Anda di halaman 1dari 7

PENDALAMAN MATERI

(Lembar Kerja Resume Modul)

NAMA MAHASISWA :
KELAS :
LPTK :
DOSEN PENGAMPU :
A. Judul Modul : AL-QUR’AN DAN HADIS
B. Kegiatan Belajar : KRITERIA KESHAHIHAN HADIS (KB 3)
C. Refleksi

NO BUTIR REFLEKSI RESPON/JAWABAN

1 Konsep (Beberapa istilah Kata sahih dalam bahasa Arab diartikan orang sehat
dan definisi) di KB antonim dari kata al-saqim yang berarti orang sakit,
seolah-olah dimaksudkan hadis sahih adalah hadis yang
sehat dan benar-benar tidak terdapat penyakit dan cacat.

Sanadnya bersambung (ittishal al-


sanad)

Moralitas para perawinya baik


(’adalah al-ruwwat)

KRITERIA KESAHIHAN HADIS

Intelektualitas para perawinya


mumpuni (dhabt al-ruwwat) Tidak
janggal (’adam al-syudzudz)

Tidak cacat (’adam al-’illah

 Yang dimaksud sanadnya bersambung adalah


seluruh mata rantai periwayatnya (jalur transmisi) dari
setiap generasi ke generasi yakni nabi, sahabat,
tabi’in dan tabi’ al-tabi’in tersambung tanpa ada
satupun yang terputus. Jika ada satu mata rantai saja
terputus atau diragukan ketersambungannya karena
perawi satu dengan berikutnya tidak pernah bertemu
tetapi hanya sekedar menyandarkan saja, maka
kualitasnya bisa dipastikan tidak akan mencapai
derajat sahih.
 Kualitas perawi harus ‘adil. Ini bukanlah maksud adil
dalam definisi bahasa Indonesia. ‘Adil dalam istilah
ulum al-hadits adalah kondisi perawi yang beragama
Islam, mukallaf, melaksanakan ketentuan agama dan
menjaga muru’ah.
 Dhabit atau yang dalam bahasa Indonesia dabit
merupakan kualitas intelektualitas personal perawi.
Secara harfiah, dhabt berarti kokoh, kuat dan tepat.
Sedang secara istilah adalah kekuatan hafalan perawi
terhadap hadis yang diterimanya secara sempurna,
mampu menyampaikannya kepada orang lain dengan
tepat dan mampu memahaminya dengan baik.
 Tidak boleh ada syadz (kejanggalan). Imam al-Syafi’i
sebagaimana dikutip al-Naisaburi menjelaskan bahwa
kejanggalan dalam periwayatan adalah apabila
sebuah hadis diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah,
namun bertentangan dengan mayoritas riwayat lain
yang juga tsiqah.
 Tidak boleh ada ‘illat (kecacatan). Cacat dalam
periwayatan hadis bisa berupa sanad yang tampak
tersambung dan sampai kepada Nabi, namun pada
kenyataannya hanya sampai kepada sahabat atau
tabi’in. Kecacatan juga bisa juga terjadi berupa
kerancuan karena percampuran dengan hadis lain
atau kekeliruan dalam menyebutkan nama periwayat
yang memiliki kemiripan atau kesamaan dengan
periwayat lain yang kualitasnya berbeda.
Jika satu kondisi seluruhnya terpenuhi, hanya saja pada
syarat ketiga yakni kualitas intelektual personal perawi
(dhabt) tidak sebaik yang seharusnya, maka kualitas
hadisnya bisa menjadi hasan. Namun, apabila ada salah
satu syarat atau kriteria tidak terpenuhi, seperti terputus
sanadnya atau didapati perawi yang benar-benar lemah
atau juga terdapat kejanggalan maupun kecacatan, maka
kualitas hadisnya bisa berkategori daif (lemah) bahkan
maudhu’ (palsu).

Hadis Sahih
 Hadis bernilai sahih adalah hadis yang memenuhi
lima kriteria atau syarat kesahihan hadis yang
meliputi ketersambungan sanad, perawi yang adil,
perawi yang sempurna kedabitannya, tidak ada syaz
dan tidak terdapat ‘Illat.
 Perlu diketahui bahwa hadis sahih terbagi menjadi
dua, yakni hadis sahih li dzatihi dan hadis sahih li
ghayrihi. Pembagian ini terjadi berdasarkan sebab
sahihnya hadis. Jika sebuah hadis memenuhi lima
syarat kesahihan secara sempurna sebagaimana
yang disebutkan di atas, maka disebut hadis sahih li
dzatihi, atau dalam bahasa sederhana sahih karena
sendirinya. Adapun jika sebuah hadis memenuhi lima
kriteria tadi hanya saja tidak sempurna dalam hal
kedabitan (yang kemudian disebut dengan hadis
hasan) tetapi memiliki riwayat lain dari sanad yang
berbeda baik dengan kualitas sama atau lebih baik,
maka disebut hadis sahih li ghayrihi. Dengan kata
lain, hadis sahih li ghayrihi adalah hadis yang menjadi
sahih bukan karena sendirinya, melainkan dukungan
dari jalur lain. Terkait status kehujahan, hadis sahih li
ghayrihi memiliki kualitas lebih rendah dari hadis
sahih li dzatihi. Namun, hadis ini tetap berkualitas
lebih tinggi jika dibanding dengan hadis hasan pada
umumnya.
 Kitab-kitab yang memuat hadis-hadis sahih di
dalamnya di antaranya adalah al-Jami’ al-Shahih
karya imam al-Bukhari (w. 256 H.), Shahih Muslim
karya imam Muslim (w. 271 H) Shahih Ibn
Khuzaymah karya Ibn Khuzaymah (w. 311 H) dan
Shahih Ibn Hibban karya Ibn Hibban (w. 354 H.)

HADIS HASAN
 Hadis hasan adalah hadis yang hampir mendekati
kualitas sahih karena terpenuhinya seluruh kriteria
kesahihan. Namun, sebab kedabitannya tidak sebaik
yang seharusnya, maka kualitasnya tidak sahih
melainkan hasan.
 Hadis hasan terbagi ke dalam dua, yakni hasan li
dzatihi dan hasan li ghayrihi. Yang dimaksud dengan
hadis hasan li dzatihi adalah hadis yang diriwayatkan
oleh para perawi yang baik secara kualitas moral,
namun kurang secara kekuatan hafalan, bersanad
yang tersambung, tidak berillat dan tidak ada
kejanggalan. Secara sederhana, hadis hasan li dzatihi
adalah hadis hasan yang memiliki kriteria standar
hasan yang sesungguhnya sebagaimana telah
dijelaskan; atau hadis yang hasan karena sendirinya.
Adapun yang disebut dengan hadis hasan li ghairihi
sejatinya merupakan hadis daif namun diriwayatkan
melalui banyak jalur dan penyebab kedhaifannya
bukan karena kefasikan atau kebohongan perawinya
(faktor ‘adalah).
 Di antara kitab-kitab yang memuat hadis-hadis hasan
yaitu Sunan Abi Dawud karya Abu Dawud al-Sijistani
(w. 275 H), Sunan alTirmidzi karya al-Tirmidzi (w. 279
H) dan Sunan al-Daruquthni karya alDaruquthni (w.
385 H.)

HADIS DAIF
 Hadis daif adalah hadis yang tidak memenuhi salah
satu dari syarat kesahihan hadis, maka apabila lebih
dari satu syarat yang tidak terpenuhi, kategori hadis
tersebut bisa sangat lemah.
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan sebuah
hadis dinilai daif sekaligus mengklasifikannya menjadi
macam-macam hadis daif.
Pada Sanad
1. Sanadnya tidak tersambung
 Gugur pada sanad pertama, hadisnya disebut
mu’allaq.
 Gugur pada sanad terakhir (tingkat sahabat),
hadisnya disebut mursal.
 Gugur dua orang atau lebih dari rangkaian perawinya
secara berurutan, hadisnya disebut mu’dhal.
 Gugur dua orang atau lebih dari rangkaian perawinya
secara tidak berurutan, hadisnya disebut munqathi’.

2. Kecacatan pada keadilan dan atau kedhabitan perawi


 Dusta, hadis yang rawinya berdusta disebut maudhu’
 Tertuduh dusta, maksudnya perawi tersebut dikenal
sering berdusta dalam kehidupan sehari-hari walau
belum diketahui dia melakukan kedustaan dalam
periwayatan atau tidak. Hadits dhaif sebab ini disebut
matruk.
 Fasik
 Banyak salah
 Lengah dalam menghafal, hadisnya disebut munkar.
 Banyak wahm (kekeliruan tersembunyi), hadisnya
disebut dengan mu’allal.
 Menyalahi riwayat yang lebih tsiqah. Bentuk
menyalahinya dapat berupa ada penambahan atau
sisipan, maka hadisnya disebut mudraj. Bila karena
diputarbalikkan, hadisnya disebut maqlub. Sebab
rawi-rawinya tertukar-tukar disebut mudhtarib,
sementara bila yang tertukar adalah huruf-syakal
disebut muharraf; dan bila penambahan itu berupa
titik atau kata disebut mushahhaf.
 Tidak diketahui identitasnya, hadisnya disebut
mubham.
 Penganut bidah.
 Tidak baik hafalannya, hadisnya disebut syadz dan
mukhtalith.
Pada Matan
 Mauquf, hadis yang secara kandungan hanya
disandarkan sampai sahabat.
 Maqthu’, hadis yang secara kandungan hanya
disandarkan sampai tabi’in.

2 Daftar materi pada KB  Kriteria syadz menurut Muhammad al-Ghazali juga


yang sulit dipahami
bisa dijadikan kriteria untuk menilai kesahihan
hadis dalam aspek konten (matn). Dalam kritik
matan hadis juga dapat dikatakan syadz apabila
bertentangan dengan kandungan al-Qur’an.
 Muhammad Ibn ‘Alawi menyebutkan bahwa dhabt
terbagi dua, yakni dhabt shadr, yaitu kekuatan
hafalan yang dibuktikan dengan kemampuan
melafalkan hadis yang dikuasainya kapanpun; dan
dhabt kitabah yaitu kekuatan tulisan yang
dibuktikan dengan buku yang dia miliki. Secara
singkat dhabith adalah kapasitas intelektual yang
menunjukkan bahwa orang yang meriwayatkan
hadits itu terkategori orang yang pandai dan
cerdas.
 Menganggap Bahwa Hadis yang Digunakan
Hanyalah Hadis Shahih
Fenomena yang berkembang saat ini, terutama di akhir zaman
ialah adanya suatu kelompok yang hanya mencukupkan diri
mereka dengan bersandar kepada hadis-hadis shahih semata.
Alhasil, muncullah gerakan yang membi’dahkan Qunut subuh,
azan Jum’at 2 kali, hingga Sholat Tarawih dengan rakaat lebih
dari 8. Padahal masing-masing dari ibadah yang disebutkan
Daftar materi yang sering tadi banyak riwayat atau jalur hadisnya.
3 mengalami miskonsepsi
dalam pembelajaran  Menggunakan Qola Rasulullah saat menyampaikan
hadis palsu
Salah satu fenomena yang juga menjadi miskonsepsi dalam
pembelajaran ialah penyampaian hadis palsu yang dianggap
datangnya juga dari Rasulullah. Bahkan terkadang di khutbah
jumat maupun ceramah ada pula ustaz yang menyampaikan
israiliyat namun dikatakan sebagai hadis Nabi SAW. Hal ini
tentu merupakan miskonsepsi sekaligus kekeliruan yang
kiranya perlu diluruskan.

Anda mungkin juga menyukai