Disusun oleh :
Kelas : B
2021
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberi kami kekuatan dan petunjuk untuk
menyelesaikan tugas makalah ini. Tanpa pertolongan- Nya saya tidak akan bisa
menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Makalah ini di susun berdasarkan tugas dan proses pembelajaran yang telah di
titipkan kepada saya. Makalah ini di susun dengan menghadapi berbagai rintangan, namun
dengan penuh kesabaran kami mencoba untuk menyelesaikan makalah ini.
Semoga makalah yang saya buat ini dapat di nilai dengan baik dan di hargai oleh
pembaca. Meski makalah ini masih mempunyai kekurangan, saya selaku penyusun mohon
kritik dan sarannya. Terima kasih.
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Kerang Hijau
2.2.Rekayasa Teknologi
2.2.1.Metode Rakit
2.2.2.Metode Rak
2.2.4.Metode Tancap
2.3.Rekayasa Genetika
2.4.Rekayasa Lingkungan
BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
3.2.Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Budidaya kerang hijau berkembang secara pesat disebabkan oleh karena teknik dari
pembudidayaannya itu mudah, jika dibandingkan dengan teknologi biota-biota budidaya yang
lainnya. Peningkatan dari produksi kegiatan budidaya dapat dilakukan dengan memanipulasi
sistemnya ataupun pada teknik pembudidayaannya sebagai dapat meningkatkan kualitas
maupun kuantitasnya pada produk hasilan oleh budidaya (Cheney, 2010). Di Indonesia ada
beberapa metode yang telah diterapkan untuk membudidayakan kerang hijau ini, antara lain
yaitu metode tancap, rakit tancap, rakit apung, dan juga dengan melakukan metode long line
(Rejeki, 2001).
Kerang hijau bersifat non selective filter feeder yaitu hidup dengan menyaring
makanan (material) yang tersuspensi di perairan atau dari sedimen (Parson, 1984), dan
bersifat sessile (menetap) yaitu sedikit bergerak sehingga jika ada bahan-bahan berat seperti
logam dapat diserap dalam tubuh kerang tersebut (Hutagalung, 1991). Untuk
membudidayakan kerang hijau terbilang mudah, dikarenakan keberlangsungan hidup dari
kerang hijau dia mampu bertahan dan juga berkembang biak pada tekanan lingkungan yang
tinggi dan juga tanpa pemberian pakan, oleh karena itu pembudidayaan kerang jenis ini
terbilang mudah. Dalam (WWF-Indonesia, 2015). Pertumbuhan kerang hijau (P. viridis)
dipengaruhi oleh ketersediaan pakan dalam media budidaya. Pakan kerang hijau (P. viridis)
berupa plankton, bahan organik, dan sisa pakan maupun kotoran udang. Dalam Retnosari
Diyah,dkk. (2019).
1.2. Tujuan
Adapun manfaat pembuatan makalah ini yaitu untuk dapat mengetahui rekayasa
aquakultur dari kerang hijau dan juga rekayasa lingkungan dan rakayasa genetiknya.
BAB II
PEMBAHASAN
The green-lipped mussel atau juga assian green mussel ataupun disebut juga sebagai
kerang hijau dari famili Mytilidae spesiesnya termasuk kedalam Perna viridis L. Dan juga
sebagaisalah satu komoditas penting pada kegiatan budidaya laut (Gosling, 2003). Kerang
hijau juga merupakan termasuk kedalam kelompok jenis biota kerangan yang dibilang
prospektif untuk melakukan pengembangan dalam suatu sistem budidaya, dikarenakan salah
satu faktornya adalah pertumbuhan dari kerang hijau ini sangat cepat dan dapat dilakukan
sepanjang tahun, dan juga telah diketahui memiliki sifat toleransi yang tinggi terhadap
berbagai kondisi lingkungannya, sehingganya dapat menguntungkan blsecara ekonomis bagi
pembudidayaannya dalam melakukan suatu sistem budidaya (Rajagopal ET Al., 2003; Sallih,
2005). AE 6
Menuru dari WWF-Indonesia (2015), berdasarkan dari jenis kolektor yang dipakai
dan untuk pembesarannya, maka dikenal ada 4 metode dalam pembudidayaan kerang hijau
antara lain : metode tancap, metode rakit, metode rak, dan juga metode tali rentang atau long
line. Berikut adalah penjelasan dari 4 metode tersebut :
Untuk menguatkan bambu-bambu dari pengaruh arus dan gelombang, maka pada
bagian yang menjulang diper uat dengan bambu yang diikat, dipasang sejajar dengan
permukaan air. Pada bagan bambu, dapat pula dilengkapi dengan tali-tali tambang yang
menghubungkan antar bambu di dalam air. Pada tali ini spat kerang hijau akan menempel dan
akan memperbanyak jumlah kerang.
Jarak antara bambu bervariasi antara 0,5 – 1 m, tergantung pada kesuburan perairan,
luas areal budidaya dan banyaknya kolektor yang dipasang. Apabila pemasangan kolektor ini
lebih dari satu unit (terdiri dari 4 – 5 baris), maka perlu diperhatikan populasinya, laju
pertumbuhan dan jarak antar unit. Satu unit pemeliharaan dapat berukuran 15 x 20 m.
Metode rakit digunakan pada lokasi yang dikhususkan untuk pembesaran kerang
hijau, bukan lokasi sumber benih. Rakit dibuat dari bambu atau kayu atau kombinasi
keduanya. Agar rakit tidak mudah rusak dan tenggelam pada waktu pembudidaya bekerja di
atasnya, sebaiknya rakit disanggah oleh beberapa drum kosong yang sudah dicat anti karat
atau dengan mengunakan drum plastik, kemudian rakit dilengkapi dengan jangkar. Dengan
metode rakit ini benih-benih kerang hijau dapat dikumpulkan dengan mengunakan kolektor
jaring atau tali. Keuntungan dengan mengunakan metode ini adalah lebih mudah dalam
pemanenannya.
Rakit dapat berukuran 7x7 m, terbuat dari bambu dan drum plastik digunakan sebagai
pelampungnya. Kolektor-kolektor yang digantungkan sebanyak 56 buah, terbuat dari tali PE
berdiameter 2 cm dan panjang 1,5 m. Benih yang berasal dari kolektor tancap
ditransplantasikan ke lokasi pembesaran. Pengangkutan dilakukan dengan sistem kering atau
tanpa air. Ketahanan teknis pemakaian rakit apung kira-kira 2 – 2,5 tahun.
Rak terbuat dari batang–batang bambu atau kayu, agar tahan lama dapat dibuat dari
besi siku tahan karat. Pada rak ini kolektor-kolektor dipasang atau digantungkan.
Pemasangan kolektor dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu digantung dan dipasang
horizontal. Pemasangan kolektor secara horizontal biasanya dilakukan terhadap rak-rak yang
seluruh bangunannya terbenam di dalam laut. Hasil penjarangan dimasukkan atau
ditempelkan pada kolektor gantung.
Dilakukan long line dengan merentang 2 (dua) utas tali penggantung kolektor di
antara 2 drum pelampung. Apabila kita memiliki persediaan drum cukup banyak dapat
dirangkai memanjang, sehingga kolektor yang akan digantungkan jumlahnya dapat lebih
besar.
Gambar 7. Kolektor kerang hijau dengan sistem longline. Lingkaran merah adalah
pelampung. a dan b, pelampung kolektor kerang hijau. c, simpul antara tali utama dan tali
jangkar. d, simpul antara tali bentangan dengan tali utama
Jarak antara pelampung maksimal 10 m. Masing-masing kolektor memiliki berat 30 –
40 m. Jarak antar kolektor gantung yaitu 1 m. Kolektor gantung dapat berupa asbes,
tempurung kelapa, tali tambang untuk lokasi sumber benih atau pun kolektor kantung benih,
dimana benih sudah dimasukkan sebelumnya dalam kantong untuk lokasi pembesaran kerang
hijau. Untuk mengetahui umur dari kerang dilihat pada lingkaran-lingkaran umur yang berada
pada cangkang kerang hijau tersebut.
Penggunaan metode floating box dalam penelitian ini merupakan salah satu teknik
modifikasi rekayasa budidaya (aquaculture engeenering) kerang hijau menggunakan kolektor
yang diikatkan pada tali yang terentang antar tiang pancang dan sudah cukup teruji secara
ekperimental (Sudradjat, 2008). Keberadaan kerang hijau secara alami telah terdekteksi di
perairan Karangdempel namun belum pernah dikembangkan dengan pola budidaya.
Berkaitan dengan hal diatas maka kajian strategi pengembangan potensi budidaya kerang
hijau (Perna viridis L.) dengan metode floating box di perairan pantai Karangdempel,
Kecamatan Losari, Kabupaten Brebes berbasis pola kemitraan ini sangat perlu untuk
dilakukan. AE 13
Keberhasilan budidaya kerang hijau harus didukung oleh kondisi lingkungan yang
ideal,sehingga aktivitas budidaya yang dilakukan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan
(Costa-Pierce, 2008; FAO, 2010). Untuk meyakinkan kondisi lingkungan dapat men- dukung
kegiatan budidaya kerang hijau, analisis kelayakan lahan merupakan tahapan awal yang harus
dilakukan. Analisis kelayakan lahan dilakukan dengan memperhatikan beberapa faktor,
meliputi: keterlindungan lokasi, kondisi kualitas perairan (fisik dan kimia), kesuburan
perairan, ketersediaan benih alam, dan sosial infrastruktur (Vakily, 1989; Kingzet et al.,
2002). Dengan tersedianya data baru yang lebih baik kualitas dan kuantitas-nya, ditambah
juga dengan memperhatikan tingkat kepentingan masing-masing data, menjadikan analisis
kelayakan lahanbertambah kompleks dan memakan waktu. Sistem Informasi Geografis (SIG)
memungkinan untuk melakukan analisis spasial kelayakan lahan dengan menggabungkan
berbagai jenis data dan tingkat kepentingannya (Burrough & McDonnell, 1998; Nath et al.,
2000).