Anda di halaman 1dari 28

Bab III

Bekal Ruhiyah Seorang Muslim


(Qs. Al-Muzzammil: 1-11)

 CBA

 T S R Q P  O N M L  K   J I H G F E D C  B Ao
 i  h g f e d c b a ` _ ^ ] \ [ Z Y X W V U
 | { z y  x w v u t s r q p o n m l k j
n kj i h g f e d c b a ` _ ~ }
“Hai orang yang berselimut (Muhammad) (1). Bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali
sedikit (darinya) (2). (Yaitu) setengahnya atau kurangilah dari setengah itu sedikit (3). Atau lebih
dari setengah itu, dan bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan (4). Sesungguhnya Kami akan
menurunkan kapadamu perkataan yang berat (5). Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah
lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan (6). Sesungguhnya kamu pada
siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak) (7). Sebutlah nama Tuhanmu, dan
beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan (8). (Dialah) Tuhan masyriq dan maghrib,
tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai Pelindung (9).
Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik
(10). Dan biarkanlah Aku (saja) yang bertindak terhadap orang-orang yang mendustakan itu,
orang-orang yang mempunyai kemewahan itu, dan beri tangguhlah mereka barang sebentar.”1

TAFSIR RINGKAS
Wahai orang yang menyelimuti dirinya dengan kain bajunya, bangunlah untuk
mengerjakan shalat di sepanjang malam, kecuali sebagian kecil darinya. Bangunlah
(mengerjakan qiyamul lail) pada separuh malam, atau kurangilah sedikit dari separuh itu
hingga mencapai sepertiganya, atau tambahilah dari separuh itu hingga mencapai
duapertiganya. Bacalah Al-Qur’an dengan pelan dan tenang, serta dengan memperjelas
huruf-huruf dan waqaf-waqafnya.
Sungguh, Kami akan menurunkan kepadamu, wahai Nabi, Al-Qur’an yang agung, yang
memuat perintah-perintah, larangan-larangan, dan hukum-hukum syariat.
Sesungguhnya ibadah yang dilaksanakan di tengah malam itu lebih kuat pengaruhnya ke
dalam hati dan lebih jelas maksud perkataan (yang dibaca pada waktu itu), dikarenakan
telah longgarnya hati dari aneka kesibukan duniawi.
Sesungguhnya, pada siang hari engkau memiliki banyak kegiatan dan pergerakan untuk
mengurusi kebutuhan-kebutuhanmu, dan kesibukan yang luas dalam urusan-urusan

1
Dalam Tafsir as-Sa’di, ayat 1-11 ditafsirkan menjadi satu kelompok.
47
(menyebarkan) risalah. Maka, konsentrasikan dirimu pada waktu malam untuk beribadah
kepada Tuhanmu.
Sebut-sebutlah, wahai Nabi, nama Tuhanmu dan berdoalah dengannya. Fokuskan dirimu
dalam beribadah kepada-Nya semaksimal mungkin, dan bertawakkallah kepada-Nya.
Dialah Raja Penguasa timur dan barat, tidak ada yang berhak disembah selain-Nya, maka
bersandarlah kepada-Nya, dan serahkanlah urusan-urusanmu kepada-Nya.
Bersabarlah terhadap segala komentar yang dilontarkan oleh orang-orang musyrik itu
perihal dirimu dan agamamu. Jangan samai perbuatan-perbuatan mereka yang batil itu,
disertai dengan berpaling dari mereka dan tidak mendendam kepada mereka.
Biarkanlah, wahai Rasul, Aku sendiri yang akan menangani orang-orang yang tidak mau
mempercayai ayat-ayat-Ku itu; orang-orang yang memiliki aneka kenikmatan dan
kemewahan hidup duniawi itu. Beri tempo kepada mereka sebentar saja, yakni dengan
sedikit menunda turunnya azab kepada mereka, sampai kelak tiba waktunya yang telah
ditetapkan.

PELAJARAN PENTING
1. Surah al-Muzzammil adalah surah ketiga yang turun, sesudah al-Qalam. Memang
terdapat perbedaan riwayat dalam hal ini, namun kemudian disepakati bahwa al-
Muzzammil termasuk bagian Al-Qur’an yang mula-mula diturunkan, bersama
beberapa surah lainnya.
2. Ketika Allah membukakan mata hati seseorang dan membuatnya bisa menyadari
kebenaran, padahal kenyataan di masyarakat justru bertentangan dengannya, maka
peristiwa ini pasti sangatlah mengguncang jiwa dan membuat nyalinya surut. Inilah
awal mula “kesadaran kenabian”, yakni kepekaan untuk merasakan penderitaan umat
dan keinginan besar untuk memperbaiki, namun merasakan ketidakberdayaan karena
kecilnya kemampuan di hadapan hebatnya tantangan. Dalam kondisi ini, tidak ada
jalan keluar kecuali bangkit menyambut seruan Allah untuk menegakkan qiyamul lail,
men-tartil Al-Qur’an, berdzikir, ber-tabattul dalam beribadah, bersabar, bertawakkal,
dan berhijrah. Dengannya Allah akan memberinya bimbingan, keyakinan, keteguhan,
dan perlindungan.
3. Tidak ada bekal yang lebih baik bagi seorang muslim – terlebih para da’i dan
mushlihin – dalam menghadapi pasang-surut kehidupan dunia beserta aneka ujian,
cobaan, dan tantangan di dalamnya selain bagusnya ibadah kepada Allah dan amal-
amal shalih. Dengannya hati menjadi kokoh dan tidak mudah terguncang, karena ia
dekat dengan Allah dan selalu diteguhkan oleh-Nya. Sebaliknya, ketika ibadah dan
amal shalih seseorang merosot, maka hatinya akan menjadi sempit, sering resah dan
gelisah, dan mudah diombang-ambingkan oleh syetan. Tidak ada cara untuk
mengobatinya selain memperbaiki ibadah dan meningkatkan amal-amal shalih.
4. Tidak ada ibadah yang paling utama melebihi shalat (lima waktu), dan setelah itu
adalah shalat di tengah malam (qiyamul lail). Ini adalah tradisi para Nabi dan orang
shalih sepanjang zaman. Terlebih-lebih lagi, bila qiyamul lail itu disertai dengan tartil
Al-Qur’an, karena pada saat itu bacaan lebih berkesan, hati dan pikiran lebih lapang,
sehingga lebih mudah untuk memahami makna dan tujuan Al-Qur’an.
5. Allah menyuruh kita untuk membaca Al-Qur’an secara tartil. Tartil berarti
membacanya dengan bersuara, perlahan-lahan, serta memenuhi hak setiap huruf dan
bacaan di dalamnya. Sangat dianjurkan untuk membacanya dengan memperbagus
48
suara dan bacaan semampunya, sehingga hati tersentuh, akal tertarik, kulit melunak,
mata menangis, dan makna-maknanya sampai ke dalam jiwa. Inilah tujuan Al-Qur’an
sebagai hidayah bagi umat manusia.
6. Makna dan misi yang dikandung Al-Qur’an sangatlah hebat, sehingga diperlukan
persiapan matang dan energi besar untuk mengangkatnya. Allah menyebutnya sebagai
qaulan tsaqilan (perkataan yang berat). Bila seseorang terbiasa mengangkat beratnya
beban bangun malam (qiyamul lail), niscaya jiwanya akan terlatih untuk mengangkat
beratnya makna dan misi Al-Qur’an, menjadi teguh, dan tidak gampang putus asa.
Allah akan mengilhamkan kepadanya makna-makna Al-Qur’an, memberinya
kekuatan untuk mengamalkan serta mendakwahkannya, dan menyingkapkan
petunjuk baginya untuk menyelesaikan aneka persoalan.
7. Makna lain dari qaulan tsaqilan adalah kata-kata yang berwibawa dan disegani. Bila
seseorang rajin melaksanakan qiyamul lail, gemar membaca Al-Qur’an dengan tartil,
dan rajin mentadabburinya, maka ia akan menjadi matang dan bijak, nasihat-
nasihatnya akan berbobot, berkesan, dan memiliki makna yang mendalam. Qaulan
tsaqilan juga bisa bermakna kata-kata yang benar, patut dipertimbangkan, jelas,
bermanfaat, dan tidak remeh. Istilah itu juga berarti berat nilai dan pahala
pengamalannya kelak di atas Mizan, atau berat pada saat diwahyukan kepada
Rasulullah. Al-Qur’an adalah qaulan tsaqilan, dalam seluruh makna diatas.
8. Siang hari adalah waktu untuk beraktifitas mencari penghidupan, belajar, berdakwah,
dan sejenisnya. Sedangkan malam hari adalah waktu yang paling tepat untuk
mendekatkan diri kepada Allah dan beribadah dengan khusyu’, menyiapkan bekal
ruhiyah untuk kehidupan dunia-akhirat.
9. Dzikir dan doa adalah ibadah yang sangat utama. Bahkan, ibadah yang paling utama
(yaitu: shalat) di dalamnya penuh dengan dzikir dan doa. Sedemikian pentingnya
dzikir dan doa sehingga sangat banyak ayat dan hadits yang menyitirnya. Dzikir akan
membentengi jiwa manusia dari godaan syetan, sehingga hidupnya senantiasa di jalan
yang lurus (shirathal mustaqim). Bila pun ia terjatuh dalam dosa tanpa disengaja, maka
segera teringat dan mudah kembali ke jalan yang benar.
10. Dzikir adalah mengagungkan Allah, mensucikan-Nya, memuji-Nya, mengucapkan
tahlil, dan menyanjung-Nya dengan segala pujian. Dzikir adalah aktifitas yang disertai
kesadaran, selain mengucapkan dengan lisan. Tidak disebut dzikir jika dilakukan
dengan lalai dan hanya bermain-main. Dzikir adalah benteng mental seorang muslim
dalam menghadapi segala sesuatu. Melakukan amal-amal yang diperintahkan Allah,
dengan niat taat kepada-Nya, juga termasuk dzikir.
11. Allah meminta kita untuk ber-tabattul, yaitu konsentrasi dan fokus dalam mengabdi
kepada-Nya. Tabattul bisa berarti ikhlas, yakni semata-mata mengharap balasan dari
Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun (syirik), baik syirik kecil
maupun besar. Makna lain tabattul adalah mencurahkan segenap waktu dan
perhatian untuk beribadah kepada Allah, baik secara khusus maupun umum, yakni
tidak menyibukkan diri dengan selain-Nya dan menomorsatukan Allah diatas
segalanya. Menurut pengertian ini, salah satu wujud tabattul adalah khusyu’, tunduk,
tenang, dan sungguh-sungguh dalam beribadah.
12. Allah adalah satu-satunya Tuhan Penguasa timur dan barat. Tidak ada yang berhak
disembah selain-Nya. Maka, hanya kepada-Nya jua kita layak bersandar,
menggantungkan harapan, serta mencari perlindungan. Pada dasarnya, kita adalah
makhluk yang lemah. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali atas izin-Nya jua.
49
Serahkan hasil akhir dari seluruh usaha yang telah ditempuh kepada-Nya. Inilah
tawakkal. Dengan bertawakkal kepada Allah, maka kita telah bersandar kepada
sandaran yang sangat kokoh tak tergoyahkan; Penjamin yang tidak pernah ingkar;
Pelindung yang pasti mampu menolak segala bahaya dan memenuhi semua
pengharapan.
13. Sudah menjadi sunnatullah, bahwa ketika seseorang berpegang kepada nilai-nilai
kebenaran, ia pasti dimusuhi, baik oleh syetan maupun sesama manusia yang telah
tersesat. Permusuhan itu bisa halus atau kasar, tersembunyi atau terang-terangan,
perseorangan atau berkelompok. Oleh karenanya, Allah memerintahkan bersabar.
Sabar artinya menahan diri, tidak terburu-buru, dan teguh memegang prinsip. Orang
yang sabar tidak mudah larut oleh keadaan, tidak cepat putus asa, dan memiliki
energi berlipat untuk menegakkan cita-citanya.
14. Pada dasarnya, seorang muslim yang baik akan hidup di tengah-tengah kaumnya,
bukan menyendiri. Dia berdakwah, menyebarkan pesan-pesan kebenaran,
memperbaiki masyarakat (ishlah), dan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
Memang tidak mudah, tetapi inilah jalan para Nabi dan orang-orang shalih sepanjang
zaman. Oleh karenanya pula Allah menyuruh kita selalu bersabar.
15. Bila dalam interaksi itu terdapat penentangan dan permusuhan, Allah menyuruh kita
untuk bersabar dan tidak mudah terpancing. Sudah menjadi tabiat syetan dan
pengikutnya untuk menciptakan huru-hara dan kekacauan, sehingga manusia lupa
kepada akal sehat dan mempeturutkan amarah yang dibakar oleh hawa nafsu,
kebencian, kesombongan, fanatisme, dsb. Bila situasinya sudah seperti ini, Allah
menyuruh seorang muslim untuk berhijrah. Ada dua bentuk hijrah, yakni fisik dan
mental. Hijrah fisik berarti menjauh dan memisahkan diri, seperti hijrahnya
Rasulullah dan para Sahabat dari Makkah ke Madinah. Hijrah mental artinya tidak
ikut berbuat zhalim, meninggalkan kemaksiatan, dan menjauhi larangan Allah.
16. Meski pun situasinya sangat menjengkelkan, Allah meminta kita untuk berhijrah
dengan cara yang sebaik-baiknya, tanpa menyakiti, dan tidak disertai tindakan-
tindakan yang memancing permusuhan lebih parah. Inilah yang disebut hajran
jamilan. Jika pun harus berdebat dan beradu argumen, maka berdebatlah sebaik
mungkin, perhatikan adab, landasi dengan semangat mencari kebenaran, dan bukan
untuk menjatuhkan orang lain atau sekedar menang-menangan.
17. Bersabarlah menghadapi segala komentar dan tuduhan orang kafir, atau orang Islam
tidak perduli kepada agamanya. Jangan buru-buru mengharap kehancuran dan
hukuman Allah dijatuhkan kepada mereka. Jangan pula tertipu oleh gemerlap
kemewahan dan kejayaan yang sekarang mereka nikmati. Sungguh rencana dan
pengaturan Allah sangatlah teguh. Dunia ini hanya sekejap, dan kenikmatannya pun
sedikit saja. Jika Allah telah menetapkan keputusan-Nya, maka tidak ada seorang pun
yang sanggup melawan atau mengelak.
18. Al-Qur’an menceritakan bahwa kebanyakan penentang Nabi dan Rasul berasal dari
lingkungan penguasa dan kaum kaya. Bagian ini secara tersirat sebenarnya
memperingatkan bahaya tersembunyi di balik kekuasaan dan kekayaan, yakni
penyakit sombong. Peringatan senada sebenarnya telah disitir dalam surah al-‘Alaq,
yaitu: ( ‫ أن ر ا‬.  ‫) آ إن ا ن‬. Hanya saja, bila diwarnai oleh iman dan
amal shalih, maka kekuasaan dan kekayaan bisa menjadi sarana ketaatan kepada
Allah yang sangat efektif. Akan tetapi penting diingat bahwa keduanya sangatlah
mempesona, sehingga kebanyakan manusia tertipu. Maka, berhati-hatilah; karena –

50
ketika disinergikan – yang harus menjadi inti adalah iman dan amal shalih, bukan
kekayaan dan kekuasaannya.

ANALISIS MUFRADAT
• al-muzzammil ( ‫) ا‬: Secara bahasa, makna dasar zamala ada dua, yaitu
mengangkat suatu beban berat, dan suara (desis). Maka, unta yang dipergunakan
untuk mengangkat beban atau perbekalan disebut zamilah ( ‫) زا‬. Anggota keluarga
yang banyak dan sangat berat tanggungan hidupnya disebut ‘iyal azmalah ( ‫) ل أز‬,
seakan-akan seluruhnya merupakan beban yang tidak bisa menanggung dirinya
sendiri dan harus didukung orang lain. Dari sini, muncul pula istilah zummail ( ّ ‫) ز‬,
yaitu orang lemah yang tiap kali menghadapi persoalan berat dia menyelimuti dirinya
dengan beberapa lapis pakaian sehingga pakaiannya justru terlihat seperti beban yang
memberati dirinya sendiri. Seseorang yang membonceng di belakang kita (sehingga
memberati kendaraan), atau menemani dan membantu meringankan beban selama
bepergian disebut zamil ( ‫) ز‬. Di sisi lain, suara yang kacau dan bercampur aduk
disebut azmal ( ‫) أز‬.2
• tartilan (  ): Arti dasar tartil adalah sesuatu terpadu (ittisaq) dan tersistem
(intizham) secara konsisten (istiqamah), yakni melepaskan kata-kata dari mulut dengan
mudah dan konsisten. Titik tekannya ada pada pengucapan secara lisan, atau
pembacaan verbal dan bersuara. Dalam Bahasa Inggris, padanan tepatnya adalah to
recite (mengucapkan, melafalkan dengan lisan). Tepatnya, slow recitation, membaca
secara perlahan-lahan dengan bersuara.3
• qaulan tsaqilan (   ): Makna harfiahnya cukup jelas, namun para mufassir
berbeda pendapat tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan “perkataan yang
berat” disini. Menurut Ibnul Jauzi, ada enam penafsiran tentangnya, yaitu: (a) terasa
berat bagi Nabi  tatkala perkataan itu diwahyukan kepada beliau (menurut ‘Aisyah);
(b) berat mengamalkan kewajiban-kewajiban dan hukum-hukumnya (al-Hasan dan
Qatadah); (c) berat timbangannya di akhirat kelak (Ibnu Zaid); (d) berwibawa/disegani
(‘Abdul ‘Aziz bin Yahya al-Kinani); (e) bukan perkataan yang enteng dan remeh tak
bermakna, sebab ia adalah firman Allah (al-Farra’); (f) perkataan yang patut
dipertimbangkan kebenaran, kejelasan, dan manfaatnya (az-Zajjaj).4
• wadzkur ( ‫) واذآ‬: Makna asli dzikir adalah kebalikan dari lupa, memelihara sesuatu,
dan sesuatu yang biasa terucap oleh lisan. Dari sini, muncullah makna-makna
turunannya, seperti: tajam (besi), keras (rumput dan tetumbuhan), laki-laki, deras
(hujan), agung, mulia, membanggakan.5
• tabtilan (  ): Makna dasarnya adalah terpisah dan berbeda dari yang lain. Maryam
disebut batul ( ‫ ) ا! ل‬karena sendirian dan tidak bersuami; atau karena
mengkhususkan diri beribadah dan tidak menikah. Disini, yang dimaksud tabattul
adalah mengikhlaskan niat hanya untuk Allah, berkonsentrasi beribadah kepada-Nya,
mengkhususkan waktu dan pikiran untuk-Nya semata, tidak tercampuri dengan yang
lain.6

2
Mu’jam Maqayis al-Lughah III/25-26; Lisanul ‘Arab III/1863-1864.
3
Mu’jam Mufradat li Alfazhil Qur’an hal. 192; A Dictionary of Modern Written Arabic hal. 325.
4
Tafsir Zadul Masir, VIII/389-390.
5
Lisanul ‘Arab III/1507-1509; Mu’jam Maqayis al-Lughah II/358-359.
6
Mu’jam Mufradat li Alfazhil Qur’an hal. 33-34; Mu’jam Maqayis al-Lughah I/195-196.
51
• wakilan ( ‫) وآ‬: Pengertian asli dari wakala adalah bersandar dan mengandalkan
orang lain dalam suatu urusan. Tawakkal adalah mengakui kelemahan diri, bersandar
kepada yang lain, dan menjadikan orang lain sebagai pengganti untuk menyelesaikan
suatu urusan.7 Jadi, yang dimaksud “menjadikan Allah sebagai wakil” adalah
menyerahkan urusan supaya diselesaikan oleh Allah, menjadikan Dia sebagai
sandaran dan andalan, agar Dia menjadi “pengganti” dan “wakil” kita di dalamnya,
karena kita mengakui ketidakmampuan kita untuk menanganinya sendiri.
• washbir ( ‫) وا‬: Ada tiga makna dasar dari shabr, yaitu menahan, bagian tertinggi
dari sesuatu, dan salah satu jenis bebatuan. Maka, batu yang sangat keras dan kokoh
disebut dengan shubrah ( ‫ة‬#!$‫) ا‬. Sabar adalah menahan diri berdasarkan apa yang
dituntut oleh akal dan syariat, atau menahan diri dari apa-apa yang dituntut oleh
keduanya untuk ditahan. Dalam bahasa Arab, istilah sabar bisa memiliki banyak
makna, tergantung konteksnya, seperti: tenang menghadapi musibah, berani di
medan perang, lapang dada menghadapi persoalan yang menjenuhkan, dan diam
tidak mau bicara.8
• hajran jamilan (  ‫) ه ا‬: Kata hajara adalah lawan dari washala (menyambungkan
hubungan), semakna dengan sharama (memutuskan), taraka (meninggalkan), a’radha
(melengos), dan aghfala (melupakan). Jika seseorang berhijrah, berarti dia menjauh
serta menyingkirkan diri. Menurut al-Laits, hajr berasal dari hijran, yakni
meninggalkan apa yang mestinya diteguhi. Menurut Ibnul Jauzi, hajran jamilan artinya
menjauhi dan meninggalkan dengan tanpa disertai rasa cemas dan khawatir.9
• mahhilhum (  ): Kata mahala mempunyai dua makna dasar, yaitu tenang/pelan,
dan cair. Maka, tembaga cair dan minyak yang mengental disebut juga muhl (%&‫)ا‬.
Firman Allah disini berarti perintah untuk tidak buru-buru berharap melihat
kehancuran musuh, tetapi tunggulah sebentar sampai tiba waktunya sesuai yang
dikehendaki Allah.10

TAFSIR DAN URAIAN TERPERINCI


1. Tafsir Ibnu Katsir
Allah menyuruh Rasul-Nya  agar tidak lagi berselimut dan segera bangkit berdiri
untuk menghadap Tuhannya, sebagaimana firman-Nya: “Lambung mereka jauh dari
tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan
harap, serta mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan.” (Qs. As-Sajdah:
16). Demikianlah Rasulullah  mematuhi apa yang diperintahkan oleh Allah, yakni
mengerjakan qiyamul lail. Hal itu merupakan sesuatu yang diwajibkan atas diri beliau,
sebagaimana firman-Nya: “Dan pada sebagian malam hari, kerjakanlah shalat tahajjud
sebagai suatu ibadah tambahan bagimu. Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke
tempat yang terpuji.” (Qs. Al-Isra': 79). Maka, disini – yakni: surah al-Muzzammil –
Allah menjelaskan kadar qiyamul lail yang harus beliau kerjakan: ( '‫ ا&* )( ا إ‬%+,+
) ).

7
Mu’jam Mufradat li Alfazhil Qur’an hal. 569; Mu’jam Maqayis al-Lughah VI/136.
8
Mu’jam Maqayis al-Lughah III/329-330; Mu’jam Mufradat li Alfazhil Qur’an hal. 281.
9
Lisanul ‘Arab, VI/4616-4621; Zadul Masir VIII/392.
10
Mu’jam Maqayis al-Lughah V/282; Mu’jam Mufradat li Alfazhil Qur’an hal. 497.
52
Firman-Nya: ( ) - ./ ‫ أو ا‬-1$ ), maksudnya: Kami menyuruhmu untuk
mengerjakan qiyamul lail pada separuh malam, dengan dilebihi sedikit atau dikurangi
sedikit, tidak masalah dalam hal ini.
Firman-Nya: ( 2#2 ‫ن‬#/‫ ا‬2‫) ور‬, maksudnya: bacalah Al-Qur’an dengan perlahan-
lahan, sebab cara membaca seperti itu akan sangat membantu dalam memahami dan
mentadabburi Al-Qur’an. Demikian pulalah cara Rasulullah  dalam membacanya.
‘Aisyah berkata, “Beliau pernah membaca sebuah surah dan membacanya secara
tartil, sehingga surah itu menjadi lebih panjang dibanding surah yang paling panjang
dari Al-Qur’an.” Diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari, dari Anas: bahwa ia ditanya
tentang bacaan Al-Qur’an Rasulullah , maka ia menjawab, “Bacaan beliau panjang.”
Lalu, Anas membaca bismillahirrahmanirrahim, dia memanjangkan bismillah,
memanjangkan ar-rahman, dan memanjangkan pula ar-rahim.
Pada awal kitab tafsir ini kami telah mengutip hadits-hadits yang menunjukkan
anjuran untuk membaca Al-Qur’an secara tartil dan dengan suara yang sebagus
mungkin.
Firman-Nya: ( /3 ' ) 4 5/  ‫) إ‬, menurut al-Hasan dan Qatadah: berat
pengamalannya. Ada yang mengatakan: berat pada saat ia diturunkan, karena
sedemikian hebatnya.
Ibnu Jarir (ath-Thabari) memilih (makna) berat dari dua sisi sekaligus, seperti yang
dikatakan oleh ‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, “Sebagaimana ia berat ketika di
dunia, maka ia pun berat diatas timbangan (mizan) kelak di akhirat.”
Firman-Nya: ( :6‫ و‬78‫ أ‬5‫ ا ه‬:8 ‫ ) إن‬yang dimaksud dengan nasyi’atu al-lail adalah
waktu-waktu dan saat-saat malam hari, setiap saat darinya disebut dengan nasyi’ah,
yakni waktu-waktu. Maksud dari kalimat tersebut adalah: qiyamul lail itu lebih mampu
menyelaraskan hati dengan lisan, dan lebih bisa berkonsentrasi dalam membaca (Al-
Qur’an).
Oleh karenanya Allah berfirman: ( ) ‫) وأ) م‬, maksudnya: lebih bisa
mengkonsentrasikan pikiran dalam membaca dan memahami bila dibandingkan
dengan shalat di siang hari, sebab siang itu merupakan saat dimana banyak orang
bertebaran, suara-suara yang ribut, dan saat untuk mencari penghidupan.
Oleh karenanya Allah berfirman: ( + 6 <! ‫ر‬%‫ = ا‬4 ‫) إن‬. Menurut Ibnu ‘Abbas,
‘Ikrimah, dan ‘Atha bin Abi Muslim, (sabhan thawilan artinya): waktu longgar dan
tidur. Menurut Abul ‘Aliyah, Mujahid, Ibnu Malik, adh-Dhahhak, al-Hasan, Qatadah,
ar-Rabi’ bin Anas, dan Sufyan ats-Tsauri: waktu luang yang panjang. Menurut
Qatadah: kelonggaran, bekerja mencari (penghidupan), dan beraktifitas. Menurut as-
Suddi: melakukan ibadah tathawwu’ yang banyak. Menurut Abdurrahman bin Zaid
bin Aslam: (kesibukan yang panjang) untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhanmu,
maka curahkan waktu malam untuk agamamu.
Ibnu ‘Abbas berkata, “Pada saat diturunkannya permulaan surah al-Muzzamil, mereka
melakukan qiyamul lail seperti pada bulan Ramadhan. Antara (penurunan) permulaan
dan akhir surah itu hampir satu tahun.”
Abu ‘Abdirrahman berkata, “Tatkala turun ya ayyuhal muzzammil, mereka
melaksanakan qiyamul lail selama setahun sampai-sampai telapak kaki dan betis
mereka bengkak, sebelum akhirnya diturunkan faqra’uu ma tayassara minhu (ayat ke-
20). Maka, orang-orang pun bisa beristirahat.” Pernyataan senada dikemukakan pula

53
oleh al-Hasan. Tetapi, menurut ‘Aisyah: selama 16 bulan. Menurut Qatadah: setahun
atau dua tahun. Menurut Sa’id bin Jubair: selama 10 tahun.
Firman-Nya: ( !2 -‫! إ‬2‫ و‬4>‫ ا( ر‬#‫) واذآ‬, maksudnya: perbanyaklah menyebut nama-
Nya, berfokuslah kepada-Nya, curahkan (waktu dan pikiran) untuk beribadah kepada-
Nya ketika engkau telah rampung dari kesibukan-kesibukanmu, telah selesai dari
keperluan-keperluan duniawimu, seperti firman-Nya: “Maka apabila kamu telah selesai
(dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.” (Qs. Alam
Nasyrah: 7), yakni: jika engkau telah selesai dari kepentingan-kepentinganmu, maka
berkonsentrasilah untuk taat dan beribadah kepada-Nya, agar pikiranmu lapang dan
terfokus.
Menurut Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Abu Shalih, ‘Athiyyah, adh-Dhahhak, dan as-Suddi,
yang dimaksud ber-tabattul kepada Allah adalah mengikhlaskan ibadah hanya untuk-
Nya. Menurut al-Hasan, “Bersungguh-sungguhlah dan fokuskan dirimu hanya kepada-
Nya.”
Firman-Nya: ( ‫@ وآ‬A2= ‫ إ' ه‬-‫ب ' إ‬#&‫ق وا‬#D&‫) رب ا‬, maksudnya: Dialah Raja yang
berkuasa mengendalikan timur dan barat, tidak ada Tuhan yang berhak disembah
selain-Nya. Dan, sebagaimana engkau menjadikan Allah sebagai satu-satunya yang
disembah, maka jadikan pula Dia sebagai satu-satunya tempat bertawakkal
(bersandar/berlindung): “maka ambillah Dia sebagai Pelindung”, sebagaimana firman-
Nya: “Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi. Kepada-Nyalah
dikembalikan urusan-urusan semuanya. Maka, sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-
Nya…” (Qs. Hud: 123). Juga firman-Nya yang lain: “Hanya Engkaulah yang Kami
sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.” (Qs. al-Fatihah: 5). Ada
banyak ayat lain yang senada, dimana isinya memerintahkan untuk menjadikan
ibadah dan ketaatan hanya untuk Allah, serta mengkhususkan tawakkal hanya
kepada-Nya.
Setelah menyitir ayat 10-18, beliau melanjutkan:
Allah berfirman seraya menyuruh Rasul-Nya untuk bersabar menghadapi segala yang
dikatakan oleh orang-orang yang tidak mempercayai beliau, yakni orang-orang bodoh
diantara kaumnya. Hendaknya beliau menjauhi mereka dengan baik, yakni tanpa
disertai cercaan kepada mereka. Allah kemudian berfirman kepada beliau, seraya
mengancam dan menakut-takuti kaumnya yang kafir – dan, Dialah Allah yang Maha
Agung, dimana tidak ada sesuatu pun yang sanggup melawan murka-Nya.
( &E‫ أو ا‬F>@G&‫ وا‬5 ‫) وذر‬, maksudnya: biarkan Aku yang menindak orang-orang yang
tidak percaya, yang hidupnya mewah lagi banyak memiliki harta itu. Sebab,
sebenarnya mereka memiliki kemampuan untuk menaati (seruan ini) melebihi siapa
pun selain mereka, dan mereka dituntut untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban
yang tidak dimiliki orang lain. ( ) (%%‫) و‬, maksudnya: tidak lama lagi….

2. Tafsir Ath-Thabari
Yang dimaksud oleh Allah dengan: ( *&‫ ا‬%+,+ ), adalah menyelimuti diri dengan
kain, dan yang dituju dengan ungkapan ini adalah Nabi . Para ulama’ tafsir berbeda
pendapat perihal “berselimut” yang disifatkan oleh Allah kepada Nabi-Nya dalam ayat
ini. Sebagian dari mereka (yakni: Qatadah) mengatakan: Allah menyifati beliau
sedang menyelimuti diri dengan pakaian, bersiap-siap untuk mengerjakan shalat.
Yang lain (yakni: ‘Ikrimah) mengatakan: Allah menyifati beliau sebagai orang yang
54
berselimut kenabian dan risalah. Abu Ja’far (yakni: ath-Thabari) berkata, “Penakwilan
yang paling tepat diantara dua penakwilan tersebut adalah pendapat Qatadah, sebab
Allah melanjutkannya dengan: “Bangunlah (untuk shalat) di malam hari”, sehingga
menjadi penjelas bahwa yang dimaksud dengan berselimut dengan pakaian itu adalah
bersiap-siap untuk mengerjakan shalat. Ini pulalah makna yang paling tampak
darinya.
Firman-Nya: ( ) '‫) )( ا إ‬, Allah berfirman kepada Nabi-Nya: bangunglah engkau,
hai Muhammad, pada seluruh malam, kecuali sebagian kecil darinya. ( -1$ ), Allah
berfirman: bangunlah pada separuh malam. ( - ‫ أو زد‬. ) - ./ ‫) أو ا‬, Allah
berfirman: atau tambahilah kepada yang setengah itu. Allah memberi pilihan kepada
beliau diantara batasan ini, ketika Allah mewajibkan qiyamul lail. Mana saja yang
beliau mau, boleh beliau lakukan. Menurut cerita, Rasulullah  dan para Sahabatnya
melakukan qiyamul lail serupa dengan apa yang mereka lakukan di bulan Ramadhan,
sebelum akhirnya hal itu diringankan dari mereka.
Firman-Nya: ( 2#2 ‫ن‬#/‫ ا‬2‫) ور‬, yakni jika engkau membaca Al-Qur’an, maka
perjelaslah bacaannya dengan sejelas-jelasnya, dan bacalah bagian demi bagian secara
urut dan pelan-pelan.
Para ulama’ tafsir berbeda pendapat perihal penakwilan kalimat: ( /3 ' ) 4 5/  ‫أ‬
). Sebagian dari mereka mengatakan: yang dimaksudkan oleh Allah adalah: “Kami
akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat untuk diamalkan.” Yang lain
mengatakan: “(Bukan begitu), tetapi yang dimaksud oleh Allah adalah: perkataan itu
sendiri memang berat untuk dipikul.”
Pendapat yang paling tepat dalam masalah ini adalah: bahwa Allah menyifatinya
sebagai perkataan yang berat, maka sebagaimana yang Dia sifatkan itu, perkataan
tersebut berat untuk dipikul dan berat pula untuk diamalkan batasan-batasan serta
kewajiban-kewajibannya.
Firman-Nya: ( :6‫ و‬78‫ أ‬5‫ ا ه‬:8  ‫) إ‬, yang dimaksud oleh Allah dengan inna
nasyi’atal laili adalah: “sesungguhnya waktu-waktu malam itu.” Semua waktu di malam
hari bisa disebut dengan nasyi’ah. Para ulama’ tafsir sendiri berbeda pendapat dalam
masalah ini. (Sebagian menyatakan bahwa yang dimaksud nasyi’ah adalah seluruh
waktu malam). Yang lain mengatakan: (bukan begitu), tetapi nasyi’ah adalah waktu
sesudah isya’, adapun sebelum isya’ maka tidak disebut nasyi’ah.
Firman-Nya: ( :6‫ و‬78‫ أ‬5‫) ه‬, para ulama’ ahli bacaan Al-Qur’an (qurra’) berbeda-beda
dalam membacanya. Sebagian besar qurra’ Makkah, Madinah, dan Kufah
membacanya asyaddu wath’an ( :6‫ و‬78‫) أ‬, dengan di-fathah wawu-nya dan di-sukun tha’-
nya. Sebagian qurra’ Bashrah, Makkah, dan Syam membacanya witha’an ( ‫ء‬6‫) و‬,
dengan di-kasrah wawu-nya dan dipanjangkan alif-nya, berdasar anggapan bahwa ia
adalah mashdar. Menurut kami, pendapat yang paling tepat adalah: keduanya
merupakan qira’at yang sama-sama dikenal dan shahih maknanya. Maka, mana pun
yang dibaca oleh seseorang, dia benar.
Yang dimaksud Allah dengan firman-Nya: ( ‫ ) أ) م‬adalah: bangun di waktu malam
(untuk mengerjakan shalat) itu lebih mantap dan berkesan di hati dibanding di siang
hari. Hal itu dikarenakan amalan di malam hari itu lebih mantap dibanding di siang
hari. Sebagian ahli tafsir yang memilih bacaan dengan mem-fathah wawu dan men-
sukun tha’ juga berpendapat seperti ini, walaupun pernyataan mereka berbeda-beda
bunyinya. Menurut Qatadah: lebih mantap dalam kebaikan, dan lebih kuat dalam

55
hafalan. Menurut Ibnu ‘Abbas: mengerjakan shalat pada awal malam itu lebih kokoh
untuk memastikan terlaksananya qiyamul lail yang diwajibkan Allah kepada kalian.
Hal itu dikarenakan bila seseorang telah tidur maka dia tidak tahu kapan bisa
bangun. Menurut Ibnu Zaid: sesungguhnya orang yang mengerjakan shalat di malam
hari akan lebih tepat, yakni lebih thuma’ninah, hatinya lebih bisa berkonsentrasi,
karena di tengah-tengahnya tidak diganggu oleh keperluan-keperluan maupun yang
lainnya. Adh-Dhahhak berkata: membaca Al-Qur’an di waktu malam itu lebih
mantap dibanding siang hari, dan lebih tepat di waktu itu dibanding siang hari.
Adapun mereka yang membaca dengan witha’an, yakni dengan di-kasrah wawu-nya dan
dipanjangkan alif-nya, saya akan sebutkan apa yang mereka maksudkan dengan
bacaan tersebut. Menurut Mujahid: (pada saat itu) engkau bisa menyelaraskan
diantara hati, pendengaran, dan penglihatanmu. Menurut Mujahid (dalam riwayat
lain): lebih tepat perkataannya, dan lebih lapang hatinya. Menurut Ibnu Abi Najih:
lebih mantap dimana pendengaranmu lebih selaras denganmu, demikian pula
penglihatanmu.
Firman-Nya: ( ) ‫) وأ) م‬, yakni: lebih tepat bacaannya. Anas bin Malik membaca
ashwabu qiilan ( ) ‫ ب‬J‫) أ‬, padahal umumnya dibaca aqwamu qiilan. Ketika
ditanyakan, beliau menjawab, “Makna aqwam ( ‫) أ) م‬, ashwab ( ‫ ب‬J‫) أ‬, dan ahya’ ( K‫) أه‬
itu sama.” Menurut Ibnu ‘Abbas, maknanya: lebih dekat bagi kalian untuk bisa
memahami Al-Qur’an. Menurut Qatadah: lebih terpelihara bacaannya. Menurut Ibnu
Zaid: lebih lurus bacaannya karena terbebasnya hati dari urusan duniawi.
Firman-Nya: ( + 6 <! ‫ر‬%‫ = ا‬4 ‫) إن‬, Allah berfirman kepada Nabi-Nya:
sesungguhnya bagimu, hai Muhammad, ada waktu longgar yang panjang di siang hari
yang cukup bagimu, dan engkau bisa beraktifitas di dalamnya. Para ahli tafsir juga
mengungkapkan penakwilan yang serupa dengan pernyataan kami (yakni Ibnu
‘Abbas, Mujahid, Qatadah, Ibnu Zaid).
Yang dimaksud Allah dengan firman-Nya: ( + 6 <! ‫ر‬%‫ = ا‬4 ‫) إن‬, adalah:
sesungguhnya di siang hari engkau mempunyai kelonggaran waktu untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan pribadimu maupun kaummu.
Allah berfirman: ( #‫) واذآ‬, wahai Muhammad, ( 4>‫) ا( ر‬, yakni serulah Dia dengan
nama-Nya itu, ( !2 -‫! إ‬2‫) و‬, maksudnya: berkonsentrasilah kepada-Nya
sebagaimana engkau berkonsentrasi terhadap kebutuhan-kebutuhan dan ibadahmu;
abaikanlah semua hal selain-Nya. Para ahli tafsir lainnya juga berpendapat serupa
dengan kami. Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Abu Yahya al-Makki, dan adh-Dhahhak berkata:
ikhlaskanlah (ibadah) untuk-Nya semaksimal mungkin. Mujahid berkata: murnikan
permohonan dan doa hanya kepada-Nya. Al-Hasan berkata: fokuskan dirimu dan
bersungguh-sungguhlah. Qatadah berkata: murnikan ibadah dan seruan hanya untuk-
Nya. Ibnu Zaid berkata: konsentrasikan diri untuk beribadah kepada-Nya. ( -‫! إ‬2‫و‬
!2 ), betapa pantasnya bertekun diri (beribadah) kepada Allah. Beliau juga membaca
ayat: “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-
sungguh (urusan) yang lain,” maksudnya: jika engkau telah selesai dari berjihad, maka
bersungguh-sungguhlah dalam beribadah kepada Allah; “dan hanya kepada
Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.” (Qs. Alam Nasyrah: 7-8).
Firman-Nya: ( ‫ب‬#&‫ق وا‬#D&‫) رب ا‬. Makna perkataan ini: Tuhan timur dan barat, serta
seluruh dunia diantara keduanya.
Firman-Nya: ( ‫ إ' ه‬-‫) ' إ‬. Allah berfirman: tidak ada Tuhan yang layak disembah
selain Allah, yaitu Tuhan timur dan barat.
56
Firman-Nya: ( ‫@ وآ‬A2= ), jadikan Dia pelindungmu dalam hal-hal yang Dia
perintahkan kepadamu, dan serahkan kepada-Nya semua sebab/usaha (yang telah
engkau tempuh).
Firman-Nya: ( &L ‫ا‬#M‫ه( ه‬#M‫  ن واه‬/+   #!J‫) وا‬. Allah berfirman kepada Nabi-
Nya, Muhammad  : bersabarlah, hai Muhammad, atas apa yang dikatakan orang-
orang yang musyrik diantara kaummu kepadamu. Bersabarlah pula terhadap
gangguan mereka, dan jauhi mereka dengan cara yang baik. Yang dimaksud menjauhi
dengan cara yang baik adalah menjauhi semata-mata karena Dzat Allah, sebagaimana
firman-Nya: “Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami,
maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Jika
syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama
orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).” (Qs. al-An'am: 68). Ada
yang mengatakan, bahwa ayat ini di-nasakh (yakni, oleh surah at-Taubah [menurut
pendapat Qatadah]).
Yang dimaksud oleh Allah dengan firman-Nya: ( F>@G&‫ وا‬5 ‫) وذر‬, yakni: biarkan Aku,
hai Muhammad, (yang menindak) orang-orang yang mendustakan ayat-ayat-Ku itu; (
&E‫ ) أو ا‬maksudnya: orang-orang yang memiliki kemewahan hidup duniawi; ( (%%‫و‬
) ), Allah berfirman: dan tundalah sebentar azab yang akan Aku gelar untuk
mereka, sampai tibanya waktu yang telah ditentukan. Disebutkan (dalam suatu
riwayat) bahwa tempo diantara turunnya ayat ini dengan Perang Badar hanya sebentar
sekali (yakni, menurut ‘Aisyah). Qatadah berkata tentang ayat ini: sesungguhnya Allah
punya tuntutan dan “keperluan” terhadap mereka.

3. Tafsir Al-Biqa’iy
Maksud surah ini adalah memberitahukan bahwasanya amal-amal terbaik itu bisa
mengusir kekhawatiran dan ketakutan, meringankan beban-beban yang berat;
terlebih-lebih lagi (amal berupa) berdiri di hadapan Raja yang Maha Tinggi dan
berkonsentrasi untuk berkhidmat kepada-Nya di kegelapan malam. Sungguh, Dialah
sebaik-baik Tuhan yang menerima amal perbuatan dan perkataan, penghapus bayang-
bayang kesesatan, penolong terhebat dalam bersabar dan memikul beban,
dikarenakan aneka kekeruhan yang menghinggapi diri di negeri yang tidak abadi,
pasti dilepas, dan bakal ditinggalkan ini (yakni: dunia).
( *&‫ ا‬%+,+ ), wahai orang yang berselimut, yakni orang yang menyembunyikan
kepribadiannya dan menutup-nutupi urusan dirinya serta apa yang Kami perintahkan
kepadanya. Menurut Ibnu ‘Atha: wahai orang yang menyembunyikan tanda-tanda
keistimewaan yang telah ditampakkan, sekaranglah saatnya untuk menyingkapkannya.
Menurut ‘Ikrimah: wahai orang yang memikul urusan ini. Menurut as-Suddi: wahai
orang yang tidur. Menurut ulama’ lain: ini terjadi pada awal-awal turunnya wahyu
kenabian kepada beliau, sedangkan al-Muddatsir adalah permulaan wahyu kerasulan;
kemudian – setelah itu – beliau dipanggil dengan an-nabiy dan ar-rasul.11
( () ), bangkitlah, yakni untuk berkhidmat kepada Kami, dengan memikul beban-beban
kenabian, menanggung beratnya bersungguh-sungguh di dalamnya, dan tinggalkan
berselimut sebab ia menghalangi kebangkitan.
Karena bersungguh-sungguh dalam berkhidmat menunjukkan puncak rasa cinta,
sedangkan niat itu lebih baik dibanding amal, dan manusia sendiri memiliki sifat

11
Maksudnya: tidak lagi dipanggil dengan al-muzzammil dan al-muddatsir.
57
bawaan berupa lemah, dan Allah sangat menyayangi umat ini, maka sebagai bentuk
penghormatan kepada pemimpin mereka, Dia sudah ridha bila kita memiliki
keseriusan untuk mengarah kepada suatu amal dan Dia menjadikan pahalanya lebih
banyak dibanding amal kita. Maka, Allah menjadikan menghidupkan sebagian malam
sama seperti menghidupkan keseluruhannya. Disinilah Allah menyebut seluruh malam
padahal yang dimaksud adalah sebagian darinya. Maka, Dia berfirman: ( ‫) ا‬, pada
seluruh malam, yakni pada saat-saat untuk menyendiri, bersembunyi, dan menutup
diri. Maka, shalatlah untuk Kami pada setiap malam seperti ini; berdirilah di hadapan
Kami dengan bermunajat dan berakrab-akrab dengan firman Kami yang telah Kami
turunkan kepadamu. Sebab, Kami ingin menonjolkanmu dan mengangkat
kedudukanmu di daratan dan lautan, dalam keadaan tersembunyi maupun terang-
terangan. Makna qiyamul lail secara syar’i adalah mengerjakan shalat. Oleh karenanya
pula Allah tidak memberi keterangan khusus disini. Shalat sendiri merupakan
perpaduan dari amalan lahir dan batin, dan dia merupakan pilarnya. Maka, menyebut
shalat disini sudah menunjukkan kepada (amal-amal) yang lainnya.
Karena tubuh punya hak untuk beristirahat, maka Allah berfirman seraya
mengecualikan sebagian dari malam: ( ) '‫) إ‬, kecuali sedikit darinya, yakni: pada
setiap malamnya.
Panggilan ini diserukan kepada beliau karena setelah didatangi wahyu di gua Hira’
beliau pulang menemui istrinya, Khadijah, dengan pikiran terguncang. Beliau
berkata, “Selimuti aku! Selimuti aku! Sungguh aku sangat mengkhawatirkan diriku
sendiri.” Maka, Khadijah pun bertanya tentang keadaan beliau. Setelah beliau
menceritakannya, beliau berkata, “Aku mengkhawatirkan diriku sendiri.” Maksudnya,
beliau khawatir jika peristiwa itu merupakan awal mula syair atau perdukunan,
padahal keduanya bersumber dari syetan. Beliau khawatir jika yang menampakkan
diri kepada beliau dengan membawa wahyu itu bukanlah sosok malaikat, padahal
beliau sangat-amat membenci syair dan perdukunan.
Maka, berkatalah Khadijah kepada beliau – dan dia adalah pendamping yang sangat
jujur – “Sekali-kali tidak, demi Allah! Dia tidak akan menghinakanmu untuk
selamanya. Sungguh engkau selalu menyambung silaturrahim, menjamu tamu,
memikul beban (orang yang lemah), dan memberi bantuan ketika datang masa-masa
sulit” – dan seterusnya, dengan kalimat-kalimat yang meneguhkan beliau. Faidah
berselimut adalah: seorang pemberani yang paling berani sekali pun, tatkala dihadang
persoalan yang berada diatas kemampuannya, lalu urusannya menjadi kacau-balau,
dia pasti kembali kepada dirinya sendiri; pada saat mata hati dan nuraninya tidak bisa
melampaui apa yang tertangkap oleh indranya. Dengan berselimut itu seluruh potensi
dirinya menyatu kembali, maka menjadi kokohlah sifat-sifat pembawaannya yang baik
dalam menghadapi rintangan-rintangan ilusif (‘awaridh takhyiliyah) itu, sehingga dia
pun bisa mengalahkannya. Lalu, ia kembali kepada sifat pembawaannya yang luhur,
dan lenyaplah segala gangguan fisik yang dirasakannya.
[Kemudian] Allah membelokkan pembicaraan dengan menyuruh beliau mengerjakan
tugas-tugas ibadah yang menjadi kewajibannya, juga dzikir-dzikir malam maupun
siangnya. Allah membuka pembicaraannya dengan sapaan paling indah dan
ungkapan paling lembut, ( *&‫ ا‬%+,+ ), wahai orang yang berselimut. Ini merupakan
penghiburan bagi beliau, sebagaimana dinyatakan dalam ayat: “Maka apakah orang
yang dijadikan (setan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan
itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh setan)? Sesungguhnya Allah menyesatkan
siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Maka, janganlah
58
dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa
yang mereka perbuat.” (Qs. Fathir: 8); karena beliau sangat terpukul oleh
pembangkangan yang diperbuat oleh orang-orang yang suka membangkang lagi keras
kepala itu. Allah juga melanjutkannya – dengan ungkapan lain yang menguatkan dan
mendukung tujuan ini – yaitu firman-Nya, maka bersabarlah dengan kesabaran yang baik,
() (%%‫& و‬E‫ أو ا‬F>@G&‫ وا‬5 ‫ وذر‬. &L ‫ا‬#M‫ه( ه‬#M‫  ن واه‬/+   #!J‫) ا‬. Ini adalah
pesan yang sama yang muncul dalam ayat: “Maka, janganlah dirimu binasa karena
kesedihan terhadap mereka”, juga dalam firman-Nya yang lain: “Kami lebih mengetahui
tentang apa yang mereka katakan, dan kamu sekali-kali bukanlah seorang pemaksa terhadap
mereka. Maka beri peringatanlah dengan Al-Qur’an orang yang takut dengan ancaman-Ku.”
(Qs. Qaaf: 45).
Kemudian, Allah berfirman: ( &<L‫' و‬G ‫ أ‬+7 ‫) إن‬, karena sesungguhnya pada sisi Kami
ada belenggu-belenggu yang berat dan neraka yang menyala-nyala (ayat 12). Disini Allah
menyebutkan siksaan yang telah dipersiapkan bagi mereka. Jika engkau merenungkan
ayat-ayat ini, engkau pasti mendapatinya sebagai pernyataan yang membenarkan
secara pasti apa yang telah kami kemukakan sebelumnya, dan menjadi jelas bagimu
keterkaitan diantara apa-apa yang telah disebutkan Allah di dalamnya.
Kemudian, kalimatnya kembali ke nada yang lemah-lembut menyapa Nabi dan para
Sahabatnya; melipatgandakan pahala bagi mereka, walau pun orang-orang yang benar-
benar mengagungkan Dzat yang berhak disembah itu terkadang kurang sempurna
dalam menunaikan kewajiban-kewajibannya: ( F # 2  ‫ؤا‬#)= (G ‫  =ب‬$<2 F ‫( أن‬
‫ن‬#/‫) ا‬, Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-
waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah
(bagimu) dari Al-Qur’an (ayat 20). Allah kemudian menutup surah ini dengan perintah
memohonkan ampunan atas segala yang telah disebutkan sebelumnya, seperti
pembangkangan orang-orang yang ingkar yang telah disebutkan dalam surah-surah
sebelumnya, dan ketidaksempurnaan orang-orang yang menyambut seruan-Nya dalam
melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka kepada-Nya, sebagaimana diisyaratkan
oleh firman Allah: “Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan
batas-batas waktu-waktu itu”.
Karena al-lail (malam) merupakan nama yang mencakup waktu diantara terbenamnya
matahari hingga terbitnya fajar, dan melakukan qiyamul lail pada seluruh waktu itu
sangatlah sulit dan berat, maka Allah menanggung beban yang dirasakan oleh orang-
orang merasa berat untuk melakukannya. Allah menjelaskan maksudnya dengan
berfirman: ( -1$ ), maksudnya: separuh malam. Maka, diketahuilah bahwa yang
dimaksudkan dengan sedikit yang dikecualikan dari seluruh malam itu adalah
setengahnya. Allah menyebutnya sedikit, yakni ketika dibandingkan dengan seluruh
waktu malam, juga ketika dibandingkan dengan setengahnya lagi dimana ia
dihidupkan dengan qiyamul lail. Sebab, waktu yang diisi dengan amal nilainya lebih
banyak dibanding yang kosong darinya. Bisa juga kata setengah itu merupakan
pengganti (badal) dari malam, sehingga seolah-olah dikatakan: bangunlah pada separuh
malam, kecuali sedikit darinya yaitu seperenam, atau kurangilah darinya sampai seperempat.
Ungkapan tsb dinyatakan seperti ini untuk menunjukkan bahwa siapa saja yang
melakukan qiyamul lail pada sepertiga malam, bahkan seperempat malam dan
seterusnya, sudah termasuk menghidupkan seluruh malamnya.
Karena semangat manusia itu berbeda-beda, tergantung pribadi maupun waktu, maka
Allah berfirman: ( - ./ ‫) أو ا‬, atau kurangilah darinya. Maksudnya: kurangilah dari
setengah waktu malam yang diperintahkan untuk diisi dengan qiyamul lail, atau dari
59
setengah yang dikecualikan sebagian kecil darinya itu – berdasarkan penafsiran kedua
– yakni: sepertiga, ( ) ), sedikit. Maka, pada yang sedikit ini engkau boleh tidak
melakukan qiyamul lail di dalamnya. Sehingga, seandainya saja engkau menghidupkan
sepertiga malammu – berdasarkan penafsiran pertama – atau seperempatnya –
berdasarkan penafsiran kedua – maka engkau sudah termasuk menghidupkan seluruh
malammu, dan berhak mendapat karunia Allah berupa pelipatgandaan pahala.
( - ‫) أو زد‬, atau tambahilah padanya, maksudnya: tambahilah sedikit atas yang
setengah itu, misalnya ditambahkan seperenam, sehingga engkau melakukan qiyamul
lail dalam duapertiga malam. Kadar mana pun darinya yang diisi dengan qiyamul lail,
maka sudah dapat disebut menghidupkan seluruh malam. Amalan ini tidak bisa
dilakukan kecuali sesudah tidur, yakni waktu dimana Allah memberkahinya dengan
ber-tajalli pada saat itu. Disebutkan dalam riwayat yang shahih bahwa Allah turun ke
langit dunia pada saat tersisa sepertiga malam; atau ketika tersisa separuh malam yang
akhir, menurut riwayat lain. Namun, Dzat-Nya tidaklah menyerupai apa pun, dan
turun-Nya tidaklah sama dengan turunnya selain-Nya. Ungkapan ini merupakan
kiasan dari dibukanya pintu langit, yakni kiasan dari waktu dikabulkannya doa. Pada
saat itu, Allah berfirman, “Adakah orang yang meminta, lalu Aku memberinya? Adakah
orang yang bertaubat, lalu Aku terima taubatnya?” Demikian seterusnya sampai terbit
fajar.
Pada zaman permulaan Islam, qiyamul lail ini diwajibkan dengan pilihan pelaksanaan
di antara tiga kadar waktu tsb di muka. Mereka pun merasa sangat berat
melaksanakannya. Nabi  mengerjakannya sampai subuh karena khawatir tidak
memenuhi kadar waktu yang diwajibkan. Demikian pula sebagian Sahabat. Hal ini
terasa sangat berat bagi mereka, sampai-sampai telapak kaki mereka membengkak
karenanya. Hal ini terjadi sebelum diwajibkannya shalat lima waktu. Lalu, setelah
berjalan satu tahun, akhir surah al-Muzzamil turun dengan membawa keringanan:
Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu
itu, dan seterusnya. Maka, qiyamul lail pun menjadi ibadah tathawwu’ setelah
sebelumnya diwajibkan.

4. Tafsir As-Sa’di
Al-muzzammil, artinya: orang yang menyelimuti diri dengan pakaiannya, sama dengan
al-muddatsir. Keadaan ini dirasakan oleh Rasulullah ketika Allah telah memuliakannya
dengan Risalah-Nya, dan memulai penurunan wahyu-Nya dengan mengirimkan
malaikat Jibril. Maka, beliau pun menyaksikan suatu perkara yang tidak ada duanya,
dan tidak seorang pun yang sanggup tegar menghadapinya selain para Rasul. Maka,
beliau pun diliputi kegoncangan pada awal-awal melihat Jibril. Beliau kemudian
mendatangi istrinya dan berkata, “Selimuti aku! Selimuti aku!” Beliau dalam keadaan
menggigil ketakutan, kemudian Jibril datang dan berkata, “Bacalah!” Beliau
menjawab, “Aku tidak bisa membaca.” Lalu, Jibril mendekap beliau sampai beliau
merasa sangat kepayahan, sementara Jibril terus meminta beliau untuk membaca.
Lalu, beliau pun membaca (dengan dituntun). Setelah itu Allah meneguhkan hati
beliau, dan wahyu pun turun secara berturut-turut sampai akhirnya beliau mencapai
tingkatan yang belum pernah diraih oleh seorang Rasul pun.
Subhanallah, betapa besarnya perbedaan antara permulaan kenabian beliau dengan
penghujungnya. Oleh karenanyalah Allah menyapa beliau dengan sifat yang beliau
rasakan dalam hatinya pada awal-awal kenabian tsb.

60
Disini Allah menyuruh beliau untuk mengerjakan ibadah-ibadah yang berkenaan
dengan urusan beliau, kemudian menyuruhnya agar bersabar menerima gangguan
dari musuh-musuhnya. Allah menyuruh beliau agar segera menampilkan misinya, dan
berterus-terang mengajak mereka kepada Allah. Maka, dalam surah ini, Allah
menyuruh beliau untuk mengerjakan ibadah yang paling mulia, yaitu shalat, yang
dikerjakan pada waktu yang paling kuat dan paling utama, yakni qiyamul lail.
Di antara bentuk kasih sayang Allah adalah: beliau tidak disuruh untuk mengerjakan
qiyamul lail sepanjang malam, akan tetapi Allah berfirman: ( ) '‫) )( ا إ‬, Bangunlah
(untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (darinya). Kemudian, Allah menentukan
kadarnya dengan berfirman: ( - ./ ‫ أو ا‬-1$ ), (Yaitu) setengahnya atau kurangilah dari
setengah itu, ( ) ), sedikit, sehingga menjadi sepertiga, dan semisalnya. ( - ‫) أو زد‬,
Atau tambahilah yang setengah itu, sehingga menjadi duapertiga, dan semisalnya.
( 2#2 ‫ن‬#/‫ ا‬2‫) ور‬, Dan bacalah Al-Qur’an dengan tartil, karena sesungguhnya tartil Al-
Qur’an itu akan menghasilkan tadabbur, tafakkur, menggerakkan hati, beribadah
kepada Allah dengan membaca ayat-ayat-Nya, serta bersiap dan bersiaga untuk
menyambutnya. Sebab, Allah berfirman: ( /3 ' ) 4 5/  ‫) إ‬, yakni: Kami akan
mewahyukan kepadamu Al-Qur’an yang berat ini, yaitu: yang hebat makna-maknanya
dan agung sifat-sifatnya. Sesuatu yang memiliki sifat seperti ini, jelas sangat pantas
untuk dipersiapkan dan disongsong (kehadirannya), dibaca dengan tartil, serta
direnungkan isi kandungannya.
Kemudian, Allah menyitir hikmah di balik perintah qiyamul lail. Allah berfirman: ( ‫إن‬
‫ ا‬:8 ), yakni: mengerjakan shalat di waktu malam setelah tidur, ( ‫ وأ) م‬:6‫ و‬78‫ أ‬5‫ه‬
) ), lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan, yakni: lebih dekat
untuk memahami tujuan Al-Qur’an; hati dan lisan menjadi “satu frekuensi” dengan
Al-Qur’an; kesibukan-kesibukan lebih sedikit; apa yang dikatakannya bisa dipahami,
dan urusannya pun menjadi lurus. Ini berkebalikan dengan siang hari, sebab pada
saat itu hal-hal tersebut tidak bisa dicapai. Oleh karenanya Allah berfirman: ( = 4 ‫إن‬
+ 6 <! ‫ر‬%‫) ا‬, Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang
(banyak), yakni: berbolak-balik mengurusi kebutuhan dan penghidupan, yang pasti
menyibukkan hati dan tidak bisa membuatnya berkonsentrasi secara sempurna.
( 4>‫ ا( ر‬#‫) واذآ‬, Sebutlah nama Tuhanmu, yang mencakup seluruh macam dzikir; ( !2‫و‬
!2 -‫) إ‬, dan beribadatlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan, yakni: pusatkan
perhatian hanya kepada Allah, karena sesungguhnya berfokus hanya kepada Allah
dan kembali kepada-Nya pada dasarnya adalah memisahkan diri – dengan hati – dari
sesama makhluk, menghiasi diri dengan mencintai Allah, segala hal yang bisa
mengakrabkan diri kepada-Nya, dan mendekatkan kepada ridha-Nya.
( ‫ب‬#&‫ق وا‬#D&‫) رب ا‬, (Dia-lah) Tuhan masyriq dan maghrib. Nama ini mencakup semua
jenis masyriq (arah terbitnya matahari) dan maghrib (arah terbenamnya matahari).
Sebab, Allah adalah Tuhan seluruh masyriq dan maghrib, semua cahaya yang ada di
dalamnya, serta semua yang berguna baginya baik di alam atas maupun bawah. Dia
adalah Tuhan segala sesuatu, Penciptanya, dan Pengaturnya.
( ‫ إ' ه‬-‫) ' إ‬, yakni: tidak ada yang berhak disembah kecuali Dia yang Maha Tinggi,
yang layak dicintai dan diagungkan secara khusus, dimuliakan dan dihormati. Oleh
karenanya, Allah berfirman: ( ‫@ وآ‬A2= ), yakni: jadikan Dia sebagai Pemelihara dan
Pengatur untuk semua urusanmu.
Ketika Allah telah menyuruh beliau untuk mengerjakan shalat secara khusus, dan
berdzikir secara umum, dan itu akan menghasilkan karakter yang kokoh dalam diri
61
seorang hamba (yang membuatnya sanggup) memikul beban-beban berat dan
menggarap pekerjaan-pekerjaan berat, lalu Allah menyuruhnya untuk bersabar
menghadapi segala yang dikatakan para penentangnya, serta segala cacian mereka
kepada pribadi beliau maupun ajaran yang beliau bawa. Allah menyuruhnya agar
terus maju melaksanakan perintah Allah, tidak perduli siapa pun yang menghalangi,
tidak perduli siapa pun yang menolak. Allah menyuruh beliau agar meninggalkan
mereka dengan cara yang baik, yaitu meninggalkan dan menjauhi pada saat
kemaslahatan memang mengharuskannya; meninggalkan dengan tanpa menyakiti.
Maka, beliau diminta menjauhi dan berpaling dari mereka, juga pernyataan-
pernyataan mereka yang menyakitkan itu; dan menyuruh beliau agar mendebat
mereka dengan cara yang baik.
( F>@G&‫ وا‬5 ‫) وذر‬, yakni: tinggalkan Aku bersama mereka, kelak Aku sendiri yang akan
menghukum mereka. Meski pun Aku menunda hukuman untuk mereka, sebenarnya
Aku samasekali tidak pernah melepaskan mereka. Fiman-Nya: ( &E‫) أو ا‬,
maksudnya: para pemilik kemewahan dan kekayaan, yang bertindak melampaui batas
ketika Allah melapangkan rezeki-Nya atas mereka, dan melimpahi mereka dengan
karunia-Nya, sebagaimana firman-Nya: ( ‫ أن ر ا‬.  ‫) آ إن ا ن‬, Ketahuilah!
Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup
(Qs. al-‘Alaq: 6-7).

5. At-Tafsir Al-Hadits
Surah ini menyeru Nabi  agar bangun menegakkan qiyamul lail, men-tilawah Al-
Qur’an, dan mempersiapkan diri menyongsong wahyu, sebagai peneguh baginya
dalam menghadapi sikap penguasa dan kaum kaya yang mendustakannya, serta
memperkuatnya dalam “menyerang” mereka. Ada pula isyarat sekilas perihal sikap
Fir’aun terhadap risalah Musa , berikut hukuman yang Allah timpakan padanya
sebagai ancaman dan peringatan. Lalu, ada pemberian keringanan (takhfif) kepada
beliau, dari beratnya beban qiyamul lail dan bertahajjud. Ayat terakhir yang di
dalamnya terdapat takhfif adalah Madaniyah, dan disusulkan belakangan ke dalam
surah ini untuk menjaga keselarasan dengan bagian awalnya. Penempatan surah ini di
urutan ketiga dalam tartib nuzuli dilatari riwayat penurunan 9 (sembilan) ayat
permulaannya secara terpisah, sebagai kelompok ayat ketiga yang diturunkan. Akan
tetapi, riwayat ini – berikut penempatannya di urutan ketiga – perlu didiskusikan
kembali, sebagaimana akan dijelaskan nanti. “Panggilan” kepada Nabi  pada
pembukaan suatu surah sangat sering terulang, sehingga dapat disimpulkan bahwa
pola ini merupakan salah satu uslub (pola) susunan Al-Qur’an pada pembukaan
maupun inti surah-surahnya.
Setelah menyitir ayat 1-9 dan menjelaskan sebagian kosakata sulit di dalamnya,
beliau melanjutkan:
Surah ini memerintahkan Nabi  agar secara khusus mengalokasikan sebagian besar
waktu malamnya untuk bertahajjud, khusyu’ beribadah, dan men-tilawah Al-Qur’an.
Sebab, di waktu itu kelapangan hati, kejernihan jiwa dan pikiran, serta ketepatan
dalam pembicaraan jauh lebih banyak terjadi dibanding di siang hari, dikarenakan
banyaknya kesibukan di waktu siang itu. Surah ini pun memerintahkan beliau untuk
bersiap menyongsong tugas-tugas besar dan beban-beban berat yang akan dipikulkan
kepadanya. Ia juga memerintahkan beliau agar menjadikan Allah sebagai satu-satunya

62
sandaran dan andalan, sebab Dia-lah Dzat yang tidak ada Tuhan yang berhak
disembah selain-Nya, Tuhan pemilik timur dan barat.
Ada riwayat yang mengisahkan bahwa ayat-ayat ini merupakan bagian Al-Qur’an yang
paling awal diturunkan, dan ada juga yang menuturkan bahwa ia diturunkan ketika
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kembali dari Gua Hira’ sesudah turunnya wahyu
pertama, sementara hatinya diliputi kegoncangan luar biasa, sehingga beliau berkata
kepada keluarganya, “Selimuti aku! (zammiluuniy).” Akan tetapi, isi kandungan ayat-
ayat diatas justru memperkuat riwayat kedua, dan inilah pilihan jumhur mufassirin.
Riwayat ini mengungkap – dan, demikianlah faktanya – bahwa ayat-ayat diatas
diturunkan terpisah, sebab ayat-ayat berikutnya merekam aneka sikap dan peristiwa
yang tidak mungkin terjadi kecuali setelah diturunkannya sejumlah tertentu ayat-ayat
Al-Qur’an yang lain, dan sesudah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri cukup jauh
melangkahkan kakinya dalam berdakwah. Dengan demikian, penempatan surah ini
sebagai urutan ketiga dalam tartib nuzuli dilatarbelakangi oleh sebab-sebab diatas.
Namun, diantara ayat-ayat diatas dengan ayat-ayat berikutnya terdapat
kesinambungan, kesetimbangan qafiyah,12 peng-’athaf-an13 bagian berikutnya kepada
kelompok ayat-ayat pertama ini, juga isinya yang menceritakan sikap orang-orang yang
mendustakan dakwah, disertai peneguhan kepada Nabi , yang mungkin
mengindikasikan bahwa bagian awal ini tidak terpisah dari bagian selanjutnya.
Tampaknya, ayat-ayat ini berfungsi sebagai perintis jalan atau pengantar, yang berisi
peneguhan dan penyiapan. Jika benar demikian, maka status keawalan turunnya
surah ini – dan, sebagai konsekuensinya: posisi tata urutannya sebagai yang ketiga –
menjadi tidak benar.
Bagaimana pun juga, ayat-ayat ini termasuk kelompok yang diturunkan sangat dini
sekali. Dapat disimpulkan pula – dan, demikianlah keadaannya – bahwa isi
kandungannya yang berupa perintah menegakkan qiyamul lail, men-tartil Al-Qur’an,
dan ber-tabattul kepada Allah, mulanya dikhususkan untuk Nabi  – pada prioritas
pertama – sebagai penyiapan diri beliau memikul misi besar yang telah Allah
tentukan.
Sepertinya, kata ganti orang kedua tunggal yang dipergunakan disini merupakan salah
satu indikasi kuat yang mengarah kesana. Tentu saja, beliau telah melaksanakan
seluruh perintah ini dengan sebaik-baiknya, sebagaimana yang diceritakan secara
mutawatir oleh berbagai riwayat.
Pembaca yang kritis dan cermat akan menyaksikan dalam ayat-ayat ini – dan,
begitulah seharusnya – salah satu lembar kehidupan spiritual Nabi , biografi
ibadahnya, dan “tenggelamnya” beliau secara total untuk Allah dalam kesendirian
dan keheningan sebagian besar malam. Ia pasti dapat merasakan pengaruh aktifitas
ini terhadap kejernihan jiwa dan kekuatan spiritual beliau. Terlebih lagi, jika diingat
kembali seluruh rangkaian khalwat dan i’tikaf ruhiyah yang beliau praktikkan sebelum
diutus sebagai Nabi, sebagaimana diceritakan oleh al-Bukhari dari ‘Aisyah , yang
telah kami kutip selengkapnya dalam penafsiran surah al-’Alaq. Disana dinyatakan,
“Kemudian beliau suka ber-khalwat, dan beliau ber-khalwat di Gua Hira’, lalu

12
Qafiyah, yakni penutup setiap ayat, semacam rima atau sajak dalam puisi, sehingga bunyi akhir ayat-
ayatnya memiliki keserasian dan keindahan tertentu.
13
‘Athaf, yaitu menyambungkan dua rangkaian kalimat, atau antar bagian kalimat, dengan lainnya sehingga
membentuk satu kesatuan informasi, dengan menggunakan huruf-huruf tertentu yang disebut sebagai
huruf ‘athaf (kata sambung).
63
beribadah di dalamnya selama beberapa malam tertentu.” Sudah pasti, tanpa
diragukan lagi, ia memiliki efek tertentu dalam kesiapan beliau menerima wahyu dari
Tuhannya. Hal itu pula yang menjadi salah satu sebab Allah menjatuhkan pilihan
kepada beliau untuk mengemban risalah-Nya.
Diriwayatkan pula bahwa para Sahabat beliau – angkatan pertama, as-sabiqun al-
awwalun – selalu berusaha mencontoh beliau dalam masalah qiyamul lail, sampai-
sampai telapak kaki mereka bengkak karena lamanya berdiri mengerjakan shalat, dan
hal itu turut menambah kekuatan iman, kejernihan jiwa dan ketahanan mental
mereka dalam menghadapi para penentangnya.
Ketekunan luar biasa ini pun diriwayatkan dari Nabi  sendiri, sebagaimana
diwayatkan al-Bukhari, at-Tirmidzi dan an-Nasa’i, dari al-Mughirah (bin Syu’bah):
sungguh dulu Nabi  berdiri mengerjakan shalat sampai kedua telapak kakinya –
atau, kedua betisnya – menjadi bengkak. Maka, ditanyakanlah hal itu kepada beliau,
lalu beliau menjawab, “Tidakkah layak aku menjadi hamba yang pandai bersyukur?”
(Riwayat al-Bukhari)
Dalam riwayat at-Tirmidzi, redaksinya begini: sampai-sampai menggembung kedua
telapak kakinya. Maka, dikatakanlah kepada beliau, “Mengapa Anda memaksakan
diri mengerjakan semua itu, padahal dosa-dosa Anda telah diampuni, baik yang telah
lalu maupun yang akan datang?” Beliau pun menjawab, “Tidakkah layak aku menjadi
hamba yang pandai bersyukur?”
Dalam surah adz-Dzariyat – surah ini Makkiyah – terdapat ayat-ayat yang
mengkonfirmasi berita seputar bagaimana peribadatan kaum muslimin generasi awal
dimaksud, yaitu: “…Sesungguhnya mereka – sebelum itu – di dunia adalah orang-orang yang
berbuat kebaikan; Di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam; Dan selalu
memohonkan ampunan di waktu sahur; Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang
miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (ayat 16-19).
Hal ini diperkuat oleh ayat-ayat Makkiyah lain yang terdapat dalam surah al-Isra’: 78-
79, yaitu: “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan
(dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat); Dan
pada sebahagian malam hari bertahajjudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu;
Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.”
Nabi  sendiri secara kontinyu melanjutkan kebiasaan tersebut semasa di Madinah,
sebagaimana yang diuraikan ayat terakhir surah al-Muzzammil ini. Ayat terakhir ini
adalah Madaniyah, berdasarkan ijma’ riwayat dan yang ditunjukkan oleh nash-nya
sendiri, dimana hikmah Allah menghendaki untuk memberikan keringanan kepada
kaum muslimin dalam masalah ini. Kami akan menjelaskannya nanti. Semua ini
merupakan salah satu pengaruh dari perintah Al-Qur’an yang dikandung ayat-ayat
diatas.
Banyak hadits yang mengulas keutamaan qiyamul lail, menegakkan shalat dan
membaca Al-Qur’an di dalamnya. Sebagian telah kami kutip dalam penafsiran surah
al-‘Alaq. Sepertinya, keringanan ini berseberangan dengan pengaruh Al-Qur’an ke
dalam diri Nabi , juga tidak sejalan dengan kesengajaan beliau menganjurkan kaum
muslimin untuk mengerjakan qiyamul lail, di berbagai tempat dan kesempatan, karena
di dalamnya mengandung tarbiyah ruhiyah (penempaan spiritual) dan pendidikan
akhlaq yang sangat agung. Namun, ayat Madaniyah ini – yang disusulkan belakangan
pada penghujung surah al-Muzzammil – tidaklah menghapus (nasakh) qiyamul lail.

64
Ayat ini hanya memberikan keringanan, terutama untuk orang-orang yang memiliki
halangan (‘udzur). Wallahu a’lam.
Ayat terakhir ini (yakni: ayat ke-9) secara implisit mengandung dukungan moril
kepada Nabi , dan memperkuat persiapan maupun penyiapan dirinya. Allah lah
Tuhan seluruh ciptaan di semesta raya, baik di timur maupun barat, tidak ada Tuhan
yang berhak disembah selain-Nya. Sudah seharusnyalah beliau bersandar hanya
kepada-Nya. Dia-lah yang menjamin keberhasilan beliau dalam menjalankan misinya.
Di balik semua ini, terkandung peneguhan, penenangan, serta pembangkit kekuatan
dan spirit.
Sampai sejauh ini, untuk pertamakalinya Al-Qur’an mengumumkan wahdaniyah (sifat
Maha Esa) Allah dan universalitas rububiyah-Nya; juga seruan agar menjadikan Dia
sebagai satu-satunya sandaran dan andalan; dalam situasi-kondisi dimana mayoritas
manusia menjadikan banyak sekutu dan tandingan bagi-Nya; mengambil selain-Nya
sebagai pelindung, penolong, dan penopang; serta kesombongan para pemimpinnya
sampai-sampai manusia nyaris mengangkat mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah.
Demikianlah, ayat ini – untuk pertamakalinya – mengabadikan kalimat pertama yang
mengulas kesyirikan, penyembahan selain Allah, permohonan kepada selain-Nya, dan
orientasi hidup kepada selain-Nya. Ayat ini juga merekam seruan pertama Al-Qur’an
agar menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan, sandaran, dan andalan;
membersihkan diri dari segala kendali dan ketundukan kepada selain-Nya. Inilah
prinsip dasar Islam dan intisari dakwahnya.
Setelah membahas tentang kemunculan istilah “Al-Qur’an” pada kali pertama
dalam surah ini, beliau melanjutkannya dengan menjabarkan maksud dan tujuan
ungkapan: “wa rattilil qur’ana tartiilaa”, juga riwayat-riwayat seputar adab
membaca Al-Qur’an:
Banyak sekali riwayat dan pandangan yang dikutip dalam konteks penafsiran frase wa
rattilil qur’ana tartiilaa ini. Diantaranya adalah hadits riwayat al-Bukhari dan Abu
Dawud, dari Qatadah: ia berkata: Anas ditanya, “Bagaimana dulu bacaan (Al-Qur’an)
Nabi ?” Dijawab, “Bacaan beliau dipanjangkan.” Anas kemudian membaca
bismillahirrahmanirrahim; dipanjangkannya lafazh bismillaah, ar-rahmaan, dan ar-rahiim.14
Juga, hadits riwayat at-Tirmidzi dari Ummu Salamah: ia berkata: “Dulu Rasulullah 
memotong-motong bacaannya. Beliau mengucapkan: al-hamdu lillahi rabbil ‘alamin,
lalu berhenti; ar-rahmanir rahim, lalu berhenti; dan beliau membaca maliki yaumiddin.”
– yakni, dengan dibaca pendek maliki.15
Lalu, hadits riwayat al-Bukhari dan at-Tirmidzi, dari Abu Musa: ia berkata: Rasulullah
 bersabda kepada Abu Musa, “Andai engkau melihatku ketika mendengarkan bacaanmu
semalam. Sungguh, engkau telah dikaruniai salah satu seruling keluarga Dawud.”16

14
Redaksinya milik al-Bukhari. Dari jalur lain dinyatakan bahwa yang bertanya kepada Anas bin Malik
adalah Qatadah sendiri.
15
Menurut at-Tirmidzi: hadits gharib, dan sanad-nya tidak muttashil. Ada jalur lain yang muttashil, namun di
dalamnya tidak disertai riwayat tentang bacaan maliki yaumiddin. Syekh al-Albani berkata: shahih.
16
Riwayat diatas sebenarnya juga dikutip Muslim dan an-Nasa’i. Walau dalam naskah asli at-Tafsir al-Hadits
dinyatakan bahwa ia diriwayatkan oleh al-Bukhari dan at-Tirmidzi, namun redaksi mereka lebih ringkas
tanpa kisah, padahal yang dikutip disertai kisah. Redaksi diatas kami ambil dari riwayat Muslim, karena
persis dengan naskah asli at-Tafsir al-Hadits. ‘Aisyah dan Abu Hurairah juga menceritakan pujian Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Abu Musa ini. Kata “seruling” disini adalah kiasan untuk suara yang
65
Kemudian, hadits riwayat al-Bukhari dan Abu Dawud, dari Mu’awiyah bin Qurrah, ia
berkata: saya mendengar ‘Abdullah bin Mughaffal berkata, “Nabi  membaca surah
al-Fath pada hari Penaklukan Makkah dalam perjalanan diatas untanya, dan beliau
melagukan bacaannya (at-tarji’).” Mu’awiyah berkata, “Andai bukan karena khawatir
orang-orang akan mengerumuni saya, pasti saya ulangi bacaan beliau.”17
Juga, hadits riwayat al-Bukhari, Muslim, dan at-Tirmidzi dari Abu Hurairah: bahwa ia
mendengar Rasulullah  bersabda, “Tidaklah Allah mendengarkan sesuatu pun
sebagaimana Dia mendengarkan seorang Nabi yang bersuara bagus ketika ia melagukan Al-
Qur’an, dengan suara dikeraskan.”18
Dan, hadits riwayat al-Bukhari dan Abu Dawud, dari Abu Hurairah juga: ia berkata:
Rasulullah  bersabda, “Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak melagukan Al-
Qur’an.” Sebagian perawi menambahkan, “(Yakni), mengeraskan bacaannya.”19
Kemudian, hadits berikut ini, dari al-Bara’ bin ‘Azib: ia berkata: Rasulullah 
bersabda, “Hiasilah Al-Qur’an dengan suara kalian.”20
Penyusun kitab at-Taaj al-Jami’ mengomentari hadits terakhir diatas dengan satu
penjelasan, bahwa memperbagus suara dalam membaca Al-Qur’an akan menambah
kewibawaan dan keagungannya, mengantarkan nasihat-nasihatnya menembus relung
hati yang terdalam, dengan tetap memperhatikan Ilmu Tajwid. Jika seorang pembaca
Al-Qur’an menambah-nambahi mad atau ghunnah-nya, atau menumpuk huruf satu
dengan lainnya, maka hukumnya makruh menurut satu pendapat, dan haram
menurut pendapat yang lain. Pembaca seperti itu berdosa dan siapa saja yang
mendengar harus mengingkarinya.
Tentang ungkapan wa rattilil qur’ana tartila ini, Imam ath-Thabari meriwayatkan dari
Mujahid, bahwa maknanya adalah: “bacalah dengan perlahan-lahan, satu demi satu.”
Menurut Qatadah: “Perjelaslah sejelas-jelasnya.” Menurut an-Nasafi: “maknanya
adalah: wajib dibaca pelan-pelan, tenang, dan memenuhi harakat-harakatnya.” Imam
al-Baghawi meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, bahwa maknanya adalah: “bacalah dengan
santai, tiga, empat atau lima ayat.” Diriwayatkan pula dari Ibnu Mas’ud, bahwa beliau
memaknainya begini, “Janganlah kalian menebarkannya seperti berjatuhannya kurma
jelek dari pohonnya – atau, seperti berhamburannya pasir.21 Jangan pula membacanya

sangat merdu, sebagaimana yang Allah berikan kepada Dawud ‘alaihis salam, bukan seruling
sesungguhnya.
17
Imam Muslim juga mengutip riwayat diatas, dan ini redaksi beliau. Kami memilihnya karena lebih mirip
dengan teks asli at-Tafsir al-Hadits. Dalam salah satu riwayat al-Bukhari dikatakan bahwa bacaan Nabi saat
itu lembut (qira’ah layyinah), dan beliau men-tarji’-nya, yaitu menaik-turunkan suara sehingga terdengar
indah dan menghanyutkan. Sebelum ini, Ibnu Mughaffal sudah mengulangi bacaan Nabi di hadapan
Mu’awiyah bin Qurrah, namun Mu’awiyah enggan mengulangi karena khawatir dikerumuni orang
banyak. Dalam salah satu riwayat al-Bukhari juga dinyatakan bahwa Syu’bah bertanya kepada Mu’awiyah,
“Bagaimana tarji’-nya?” Dijawab, “Aa aa aa – tiga kali.”
18
Redaksinya milik Muslim. Dalam sebagian riwayat, kata adzina dibaca berbeda ketika berbentuk mashdar,
sehingga maknanya: “mengizinkan”, yakni menganjurkan agar melagukannya. Namun, ada khilafiyah
tentang makna yataghanna, sebagian memaknai “mengeraskan bacaan”, sebagian “melagukan”, yakni
membacanya dengan suara sebagus mungkin. Wallahu a’lam.
19
Redaksinya milik al-Bukhari.
20
Redaksinya milik Abu Dawud, dan al-Bukhari mengutipnya secara mu’allaq. Juga diriwayatkan oleh an-
Nasa’i dan Ibnu Majah. Syekh al-Albani berkata: shahih.
21
“Berjatuhannya kurma jelek dari pohonnya”, yakni ketika pohonnya diguncang maka kurma-kurma itu akan
berguguran secara cepat, menimbulkan suara gemerisik karena biji-bijian itu jatuh bersamaan. Ini
merupakan kiasan dari bacaan yang cepat, dimana huruf-hurufnya bertumpang tindih dan bunyinya
menjadi tidak jelas. Atau, seperti pasir yang dihamburkan sehingga menimbulkan suara gemerisik.
66
secara cepat seperti membaca syair. Berhentilah pada keajaiban-keajaibannya,
gerakkanlah hati, dan jangan sampai keinginan kalian adalah segera sampai ke
penghujung surahnya.” Disini, yang dimaksud adalah tidak boleh membaca cepat dan
terburu-buru.
Atas dasar itu, dapat disimpulkan bahwa diantara adab tilawah dan tartil Al-Qur’an
adalah membacanya dengan pelan, tenang, jelas, menyelami nasihat, penuh
kekhusyu’an yang menembus ke relung hati dan akal pikiran, menepatkan makharijul
huruf-nya, dan memperhatikan Ilmu Tajwid. Boleh-boleh saja untuk melagukannya
dengan suara yang bagus sepanjang tidak melampaui batasan tertentu, yang tidak
mengeluarkannya dari kadar yang dianjurkan, atau menggunakan langgam-langgam
nyanyian yang jelas tidak selaras dengan kesucian Al-Qur’an.
Setelah mengutip ayat 10-14 dan menjelaskan sebagian kosakata sukar di dalamnya,
beliau berkata:
Dalam ayat-ayat ini terkandung: (a) Menguatkan Nabi  dalam menghadapi
pendustaan orang-orang kaya dan hidup mewah itu, yang tidak tahu malu dengan
tindakannya padahal mereka menikmati seluruh karunia Allah. Beliau juga
diperintahkan untuk membiarkan mereka, sebab Allah Maha Kuasa untuk
“menangani” mereka. (2) Perintah lain lagi kepada beliau, agar meninggalkan mereka
secara halus… dst.

6. Komentar Dr. ‘Amru Khalid


Ini adalah surah bekal para da’i. Seorang da’i membutuhkan bekal, yaitu qiyamul lail
yang akan menolong dan menguatkannya dalam berdakwah, ( ) '‫) )( ا إ‬.
Kemudian, surah ini beralih membicarakan Nabi Musa, tatkala beliau menghadapi
Fir’aun yang sombong itu, ( ' ‫ ن ر‬#= ‫( آ& أر إ‬G ‫ا‬7‫ه‬8 ' ‫( ر‬G‫) إ  أر إ‬.
Qiyamul-lail lah yang akan menolong untuk menghadapi kesulitan-kesulitan hidup,
demikian juga dalam mendakwahi manusia di siang hari.
Pada ayat terakhir dari surah ini, dinyatakan: ( ...  ‫ م أد‬/2 4 ‫( أ‬E+ 4>‫) إن ر‬. Qiyamul lail
pada masa awal-awal dakwah diwajibkan kepada Rasulullah dan para Sahabat,
sehingga mereka mendapatkan kekuatan untuk berdakwah, kemudian diringankan
setelah (berlalu) tahun pertama, karena di dalamnya terdapat penyiapan diri bagi
orang-orang yang akan berperang di masa mendatang (yakni, Fathu Makkah).22

RIWAYAT TERKAIT
• Qiyamul lail
1) Rasulullah  bersabda: “Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah
puasa Muharram, dan shalat yang paling utama sesudah shalat wajib adalah shalat
malam.”23
2) Rasulullah  bersabda: “Hendaklah kalian mengerjakan qiyamul lail, sebab ia
merupakan tradisi orang-orang shalih sebelum kalian, (sarana) bertaqarrub kepada
Tuhan kalian, penghapus dosa-dosa (kecil), dan pencegah dari dosa.”24

22
Khawathir Qur’aniyah, pada surah al-Muzzammil.
23
Riwayat Muslim no. 1163; Abu Dawud no. 2429; an-Nasa’i no. 1613; at-Tirmidzi no. 438; semuanya dari
Abu Hurairah.
67
3) ‘Abdullah bin Salam berkata: tatkala Nabi  tiba di Madinah, orang-orang pun
bergegas untuk menyambutnya. Dikatakan: ‘Rasulullah sudah datang! Rasulullah
sudah datang! Rasulullah sudah datang! – tiga kali – Maka, saya pun datang
bersama orang-orang untuk melihatnya. Tatkala saya telah melihat dengan jelas
wajahnya, saya tahu bahwa wajah beliau bukan wajah seorang pembohong.
Perkataan pertama yang saya dengar beliau ucapkan adalah: “Wahai manusia!
Sebarkanlah salam, berilah makan (kepada orang lain), sambunglah hubungan
kekerabatan, dan shalatlah di malam hari ketika manusia sedang tidur, niscaya
kalian masuk surga dengan selamat!”25
4) Rasulullah  bersabda, “Sesungguhnya di surga terdapat ruangan-ruangan yang
bagian luarnya bisa dilihat dari dalamnya, dan bagian dalamnya bisa dilihat dari
luarnya.” Berdirilah seorang Arab dusun, lalu bertanya, “Untuk siapakah ruangan-
ruangan itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ia milik orang yang berbicara
baik, memberi makan (orang lain), kontinyu berpuasa, dan mengerjakan shalat
karena Allah di malam hari pada saat manusia tidur.”26
• Tartil Al-Qur’an
1) Nabi  bersabda, “Tidak boleh iri kecuali kepada dua (jenis) orang. Yaitu:
seseorang yang dikaruniai (hafalan) Al-Qur’an oleh Allah dan dia melaksanakan
(shalat dengan membaca)nya di waktu-waktu malam dan siang; dan seseorang
yang dikaruniai harta oleh Allah dan dia menyedekahkannya di waktu-waktu
malam dan siang.”27
2) Nabi  bersabda, “Perumpamaan orang yang membaca Al-Qur’an adalah
bagaikan buah Utrujah, rasanya enak dan aromanya harum. Orang yang tidak
membaca Al-Qur’an adalah bagaikan buah kurma, rasanya enak namun tidak ada
aromanya. Perumpamaan orang durhaka yang membaca Al-Qur’an adalah
bagaikan buah Raihanah, aromanya harum namun rasanya pahit. Dan
perumpamaan orang durhaka yang tidak membaca Al-Qur’an adalah bagaikan
buah Hanzhalah, rasanya pahit dan tidak ada aromanya.”28
3) Ketika menafsirkan Qs. al-Furqan: 30, Imam Ibnu Katsir berkata, “Allah
menceritakan perihal Rasul dan Nabi-Nya, Muhammad , bahwa beliau berkata:
“Wahai Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur’an ini sebagai sesuatu yang
diabaikan.” Hal itu dikarenakan kaum musyrikin tidak mau memperhatikan Al-
Qur’an, tidak juga mendengarkannya, sebagaimana firman Allah: “Dan orang-orang
kafir berkata: ‘Janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh akan Al-Qur’an ini
dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan mereka.” (Qs.
Fushshilat: 26). Bila Al-Qur’an dibacakan, mereka membikin banyak keributan
dan membicarakan hal-hal lain, sehingga tidak bisa mendengar bacaannya. Ini

24
Riwayat at-Tirmidzi no. 3549; Ibnu Hibban no. 1135; dan al-Hakim no. 1156, semuanya dari Abu
Umamah. Hadits ini dinyatakan hasan oleh al-‘Iraqi dan al-Albani. Ada riwayat senada dari Bilal dan
Salman, namun tidak shahih isnad-nya.
25
Riwayat at-Tirmidzi no. 2485; Ibnu Majah no. 1334 dan 3251; ad-Darimi no. 1460 dan 2632. Hadits ini
dinyatakan shahih oleh al-Albani dan Husain Salim Asad.
26
Riwayat at-Tirmidzi no. 1984 dan 2527; Ahmad no. 1337 dari ‘Ali; dan dinyatakan hasan oleh al-Albani.
Diriwayatkan pula oleh Ibnu Khuzaimah, al-Hakim, al-Baihaqi, Abu Ya’la, dan Ibnu Abi Syaibah.
27
Riwayat al-Bukhari no. 4737, 7091; dan Muslim no. 1930, 1931; keduanya dari Ibnu ‘Umar. Riwayat
serupa dengan makna senada juga dikutip al-Bukhari dari Ibnu Mas’ud dan Abu Hurairah, dan Muslim
dari Ibnu Mas’ud. Diriwayatkan pula oleh at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, dll.
28
Riwayat al-Bukhari no. 5020, 5059, 7560; Muslim no. 1896. Diriwayatkan pula oleh Abu Dawud no.
4829, an-Nasa’i no. 5038, Ibnu Majah no. 214; dari Anas: dari Abu Musa.
68
termasuk mengabaikan Al-Qur’an. Tidak mau mengamalkan dan menghafalnya,
juga termasuk mengabaikannya. Tidak mau mengimani dan membenarkannya,
juga termasuk mengabaikannya. Tidak mau merenungkan dan memahaminya,
juga termasuk mengabaikannya. Tidak mau mengamalkannya, mematuhi
perintah-perintahnya, dan menjauhi larangan-larangannya, juga termasuk
mengabaikannya. Bergeser dan condong kepada selain Al-Qur’an, seperti syair,
perkataan, nyanyian, permainan, ungkapan, atau tatacara yang diambil dari selain
Al-Qur’an, juga termasuk mengabaikannya. Kami memohon kepada Allah yang
Maha Mulia, Maha Pemberi, dan Berkuasa atas segala sesuatu, agar
menyelamatkan kita dari hal-hal yang mengundang murka-Nya, memperjalankan
kita di dalam hal-hal yang mendatangkan ridha-Nya, seperti menghafalkan dan
memahami Kitab-Nya, serta menegakkan konsekuensi-konsekuensinya sepanjang
siang maupun malam, menurut cara yang Dia cintai dan ridhai. Sungguh Dia
Maha Pemurah lagi Maha Pemberi.”29
4) Imam an-Nawawi berkata, “Sebaiknya tartil ketika membaca Al-Qur'an. Para
ulama' sepakat tentang dianjurkannya tartil (membaca perlahan-lahan). Allah
berfirman, "wa rattilil Qur'aana tartiila". Ada sebuah hadits bersumber dari Ummu
Salamah bahwa beliau menjelaskan sifat bacaan Al-Qur'an Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam, yakni qira'ah muffassarah (bacaan yang jelas), huruf demi huruf.
(Riwayat Abu Dawud, at-Tirmidzi dan an-Nasai. Menurut at-Tirmidzi, hadits ini
hasan-shahih). Bersumber dari Mu'awiyah bin Qurrah, bersumber dari 'Abdullah
bin Mughaffal, bahwasanya dia berkata, "Saya melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam pada hari Fathu Makkah, beliau tengah berada di atas untanya membaca
surah al-Fath, dan beliau mengulang-ulang bacaannya." (Riwayat al-Bukhari dan
Muslim). Ibnu 'Abbas berkata, "Sungguh, membaca satu surah dengan tartil lebih
saya sukai daripada membaca Al-Qur'an seluruhnya." Mujahid pernah ditanya
tentang dua orang (yang mengerjakan shalat), yang satu membaca surah al-
Baqarah dan Ali 'Imron, sedang lainnya membaca surah al-Baqarah saja,
sementara waktu (yang mereka gunakan), lamanya ruku', sujud dan dan duduk
diantara dua sujud, adalah satu serta sama? Maka, Mujahid menjawab bahwa yang
membaca surah al-Baqarah saja, itu lebih utama. Dilarang keras berlebihan dalam
kecepatan (membaca Al-Qur'an), yang disebut dengan istilah al-hadzramah. Ada
sebuah riwayat bersumber dari 'Abdullah bin Mas'ud bahwa ada seseorang berkata
kepada beliau, "Saya membaca surah-surah al-Mufashshal dalam satu rakaat." Maka,
beliau berkomentar begini: "Itu adalah syair. Sungguh banyak orang membaca Al-
Qur'an, namun Al-Qur'an tidak melewati tenggorokan mereka. Akan tetapi, jika
(bacaan itu) jatuh ke hati dan meresap ke dalamnya, itu pasti bermanfaat."
(Riwayat al-Bukhari dan Muslim. Redaksi ini dari Muslim menurut salah satu
riwayat yang dikemukakannya). Para ulama' menyatakan, bahwa tartil dianjurkan
untuk proses tadabbur atau tujuan lainnya. Mereka juga mengatakan bahwa tartil
dianjurkan terutama bagi orang-orang non-Arab ('ajam), yang tidak memahami
maknanya, karena hal lebih mendekatkan kepada sikap pengagungan serta
penghormatan terhadap Al-Qur'an, serta lebih kuat pengaruhnya ke dalam hati.”30
• Dzikir
1) Rasulullah  bersabda, “Jika kalian menjumpai taman-taman surga, maka
bersenang-senanglah (di dalamnya).” Mereka menjawab, “Apakah taman-taman

29
Tafsir Ibnu Katsir, pada surah al-Furqan: 30-31.
30
At-Tibyan fi Adabi Hamalati al-Qur'an, hal. 45-46.
69
surga itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Halaqah-halaqah dzikir, karena
sesungguhnya Allah mempunyai para malaikat yang berjalan berkeliling untuk
mencari halaqah-halaqah dzikir. Jika mereka menemukannya, maka mereka akan
mengelilinginya.”31
2) Abu Sa’id al-Khudry dan Abu Hurairah bersaksi bahwa Rasulullah  bersabda,
“Tidaklah suatu kaum duduk seraya mengingat Allah melainkan para malaikat
akan mengerubuti mereka, rahmat menyelimuti mereka, ketenangan turun
kepada mereka, dan Allah membanggakan mereka di (hadapan) para malaikat
yang ada di sisi-Nya.”32
3) Dari ‘Abdullah bin Busr: seseorang berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh syariat-
syariat Islam ini telah menjadi banyak atas diri saya. Maka, beritahu saya sesuatu
yang bisa saya jadikan pegangan.” Beliau bersabda, “Pastikan lidahmu tidak
pernah kering dari mengingat Allah (dzikrullah).”33
• Tabattul dan keikhlasan
1) Nabi  bersabda: Allah berfirman, “Wahai anak cucu Adam, luangkan waktumu
(secara khusus) untuk beribadah kepada-Ku, niscaya Aku penuhi dadamu dengan
kekayaan, dan Aku tutup kefakiranmu. Jika engkau tidak mau melakukannya,
niscaya Aku penuhi kedua tanganmu dengan kesibukan dan tidak Aku tutup
kefakiranmu.”34
2) Dikisahkan, bahwa pernah ada seseorang dari suku Khuza’ah yang berkata, “Duh,
andai saja saya bisa shalat, sehingga saya bisa istirahat.” Orang-orang pun
mengkritik perkataannya ini, namun dia berkata: saya mendengar Rasulullah 
bersabda, “Hai Bilal, (serukan) iqamah untuk shalat! Istirahatkanlah kami
dengannya!”35 – yakni, dengan shalat.
3) Hudzaifah berkata, “Dulu bila Nabi  dihadang oleh persoalan yang sangat berat,
beliau pasti mengerjakan shalat.”36
4) Abu ‘Abd an-Nabaji berkata, “Ada lima perkara yang dengannya amal menjadi
sempurna, yaitu: iman yang disertai dengan mengenal Allah (ma'rifatullah),

31
Riwayat at-Tirmidzi no. 3510, dari Anas bin Malik. Menurut beliau: ini hadits hasan-gharib. Syaikh al-
Albani berkata: hasan. Ada riwayat senada yang beliau kutip pada nomer sebelumnya, dengan redaksi
sedikit berbeda, namun dinyatakan lemah oleh Syaikh al-Albani. Diriwayatkan pula oleh Ahmad no.
12545, dan dinyatakan lemah sanad-nya oleh Syaikh Syu’aib al-Arna’uth.
32
Riwayat Muslim no. 7030. Riwayat senada banyak dinukil oleh para ulama’ lainnya.
33
Riwayat at-Tirmidzi no. 3375. Menurut beliau: ini hadits gharib dari versi ini. Syaikh al-Albani berkata:
shahih. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah no. 3925; Ahmad no. 17716 dan 17734 (keduanya dinilai
shahih isnad-nya oleh Syaikh al-Arna’uth); Ibnu Hibban no. 814 dan 815 (yang pertama dinilai kuat isnad-
nya oleh Syaikh al-Arna’uth).
34
Riwayat at-Tirmidzi no. 2466, dari Abu Hurairah. Menurut beliau: ini hadits hasan-gharib. Syaikh al-
Albani berkata: shahih. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah no. 4107; Ahmad no. 8681; Ibnu Hibban no.
393 dan 394; al-Hakim no. 3657 dan 7926.
35
Riwayat Abu Dawud no. 4985, dari Salim bin Abil Ja’di. Menurut Syaikh al-Albani: shahih. Diriwayatkan
pula oleh Ahmad no. 23137, dan al-Baihaqi dalam al-Kabir no. 6214.
36
Riwayat Abu Dawud no. 1319, dan dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani. Maksud riwayat ini, bila
beliau merasa gelisah atau menghadapi permasalahan yang rumit, beliau segera mengerjakan shalat.
Sebab, dengan doa dan kekhusyuan di dalamnya maka hati beliau menjadi tenang dan kemungkinan
besar Allah memberi jalan keluar. Dalam riwayat lain dinyatakan: “bila beliau dibuat sedih oleh suatu
urusan”, sebagaimana disitir penulis ‘Áunul Ma’bud dan Faidhul Qadir no. 6641. Inilah contoh untuk
meredakan stres dan kegalauan hati yang dicontohkan oleh beliau, bukan dengan mengekor penganut
agama lain melalui semedi atau yoga yang banyak dipraktekkan sebagian orang di zaman ini.
70
mengenal kebenaran (al-haqq), mengikhlaskan amal semata-mata untuk Allah,
beramal berlandaskan Sunnah, dan memakan makanan yang halal. Jika satu saja
hilang, maka amal tidak akan diterima. Sebab, jika engkau mengenal Allah tetapi
tidak mengenal kebenaran, maka tidak ada gunanya; jika engkau mengenal
kebenaran tetapi tidak mengenal Allah, maka tidak ada gunanya; jika engkau
mengenal Allah dan mengenal kebenaran tetapi tidak mengikhlaskan amal
(semata-mata bagi-Nya), maka tidak ada gunanya; jika engkau mengenal Allah,
mengenal kebenaran, dan mengikhlaskan amal bagi-Nya semata tetapi amalmu
tidak berdasarkan Sunnah, maka tidak ada gunanya; jika keempat hal tersebut
sudah lengkap tetapi makanan yang engkau makan tidak halal maka tidak ada
gunanya juga.”37
5) Salah seorang putra Ibnu Mas’ud berkata, “Beruntunglah orang yang
mengikhlaskan ibadah dan doanya hanya untuk Allah; orang yang hatinya tidak
tersibukkan oleh apa yang dilihat oleh matanya; orang yang dzikirnya tidak
terlupakan oleh apa yang didengar oleh telinganya; dan orang yang jiwanya tidak
menjadi sedih atas apa yang diberikan Allah kepada orang selainnya.”38
6) Abul ‘Aliyah berkata, “Sahabat-sahabat Muhammad  berkumpul (mengelilingi)
aku, lalu mereka berkata, ‘Hai Abul ‘Aliyah, jangan kau kerjakan suatu amal yang
kautujukan kepada selain Allah, sehingga Allah menjadikan pahalanya ada pada
(tanggungan) siapa yang kautuju itu. Hai Abu ‘Aliyah, jangan berserah diri kepada
selain Allah, sehingga Allah menyerahkan dirimu kepada siapa yang engkau serahi
itu.’”39
• Tawakkal
1) Rasulullah  bersabda, “Seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan
sebenar-benarnya tawakkal, pasti Dia akan memberi kalian rezeki sebagaimana
Dia memberikannya kepada burung-burung. Mereka berangkat di pagi hari dalam
keadaan lapar, dan pulang di sore hari dalam keadaan kenyang.”40
2) Sahl bin ‘Abdullah at-Tustariy berkata, “Barangsiapa yang mencela usaha (al-
iktisab) maka dia telah mencela Sunnah, dan barangsiapa yang mencela tawakkal
maka dia telah mencela iman.”41 Dalam riwayat lain, beliau berkata, “Tawakkal
adalah keadaan jiwa (haal) Nabi , sedangkan usaha (al-kasab) adalah Sunnah
beliau. Barangsiapa yang berada pada haal beliau, makan jangan sekali-kali
meninggalkan Sunnahnya.”42
3) Ketika menafsirkan ayat ini: “Hendaklah orang-orang yang beriman itu bertawakkal
kepada Allah” (Qs. Ali ‘Imran: 122), Ibnu Ishaq berkata, “Maksudnya: (Allah
berfirman): siapa saja diantara kaum mukminin yang merasa lemah atau tidak
berdaya, maka bertawakkallah kepada-Ku, niscaya Aku menolong dan

37
Riwayat Ibnu Abi ad-Dunia dalam al-Ikhlash wa an-Niyat no. 2.
38
Riwayat Ibnu Abi ad-Dunia dalam al-Ikhlash wa an-Niyat no. 7.
39
Riwayat Ibnu Abi ad-Dunia dalam al-Ikhlash wa an-Niyat no. 55. Bagian akhir dari pernyataan ini tepat
pula untuk dimasukkan ke dalam bab tawakkal.
40
Riwayat at-Tirmidzi no. 2344, Ibnu Majah no. 4164, semuanya dari ‘Umar. At-Tirmidzi berkata: ini
hadits hasan-shahih. Syaikh al-Albani berkata: shahih. Diriwayatkan pula oleh Ahmad no. 205, 370, 373,
dan seluruhnya dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Arna’uth.
41
Hilyatu al-Auliya’, pada biografi Sahl at-Tustariy.
42
Ar-Risalah al-Qusyairiyah, pada bab tentang tawakkal.
71
membelanya atas urusannya itu, sehingga Aku akan membuatnya sampai dan
memperkuatnya menuju apa yang diniatkannya.”43
4) Abu Ishaq Ibrahim al-Khawwash berkata, “Tawakkal berada diatas tiga tingkatan,
yaitu sabar, ridha, dan cinta. Sebab, jika ia bertawakkal maka seharusnya ia
bersabar – diatas ketawakkalannya itu – kepada siapa yang ditawakkalinya; jika ia
bersabar maka seharusnya ia ridha kepada semua yang diputuskan atas dirinya;
dan jika ia ridha maka seharusnya ia mencintai semua yang diperbuat atas dirinya,
sebagai bentuk kecocokan dengan-Nya.”44
• Sabar
1) ‘Amr bin ‘Abasah berkata: saya mendatangi Rasulullah , lalu saya berkata,
“Apakah iman itu?” Beliau menjawab, “Sabar dan lapang dada.”45
2) Abu Sa’id al-Khudry berkata: sekelompok kaum Anshar meminta-minta kepada
Rasulullah , lalu beliau memberi mereka. Kemudian, mereka meminta-minta
lagi dan beliau juga memberi mereka. Sampai akhirnya ketika apa yang beliau
miliki telah habis, beliau bersabda, “Kebaikan (yakni: harta) yang aku miliki, maka
tidak akan aku simpan sendiri dari kalian. Namun, siapa saja yang berusaha
memelihara kehormatan dirinya, niscaya Allah akan memelihara kehormatannya;
siapa saja yang merasa cukup, niscaya Allah akan mencukupkannya; siapa saja
yang berusaha bersabar, niscaya Allah akan membuatnya menjadi sabar, dan tidak
seorang pun yang diberi karunia yang lebih baik dan lebih lapang dibanding
kesabaran.”46
3) ‘Ali bin Abi Thalib berkata, “(Kedudukan) sabar bila dikaitkan dengan iman
adalah bagaikan kepala dengan tubuh.” Imam ath-Thabari berkomentar, “’Ali
benar. Karena iman adalah pengakuan dengan hati, ikrar dengan lisan, dan
pengamalan dengan anggota badan. Maka, siapa saja yang tidak bisa bersabar
untuk mengamalkan syariat, jelas tidak berhak menyandang sifat iman samasekali.
Kesabaran mengamalkan syariat adalah sebanding dengan kepala bagi tubuh
manusia. Tubuh tidak akan sempurna tanpa kepala. Inilah pengertian dari hadits
Anas dan Jabir bahwa kesabaran merupakan separuh iman. Pada sebagian besar
tempat dimana Allah menyebutkan kesabaran dan menganjurkan hamba-Nya
untuk bersabar, ternyata itu adalah tempat (yang menuturkan tentang) tekanan
hebat dan hal-hal yang tidak menyenangkan, dimana jiwa merasa sangat berat
untuk memikulnya, dan sangat dahsyat kegelisahan jiwa padanya. Semua itu
merupakan ujian dan cobaan. Tidakkah Anda mendengar sabda Rasulullah ,

43
Tafsir Ibnu Abi Hatim, riwayat no. 4127, untuk surah Ali ‘Imran: 122.
44
Hilyatu al-Auliya’, dalam biografi Ibrahim al-Khawwash.
45
Riwayat Ahmad, no. 19454, dalam sebuah hadits panjang. Menurut Syaikh Syu’aib al-Arna’uth, sanad-nya
lemah dan terputus, namun bagian-bagian di dalamnya – termasuk yang dikutip diatas – adalah shahih li-
ghairihi. Redaksi yang sama diriwayatkan pula oleh ‘Abd bin Humaid no. 300, ‘Abdurrazzaq no. 20297,
dan Ibnu Abi Syaibah no. 757. Ada redaksi lain yang mirip yang diriwayatkan al-Hakim no. 6628, dari
‘Abdullah bin ‘Ubaid bin ‘Umair: dari ayahnya: dari kakeknya (‘Umair bin Qatadah), dan dinyatakan
lemah sanad-nya oleh adz-Dzahabi. Diriwayatkan pula oleh Abu Ya’la no. 1854 dengan redaksi pendek,
bersumber dari Jabir bin ‘Abdillah, dan dinyatakan lemah sanad-nya oleh Syaikh Husain Salim Asad.
Masih ada riwayat-riwayat lain dari sumber berlainan. Syaikh al-Albani memasukkan hadits ini dalam ash-
Shahihah no. 554 dan 1495, serta menjelaskan sumber-sumbernya.
46
Riwayat al-Bukhari no. 1469 dan 6470; Muslim no. 2471. Juga diriwayatkan oleh an-Nasa’i no. 2588, at-
Tirmidzi no. 2024, dan ad-Darimi no. 1646.
72
“Engkau tidak akan diberi karunia yang lebih baik dan lebih luas dibanding
kesabaran.”47
• Hijrah
1) Mu’awiyah berkata: saya mendengar Rasulullah  bersabda, “Hijrah tidak
terputus sampai terputusnya taubat – tiga kali – dan taubat tidak akan terputus
sampai matahari terbit dari tempatnya terbenam.”48
2) Nabi  bersabda, “Orang muslim adalah seseorang dimana kaum muslimin
selamat dari (gangguan) lisan dan tangannya. Dan, orang yang berhijrah adalah
orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.”49
3) Dari Ibnu as-Sa’diy: sesungguhnya Nabi  bersabda, “Hijrah tidak terputus selama
musuh masih memerangi (kaum muslimin).” Maka Mu’awiyah, ‘Abdurrahman
bin ‘Auf, dan ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash berkata: bahwasanya Nabi 
bersabda, “Hijrah itu ada dua macam. Yang pertama adalah bila engkau menjauhi
perbuatan-perbuatan buruk, dan yang lain adalah bila engkau berhijrah kepada
Allah dan Rasul-Nya. Hijrah tidak terputus selama taubat masih diterima, dan
taubat masih diterima sampai matahari terbit dari tempat terbenamnya. Bila ia
telah terbit (dari tempat terbenamnya), maka disegellah setiap hati menurut apa
yang ada di dalamnya, dan cukuplah bagi manusia amalnya.”50
• Hubungan antara ibadah, amal shalih, dan keteguhan hati
1) Qatadah bin ad-Di’amah as-Sadusi (ulama’ Tabi’in), berkata, “Sesungguhnya amal
shalih itu mengangkat (derajat) pelakunya pada saat ia kuat, dan tatkala ia terjatuh
maka ia mendapati tempat bersandar.”51
2) Imam ath-Thabari berkata: seseorang bertanya kepada kami, “Kami telah
mengetahui makna perintah untuk menjadikan sabar sebagai penolong dalam
menepati janji dan menjaga ketaatan (kepada Allah). Namun, apa makna perintah
untuk menjadikan shalat sebagai penolong dalam menaati Allah, meninggalkan
kemaksiatan, melepaskan diri dari ambisi kekuasaan, dan meninggalkan dunia?”
Jawabannya: sesungguhnya di dalam shalat terkandung tilawah terhadap
Kitabullah, yang mana ayat-ayatnya mengajak untuk menolak dunia, menjauhi
kenikmatannya, menghibur jiwa dari pesona hiasan dan tipuannya, serta
mengingatkan kepada akhirat dan segala yang telah Allah persiapkan bagi orang-
orang yang berhak menerimana disana. Berdasarkan asumsi inilah maka shalat
merupakan penolong bagi orang-orang yang taat kepada Allah agar semakin
bersungguh-sungguh di dalamnya; sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi 
bahwa jika beliau menghadapi persoalan berat maka beliau pun bergegas
mengerjakan shalat.”52

47
Tafsir al-Qurthubi, pada surah al-Baqarah: 45. Kami tidak tahu persis pernyataan ini dikutip dari kitab
Imam ath-Thabari yang mana. Kata-kata senada juga dikemukakan oleh Ibnu Katsir, pada Qs. as-Sajdah:
24, yang bersumber dari komentar Sufyan bin ‘Uyainah atas pernyataan ‘Ali.
48
Riwayat Abu Dawud no. 2479 (dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani), ad-Darimi no. 2513 (dinyatakan
hasan isnad-nya oleh Husain Salim Asad), dan Ahmad no. 16952 (dinyatakan hasan li-ghairihi oleh Syaikh
Syu’aib al-Arna’uth). Redaksi Ahmad disertai kisah, sedang yang lain tidak.
49
Riwayat al-Bukhari, no. 10 bersumber dari ‘Abdullah bin ‘Amr. Ada riwayat senada tentang hijrah ini
dalam Musnad Ahmad no. 6814, bersumber dari Ibnu Mas’ud, dalam bentuk tanya jawab antara
Rasulullah dengan seseorang. Menurut Syaikh al-Arna’uth: isnad-nya shahih ‘ala syarthi asy-syaikhaini.
50
Riwayat Ahmad no. 1671, yang dinyatakan hasan isnad-nya oleh Syaikh al-Arna’uth.
51
Riwayat Ahmad, dalam az-Zuhd, no. 183.
52
Tafsir ath-Thabari, pada surah al-Baqarah: 45.
73
3) Imam al-Ghazali berkata, “Jalan untuk menguatkan dan meneguhkannya (yakni:
keyakinan di dalam hati) bukanlah dengan mempelajari kemahiran berdebat dan
teologi (ilmu kalam), akan tetapi dengan: menyibukkan diri membaca Al-Qur'an
berikut tafsirnya, membaca hadits disertai maknanya, dan menyibukkan diri
dengan menunaikan berbagai tugas ibadah. Dengan demikian kepercayaannya
senantiasa bertambah kokoh oleh dalil dan hujjah Al-Qur'an yang mengetuk
pendengarannya, juga oleh dukungan hadits-hadits beserta faidahnya yang sampai
kepadanya, kemudian oleh cahaya ibadah dan tugas-tugasnya yang meneranginya;
juga sejalan dengan menyaksikan kehidupan orang-orang shalih, bergaul dengan
mereka, memperhatikan tindak-tanduk mereka, mendengar petuah-petuah
mereka, juga melihat perilaku mereka dalam ketundukannya kepada Allah, rasa
takut mereka kepada-Nya, serta kemantapan mereka kepada-Nya.”53
4) ‘Urwah bin az-Zubair berkata, “Bila engkau melihat seseorang melakukan
kebaikan, ketahuilah bahwa kebaikan itu memiliki saudara-saudara pada diri
orang tersebut. Bila engkau melihat seseorang melakukan keburukan, ketahuilah
bahwa keburukan itu mempunyai saudara-saudara pada diri orang tersebut.
Karena sesungguhnya kebaikan itu menunjukkan saudaranya, dan demikian pula
keburukan itu menunjukkan saudaranya.”54

53
Ihya’ ‘Ulumiddin, I/94.
54
Hilyatul Auliya’, karya Abu Nu’aim al-Ashfahani, dalam biografi ‘Urwah bin az-Zubair.
74

Anda mungkin juga menyukai