Anda di halaman 1dari 23

Metodologi Kontekstualisasi Pemahaman Hadis (Versi Yusuf Al-

Qaradawi)
Institut Agama Islam Bani Fattah
Dosen Pengampu: Dr. Amrulloh, Lc, M. Th.I
Kelompok 5
Oleh: Sailu Rohmatika
(sailurohmatika16@gmail.com)
Aisyah Rahmadinata
(rahmadinataaisya123@gmail.com)
Imro’atus Sholikhah
(imroatussholihahiim6@gmail.com)
Zyana Nada Tamamil Husna
(zyananada@gmail.com)
Shinta Zanuba Hayatun Karim
(shintazanubahayatunkarim@gmail.com)
Himmatul Nurafifah
(himmatulnurafifah94@gmail.com)
Ana Mufarikha
(naafarikha@gmail.com)
Elisa Insanul Mustafidah
(elisainsanulmustafidah@gmail.com)
Anggi Diva Yanti
(anggidivay37@gmail.com)
Nabilatus Sa’idah
(nabilatuss18@gmail.com)
Dyah Ayu Pramesti
(ayuprameswariayu124@gmail.com)
Siti Choirutul Amalia
(amalliy993@gmail.com)
Farah Diva Nailal Fadhilah
(farahdivanailalfadhilah@mhs.iaibafa.ac.Id)
Kamila Rizkiya Salsabil
(kamilarizkiyasalsabil@mhs.iaibafa.ac.id)
Abtrak
Memahami hadist merupakan bagian yang paling rumit, karena hadist adalah segala sesuatu
yang dinisbatkan pada Nabi Muhammad SAW. Baik ucapan, perbuatan maupun ketetapannya
dalam statusnya sebagai utusan Allah, sehingga meng-imitasi Muhammad SAW. Merupakan
perwujudan consensus agung. Nabi Muhammad sebagai nabi akhir zaman, aturannya pun
mestinya untuk sepanjang zaman, padahal kenyataannya nabi Muhammad itu hidup pada
waktu tertentu dan tempat tertentu pula. Maka sudah seharusnya pula memahami hadis, tidak
hanya dengan pendekatan tekstual an-sich, kalau menginginkan agar hadis senantiasa berlaku
sepanjang zaman, mengingat problem kehidupan dewasa ini semakin kompleks. Oleh karena
itu perlu pendekatan secara kontekstual, yaitu memahami hadis atau sunnah dengan mengacu
pada latar belangkang, situasi dan kondisi serta kedudukan nabi ketika hadis atau sunnah itu
ditampilkan.

Fenomena perbedaan dalam gerakan salat sudah terjadi dari masa para imam panutan
dahulu, seperti Imam Ḥanbāli, Imam Abū Ḥanifah, Imam Mālik, Imam Syafi’I, dan lainnya.
Mereka tidak memandang perbedaan ini sebagai hal yang buruk. Masing-masing dari mereka
bahkan tidak ada yang memaksakan pendapatnya kepada yang lain atau melecehkan orang
yang tidak sependapat dengannya. Sebagian mereka cenderung “memperketat” dan yang
lainnya cenderung “melunakkan”. Namun, dewasa ini banyak umat akhir zaman yang sering
menggunakan dalil "Shollu kamaa Roaytumuunii Ushollii", sebagai hujah dari setiap gerakan
salatnya dan menyalahkan setiap gerakan salat yang berbeda. Seolah-olah gerakan salat
merekalah yang paling benar. Jadi, bagaimanakah makna dari sabda Nabi, "Shollu kamaa
Roaytumuunii Ushollii" itu sendiri? Penelitian ini memberikan pemahaman, bahwa hadis
"Shollu kamaa Roaytumuunii Ushollii" merupakan sebuah kalimat yang mencakup segala
gerakan dan ucapan yang dilakukan Rasūlullāh Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam, dalam
melaksanakan salat. Adapun Sabda Nabi, "Shollu kamaa Roaytumuunii Ushollii" mengandung
makna bahwa Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam memberi keluasan kepada para sahabat untuk
mengikuti salat sebagimana mereka melihat salat Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam.Tidak
sedikit sahabat yang berbeda dalam menjelaskan tata cara salat Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi wa
Sallam. Karena yang melihat salat Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam tidak hanya satu sahabat,
melainkan setiap sahabat yang berjama’ah dengan beliau. Dengan ,demikian "Shollu kamaa
Roaytumuunii Ushollii" adalah salat dengan mengikuti segala gerakan َdan ucapan ketika
Nabi salat, yaitu dengan melihat riwayat-riwayat hadis shahih yang menjelaskan tata cara salat
Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam. Penelitian dilakukan dengan menerapkan metode Yūsuf al-
Qarḍāwi, yaitu memahami hadis dengan menjalin hadis yang setema dan memahami hadis
berdasarkan latar belakang, situasi dan kondisinya ketika diucapkan, serta tujuannya.
Pendahuluan

Hadis Nabi Muḥammad SAW. Selain sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-
Qur’an, juga berfungsi sebagai sumber sejarah dakwah (perjuangan) Rasụlullāh SAW. Hadis
juga mempunyai fungsi penjelas bagi al-Qur’an, menjelaskan yang global, mengkhususkan
yang umum, dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Pada masa Nabi SAW. Perhatian para
sahabat lebih dikonsentrasikan pada al-Qur’an. Sedangkan kondisi hadis pada waktu itu tidak
tercatat secara resmi bahkan Rasụlullāh SAW. Secara umum melarang untuk menulisnya.
Hadis hanya di ingat di luar kepala mayoritas sahabat kemudian disampaikan kepada
sesamanya.Namun begitu, secara sadar atau tidak para sahabat menjadikan hadis sebagai
patokan dalam berbuat dan menentukan segala hal terutama setelah Nabi SAW. Wafat. Hingga
kemudian, ada beberapa sahabat mengartikan atau bahkan mengaplikasikan sabda Nabi
Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam dalam sebuah perbuatan. Karena memang, sumber pembentukan
syari’at pada masa Nabi SAW. Selain al-Qur’an adalah Hadis Nabi SAW.

Penelitian terhadap hadis sangat diperlukan karena hadis sampai kepada umat Islam melalui
jalur dan jalan periwayatan yang panjang. Sehingga wajar apabila terdapat kesalahan-kesalahan
terhadap pemahaman hadis Nabi SAW. Tersebut. Hadis tidak bertambah jumlahnya setelah
wafatnya Rasụlullāh SAW. Sedangkan permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam terus
berkembang sehubungan dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu, di dalam memahami
hadis diperlukan metode pemahaman yang tepat melalui pendekatan yang komprehensif, baik
tekstual maupun kontekstual dengan berbagai bentuk dan kaedah-kaedahnya. Dalam hal ini,
Yūsuf al-Qarḍāwī di dalam bukunya mengatakan bahwa siapa saja yang ingin mengetahui
tentang manhaj (metodologi) praktis Islam dengan segala karakteristik dan pokok-pokok
ajarannya, maka hal itu dapat dipelajari secara rinci dan teraktualisasikan dalam sunnah
Nabawiyah, yakni ucapan, perbuatan dan persetujuan Nabi SAW. Menurut al-Qarḍāwī, Asbab
an-nuzul perlu diketahui oleh siapa saja yang ingin memahami al-Qur’an atau menafsirkannya,
maka asbāb al-wurūd lebih perlu lagi untuk diketahui. Karena hadis memang menangani
berbagai problem yang bersifat lokal , partikular, dan temporal. Didalamnya juga terdapat
berbagai hal yang bersifat khusus dan terinci, yang tidak terdapat dalam al-Qur'an. Serta dalam
memahaminya harus dengan memperhatikan konteks, kondisi lingkungan serta asbāb al-wurūd
dari suatu hadis, sehingga akan lebih mudah mencapai pemahaman yang tepat dan lurus. Hal
ini dilakukan, agar nilai yang terkandung dalam hadis tetap relevan hingga akhir zaman.

Dalam memahami suatu hadis diperlukan seperangkat instrument, seperti pengetahuan


bahasa, informasi tentang situasi yang berkaitan dengan munculnya suatu hadis, serta setting
sosial budaya pada masa itu. Memahami teks hadis merupakan suatu persoalan yang urgen
untuk dikedepankan. Oleh karena itu, Yūsuf al-Qarḍāwī memberikan delapan metode untuk
memahami as-Sunnah an-Nabawiyyah dengan baik, diantaranya adalah memahami hadis
sesuai petunjuk al-Qur’an, menggabungkan hadis-hadis yang terjalin dalam tema yang sama,
menggabungkan atau men-tarjīḥ-kan antara hadis-hadis yang saling bertentangan, memahami
hadis sesuai dengan latar belakang, situasi dan kondisi, serta tujuannya, membedakan antara
sarana yang berubah-ubah dan tujuan yang tetap, membedakan antara fakta dan metafora dalam
memahami hadis, membedakan antara yang gaib dan yang nyata, dan memastikan makna kata-
kata dalam hadis.

Pembahasan
1. Biografi Yusuf Al-Qaradhawi
A. Riwayat Hidup Yusuf Al-Qaradhawi
Yusuf Al-Qaradhawi adalah seorang ulama kontemporer yang dipandang arif dalam bidang
keilmuanya, nama lengkap beliau adalah Yusuf bin Abdullah bin Ali bin Yusuf, sedangkan
Qaradhawi merupakan nama keluarganya yang diambil dari tempat beliau berasal. Beliau lebih
sering dikenal dengan nama Yusuf Al-Qaradhawi yakni ulama kontemporer yang berasl dari
mesir. Beliau lahir di desa shafat thurab, mahallah Al-Kubra, mesir bagian barat, pada tanggal
9 september 1926. Desa tersebut adalah tempat dimakamkannya salah satu sahabat Rosulullah
yaitu Abdullah bin Harits R.A.1 beliau berasal dari keluarga yang taat beragama. Ketika beliau
berusia 2 tahun ayahnya meninggal dunia. Setelah ayah kandungnya meninggal dunia, ia
diasuh dan dibesarkan oleh ibu kandung, kakek, dan pamanya. Akan tetapi, pada saat ia duduk
di tahun keempat Ibtida’iyah al-Azhar, ibunya pun dipanggil sang maha kuasa. Beruntung, ibu

1
Yusuf al-Qordhowi, Fatawa Qardhawi, ter: H. Abdurrahman Ali Bauzir, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), cet ll,
hal. 339.
yang dicintainya masih sempat menyaksikan putra tunggalnya ini hafal seluruh al-Qur’an
dengan bacaan yang sangat fasih, karena pada usia Sembilan tahun sepuluh bulan, ia telah hafal
al-Qur’an dibawah bimbingan seorang kuttab yang bernama Syaikh Hamid. 2 Sebagai anak
yang yatim piatu beliau diasuh oleh pamannya, yaitu saudara ayahnya dan beliau mendapat
perhatian besar dari pamannya. Sehingga, ia menganggap pamannya sebagai orang tuanya
sendiri. Pamannya pun juga termasuk orang yang taat dalam menjalankan perintah Allah
sehingga ia terdidik dan terbekali dengan berbagai ilmu pengetahuan agama dan syariat islam.

Pendidikan formal yang dimulai oleh Yusuf Al-Qaradhawi adalah disalah satu Lembaga
Pendidikan al-Azhar yang dekat dengan kampungnya dan hanya menerima calon siswa yang
sudah hafal al-qur’an. Kemudian beliau masuk ke ma’had agama “Thantha” yanhg diselesaikan
selama empat tahun, lalu melanjutkan ke ma’had tsanawiayyah (menengah) selama lima tahun
dan melanjutkan di universitas al-Azhar kairo. Disana ia belajar di fakultas Ushuluddin
mengambil bidang studi agama dan mendapat ijazah L.c (S1). Pada tahun 1953 beliau berhasil
mendapat peringkat pertama diantara 500 mahasiswa tiga fakultas di Universitas tersebut.
Kemudian, beliau masuk spesialis mengajar di fakultas bahasa Arab dan mendapatkan ijazah
M.A (S2) serta ijazah mengajar. Pada tahun 1957, beliau masuk ma’had al-Buhus wa al-dirasah
al-A’rabiyyah al-‘Aliyah (Insitut Pembahasan dan Pengkajian Arab Tertinggi) dibawah
Universitas Negara-negara Arab dan beliau memperoleh diploma tinggi dibidang bahasa dan
sastra. Pada kesempatan yang sama, Al-Qaradhawi mengikuti kuliah di fakultas ushuluddin
dengan mengambil bidang studi al-Qur’an san as-sunnah dan selesai pada tahun 1960. Setelah
itu, beliau syeikh Yusuf al-Qardhawi melanjutkan studinya ke tingkat doctoral pada jurusan
dan fakultas yang sama. Disertasi yang diajukanya adalah “zakat dan dampaknya dalam
penanggulangan kemiskinan” yang kemudian disempurnakan menjadi fiqih Zakat. 3 Semula
disertasi ini direncanakan akan selesai dalam kurun waktu 2 tahun akan tetapi karena saat itu
terjadi krisis politik di mesir menyebabkan penyelesainya tertunda selama 13 tahun. Sehingga
beliau akhirnya bisa menyelesaikannya pada tahun 1973, akhirnya beliau berhasil
menyelesaikan S3 nya nya dan mendapat gelar Phd (Doctor of Philosophy) dari Fakultas
Ushuluddin. Dan beliau lulus dengan peringkat summa cum laude.

2
Muhammad Djakfar, Agama, Etika Dan Ekonomi Wacana Menuju Pengembangan Ekonomi
Rabbaniyah,(Malang: UIN Press, 2007), 88.

3
Sulaiman Ibnu Shalih, Al-Qaradhawi fil Mizan, (Riyadi: Dar al-jawab, t.t), 8.
Sebagai seorang ulama rakyat, yusuf al-Qaradhawi menghabiskan banyak waktunya dengan
bersama dengan masyarakat. Memberikan kuliah dan khutbah di masjid, menjadi imam, ketua
pendidikan dan pengajian islam di Universitas. Beliau juga terlibat diberbagai aktivitas
kemasyarakatan. Kesibukan dan pengorbanan beliau menjadikan beliau senantiasa dihormati
dan dihargai oleh sebagian besar umat islam di seluruh dunia. Selain itu, beliau syeikh yusuf
al-Qaradhawi juga termasuk salah satu ulama yang sangat produktif, terlihat dari jejak
perjalanan dakwahnya dan banyak-banyak karya tulis yang dihasilkan seperti tafsir, hadist,
fiqih dan sebagai berikut. Karya-karya beliau mencapai 120 buku dalam berbagai bidang ilmu
keagamaan. Diindonesia sendiri buku terjemahan hasil karya Yusuf Al-Qaradhawi sudah
diterjemahkan kurang lebih sekita 50 judul buku diantaranya:
1. Fiqih Prioritas
2. Madrasah Tarbiyyah Hassan Al-Banna
3. Sistem Masyarakat Islam Dalam Al-Qur’an Dan Sunnah
4. Bagaimana Cara Memahami Hadist Nabi Muhammad SAW.
5. Konsepsi Ilmu Dalam Persepsi Rosulullah SAW.(Kedudukan Ilmu Dan Ulama)
Adapun salah satu karyanya lagi yang paling populer dalam bidang hadist adalah kaifa
Nata’amalu Ma’a As-Sunnah An-Nabawiyyah, yang kemudian diterjemahkan kedalam bahasa
Indonesia oleh Muhammad al-Baqir. Dalam karya monumentalnya tersebut al-Qaradhawi
menjelaskan bagaimana prinsip dasar memahami hadits nabi, sehingga dengan karya beliau
tersebut memudahkan kita untuk memahami hadits nabi secara kontekstual. Karya-karya lain
al-Qaradhawi adalah: 4
Bidang Ilmu Al-Qur’an Dan as-Sunnah
a. As-Shabar fil Qur’an.
b. Al-Aql wa al-ilm fil Qur’an.
c. Kaifa Nata’amalu Ma’a As-Sunnah An-Nabawiyyah.
d. Kaifa Nata’amalu Ma’al Qur’anil adzhim.

Bidang fiqh dan ushul fiqih

a. Al-halal wa al-hartam fi al-islam.


b. Taisir al-fiqh: fiqih as-shiyam.
c. Fatawi mua’shiroh.
d. Al-ijtihad fi as-syar’iyah al-islamiyah.

4
Syeikh Khalid as-Said, khitab Yusuf al-Qaradhawi,(Kairo: Maktabah Wahbah, 1997), 317.
Bidang aqidah islam

a. Wujudullah.
b. Haqiqah at-tauhid.

Bidang pendidikan dan dakwah

a. Al-waqt fi hayati al-muslim.


b. Tsaqafatud da’iyah.
c. At-tarbiyah al-islamiyah wa madrasah hasan al-bana.
d. Ar-rasul wa al-ilm.

Bidang ekonomi islam

a. Fiqh az-zakat.
b. Fawa’id al-bunuk hiya ar-riba al-haram.
c. Musykilat al-faqr wa kaifa ala jaha al-islam.
2. Beberapa petunjuk dan ketentuan umum untuk memahami as-sunnah an-nabawiyah
dengan baik.
A. Memahami hadist sesuai dengan petunjuk ak-qur’an,

Sikap yang harus didahulukan dalam memahami hadits yaitu harus dengan petunjuk al-
qur’an, karena al-qur’an merupakan sumber hukum islam yang pertama sebelum hadits.
Apabila suatu hadits bertentangan dengan al-qur’an atau ada anggapan orang bahwa suatu
hadits bertentangan dengan alqur’an, hal itu bisa jadi disebabkan karena haditsnya tidak shahih
(palsu) atau pemahaman kita tidak benar. Sebagai contoh bahwasanya kaum Mu’tazilah telah
menyimpang dari kebenaran dengan jalan tidak mempercayai hadits-hadits shahih mengenai
adanya syafaat di akhirat oleh Nabi Muhammad saw., Malaikat dan orang mukmin yang shaleh,
yang hendak diberikan kepada orang yang mempunyai dosa dan meninggal dalam keadaan
iman kepada Allah swt. Sebagaimana hadis dibawah ini:

‫حدثنا مسدد حدثنا يحيى عن الحسن بن دكوان حدثنا أبو رجاء حدثنا عمران بن حصين رضي هللا عنهما عن النبي صلى هللا‬
‫عليه و سلم قال يخرج قوم من النار بشفاقة محمد صلى هللا عليه و سلم فيدخلون الجنة يسمون الجهنيين‬
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami
Yahya dari Al Hasan bin Dzakwan telah menceritakan kepada kami Abu Raja' telah
menceritakan kepada kami Imran bin Husain radliallahu 'anhuma, dari Nabi saw., beliau
bersabda: "Ada sekelompok kaum yang keluar dari neraka karena syafaat Nabi Muhammad
saw., lantas mereka masuk surga dan mereka diberi julukan 'jahannamiyun (mantan penghuni
neraka jahannam).5

Kaum Mu’tazilah beranggapan bahwasanya hadits di atas beertentangan dengan salah satu
ayat al-Qur’an yang mengatakan bahwa tidak ada seorangpun yang bisa memberi syafaat selain
Allah.

‫من ذا الذي يشفع عنده اال باذنه‬

Artinya: “tidak ada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa seizin-Nya.” (Q.S. al-
baqarah [2]: 255)6

Secara tidak langsung hadits di atas beertentangan dengan ayat al-Qur’an. Bahwa hadits
mengatakan ada kaum yang mendapatkan syafaat dari Nabi Muhammad saw. dan keluar dari
neraka lalu masuk surga. Kemudian ayat al-Qur’an menegaskan bahwasanya tidak ada yang
bisa memberi syafaat kecuali atas izin-Nya. Jadi al-Qur’an tidak mengklaim bahwasanya tidak
ada syafaat selain syafaat dari Allah terhadap orang mukmin, karena inimerupakan kemurahan
Allah terhadap hambaNya melalui syafaat yang diberikan oleh Nabi Muhammad dan ini
merupakan sebuah teguran terhadap orang-orang yang mempercayai bahwa syafaat dan
perantara itu akan menghilangkan siksa, padahal itu sematasemata hanyalah karunia dari Allah
swt.

B. Masalah Naskh Dalam Hadis


Naskh secara etimologi dipakai dalam beberapa arti antara lain pembatalan, penghapusan
dan memindahkan dissebut nasikh. Sedangkan yang dibatalkan, dihapus, dan dipindahkan
disebut Mansukh. Dalam pengertian terminologinya, terdapat perbedaan pandangan di
kalangan para ulama. Para muqaddimin memperluas arti naskh mencakup pembatalan hukum
yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian, pengecualian hukum yang
bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus, penjelasan yang datang kemudian terhadap
hukum yang bersifat sama, dan penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum
bersyarat.7

5
6 Ashabul Muslimin, Shahih Bukhari Terjemahan (Bekasi, 2011), no. hadits 6081.
6
7 Departemen Agama R, al-Furqan (alQuran dan terjemahnya) (Tangerang: Panca Cemerlang, 2010), 36.
7
Saifullah, “Problematika Naskh dalam Dikursus Kajian Hadis”, Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis, Vol.2
No. 1 (Juni, 2012), 129.
Dalam menghadapi masalah yang terdapat di beberapa syarat yang harus ada pada unsur-
unsur naskh, para ulama ahli ushul fiqih telah berbeda pendapat bahwa :
a. Nasikh, syaratnya yaitu:
 Nasakh harus dipisah dari Mansukh
 Hukum yang telah ada pada nasakh juga harus lebih kuat dibanding dengan
hukum yang ada pada Mansukh.
 Dengan kualitas hukum yang ada di dalam nasakh, maka harus
menunjukkan sama kuatnya dengan yang terletak pada Mansukh.
 Nasikh harus menunjukkan bukti yaitu dengan berupa dalil syara’. Jika
tidak, maka akan diibaratkan seperti kematian, maka hal ini tidak dapat
disebut nasakh, sebab hukum yang terdapat pada maut itu tidak ada.
 Adanya nasikh itu terletak setelah mansukh.
b. Mansukh, syaratnya yaitu:
 Mansukh tidak harus dibatasi oleh waktu. Misalnya: dalam menetapkan
hukum kebolehan di dalam makan dan minum pada malam hari di bulan
puasa. Maka kebolehan ini masih dibatasi sampai terbitnya fajar. Jika fajar
itu sudah terbit, maka kebolehan itu akan hilang dengan sendirinya,
sebagaimana yang telah dijelaskan dalam surat al-Baqoroh: 187. Hal ini
tidak bisa disebut nasakh, sebab di dalam hukum pertama dengan sendirinya
akan hilang karena waktu yang disebutkan telah habis.
 Mansukh di sini harus berupa hukum syar’i, karena hal ini yang dapat
menghapus yaitu berupa hukum syara’ itu sendiri.
Terdapat beberapa rukun naskh yaitu ada empat, di antaranya:
a. ‘Adah al-Naskh yaitu suatu pernyataan yang menunjukkan tentang adanya
pembatalan (penghapusan) berlakunya hukum yang telah ada.
b. Nasikh, yakni Allah SWT karena Dialah yang telah membuat suatu hukum
dan Dia pula yang membatalkannya, hal ini sesuai dengan kehendak-Nya
oleh karena itu, nasikh pada dasarnya yaitu Allah SWT.8
C. Perlunya penelitian seksama tentang ke berlawanan suatu hadist dan al-qur’an.

pada pemikiran Yusuf al-Qardhawi dalam menjawab problematika yang beredar di


masyarakat dalam menentukan hukum Islam dan dalilnya bersumber dari hadits Nabi, karena

8
Melia Novera, “Penggunaan Ta’wil, Tarjih, dan Naskh dalam Pemahaman Hadis”, Jurnal
Dirayah, Vol.2 No.1 (Oktober, 2021), 30-31.
ada beberapa hadits yang Mengalami pergeseran nilai dari tekstual kepada kontekstual zaman
sekarang.

Sebagaimana dikatakan oleh Yusuf alQardhawi bahwa persoalan setiap zaman itu berbeda-
beda sesuai situasi dan kondisi pada zamannya sesuai kebutuhan yang muncul pada zaman
tersebut. 9

Dengan berkembangnya zaman, berkembang juga kejadian dan realita islam baru yang
belum dikenal orang-orang terdahulu, terlebih cara penyelesaiannya juga. Atau mungkin bisa
saja ada kejadian lama yang sudah berubah sehingga fatwa ulama terdahulu sudah tidak
relevan lagi dalam menjawab Dengan berkembangnya
zaman, berkembang juga kejadian dan realit baru yang belum dikenal orang-orang
terdahulu, terlebih cara penyelesaiannya juga. Atau mungkin bisa saja ada kejadian lama
yang sudah berubah sehingga fatwa ulama terdahulu sudah tidak relevan lagi dalam
menjawab persoalan yang baru. Atas kejadian inilah yang mendorong para ulama
mewajibkan adanya perubahan fatwa yang disebabkan terjadinya perubahan zaman. Salah
satunya ialah penelitian ini mengenai pemikiran pemikiran Yusuf al-Qardhawi dalam
menetapkan suatu hukum Islam yang bersumber dari hadits.persoalan yang baru. Atas
kejadian inilah yang mendorong para ulama mewajibkan adanya perubahan fatwa yang
disebabkan terjadinya perubahan zaman. Salah satunya ialah penelitian ini mengenai
pemikiran pemikiran Yusuf al-Qardhawi dalam menetapkan suatu hukum Islam yang
bersumber dari hadits.

Penelitian ini sedikit banyaknya akan mengungkap beberapa metodologi yang digunakan
Yusuf al-Qardhawi dalam memahami sunnah atau hadits dan juga beberapa contoh hadits
yang penulis kira sudah tidak relevan lagi dengan zaman sekarang, atau degan kata lain hadits
yang mengalami pergeseran nilai dari tekstual ke kontekstual zaman sekarang. Hal ini
membutuhkan penyelesaian yang berbeda dengan zaman dulu dan membutuhkan metodologi
khusus dalam menetapkan suatu hukum Islam.

Faktanya banyak metode yang digunakan Yusuf al-Qardhawi dalam memahami hadits, tapi
setidaknya ada tiga cara yang dilakukan belliau dalam memahami hadits untuk menentukan
suatu hukum Islam. 10

9
Mahfudin, “Ijtihad Kontemporer Yusuf Al-Qardhawi Dalam Pengembangan Hukum Islam,39.
10
Caca handika, pemahaman hadist Yusuf al qardhawi dan menentukan hukum Islam, al mawarid jurnal
syari'ah dan hukum, 20 Augustus 2019
Pertama, menurut al-Qardhawi memahami hadits harus sesuai dengan petunjuk al-Qur’an,
karena hadits merupakan sumber hukum Islam yang ke dua setelah alQur’an. Oleh sebab itu
dalam menentukan suatu hukum yang dalilnya berasal dari hadits tidak boleh hadits tersebut
bertentangan dengan al-Qur’an. Apabila suatu hadits bertentangan dengan al-Qur’an, maka
bisa dipastikan hadits tersebut tidak shahih (palsu) atau pemahaman kita yang keliru
mengenai hadits tersebut.

Kedua, dalam menghadapi hadits-hadits yang bertentangan, Yusuf al-Qardhawi


menggunakan metode al-jam’, yakni menggabungkan kedua hadits yang bertentangan
tersebut. Menurut beliau hadits yang bertentangan harus diselamatkan keberadaannya, jangan
sampai mengambil salah satu dan mengabaikan yang satunya lagi. Beliau juga mengatakan
bahwasanya hadits yang bertentangan bukan berarti tidak bisa diamalkan. Akan tetapi
permasalahannya harus diselesaikan dengan jalan menggabungkan atau
mengkompromikannya.

Ketiga, banyaknya hadits yang sudah mengalami pergeseran nilai dari teks ke konteks atau
hadits-hadits yang tidak relevan lagi dengan zaman sekarang. Menurut alQardhawih hadits
tersebut harus dipahami dengan cara mengetahui latar belakang, situasi dan kondisi serta
tujuan dari hadits itu. Dengan mengetahu latar belakang turunnya hadits, situasi di mana
hadits itu turun serta tujuan dari hadits tersebut, kita tidak akan terkecoh oleh hadits-hadits
yang sekilas tidak cocok untuk zaman sekarang, bahkan bertolak belakang dengan keadaan
sekarang. Dengan demikian, hadits-hadits yang tidak relevan lagi dengan zaman sekarang,
bukan berarti tidak bisa dipakai dalam menentukan suatu hukum. Akan tetapi harus kita
pahami dari sudut makna kontekstual hadits dan bukan teks hadits.

D. Menghimpun hadits-hadist yang sama


Perintah beriman kepada Rasul dibarengkan dengan beriman kepada Allah s.w.t.,
sebagaimana firman-Nya ;
‫سو ِل ِه َو ْال ِكتاب‬ ِ ‫اَّلل َو َرسُو ِل ِه َو ْال ِكت َا‬
َ ‫ب الَّذِي نـ َ َّز َل‬
ُ ‫علَى َر‬ ِ َّ ‫َيا أَيـ ُّ َها الَّذِينَ آ َ َمنُوا آ َ ِمنُوا ِب‬
‫الَّذِي أَنـْزَ َل م ِْن قـ َ ْبل‬
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepadaAllahdan Rasul-Nya
dan kepada kitab yangAllah diturunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan
sebelumnya”.
Kewajiban taat kepada Rasul karena menyambut perintahAllah s.w.t. sebagaimana firman
Allah s.w.t
ِ َّ ‫ع ِبإِذْ ِن‬
‫َللا‬ ُ ‫س ْلنَا م ِْن َر‬
َ ُ‫سو ٍل ِإالَّ ِلي‬
َ ‫طا‬ َ ‫َو َما أ َ ْر‬
Artinya : “Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin
Allah”.
Perintah taat kepada Rasul secara khusus, sebagaimana firman Alla>hs.w.t

َ ‫سو ُل فَ ُخذُوهُ َو َما نـ َ َهاكُ ْم‬


‫ع ْنه ُ فَانـْتـ َ ُهو‬ َّ ‫َو َما آَت َاكُ ُم‬
ُ ‫الر‬
Artinya : “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkan
E. Penggabungan atau pentarjihan antara hadist-hadist yang (tampaknya) bertentangan
Pada dasarnya, nash-nash syari’at tidak mungkin saling bertentangan, jual beli secara
lisan, adalah apabila seseorang menjual sesuatu dengan penyerahan langsung dan
pembahasaan yang ditangguhkan, kemudian si penjual membelinya kembali secara kontan
dari si pembeli, sebelum jatuh temponya dengan harga kurang dari harga yang pertama. Jelas,
bahwa itu buka jual beli yang wajar, tetap semata-mata demi menghidupkan diri dari
tuduhan. Sebab, kebenaran todak akan bertentangan dengan kebenaran, karena itu apabila
diandaikan juga adanya pertentangan maka hal itu hanya dalam tampak suaranya saja, bukan
dalam kenyataannya yang baik. Dan atas dasar itu, kita wajib menghilangkannya dengan cara
Apabila pertentangan itu dapat dihapus dengan cara menggabungkan atau menyesuaikan
antara kedua nash, tanpa harus memaksakan atau mengada-ada, sehingga kedua-duanya dapat
diamalkan, maka yang demikian itu telah utama daripada harus menarjuhkan antara
keduanya, sebab penarhihan berarti mengabaikan salah satu dari keduanya, sementara
mengutamakan yang lainnya.

Termasuk hal yang penting untuk memahami as-sunnah adalah dengan cara
menyesuaikan antara beberapa hadits shohih yang redaksinya tampak seolah-olah saling
bertentangan. Demikian pula maka kandungannya yang sepintas dan tampak berbeda. Semua
hadits sebaiknya dikumpulkan, masing-masing dinilai secara proporsional, sehingga dapat
dipersatukan dan tidak saling berjauhan, saling menyempurnakan dan tidak saling
bertentangan. Contohnya:

- hadits tentang ziarah kubur bagi wanita


Seperti itu pulalah, hadits yang melarang kaum wanita menziarahi kuburan. Misalnya,
hadist dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw "melaknat kaum wanita yang sering
menziarahi kuburan" diriwayatkan oleh Ahmad Ibn Majah & Tirmidzi yang berkata
"hadist ini hasan shahih" sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Hibbah dalam shahihnya.
Walaupun demikian ada hadist lain yang isinya berlawanan dengan hadist diatas , yakni
yang dapat dipahami darinya laki-laki :
،َ ‫ َوتُذَ ِك ُر آاْل ِخ َرة‬، َ‫ َوتُد ِآم ُع الآعَيآن‬،‫ب‬
َ ‫ فَإِنَّهُ ي ُِر ُّق آالقَلآ‬،‫وروهَا‬ ِ ‫ارةِ الآقُب‬
ُ ‫ُور أ َ ََل ف َ ُز‬ َ ‫ُك آنتُ نَ َه آيت ُ ُك آم‬
َ َ‫ع آن ِزي‬
‫َو ََل تَقُولُوا هُجآر‬

Artinya, “Dahulu saya melarang kalian berziarah kubur, tapi sekarang berziarahlah
kalian, sesungguhnya ziarah kubur dapat melunakkan hati, menitikkan (air) mata,
mengingatkan pada akhirat, dan janganlah kalian berkata buruk (pada saat ziarah).” 11

F. Memahami hadist dengan mempertimbangkan latar belakang, situasi dan kondisinya


ketika diucapkan, serta tujuannya.
Diantara cara-cara yang baik untuk.memahami hadis Nabi Saw, ialah dengan
memperhatikan sebab-sebab khusus yang melatar belakangi diucapkannya suatu hadis. Hukum
yang dibawa suatu hadis adakalanya tampak umum dan hanya untuk watu yang terbatas, namun
jika diperhatikan lebih jauh, akan dapat diketahui bahwa hukum tersebut berkaitan dengan
suatu 'illah tertentu, sehingga ia akan hilang sendirinya apabila hilang 'illah-nya, dan masih
akan berlaku jika 'illahnya masih berlaku.

Dalam hal ini pastinya memerlukan pemahaman yang dalam, pandangan yang teliti,
pengkajian yang meliputi semua nash, serta wawasan yang luas agar dapat mengetahui tujuan-
tujuan dari syari'at dan hakikat-hakikat agama. Di samping itu juga dibutuhkan keberanian
moril dan keyakinan kejiwaan untuk mencanangkan kebenaran, walaupun berlawanan
kebiasaan dari manusia atau warisan yang diturunkan dari nenek moyang. Tindakan seperti ini
tidaklah mudah12. Sebab, seperti yang terjadi di masa lalu, telah membuat Syaikh Al-Islam Ibn
Taimiyah "membayar sangat mahal" dengan menghadapi permusuhan yang diberikan
kepadanya oleh banyak ulama pada masanya, yang melakukan berbagai cara sehingga ia
berulang kali dimasukkan ke dalam penjara, bahkan pada akhirnya ia meninggal dunia disana.

Untuk dapat memahami hadis dengan sebuah pemahaman yang benar dan juga tepat,
haruslah diketahui kondisi yang meliputi didalamnya serta dimana dan untuk tujuan ia
diucapkan. Sehingga benar-benar menjadi jelas dan terhindar dari berbagai perkiraan yang
menyimpang dan terhindar dari diterapkannya pengertian yang jauh dari tujuan aslinya. Kita
mengetahui bahwa para ulama kita telah menyatakan bahwa untuk memahami Al-Qur'an
dengan benar, kita harus mengetahui tentang asbab an-nuzul (sebab-sebab yang

11
Yusuf Qaradhawi. Bagaimana memahami hadis Nabi Saw. Hal 121
12
Yusuf Qardhawi. Bagaimana memahami hadis Nabi SAW. Terj, Muhammad Al-baqir (Bandung: Karisma. Hal
131)
melatarbelakangi turunnya ayat-ayat Al-Qur'an), demikianlah asbab al-wurud (sebab atau
peristiwa yang melatarbelakangi diucapkannya suatu hadis) lebih perlu lagi untuk diketahui.

Hal tersebut mengingat bahwa Al-Qur'an sesuai dengan wataknya yaitu universal dan abadi.
Maka dari itu, ia tidak berkepentingan untuk membicarakan hal-hal yang detil atau hanya
berkaitan dengan waktu tertentu saja. Kecuali untuk menyimpulkan prinsip-prinsip tertentu
atau menunjukkan pelajaran ('ibrah) apa yang sekiranya dapat diambil darinya. Lain lagi
dengan As-sunah, ia menangani berbagai problem yang bersifat lokal (maudhi'iy), partikular
(Juz-iy) dan khusus dan terinci, yang tidak terdapat dalam Al-Qur'an. Maka dari itu harus
dilakukan pemilihan antara yang bersifat khusus, yang bersifat umum dan yang berdifat abadi.
Serta antara yang partikular dan universal. Semua itu mimiliki hukumya sendiri.

Dan dengan memperhatikan konteks13. kondisi lingkungan serta asbab an-nuzul dan asbab
al-wurud, pasti akan lebih mudah untuk mencapai pemahaman yang tepat dan juga lurus, bagi
siapa saja yang beroleh taufik Allah SWT 14.

G. Membedakan antara sarana yang berubah-ubah dan sarana yang tetap


Di antara penyebab kekacauan dan kekeliruan dalam memahami As-sunnah, ialah bahwa
sebagian orang mencampuradukkan antara tujuan atau sasaran yang hendak dicapai oleh As-
sunnah dengan prasarana temporer atau lokal yang kadangkala menunjanag pencapaian saran
yang dituju. Padahal, siapa saja yang benar-benar berusaha untuk memahami As-sunnah serta
rahasia-rahasia yang dikandungnya, akan tampak baginya bahwa yang penting adalah apa yang
menjadi tujuannya yang hakiki. Itulah yang tetap abadi. Sedangkan yang berupa prasarana,
adakalanya berubah dengan adanya perubahan lingkungan, zaman, adat kebiasaan, dan
sebagainya. Dari sini kita melihat bahwa tidak sedikit dari mereka yang mempelajari As-
sunnah dan yang mencurahkan perhatiannya kepada at-thibb an-nabawi (cara pengobatan yang
dinisabkan kepada nabi saw.) selalu memfokuskan penelitian dan perhatian mereka kepada
berbagai obat-obatan, tetumbuhan, biji-bijian, dan sebagainnya, yang pernah disarankan oleh
nabi saw. Untuk dijadikan obat bagi beberapa penyakit.

Setiap sarana dan prasarana, mungkin saja berubah dari suatu masa ke masa lainnya, dan
dari suatu lingkungan ke lingkungan lainnya: suatu hadis menunjuk kepada sesuatu yang
menyangkut sarana atau prasarana tertentu, maka itu hanyalah untuk menjelaskan tentng suatu

13
Ibid 132
14
Ibid 133
fakta, namun sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengiklat kita dengannya, ataupun
membekukan dirib kita di sampingnya.

Bahkan, sekiranya Al-Quran sendiri menegaskan tetang suatu sarana atau prasarana yang
cocok untuk suatu tempat atau masa tertentu, hal ini tidak berarti bahwa kita harus berhenti
padanya saja, dan tidak memikirkan tentang prasarana lainnya yang selalu berubh dengan
berubahnya waktu dan tempat. Bukankah Al-Quran Al-Karim menyatakan: “ Dan siapakah
untuk menghadapi mereka (yakni orang orang kafir yang berkhianat) itu, kekuatan apa saja
yang kamu sanggup menyiapkannya, ser4ta kuda kuda yang ditambat untuk berperang, yang
dengan semua itu kamu menggentarkanmusuh Allah dan musuhmu, juga orang-orang selain
mereka yang kamu tidak mengetahuinya…..” (Al-Anfal : 60)

Walaupun demikian, tak seorang pun memahami bahwa “mempersiapkan diri dihadapan
musuh-musuh” hanya terbatas pada penyiapan kuda-kuda saja, seperti disebutkan dalam ayat
tersebut. Setiap orang berakal dan mengerti bahasa serta syariat pasti memahami bahwa “kuda-
kuda perang” zaman ini mencakup tank-tank, mobil-mobil lapis baja serta senjata-senjata
modern lainnya.

“siwak menyebabkan kesucian mulut serta keridhaan Tuhan”

Adakah penggunaan siwak itu merupakan suatu tujuan tersendiri ?

Ataukah ia hanya suatu alat yang cocok dan mudah diperoleh dijazirah arab, sehingga
Rasulullah saw. Menganjurkan penggunaannya, demimemanfaatkan sesuatu yang mudah
didapat oleh mereka ? Oleh sebab itu, tidak ada salahnya, bagi masyarakat-masyarakat lainnya
yang tidak mudah memperoleh kayu siwak itu, menggantikannya dengan alat lainnyayang
dapat diproduksi secara besar-besaran, cukup untukl digunakan oleh jutaan orang; seperti sikat
gigi yang kita kenal sekarang. Begitulah yang telah dinyatakan oleh sejumlah fuqaha’. Berkata
pengarang Hidayat Ar-Raghib, sebuah buku tentang fiqih hambali: “siwak itu boleh dibuat dari
ranting arak, arjun, zaitun atau lainnya, yang tidak melukaimengganggu dan mudah hancur,
maka penggunaannya adalah makruh ; seperti yang bersal dari pohon delima, kemangi, dan
sebagainya. Meskipun begitu orang yang bersikat gigi tanpa menggunakan sepotong kayu
(baca : alat), tidak dapat dikatakan mengikuti sunnah.

Dalam kitab Al-Mughni disebutkan : “seseorang dianggap melakukan sunnah, sekadar


kebersihan (mulut dan gigi) yang dicapainya. Namun janganlah ia meninggalkannya sama
sekali, apabila tidakn sanggup melakukannya dengan sempurna. Begitulah pendapat yang
sahih.

“apabila seseorang dari kalian selesasi makan, maka janganlah ia mengusap (membersihkan)
jari tangannya, sampai ia telah menjilati nya…,’ dan seterusnya,”

Muslim merawikan dari ka’b bin Malik r.a., katanya : “Aku melihat Rasulullah saw. makan
dengan tiga jari tangannya, dan selepas itu, beliau menjilatnya.’’ 15

Memahami hadist Nabi harus memperhatikan tujuan yang bersifat menetap, dan sarana yang
dapat berubah-ubah. Di antara faktor yang menyebabkan terjadinya kesalahan dalam
memahami hadist adalah karena mencampuradukkan antara tujuan dan sarana, tanpa memilah-
milahnya, atau lebih fokus pada sarana sementara target hadist itu sendiri diabaikan. Dengan
demikian, bila suatu hadis menyebutkan sarana tertentu untuk mencapai tujuan, maka sarana
tersebut tidak bersifat mengikat, karena sarana tersebut ada kalanya berubah karena adanya
perkembangan zaman. Misalnya hadis tentang siwak. Menurut alQardawi, penyebutan siwak
dalam hadis itu, tidak mengikat untuk terus menggunakannya. Target utamanya adalah agar
terjaganya kebersihan dan kesehatan gigi dan mulut. Adapun alat yang digunakan tergantung
pada situasi dan kondisinya. Di zaman sekarang, pemakaian sikat dan pasta gigi sama nilainya
dengan pemakaian siwak di masa Nabi. 16

H. Membedakan antara ungkapan yang bermakna sebenarnya dan yang bersifat majaz
dalam memahami hadist.

Makna majaz dalam bahasa Arab memiliki porsi yang besar dan luas bila disandingkan
dengan makna asal, makna letterlijk atau makna tekstual. Menurut kajian Ilmu Balaghah, bila
dilihat dari segi rasa bahasa (dzawq) penggunaan makna majaz dalam suatu ungkapan,
khitabnya lebih mengena kepada obyek (mukhatab) kalau dibandingkan dengan penggunaan
makna asal (letterlijk). Sementara rasa bahasa (dzawq) itu sendiri telah menjadi tolok ukur
(umdah) atas keindahan dan ketepatan suatu ungkapan. Yang dimaksud dengan makna majaz
adalah pemaknaan lafal yang tidak menggunakan makna asal/makna harfiyah/makna
tekstual/makna letterlijk, karena ada relasi makna (‘alaqah) dan indikator (qarinah) yang

15
Yusuf Qardhawi ,Bagaimana Memahami Hadist, Bandung: Karisma, 1993. Cet 1
16
Al-Qardawi, Kaifa Nata`amal,h. 139
menolak keberadaan makna tersebut dalam suatu ungkapan, sehingga ungkapan tersebut perlu
dimaknai dengan makna baru.17

Pemaknaan secara majaz tidak hanya terjadi pada hadis-hadis yang content-nya bersifat
pemberitaan biasa, namun terjadi pula pada hadis-hadis yang contentnya bersifat ahkam,
sehingga ulama fiqih harus memperhatikan persoalan tersebut. Seiring dengan persoalan itu,
seorang mujtahid harus memiliki persyaratan-persyaratan: (1) menguasai al-‘ulum al-
‘arabiyyah yang dapat membantu dia mengerti tentang makna yang beragam dalam bahasa
Arab. Hal itu seperti (kemampuan bahasa Arab) yang dimiliki orang Arab asli di masa Nabi
dan masa sahabat. Kemampuan penguasaan bahasa itu sekalipun ada yang bersifat bawaan, ada
juga yang bisa diperolehnya melalui studi, sehingga kemampuan tersebut dapat diperoleh siapa
saja yang ingin menguasainya; (2) bisa membedakan antara makna hakiki dan makna majaz,
agar seorang mujtahid tidak jatuh dalam kesalahan pemaknaan. Mereka mewajibkan suatu
kewajiban dan mengharamkan sesuatu tertentu. Mereka mem-bid’ah-kan dan menganggap
fasiq orang lain, bahkan kadang-kadang mereka mengkafirkan orang lain. Kalau saja mereka
menggunakan dalil yang sahih dalam fatwa tersebut, bisa jadi pemahaman mereka atas dalil-
dalil tersebut mengalami bias. Misalnya, hadis yang ditengarahi sebagai larangan jabatan
tangan bagi laki-laki dengan perempuan lain yang bukan mahramnya dengan larangan yang
mutlak.Kalau ketentuan hadis tersebut berkualitas hasan –sebagaimana hasil penelitian al-
Albani- sekalipun tidak populer di masa sahabat dan murid-muridnya,hadis tersebut tidak
menyatakan haramnya jabatan tangan (‫)املصافحة‬antara laki dan perempuan yang bukan
mahramnya secara tekstual. Hal itu karena kata ‫ المس‬dalam bahasa Al-Qur‟an dan hadis tidak
menunjukkan makna “bertemunya kulit dengan kulit” (makna hakiki), akan tetapi kata ‫المس‬
sebagaimana yang dipahami sahabat Ibnu Abbas bermakna senggama (jima’) bukan
“sentuhan” dalam jabatan tangan.Jadi kata ‫مالمسة‬،‫لمس‬،‫ مس‬dimaknai secara kinayah yaitu jima’.
Allah adalah Dzat yang punya hak prerogatif tentang makna. Dia membuat kinayah dalam Al-
Qur’an “tentang apa dan dengan apa” itu terserah Allah sendiri. Hampir semua ulama tafsir
dan fuqaha‟ menafsirkan kata ( ‫ ) المس‬dengan (‫ ) الدخول‬yang berarti “senggama”,dan makna
tersebut lebih bisa diterima logika bahasa.

dalam hadis di atas tidak ada ungkapan tekstual yang menyatakan larangan jabatan tangan
bagi laki-laki dan perempuan lain yang bukan mahramnya, jabatan tangan yang tidak
menimbulkan syahwat dan tidak menimbulkan fitnah, utamanya ketika jabatan tangan itu

17
Khotimah Suryani, Kontroversi Makna Majaz Dalam Memahami Hadist Nabi, hal. 2.
dibutuhkan. Misalnya jabatan tangan (ucapan selamat) karna habis bepergian, sembuh dari
sakit, lulus dari ujian dan lain sebagainya, utamanya bagi sanak kerabat yang saling
memberikan ucapan selamat. Oleh karena itu seorang laki-laki perlu berjabatan tangan dengan
isteri pamannya, baik paman dari ayah maupun dari ibunya, berjabatan tangan dengan putri
pamannya atau salah seorang dari kerabatnya, apalagi jika perempuan-perempuan tersebut
telah menjulurkan tangan padanya dengan tidak disertai rasa syahwat.

Ibnu Hajar memahami hadis pegangan Nabi dengan budak perempuan dimaknai sesuai
makna kelazimannya, yaitu berbelas kasih dan bersedia mengantarkan perempuan ke tempat
tujuannya. Hadis tersebut mengandung makna “sangat tawadhu” (‫ )التواضع فى مبالغة‬dari Nabi.
Redaksi hadis menyebut orang perempuan bukan laki-laki, seorang budak perempuan bukan
budak laki-laki. Jadi ungkapan hadis ini menunjukkan prilaku Nabi yang sangat baik, bahkan
Nabi akan mengikut/mengantar dan membantu perempuan ini kalau saja kebutuhan perempuan
ini didapat di luar Madinah.Jadi hadis yang memuat kata ‫ المس‬yang terdapat pada hadis (riwayat
Imam al-Thabarani), yang kandungannya dianggap sebagai larangan jabatan tangan bagi laki-
laki dan perempuan, harus dimaknai secara majaz. Jika tidak dimaknai secara majaz dan hanya
dimaknai secara tekstual atau letterlijk maka pemaknaan seperti itu akan bertentangan dengan
dalil yang lain. Oleh karena itu pemaknaan majaz untuk hadis-hadis yang mengharuskan
dimaknai secara majaz harus dilakukan sekalipun terhadap hadis-hadis yang content-nya
bermuatan ahkam. 18

menurut Al qaradhawi ada hadis nabi yang sangat jelas maknanya dan sangat singkat
bahasanya, sehingga pembaca hadits tidak memerlukan penafsiran atau ta'wilan untuk
memahami makna dan tujuan nabi. selain itu ada juga redaksi nabi yang menggunakan kata
majazi sehingga tidak mudah di fahami dan tidak semua orang dapat mengetahui secara pasti
tujuan nabi. Hadits dalam kategori kedua biasanya menggunakan ungkapan ungkapan yang
sarat dengan simbolisasi. Ungkapan semacam itu sering di gunakan nabi karena bangsa Arab
pada masa itu sudah terbiasa dengan menggunakan kiasan atau metafora dan mempunyai rasa
bahasa yang tinggi terhadap bahasa arab. 19

I. Membedakan antara alam ghaib dan alam kasatmata

18
Ibid., h. 12-16
19
Socheh,Metode Pemahaman Hadits Menurut Perspektif Yusuf Al-Qaradhawi, "Jurnal Al-Fikrah”,Vol.2, No. 1
(April, 2020), hal 100.
Di antara kandang as-sunnah, adalah hal- hal yang berkaitan dengan alam ghaib (alam al-
ghaib), yang sebagainya menyangkut mahluk-mahluk menyangkut mahluk-mahluk yang tidak
dapat dilihat di dalam alam kita ini. Misalnya malaikat yang diciptakan oleh Allah SWT untuk
melakukan berbagai macam tugas tertentu “.... Dan tidak ada yang mengetahui tentara
Tuhanmu melainkan dia sendiri... “ (Al – muddatsir :31)

Disini kami merasa perlu menyatakan bahwa sebagian dari Hadist- hadist yang berkaitan
dengan hal – hal tersebut, tidak cukup mencapai derajat kesahihan yang di perlukan : dan karna
itu tidak seyogyanya di tujukan perhatian kepadanya. Yang ingin kami bahas di sini hanyalah
hadist- hadist yang di riwayatkan secara sahih dari nabi Muhammad SAW. Adalah kewajiban
dunia muslim untuk menerima hadist-hadist yang telah di sahihkan sesuai dengan kaidah-
kaidah yang di tetapkan oleh ahlinya serta para salaf yang menjadi panutan para umatNya.

Oleh karena itu , para ulama kita menetapkan bahwa adakalanya agama kita membawa
sesuatu yang membingungkan akal atas dasar itu pula, segala sesuatu yang di nukilan ( dari
sumber agama yang sahih), tidak sekali kali agar bertentangan dengan apa yang dapat di cerna
oleh akal secara lurus bergemlang.

Sabda Nabi Muhammad SAW: 20 “dan janganlah sekali kali kudapati seseorang yang dari
kamu bersanai di atas depannya,” lalu ketika di hadapakan kepada sesuatu yang pernah ku
perintahkan atau keluarga, ia berkata “ saya tidak tahu apa yang kita dapati dalam kitab Allah
( saja) itulah yang kita ikuti”.

J. Memastikan makna dan konotasi kata-kata dalam hadist


Memastikan makna dan konotasi kata-kata sangat penting dalam memahami sebuah hadits.
Karena, konotasi kata-kata tertentu adakalanya berubah dari suatu masa ke masa lainnya, dari
suatu lingkungan ke lingkungan lainnya.

Adakalanya suatu kelompok manusia menggunakan kata-kata tertentu untuk menunjuk


pada makna-makna yang tertentu pula. Dan tentunya tidak ada keberatan sama sekali dalam
hal ini. Akan tetapi yang ditakutkan disini adalah apabila mereka menafsirkan kata-kata
tersebut yang digunakan dalam As-Sunnah (atau juga dalam Al-Qur'an) sesuai dengan istilah

20
Diriwayatkan oleh abu Daud (4605) dan Tirmidzi (2665) dari abu rafi', juga di riwayatkan oleh ahmad
dalam al- mumad secara ringkas ( juz 6 hal 8)
mereka yang baru (atau yang hanya digunakan dikalangan mereka saja). Maka nantinya bisa
menimbul kerancuan dan kekeliruan.21

Kesimpulan

Selama ini, sunnah Nabi hanya dilihat dari aspek praktis atau produk saja, sehingga sunnah
Nabi hanya di definisikan sebagai bentuk dari ucapan atau perbuatan atau atau sikap tertentu
dari Nabi SAW. Akibatnya, ketika hadits Nabi dipahami untuk diamalkan, maka yang muncul
adalah pemahaman dan pengamalan secara lahiriah, tekstual dan tidak pernah ada perubahan
walaupun tuntutan keadaan dan perubahan waktu terus terjadi. Seharusnya, kemunculan suatu
sunnah lebih dilihat dari aspek metodenya sebagai ijtihad, bukan hasilnya.

Dalam konteks tersebut, meminjam istilah yang dikemukakan Muhammad Syahrur, Sunnah
nabi harus di definisikan sebagai: Ijtihad Nabi dalam menerapkan hukum-hukum yang terdapat
di dalam Umm al-Kitab, baik berupa hudud, ibadah dan akhlak, dengan memperhatikan realitas
obyektif di mana beliau hidup, berkisar di antara hudud atau langsung mengambil hudud yang
telah ada, atau membuat hudud sementara jika tidak ada di dalam al-qur’an.

Sunnah Nabi adalah metode Nabi SAW yang bersifat deduktif dalam melaksanakan hukum
yang terdapat dalam al-qur’an. Oeh karena itu apa yang dinamakan sebagai sunnah Nabi bukan
teks tentang ucapan, perbuatan atau ketetapan Nabi SAW sehari-hari yang bersifat harfiyah,
sebab semua itu hanya merupakan bentuk-bentuk ekspresi atau perwujudan yang bersifat
praktis dari pola pikir atau paradigma sunnah Nabi tersebut, yang tidak lain adalah ijtihad
beliau sendiri. Ekspresi dan ungkapan tersebut dapat selalu berubah-ubah, sementara pola dan
paradigma pemikiran lebih bersifat tetap.

Sunnah Nabi selalu terbuka untuk dikembangkan, dilengkapi bahkan dimodifikasi, sehingga
penerapannya mudah dan ringan. Nabi SAW telah berijtihad dalam menerapkan hudud yang
terdapat di dalam al- qur’an atau berijtihad membuat aturan sementara bagi masalah yang tidak
ada hududnya dalam al- qur’an sehingga apa yang telah ditetapkan dan dilakukan oleh beliau
di Jazirah Arab pada abad ke-7 Masehi hanya merupakan alternatif pilihan pertama (al-Ihtimal
al-Awwal) dalam menegakkan ajaran Islam pada periode historis tertentu. Oleh karena itu, apa-
apa yang telah diputuskan oleh Nabi SAW pada saat itu bukan satu-satunya pilihan dan tidak
pula sebagai putusan terakhir, walaupun beliau merupakan penutup para Nabi dan Rasul. Apa

21
Yusuf Qaradhawi, Bagaimana Memahami Hadits Nabi SAW, (Bandung: Penerbit Karisma, 1993), 136.
yang telah beliau lakukan tidak lain adalah untuk memelihara kelangsungan misi kerasulan dan
kenabian sampai hari kiamat.

Daftar pustaka

Yusuf al-Qordhowi, Fatawa Qardhawi, ter: H. Abdurrahman Ali Bauzir, (Surabaya: Risalah
Gusti, 1996), cet ll, hal. 339.
Muhammad Djakfar, Agama, Etika Dan Ekonomi Wacana Menuju Pengembangan Ekonomi
Rabbaniyah,(Malang: UIN Press, 2007), 88.
Sulaiman Ibnu Shalih, Al-Qaradhawi fil Mizan, (Riyadi: Dar al-jawab, t.t), 8.
Syeikh Khalid as-Said, khitab Yusuf al-Qaradhawi,(Kairo: Maktabah Wahbah, 1997), 317.
6 Ashabul Muslimin, Shahih Bukhari Terjemahan (Bekasi, 2011), no. hadits 6081.
Saifullah, “Problematika Naskh dalam Dikursus Kajian Hadis”, Jurnal Keilmuan Tafsir
Hadis, Vol.2 No. 1 (Juni, 2012), 129.
Melia Novera, “Penggunaan Ta’wil, Tarjih, dan Naskh dalam Pemahaman Hadis”, Jurnal
Dirayah, Vol.2 No.1 (Oktober, 2021), 30-31.
Mahfudin, “Ijtihad Kontemporer Yusuf Al-Qardhawi Dalam Pengembangan Hukum
Islam,39.
Caca handika, pemahaman hadist Yusuf al qardhawi dan menentukan hukum Islam, al
mawarid jurnal syari'ah dan hukum, 20 Augustus 2019
Yusuf Qaradhawi. Bagaimana memahami hadis Nabi Saw. Hal 121
Yusuf Qardhawi. Bagaimana memahami hadis Nabi SAW. Terj, Muhammad Al-baqir
(Bandung: Karisma. Hal 131)
Yusuf Qardhawi. Bagaimana memahami hadis Nabi SAW. Terj, Muhammad Al-baqir
(Bandung: Karisma. Hal 132)
Yusuf Qardhawi. Bagaimana memahami hadis Nabi SAW. Terj, Muhammad Al-baqir
(Bandung: Karisma. Hal 133)
Yusuf Qardhawi ,Bagaimana Memahami Hadist, Bandung: Karisma, 1993. Cet 1
Al-Qardawi, Kaifa Nata`amal,h. 139
Khotimah Suryani, Kontroversi Makna Majaz Dalam Memahami Hadist Nabi, hal. 2.
Ibid., h. 12-16
Socheh,Metode Pemahaman Hadits Menurut Perspektif Yusuf Al-Qaradhawi, "Jurnal Al-
Fikrah”,Vol.2, No. 1 (April, 2020), hal 100.
Diriwayatkan oleh abu Daud (4605) dan Tirmidzi (2665) dari abu rafi', juga di riwayatkan
oleh ahmad dalam al- mumad secara ringkas ( juz 6 hal 8)
Yusuf Qaradhawi, Bagaimana Memahami Hadits Nabi SAW, (Bandung: Penerbit Karisma,
1993), 136.

Anda mungkin juga menyukai