Oleh
ZUBAIDAH
NIM: 1519122050
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-
Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah Implementasi 6 Sasaran
Keselamatan Pasien Di Rumah Sakitdengan baik dan tepat pada waktunya.
Dalam penyusunan makalah mungkin ada sedikit hambatan.
Dengan adanya makalah ini, diharapkan dapat membantu proses
pembelajaran dan dapat menambah pengetahuan bagi pembaca. Tidak lupa pula
saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak, atas bantuan, dukungan, dan
doa-Nya.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membaca
makalah ini dan dapat mengetahui tentang evidense based Midwiferi. Makalah ini
mungkin kurang sempurna, untuk itu saya mengharapkan kritik dan saran untuk
penyempurnaan makalah ini.
ZUBAIDAH
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..................................................................................................
i
KATA PENGANTAR................................................................................................
ii
DAFTAR ISI...............................................................................................................
iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang..................................................................................................
1
B. Perumusan Masalah.........................................................................................
2
C. Tujuan.............................................................................................................
3
D. Landasan Hukum.............................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Ketepatan identifikasi pasien............................................................................
4
B. Peningkatan komunikasi efektif.......................................................................
13
C. Peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai (high alert).....................
22
D. Kepastian tepat lokasi, tepat prosedur, tepat pasien operasi.............................
30
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Rumah sakit adalah layanan jasa yang memiliki peran sangat penting
bagi kehidupan masyarakat. Rumah sakit adalah tempat yang sangat
kompleks yang terdapat berbagai macam obat, tes dan prosedur, banyak alat
dengan teknologinya, berbagai jenis tenaga profesi dan non profesi yang siap
memberikan pelayanan pasien 24 jam secara terus menerus. Keberagaman
dan kerutinan pelayanan tersebut apabila tidak dikelola dengan baik dapat
menimbulkan peluang untuk terjadinya kesalahan pelayanan yang dapat
berakibat terhadap keselamatan pasien.
Menurut Bea, et al 2013 bahwa ketidakpedulian akibat keselamatan
pasien akan menyebabkan dampak yang merugikan bagi pasien dan pihak
rumah sakit, seperti biaya yang harus ditanggung pasien menjadi lebih besar,
pasien semakin lama dirawat di rumah sakit dan terjadinya resistensi obat.
Kerugian bagi rumah sakit yang harus dikeluarkan menjadi lebih besar yaitu
pada upaya tindakan pencegahan terhadap kejadian luka tekan (dekubitus),
infeksi nosokomial, pasien jatuh dengan cidera dan kesalahan obat yang
mengakibatkan cidera.
Keselamatan pasien telah menjadi issue global sejak adanya laporan
dari Institute of Medicine Amerika Serikat pada tahun 2000 dalam sebuah
buku “TOO ERR IS HUMAN, Building a Safer Health System”, yang
menyatakan kematian akibat terjadinya kejadian yang tidak diharapkan
(KTD/ adverse event) di rumah sakit melebihi angka kematian akibat
kecelakaan, HIV dan kanker. Lebih dari 10 tahun, patient safety telah
diperkenalkan sehingga menjadi suatu issue global yang sangat penting dan
banyak hal sudah dikerjakan untuk mencapai patient safety tersebut.
2
C. TUJUAN
1. Tujuan dibuat kajian ini untuk memberi informasi kepada pembaca
mengenai 6 sasaran penting yang harus bidan ketahui dan pahami agar
meningkatkan asuhan kebidanan yang diberikan bidan kepada pasien .
2. Terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit, meningkatnya
akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat, menurunya
kejadian tidak di harapkan (TKD) di rumah sakit, terlaksananya
programprogram pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan kejadian
tidakdiharapkan.
D. LANDASAN HUKUM
1. Undang- Undang Republik Indonesia nomor 44 tahun 2009 tentang
Rumah Sakit
2. Surat keputusan pengurus YAKKUM Nomor :.....................tentang
Pengangkatan Dokter Samuel Zacharias Spesialis Bedah sebagai
Direktur Rumah sakit Emanuel YAKKUM di Banjarnegara periode
jabatan 2014 sampai dengan 2019
3. UU No.36 tahun 2009, tentang Kesehatan
4. MENKES/PER/VIII/2011 Tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit
5. Permenkes nomer 58 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit
6. PPRI No.72 tahun 1998, tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan
Alat Kesehatan
7. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
no:270/MENKES/SK/III/2007 tentang pedoman Manajerial
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Nosokomial
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
7
2)Jika diperlukan untuk melepas gelang pengenal selama dilakukan
operasi, tugaskanlah seorang perawat di kamar operasi untuk
bertanggungjawab melepas dan memasang kembali gelang
pengenal pasien.
3)Gelang pengenal yang dilepas harus ditempelkan di depan rekam
medis pasien
5. Prosedur Pengambilan Dan Pemberian Produk / Komponen Darah
a. Identifikasi, pengambilan, pengiriman, penerimaan, dan penyerahan
komponen darah (transfusi) merupakan tanggungjawab petugas yang
mengambil darah.
b. Dua orang staf RS yang kompeten harus memastikan kebenaran:
data demografik pada kantong darah, jenis darah, golongan darah
pada pasien dan yang tertera pada kantong darah, waktu
kadaluwarsanya, dan identitas pasien pada gelang pengenal.
c. Staf RS harus meminta pasien untuk menyebutkan nama lengkap dan
tanggal lahirnya / umur atau alamatnya.
d. Jika staf RS tidak yakin / ragu akan kebenaran identitas pasien,
jangan lakukan transfusi darah sampai diperoleh kepastian identitas
pasien dengan benar.
6. Prosedur Identifikasi Pada Bayi Baru Lahir Atau Neonatus
a. Gunakan gelang pengenal di ekstremitas yang berbeda
b. Untuk bayi baru lahir yang masih belum diberi nama, data di gelang
pengenal berisikan jenis kelamin bayi, nama ibu, tanggal dan jam lahir
bayi, nomor rekam medis bayi, dan modus kelahiran.
c. Saat nama bayi sudah didaftarkan, gelang pengenal berisi data ibu
dapat dilepas dan diganti dengan gelang pengenal yang berisikan data
bayi.
d. Gunakan gelang pengenal berwarna merah muda (pink) untuk bayi
perempuan dan biru untuk bayi laki-laki.
e. Pada kondisi di mana jenis kelamin bayi sulit ditentukan, gunakan
gelang pengenal berwarna putih.
8
7. Pasien Rawat Jalan
a. Tidak perlu menggunakan gelang pengenal (kecuali pasien yang
mengunjungi poliklinik mata).
b. Pasien poliklinik mata yang akan menjalani prosedur berikut ini harus
menggunakan gelang pengenal.
1) Angiogram fluoresens
2) Terapi fotodinamik (photo dynamic therapy)
3) Infus intravena
c. Sebelum melakukan suatu prosedur/ terapi, tenaga medis harus
menanyakan identitas pasien berupa nama dan tanggal lahir/ umur
atau alamat. Data ini harus dikonfirmasi dengan yang tercantum pada
rekam medis.
d. Jika pasien adalah rujukan dari dokter umum / puskesmas / layanan
kesehatan lainnya, surat rujukan harus berisi identitas pasien berupa
nama lengkap, tanggal lahir, dan alamat. Jika data ini tidak ada,
prosedur / terapi tidak dapat dilaksanakan.
e. Jika pasien rawat jalan tidak dapat mengidentifikasi dirinya sendiri,
verifikasi data dengan menanyakan keluarga / pengantar pasien.
9
b. Saat pasien sudah dapat diidentifikasi, berikan gelang pengenal baru
dengan identitas yang benar.
10. Prosedur Identifikasi Pasien Pada Unit Gangguan Jiwa
a. Kapanpun dimungkinkan, pasien gangguan jiwa harus
menggunakan gelang pengenal.
b. Akan tetapi terdapat hal-hal seperti kondisi pasien atau penanganan
pasien yang menyebabkan sulitnya mendapat identitas pasien
dengan benar sehingga perlu dipertimbangkan untuk menggunakan
metode identifikasi lainnya.
c. Identifikasi pasien dilakukan oleh petugas yang dapat diandalkan
untuk mengidentifikasi pasien, dan lakukan pencatatan di rekam
medis.
d. Pada kondisi di mana petugas tidak yakin / tidak pasti dengan
identitas pasien (misalnya saat pemberian obat), petugas dapat
menanyakan nama dan tanggal lahir pasien (jika memungkinkan)
dan dapat dicek ulang pada rekam medis.
e. Jika terdapat ≥ 2 pasien dengan nama yang sama di ruang rawat,
berikan tanda / label notifikasi pada rekam medis, tempat tidur
pasien, dan dokumen lainnya
11. Pasien Yang Meninggal
a. Pasien yang meninggal di ruang rawat rumah sakit harus dilakukan
konfirmasi terhadap identitasnya dengan gelang pengenal dan rekam
medis (sebagai bagian dari proses verifikasi kematian).
b. Semua pasien yang telah meninggal harus diberi identifikasi dengan
menggunakan 2 gelang pengenal, satu di pergelangan tangan dan
satu lagi di pergelangan kaki.
c. Satu salinan surat kematian harus ditempelkan di kain kafan. Salinan
kedua harus ditempelkan di kantong jenazah (body bag). Salinan
ketiga disimpan di rekam medis pasien.
10
12. Melepas Gelang Pengenal
a. Gelang pengenal hanya dilepas saat pasien pulang atau keluar dari
rumah sakit
b. Yang bertugas melepas gelang pengenal adalah perawat yang
bertanggungjawab terhadap pasien selama masa perawatan di rumah
sakit.
c. Gelang pengenal dilepas setelah semua proses selesai dilakukan.
Proses ini meliputi: pemberian obat-obatan kepada pasien dan
pemberian penjelasan mengenai rencana perawatan selanjutnya
kepada pasien dan keluarga.
d. Gelang pengenal yang sudah tidak dipakai harus digunting menjadi
potongan-potongan kecil sebelum dibuang ke tempat sampah.
e. Terdapat kondisi-kondisi yang memerlukan pelepasan gelang
pengenal sementara (saat masih dirawat di rumah sakit), misalnya
lokasi pemasangan gelang pengenal mengganggu suatu prosedur.
Segera setelah prosedur selesai dilakukan, gelang pengenal dipasang
kembali.
13. Pelaporan insidens / kejadian kesalahan identifikasi Pasien
a. Setiap petugas yang menemukan adanya kesalahan dalam identifikasi
pasien harus segera melapor kepada petugas yang berwenang di ruang
rawat / departemen tersebut, kemudian melengkapi laporan insidens.
b. Petugas harus berdiskusi dengan Kepala Instalasi atau Manajer
mengenai pemilihan cara terbaik dan siapa yang memberitahukan
kepada pasien / keluarga mengenai kesalahan yang terjadi akibat
kesalahan identifikasi.
c. Contoh kesalahan yang dapat terjadi adalah:
1) Kesalahan penulisan alamat di rekam medis
2) Kesalahan informasi / data di gelang pengenal
3) Tidak adanya gelang pengenal di pasien
4) Misidentifikasi data / pencatatan di rekam medis
5) Misidentifikasi pemeriksaan radiologi (rontgen)
11
6) Misidentifikasi laporan investigasi
7) Misidentifikasi perjanjian (appointment)
8) Registrasi ganda saat masuk rumah sakit
9) Salah memberikan obat ke pasien
10) Pasien menjalani prosedur yang salah
11) Salah pelabelan identitas pada sampel darah
d. Kesalahan juga termasuk insidens yang terjadi akibat adanya
misidentifikasi, dengan atau tanpa menimbulkan bahaya, dan juga insidens
yang hampir terjadi di mana misidentifikasi terdeteksi sebelum dilakukan
suatu prosedur.
e. Beberapa penyebab umum terjadinya misidentifikasi adalah:
1) Kesalahan pada administrasi / tata usaha
o Salah memberikan label
o Kesalahan mengisi formulir
o Kesalahan memasukkan nomor / angka pada rekam medis
o penulisan alamat yang salah
o pencatatan yang tidak benar / tidak lengkap / tidak terbaca
2) Kegagalan verifikasi
o Tidak adekuatnya / tidak adanya protokol verifikasi
o Tidak mematuhi protokol verifikasi
3) Kesulitan komunikasi
o Hambatan akibat penyakit pasien, kondisi kejiwaan pasien, atau
keterbatasan bahasa
o Kegalan untuk pembacaan kembali
o Kurangnya kultur / budaya organisasi
f. Jika terjadi insidens akibat kesalahan identifikasi pasien, lakukan hal
berikut ini:
1) Pastikan keamanan dan keselamatan pasien.
2) Pastikan bahwa tindakan pencegahan cedera telah dilakukan.
3) Jika suatu prosedur telah dilakukan pada pasien yang salah atau
dilakukan di tempat yang salah, para klnisi harus memastikan bahwa
12
langkah-langkah yang penting telah diambil untuk melakukan
prosedur yang tepat pada pasien yang tepat.
14. Revisi Dan Audit
a. Kebijakan ini akan dikaji ulang dalam kurun waktu 2 tahun
b. Rencana audit akan disusun dengan bantuan kantor audit medik dan akan
dilaksanakan dalam waktu 6 bulan setelah implementasi kebijakan. Audit
klinis ini meliputi:
1) Jumlah persentase pasien yang menggunakan gelang pengenal
2) Akurasi dan reliabilitas informasi yang terdapat di gelang pengenal
3) Alasan mengapa pasien tidak menggunakan gelang pengenal
4) Efikasi cara identifikasi lainnya
5) Insidens yang terjadi dan berhubungan dengan misidentifikasi
c. Setiap pelaporan insidens yang berhubungan dengan identifikasi pasien
akan dipantau dan ditindaklanjuti saat dilakukan revisi kebijakan.
13
2. Proses Komunikasi Efektif:
a. Komunikasi dapat efektif apabila pesan diterima dan dimengerti
sebagaimana dimaksud oleh pengirim pesan, pesan ditindaklanjuti
dengan sebuah perbuatan oleh penerima pesan dan tidak ada
hambatan untuk hal itu (Hardjana, 2003).
b. Prosesnya adalah:
1) Pemberi pesan secara lisan memberikan pesan, setelah itu
dituliskan secara lengkap isi pesan tersebut oleh si penerima
pesan
2) Isi pesan dibacakan kembali (Read Back) secara lengkap oleh
penerima pesan.
3) Penerima pesan mengkonfirmasi isi pesan kepada pemberi
pesan.
Gambar:
c. Unsur Komunikasi
1) Sumber/komunikator (Dokter, Perawat, Petugas admission,
Administrasi Rawat Inap, kasir, dll)
Sumber (yang menyampaikan informasi): adalah orang yang
menyampaikan isi pernyataannya kepada penerima. Hal-hal yang
menjadi tanggung jawab pengirim pesan adalah mengirim pesan
dengan jelas, memilih media yang sesuai, dan meminta kejelasan
apakah pesan tersebut sudah di terima dengan baik. (Konsil
14
Kedokteran Indonesia, hal.8).Komunikator yang baik adalah
komunikator yang menguasai materi, berpengetahuan luas dan dalam
tentang informasi yang disampaikan, cara berbicara jelas dan
menjadi pendengar yang baik saat dikonfirmasi oleh si penerima
pesan (komunikan).
2) Isi pesan
Panjang pendeknya, kelengkapan yang perlu disesuaikan dengan
tujuan komunikasi, media penyampaian, penerimanya
3) Media/saluran (Elektronic,Lisan,dan Tulisan).
Media berperan sebagai jalan atau saluran yang dilalui isi pernyataan
yang disampaikan pengirim atau umpan balik yang disampaikan
penerima. Berita dapat berupa lisan, tertulis, atau keduanya
sekaligus. Pada kesempatan tertentu, media dapat tidak digunakan
oleh pengirim yaitu saat komunikasi berlangsung atau tatap muka
dengan efek yang mungkin terjadi berupa perubahan sikap. (Konsil
Kedokteran Indonesia, hal.8). Media yang dapat digunakan: melalui
telepon, menggunakan lembar lipat, buklet, VCD, LCD, dan atau
alat peraga lainnya.
4) Penerima/komunikan (Pasien, Keluarga pasien, Perawat, Dokter,
Petugas Admission, Administrasi Rawat Inap).
- Penerima berfungsi sebagai penerima berita. Dalam komunikasi,
peran pengirim dan penerima bergantian sepanjang pembicaraan.
Tanggung jawab penerima adalah berkonsentrasi untuk menerima
pesan dengan baik dan memberikan umpan balik kepada pengirim.
Umpan balik sangat penting sehingga proses komunkasi
berlangsung dua arah. (Konsil Kedokteran Indonesia, hal.8).
- Pemberi/komunikator yang baik adalah pada saat melakukan
proses umpan balik, diperlukan kemampuan dalam hal-hal
berikut (Konsil Kedokteran Indonesia, hal 42):
a) Cara berbicara (talking), termasuk cara bertanya ( kapan
menggunakan pertanyaan tertutup dan kapan memakai
15
pertanyaan terbuka ), menjelaskan, klarifikasi,
paraphrase, intonasi.
b) Mendengar (listening), termasuk memotong kalimat.
c) Cara mengamati (observation) agar dapat memahami
yang tersirat di balik yang tersurat (bahasa non verbal di
balik ungkapan kata/kalimatnya, gerak tubuh).
d) Menjaga sikap selama berkomunikasi dengan
komunikan (bahasa tubuh) agar tidak menggangu
komunikasi, misalnya karena komunikan keliru
mengartikan gerak tubuh, raut tubuh, raut muka, dan
sikap komunikator.
3. Komunikasi Saat Memberikan Edukasi Kepada Pasien Dan Keluarganya
Berkaitan Dengan Kondisi Kesehatannya
Proses:
Tahap asesment pasien: sebelum melakukan edukasi, petugas menilai dulu
kebutuhan edukasi pasien & keluarga berdasarkan: (data ini didapatkan dari
RM):
a) Keyakinan dan nilai-nilai pasien dan keluarga.
b) Kemampuan membaca, tingkat pendidikan dan bahasa yang digunakan.
c) Hambatan emosional dan motivasi. (emosional: depresi, senang dan
marah)
d) Keterbatasan fisik dan kognitif.
e) Ketersediaan pasien untuk menerima informasi.
Tahap Cara penyampaian informasi dan edukasi yang efektif. Setelah melalui
tahap asesment pasien, di temukan :
a) Pasien dalam kondisi baik semua dan emosionalnya senang, maka
proses komunikasinya mudah disampaikan.
b) Jika pada tahap asesmen pasien di temukan hambatan fisik (tuna rungu
dan tuna wicara), maka komunikasi yang efektif adalah memberikan
leaflet kepada pasien dan keluarga sekandung (istri,anak, ayah, ibu, atau
saudara sekandung) dan menjelaskannya kepada mereka.
16
c) Jika pada tahap asesmen pasien ditemukan hambatan emosional pasien
(pasien marah atau depresi), maka komunikasi yang efektif adalah
memberikan materi edukasi dan menyarankan pasien membaca leaflet.
Apabila pasien tidak mengerti materi edukasi, pasien bisa menghubungi
medical information.
4. Komunikasi Antar Petugas
Salah satu penyebab yang paling umum terjadi medical errors adalah
kegagalan komunikasi baik verbal/tertulis, miskomunikasi antar staf, antar
shif, informasi tidak didokumentasikan dengan baik/hilang, masalah-masalah
komunikasi tim layanan kesehatan di satu lokasi, antar berbagai lokasi, antar
tim layanan dengan pekerja non klinis, dan antar staf dengan pasien.
Kesalahan juga dapat terjadi pada ketersediaan informasi yang kritis saat akan
merumuskan keputusan penting, komunikasi tepat waktu dan dapat
diandalkan saat pemberian hasil pemeriksaan yang kritis, koordinasi instruksi
obat saat transfer antara unit, informasi penting tidak disertakan saat pasien
ditransfer ke unit lain/dirujuk ke RS lain. Upaya untuk meningkatkan
komunikasi antar petugas yang efektif dapat dilakukan dengan :
a) Teknik SBAR
- Status kode
3) Assesment
4) Recommendation
18
b) Komunikasi verbal dengan READ BACK / TBAK (Tulis, BAca Kembali
- TBAK dilakukan Saat Dokter memberi instruksi verbal dan pada saat
menerima telepon yang melaporkan hasil test kritis. Tenaga kesehatan
yang menerima instruksi verbal (telepon/ lisan/ melaporkan hasil test
yang kritis, harus menuliskan kemudian membacakan kembali
permintaan yang diberikan lewat telepon dan mengkonfirmasikannya
kepada pemberi instruksi/ informasi.
19
c) Permintaan obat yang aman
20
- Sampaikan dosis obat berdasakan unit beratnya (seperti mg, gram,
mEq, mMol). Permintaan verbal yang menyebutkan secara spesifik
dosis dalam bentuk tablet, ampul atau vial dan meminta pada volume
obat tertentu tanpa menyebutkan konsentrasi dari obat yang diminta
dapat menyebabkan kesalahan dan cidera serius pada pasien karena
banyak obat ada dalam bungkus yang bermacam-macam dengan
kekuatan obat yang berbeda.
- Sebaiknya terdapat orang kedua yang ikut mendengarkan permintaan
(seandainya memungkinkan), terutama pada saat penerima permintaan
adalah mahasiswa atau petugas yang belum berpengalaman.
- Rekam permintaan verbal secara langsung pada lembar permintaan
obat pasien.
- Penerima permintaan obat dapat menandatangani, menuliskan hari dan
tanggal dan catatan terkait prosedur permintaan.
- Pemberi permintaan dapat diminta untuk memverifikasi dan
menandatangani permintaan yang telah ditulis.
- Permintaan verbal tidak boleh dilakukan pada kasus kemoterapi.
- Permintaan obat dari unit perawat tidak diperbolehkan bila permintaan
verbal tidak dituliskan pada lembar permintaan obat dan dapat terlihat
oleh farmasi sebelum obat didispensi.
- Batasi permintaan verbal hanya pada obat yang telah diformulasikan
dan familiar bagi staf.
- Batasi jumlah personil yang menerima permintaan telepon untuk
membantu memastikan penerima familiar dengan aturan fasilitas dan
kemampuan mengetahui penelepon.
- Bila dimungkinkan, apoteker yang menerima permintaan obat untuk
menuliskan kembali permintaan secara langsung pada rekam medis.
5. Revisi Dan Audit
a. Kebijakan ini akan dikaji ulang dalam kurun waktu 2 tahun
21
b. Rencana audit akan disusun dengan bantuan kantor audit medik dan akan
dilaksanakan dalam waktu 6 bulan setelah implementasi kebijakan. Audit
klinis ini meliputi:
1) Ketepatan pengisian formulir SBAR
2) Ketepatan komunikasi dengan Tbak
3) Jumlah pelaporan hasil kritis yang dilaporkan dan keterlambatan
pelaporan hasil kritis
c. Setiap pelaporan insidens yang berhubungan dengan komunikasi efektif
akan dipantau dan ditindaklanjuti saat dilakukan revisi kebijakan.
22
2. . Obat-Obatan Kategori “ High Allert”
a. Daftar obat high alert ditentukan oleh Instalasi Farmasi (daftar
terlampir), termasuk di dalamnya :
- Elektrolit Pekat,
- Narkotika,
- Sitostatika
- Obat Look Alike Sound Alike / LASA (NORUM : Nama Obat
Rupa Mirip). .
b. Setiap satelit farmasi, ruang rawat, poliklinik harus memiliki daftar
obat high alert dan panduan penanganan obat high alert.
c. Setiap satelit farmasi, ruang rawat, poliklinik harus memiliki daftar
obat LASA (daftar terlampir).
d. Setiap tenaga kesehatan harus mengetahui penanganan khusus untuk
obat high alert.
e. Obat high alert harus disimpan di tempat terpisah, akses terbatas
23
dengan menggunakan minibag dengan elektrolit yang telah dipilih
dan disediakan oleh farmasi.
e. Bila larutan elektrolit harus ada pada area tertentu, maka dilakukan
pelabelan pada obat dengan label flourosens yang terlihat dan yang
menyatakan “ HARUS DIENCERKAN”.
b. Benar Obat
- Beri label semua obat dan tempat obat (syringes, cangkir obat,
baskom obat), dan larutan lain.
- Obat dan larutan lain di lokasi perioperatif atau ruang prosedur
yang tidak akan segera dipakai juga harus diberi label.
- Pemberian label di lokasi perioperatif atau ruang prosedur
dilakukan setiap kali obat atau larutan diambil dari kemasan asli ke
tempat lainnya.
- Pada label, tuliskan nama obat, kekuatan, jumlah, kuantitas,
pengenceran dan volume, tanggal persiapan, tanggal kadaluarsa
jika tidak digunakan dalam 24 jam dan tanggal kadaluarsa jika
kurang dari 24 jam.
- Semua obat atau larutan diverifikasi oleh 2 orang secara verbal dan
visual jikaorang yang menyiapkan obat bukan yang
memberikannya ke pasien.
26
- Pemberian label tiap obat atau larutan segera setelah obat
disiapkan jika tidak segera diberikan.
- Jangan memberi label pada syringes atau tempat kosong, sebelum
obat disiapkan/ diisi.
- Siapkan satu obat atau larutan pada satu saat. Beri label hanya
untuk satu obat atau larutan pada satu saat.
- Buang segera setiap obat atau larutan yang tidak ada labelnya.
- Buang semua tempat obat berlabel di lokasi steril segera setelah
operasi atau prosedur dilakukan (ini berarti tempat obat orisinal
disimpan sampai tindakan selesai).
- Saat pergantian tugas/ jaga, review semua obat dan larutan oleh
petugas lama dan petugas baru secara bersama.
- Ubah daftar obat/ kardeks jika terdapat perubahan obat.
- Kebenaran jenis obat yang perlu kewaspadaan tinggi di cek
oleh dua orang yang kompeten ( double check).
c. Benar Dosis
- Dosis/ volume obat, terutama yang memerlukan kewaspadaan
tinggi, dihitung & dicek oleh dua orang yang kompeten (double
check).
- Jika ragu konsultasi ke dokter yang menulis resep.
- Berkonsentrasi penuh saat menyiapkan obat, dan hindari gangguan.
d. . Benar Waktu
- Sesuai waktu yang ditentukan: sebelum makan, setelah makan, saat
makan.
- Perhatikan waktu pemberian:
3 x sehari tiap 8 jam
2 x sehari tiap 12 jam
Sehari sekali tiap 24 jam
27
Selang sehari tiap 48 jam
- Obat segera diberikan setelah diinstruksikan oleh dokter.
- Belum memasuki masa kadaluarsa obat.
f. Benar Dokumentasi
- Setiap perubahan yang terjadi pada pasien setelah mendapat obat
harus didokumentasikan.
- Setiap dokumen klinik harus ada bukti nama dan tanda tangan/
paraf yang melakukan.
- Setelah memberikan obat, langsung di paraf dan diberi nama siapa
yang memberikan obat tersebut.
- Setiap perubahan jenis/ dosis/ jadwal/ cara pemberian obat harus
diberi nama & paraf yang mengubahnya.
- Jika ada coretan yang harus dilakukan: buat hanya satu garis
dan di paraf di ujungnya:
Contoh:
Lasix tab, 1 x 40 mg Jcmd Lasix inj, 1 x 40 mg iv.
- Dokumentasikan respon pasien terhadap pengobatan: Efek Samping
Obat (ESO) dicatat dalam rekam medik & Form Pelaporan
28
Insiden + Formulir Pelaporan Efek Samping Obat. Pelaporan
Insiden dikirim ke Tim Keselamatan Pasien di Unit Pelayanan
Jaminan Mutu. Pelaporan Efek Samping Obat dikirim ke Komite
Farmasi dan Terapi.
- Dokumentasikan Kejadian Nyaris Cedera terkait pengobatan dengan
Form Pelaporan Insiden ke Tim Keselamatan Pasien.
- Dokumentasikan Kejadian Tidak Diharapkan Form Pelaporan
Insiden ke Tim Keselamatan Pasien.
g. Benar Informasi
- Semua rencana tindakan/ pengobatan harus dikomunikasikan pada pasien
& atau keluarganya, termasuk pasien di ICU (hak pasien!).
- Jelaskan tujuan & cara mengkonsumsi obat yang benar.
- Jelaskan efek samping yang mungkin timbul.
- Rencana lama terapi juga dikomunikasikan pada pasien.
- Tips: semua informasi yang telah diberikan pada pasien & keluarganya
ini ditulis dalam “Form Penjelasan & Pendidikan Dokter kepada Pasien”
yang ada di dalam paket rekam medik dan ditandatangani oleh dokter dan
pasien/ keluarga pasien.
5. Dokumentasi
- Instalasi Farmasi bersama dengan Departemen Medik terkait membuat
daftar obat high alert (elektrolit perkat, LASA, narkotika, sitostatika)
- Farmasi menerbitkan daftar singkatan yang tidak dipergunakan untuk
mengurangi risiko medication error
- Petugas melaporkan adanya kejadian medication error dengan
menggunakan formulir insiden keselamatan pasien kepada Tim PMKP
29
b. Rencana audit akan disusun dengan bantuan kantor audit medik dan
akan dilaksanakan dalam waktu 6 bulan setelah implementasi
kebijakan. Audit klinis ini meliputi:
6) Penandaan obat-obatan high alert
7) Penyimpanan obat-obatan high alert di farmasi
8) Penyimpangan penyimpanan obat-obatan high alert di
critical/ emergency area (IGD, ICU, OKA)
c. Setiap pelaporan insidens yang berhubungan dengan keamanan obat
high alert akan dipantau dan ditindaklanjuti saat dilakukan revisi
kebijakan
1. Definisi
- Verifikasi pra prosedur merupakan proses melihat kembali semua data
yang ada untuk memverifikasi keakuratan prosedur yang dapat
diantisipasi, melibatkan pasien dan keluarga untuk memahami prosedur
operasi yang direncanakan.
- Marking site merupakan penandaan fisik dari lokasi operasi atau prosedur
invasif lain, menggunakan surgical marking pen (NHS, 2012).
- Time out merupakan jeda untuk briefing yang dilakukan sesaat sebelum
dilakukan incisi untuk mengkonfirmasi pasien, prosedur, dan lokasi
operasi (WHO, 2009).
- WHO Surgical safety cheklist adalah checklist dari WHO untuk
mengidentifikasi langkah kunci keamanan selama pelayanan perioperatif
yang seharusnya dilakukan pada setiap operasi (NHS, 2012).
30
- Protokol umum yang ditetapkan untuk memastikan tepat lokasi, tepat
prosedur, tepat pasien operasi di Instalasi Kamar Bedah meliputi 3
komponen berikut (WHO, 2008; Stahel, dkk., 2009):
1. proses verifikasi pra prosedur
2. menandai lokasi yang akan dilakukan operasi ( surgical marking
site)
3. time out sesaat sebelum memulai prosedur operasi
- Beberapa hal yang berpotensi untuk menimbulkan kekeliruan untuk
wrong surgery:
Lebih dari satu dokter bedah terlibat
Dilakukan lebih dari satu prosedur
Pasien memiliki beberapa karakteristik khusus, seperti deformitas
fisik atau obesitas masif
Ada beberapa pasien yang memiliki nama yang sama atau prosedur
yang sama atau di waktu yang bersamaan.
- Kesalahan lokasi (wrong site) dan kesalahan pasien (wrong patient)
sering disebut sebagai “never event” dimana secara teori 100 % dapat
dicegah dan seharusnya tidak pernah terjadi. Surgical never event yang
dapat terjadi antara lain:
Pembedahan dilakukan pada bagian tubuh yang salah
Pembedahan dilakukan pada pasien yang salah
Prosedur operasi salah
Tertinggalnya benda asing di dalam tubuh pasien setelah operasi
Kematian pasien dengan ASA kelas 1 selama dilakukan operasi
dan sesaat setelah dilakukan operasi
- Intervensi yang dapat dilakukan untuk mencegah wrong site (Pelczarski,
dkk., 2010):
Penjadwalan operasi
Verifikasi informasi pasien yang penting untuk operasi
Penandaan lokasi operasi
31
Time out
Pertimbangan ruang operasi
32
4. Penandaan Lokasi Operasi (Surgical Site Marking)
a. Penandaan lokasi operasi dilakukan oleh operator/ petugas medis yang
familiar dengan pasien dan merupakan anggota dari tim bedah yang
akan berada selama time out operasi dan selama prosedur operasi
berjalan. Orang tersebut adalah dokter bedah atau seseorang yang
diijinkan melalui program residen untuk berpartisipasi dalam operasi
atau seseorang yang berlisesnsi untuk melakukan tugas berkolaborasi
dengan dokter bedah, misalkan perawat atau asisten dokter. Pada
kondisi ideal, penandaan lokasi dilakukan oleh dokter bedah yang
memimpin operasi (Stahel, dkk., 2009):
b. Penandaan lokasi dilakukan di ruang persiapan operasi (preoperative
holding area), sebelum memindahkan pasien ke dalam ruang operasi
atau ruangan lain dimana prosedur akan dilakukan.
c. Pada proses penandaan lokasi harus dilakukan setelah identitas pasien,
prosedur dan lokasi operasi telah dicek ulang, dengan review dokumen
yang relevan, meliputi catatan medis, rontgen diagnostik, dan
pengecekan semua
informasi dilakukan oleh 2 orang. Prosedur tidak boleh dilakukan
tanpa dilakukan review tersebut (Stahel, dkk., 2009).
d. Sedapat mungkin penandaan harus melibatkan pasien untuk
menghindarkan kekeliruan.
- Pada saat penandaan pasien dalam keadaan terbangun dan
sadar
- Pada pasien anak-anak, penandaan harus melibatkan orang tua
pasien
- Pada pasien yang mengalami gangguan atau tidak dapat
berbicara, proses penandaan melibatkan keluarga.
e. Penandaan dilakukan pada pasien saat konfirmasi persetujuan tindakan
operasi dan pasien setuju untuk diberikan tanda (NHS, 2014).
33
Meskipun jarang, pasien boleh menolak penandaan setelah dijelaskan
maksud dan tujuannya.
f. Penandaan harus dibuat menggunakan surgical marking pen yang
tidak hilang bila dicuci saat persiapan area operasi. Sterilisasi surgical
marking pen tidak perlu dilakukan.
g. Tanda sebaiknya tetap terlihat setelah pasien disiapkan dan ditutup
kain
h. Untuk pasien dengan warna kulit gelap, boleh digunakan warna selain
hitam atau biru gelap (biru tua) agar penandaan jelas terlihat, misalnya
warna merah.
i. Penandaan lokasi operasi dibuat pada atau berdekatan dengan area
incisi. Jangan memberikan tanda pada area bukan lokasi operasi,
kecuali bila dibutuhkan aspek perawatan lain.
j. Penandaan pada kulit pasien berupa garis lurus yang di bagian
ujungnya terdapat tulisan inisial dokter yang akan melakukan operasi
terhadap pasien tersebut.
Contoh: ________________S.Z
k. Penandaan lokasi operasi dilakukan pada kasus incisi, puncture
perkutan, atau insersi instrumen (seperti laparoscopy), yang
melibatkan lateral (single limb atau satu dari organ ganda), struktu/
permukaan multipel (flexor, extensor, lesi, jari kaki dan tangan), ruas
(levels) seperti tulang belakang (HAS, 2012).
l. Pada prosedur yang melibatkan organ lateral, lokasi harus ditandai dan
ada pencatatan mengenai sisi yang ditandai. Pencatatan dilakukan pada
lembar assesment bedah di rekam medis dengan memberikan tanda
pada gambar tubuh yang tersedia.
m. Pada kasus-kasus seperti operasi spinal, dapat dilakukan proses dua
tahap yang meliputi penandaan preoperatif per level spinal (yang akan
dioperasi) dan interspace spesifik intraoperatif menggunakan
radiographic marking (seperti penandaan level spinal dengan jarum
34
pada gambaran radiograf, intraopearyif arteriogram atau
cholangiogram).
n. Pada operasi mata tunggal, penandaan dilakukan di atas mata dengan
arah menunjukan mata yang akan dioperasi. Penandaan dicatat dalam
rekam medis. Penandan tidak dilakukan pada operasi mata bilateral
(NHS, 2012)
o. Dalam kasus-kasus di mana tidak dilakukan penandaan, alasan harus
dapat dijelaskan dan dipertanggungjawabkan.
p. Pasien yang tidak memungkinkan dilakukan penandaan, maka dibuat
penandaan pada gambar tubuh manusia di status rekam medis pasien.
q. Beberapa prosedur yang tidak memerlukan penandaan:
1) Prosedur yang dilakukan pada organ soliter (contoh: pituitary,
jantung, trakea, esophagus, lambung, pancreas, hati, limpa,
kolon, rectum, vagina, cerviks, uterus, uretra, kandung kemih,
skrotum, penis atau prostat) atau dengan pendekatan tunggal ke
dalam salah satu rongga tubuh seperti abdomen, atau
mediastinum, (termasuk prosedur invasive minimal
laryngoscopy atau cystoskopi) atau prosedur orificium alami
(contoh eksisi transanal atau transvaginal), dan operasi cesar
tidak membutuhkan penandaan.
2) Kasus yang melibatkan membran mukosa dan perineum
3) kasus yang melibatkan gigi Pencatatan lokasi gigi pada rekam
medis dilakukan dengan menggunakan nomenklatur
berdasarkan Federal Dental International (FDA), angka pertama
menunjukan kuadran gigi dan angka kedua menunjukan elemen
gig (Lee, dkk., 2007)
Contoh: gigi permanen geraham pertama atas kanan = 1 6
4) prosedur yang melibatkan bayi prematur/ neonatus di mana
penandaan akan menyebabkan tato permanen (Stahel, dkk.,
2009).
5) semua endoscopi tanpa prosedur invasif
35
6) Operasi pada organ visceral seperti uterus, usus, hati, kandung
kemih, appendix (HAS, 2012)
7) sisi dengan lokasi yang tidak dketahui pasti untuk akses
operasinya, seperti cardiac catheterisation. Prosedur yang
mencakup aspirasi bone marrow, pemasangan arteri line, vena
central, epidural atau tindakan yang menggunakan cateter
8) Pada luka (misalkan luka bakar) atau lesi tunggal
9) Prosedur invasif minor seperti kanulasi intravena, injeksi IM/
IV
r. Verifikasi akhir dari tanda lokasi operasi (site mark) dilakukan selama
time out.
g. Time Out Operasi
- Prosedur time out dilakukan di ruang operasi dan disampaikan oleh salah
satu tim bedah, biasanya oleh perawat sirkulasi (Stahel, dkk., 2009):
- Prosedur time out meliputi verifikasi identitas pasien, lokasi operasi dan
prosedur operasi tepat, dan persetujuan operasi (informed consent).
- Time out juga memberi gambaran mengenai keadaan pasien secara tepat,
kebutuhan antibiotik, adanya alergi, dan tersedianya dokumen dan
pemeriksaan diagnostik yang relevan, instrumen, implan dan peralatan
lain yang perlu dikonfirmasi selama waktu tersebut (WHO, 2009).
- Jika terdapat beberapa prosedur dalam satu operasi, maka time-out harus
dilakukan sebelum setiap prosedur. Apabila terjadi diskrepansi, prosedur
tidak boleh dimulai sebelum tercapai kata sepakat oleh semua anggota tim
(dalam time-out) atau sebelum semua pertanyaan atau masalah terjawab.
- Mrenurut WHO (2009), bila memungkinkan, pasien sebaiknya dalam
posisi sadar dan berpartisipasi dalam proses verifikasi identitas pasien,
lokasi operasi dan detail serta implikasi dari prosedur yang telah
direncanakan (awake time out).
- Protocol persetujan dapat dikesampingkan bila terdapat kasus yang
mengancam nyawa pasien.
36
- Dokter bedah, dokter anestesi dan perawat sirkulasi harus berpartisipasi
aktif dalam time out (WHO, 2009).
h. Surgical Safety Checklist
Dalam mengimplementasikan checklist selama bedah, satu orang
bertanggungjawab untuk mengisi kotak pada daftar yang ada. Koordinator
checklist ini dapat berasal dari perawat sirkulasi ataupun petugas klinis yang
berpartisipasi di dalam operasi. Pada setiap fase, koordinator cheklist tersebut
diperbolehkan untuk mengkonfirmasi bahwa tim telah selesai melakukan
tugasnya dan prosedur dijalankan. Selama tim operasi familiar dengan
tahapan pada checklist, mereka dapat mengintegrasikan pengecekan ke dalam
pola kerja mereka dan menyampaikan secara verbal penyelesaian yang telah
mereka lakukan sesuai tahapan yang ada di checklist tanpa intervensi dari
koordinator (WHO, 2009).
Surgical safety checklist membagi operasi menjadi tiga fase, setiap fase
menggambarkan periode waktu spesifik di dalam alur prosedur yang normal,
yaitu: periode sebelum induksi anestesi (Sign in), periode setelah induksi
anestesi dan sebelum incisi bedah (time out), dan periode selama atau sesaat
setelah penutupan luka tetapi sebelum memindahkan pasien dari ruang
operasi (sign out). Koordinator checklist yang dipilih dapat mencegah tim
melakukan tahap selanjutnya bila tahap sebelumnya belum benar-benar
selesai dikonfirmasi (WHO, 2009).
a) Sign in
- Koordinator checklist bersama dengan pasien (bila memungkinkan),
secara verbal melihat kembali apakah identifikasi pasien telah
dikonfirmasikan secara tepat, prosedur dan lokasi telah tepat, dan
persetujuan untuk dilakukan operasi telah diberikan.
- Koordinator secara visual akan mengkonfirmasi apakah lokasi operasi
telah ditandai dan akan secara verbal bersama dengan dokter anestesi
melihat kembali resiko kehilangan darah, hambatan saluran
pernafasan, reaksi alergi, dan apakah pengecekan keamanan anestesi
telah dilakukan. Idealnya dokter bedah ada saat sign in untuk
37
memberikan masukan/ saran untuk mengantisipasi kehilangan darah,
alergi, atau faktor komplikasi lain. Keberadaan dokter bedah tidak
terlalu penting dalam menyelesaikan bagian checklist ini.
b) Time out
- Setiap anggota memperkenalkan diri mereka sesuai nama dan peran
mereka. Bila anggota bersama setiap hari dalam operasi, tim dapat
secara sederhana mengkonfirmasi bahwa setiap orang di ruangan
operasi telah saling mengetahui satu sama lain.
- Tim akan berhenti sejenak sebelum dilakukan incisi untuk
mengkonfirmasi dengan meneriakan bahwa mereka akan melakukan
operasi yang tepat pada pasien dan lokasi yang tepat
- Kemudian secara verbal memeriksa elemen kritis dari rencana mereka
terhadap operasi yang akan dilakukan, sesuai pertanyaan checklist.
Mereka juga akan mengkonfirmasi bahwa antibiotik profilaksis telah
diberikan 60 menit sebelum tindakan dan gambaran radiologi yang
penting harus terpasang.
c) Sign out
- Tim akan meriview operasi yang mereka lakukan, penghitungan
instrumen dan kasa, serta pelabelan spesimen bedah yang diperoleh.
- Tim juga akan mereview adanya malfungsi alat atau masalah yang
perlu diatasi.
- Terakhir, tim akan mereview rencana penting dan yang berhubungan
dengan manajemen post operasi dan pemulihan sebelum
memindahkan pasien dari ruang operasi.
- Pengecekan dilakukan oleh satu orang yang sama dari tahapan sing in
dan time out.
i. Dokumentasi
- Penandaan lokasi operasi terdokumentasikan pada lembar marking site di
rekam medis pasien
- Time out harus didokumentasikan di surgical safety checklist
38
- Petugas melaporkan adanya kejadian salah pasien, salah posisi atau salah
prosedur operasi kepada Tim PMKP 2x 24 jam menggunakan formulir
laporan insiden keselamatan pasie
j. Evaluasi Dan Monitoring
1) Kebijakan ini akan dikaji ulang dalam kurun waktu 2 tahun
2) Rencana audit akan disusun dengan bantuan kantor audit medik dan akan
dilaksanakan dalam waktu 6 bulan setelah implementasi kebijakan. Audit
klinis ini meliputi:
9) Jumlah insiden pasien yang mengalami pembedahan pada bagian
tubuh yang salah (wrong site)
10) Jumlah insiden operasi yang dilakukan pada pasien yang salah
(wrong patient)
11) Jumlah kesalahan prosedur operasi yang dilakukan pada pasien
(wrong procedure)
12) Jumlah prosentase pemberian tanda lokasi operasi (marking site)
13) Jumlah prosentase pengisian formulir surgical safety checklist
3) Setiap pelaporan insidens yang berhubungan dengan kepastian tepat
lokasi, tepat prosedur dan tepat pasien operasi akan dipantau dan
ditindaklanjuti saat dilakukan revisi kebijakan.
39
kesehatan tangan dengan baik dapat mencegah mikroorganisme dan
menurunkan frekuensi infeksi nosokomial (Boyce 1999; Larson 1995).
2. Tata Laksana Kebersihan Tangan (Hand Hygiene)
a. Kebersihan tangan dilakukan pada 5 momen (five moment) sesuai
ketentuan WHO yaitu:
1) Sebelum kontak dengan pasien
2) Sebelum melakukan tindakan aseptik.
3) Setelah kontak dengan pasien.
4) Setelah terpajan dengan cairan tubuh.
5) Setelah kontak dengan area sekitar / lingkungan pasien.
b. Teknik Membersihkan Tangan dengan Sabun dan air harus dilakukan
seperti dibawah ini:
1) Basahi tangan dengan air mengalir yang bersih.
2) Tuangkan sabun secukupnya, pilih sabun cair.
3) Ratakan dengan kedua telapak tangan.
4) Gosok punggung dan sela – sela tangan kiri dengan tangan kanan
dan sebaliknya.
5) Gosok kedua telapak dan jari – jari.
6) jari – jari sisi dalam dari kedua tangan saling mengunci.
7) Gosok ibu jari kiri berputar dalam genggaman tangan kanan dan
lakukan sebaliknya.
8) Gosok dengan memutar ujung jari – jari di telapak kanan kiri dan
sebaliknya.
9) Bilas kedua tangan dengan air mengalir.
10) Keringkan dengan handuk sekali pakai atau tissue towel sampai
benar – benar kering.
11) Gunakan handuk sekali pakai atau tissue towel untuk memnutup
kran.
12) Karena mikroorganisme tumbuh dan berkembang biak pada
keadaan lembab dan air yang tidak mengalir, maka :
40
13) Dispenser sabun harus dibersihkan terlebih dahulu sebelum
pengisian ulang.
14) Jangan membila masih ada isinya, penambahan ini akan
menyebabkan kontaminasi bakteri pada sabun yang dimasukkan.
42
f. Hal – hal yang Harus Diperhatiakan dalam Menjaga Kebersihan Tangan
1. Jari tangan
penelitian membuktikan bahwa daerah dibawah kuku (ruang subungual)
maengandung jumlah mikroba tertinggi (McGinley, Larson dan Leydon
1988 ). Beberapa penelitian bau – baru ini telah memperlihatkan kuku
yang panjang dapat berperan sebgaia reservoir sebgai bakteri Gram
negative (P.aeroginosa), jamur dan pathogen lain (Hedderwick et al.2000).
kuku panjang, baik yang alami maupun yang buatan, lebih mudah
melubangi sarung tangan (Olsen et al.1993). oleh karena itu, kuku tetap
harus dijaga pendek, tidak lebih dari 3mm melebihi ujung jari.
2. Kuku buatan
Kuku buatan (pembungkus kuku, ujung kuku, pemanjang akrilik) yang
dipakai oleh petugas kesehatan dapat berperan dalam infeksi nosokomial
(Hedderick et al.2000.). Selain itu, telah terbukti bahwa kuku buatan dapat
berperan sebagai reservoir Gram negative, pemakaiannya oleh petugas
kesehatan harus dilarang.
3. Cat kuku
43
Penggunaan cat kuku saat bertugas tidak diperkenankan.
4. Perhiasan
Pengguanaan perhiasaan saat bertugas tidak diperbolehkan
k. Dokumentasi
- Hasil audit mengenai cuci tangan akan dialporkan dalam bentuik
laporan audit. Dalam pembuatan laporan tersebut Tim PMKP
bekerja sama dengan PPI dan kantor audit medik.
- Sosialisasi cuci tangan atau kegiatan lain berkaitan dengan
pengurangan infeksi dalam pelayanan kesehatan akan dilaporkan
kepada direktur menggunakan laporan kegiatan bersama dengan
PPI.
6. Evaluasi Dan Monitoring
d. Kebijakan ini akan dikaji ulang dalam kurun waktu 2 tahun
e. Rencana audit akan disusun dengan bantuan kantor audit medik dan
akan dilaksanakan dalam waktu 6 bulan setelah implementasi
kebijakan. Audit klinis ini meliputi:
1) Ketepatan cuci tangan sesuai 6 langkah WHO
2) kepatuham petugas dalam melakukan cuci tangan pada five
momen.
3) Ketersediaan alat kebersihan tangan di unit kerja
f. Setiap pelaporan insidens yang berhubungan dengan pengurangan
infeksi di dalam pelayanan kesehatan akan dipantau dan ditindaklanjuti
saat dilakukan revisi kebijakan
44
b. Kejadian jatuh tak disengaja: kejadian jatuh yang terjadi secara tidak
sengaja (misalnya terpeleset, tersandung). Pasien yang berisiko
mengalami kejadian ini tidak dapat diidentifikasi sebelum mengalami
jatuh dan umumnya tidak dikategorikan dalam risiko jatuh. Kejadian jatuh
jenis ini dapat dicegah dengan menyediakan lingkungan yang aman.
c. Kejadian jatuh yang tidak diantisipasi: kejadian jatuh yang terjadi ketika
penyebab fisik tidak dapat diidentifikasi.
d. Kejadian jatuh yang dapat diantisipasi (diperkirakan): kejadian jatuh yang
terjadi pada pasien yang memang berisiko mengalami jatuh (berdasarkan
skor asesmen risiko jatuh).
2. Penyebab Risiko Jatuh
Jatuh dapat disebabkan oleh faktor (NICE, 2013):
- Intrinsik
a) Riwayat jatuh yang pernah terjadi sebelumnya paling tidak dalam
rentang waktu 1-12 bulan terakhir
b) gangguan sistem muskuloskeletal (rheumatoid arthtritis,
osteoarthtritis, osteoporosis, kelemahan tungkai bawah)
c) gangguan mobilitas pada pasien geriatri (adanya pergerakan yang
lambat dari pasien dapat meningkatkan risiko jatuh)
d) status mental dan kognitif seperti depresi dan dementia
e) penyakit:
1) Kardiovaskuler : aritmia, stenosis aorta, sinkope sinus
carotis
2) Neurologi : TIA, stroke, serangan kejang,
Parkinson, Kompresi saraf spinal karena spondilosis,
Penyakit serebelum
3) Nyeri kepala dan atau vertigo
4) Hipotensi orthostatic (Hipovilemia / curah jantung rendah,
disfungsi otonom, penurunan kembalinya darah vena ke
jantung, terlalu lama berbaring)
45
f) Masalah nutrisi, sepert defisiensi vitamin D (berkaitan dengan
osteoporosis)
g) obat-obatan seperti sedatif, hynotik, antidepresant, benzodiazepin,
obat cardiac (diuretic, antihipertensi, antiaritmia) , laxative,
analgesik (opioid dan nonopioid)
h) kebutuhan ke toilet ( frekuensi kencing atau pada kasus diare)
i) Idiopatik ( tak jelas sebabnya)
j) Dehidrasi
k) Patah tulang
l) hipoglikemia
m)Perasaan takut
n) Gangguan pendengaran
- Ekstrinsik:
a. murni kecelakaan misalnya terpeleset, tersandung
b. kondisi lingkungan seperti pencahayaan kurang, lantai licin, dll
c. alas kaki yang digunakan licin
d. alat bantu berjalan tidak sesuai
3. Prosedur Penilaian Risiko Jatuh
a. Perawat yang bertugas akan melakukan skrining risiko jatuh kepada setiap
pasien dengan menggunakan “Asesmen Risiko Jatuh Harian” dan
dimasukan dalam rekam medis pasien
b. Pada pasien rawat inap, penilaian resiko dievaluasi setiap hari selama
perawatan berjalan atau bila terdapat perubahan pengobatan maupun status
mental.
c. Perubahan status resiko (terutama untuk risiko jatuh tinggi) di tulis dalam
lembar catatan terintegrasi di rekam medis pasien beserta bentuk intervensi
yang akan dilakukan, termasuk pemakaian gelang risiko dan pemasangan
sigitiga penanda risiko jatuh.
d. Adanya perubahan penilaian dikomunikasikan dengan dokter penanggung
jawab perawatan.
46
e. penilaian resiko jatuh dapat dilakukan dengan skala penilaian yang berbeda
untuk setiap usia, yaitu:
pasien anak-anak (berusia 0-18 tahun): skala humpty dumpty
- Skor 7-11: Risiko Rendah Untuk Jatuh
- Skor ≥ 12: Risiko Tinggi Untuk Jatuh
pasien dewasa: skala morse (J. Morse, 1997))
- skala ini mengidentifikasi:
1) riwayat jatuh
skor 0 : bila tidak ada riwayat jatuh selama perawatan atau
riwayat jatuh selama 3 bln terakhir
skor 25: bila terdapat kejadian satu atau dua dari yang
disebutkan diatas
2) diagnosis sekunder
skor 0 : bila hanya ada satu diagnosis medis aktif
skor 15 : bila terdapat lebih dari satu diagnosis medis aktif
pada waktu admisi
3) kebutuhan alat bantu jalan
skor 0 : bila pasien berjalan tanpa alat bantu jalan, atau
kursi roda
skor 15 :bila pasien menggunakan penopang atau walker
skor30 :bila pasien berpegangan pada furniture untuk
menyangga selama berjalan
4) adanya terapi heparin lock/IV
skor 0 : pasien tidak menggunakan IV, heparin lock atau
alat terpasang pada peralatan tertentu
skor 20 : pasien menggunakan IV, heparin lock atau alat
terpasang pada peralatan tertentu (mis: alat
monitor, Foley catheter)
5) cara berjalan
skor 0 :
- berjalan dengan kepala tegak
47
- lengan berayun bebas di samping
- melangkah tanpa ragu
skor 10 :
- bungkuk tetapi dapat menegakkan kepala tanpa
kehilangan keseimbangan
- menggunakan furniture untuk memandu berjalan
- langkah pendek dan menyeret
skor 20 :
- kesulitan berdiri dari kursi
- kepala menunduk
- tidak dapat berjalan tanpa didampingi dan
memegang furniture atau apapun yang
memungkinkan untuk pegangan
- langkah pendek dan diseret
- menggunakan kursi roda
6) status mental
skor 0 : normal
skor 15 : lupa keterbatasan diri
- kategori skor:
skor 0 : tidak beresiko
skor < 24 : resiko rendah
skor 25-50 : risiko sedang
skor ≥51 : resiko tinggi
Pasien geriatri (> 65 th): skala jatuh pada pasien geriatri (pasien rawat
inap) dan skala penilaian time and go (pasien rawat jalan). Resiko
tinggi bila skor jatuh ≥4 dan waktu penilaian time and go lebih dari 10
detik.
48
f. Perawat yang bertugas akan mengidentifikasi dan menerapkan “Prosedur
Pencegahan Jatuh”, berdasarkan pada:
- Kategori risiko jatuh
- Kebutuhan dan keterbatasan per-pasien
- Riwayat jatuh sebelumnya dan penggunaan alat pengaman
(safety devices)
- Asesmen Klinis Harian
g. Pasien yang semula berisiko tinggi tetapi dalam evaluasi selanjutnya
berturut-turut memiliki 2 skor penilaian risiko rendah baru dapat dikatakan
pasien memiliki risiko jatuh rendah. Gelang risiko dapat dilepas tetapi
tindakan pencegahan risiko jatuh tetap dilakukan.
h. Komunikasi
Saat pergantian jam kerja, setiap perawat yang bertugas akan melaporkan
pasien-pasien yang telah menjalani asesmen risiko jatuh kepada perawat
jaga berikutnya.
50
f. Pastikan sepanjang waktu posisi tempat tidur rendah dan terrem dengan
kedua sisi pegangan tempat tidur terpasang dengan baik/ kokoh
g. Tawarkan bantuan ke kamar mandi setiap 2 jam (terutama bila tidak
ditunggu keluarga)
h. Batasi aktivitas pasien dan berikan tindakan pencegahan pada pasien dan
keluarga
i. Perawat mengingatkan keluarga untuk membawa alas kaki yang tidak licin
dan alat bantu dari rumah (seperti tongkat, alat penopang)
j. Nilai kebutuhan akan fisioterapi
k. Nilai gaya berjalan pasien dan catat dalam bagian “Penanganan
Keperawatan” di subbagian “Masalah Jatuh”
l. Pastikan pasien menggunakan alat bantu yang sesuai
m. Kolaborasi dengan tim interdisiplin dalam merencanakan Program
Pencegahan Jatuh
n. Pastikan perangkat keselamatan pasien digunakan dan berfungsi dengan
baik (misal bel). Dekatkan bel sehingga mudah dijangkau oleh pasien
o. Pantau obat-obatan yang diberikan
p. Keselamatan lingkungan:
- hindari ruangan yang kacau balau dan terlalu banyak furniture/ kabel
- biarkan pintu terbuka sehingga mempermudah pengawasan,
- gunakan lampu saat malam hari
- Lantai kamar mandi dengan karpet anti slip/ tidak licin, serta anjuran
menggunakan tempat duduk di kamar mandi saat pasien mandi (untuk
pasien dewasa
51
a) Pada pasien dengan risiko tinggi, tempat tidur harus berada pada posisi
serendah mungkin. Tempat tidur hanya boleh ditinggikan saat
pemeriksaan medis, penanganan keperawatan, dan atau saat transfer
b) Bantalan diletakkan di sisi tempat tidur yang sering digunakan pasien
untuk turun dari tempat tidur. Pegangan di sisi tempat tidur harus
terpasang dengan baik.
Catatan: panjang pegangan di sisi tempat tidur < ½ panjang tempat
tidur sehingga tidak dianggap sebagai pembatas gerak (mechanical
restraint).
c) Pada pasien bukan risiko tinggi, pengaturan tinggi tempat tidur tidak
boleh melebihi 63,5 cm.
7. Edukasi Pasien Dan Keluarga
Pasien dan keluarga harus diinformasikan mengenai faktor risiko jatuh
dan setuju untuk mengikuti strategi pencegahan jatuh standar yang telah
ditetapkan rumah sakit. Pasien dan keluarga harus diberikan edukasi
mengenai faktor risiko jatuh di lingkungan rumah sakit dan melanjutkan
keikutsertaannya sepanjang keperawatan pasien.
a) Informasikan pasien dan keluarga dalam menggunakan alat bantu
sebelum memulai aktivitas
b) Ajari pasien untuk menggunakan pegangan dinding
c) Informasikan pasien mengenai dosis dan frekuensi konsumsi obat-
obatan, efek samping, serta interaksinya dengan makanan/ obat-obatan
lain.
8. Prosedur Penanganan Pasca Pasien Jatuh
a) Perawat segera memeriksa pasien, Nilai apakah terdapat cedera akibat
jatuh (abrasi, kontusio, laserasi, fraktur, cedera kepala)
b) Dokter yang bertugas akan segera diberitahu untuk menentukan
evaluasi lebih lanjut
c) Perawat akan mengikuti tatalaksana yang diberikan oleh dokter
d) Pindahkan kamar pasien lebih dekat dengan pos perawat (nurse station)
52
e) Jika pasien menunjukkan adanya gangguan kognitif, sediakan alarm
tempat tidur. Jika kurang efektif, dapat dipertimbangkan untuk
mengunakan tali pengaman (non-emergency restraint)
f) Pemeriksaan neurologi dan tanda vital
g) Pasien yang diperbolehkan untuk turun dari tempat tidur harus ditemani
oleh petugas dalam 24 jam pertama, lalu dilakukan asesmen ulang
h) Dengan izin dari pasien, keluarga akan diberitahukan jika pasien
mengalami kejadian jatuh, termasuk cedera yang ditimbulkan
i) Kejadian jatuh akan dicatat dalam bagian “Penanganan Keperawatan”
di subbagian “Masalah”
j) Pengasuh yang menyaksikan kejadian jatuh atau menemukan pasien
jatuh akan mengisi laporan kejadian/insidens dan memberikannya ke
perawat yang bertugas. Kemudian perawat akan meneruskan laporan
insidens ini ke Departemen Penanganan Risiko.
k) Perawat yang bertugas akan melengkapi formulir laporan insiden yang
akan diserahkan ke Tim PMKP
l) Berikan edukasi mengenai risiko jatuh dan upaya pencegahannya
kepada pasien dan keluarga
m) Risiko jatuh pasien akan dinilai ulang menggunakan “Asesmen Risiko
Jatuh Harian”, lalu akan ditentukan intervensi dan pemilihan alat
pengaman yang sesuai.
9. Dokumentasi
- Skor penilaian risiko ditulis dalam formulir assesment risiko jatuh di
rekam medis. Penilaian ulang dilakukan setiap hari atau bila terjadi
perubahan pengobatan ataupun status mental pasien.
- Setiap petugas yang melakukan penilaian dan pencatatan skor risiko
membubuhkan paraf dan nama pada kolom di bawah total skor penilaian
pada formulir assesment risiko jatuh.
- Tingkat risiko/ kategori risiko dan tindakan intervensi terhadap pasien
- Kejadian jatuh dilaporkan kepada Tim PMKP menggunakan formulir
laporan insiden keselamatan pasien.
53
- Apabila terjadi kejadian jatuh catat di rekam medis mengenai:
Tanggal dan waktu kejadian jatuh
Lokasi insiden dan kondisi lingkungan
Penyebab jatuh
Akibat jatuh
Apakah jatuh diketahui atau tidak, siapa yang ada di tempat
kejadian
Status pasien (medikasi yang diterima sebelum jatuh, penilaian
fisik setelah jatuh, hasil penanganan pasca jatuh)
Penanganan/intervensi yang diberikan oleh staff medi
10. Pelaporan Insidens / Kejadian Pasien Jatuh
a. Setiap petugas yang menemukan adanya kejadian pasien jatuh harus
segera melapor kepada petugas yang berwenang di ruang rawat /
departemen tersebut, kemudian melengkapi laporan insidens.
b. Petugas harus berdiskusi dengan Kepala Instalasi atau Manajer mengenai
pemilihan cara terbaik dan siapa yang memberitahukan kepada pasien /
keluarga mengenai kesalahan yang terjadi akibat pasien jatuh.
c. Contoh kejadian jatuh pada pasien, yaitu jatuh dari tempat tidur, jatuh di
dalam kamar perawatan, jatuh di kamar mandi, jatuh di luar kamar
perawatan (masih di lingkungan rumah sakit) yang terjadi tanpa disengaja
atau bukan karena didorong selama menjalani perawatan di rumah sakit.
d. Jatuh dapat menimbulkan komplikasi-komplikasi seperti:
1) Perlukaan (injury)
- Rusaknya jaringan lunak yang terasa sangat sakit berupa robek atau
tertariknya jaringan otot, robeknya arteri / vena
- Patah tulang (fraktur) :
o Pelvis
o Femur (terutama kollum)
o Humerus
o Lengan bawah
54
o Tungkai bawah
o Kista
- Hematom subdural
2) Perawatan rumah sakit
- Komplikasi akibat tidak dapat bergerak (imobilisasi)
- Risiko penyakit-penyakit iatrogenik
3) Disabilitas
- Penurunan mobilitas yang berhubungan dengan perlukaan fisik
- Penurunan mobilitas akibat jatuh, kehilangan kepercayaan diri, dan
pembatasan gerak
4) Kematian
11. Evaluasi Dan Monitoring
a. Kebijakan ini akan dikaji ulang dalam kurun waktu 2 tahun
b. Rencana audit akan disusun dengan bantuan kantor audit medik dan
akan dilaksanakan dalam waktu 6 bulan setelah implementasi
kebijakan. Audit klinis ini meliputi:
1) Jumlah persentase pasien yang menggunakan gelang
resiko jatuh
2) Jumlah persentase segitiga kuning yang terpasang pada
tempat tidur pasien
3) Upaya pencegahan jatuh yang telah dilaksanakan oleh
tenaga medis dan perawat, seperti penggunaan side rail
dan alat bantu jalan
4) Jumlah insiden pasien jatuh
c. Setiap pelaporan insidens yang berhubungan dengan penilaian dan
pencegahan resiko jatuh pada pasien akan dipantau dan ditindaklanjuti
saat dilakukan revisi kebijakan.
55
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
6 Sasaran keselamatan pasien harus dipahami dan diaplikasikan oleh perawat
untuk mengurangi angka kecelakaan yang terjadi dirumah sakit. Dalam
menjaga keselamatan pasien bukan hanya peran perawat namun semua tenaga
medis yang berada dirumah sakit dan keluarga yang menjaga pasien selama
dirumah sakit. Angka kecelakaan pasien selama dirumah sakit dapat
berkurang apabila semua tenaga medis dan keluarga pasien dapat bekerja
sama dalam mengurangi angka kecelakaan tersebut agar tujuan pasien dibawa
kerumah sakit dapat tercapai yaitu untuk pulih kekeadaan normal.
B. SARAN
Bidan, Perawat dan tenaga medis harus menambah informasi mengenai 6
sasaran keselamatan pasien serta mampu mengajari keluarga dan pasien untuk
membantu peran tenaga medis mengurangi angka kecelakaan dirumah sakit,
serta perawat dan tenaga medis lainnya harus mampu mengaplikasikan 6
sasaran keselamatan pasien tersebut.
56
DAFTAR PUSTAKA
57
Komaruddin, 1994;Schermerhorn, Hunt & Osborn, 1994; Koontz & Weihrich,
1988. Manual Komunikasi. Jakarta: Bumi Aksara
Komarudin. 1994. Ensiklopedi Manajemen, Edisi kedua. Jakarta: Bina Aksara.
Konsil Kedokteran Indonesia, 2006, Jakarta
Lee, Janise S., 2007, Prevention of Wrong-Site Tooth Extraction: Clinical
Guidelines, American Association of Oral and Maxillofacial Surgeons, J
Oral Maxillofac Surg 65:1793-1799
Liliweri, Alo. 1997. Komunikasi Antar Pribadi. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
LTC Homes and the Regional Best Practice Coordinator in Toronto, 2006, Policy
And Procedure Falls Prevention And Management,
http://rgp.toronto.on.ca/torontobestpractice/Policyprocedurefallsprevention
management.pdf (diunduh tanggal 5 April 2013)
Mid Western Regional Hospital, Mid Western Regional Orthopaedic Hospital,
Mid Western Regional Maternity Hospital, 2010, Patient Identification
Policy And Procedure
NHS, 2010, Policy And Procedures For The Management And Prevention Of
Slips, Trips And Falls In Hospital,
www.eastlondon.nhs.uk/misc/scripts/dl_dms.asp?id=A39623B9, (diunduh
tanggal 5 April 2013)
NHS Wales, 2012, Prevention and Management of Fall in Vulnerable Adults
Procedures,
http://www.cardiffandvaleuhb.wales.nhs.uk/sitesplus/documents/864/Falls
%20final%2005%2012%2012%20%282%29.pdf (diunduh tanggal 5 April
2013)
NICE, 2013, Assessment and prevention of falls in older people,
www.nice.org.uk/guidance/CG161 (diunduh Desember 2012)
NORTH ESSEX PARTNERSHIP NHS FOUNDATION TRUST, 2010,
Prevention and Management of Falls,
http://www.nepft.nhs.uk/_uploads/documents/trust-policies-and-
procedures/falls-prevention-and-management-of-policy-2010.pdf (diunduh
tanggal 5 April 2013)
Pensylvania Patient Safety Reporting System (PPSRS), 2006, Improving the
Safety of Telephone or Verbal Orders, the PA-PSRS Patient Safety Advisory
—Vol. 3, 2:1-6
Permenkes nomer 58 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Rumah Sakit, http://binfar.kemkes.go.id (diunduh Desember 2014)
58
Podsiadlo, D., Richardson, S., 1991. The timed ‘Up and Go’ Test: a Test of Basic
Functional Mobility for Frail Elderly Persons. Journal of American
Geriatric Society. 1991; 39:142-148
Primary Care Provision, 2009, Patient Identification Policy, www.bolton.nhs.uk
(diakses tanggal 25 Februari 2012).
Royal United Hospital Bath, 2010, Policy For The Positive Identification Of
Patients 2010.
Royal Free Hampstead NHS Trust, 2008, Patient Identification Policy
http://en.wikipedia.org/wiki/NATO_phonetic_alphabet. (Diakses Maret 2013).
Safer Health Care, 2014, Why is SBAR communication so critical?,
www.saferhealthcare.htm (diunduh Desember 2014)
Size Waves, Understanding Fall Risk, Prevention, & Protection,
www.sizewise.net/getattachment/.../SW-Fall-Risk-Toolkit.aspx (diunduh
Desember 2014)
Tameside Hospital NHS Foundation Trust, 2010, Patient Identification Policy
2010.J. Morse , 1997, Preventing Patient Falls. CA: Sage Publishing Co.
WHO, 2009, WHO Guideline for safe surgery (first edition), Amerika: WHO
Press
WHO, 2005, WHO guidenlines on hand hygiene in health care (advanced draft) :
A summary, World Alliance for Patient Safety, World Health Organization
Institute for Sale Medication Practises. 2011. ISMP’s List of Confused Drud
Name.
WHO Model List Of Essential Medicines. 2011. Explanatory Notes
World Health Organization Collaborating Centre for Patient Safety Solutions,
2007, Patient Identification. Patient Safety Solutions Vol 1 Solution 2
59