Anda di halaman 1dari 11

A.

Latar Belakang

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Konsep Pengembangan Kurikulum PAI Berbasis Multikultural?
2. Bagaimana Langkah-Langkah Pengembangan Kurikulum PAI Berbasis
Multikultural?
3. Bagaimana Prinsip-prinsip Pengembangan Kurikulum?
4. Bagaimana Nilai-nilai Pendidikan Agama Islam Multikultural?
5. Bagaimana Tujuan dan prinsip pendidikan multukultural?

C. Tujuan
A. Bagaimana Konsep Pengembangan Kurikulum PAI Berbasis Multikultural

1. Definisi Kurikulum
Menurut Ralp Tyler (1949) definisi kurikulum adalah semua kegiatan belajarnya
siswa yang telah direncanakan dan diarahkan oleh sekolah untuk mencapai tujuan
pendidikannya. Senada dengan DK Wheeler (1967) kurikulum diartikan sebagai pengalaman
yang direncanakan dan diberikan kepada para siswa dengan bimbingan sekolah. Tidak jauh
berbeda, menurut Djunaidi Ghony kurikulum didefinisikan sebagai kesempatan belajar,
sesuatu terencana, yang ditawarkan kepada para siswa oleh lembaga pendidikan dan para
siswa memperoleh pengalaman, yang dihadapinya ketika kurikulum diimplementasikan
(Ghony, 2016:35). Adapun Zakiah Daradjat memandang kurikulum sebagai suatu program
yang direncanakan dalam bidang pendidikan dan dilaksanakan untuk mencapai sejumlah
tujuan-tujuan pendidikan tertentu (Ramayulis dan Samsul, 2010:192). Sementara menurut
UU No. 20 Tahun 2003, pengertian kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai tujuan, isi dan bahan pembelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Berdasar definisi di atas, kurikulum pada hakikatnya suatu program yang direncanakan dan
dilaksanakan untuk mencapai tujuan pendidikan.1

Pembahasan mengenai kurikulum tidak mungkin dilepaskan dari pengertian


kurikulum, posisi kurikulum dalam pendidikan, dan proses pengembangan suatu kurikulum
(Hasan, 2004). Terminologi kurikulum dapat digunakan dalam berbagai makna, meskipun
ada kecenderungan dari para spesialis kurikulum untuk membatasi makna kurikulum
tersebut. Hawes (1979 : 3) menyatakan bahwa kurikulum sulit untuk didefinisikan, oleh
karena setiap orang cenderung untuk melihatnya dari sudut pandang yang berbeda.Pengertian
kurikulum, sekurang-kurangnya dapat dikelompokkan ke dalam dua cara pandang para ahli,
yaitu pengertian kurikulum dalam arti luas dan dalam arti sempit. Pertama, para ahli yang
memandang kurikulum dalam arti luas, memandang kurikulum adalah termasuk pengajaran
atau pengajaran juga kurikulum. Para ahli yang menganut pandangan ini antara lain: Zais
(1976), Egan (1978), Hunken (1980) dan Tanner & Tanner (1980). Kedua, ahli yang
memandang kurikulum dalam arti sempit, yaitu memandang bahwa kurikulum terpisah dari
pengajaran. Para ahli yang menganut pandangan ini antara lain: Mac Donald (1965), Popham
Baker (1970), Inlow (1973) dan Beauchamp (1975), Johnson (1971).
Dalam arti sempit kurikulum mengacu kepada kumpulan mata pelajaran atau bahan ajar yang
harus disampaikan oleh guru, dan paham ini masih digunakan sampai sekarang seperti
diungkapkan oleh Schubert (1986 : 26) "Curriculum is equated with the subjects to be taught"
atau Zais (1976 : 7) "Curriculum is a racecourse of subject matters to be mastered". Dalam
arti yang luas kurikulum mencakup pengalaman belajar, tujuan, rancangan atau rencana.2
Kurikulum juga tidak hanya sebatas mata pelajaran yang harus diikuti oleh peserta didik
selama mengikuti sekolah tetapi meliputi segala usaha sekolah yang dapat mempengaruhi
belajar peserta didik. Menurut Ronald C. Doll dalam (Muhaimin, 2007) bahwa kurikulum
1
Rosichin Mansur, “PENGEMBANGAN KURIKULUM
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM MULTIKULTURAL
(Suatu Prinsip-prinsip Pengembangan)”, Jurnal Ilmiah Vicratina, Volume 10, No. 2 (Nopember
2016), hal. 2.
2
Agus Pahrudin dan Ismail Suardi Wekke, PENGEMBANGAN MODEL KURIKULUM
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM MULTIKULTURAL (Yogyakarta : Samudra Biru : 2021), hal. 61.
merupakan pengalaman yang ditawarkan kepada peserta didik di bawah bimbingan dan
arahan sekolah. Selain itu, Muritz Johnson juga mengartikan kurikulum sebagai dokumen
dan program yang tersusun secara sistematis untuk dicapai oleh peserta didik.
Kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang diamanatkan melalui
pedoman kurikulum dengan memperhatikan tahapan perkembangan peserta didik, seperti
kesesuian jenjang masing-masing satuan pendidikan, kebutuhan pembangunan nasional
maupun perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Firmansyah, 2020, hal. 167). Hal
ini perlu dilakukan mengingat masyarakat Indonesia yang majemuk.3

2. Definisi pengembangan kurikulum


Menurut Cawsell, pengembangan kurikulum adalah alat untuk membantu guru dalam
melakukan tugas mengajarkan bahan, menarik minat peserta didik, dan memenuhi
kebutuhan masyarakat (Muhaimin, 2007). Menurut Beane, Toefer dan Allesia menyatakan
bahwa perencanaan atau pengembangan kurikulum merupakan suatu proses kajian
kebutuhan pada tingkat pendidikan secara menyeluruh dalam membuat keputusan tentang
tujuan, bagaimana tujuan direalisasikan melalui proses belajar mengajar dan apakah tujuan
dan alat itu serasi dan efektif (Sya'bani, 2018). Ahli kurikulum memandang bahwa
pengembangan kurikulum merupakan suatu perubahan dari adanya keterjalinan, hubungan
antara komponen kurikulum, yaitu antara komponen tujuan, bahan, kegiatan dan evaluasi.
Menurut pandangan modern, pengembangan kurikulum tidak terbatas pada mata pelajaran
saja akan tetapi dilihat dari pengalaman belajar yang diterima oleh peserta didik yang
mempengaruhi perkembangannya.4
Pengembangan kurikulum adalah proses perencanaan kurikulum untuk mendapatkan
rencana kurikulum yang lebih luas dan spesifik. Proses ini berkaitan dengan seleksi dan
pengelompokkan komponen pembelajaran, seperti, materi, sumber-sumber, strategi, alat
evaluasi (Taufik, 2023, hal. 55). Berdasarkan pendapat tersebut, pengembangan kurikulum
merupakan suatu proses yang merancang, merencanakan, menghasilkan suatu kurikulum
baru yang lebih baik berdasarkan hasil penilaian terhadap kurikulum yang telah berlaku,
sehingga dapat memberikan kondisi belajar mengajar yang lebih baik.5

3. Definisi multikultural
Menurut Andersen dan Cusher, pendidikan multikultural dapat diartikan sebagai
pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Sedang James Banks, mendefinisikan
pendidikan multikuitural sebagai pendidikan untuk people of color. Artinya, pendidikan
multikultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan (anugrah tuhan
/sunatullah) (Mahfud, 2014:175). Tidak jauh berbeda, Azra menjelaskan pendidikan
multicultural sebagai pengganti dari pendidikan interkultural diharapkan dapat
menumbuhkan sikap peduli dan mau mengerti atau adanya politik pengakuan terhadap
kebudayaan kelompok manusia, seperti toleransi, perbedaan etno-kultural dan agama,
diskriminasi, HAM, demokrasi dan pluralitas, kemanusiaan universal, serta subyek-subyek
lain yang relevan (Suryana dan Rusdiana, 2015:196-197)6

3
Nurul Aulia Verona, “Pengembangan Kurikulum PAI Berbasis Multikultural”,
At-Tarbiyah al- Mustamirrah: Jurnal Pendidikan Islam Vol. 4 No. 1 (2023), hal. 42.
4
Ibid., hal. 43
5
Ibid.
6
Rosichin Mansur,“PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
MULTIKULTURAL (Suatu Prinsip-prinsip Pengembangan)”, Jurnal Ilmiah Vicratina, Volume 10,
No. 2 (Nopember 2016), hal. 4.
Pendidikan multikultural ialah pendidikan yang memberikan pengakuan, penghargaan
dan penghormatan terhadap perbedaan dalam kesetaraan baik bahasa, ras, suku, budaya dan
agama.7
4. Definisi Pendidikan Islam Multikultural
a. Pendidikan agama Islam diartikan sebagai proses bimbingan dari pendidik terhadap
perkembangan jasmani, rohani dan akal peserta didik untuk terbentuknya pribadi muslim
yang baik sesuai ajaran Islam (Mansur, 2016). Menurut zakiyah Drajat, pendidikan Islam
merupakan pendidikan yang lebih diarahkan pada perbaikan sikap mental yang terwujud
dalam amal perbuatan, baik bagi keperluan diri sendiri maupun orang lain baik bersifat
teori ataupun praktek.8
Fadhil al-Jamaly; memberikan arti pendidikan islam sebagai upaya
mengembangkan, mendorong serta mengajak manusia lebih maju dengan
berlandaskan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia sehingga terbentuk
pribadi yang lebih sempurna. Sedang AlToumy Al-Syaibany mendefinisikan bahwa
pendidikan Islam sebagi usaha mengubah tingkah laku dalam kehidupan baik individu
atau masyarakat, serta berinteraksi dengan alamsekitar melalui proses kependidikan
berlandaskan nilai Islam (Haitami & Syamsul, 2012:32).9
Sementara Ahmad D. Marimba; mengemukakan bahwa pendidikan Islam
adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan
jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama (insan
kamil). Adapun Ahmad Tafsir; mendifinisikan pendidikan Islam sebagai bimbingan
yang diberikan oleh seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan
ajaran Islam (Ramayulis, 2009:88).10
Berkiblat dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Pendidikan Islam ialah
bimbingan secara sadar dalam menumbuh kembangkan potensi atau kemampuan
peserta didik sesuai dengan ajaran Islam.Pendidikan Islam, suatu pendidikan yang
membawa peserta didik untuk berjalan di rel Islammenuju pencapaian titik kebaikan,
kebenaran, keindahan dan kedamain hidup dankehidupan di dunia dan akherat.
Pendidikan Islam tidak pernah mengajarkan peserta didik untuk berjalan di rel
kekerasan, kebencian dan ketidakadilan.11

b. Pendidikan Agama Islam multikultural adalah proses transformasi dan internalisasi


nilai-nilai dasar dan ideal ajaran Islam yang berusaha mengaksentuasikan aspek
perbedaan dan disparitas kemanusiaan dalam konteks yang luas sebagai Sunnatullah
yang harus diterima secara bijak di tengah kenyataan kehidupan manusia yang plural
dan multikultural dalam segala dimensinya untuk mewujudkan tatanan kehidupan
yang berkeadilan (Rusdiana, 2015, hal. 325).12
Perlunya membentuk pendidikan Islam berbasis multikultural adalah
merupakan inisiasi yang lahir dari realitas sejarah pendidikan khususnya di Indonesia
7
Rosichin Mansur,“PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM MULTIKULTURAL
(Suatu Prinsip-prinsip Pengembangan)”, Jurnal Ilmiah Vicratina, Volume 10, No. 2 (Nopember
2016), hal. 4.
8
Nurul Aulia Verona, “Pengembangan Kurikulum PAI Berbasis Multikultural”,
At-Tarbiyah al- Mustamirrah: Jurnal Pendidikan Islam Vol. 4 No. 1 (2023), hal. 43.
9
Ibid.
10
Rosichin Mansur, “PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
MULTIKULTURAL (Suatu Prinsip-prinsip Pengembangan)”, Jurnal Ilmiah Vicratina, Volume 10,
No. 2 (Nopember 2016), hal. 4.
11
Ibid.
12
Nurul Aulia Verona, “Pengembangan Kurikulum PAI Berbasis Multikultural”,
At-Tarbiyah al- Mustamirrah: Jurnal Pendidikan Islam Vol. 4 No. 1 (2023), hal. 44.
yang dianggap gagal dalam membangun citra kemanusiaan. Dimana, pendidikan
seolah hanya mencetak orang-orang yang pintar namun tidak mempunyai integritas
keilmuan dan akhalq ilmuwan. Seperti lahirnya para koruptor yang menyengsarakan
bangsa ini. Disatu sisi, pendidikan agama yang ada hanya menciptakan ahli agama
yang cara berpikirnya parsial dan sempit. Akhirnya, semakin banyak orang pintar
ilmu agama semakin kuat pertentangan dan konflik dalam kehidupan. Inilah potret
sistem pendidikan yang gagal dalam menciptakan citra manusia.13
Untuk merealisasikan cita-cita pendidikan yang mecerdaskan bangsa, lembaga
pendidikan Islam perlu menerapkan sistem pengajaran yang berorientasi pada
penanaman kesadaran multikulturalisme dalam kehidupan. Adapun beberapa program
pendidikan yang sangat strategis dalam menumbuhkan kesadaran multikulturalisme
adalah: pendidikan sekolah harus membekali siswanya dengan kerangka (frame work)
yang memungkinkannya menyusun dan memahami pengetahuan yang diperoleh dari
lingkungan dan budayanya.14
Berdasarkan penjelasan diatas, Pendidikan Agama Islam multikultural
diartikan sebagai suatu pendidikan yang memiliki tujuan yang lebih luas yakni
mampu melihat sisi kemanusiaan yang melintas antara agama dengan tradisi budaya
sebagai suatu kesatuan yang memiliki perbedaan ataupun kesamaan cita-cita. Model
pendidikannya menekankan kepada integrasi nilai-nilai yang ada dalam agama Islam,
seperti kasih sayang, tolong-menolong, nilai toleransi, menghargai keberagaman,
sikap yang menjunjung rasa kemanusiaan, nilai perdamaian, nilai kearifan, nilai
humanisme dan nilai kebebasan. Peneliti menyimpulkan bahwa kurikulum PAI
berbasis multikultural diartikan sebagai kegiatan mengintegrasikan nilai-nilai budaya
dengan pendidikan Islam.15

B. Bagaimana Langkah-langkah Pengembangan Kurikulum PAI Berbasis


Multikultural

Langkah-Langkah Pengembangan Kurikulum PAI Berbasis Multikultural


Pendidikan agama Islam berbasis multicultural menekankan pada pendekatan dialogis
untuk menanamkan kesadaran hidup bersama dalam keragaman dan perbedaan.
Pendidikan ini dibangun atas dasar kekuatan relasi kesetaraan dan kesederajatan,
saling percaya, saling memahami, menghargai persamaan, perbedaan dan keunikan
satu sama lain yang berbeda tiap individu maupun kelompok.
Adapun langkah-langkah pengembangan kurikulum PAI berbasis multicultural, yang
harus dilakukan adalah
(1) mengubah filosofi kurikulum dari yang berlaku seragam seperti saat ini kepada
filosofi yang lebih sesuai dengan tujuan, misi, dan fungsi setiap jenjang pendidikan
dan unit pendidikan. Selain itu, (2) teori kurikulum tentang konten (curriculum
content) yang berisikan fakta, teori serta generalisasi harus berubah kearah yang
mencakup nilai moral, prosedur dan keterampilan (skills) yang harus di miliki oleh
peserta didik. Selain itu,
(3) Penggunaan teori belajar dalam kurikulum di masa depan yang memperhatikan
13
Anik Faridah, “PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM MULTIKULTURAL”,
Investama : Jurnal Ekonomi dan Bisnis No. 1 Vol. 7 (2022), hal. 73.
14
Ibid.
15
Nurul Aulia Verona, “Pengembangan Kurikulum PAI Berbasis Multikultural”,
At-Tarbiyah al- Mustamirrah: Jurnal Pendidikan Islam Vol. 4 No. 1 (2023), hal. 44.
keragaman sosial, budaya, ekonomi, dan politik tidak boleh hanya mendasarkan
kepada teori psikologi belajar yang menempatkan peserta didik sebagai makhluk
sosial, budaya, politik, tetapi juga sebagai anggota aktif masyarakat, bangsa, dan
dunia yang harus diseragamkan oleh institusi pendidikan.
(4) Proses belajar yang dikembangkan untuk peserta didik harus berdasarkan pada
proses yang memiliki tingkat isomorphisme yang tinggi dengan kenyataan sosial.
Artinya, proses belajar yang mengandalkan peserta didik belajar secara individualistis
dan bersaing secara kompetitif individual harus ditinggalkan dan diganti dengan cara
belajar kelompok dan bersaing secara kelompok dalam situasi positif. Diharapkan
dengan cara demikian, perbedaan antar individu dapat dikembangkan sebagai suatu
kekuatan kelompok, dan peserta didik terbiasa hidup dengan berbagai budaya, social,
intelektualitas, ekonomi, dan aspirasi politik. Evaluasi yang digunakan haruslah
meliputi keseluruhan aspek kemampuan dan kepribadian peserta didik, sesuai dengan
tujuan dan konten yang dikembangkan guna menilai berbagai kemampuan yang
dimiliki (Qomarudin, 2019, hal. 99-100)
Berdasarkan penjelasan diatas, langkah-langkah pengembangan kurikulum PAI
berbasis multikultural menginginkan dalam proses belajar, guru dapat mengubah
model pembelajaran baru yang lebih komunikatif, dengan menekankan pada aspek
perbedaan dan keragaman peserta didik.

C. Prinsip-prinsip Pengembangan Kurikulum


Menurut Abdullah Idi, Prinsip-prinsip pengembangan kurikulum yaitu3 :
1. Relevansi; 2. Efektifitas; 3. Efisiensi; 4. Kesinambungan; 5. Fleksibiltas; 6.
Berorientasi pada tujuan; dan 7. Prinsip dalam model pengembangan
(Idi,2014:143-146)
1. Relevansi
Relevansi: kesesuaian dan keserasian pendidikan dengan tuntutan masyarakat. Dalam hal
ini ada dua relevansi, yaitu relevansi ke luar dan ke dalam. Relevansi ke luar: tujuan, isi, dan
kegiatan belajar harus relevan dengan tuntutan, kebutuhan dan perkembangan masyarakat.
Relevansi ke dalam: adanya kesesuaian atau konsistensi antara komponen-komponen
kurikulum, yaitu antara tujuan, isi, proses penyampaian dan penilaian menunjukkan
keterpaduan kurikulum.
2. Efektifitas
Efektifitas, berkenaan dengan sesuatu yang direncanakan atau diinginkan dapat
dilaksanakan, dan keberhasilan pelaksanaan kurikulum baik secara kuantitas maupun
kualitasnya. Kurikulum merupakan penjabaran dari perencanaan pendidikan dari
kebijakan-kebijakan pemerintah. Dalam pengembangannya, harus diperhatikan kaitan
antara aspek utama kurikulum yaitu tujuan, isi, pengalaman belajar, serta penilaian dengan
kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan.
3. Efisiensi
Efisiensi dalam kegiatan belajarmengajar berarti bahwa waktu, tenaga dan biaya yang
digunakan untuk menyelesaikan program pembelajaran dapat merealisasikan hasil yang
optimal. Kurikulum harus praktis, mudah dilaksanakan, menggunakan alat-alat sederhana
dan biayanya tidak mahal. Kurikulum dan pendidikan selalu dilaksanakan dalam
keterbatasanketerbatasan, baik keterbatasan waktu, biaya, alat, maupun personalia. Prinsip
efisiensi terkait dengan efisiensi waktu, tenaga, peralatan yang akan menghasilkan efisiensi
biaya.
4. Kesinambungan
Kesinambungan dimaksudkan saling hubungan antara berbagai tingkat dan jenis program
pendidikan atau bidang studi. Terkait dengan perkembangan dan kegiatan belajar peserta
didik berlangsung secara berkesinambungan, maka pengalaman belajar yang disediakan
kurikulum juga hendaknya berkesinambungan antara satu tingkat kelas dengan kelas
lainnya, antara satu jenjang pendidikan dengan jenjang lainnya, serta antara jenjang
pendidikan dengan pekerjaan.
5. Fleksibilitas
Fleksibilitas, kurikulum harus dapat mempersiapkan peserta didik untuk
kehidupan sekarang dan yang akan datang, di sini dan di tempat lain bagi peserta didik yang
memiliki latar belakang dan kemampuan yang berbeda. Di samping itu, peserta didik harus
diberi kebebasan dalam memilih program pendidikan yang sesuai dengan minat, bakat,
kebutuhan dan lingkungan. Kurikulum harus berisi hal-hal yang solid, tetapi dalam
pelaksanaannya memungkinkan terjadinya penyesuaian berdasarkan kondisi daerah, waktu
maupun kemampuan, dan latar belakang peserta didik. Kurikulum harus memberikan ruang
gerak yang memberikan kebebasan pendidik dalam mengembangkan program
pembelajaran. Pendidik dalam hal ini memiliki otoritas dalam pengembangan kurikulum
yang
sesuai dengan minat, kebutuhan peserta didik dan kebutuhan daerah lingkungannya.
5. Prinsip Berorientasi pada Tujuan
3 Ibid.
Pendidik harus menentukan tujuan pembelajaran sebelum menentukan bahan. Hal ini
berarti bahwa pendidik dapat menentukan dengan tepat metode mengajar, alat pengajaran
dan evaluasi yang digunakan dalam kegiatan belajar-mengajar
6. Prinsip dan Model Pengembangan Kurikulum
Pengembangan kurikulum dilakukan secara bertahap dan terus-menerus dengan
mengadakan perbaikan-perbaikan terhadap pelaksanaan dan hasil yang telah dicapai untuk
melakukan perbaikan, pemantapan dan pengembangan selanjutnya.
Prinsip-prinsip di atas, menjadi landasan dalam pengembangan kurikulum.
Sehingga pengembangan kurikulum yang akan dihasilkan merupakan suatu
kurikulum yang komprehensif.

D. Nilai-nilai Pendidikan Agama Islam Multikultural


Menurut Yaya Suryana dan A. Rusdiana, nilai-nilai pendidikan Islam berbasis multikultural
yaitu4: 1. Nilai Andragogi; 2. Nilai Perdamaian; 3. Nilai Inklusivisme; 4. Nilai Kearifan; 5.
Nilai Toleransi; 6. Nilai Humanisme; 7. Nilai Kebebasan (Suryana dan Rusdiana, 2015:323).
Berikut penjelasan singkat dan padat mengenai 7 nilai-nilai pendidikan Islam berbasis
multikultural menurut Yaya Suryana dan A. Rusdiana:
1. **Nilai Andragogi**: Mengacu pada pendekatan pendidikan yang berfokus pada
pembelajaran orang dewasa, menghargai pengalaman dan pemahaman individu.
2. **Nilai Perdamaian**: Mendorong perdamaian dan penyelesaian konflik secara damai
dalam masyarakat yang beragam.
3. **Nilai Inklusivisme**: Mengedepankan inklusi, artinya semua individu dan kelompok,
terlepas dari latar belakang mereka, harus merasa diterima dan dihormati dalam
masyarakat.
4. **Nilai Kearifan**: Menghormati kearifan lokal dan tradisi budaya sebagai bagian dari
warisan yang berharga.
5. **Nilai Toleransi**: Mempromosikan toleransi terhadap perbedaan agama, budaya, dan
pandangan dalam masyarakat multikultural.
6. **Nilai Humanisme**: Menekankan pentingnya menghormati martabat manusia dan
mengutamakan kesejahteraan serta keadilan sosial.
7. **Nilai Kebebasan**: Menegaskan pentingnya kebebasan beragama dan berpendapat
dalam konteks masyarakat yang multikultural.
Semua nilai-nilai ini bersama-sama membentuk landasan pendidikan Islam yang inklusif dan
mempromosikan harmoni dalam keragaman.
Sedangkan Muhammad Tholhah
Hasan, mengatakan bahwa
“Ta’aruf “ (saling kenal) merupakan indikasi positif dalam suatu masyarakat plural untuk
dapat hidup bersama, saling menghormati dan saling menerima perbedaan yang ada
diantara mereka. Ta’aruf menjadi gerbang yang memberi akses melakukan langkah-langkah
berikutnya dalam membangun kebersamaan kehidupan kultural, melalui karakterkarakter
inklusif seperti “tasamuh” (toleransi), “tawassuth” (moderat),
“ta’awun” (tolong menolong), “tawazun” (harmoni). Hal-hal tersebut kami sebut sebagai
akar-akar nilai inklusif dari Multikulturalisme Islam (Hasan, 2016:41).
Dalam pendidikan agama Islam tampak jelas memiliki muatan nilai
multikultural yaitu nilai tasamuh, tawassuth, ta’awun dan tawazun serta nilai
andragogi, perdamaian, kearifan, kebebasan dan nilai humanisme.

E. Tiga Prinsip Penyusunan Program Pendidikan Multikultural


H.A.R. Tilaar menuturkan tiga prinsip pokok program dalam pendidikan multikultural,
yaitu:
1. Pendidikan multikultural didasarkan kepada pedagogik baru yaitu pdagogik yang
dasarkan kesetaraan manusia (equity pedagogy). Pedadgogik kesetaraan bukan hanya
mengakui akan hak asasi manusia tetapi juga hak kelompok, kelompok suku bangsa,
kelompok bangsa untuk hidup berdasarkan kebudayaannya sendiri.
2. Pendidikan multikultural ditujukan kepada terwujudnya manusia Indonesia cerdas.
Pendidikan multikultural diarahkan untuk mengembangkan pribadi-pribadi manusia
Indonesia agar menjadi manusiamanusia yang cerdas.
3. Prinsip globalisasi. Globalisasi tidak dapat kita bendung karena persoalaanya adalah
bagaimana kita memanfaatkan arus globalisasi tersebut. Globalisasi tidak perlu kita takuti
apabila kita mengetahui arah serta nilai-nilai baik dan/atau buruk yang dibawanya (Tilaar:
2004:216-220).
Prinsip pokok program dalam pedidikan multikulural:
1) Pendidikan multikultural didasarkan pada pedagogik kesetaraan mansia. Manusia dalam
kedudukan yang sama, dan kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan.
2) Pendidikan multikultural ditujukan terwujudnya manusia yang cerdas. Pendidikan
multikultural dilaksanakan untuk menjadikan manusia yang cerdas, manusia yang mampu
membangun diri dan lingkungan kulturnyanya serta bisa mengatasi masalah-masalah yang
dihadapi.
3) Globalisasi yang tidak bisa dielakkan. Manusia tidak bisa menolak roda globalisasi yang
terus menggelinding dan akan menggilas bagi mereka yang tidak siap untuk
menghadapinya. Untuk itu globalisasi harus bisa dianggap sebagai modal berharga yang
harus dimanfaatkan, dikelola dengan baik.
Pengembangan Kurikulum PAI Multikultural
Bangsa Indonesia bangsa yang majemuk / multikultural baik suku, ras, budaya dan bahasa
serta agamanya. Untuk itu kurikulum pendidikan yang baik adalah kurikulum yang didesain
berbasis multikultural. Pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam multikultural
bukan pekerjaan mudah, bukan seperti mengiris bawang merah bawang putih sebagai
bumbu masakan. Melainkan harus memperhatikan prinsip dalam pengembangan kurikulum.
Hasan memberikan penegasan berkaitan dengan pengembangan kurikulum dengan
menggunakan pendekatan pengembangan multikultural yang didasarkan pada
prinsip:
a. Keragaman budaya menjadi dasar dalam menentukan filsafat.
b. Keragaman budaya menjadi dasar dalam pengembangan berbagai komponen
kurikulum, seperti tujuan, konten, proses, dan evaluasi.
c. Budaya di lingkungan unit pendidikan adalah sumber belajar dan objek studi yang
harus dijadikan bagian dari kegiatan belajar siswa.
d. Kurikulum berperan sebagai media dalam mengembangkan kebudayaan daerah dan
nasional (Suryana, Rusdiana, 2015:247).
Tidak jauh berbeda Ngainun Naim dan Achmad Sauki menjelaskan bahwa dalam
pengembangannya, kurikulum dengan menggunakan pendekatan multikultural
harus didasarkan pada prinsip:
a. keragaman budaya menjadi dasar dalam menentukan filsafat, teori, model, dan
hubungan sekolah dengan lingkungan sosial budaya setempat;
b. keragaman budaya menjadi dasar dalam pengembangan berbagai komponen
kurikulum, seperti tujuan, konten, proses, dan evaluasi;
c. budaya di lingkungan unit pendidikan adalah sumber belajar dan objek studi yang
harus dijadikan bagian dari
kegiatan belajar anak didik;
d. kurikulum berperan sebagai media dalam mengembangkan kebudayaan daerah dan
nasional (Suryana, Rusdiana, 2015:314).
Pengembangan kurikulum pendidikan multikultural mendasarkan prinsip bahwa keragaman
budaya menjadi dasar dalam menentukan filsafat, teori, model, dan pengembangan
komponen kurikulum, serta kurikulum berperan sebagai media pengembangan kebudayaan
daerah dan nasional. Sehingga kebudayaan daerah yang beragam bisa terus lestari dan
berkembang serta menjadi pilar-pilar penyangga kebudayaan nasional.
Kurikulum Pendidikan Islam berbasis kultural
Karena masyarakat Indonesia yang majemuk, maka kurikulum Pendidikan Agama islam
(PAI) yang ideal adalah kurikulum yang dapat menunjang proses siswa menjadi manusia
yang demokratis, pluralis, multikultural dan menekankan penghayatan hidup serta refleksi
untuk menjadi manusia yang utuh, yaitu generasi muda yang tidak hanya pandai tetapi juga
bermoral dan etis, serta mampu hidup dalam suasana demokratis satu dengan yang lain,
dan menghormati hak orang lain.

F. Tujuan dan Prinsip Pendidikan Multikultural


Konsep pendidikan multicultural merupakan respon atas ancaman disintegrasi bangsa dan
dominasi sekelompok masyarakat terhadap kelompok lainnya yang dipicu oleh keragaman
budaya (multikultur). Keragaman budaya yang berada dalam posisi berpotensi konflik
Prof. Dr. Agus Pahrudin, M.Pd. & Dr. Ismail Suardi Wekke, S.Ag., M.A. | 173
(conflict potential) sering disebabkan oleh klaim keungulan satu kebudayaan atas kebudayaan
lain dan oleh ketidaktahuan atas keberadaan kebudayaan lain yang berbeeda. Atas dasar
realitas tersebut, konsep pendidikan multicultural dimaksudkan untuk mengapresiasi segala
bentuk keragaman yang ada pada masyarakat, menempatkan segala keragaman dalam setiap
budaya tersebut dalam posisi setara secara adil, menjembatani keragaman-keragaman tersebut
agar mampu berkomunikasi, berinteraksi secara produktif serta memanfaatkan keragaman
tersebut sebagai potensi untuk memperoleh hasil yang positif.
Pendidikan multikultural yang mengacu pada paham multikulturalisme (multiculturalism)
bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran mengenai keragaman budaya yang meniscayakan
adanya sikap terbuka untuk menerima pihak lain melalui sistem pendidikan formal. Secara
sedehana multikulturalisme adalah suatu refleksi dari suatu sistem nilai yang menekankan
pada penerimaan terhadap perbedaan tingkah laku yang berasal dari sistem budaya yang
berbeda dan dukungan secara aktif akan hak-hak tiap perbedaan agar tetap eksis di tengah
sistem budaya yang berbeda tersebut”. (Dolce, 1973 : 283). Dengan demikian pendidikan
multikultural dapat dimaknai sebagai usaha-usaha edukatif yang diarahkan untuk dapat
menanamkan nilai-nilai kebersamaan kepada peserta didik dalam lingkungan yang berbeda
baik ras, etnik, agama, budaya, nilai-nilai dan ideologi sehingga memiliki kemampuan untuk
dapat hidup bersama dalam perbedaan dan memiliki kesadaran untuk hidup berdampingan
secara damai.
Bertolak pada paham multikulturalisme (Kendall, Frances E, 1983:3), merumuskan ke dalam
lima tujuan utama dari pendidikan multicultural, sebagai berikut.
Pertama, mengajarkan kepada peserta didik untuk menghargai nilai-nilai dan budaya orang
lain di samping nilai dan budayanya sendiri. Kedua, membantu semua peserta didik untuk
menjadi manusia yang bermanfaat di tengah masyarakat yang beragam ras dan budaya.
Ketiga, mengembangkan konsep diri yang positif dalam diri peserta didik yang dipengaruhi
oleh ras anak-anak kulit berwarna. Keempat,
Prof. Dr. Agus Pahrudin, M.Pd. & Dr. Ismail Suardi Wekke, S.Ag., M.A. | 174
membantu semua peserta didik untuk mengalami sendiri hidup di dalam persamaan dan
perbedaan sebagai manusia dengan cara-cara yang terpuji. Kelima, mendorong dan
memberikan pengalaman kepada peserta didik bekerjasama dengan orang yang berbeda
budaya sebagai bagian dari masyarakat secara keseluruhan.
Pendidikan multicultural memegang prinsip-prinsip pemahaman (understanding), kesetaraan
(equality) dan keadilan (justice). Berkenaan dengan hal ini Manning dan Baruth (1996:3),
mengemukakan tiga prinsip dasar yang harus ada untuk mempromosikan pendidikan
multicultural yang efektif, yaitu:
First, culturally different student need appropriate curricular materials. These matrials should
enhance self-concept, maintain interest in classroom learning, and provide examples,
vocabulary, and models with which culturally different students can relate. Second, major
curricular focuses should include skills in analysis and critical thinking. Third, materials,
activities, and experiences should help students understand ethnic differences and cultural
diversity by being authentic and multidimensional and should include both cognitive and
affective skills.
Bertolak pada paparan di atas, maka tujuan akhir pendidikan multikultural (multicultural
education) adalah dimilikinya pengetahuan, sikap dan tindakan yang toleran terhadap
perbedaan suku, agama, status ekonomi, aliran, faham dan bahkan juga toleransi terhadap
perbedaan individu baik bersifat kultural, fisik (warna kulit, ketampanan, dll) maupun bersifat
psikis (hobi, kemampuan intelektual, bakat dan minat). Dengan kata lain, pendidikan
multikultural diarahkan untuk dapat menghasilkan generasi umat, di samping berilmu dan
trampil, juga dapat hidup bersama di tengah masyarakat dalam konstruk masyarakat yang
terbaik (khoiru ummah), baik masyarakat dalam lingkup keluarga, regional, nasional dan
bahkan internasional. Atas dasar itu dalam upaya merealisasikan tujuan pendidikan
multicultural dalam perspektif keagamaan dapat diperhatikan pembahasan-pembahasan yang
dilakukan oleh pengkaji pendidikan multicultural di Indonesia seperti M. Ainul Yaqin dan
Zakiyuddin Baidhawy (2005: 39), yang mengemukakan tentang tujuan
Prof. Dr. Agus Pahrudin, M.Pd. & Dr. Ismail Suardi Wekke, S.Ag., M.A. | 175
pendidikan multicultural sebagai berikut: (1) membangun paradigma keberagamaan; (2)
menghargai keragaman bahasa; (3) membangun sikap sensitive gender; (4) membangun
pemahaman kritis terhadap ketidakadilan dan perbedaan status social; (5) membangun sikap
anti diskriminasi etnis; (6) menghargai perbedaan kemampuan; (7) menghargai perbedaan
umur; (8) belajar hidup dalam perbedaan; (9) membangun sikap saling percaya; (10)
memelihara sikap saling pengertian; (11) menjunjung sikap saling menghargai; (12)
membangun sikap terbuka dalam berfikir; (13) menumbuhkan sikap apresiatif dan
interdependensi, dan (14) Resolusi konflik dan rekonsiliasi nirkekerasan
. Pengertian pendidikan Islam berbasis multikultural
Terdapat beberapa karakter dalam menggagas pendidikan Islam berbasis
multikultural, antara lain;
Pertama, pendidikan Islam harus mempunyai karakter lembaga pendidikan umum yang
bercirikan Islam. Artinya, disamping menonjolkan pendidikannya dengan penguasaan atas
ilmu pengetahuan, namun karakter keagamaan juga menjadi bagian integral dan harus
dikuasai serta menjadi bagian dari kehidupan siswa sehari-hari.
Kedua, pendidikan Islam juga harus mempunyai karakter sebagai pendidikan yang berbasis
pada pluralitas. Artinya, bahwa pendidikan yang diberikan kepada siswa tidak menciptakan
suatu pemahaman yang tunggal, termasuk didalamnya juga pemahaman tentang realitas
keberagamaan. Kesadaran multikulturalisme dan pluralisme tidak lahir begitu saja. Namun
membutuhkan proses yang sangat panjang, sebagai realitas pemahaman yang
komprehensif dalam melihat suatu fenomena.
Ketiga, pendidikan Islam harus mempunyai karakter sebagai lembaga pendidikan yang
menghidupkan sistem demokrasi dalam pendidikan. Sistem pendidikan yang memberi
keluasan dalam mengekspresikan pendapatnya. Dalam konteks ini sekolah menfasilitasi
“mimbar bebas”, dengan memberikan kesempatan kepada semua civitas untuk berbicara
atau mengkritik tentang apa saja, asal bertanggung jawab. Selain itu juga membudayakan
“reasoning” bagi civitas di lembaga pendidikan Islam.

Anda mungkin juga menyukai