Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEBIDANAN PADA AN ”B” USIA 9 BULAN


DENGAN IMUNISASI CAMPAK
DI PUSKESMAS GONDOSARI KUDUS

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Praktik


Stase Asuhan Kebidanan Bayi dan Balita

Oleh:
TRI HANDAYANI
NIM. 2202218001

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI BIDAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUDUS
TAHUN 2023

I
HALAMAN PENGESAHAN

ASUHAN KEBIDANAN PADA AN ”B” USIA 9 BULAN


DENGAN IMUNISASI CAMPAK
DI PUSKESMAS GONDOSARI KUDUS

Oleh :

TRI HANDAYANI

2202218001

Menyetujui,

Pembimbing Akademik Pembimbing Lahan

( ) ( )

Mengetahui,

Ketua Program Studi Profesi Bidan

(Bdn. Indah Puspitasari,SSiT,M.Keb)


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, anugrah, serta
hidayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan tugas Laporan Pendahuluan
pada stase Asuhan Kebidanan Pada Bayi dan Balita yang berjudul “Asuhan Kebidanan Pada
An ”B” Usia 9 Bulan Dengan Imunisasi Campak Di Puskesmas Gondosari Kudus”
Penyusunan laporan ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu
perkenankan kami menyampaikan ucapan terimakasih kepada dosen pembimbing,
pembimbing lahan dan semua pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu-persatu yang telah
membantu dalam penyelesaian laporan ini.
Laporan yang telah kami buat ini masih jauh dari kata sempurna oleh karena itu
kami mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif. Semoga laporan ini dapat menjadi
bahan referensi dan bermanfaat bagi kita semua.

Kudus, 27 September 2023

Tri Handayani
DAFTAR ISI

LAPORAN PENDAHULUAN............................................................................................I

HALAMAN PENGESAHAN.............................................................................................II

KATA PENGANTAR........................................................................................................III

DAFTAR ISI......................................................................................................................IV

BAB I...................................................................................................................................5

PENDAHULUAN................................................................................................................5

A. Latar Belakang..........................................................................................................5

B. Rumusan Masalah.....................................................................................................6

C. Tujuan........................................................................................................................7

BAB II TINJAUAN TEORI.................................................................................................8

A. Bayi baru lahir...........................................................................................................8

B. Ikterik Neonatorum...................................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................17
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ikterik neonatus merupakan salah satu kelainan pada bayi baru lahir baik pada
bayi prematur ataupun bayi lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR) disertai
dengan kadar bilirubin yang tinggi dan warna kuning pada kulit ataupun sklera
(Sowwam & Aini, 2018), warna kuning pada kulit ataupun sklera merupakan akibat dari
akumulasi bilirubin yang berlebih (Widiawati, 2017).
Data kejadian ikterik neonatus pada bayi baru lahir di Indonesia menurut
(Kemenkes, 2016) sebesar 51,47%, pada tahun 2016 kabupaten Bandung mencatat ada
sebanyak 108 kasus yang dialami oleh BBLR meliputi 18 kasus dengan kelainan
konginetal, 13 kasus asfiksia, 8 kasus sepsis, 2 kasus dengan infeksi dan sebab lainya
sebanyak 40 kasus termasuk kasus ikterik.
Bayi lahir belum cukup bulan atau bayi prematur di Jawa Barat sebesar 23,5%,
hal ini terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan angka di Jawa Tengah yaitu sebanyak
19% dan Jawa Timur 23,3% (Riskesdas, 2018), sedangkan data kejadian ikterik
neonatus di daerah Jambi khususnya di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Raden
Mattaher sebanyak 102 bayi menderita ikterik neonatus dari 269 kelahiran pada tahun
2015 (Widiawati, 2017)
Ikterik neonatus akan menimbulkan efek yang berbahaya. Efek yang ditimbulkan
dari ikterik neonatus dapat muncul dalam jangka pendek seperti bayi kejang-kejang dan
dalam jangka panjang akan mempengaruhi proses tumbuh kembang bayi mulai dari
adanya gangguan bicara dan gangguan mental (Mulyati et al., 2019).
Berdasarkan latar belakang di atas yang menunjukkan bahwa penaganan ikterik
pada neonatus berpengaruh terhadap tumbuh kembangnya, untuk itu penulis tertarik
untuk melakukan “Asuhan Kebidanan Bayi Baru Lahir Pada Bayi Ny. I Usia 5 Hari
Dengan Ikterus Di Ruang Poliklinik RSU Kumala Siwi Kudus”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas penulis merumuskan “Bagaimana memberikan
Asuhan Kebidanan Bayi Baru Lahir Pada Bayi Ny. I Usia 5 Hari Dengan Ikterus Di
Ruang Poliklinik RSU Kumala Siwi Kudus”

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk melaksanakan manajemen asuhan kebidanan pada bayi baru lahir
dengan ikterik neonatus di Ruang Poliklinik RSU Kumala Siwi Kudus
2. Tujuan Khusus
a. Mampu melaksanakan pengumpulan data pada bayi baru lahir dengan ikterik
b. Mampu merumuskan interpretasi data pada bayi baru lahir dengan ikterik
c. Mampu mengidentifikasi diagnosa potensial pada bayi baru lahir dengan ikterik
d. Mampu melaksanakan antisipasi penanganan segera dan kolaborasi pada bayi
baru lahir dengan ikterik
e. Mampu menyusun rencana tindakan asuhan kebidanan pada bayi baru lahir
dengan ikterik.
f. Mampu melaksanakan asuhan kebidanan sesuai rencana tindakan bayi baru lahir
dengan ikterik.
g. Mampu mengevaluasi asuhan kebidanan yang telah diberikan pada bayi baru
lahir dengan ikterik.
h. Mampu mendokumentasikan semua temuan dan tindakan yang telah diberikan
pada bayi baru lahir dengan ikterik.

BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Bayi Baru Lahir


1. Pengertian

Fisiologi Neonatus merupakan ilmu yang mempelajari fungsi dan proses vital
neonatus. Neonatus adalah individu yang baru saja mengalami proses kelahiran dan
harus menyesuaikan diri dari kehidupan intrauterine ke kehidupan ekstrauterin.
Selain itu, neonatus adalah individu yang sedang bertumbuh. (Juliana, 2019). Bayi
baru lahir adalah bayi yang cukup bulan, 38-42 minggu dengan berat badan sekitar
2500-4000 gram dan panjang badan sekitar 50-55 cm. (Indrayani dan Edwin, 2013).
Defenisi neonatus normal adalah neonatus yang lahir dari kehamilan 37
minggu sampai 42 minggu dengan berat badan lahir 2500 gram sampai 4000 gram
(Maryanti, 2012).
Masa neonatus yaitu masa awal dari bayi lahir sampai berusia 28 hari dan
merupakan awal dari pertumbuhan dan perkembangan ekstra uteri, dalam masa ini
bayi yang baru lahir harus melewati proses adaptasi dari semua organ tubuh, mulai
dari pernafasan, penyesuaian denyut jantung dengan ukuran jantung yang lebih
besar dari rongga dada, dan terjadinya peningkatan aktifitas bayi diikuti
berkembangnya fungsi organ dalam tubuh (Sembiring., 2019).

2. Adaptasi terhadap kehidupan di luar kandungan


a. Awal Pernafasan
Pada saat lahir, bayi berpindah tempat dari suasana hangat di lingkungan rahim
ke dunia luar tempat dilakukannya peran eksistensi mandiri. Bayi harus dapat
melakukan transisi hebat ini dengan tangkas. Untuk mencapai hal ini,
serangkaian fungsi adaptif dikembangkan untuk mengakomodasi perubahan
drastis dari lingkungan di dalam kandungan ke lingkungan di luar kandungan
(Diane M Frase 2009)
b. Adaptasi Paru
Hingga saat lahir tiba, janin bergantung pada pertukaran gas darah maternal dan
plasenta. Setelah pelepasan plasenta yang tibatiba setelah kelahiran, adaptasi
yang sangat cepat terjadi untuk memastikan kelangsungan hidup. Sebelum lahir,
janin melakukan gerakan pernafasan dan menyebabkan paru matang, baik
biokimia maupun anatominya untuk menghasilkan surfaktan, dan mempunyai
jumlah alveolus yang memadai untuk pertukaran gas (Diane M Frase 2009).
c. Adaptasi Kardiovaskular
Sebelum lahir, janin hanya bergantung pada plasenta untuk semua pertukaran
gas dan ekskresi sisa metabolik. Dengan pelepasan plasenta pada saat lahir,
sistem sirkulasi bayi harus menyesuaikan mayor guna mengalirkan darah yang
tidak mengandung oksigen menuju paru untuk direoksigenasi (Diane M Frase
2009).
d. Adaptasi Suhu
Bayi memasuki suasana yang jauh lebih dingin pada saat kelahiran , dengan
suhu kamar bersalin 21 °C yang sangat berbeda dengan suhu dalam kandungan,
yaitu 37 °C. Ini menyebabkan pendinginan cepat pada bayi saat cairan amnion
menguap pada kulit (Diane M Frase 2009).
3. Perawatan Segera Bayi Baru lahir
a. Pencegahan kehilangan panas
Saat lahir, mekanisme pengaturan suhu tubuh pada BBL belum berfungsi
sempurna. Oleh karena itu, jika tidak segera dilakukan upaya pencegahan
kehilangan panas tubuh maka BBL dapat mengalami Hipotermia. Bayi dengan
hipotermia, beresiko tinggi untuk mengalami sakit berat bahkan hingga
kematian. Hipotermia mudah terjadi pada bayi yang keadaan tubuhnya dalam
keadaan basah atau tidak segera dikeringkan dan diselimuti walaupun berada di
ruangan yang relatif hangat. (Direktorat Jendral Bina Gizi dan Kesehatan Ibu
dan Anak 2012).
Mekanisme Kehilangan Panas
1) Evaporasi
Evaporasi adalah kehilangan panas akibat penguapan cairan ketuban
pada permukaan tubuh oleh panas tubuh bayi sendiri. Hal ini merupakan
jalan utama bayi kehilangan panas. Kehilangan panas juga dapat terjadi jika
saat lahir tubuh bayi tidak segera dikeringkan atau terlalu cepat dimandikan
dan tidak segera diselimuti (Direktorat Jendral Bina Gizi dan Kesehatan
Ibu dan Anak 2012).
2) Konduksi
Konduksi adalah kehilangan panas tubuh melalui kontak langsung
antara tubuh bayi dengan permukaan yang dingin. Meja, tempat tidur atau
timbangan yang temperaturnya lebih rendah dari tubuh bayi akan menyerap
panas tubuh bayi melalui mekanisme konduksi apabila bayi diletakkan di
atas benda-benda tersebut (Direktorat Jendral Bina Gizi dan Kesehatan Ibu
dan Anak 2012).
3) Konveksi
Konveksi adalah kehilangan panas tubuh yang terjadi pada saat bayi
terpapar udara sekitar yang tebih dingin. Bayi yang dilahirkan atau
ditempatkan di dalam ruangan yang dingin akan cepat mengalami
kehilangan panas. Kehilangan panas juga terjadi jika ada aliran udara
dingin dari kipas angin, hembusan udara dingin melalui ventilasi/pendingin
ruangan (Direktorat Jendral Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak 2012).
4) Radiasi
Radiasi adalah kehilangan panas yang terjadi karena bayi
ditempatkan di dekat benda-benda yang mempunyai suhu lebih rendah dari
suhu tubuh bayi. Bayi dapat kehilangan panas dengan cara ini karena
bendabenda tersebut menyerap radiasi panas tubuh bayi (walaupun tidak
bersentuhan secara langsung) (Direktorat Jendral Bina Gizi dan Kesehatan
Ibu dan Anak 2012).
B. Ikterik
1. Pengertian
Hiperbilirubin adalah tingkat bilirubin dalam darah yang berlebihan.
Bilirubin adalah produk akhir dari gangguan sel darah merah yang menghasilkan
penampilan kulit jaundice atau kuning, sakit kuning (ikterik) diklasifikasikan
menjadi ikterik fisiologis dan ikterik patoligis. Ikterik fisiologis dianggap normal
dan akan tampak saat serum bilirubin mencapai 5 sampai 7 mg/dL, biasanya kadar
bilirubin akan naik setelah hari keempat dan akan kembali normal pada usia 14
hari (Joyce & Jhonson, 2014).
2. Etiologi
a. Faktor bayi
Berat badan bayi lahir kurang dari 2500 gram dapat memicu terjadinya ikterik
neonatus dikarenakan fungsi organ-organ khususnya hati belum matang untuk
memproses eritrosit.
Asfiksia pada bayi baru lahir menjadi faktor ikterik pada bayi
dikarenakan organ-organ pada neonatus kekurangan asupan oksigen terutama
pada hati sehingga menyebabkan fungsi kerja organ tidak optimal, yang
mengakibatkan glikogen yang dihasilkan dalam hati berkurang, hal ini dapat
menyebabkan ikterik pada bayi (Putri & Rositawati, 2017).
b. Faktor ibu
Faktor ini menyebabkan bayi ikterik dengan usia kehamilan pre
matur/aterm, usia ibu yang sudah tidak muda lagi (antara usia 29- 35tahun),
persalinan dengan jarak yang cukup lama, lahir dengan spontan, dan ibu hamil
yang menderita multipara.
c. Faktor lainnya
Faktor-faktor yang memicu terjadinya ikterik selain dari ketiga faktor
diatas adalah hipoksia, dehidrasi, usia sel darah merah akibat prematuritas dapat
menyebabkan peningkatan infeksi saluran hepatic dan hipoglikemia. Faktor-
faktor tersebut bisa saja mengakibatkan menurunnya kadar bilirubin oleh sel
hati dan dapat memperparah derajat ikterik (Manggiasih & Jaya, 2016)

3. Patofisiologi
Menurut Mathindas et al (2013) blirubin dapat diproduksi dalam sistem
retikuloendotelial sebagai produk akhir katabolisme heme, dan dibentuk melalui
reaksi redoks. Pada tahap pertama oksidasi, melalui aksi heme oxygenase, heme
membentuk biliverdin dan melepaskan besi dan karbon monoksida. Besi dapat
digunakan kembali, sedangkan karbon monoksida dikeluarkan melalui paru-paru.
Biliverdin yang larut dalam air direduksi menjadi bilirubin yang hampir tidak larut
dalam bentuk isomer. Bilirubin tak terikat hidrofobik diangkut ke plasma dan terikat
erat ke albumin. Ketika bilirubin lepas dari faktor endogen atau eksogen (seperti
obat- obatan) yang mengganggu pengikatan albumin, bilirubin bebas dapat melewati
membran yang mengandung lemak (lapisan lipid ganda), termasuk penghalang darah
menuju otak dapat menyebabkan neurotoksisitas
Bilirubin yang mencapai hati dipindahkan ke sel hati dan berikatan dengan
ligan. Masuknya bilirubin ke dalam sel hati akan meningkat seiring dengan
peningkatan konsentrasi protein ligan. Konsentrasi protein ligan rendah saat lahir,
tetapi akan meningkat drastis selama beberapa minggu pertama
Bilirubin mengikat asam glukuronat di retikulum endoplasma melalui reaksi
yang dikatalisis oleh uridin difosfat glukuronosil transferase. Pengikatan bilirubin
mengubah molekul bilirubin yang tidak larut dalam air menjadi molekul yang larut
dalam air. Setelah bilirubin diekskresikan ke dalam empedu dan usus, di direduksi
dan diubah menjadi tetrapyrole, yang tidak berwarna oleh mikroorganisme di usus
besar. Beberapa terkonjugasi oleh aksi B-glukuronidase dan terjadi di usus halus
bagian proksimal. Bilirubin tak terikat ini dapat diserap kembali dan masuk ke
sistem peredaran darah, sehingga meningkatkan kadar bilirubin plasma total. Siklus
absorpsi, kombinasi, ekskresi, dekomposisi dan reabsorpsi ini disebut sirkulasi
enterohepatik. Karena keterbatasan asupan nutrisi pada bayi baru lahir selama
hidupnya, proses ini memakan waktu lama pada bayi baru lahir
4. Manifestasi klinis (maryati, 2017)
a. Ikterik dalam 24 jam pertama setelah bayi lahir
b. Ikterik yang disertai dengan keadaan berat badan bayi lahir rendah yaitu
kurang dari 2000gram
c. Asfiksia
d. Hipoksia
e. Kejang
f. Pembesaran pada hati
g. Terdapat anoreksia, muntah dan warna urin yang sedikit gelap
h. Konsentrasi bilirubin yang meningkat 10mg% atau lebih dalam 24 jam
i. Kuningnya membran mukosa
j. Kulit menguning
k. Sklera menguning
5. Komplikasi
Hiperbilirubin memiliki komplikasi serius jika tidak segera ditangani dengan
baik, menurut Mulyati et al (2019) komplikasi ikterik neonatus dalam jangka
pendek bisa menyebabkan kejang-kejang pada bayi sedangkan dalam jangka
panjang bayi akan menderita kecacatan yang menyerang neurologis.
Menurut Dewi (2014) adanya kerusakan otak akibat bilirubin indirek yang
terdapat pada otak adalah pengertian dari kern ikterus atau ensefalopati biliaris.
Komplikasi ini akan ditandai dengan adanya kadar bilirubin pada darah yang sangat
tinggi yaitu lebih dari 20mg% untuk bayi lahir dalam cukup bulan dan lebih dari
18mg% untuk bayi lahir dengan berat badan rendah, dengan diikuti tanda lain yaitu
adanya kerusakan otak, kejang-kejang, tidak ada reflek menghisap, bayi mengalami
sianosis dan ada beberapa gangguan penyerta seperti gangguan dengan pendengaran
yang menyebabkan ketulian, adanya gangguan dalam bicara, dan adanya retardasi
mental.
6. Penatalaksanaan Medis
a. Pemberian terapi fenobarbital
Pemberian obat fenobarbital memerlukan waktu selama 48 jam agar
hiperbilirubin bisa menurun, pemberian obat fenobarbital dapat berfungsi
sebagai perangsang enzim untuk percepatan konjugasi, namun pengobatan
dengan cara ini tidak terlalu efektif untuk pemberian awal (Manggiasih & Jaya,
2016).
b. Pemberian substrat
Penatalaksanaan medis dengan memberikan substrat untuk membantu
transportasi inkonjugasi dengan memberikan albumin, karena glukosa sangat
diperlukan untuk berlangsungnya konjugasi di hati sebagai sumber energi
(Manggiasih & Jaya, 2016)
c. Pemberian fotoerapi
Pemberian fototerapi merupakan tindakan dalam proses penanganan ikterik
neonatus, tindakan ini dilakukan dengan memberikan sinar yang menggunakan
lampu sebagai alat utama terapi. Dalam pelaksanaan fototerapi sebaiknya masa
lampu tidak lebih dari 500 jam untuk mencegah energi lampu agar tidak turun,
pemberian fototerapi telah teruji klinis dalam penurunan bilirubin yang tak
terkonjugasi dengan berlebih, sedangkan implementasi ini mengalami
perubahan yang drastis dari transfusi tukar (Bhutani, 2011). Jarak berpengaruh
penting dalam proses fototerapi karena jarak bertujuan untuk efektifitas
fototerapi, dosis dan keefektifan fototerapi dipengaruhi jarak lampu, semakin
dekat jarak lampu maka semakin besar juga radiasinya, namun jarak tidak
diharuskan lebih dari 50 cm. tetapi jarak bisa dikurangi dengan tujuan mencegah
resiko over heating (Judarwanto, 2012).
Cara pelaksanaan fototerapi
1) Sebelum dilakukan fototerapi sebaiknya pakaian yang dikenakan dibuka
dan bayi hanya menggunakan popok, hal ini bertujuan agar sinar
fototerapi langsung bersentuhan dengan kulit bayi
2) Memberikan penutup mata pada bayi
3) Posisikan jarak antara bayi dengan lampu sekitar 40 cm
4) Ubah posisi bayi setiap 6 jam
5) Melakukan pemeriksaan kadar bilirubin setelah dilakukan fototerapi
selama 8 jam atau tidak lebih dari 24 jam
6) Memberikan ASI sesuai kebutuhan bayi
DAFTAR PUSTAKA

Anggraini, H. (2016). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Ikterus pada


Neonatal.Jurnal Aisyah: Jurnal Ilmu Kesehatan, Vol. 2 No. 1

Dewi, A.K.S., Kardana, I.M., Suarta, K. (2016). Efektivitas Fototerapi Terhadap Penurunan
Kadar Bilirubin Total pada Hiperbilirubinemia Neonatal di RSUP
Sanglah.Jurnal Sari Pediatri. Vol. 18, No. 2

Hanisamurti, L. (2018). Pengaruh Fototerapi Terhadap Derajat Ikterik pada Neonatus di


Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang [skripsi]. Palembang (ID):
Universitas Muhammadiyah Palembang

Herawati, Y. & Indriati, M. (2017).Pengaruh Pemberian ASI Awal terhadap Kejadian Ikterus
pada Bayi Lahir 0-7 Hari.Jurnal Bidan “Midwife Journal”Vol. 3 No.01 Ikatan
Dokter Anak Indonesia.(2013). Indikasi Terapi Sinar pada Bayi Menyusu yang
Kuning.Public Article

Marmi, S.S. dan Rahardjo, K. (2015).Asuhan Neonatus, Bayi, Balita, dan Anak Prasekolah.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Puspita, N. (2018). Pengaruh Berat Badan Lahir Rendah Terhadap Kejadian Ikterus
Neonatrum di Sidoarjo. Jurnal Berkala Epidemiologi. Vol. 6, No.2

Puspitosari, R.D., Sumarno, & Susatia, B. (2006).Pengaruh Paparan Sinar Matahari Pagi
terhadap Penurunan Tanda Ikterus pada Ikterik Neonatrum Fisiologis.Jurnal
Kedokteran Brawijaya Vol. 22 No.3

Rohsiswatmo, R. dan Amandito, R. (2018). Hiperbilirubinemia pada Neonatus >35 minggu di


Indonesia: Pemeriksaan dan Tata Laksana Terkini. Jurnal Sari Pediatri. Vol. 20,
No. 2 79
Yanti, S. (2016).Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Hiperbilirubinemia Patologis pada
Bayi Baru Lahir di Ruangan Perinatologi RSUD Dr. Adnaan WD Payakumbuh
[skripsi]. Sumatera Barat (ID): Universitas Andalas

Yuliawati, D. dan Astutik, R. Y. (2018).Hubungan Faktor Perinatal dan Neonatal terhadap


Kejadian Ikterus Neonatorum.Jurnal Ners dan Kebidanan, Vol. 5 No.2

Anda mungkin juga menyukai