau dan KRI macan kumbang.
Akan tetapi, Belanda rupanya sudah tahu akan rencana Yos tersebut. Belanda
menyiapkan kapal perusak dan pesawat pengintai untuk membasmi pasukan Yos. Yos
kemudian mengeluarkan perintah bertempur kepada Belanda. Yos memiliki strategi,
dengan KRI macan tutul di bawah pimpinannya ia berusaha untuk menarik perhatian
dari kapal Belanda agar kedua kapal lainnya bisa melarikan diri.
Namun tanggal 15 Januari 1962 di Laut Aru, di usianya yang masih muda, yaitu
36 tahun, ia tertembak oleh Hr. Ms. Eversten, kapal patroli milik Belanda dan kapal
KRI macan tutul pun tenggelam. Yos bersama rekan-rekannya gugur dan tenggelam
bersama awak kapal tersebut.
Namanya  kini diabadikan menjadi nama KRI dan nama pulau. Namanya juga
dijadikan nama jalan di Jakarta dan Papua, dan monumennya dibangun di kota
Surabaya.
Yos Sudarso menganut agama Katholik, dan ia memiliki lima orang anak (dua di
antaranya meninggal).
(Sumber :https://rubrikkristen.com)

b. Adi Sucipto
Adi Sucipto lahir di Salatiga, Jawa Tengah, 3 Juli 1916. Ia adalah seorang
penganut agama Katholik.
Adi Sucipto mengenyam pendidikan GHS (Sekolah Tinggi Kedokteran) dan
lulusan Sekolah Penerbang Militaire Luchtvaart di Kalijati, Subang, Jawa Barat.
Pada tanggal 15 November 1945, Adi Sucipto mendirikan Sekolah Penerbang
di Yogyakarta, tepatnya di Lapangan Udara Maguwo, yang kemudian diganti namanya
menjadi Bandara Adi Sucipto (salah satu bandara terbesar di Indonesia), untuk
mengenang jasanya sebagai pahlawan nasional.
Pada saat Agresi Militer Belanda I, Adi Sucipto dan Abdulrahman
Saleh diperintahkan terbang ke India menggunakan pesawat Dakota VT-CLA.
Penerobosan blokade udara Belanda menuju India dan Pakistan berhasil dilakukan.
Sebelum pulang ke Indonesia, mereka singgah di Singapura untuk mengangkut
bantuan obat-obatan Palang Merah Malaya, sehingga pesawat baru berangkat kembali
pada pukul 13.00.
Pesawat ini mengangkut total 9 orang, antara lain: Agustinus Adi Sucipto,
Abdulrahman saleh (kelak menjadi nama bandara di Malang) dan Adisumarmo (kelak
menjadi nama bandara di Solo).
Sementara itu, di Lanud Maguwo, Yogyakarta, Kepala Staf S. Suryadarma telah
menunggu kedatangan pesawat ini dan memerintahkan agar pesawat tidak perlu
berputar-putar sebelum mendarat, untuk menghindari kemungkinan serangan udara
terhadap pesawat tersebut, mengingat di dalam pesawat ada dua tokoh penting
AURI, yakni Agustinus Adi Sucipto dan Abdulrachman Saleh.
Saat telah mendekati Lanud Maguwo pada 29 Juli 1947 pukul 16.30, pesawat ini
pun tetap berputar-putar untuk bersiap mendarat. Tiba-tiba muncul dua pesawat
milik Belanda yang diawaki oleh Lettu B.J. Ruesink dan Serma W.E. Erkelens,
langsung menembaki pesawat tersebut. Akibatnya pesawat hilang kendali, jatuh dan
terbakar. Semua orang di pesawat meninggal, kecuali A. Gani Handonocokro.
Adi Sucipto dimakamkan di pemakaman umum Kuncen I dan II, dan kemudian
pada tanggal 14 Juli 2000 dipindahkan ke Monumen Perjuangan TNI AU di
Ngoto, Bangunharjo, Sewon, Bantul, Yogyakarta.
(Sumber :https://rubrikkristen.com)

c. Frans Seda
Ketika Bung Karno dibuang ke Flores pada tahun 1936, ia mengunjungi sebuah
SD di desa Ndao. Bung Karno terpukau mendengar kata sambutan spontan oleh
seorang murid berusia sepuluh tahun. Pidato bocah itu disampaikan dalam bahasa
Belanda yang sempurna dan isinya berbobot. Bocah cilik itu adalah Frans Seda, yang
kemudian menjadi menteri dan penasihat ekonomi Presiden Soekarno. Lebih dari itu,
Seda juga kemudian menjadi penasihat ekonomi Presiden Soeharto, Habibi,
Abdurrahman Wahid, dan Megawati.

Franciscus Xaverius Seda (1926-2009) lahir dalam keluarga guru di Lekebai,


desa kecil di Flores. Di tengah alam Flores yang keras, Seda bertumbuh dengan
semboyan hidup "Berdoa, Bertapa, dan Bekerja Keras". Tokoh idola Seda adalah para
guru dan para pastor. Sejak SD, setiap kali masuk ke pastoran, Seda melirik buku
yang berderet-deret di rak buku dan mencuri-curi kesempatan untuk cepat-cepat
membuka salah satu buku itu.
Seda masuk SMP Protestan di Yogyakarta. Ia mencari uang saku dengan jalan
membantu seorang penjual daging di pasar. Lalu, ia masuk Sekolah Guru Atas yang
didirikan Romo Van Lith di Muntilan. Kemudian, bersekolah di SMU berbahasa Belanda
di Surabaya. Ia mendapat beasiswa dan belajar di Sekolah Tinggi Ekonomi di Tilburg,
Nederland dan lulus pada tahun 1956. Selama enam tahun di Nederland, ia menulis
artikel untuk majalah dan surat kabar.
Sekembalinya ke Indonesia, ia disambut oleh kenyataan pahit, yaitu keadaan
ekonomi yang morat-marit. Harga beras, gula, minyak, dan kebutuhan pokok lainnya
naik setiap hari. Uang digunting dan merosot nilainya. Banyak perkebunan dan pabrik
ditutup. Pengangguran melonjak tinggi. Mulailah Seda, bersama sejumlah ekonom
lain, menyumbangkan pikiran. Sungguh tidak mudah memberi pengertian dan nasihat
ekonomi kepada para petinggi sipil dan militer yang "buta huruf" perihal ekonomi.
Akan tetapi, Seda dipakai oleh lima presiden bukan semata-mata karena
kepakarannya, melainkan terutama karena kejujurannya. Seda berbeda dengan
kebanyakan politisi lain yang cuma sibuk mencari kedudukan dan kemudian
melanggengkan kedudukan itu. Seda tidak mengejar harta dan takhta. Sebagai
seorang putra Katolik, ia menjadi saksi Kristus melalui kinerjanya.
Ketika ekonomi sedikit demi sedikit mulai pulih pada tahun 1970-an, keadaan
politik justru semakin otoriter. Korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan merajalela. Di
sinilah letak sumbangsih orang-orang seperti Seda. Seda tidak ikut-ikutan menjadi
busuk. Ia malah mencegah kebusukan. Ia menjadi garam. Garam yang sedikit dapat
mencegah kebusukan. Sabda Kristus, "Kamu adalah garam dunia" (Mat. 5:13).
Seda telah menjadi garam ekonomi Indonesia melalui teladan dan kiprahnya. Ia
mempraktikkan kemuliaan bagi Allah melalui nilai-nilai kristiani dalam kejujuran dan
prestasi kerjanya. Ia pun mewujudkan kemuliaan bagi Allah dengan mendirikan
Universitas Katolik Atma Jaya.
Bocah kurus kering berkulit hitam pekat berusia sepuluh tahun di SD Katolik
Ndao di pedalaman Flores itu memang berbeda. Ia tangkas dan cerdas. Setiap
kalimatnya jelas dan tegas. Bocah cilik itu kemudian menjadi Frans Seda, ekonom
yang dipakai oleh lima presiden dan menerima penghargaan internasional dari tujuh
negara. Bocah cilik itu telah menjadi kemuliaan bagi Allah.
(Sumber : Situs Biografi Kristiani)

d. RB Monginsidi
Robert Wolter Monginsidi lahir di Manado, Sulawesi Utara, pada 14
Februari 1925.
Monginsidi memulai pendidikannya pada 1931 di sekolah dasar (HIS) dan sekolah
menengah (MULO) Frater Don Bosco di Manado. Monginsidi lalu dididik sebagai guru
bahasa Jepang pada sebuah sekolah di Tomohon. Setelah studinya, dia mengajar
Bahasa Jepang di Liwutung, Minahasa dan di Luwuk, Sulawesi Tengah, sebelum
ke Makassar, Sulawesi Selatan.
Ketika kemerdekaan Indonesia diproklamasikan,  Monginsidi berada di Makassar.
Namun, Belanda berusaha untuk mendapatkan kembali kendali atas Indonesia setelah
berakhirnya Perang Dunia II. Mereka kembali melalui NICA (Netherlands Indies Civil
Administration/Administrasi Sipil Hindia Belanda). Dan Monginsidi terlibat dalam
perjuangan melawan NICA di Makassar.
Pada tanggal 17 Juli 1946, Monginsidi dengan rekan-rekannya membentuk
Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS), yang selanjutnya menyerang
posisi Belanda. Dia ditangkap oleh Belanda pada 28 Februari 1947, tetapi berhasil
kabur pada 27 Oktober 1947.
Belanda menangkapnya kembali dan kali ini Belanda menjatuhkan hukuman
mati kepadanya. Monginsidi dieksekusi oleh tim penembak pada 5 September 1949
saat ia berusia 24 tahun. Jasadnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Makassar
pada 10 November 1950.
Wolter Monginsidi dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah
Indonesia pada 6 November 1973. Dia juga mendapatkan penghargaan tertinggi
Negara Indonesia, Bintang Mahaputra (Adipradana), pada 10 November 1973.
Ayahnya, Petrus, yang berusia 80 tahun pada saat itu, menerima penghargaan
tersebut.
Bandara Wolter Monginsidi di Kendari, Sulawesi Tenggara dinamakan sebagai
penghargaan kepada Monginsidi. Demikian juga kapal Angkatan Darat Indonesia, KRI
Wolter Monginsidi dan Yonif 720/Wolter Monginsidi. Sejumlah jalan di berbagai kota
juga dinamai menurut namanya.
(Sumber :https://rubrikkristen.com)

e. Kristina Martha Tiahahu


Ia tak hanya berjuang dengan angkat senjata, namun juga mengobarkan
semangat kaum perempuan Maluku untuk turut mendampingi kaum lelaki di medan
pertempuran.
Usianya baru 17 tahun tatkala Ia terjun langsung dalam medan perang melawan
tentara kolonial Belanda. Gadis yang lahir pada tanggal 4 Januari 1800 di
Desa Abubu, Nusalaut ini merupakan putri sulung dari Kapitan Paulus Tiahahu, salah
satu pemimpin tentara rakyat Maluku. 
Dialah Martha Christina Tiahahu, srikandi dari tanah Maluku. Meski masih sangat
belia, ia dikenal baik di kalangan para pejuang dan masyarakat sampai di kalangan
musuh sebagai gadis pemberani dan konsekuen terhadap cita-cita perjuangannya.
Dengan rambut panjangnya yang terurai ke belakang serta berikat kepala
sehelai kain berang (merah), ia mendampingi ayahnya angkat senjata untuk mengusir
penjajah di Pulau Nusa Laut maupun di Pulau Saparua. Pada waktu yang sama
Kapitan Pattimura sedang mengangkat senjata melawan kekuasaan Belanda di
Saparua. Perlawanan di Saparua menjalar ke Nusalaut dan daerah sekitarnya.
Dalam perjuangannya, Martha Christina juga turut berperan dalam
pertempuran melawan Belanda di pulau Saparua tepatnya didesa Ouw, Ullath. Di
tengah keganasan pertempuran itu, Martha Christina tampil memberikan kobaran
semangat kepada pasukan Nusa Laut untuk menghancurkan musuh. Pekikan semangat
Martha telah membakar semangat kaum perempuan untuk turut mendampingi kaum
laki-laki di medan pertempuran. Baru di medan ini Belanda berhadapan dengan kaum
perempuan fanatik yang turut bertempur. 
Pada pertempuran tersebut, Richemont, seorang pimpinan perang Belanda
dapat dibunuh oleh pasukan Martha Cristina. Dari segala penjuru pasukan rakyat
mengepung, sorak sorai pasukan bercakalele, teriakan yang menggigilkan memecah
udara dan membuat bulu roma berdiri.
Dengan kematian pemimpin Belanda, penjajah semakin brutal dalam menekan
dan menyerang rakyat Maluku. Tanggal 12 Oktober 1817 Vermeulen Kringer
memerintahkan serangan umum terhadap pasukan rakyat. Pertempuran sengit pun
tak dapat dihindarkan. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Ketika akhirnya
pasukan rakyat membalas serangan yang begitu hebat ini dengan lemparan batu,
para Opsir Belanda menyadari bahwa persediaan peluru pasukan rakyat telah habis.
Vermeulen Kringer memberi komando untuk keluar dari kubu-kubu dan kembali
melancarkan serangan dengan sangkur terhunus. Pasukan rakyat mundur dan
bertahan di hutan, seluruh negeri Ulath dan Ouw diratakan dengan tanah, semua
yang ada dibakar dan dirampok habis-habisan.
Martha Christina dan sang Ayah serta beberapa tokoh pejuang lainnya
tertangkap dan dibawa ke dalam kapal Eversten. Di dalam kapal ini para tawanan
dari Jasirah Tenggara bertemu dengan Kapitan Pattimura dan tawanan lainnya.
Mereka diinterogasi dan dijatuhi hukuman. Karena masih sangat muda, Martha
Christina Tiahahu dibebaskan, namun sang Ayah, Kapitan Paulus Tiahahu tetap
dijatuhi hukuman mati.
Dalam suatu Operasi Pembersihan pada bulan Desember 1817 Martha Christina
Tiahahu beserta 39 orang lainnya tertangkap dan dibawa dengan kapal Eversten ke
Pulau Jawa untuk dipekerjakan secara paksa di perkebunan kopi.  Perjalanan Martha
Christina ke Jawa yang menggunakan kapal Eversten di warnai pemberontakan
melawan Belanda.
Selama di atas kapal, kondisi kesehatan Martha Christina Tiahahu semakin
memburuk, ia menolak makan dan pengobatan. Akhirnya pada tanggal 2 Januari
1818, selepas Tanjung Alang, Martha Christina Tiahahu menghembuskan nafas yang
terakhir. Jenazah Martha Christina Tiahahu disemayamkan dengan penghormatan
militer di Laut Banda.
Martha Christina Tiahahu secara resmi diakui sebagai Pahlawan Nasional tanggal
20 Mei 1969, berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor
012/TK/Tahun 1969.
Berkat pengorbanannya tersebut, pemerintah Maluku membuat monumen untuk
mengenang jasa Martha Christina. Monumen Martha Tiahahu menjadi bukti sejarah
keberanian wanita maluku dalam membela tanah air tercinta. 
(Sumber : National Geographic Indonesia)

f. Wage Rudolf Soepratman


Kami menulis buku dengan judul "Mengenal Tokoh Katolik Indonesia: Dari
Pejuang Kemerdekaan, Pahlawan Nasional Hingga Pejabat Negara", dalam bentuk
bunga rampai/antologi karena belakangan ini ada seorang penulis
(tepatnya pada tahun 2008) yang mengatakan WR. Soepratman bukan seorang
Katolik. Padahal buku Sejarah Nasional Edisi Pertama yang ditulis oleh M. Sapija
dengan jelas menulis bahwa WR. Soepratman adalah seorang penganut agama
Katolik. Demikian pula data dari Keuskupan Agung Jakarta menulis bahwa WR.
Soepratman adalah seorang penganut Katolik. Jika kita membiarkan pemalsuan
sejarah maka kita telah membiarkan kejahatan merajalela, dan akibatnya fatal
dikemudian hari. Pemalsuan sejarah adalah kejahatan, maka kejahatan harus
dilawan. 
Wage Rudolf Soepratman atau dikenal dengan WR. Soepratman dilahirkan di
Somongari, pada tanggal 9 Maret 1903. Ayahnya bernama Joemeno Kartodikromo,
seorang tentara KNIL Belanda, dan ibunya bernama Siti Senen. Wage Rudolf
Soepratman adalah anak ketujuh dari sembilan bersaudara. Roekijem adalah kakak
sulung Soepratman. WR. Soepratman adalah seorang penganut agama Katolik yang
taat, Rudolf adalah nama baptisnya. Pada tahun 1914, WR. Soepratman ikut serta
bersama Roekijem ke Makassar. Di sana ia disekolahkan dan dibiayai oleh suami
Roekijem yang bernama Willem van Eldik. 
Wage Rudolf Soepratman belajar bahasa Belanda di sekolah malam selama 3
tahun. Kemudian beliau melanjutkan ke Normaalschool di Makassar sampai selesai.
Ketika berumur 20 tahun, lalu dijadikan guru di Sekolah Angka 2. Dua tahun
selanjutnya ia mendapat ijazah Klein Ambtenaar, dan menjadi seorang guru. Setelah
beberapa saat menjadi guru, Wage Rudolf Soepratman pindah kerja di sebuah
perusahaan dagang. Setelah beberapa waktu lamanya Wage Rudolf Soepratman
memutuskan pindah ke Bandung menjadi wartawan harian Kaoem Moeda dan Kaoem
Kita. Pekerjaan itu sendiri tetap dilakukannya meskipun pada akhirnya tinggal di
Jakarta. Ketika di Jakarta Wage Rudolf Soepratman mulai tertarik dengan organisasi
pergerakan nasional. Beliau akhirnya bergaul dengan tokoh-tokoh pergerakan. 
Rasa tidak senangnya terhadap penjajahan Belanda mulai tumbuh dan akhirnya
dituangkan dalam buku Perawan Desa. Buku itu disita dan dilarang beredar oleh
pemerintah Belanda. Rasa cintanya terhadap Indonesia semakin hari semakin besar
sehingga membuatnya ingin menyumbangkan sesuatu bagi perjuangan bangsanya.
Tetapi, ia tidak tahu bagaimana caranya, karena ia hanya seorang wartawan dan
pemain musik hingga suatu hari, secara kebetulan WR Soepratman membaca artikel
berjudul Manakah Komponis Indonesia yang Bisa Menciptakan Lagu Kebangsaan
Indonesia yang Dapat Membangkitkan Semangat Rakyat dalam majalah Timboel
terbitan Solo. Membaca artikel ini, hati Soepratman tergerak. Dan merasa tulisan itu
seolah ditujukan kepada dirinya. 
Wage Rudolf Soepratman dipindahkan ke kota Sengkang, tidak lama kemudian
minta berhenti dan pulang ke Makassar. Roekijem sendiri sangat gemar akan
sandiwara dan musik. Banyak karangannya yang dipertunjukkan di mes militer. Selain
itu Roekijem juga senang bermain biola, kegemarannya ini yang membuat
Soepratman juga senang main musik dan membaca-baca buku musik. Wage Rudolf
Supratman merasa tertantang ketika melihat kemahiran kakak iparnya, Willem Van
Eldik. Pada saat tinggal di Jakarta Wage Rudolf Supratman membaca sebuah
karangan dalam majalah Timbul. Penulis karangan itu menantang ahli-ahli music
Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan. Wage Rudolf Soepratman tertantang,
lalu mulai menggubah lagu. Ketika beliau di Bandung pada tahun 1924 lahirlah lagu
Indonesia Raya. 
Wage Rudolf Soepratman adalah komponis Indonesia pertama yang menciptakan
lagu-lagu pujian untuk perjuangan. Selain Indonesia Raya, ia mengarang lagu Dari
Barat Sampai ke Timur (1925), Bendera Kita (1927), Ibu Kita Kartini (1931) yang
semula berjudul Raden Ajeng Kartini, Bangunlah Hai Kawan (1931), Indonesia Hai
Ibuku (1927); dan tiga lagu lain yang dia ciptakan di Surabaya: Mars Parindra (1937),
Mars Surya Wirawan (1937), dan Matahari Terbit (1938). 
Pada tanggal 28 Oktober 1928 diadakan Kongres Pemuda II dimana para tokoh
pergerakan nasional dan perwakilan para pemuda berkumpul untuk menyatukan visi
mencapai Indonesia Merdeka. WR. Soepratman juga hadir dan pertama kalinya beliau
memperdengarkan lagu Indonesia Raya secara instrumental dengan biola (tanpa
syair). Mengapa dikumandangkan lagu Indonesia Raya itu secara instrumental? Atas
usulan Soegondo Djojopuspito, dengan alasan menjaga situasai politik dan kondisi
saat itu. Banyak hadirin terpukau dengan lagu itu. Lagu tersebut telah berhasil
mewakili keinginan rakyat Indonesia untuk segera merdeka dari Belanda.
Lagu Indonesia Raya pertama kali dikumandangkan di depan umum pada saat
itu. Semua yang hadir terpukau mendengarnya. Dengan cepat lagu itu terkenal di
kalangan pergerakan nasional. Apabila partai-partai politik mengadakan kongres,
maka lagu Indonesia Raya selalu dinyanyikan terlebih dahulu. Lagu itu merupakan
perwujudan rasa persatuan dan kehendak untuk merdeka. Sesudah Indonesia
merdeka, lagu Indonesia Raya dijadikan lagu kebangsaan, lambang persatuan bangsa.
Wage Rudolf Soepratman diburu oleh Polisi Hindia belanda akibat menciptakan lagu
Indonesia Raya. Pada awal Agustus 1938 Wage Rudolf Supratman menciptakan lagu
“Matahari Terbit”, kemudian beliau menyiarkannya bersama pandu-pandu di NIROM,
jalan Embong Malang, Surabaya. Wage Rudolf Supratman akhirnya ditangkap oleh
Belanda dan ditahan di penjara Kalisosok, Surabaya. Wage Rudolf Supratman
meninggal di Surabaya pada tanggal 17 Agustus 1938 pada umur 35 tahun. Hari
kelahiran Wage Rudolf Soepratman, 9 Maret, oleh Megawati Soekarnoputri saat
menjadi presiden RI, diresmikan sebagai Hari Musik Nasional.
(Sumber : cahayakristus7.blogspot.co.id)

g. Tjilik Riwut
Tjilik (baca: Cilik) Riwut lahir di Kasongan, Kalimantan Tengah, pada 2
Februari 1918. Ia berjasa memimpin Operasi Penerjunan Pasukan Payung Pertama
dalam sejarah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia pada tanggal 17
Oktober 1947 oleh pasukan MN 1001, yang ditetapkan sebagai Hari Pasukan Khas TNI-
AU yang diperingati setiap 17 Oktober. Waktu itu pangkat Tjilik Riwut adalah Mayor.
Tjilik Riwut juga adalah salah seorang yang berjasa bagi masuknya pulau
Kalimantan ke pangkuan Republik Indonesia. Sebagai seorang putera Dayak ia telah
mewakili 142 suku Dayak pedalaman Kalimantan bersumpah setia kepada Pemerintah
RI secara adat di hadapan Presiden Sukarno di Gedung Agung Yogyakarta, 17
Desember 1946.
Sebagai tentara, pengalaman perangnya meliputi sebagian besar pulau
Kalimantan dan Jawa. Setelah perang usai, Tjilik Riwut aktif di pemerintahan. Dia
pernah menjadi Gubernur Kalimantan Tengah, menjadi koordinator masyarakat suku-
suku terasing untuk seluruh pedalaman Kalimantan, dan terakhir sebagai
anggota DPR RI.
Ia meninggal dalam usia 69 Tahun di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, pada
tanggal 17 Agustus 1987 (bertepatan dengan hari kemerdekaan Indonesia) dan
dimakamkan di Makam Pahlawan Sanaman Lampang, Palangka Raya.
Namanya diabadikan sebagai nama bandara di Palangka Raya, serta nama jalan
utama di ibu kota Kalimantan Tengah tersebut.
Tjilik Riwut merupakan seorang penulis yang produktif. Buku-bukunya antara
lain adalah: Makanan Dayak (1948), Sejarah Kalimantan (1952),  Kalimantan
Memanggil (1958), Memperkenalkan Kalimantan Tengah dan Pembangunan Kota
Palangka Raya (1962), Manaser Panatau Tatu Hiang (1965), dan Kalimantan
Membangun (1979).
(Sumber :https://rubrikkristen.com)

Bumi, Rumah Kita

“What kind of world do we want to leave to those who come after us,
to children who are now growing up?”
Pope Francis

ENTAH berapa kali dalam setahun kita mendengar, menyaksikan, bahkan mungkin
mengalami sendiri bencana alam, dari gunung berapi meletus, gempa bumi, tsunami,
hingga banjir atau tanah longsor. Musim panas dan kekeringan juga cenderung
meningkat dan tak menentu.
Memang dari sekian bencana itu ada yang merupakan proses alami. Namun,
tidak sedikit di antaranya berbanding lurus dengan aktivitas yang dilakukan manusia
atas bumi. Karena hal ini ikut menentukan kebahagiaan hidup manusia, Bergoglio
(nama Paus Fransiskus) memberi perhatian khusus agar setiap orang menghormati
alam.
Kerusakan alam adalah salah satu tantangan terbesar yang kita miliki.
Pertanyaan yang sering kita lupakan untuk kita tanyakan pada diri sendiri adalah,
“Bukankah hal ini sama saja bahwa manusia sedang melakukan bunuh diri melalui
tindakan memanfaatkan alam secara ngawur dan keji?”
Dalam Ensiklik Laudato Si’, Bergoglio menuliskan beberapa catatannya
mengenai seruan ekologis dalam menghormati alam sebagai “rumah kita bersama”.
Dalam salah satu catatannya, ia menyatakan bahwa manusia, sebagai makhluk bumi,
berhak hidup bahagia dan bermartabat. Mau tak mau kita mesti mempertimbangkan
bagaimana kerusakan lingkungan, model pembangunan dewasa ini, dan budaya
sampah berpengaruh terhadap kehidupan manusia.
Sesungguhnya, kerusakan lingkungan dan kemerosotan masyarakat lebih
berdampak pada pihak yang paling lemah di bumi. Baik pengalaman hidup sehari-hari
maupun penelitian ilmiah, menunjukkan bahwa efek paling parah dari semua
perusakan lingkungan diderita oleh kaum miskin.
Kalau kita memberi “tamparan” pada alam maka alam akanmelakukan hal
serupa kepada kita. Ketika kita menyakiti alam, alam tidak pernah bisa memaafkan.
Ia akan membalas sama seperti yangkita berikan padanya. Pemikiran ini seharusnya
menyadarkan kita bahwa pendekatan ekologis yang sejati adalah berupa pendekatan
sosial yang mengintegrasikan keadilan dalam diskusi tentang lingkungan hidup, untuk
mendengarkan jeritan bumi maupun jeritan kaum miskin.
Apa yang bisa kita lakukan untuk bumi yang menjadi rumah kita ini?
Ada banyak cara sederhana untuk menyelamatkan bumi dari kehancuran,
seperti membiasakan diri untuk menghemat energi dan menjaga kebersihan
lingkungan rumah kita, di antaranya dengan mengonsumsi listrik dan air seperlunya.
Menghemat energi listrik, misalnya, bisa kita lakukan dengan menyalakan
lampu seperlunya saja pada malam hari lalu mematikannya ketika fajar mulai
merekah. Menyetrika pakaian secara terjadwal dan mengisi tampungan atau bak air
hingga penuh setiap hari sehingga tidak ada istilah “nyala-mati-nyala”, juga bisa
menjadi cara untuk menghemat energi listrik. Menampung air bekas cucian sayur,
buah, ataupun beras, bisa kita lakukan untuk menyiram tanaman bunga di
pekarangan rumah. Selain hemat energi, kebiasaan rumahan ini juga bisa menghemat
tagihan listrik dan air di rumah kita.
Mudah, bukan? Bayangkan kalau setiap keluarga di bumi ini melakukannya?
Inilah warisan untuk generasi mendatang agar mereka masih bisa ‘menikmati’
kebaikan alam.

(judul asli: Hormati Alam, dikutip dari buku


99 Cara Belajar Hidup Ala Pope Francis, Elis Handoko, Grasindo, 2016, pg 186-187)

-o0o-

Alam Tak Pernah Mau Mengampuni

"Tuhan selalu mengampuni. Manusia kadang-kadang mengampuni. Tapi, alam tak


pernah mengampuni. Jika Anda memberinya sebuah tamparan, ia pun akan memberi
Anda satu hal yang serupa."

Pope Francis

LIMA tahun terakhir, saya tinggal dan bekerja di salah satu kota di Sumatera. Dalam
setahun, saya setidaknya mengalami dua bencana periodik yang mengiringi perguliran
musim panas dan penghujan. Musim panas atau kemarau adalah waktu untuk
membuka lahan perkebunan. Baik perorangan maupun perusahaan lebih memilih
membuka lahan dengan cara membakarnya. Alasannya, ada perhitungan yang sangat
praktis dan ekonomis. Pada laman cnnindonesia.com tercatat biaya pembukaan lahan
dengan cara dibakar membutuhkan 600-800 ribu rupiah per hektar, sedangkan tanpa
dibakar butuh 3-4 juta rupiah per hektar. Tidak hanya itu, untuk membayar orang
membakar lahan, pemilik lahan mengeluarkan 500-700 ribu rupiah per 10 hektar.
Bisa kita bayangkan apa yang terjadi jika setiap orang dan perusahaan memilih
membakar hutan saat membuka lahan. Bencana kabut asap tidak akan terhindarkan,
seperti yang pernah terjadi pada 2015 silam. Saat itu adalah bencana asap paling
parah yang pernah terjadi di Indonesia. Hampir semua bagian pulau Sumatera,
Kalimantan, hingga beberapa pulau di Indonesia bagian timur dikepung asap. Dampak
terparah dialami oleh masyarakat kecil dan miskin. Kegiatan sekolah terganggu.
Mereka yang tinggal di rumah kayu tanpa penyejuk ruangan (AC) tidak bisa
menghindar dari paparan asap hingga tak sedikit dari mereka yang akhirnya sakit dan
meninggal dunia. Bukan hanya jadwal penerbangan yang dibuat terkatung-katung,
transportasi darat juga dibikin repot karena jarak pandang terbatas.
Konon, beberapa bagian wilayah kota tempat saya tinggal dulu merupakan
rawa-rawa. Karena kebutuhan area perumahan, rawa-rawa itu ditimbun dan ditanami
beton-beton hunian. Sayangnya, penimbunan ini tidak disertai dengan pengadaan
sistem drainase yang memadai. Akibatnya saat memasuki musim penghujan, air pun
menggenang dan banjir terjadi. Di sudut lain, tidak sedikit sampah menumpuk di
kanal-kanal sungai yang pada musim kemarau mengering.
Itulah pengalaman saya tentang bencana tahunan di tempat tinggal saya. Kita
masing-masing tentu memiliki pengalaman sendiri terkaithal ini. Paling tidak, dari
layar kaca atau halaman berita harian, kita menemukan tidak sedikit daerah yang
dilanda bencana banjir atau tanah longsor saban tahunnya. Kiranya fakta ini
membuat kita maklum bahwa alam memang tidak bisa memaafkan. Sebagian besar
bencana di bumi terjadi akibat ulah manusia.
National Geogragraphic pernah mengangkat ulasan Bergoglio sehubungan
dengan krisis lingkungan hidup. Krisis ekologi sedang mengancam hidup manusia.
Bumi memanas, musim bergulir tak tertebak. Sebagai rumah kita, bumi kini lebih
menyerupai gundukan sampah yang menjulang. Rumah bersama kita sedang dijarah
dan dirusak keserakahan. Bergoglio mengingatkan bumi yang kita diami ini bukan
hanya warisan dari generasi masa lalu melainkan juga pinjaman dari generasi yang
akan datang. Artinya, kita juga harus menyiapkan kondisi yang nyaman bagi generasi
berikutnya yang akan mendiami bumi ini.
Oleh karena itu, relasi antara manusia dengan alam semestinya dikendalikan
suatu harmoni untuk saling menghormati dan memelihara. Pengembangan ekonomi
memproduksi sumber daya alam tidak boleh mengesampingkan manusia, lebih-lebih
mereka yang kecil dan miskin.
Demikian pula upaya pelestarian dan pemulihan ekologis harus selalu
melibatkan hidup orang-orang miskin yang selama ini tidak terperhatikan.
Hukum alam mengajari kita untuk selalu berteman secara arif dengan alam
semesta, bumi, dan segala isinya. Bumi adalah rumah kita. Sudah semestinya kita
merawatnya agar nyaman dan aman untuk ditinggali. Jangan biarkan alam marah
akibat ulah serakah kita!
Ada ungkapan yang mengatakan, “Anything is better than nothing.” Berbuat
sesuatu itu pasti berfaedah, tak peduli seberapa kecil yang kita lakukan. Mari kita
mulai dari rumah kita, dari hal-hal kecil, namun nyata. Buanglah sampah pada
tempatnya. Mari merawat dan memelihara lingkungan di sekitar rumah kita. Mari
menanam pohon dan memeliharanya.
Bayangkan, jika setiap orang di bumi ini melakukan hal kecil seperti itu, betapa
asri dan segarnya lingkungan hidup kita!

(Dikutip dari buku 99 Cara Belajar Hidup Ala Pope Francis,


Elis Handoko, Grasindo, 2016, pg 71-73)

-o0o-

Anda mungkin juga menyukai