Anda di halaman 1dari 6

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Profil Pura Jagatnatha Banguntapan


Yogyakarta penuh akan keanekaragaman budaya. Semuanya hidup dalam
kerukunan dan toleransi beragama. Maka dari itu, tidak perlu heran bila
banyak sekali rumah ibadah yang berdiri di Yogyakarta.
Salah satunya adalah Pura Jaganatha di kawasan Jomblangan,
Banguntapan, Kabupaten Bantul. Pura ini menjadi satu diantara banyak pura
di Yogayakarta yang aktif digunakan untuk beribadah umat Hindu. Terdapat
sekitar 80 kepala keluarga pengempon asli Banguntapan dan lebih dari 100
kepala keluarga asal Bali yang menyebar di beberapa daerah.
Dibangunnya Pura Jagatnatha Banguntapan ini adalah bukti konkret
bahwa umat Hindu di Jogjakarta, khususnya Wong Abangan, konsisten
memeluk agama Hindu.
Pura Jagatnatha terletak di Jalan Pura no.370, Desa Plumbon
Banguntapan, Bantul, Yogyakarta. Sejarah berdirinya pura ini mulai pada
tahun 1967 di mana kelurahan banguntapan banyak disinggahi masyarakat
yang memeluk agama Hindu Dharma, hingga terbentuk Majelis Umat Hindu
Dharma di wilayah Banguntapan , Bantul, karena banyaknya umat yang
berkembang. Proses pembangunan Pura Jagatnatha Banguntapan dimulai 26
Juni 1974 hingga rampung dan diresmikan pada 22 Mei 1975. Awalnya, lahan
untuk pembangunan pura tersebut luasnya hanya 7,60 are, namun kini
berkembang menjadi sekitar 22,25 are. Dan Pada tahun 1975 masyarakat
Banguntapan pemeluk agama Hindu mulai membangun pura jagatnatha,
dengan berhasil membangun gedung persembahyangan dan padmasana pada
waktu itu.
Pada Januari 1976, PHDI Kecamatan Banguntapan mengajukan
permohonan ijin penggunaan tanah kas desa seluas 720m² untuk pura. yang
dilanjutkan dengan membangun Gedung Kori dan pagar kanan kiri. Februari
1982 hingga Juni 1982 Membangun candi bentar dan tembok penyengker
depan yang kemudian Pura Banguntapan ditingkatkan statusnya menjadi Pura

4
Pusat/Jagat Natha dengan nama Pura Jagatnatha Banguntopo, Jogjakarta dan
itu menjadi awal nama pura jagatnatha dan sejarah pembangunanya.
Dulu Pura ini adalah tempat pertapaan dari Hamengku Buwono II yang
kemudian bergelar Ki Banguntapan. Ki Banguntapan ini di yakini sebagai
salah satu titisan dari Sabdopalon. Pura Jagatnatha menjadi wisata unggulan
untuk wisata religi di Yogyakarta.
Pura Jagatnatha Banguntapan kini punya beberapa orang yang ditunjuk
untuk mengelola Pura yang disebut sebagai Penyungsung. Penyungsung
dipilih oleh umat berdasarkan kriteria tertentu yang dianggap mampu. Umat
Jagatnatha sendiri terdiri dari warga Banguntapan dan ada juga yang disebut
“kelompok utara” yaitu orang-orang yang berasal dari Bali yang tinggal di
Yogyakarta. Para Penyungsung ini bekerja dengan sukarela (tanpa dibayar).
Pura Jagatnatha Yogyakarta diempon oleh warga asli Banguntapan
sebanyak 80 kepala keluarga (KK).
Sementara pengempon asal Bali ada ratusan KK, yang berdomisili di
Bantul, Sleman, Kodya Yogyakarta, Wanasari (Gunung Kidul).

2.2 Keistimewaan Pura Jagatnatha Banguntapan


Bangunan pura Jagatnatha memiliki kekhasan tersendiri, yaitu pada bagian
tengah dibangun sebuah tempat yang diberi atap. Maksud dari pembangunan
ini adalah agar pada saat berdoa, terhindar dari panas matahari atau hujan.
Pura ini menjadi kebanggan tersendiri bagi masyarakat pemeluk agama
Hindu di Yogyakarta, selalu pura ini yang menjadi tujuan utama utuk
bersembahyang, tak hanya masyarakat jogja sendiri, namun pemeluk agama
Hindu pendatang dari kota- kota lain pun datang dan bersembahyang di pura
ini. Untuk bangunan pura sendiri mempunyai bangunan yang cukup unik
dengan adanya atap pada bangunan tengahnya, jauh dari ciri khas agama
Hindu yang bersembahyang diruangan terbuka yang bertujuan untuk menyatu
dengan alam.
Pura Jagatnatha Banguntapan saat ini memiliki dua orang panindita atau
pemuka agama yang masih aktif memimpin acara sembahyang. Kedudukan
sebagai pemuka bukanlah hasil dari pemilihan umat akan tetapi murni dari

5
panggilan hati untuk hidup sebagai seorang pemuka. Pura ini sering digunakan
berdoa oleh banyak umat Hindu disekitar pura. Mengingat ada banyak warga
masyarakat yang beragama Hindu yang tinggal disekitar Pura.

2.3 Sumber Daya Manusia di Sekitaran Pura Jagatnatha Banguntapan


Pura Jagatnatha terletak di Jalan Pura no.370, Desa Plumbon
Banguntapan, Bantul, Yogyakarta. Berdirinya pura ini mulai pada tahun 1967
di mana kelurahan banguntapan banyak disinggahi masyarakat yang memeluk
agama Hindu Dharma, hingga terbentuk Majelis Umat Hindu di wilayah
Banguntapan, Bantul, karena banyaknya umat yang berkembang.
Pura Jagatnatha Banguntapan memiliki beberapa orang yang ditunjuk
untuk mengelola Pura yang disebut sebagai Penyungsung
(Pengempon).Memiliki dua orang Pinandita atau pemuka agama yang masih
aktif memimpin acara sembahyang.Kedudukan sebagai pemuka bukanlah
hasil dari pemilihan umat akan tetapi murni dari panggilan hati untuk hidup
sebagai seorang pemuka.Di dalam kepengurusan terdapat struktur
kepengurusan berupa penasehat, ketua, sekretaris, wakil sekretaris, bendahara
dan seksi-seksi.
Untuk perekrutan pengurus melalui rapat pemilihan yang diadakan oleh
pengurus Pura.Pemilihan pengurus dan pengempon ini dipilih oleh umat
Hindu.Orang yang dipilih sebagai pengurus terutama pengempon memiliki
kriteria dianggap mampu dan layak dimata umatnya.Jadi, tidak ada kriteria
tertentu dalam pemilihannya atau SOP (standar operasional prosedur) tidak
ada.
Orang yang dianggap mampu menjadi pengempon dan telah dipilih oleh
umat harus siap “ngayah” atau mengabdikan diri dengan tulus ikhlas dan siap
melayani umat. Oleh karena itu, calon pengempon dan pengurus harus siap
“yatnya” atau berkorban atau pengorbanan dalam artian siap berkorban waktu,
tenaga, dan pikiran dalam hal ini untuk mengurus Pura. Pengempon dan
pengurus Pura sendiri dalam mengurus Pura dan memeliharanya tidak ada
penggajian.Jadi, Pengempon dan pengurusnya benar-benar tulus ikhlas
mengabdikan diri dan memelihara Pura.

6
Untuk masa jabatan Pengempon dan pengurus Pura adalah 5 tahun. Jadi,
setiap 5 tahun sekali diadakan rapat pergantian pengempon dan pengurus.
Dalam pengelolaan Pura, Pengempon dan pengurus dibantu oleh para seksi-
seksi yaitu seksi keamanan, seksi upacara upakara, dan seksi
yatnya.Pengempon disini bertanggung jawab atas semua hal yang menyangkut
dengan Pura.Seksi keamanan bertugas untuk menjaga Pura saat ada upacara
maupun tidak ada upacara.Seksi upacara upakara bertugas untuk menyiapkan
hal-hal yang dibutuhkan saat upacara.Dan seksi yatnya (pengorbanan)
bertugas untuk menyiapkan sarana peribadahan yang digunakan saat
upacara.Setiap 3 bulan sekali diadakan rapat rutin bagi Pengempon dan
pengurusnya untuk melaporkan pendanaan dan evaluasi kinerja para pengurus.
Rapat tidak hanya dilakukan setiap 3 bulan sekali juga tetapi diadakan jika
dipandang perlu diadakan rapat, seperti menjelang kegiatan Hari Raya dimana
sebelum hari banyak hal yang perlu disiapkan sehingga kegiatan rapat bisa
saja dilakukan secara intensif.

2.4 Sarana dan Prasarana Pura Jagatnatha Banguntapan


Sarana dan prasarana yang ada terdapat di Pura Jagatnatha cukup
memadai. Sarana yang ada seperti toilet, gedung candi sasono, tempat parkir
dan kantor kesekretariatan, serta alas duduk (tikar, karpet, dsb). Ada petugas
kebersihan yang bertugas untuk membersihkan lingkungan Pura baik di dalam
maupun di luar. Petugas tersebut berasal dari warga sekitar tentunya juga umat
Pura Jagatnatha, dan petugas tersebut tidak digaji.
Pura Jagatnatha sendiri terdiri dari beberapa bagian bangunan, yaitu :
a. Bagian depan Pura, dimana letak keskretariatan di area tersebut. Masih di
area depan Pura terdapat pula gedung candi sasono. Area ini merupakan
area yang boleh dikunjungi oleh orang-orang yang ingin melihat Pura
Jagatnatha. Gedung candi sasono ini merupakan gedung multi fungsi,
dimana saat pengunjung datang ke Pura penerimaan tamu di gedung
tersebut. Fungsi yang lain gedung tersebut biasanya digunakan untuk
berlatih kesenian, rapat, dll.

7
b. Bagian tengah Pura, dimana pengunjung tidak boleh memasuki area
tersebut. Area tersebut merupakan area dimana para umat melakukan adat
upacara. Di area ini, terdapat bangunan-bangunan yang memiliki simbol-
simbol keTuhanan umat Hindu.
c. Bagian utama Pura, merupakan tempat yang di sakralkan karena area ini
sebagai kiblat umat Hindu untuk melakukan persembahyangan. Oleh
karena itu, para pengunjung sangat dilarang untuk mengunjungi area
tersebut.
d. Untuk para pengunjung yang datang diluar umat Hindu, tidak dikenakan
biaya masuk Pura. Dan pengunjung yang datang untuk memasuki Pura
diharuskan melepas alas kaki, serta tidak boleh sembarangan mengambil
gambar yang berada didalam Pura. Hanya di area tertentu seperti di area
pintu masuk Pura.

Pura tidak boleh dimasuki oleh pengunjung ataupun umat yang sedang
haid, umat yang salah satu keluarganya meninggal, dan orang gila, serta
berpakaian rapi. Hal ini karenakan Pura merupakan tempat peribadahan
dimana tempat itu harus dijaga kesuciannya. Bila salah satu dari tiganya
memasuki Pura maka harus diadakan upacara pembersihan.

Bagi umat Hindu dalam melaksanakan persembahyangan terdapat pakaian


khusus untuk bersembahyang. Namun, jika ada umat yang akan melakukan
sembahyang di Pura Jagatnatha khususnya, membolehkan tidak memakai
pakaian tersebut tetapi diwajibkan berpakaian rapi. Pura menyediakan kain
untuk beribadah bagi umat yang tidak memakai celana panjang. Pura juga
menyediakan sarana perembahyangan (persembahan) bagi umat yang akan
melaksanakan sembahyang.

Sarana tersebut adalah sebuah kanya (nampan) yang berisikan:

a. Sebuah gelas/tempat tirtha berisi air bersih (diletakkan di pelingih,


pelangkiran, altar, sanggar pemujaan)- untuk memohon tirtha
wangsuhpada.
b. Sebuah mangkok kecil berisi beras yang sudah dicuci bersih diberi
wewangian (bija)

8
c. Dupa secukupnya
d. Bunga / canang sari / kwangen secukupnya

Anda mungkin juga menyukai