Anda di halaman 1dari 10

PENGEMBANGAN KURIKULUM BERBASIS MADRASAH

(Pendidikan Agama Islam )


Oleh :
Luqman Hakim Alfattah
alfattahluqman99@gmail.com

ABSTRAK
Madrasah merupakan lembaga penddidikan berbasis agama yang sudah lama ada di negara
Indonesia yang berupaya untuk secara aktif dapat mengembangkan potensi dalam diri peserta
didik agar memiliki life skill dengan bekal spiritual, intelektual, kecerdasan emosional dan
akhlak mulia, serta segala keterampilan yang mungkin diperlukan dalam masyarakat, bangsa
dan negara.Kurikulum adalah Pengembangan kurikulum merupakan bagian terpenting dalam
meningkatkan kualitas pembelajaran. Pengembangan kurikulum ini sangatlah penting untuk
meningkatkan keberhasilan sistem pendidikan secara menyeluruh karena kurikulum
merupakan faktor peningkat mutu pendidikan. Seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan juga teknologi pemerintah selalu melakukan berbagai pembenahan serta
upaya dan perbaikan kurikulum atau materi dalam program pendidikan.
Kata Kunci : pengembangan kurikulum di madrasah

PENDAHULUAN
Secara etimologi, kata “madrasah” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya
sekolah ataupun akademi yang umumnya bersumber pada Agama Islam. Sebaliknya dalam
Ensiklopedi Islam di Indonesia, kata madrasah merupakan kata yang berasal dari Bahasa
Arab, dari kata dasar “darasa” yang maksudnya “belajar”. Madrasah berarti tempat untuk
belajar. Kata darasa dengan penafsiran “membaca serta belajar” yang adalah pangkal kata
madrasah itu sendiri, berasal dari Bahasa Herbew atau Aramy.
Pengembangan kurikulum merupakan sesuatu hal yang dapat terjadi kapan saja sesuai
dengan kebutuhan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan
yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat merupakan hal-hal yang harus segera ditanggapi
dan dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum pada setiap jenjang pendidikan.
Kondisi masa sekarang dan kecenderungan yang akan terjadi pada masa yang akan datang
memerlukan pada generasi muda dan peserta didik yang memiliki kompetensi,

1
pengembangan kurikulum harus mampu mengantisipasi segala persoalan yang terjadi masa
sekarang dan masa yang akan datang.
Kurikulum adalah rencana tertulis tentang kemampuan yang harus dimiliki
berdasarkan standart nasional, materi yang perlu dipelajari dan pengalaman belajar yang
harus dijalani untuk mencapai kemampuan tersebut, dan evaluasi yang perlu dilakukan untuk
menentukan tingkat pencapaian kemampuan peserta didik, serta seperangkat peraturan yang
berkenaan dengan pengalaman belajar peserta didik mengembangkan potensi dirinya pada
satuan pendidikan tertentu (Oemar Hemalik, 2002: 91).
METODE RISET
Metode dalam penulisan ini menggungunakan metode Kualitatif Deskriptif. Karena,
metode Kualitatif Deskriptif adalah metode penelitian yang berdasarkan pada filsafat
postpositivisme digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah (sebagai
lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci teknik
pengumpulan data dilakukan secara trigulasi.
TEMUAN PENELITIAN
Dengan adanya penulisan ini khalayak umum dapat mengetahui ilmu Pengembangan
Kurikulum Berbasis Madrasah ( Pendidikan Agama Islam ).
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kurikulum

Secara bahasa, kurikulum berasal dari bahasa inggris yaitu kata curriculum yang
berarti rencana pelajaran. Kata Curriculum sendiri berasal dari kata "Currere yang berarti

berlari cepat, tergesa gesa, menjelajahi, menjalani, dan berusaha. Dalam kamus
Webster's tahun 1857, secara gamblang kurikulum diartikan sebagai rancangan sejumlah
mata pelajaran yang harus dikuasai oleh siswa untuk naik kelas atau
mendapatkan ijazah (menyelesaikan studinya).

Menurut Soedijarto, kurikulum merupakan serangkaian pengalaman dan


kegiatan belajar yang direncanakan untuk diatasi oleh siswa dalam rangka mencapai tujuan
pembelajaran yang telah ditetapkan oleh suatu lembaga pendidikan yang berwenang. Adapun
di Indonesia, dalam UU No.20 tahun 2003 pasal 1 ayat (19), konstitusi menyatakan bahwa
kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Lebih lanjut pada pasal 36 ayat (3)

2
disebutkan bahwa kurikulum disusun sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikan dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan :

1. peningkatan iman dan takwa


2. peningkatan akhlak mulia
3. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik
4. keragaman potensi daerah dan lingkungan
5. tuntutan pembangunan daerah dan nasional
6. tuntutan dunia kerja
7. perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
8. agama
9. dinamika perkembangan global, serta
10.persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan

Fungsi kurikulum dalam rangka mencapai tujuan pendidikan

Fungsi kurikulum dalam pendidikan tidak lain merupakan alat untuk mencapai tujuan
pendidikan, Fungsi kurikulum dalam pendidikan tidak lain merupakan alat untuk mencapai
tujuan pendidikan. Dalam hal ini, alat untuk menempa manusia yang diharapkan sesuai
dengan tujuan yang diharapkan. Pendidikan suatu bangsa dengan bangsa lain tidak akan sama
karena setiap bangsa dan negara mempunyai filsafat dan tujuan pendidikan tertentu yang
dipengaruhi oleh berbagai segi, baik segi agama, ideologi, kebudayaan, maupun kebutuhan
negara itu sendiri. Dengan demikian di negara kita tidak sama dengan negara-negara lain.
Untuk itu, maka:

1. Kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan nasional,


2. Kurikulum merupakan program yang harus dilaksanakan oleh guru dan murid dalam
proses belajar mengajar, guna mencapai tujuan-tujuan itu,
3. Kurikulum merupakan pedoman guru dan siswa agar terlaksana proses belajar
mengajar dengan baik dalam rangka mencapai tujuan pendidikan.
Konsep Kurikulum
Kurikulum memiliki berbagai tafsiran yang dirumuskan oleh pakarpakar dalam bidang
pengembangan kurikulum sejak dulu sampai sekarang. Tafsiran-tafsiran tersebut berbeda
antara satu dengan yang lainnya, sesuai dengan titik berat dan sudut pandang yang
digunakan. Ansyar (2015: 23) menyatakan bahwa, “kurikulum sebagai suatu bidang studi
yang dinamis, maka perbedaan tersebut wajar, karena konsep kurikulum berubah dan

3
berkembang mengikuti perubahan zaman dan tututan kemajuan serta perbedaan persepsi atau
pandangan filosofis”.

Berbagai ragam konsep kurikulum bisa bersumber dari perbedaan aliran filsafat pendidikan
bagi pendidik dan pengembang kurikulum yang terefleksi pada pendekatan kurikulum yang
digunakan. Dengan kata lain, perbedaan timbul disebabkan adanya variasi pendekatan
kurikulum (curriculum approach) yang dianut pendidik, pengembang atau pengambil
kebijakan pendidikan. Pada pendekatan behavioral misalnya, lebih menginginkan kurikulum
fokus pada perubahan tingkah laku individu atau peserta didik. Kurikulum behavioral harus
logis dan bertumpu pada prinsip teknis dan saintifik, sehingga kurikulum perlu
diformulasikan berdasarkan paradigma, model, dan strategi (Ornstein & Hunkins, 2013: 2).

Berbeda pula menurut pendekatan humanistik, yaitu kurikulum lebih mementingkan belajar
kooperatif, belajar mandiri, belajar dalam kelompok kecil, dan tujuan tidak menjadi bagian
dominan dalam kurikulum. Hal utama dalam kurikulum humanistik adalah kurikulum harus
dapat memberdayakan semua potensi pengetahuan, keterampilan, dan sikap individu agar
bisa mengeksplorasi dirinya menjadi seorang yang mandiri sesuai bakat, minat, potensi
kebutuhan dan kepentingan peserta didik (Clute, 2000: 9).

Dalam definisi kurikulum secara harfiah, berasal dari bahasa latin yaitu currere yang berarti
berlari di lapangan pertandingan (race course). Menurut definisi ini, kurikulum adalah suatu
“arena pertandingan” tempat individu “bertanding” untuk menguasai satu atau lebih keahlian
guna mencapai “garis finish” yang ditandai pemberian gelar atau ijazah (Robert S Zais dalam
Hamalik, 2001: 16). Pengaruh definisi ini sangat besar bahkan masih bertahan dalam praktik
pendidikan modern hampir diseluruh negara di dunia.

Sedangkan pengertian harfiah modern terkait kurikulum mulai bergeser menjadi program
studi (course of study). Para individu “bertanding” dengan mengutamakan kapasitas
individual agar mampu mengaktualisasi diri di masa lalu, sekarang, dan masa depan. Dari
hasil aktualisasi diri, para individu memiliki visi tertentu dalam menapaki kehidupan masa
depan (William H Schubert dalam Ansyar, 2015: 25). Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa
kurikulum sebagai suatu proses sosial untuk memaknai kurikulum sebagai pengalaman hidup
(life experience)

Uraian tersebut menunjukkan makna bahwa, kurikulum berperan dalam memfasilitasi


individu atau peserta didik sebagai upaya mengembangkan pengalaman hidup. Lebih lanjut
Ornstein & Hunkins (2013: 8) menguraikan lingkup kurikulum secara luas, yaitu; Pertama,
kurikulum sebagai rencana pembelajaran. Artinya kurikulum direncanakan untuk mencapai
tujuan pembelajaran, yang berisi pengalaman belajar terencana dan terprogram serta hasil
belajar yang terbentuk dari rekonstruksi peserta didik atas pengetahuan yang dipelajarinya.
Jadi, implementasi kurikulum harus menimbulkan interaksi peserta didik dengan konten
kurikulum. Hasil interaksi inilah yang membuahkan pengetahuan yang selanjutnya
ditransformasi menjadi pengalaman dan/atau kompetensi. Secara implisit peserta didik yang
memiliki kompetensi berarti mempunyai keterampilan aplikatif dalam mentransformasi
konten menjadi pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan.

4
Sejalan dengan hal tersebut, Saylor dan Alexander (dalam Ansyar, 2015: 27) menyatakan
bahwa kurikulum sebagai rencana pembelajaran harus dilengkapi kegiatan peserta didik
untuk memahami dan mendalami secara mandiri materi ajar dengan atau tanpa fasilitas
pendidik. Kurikulum sebagai rencana pembelajaran harus mencakup komponen instruksional
lainnya seperti ruang lingkup pelajaran (scope), urutan materi pelajaran, kegiatan
pembelajaran, strategi, metode, dan teknik pembelajaran agar proses pembelajaran berjalan
dengan baik. Di sisi lain, kurikulum sebagai rencana pembelajaran lebih mengutamakan
kegiatan administratif (teaching activities) daripada proses yang membelajarakan peserta
didik.

Kedua, kurikulum sebagai hasil belajar. Kurikulum sebagai hasil belajar menunjukkan
pergeseran titik berat kurikulum dari sebagai alat (curriculum plans) menjadi tujuan
(curriculum outcomes). Kurikulum ini berdasarkan asumsi bahwa hasil yang dinyatakan
adalah suatu cara yang baik untuk menetapkan tingkat keberhasilan pencapaian tujuan.
Kurikulum sebagai hasil belajar mengharuskan secara eksplisit dan terperinci perubahan apa
saja yang akan dicapai oleh peserta didik. Selain itu, kurikulum harus menspesifikasi proses
pembelajaran yang harus ditempuh peserta didik agar tujuan kurikulum itu tercapai secara
efektif dalam menghasilkan pengalaman belajar yang relevan dengan tujuan.

Menurut Wiles (2009: 3) kurikulum sebagai hasil belajar lebih fokus pada pencapaian suatu
perubahan pada diri peserta didik, daripada mata pelajaran atau materi ajarnya. Implikasi
praktiknya adalah kurikulum harus memuat bukan saja materi, tujuan kurikulum atau tujuan
instruksional saja, tetapi juga komponen kurikulum lain seperti kegiatan belajar, susunan
materi, metode, media atau alat bantu belajar, dan sistem evaluasi. Henderson & Gornik
(2006: 47) menambahkan bahwa kurikulum ini lebih memosisikan mata pelajaran dan materi
ajar sebagai alat (tools), daripada sebagai target kurikulum. Artinya pelaksana kurikulum
harus mampu mengimplementasikan rancangan kurikulum, agar peserta didik memperoleh
hasil belajar yang direncanakan (planned learning) dan menguasai kompetensi tertentu yang
telah dirumuskan dalam kurikulum.

Ketiga, kurikulum sebagai konten. Menurut Doll (1995: 6) kurikulum sebagai konten
diartikan sebagai sumber peserta didik memperoleh pengetahuan, mengembangkan
keterampilan dan sikap, sarana apresiasi, dan menginternalisasi nilai-nilai kehidupan.
Kurikulum sebagai konten harus memuat dan dilengkapi kegiatan belajar peserta didik yang
membelajarkan untuk mencapai tujuan tertentu. Untuk menghindarkan kurikulum menjadi
disfungsional, komponen materi dan kegiatan belajar harus menjadi kesatuan yang integral
dalam setiap proses pembelajaran. Hal ini penting, karena pembelajaran tanpa keterlibatan
aktif peserta didik, menjadikan konten kurikulum tidak lebih hanya sebagai informasi semata,
belum menjadi pengetahuan, pengalaman, apalagi kompetensi.

Selain konten dan keterlibatan aktif peserta didik dalam menjadikan kurikulum fungsional
adalah metode atau susunan materi dan kegiatan belajar. Seperti halnnya urutan materi,
tingkat kesukaran, iklim belajar, strategi dan metode pembelajaran serta media, yang
merupakan faktor penunjang dalam memfasilitasi peserta didik menguasai kompetensi
tertentu. Erickson (2002: 86) menyatakan bahwa kurikulum sebagai konten dikaitkan dengan

5
dokumen tertulis yang memuat garis besar mata pelajaran sebagai substansi kurikulum yang
diajarkan kepada peserta didik. Kurikulum sebagai konten merupakan bagian dari upaya
penyederhanaan masalah kurikulum yang begitu kompleks menjadi lebih sederhana. Hal ini
bertujuan agar implementasi kurikulum lebih mudah dipahami.

Keempat, kurikulum sebagai reproduksi kultural. Kurikulum ini merupakan proses


pendidikan yang diselenggarakan agar peserta didik mampu menghayati pentingnya
pengetahuan, moral, sikap, dan nilai-nilai luhur yang dapat diterapkan dalam kehidupan. Hal
ini karena kultur atau budaya mengandung cara berpikir, tata laku atau sikap, dan nilai-nilai
luhur masyarakat yang mencakup pengetahuan serta kebiasaan kelompok masyarakat yang
menjadikan satu-kesatuan sosial. Salah satu elemen penting dalam budaya atau kultur adalah
keterampilan hidup (survival skills) untuk diajarkan kepada generasi penerus sebagai bekal di
masa depan. Selain mempelajari muatan budaya tersebut, generasi penerus diharapkan dapat
pula memelihara, meneruskan, mengembangkan nilai-nilai kebudayaan luhur yang
diwariskan oleh para pendahulu.

Implikasi kurikulum sebagai reproduksi kultural adalah kurikulum harus merefleksikan


kebudayaan masyarakat. Berdasarkan konsep tersebut, lembaga pendidikan melalui
rancangan dan implementasi kurikulum berfungsi sebagai pelaksana atau sarana reproduksi
ilmu pengetahuan dan mentransformasi nilai-nilai kebudayaan bagi generasi mendatang. Hal
ini ditegaskan kembali oleh Ornstein & Hunkins (2013: 53) bahwa, “...agar kebudayaan
hidup terus dan berkembang, maka kebudayaan itu harus senantiasa ditransfer dari orang
dewasa ke anak”. Karena pada dasarnya praktik pendidikan membawa perbaikan kultural dan
rekonstruksi sosial yang diperlukan masyarakat untuk meningkatkan kualitas kehidupan.

Kelima, kurikulum sebagai pengalaman belajar. Kurikulum sebagai pengalaman belajar


mencakup pengertian bahwa kurikulum bukan hanya rancangan tertulis yang digunakan
untuk membelajarkan peserta didik. Melainkan termasuk implementasi di ruang kelas, di
lingkungan sekolah, dan di lingkungan masyarakat, selama pengalaman itu sejalan dengan
tujuan pendidikan. Dengan bekal pengalaman, peserta didik dapat melakukan hal-hal baru
seperti membaca, memainkan suatu instrumen, bersosialisasi, bersikap positif, dan
sebagainya (Wiles, 2009: 3).

Dalam konteks pendidikan, kurikulum merupakan pengalaman akumulatif yang diperoleh


setiap peserta didik melalui semua kegiatan dan lingkungan belajar yang direncanakan dan
diprakarsai oleh lembaga pendidikan. Orientasi pengalaman dalam konsep ini menunjukkan
dinamika pengertian kurikulum, dari sebagai rancangan tertulis berkembang menjadi hasil
implementasi rancangan kurikulum yaitu berupa pengalaman belajar (learning experiences).
Pengalaman belajar merupakan embrio kompetensi peserta didik sebagai atribut “apa atau
sesuatu” yang dapat dilakukan oleh peserta didik Sejalan dengan hal tersebut, Ansyar
(2015:38) menyatakan bahwa kurikulum bukan hanya dokumen mati yang memuat berbagai
rencana ideal untuk membelajarkan peserta didik. Melainkan harus diimplementasikan
dengan memberikan pengalaman belajar yang bermakna, bukan hanya sekedar menghasilkan
pengetahuan tentang “apa atau sesuatu” yang harus diketahui atau dihafal semata.

6
Keenam, kurikulum sebagai sistem produksi. Kurikulum ini berkisar pada pertimbangan
tentang hasil akhir pembelajaran berupa tujuan instruksional yang harus dicapai peserta didik.
Tujuan instruksional tersebut harus dinyatakan secara jelas dan tepat yang dirumuskan dalam
bentuk tingkah laku atau keterampilan yang diinginkan dan hasilnya dinyatakan dalam
bentuk operasional, yaitu bisa dilihat (observable) dan diukur (measurable). Implikasi
kurikulum sebagai hasil produksi adalah pendidik bertindak sebagai seorang mekanik, yang
tugas pokoknya melaksanakan dan menjaga agar kurikulum beserta semua komponen proses
teknologi produksinya, menghasilkan luaran produk (outcomes) yang memadai melalui
kualitas kontrol yang baik. Pandangan tersebut bertumpu pada teori Skinner yang dikenal
sebagai “operant conditioning” yaitu menyatakan bahwa tugas pendidik bersifat mekanik,
yaitu mengusahakan adanya penguatan (enforcement) berupa stimulus agar peserta didik
secara otomatis bertingkah laku akhir seperti yang diinginkan kurikulum (Schunk, 2012: 120)

Ornstein & Hunkins (2013: 41) kembali menegaskan bahwa kurikulum sebagai sistem
produksi menjadikan belajar bersifat linear dan mekanistik, sedangkan peserta didik dianggap
sebagai suatu benda mekanik yang dapat dikondisikan untuk menghasilkan pembelajaran
secara otomatik. Dengan demikian peserta didik direduksi menjadi suatu sistem respons
mekanistik, dan oleh karena itu, kurikulum dianggap sebagai proses belajar yang hasilnya
harus dapat diukur dan diamati.

Berdasarkan tinjauan konsep-konsep kurikulum di atas, peneliti dalam mengembangkan


desain kurikulum bidang kemaritiman merujuk pada konsep kurikulum sebagai pengalaman
belajar. Meskipun setiap konsep kurikulum memiliki kekurangan dan kelebihan, akan tetapi
konsep kurikulum sebagai pengalaman belajar lebih mudah dipahami dan lebih tepat sebagai
acuan pengembangan desain kurikulum bidang kemaritiman

Konsep kurikulum sebagai pengalaman belajar, menegaskan bahwa kurikulum harus


diimplementasikan dengan memberikan pengalaman belajar yang bermakna. Pengalaman
belajar bukan hanya sekedar mengetahui atau menghafal pengetahuan semata, melainkan
merupakan embrio kompetensi berupa pengetahuan dan keterampilan peserta didik sebagai
atribut “apa atau sesuatu” yang harus dikuasai dan dapat dilakukan oleh peserta didik.

Karakteristik Pendidikan Islam


Dalam penjabaran definisi di atas dapat kita lihat dengan jelas perbedaan yang mendasar
antara pendidikan dan pendidikan Islam. Perbedaan inilah yang nantinya akan tersirat secara
gamblang dalam pelaksanaan masing-masing metode pendidikan. Di bawah ini merupakan
karakteristik dari pendidikan Islam yang diambil dari berbagai sumber.
1. Pendidikan Yang Tinggi (Sakral) Pendidikan Islam bersumber langsung dari Allah swt.
melalui Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dengan kata lain, pendidikan Islam merupakan sebuah
proses mengenal dan pengakuan secara nyata atas Allah swt. Proses pendidikan Islam adalah
sebuah proses dimana seorang manusia berhubungan langsung dengan penciptanya. Definisi
7
pendidikan yang diutarakan oleh Prof. DR. Hasan Langgulung semakin menjelaskan bahwa
pendidikan Islam sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai kesakralan yang disebabkan
hubungan manusia dengan Tuhannya.
2. Pendidikan Yang Seimbang Pendidikan Islam tidak hanya mementingkan satu sisi
pendidikan saja, tapi juga membangun manusia secara seimbang (utuh), akal dan hatinya,
jasmani dan rohaninya. Keseimbangan yang tercipta merupakan keseimbangan hidup dalam
menjalankan aktivitas dunia tanpa mengesampingkan aktivitas yang berorientasi akhirat.
Begitu juga sebaliknya, seimbang dalam menjalankan aktivitas yang berorientasi akhirat
tanpa melupakan aktivitas dunia. Diriwayatkan dari Jabir berkata,”Rasulullah saw
bersabda,’Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak
bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi
manusia.” (HR. Thabrani dan Daruquthni)
3. Pendidikan Yang Realistis Pendidikan Islam berjalan secara jelas dan nyata terhadap
kehidupan dalam masyarakat. Realistis terhadap segala aspek kehidupan, baik yang bersifat
sosial ataupun bersifat ilmiah. Dikatakan menurut Omar Muhammad Al-Taumy Al-Syabani,
pendidikan Islam bersifat realistis dan jauh dari 4 khayal serta berlebih-lebihan. Praktis dan
realistis dengan fitrah manusia, sejalan dengan suasana serta sesuai dengan kesanggupan
manusia baik secara individu ataupun masyarakat. Contoh nyata akan ciri realistis ini sudah
banyak dijumpai. Anggapan akan ajaran Islam yang tidak dapat diterima dan tidak dapat
aplikasikan kembali dipatahkan oleh manusia sendiri. Dijelaskan oleh Rina Novia (2010),
bagaimana Rasulullah telah menjadi guru yang sangat hebat dan telah mencetak banyak
murid yang hebat pula. Metode-metode yang digunakan Rasulullah pada saat itu nyatanya
masih sangat applicable pada zaman sekarang ini, bahkan tidak dapat digantikan. Krisis yang
terjadi saat ini pada dunia anak-anak kita telah dapat dijawab oleh Islam jauh sebelumnya.
4. Pendidikan Yang Komprehensif dan Integral Komprehensif memeliliki pengertian luas dan
lengkap. Sebagai ajaran yang komprehensif, menurut berbagai sumber, Islam memiliki
beberapa karakteristik yang dapat dijadikan landasan berpikir dalam kehidupan sehari-hari.
Pertama, Islam merupakan ajaran (pendidikan) yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.
Islam tidak mengenal sekat geografis yang membatasi manusia selama ini. Jarak dan letak
tidak menjadikan Islam sebagai ajaran yang ditujukan hanya untuk sekelompok orang saja,
melainkan untuk seluruh umat manusia di segala penjuru dunia. Kedua, Islam sebagai
penyempurna agama-agama sebelumnya akan terus berlaku sampai kapan pun. Islam akan
terus menjadi pedoman hidup manusia, akan terus berlaku di zaman apapun. Ketiga, Islam

8
sebagai ajaran yang integral, mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Islam berbicara
dari masalah yang paling pribadi hingga kemasyarakatan dan kenegaraan. Masalah sosial,
hukum, sains, ekonomi, dari adab melakukan kegiatan sehari-hari hingga kepermasalahan
politik nasional dan internasional. Islam berbicara tidak hanya masalah ideologi saja, tetapi
juga seluruh segi kehidupan manusia. Ajaran Islam merupakan ajaran yang tidak terputus
antara yang satu dengan yang lainnya. Terdapat hubungan yang kuat dan koneksi yang jelas
dalam semua ajaran Islam. 5. Pendidikan Yang Berkontinuitas “Carilah ilmu dari buaian
sampai liang lahat” (HR. Muslim). Kontinu di sini memiliki arti dilakukan terus-menerus
tidak hanya untuk mendapatkan sesuatu yang baru tapi juga mengembangkan dan
memanfaatkan apa yang telah diperoleh. Dalam pendidikan Islam, tidak ada kata selesai
dalam menuntut ilmu. Sebuah keharusan bagi seorang manusia untuk terus memperdalam
ilmunya, tidak hanya melalui bangku pendidikan, justru tantangan itu akan jauh lebih besar
ketika seorang manusia tiba di tengah-tengah masyarakat. Tantangan tidak hanya untuk terus
mengembangkan keilmuan tetapi juga untuk mendayagunakan bagi kehidupan.
5 Dari Abdullah bin Mas’ud r.a. Nabi Muhamad pernah bersabda: ”Janganlah ingin seperti
orang lain, kecuali seperti dua orang ini. Pertama orang yang diberi Allah kekayaan
berlimpah dan ia membelanjakannya secara benar, kedua orang yang diberi Allah al-Hikmah
dan ia berprilaku sesuai dengannya dan mengajarkannya kepada orang lain.” (HR Bukhari).
6. Pendidikan yang Global Sebagai agama yang universal (rahmatan lil alamin) Islam dapat
diterima oleh semua suku, golongan, ras, dan bangsa. Hal ini tidak terlepas dari karakteristik
pendidikan Islam yang lainnya. Dengan karakter pendidikan Islam sebelumnya menjadikan
pendidikan Islam sangat mudah diterima oleh semua golongan tidak hanya zaman dahulu,
sekarang, ataupun yang akan datang.
7. Pendidikan Yang Tumbuh dan Berkembang Ilmu-ilmu pengetahuan yang seluruhnya
bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah belum sepenuhnya dapat diungkap oleh manusia,
keterbatasan manusia menjadi salah satu penyebabnya. Namun disanalah yang membuat
pendidikan Islam akan terus tumbuh dan berkembang. Dengan bersumber Al-Qur’an dan As-
Sunnah, akan terus bermunculan penemuan-penemuan baru, teoriteori baru, sebagai bentuk
pendidikan Islam yang tidak pernah berhenti untuk tumbuh dan berkembang. Karakter yang
terdapat pada diri pendidikan Islam menggambarkan dengan jelas posisi pendidikan Islam
diantara jenis pendidikan-pendidikan yang lainnya.
Namun, dengan melihat kondisi yang ada saat ini, banyak tantangan yang harus dihadapi
pendidikan Islam, dimana tantangan tersebut tidak hanya yang bersifat internal namun juga

9
yang datangnya dari luar Islam sendiri, Muhaimin (2011). Tantangan tantangan tersebut
harus mampu dijawab setiap elemen yang ada dalam pendidikan Islam, mulai dari tingkat
dasar hingga ke tingkat perguruan tinggi. Dengan perhatian yang serius, pendidikan Islam
nantinya, dan agama Islam dalam artian secara luas, dapat diterima oleh semua orang di muka
bumi ini.

Daftar Pustaka
https://sosioakademika.blogspot.com/2015/10/karakteristik-pendidikan-islam-seiring.html
http://wisnucorner.blogs.uny.ac.id/wp-content/uploads/sites/1955/2015/11/WISNU-
PRAWIJAYA_RESUME_VIII_MODEL-PENG-KUR.pdf
http://yudiruswandi.blogspot.com/2012/12/definisi-pengembangan-kurikulum.html
https://ejournal.stital.ac.id/index.php/alibrah/article/view/106
https://www.maassalamiyah.sch.id/blog/quicquid-enima-sapientia-proficiscitur-idconti-copy/
https://www.maxmanroe.com/vid/umum/pengertian-kurikulum.html

10

Anda mungkin juga menyukai