Anda di halaman 1dari 33

KULTURISASI BUDAYA ISLAM MULTIKUTURAL DI AQOBAH

INTERNATIONAL SCHOOL (AIS) JOMBANG

PROPOSAL DISERTASI

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Metodologi Penelitian Pendidikan


Islam Multikultural

Dosen Pembimbing:
Prof. Dr. H. Masykuri Bakri, M.Si
Prof. Dr.Drs. H. Muhammad Djunaidi Ghony

Oleh:
Luqman Ahsanul Karom
NPM: 22103011020

UNIVERSITAS ISLAM MALANG

PROGRAM DOKTORAL PENDIDIKAN ISLAM MULTIKULTURAL

2023
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Konteks Penelitian……………………........................................


1.2. Fokus dan Masalah Penelitian………………………………......
1.3. Tujuan Penelitian…………………………………….................
1.4. Manfaat Penelitian…………………………………………......
1.5. Penegasan Istilah dan Judul ………………………………….....
BAB II KAJIAN TEORI

2.1. Penelitian Terdahulu………………………………………........


2.2. Kulturisasi ……………………...................................................
2.3. Subkultur Pesantren……………..................................................
2.4. Kerangka Berfikir………………………………….....................

BAB III METODE PENELITIAN

3.1. Pendekatan dan Jenis Penelitian…………………………...........


3.2. Kehadiran Peneliti……………………………………………....
3.3. Lokasi Penelitian……………………………………………......
3.4. Data dan Sumber Data…………………………………….........
3.5. Teknik Pengumpulan Data………………………………..........
3.6. Teknik Analisis Data…………………………….......................
3.7. Pengecekan Keabsahan Data……………………………….......

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Konteks Penelitian

Pesantren merupakan model lembaga pendidikan yang hanya terdapat di

Indonesia dengan keunikan yang menonjol. Keunikan tersebut diantaranya adalah

bahwa ia adalah lembaga pendidikan yang secara khusus berupaya melestarikan

Ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah dengan sistem pendidikan yang khas.

Sistem pendidikan yang diterapkan di pesantren ini sangat berbeda dengan sistem

pendidikan di lembaga pendidikan lainnya, sehingga membuat pesantren menjadi

lembaga pendidikan yang unik dan istimewa. Selain itu, lembaga pendidikan ini

juga di dalamnya terdapat proses-proses sosial yang kompleks, yang meliputi

interaksi antar santri, guru, dan masyarakat sekitar. Proses-proses sosial tersebut

diharapkan dapat membentuk sikap dan perilaku yang baik pada santri sehingga

menjadi pribadi yang berkualitas.

Sebagaimana tersebut di atas, keunikan pertama adalah bahwa ia merupakan

lembaga pendidikan yang penting dalam melestarikan ajaran Islam ala

Ahlussunnah wal Jamaah. Sistem pendidikan yang digunakan di pesantren sangat

unik dan berbeda dengan sistem pendidikan yang ada di sekolah-sekolah formal.

Di pesantren, para santri diajarkan untuk menghayati dan mengamalkan ajaran

Islam dalam kehidupan sehari-hari melalui kajian kitab kuning dan pengajian rutin

yang diikuti setiap hari. Selain itu, pesantren juga mengutamakan pendidikan

akhlak yang baik dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral dalam kehidupan sehari-

hari. Dengan sistem pendidikan yang unik dan khas ini, pesantren berperan
penting dalam menjaga kelestarian ajaran Islam dan menjaga keseimbangan antara

ilmu pengetahuan dengan akhlak yang baik.

Keunikan kedua ialah bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan yang

mengintegrasikan kehidupan sosial dengan proses-proses pendidikan. Di

dalamnya terdapat kehidupan sosial yang kompleks, yang meliputi proses

akulturasi antar tradisi daerah yang berbeda di Indonesia. Akulturasi ini dapat

dilihat dari cara pesantren mengakomodasi perbedaan budaya dan tradisi yang ada

di masyarakat, sehingga pesantren menjadi tempat yang inklusif bagi berbagai

kelompok masyarakat. Selain itu, pesantren juga menjadi tempat untuk mengatasi

konflik-konflik sosial yang mungkin terjadi. Melalui pendidikan yang diterapkan

di pesantren, diharapkan dapat menumbuhkan rasa toleransi dan kepedulian

terhadap sesama, sehingga konflik dapat diatasi dengan baik. Dalam hal ini,

pesantren dapat dianggap sebagai lembaga pendidikan yang berperan dalam

pembentukan masyarakat yang toleran dan damai.

Di samping itu, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang kaya akan

kebudayaan. Di dalamnya terdapat kehidupan sosial yang kompleks dan dinamis,

dengan berbagai proses sosial yang terjadi secara bersamaan. Salah satu proses

yang penting adalah akulturasi antar tradisi daerah yang berbeda di Indonesia.

Pesantren mampu mengakomodasi perbedaan-perbedaan ini dengan cara yang

baik dan efektif, sehingga menciptakan suasana yang harmonis di dalamnya.

Selain itu, pesantren juga menjadi tempat yang tepat untuk mengatasi konflik-

konflik sosial yang mungkin terjadi di masyarakat. Para santri diajarkan untuk

menghormati perbedaan-perbedaan dan belajar bagaimana untuk hidup damai


dengan sesama. Dengan demikian, pesantren bukan hanya sebagai lembaga

pendidikan formal, tetapi juga sebagai lembaga sosial yang penting dalam

masyarakat.

Dalam konteks kesejarahan, lembaga pendidikan pesantren juga merupakan

lembaga pendidikan yang dalam perjalanan sejarahnya turut serta membangun

tradisi dan budaya di Indonesia. Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang

berkembang di Indonesia sejak zaman dahulu, memiliki peran yang sangat

penting dalam membentuk budaya dan tradisi masyarakat Indonesia. Dengan

sistem pendidikan yang khas dan proses-proses sosial yang kompleks, pesantren

berhasil menciptakan generasi-generasi santri yang memiliki nilai-nilai keislaman

yang kuat serta memahami dan menghargai budaya dan tradisi yang ada di

Indonesia.

Pesantren adalah lembaga pendidikan yang telah lama berkembang di

Indonesia. Dalam perjalananya, seperti dinyatakan di atas, pesantren turut serta

dalam membangun tradisi dan budaya di Indonesia. Pesantren dikenal sebagai

lembaga pendidikan yang mengutamakan pengajaran agama Islam, namun juga

tidak mengesampingkan pendidikan umum seperti matematika, bahasa, dan ilmu

pengetahuan lainnya. Selain itu, pesantren juga menjadi tempat untuk

menanamkan nilai-nilai moral dan budaya yang baik pada siswanya. Beberapa

pesantren yang ada di Indonesia juga dikenal sebagai tempat untuk menanamkan

kearifan lokal yang merupakan bagian dari budaya setempat. Dengan demikian,

pesantren memegang peran penting dalam memperkuat tradisi dan budaya di

Indonesia.
Selain itu, sejak dahulu kala, pesantren telah memberikan sumbangsih yang

besar dalam pengembangan ilmu pengetahuan, agama, serta budaya masyarakat.

Pesantren merupakan tempat belajar yang kaya akan sejarah dan tradisi, yang

menjadi sumber inspirasi bagi generasi muda untuk mengejar kesuksesan dan

menjadi pemimpin yang berkualitas. Selain itu, pesantren juga merupakan tempat

yang cocok untuk menanamkan nilai-nilai kearifan lokal yang merupakan warisan

budaya yang harus dijaga dan dikembangkan. Pesantren memegang peran penting

dalam membentuk karakter dan menumbuhkan jiwa kewirausahaan serta

kemandirian masyarakat. Oleh karena itu, pesantren sangat penting bagi

kelangsungan dan perkembangan tradisi dan budaya di Indonesia.

Secara keseluruhan, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang unik dan

istimewa dengan keunikan yang menonjol. Keunikan tersebut diantaranya adalah

lembaga pendidikan yang secara khusus berupaya melestarikan Ajaran Islam

Ahlussunnah wal Jamaah dengan sistem pendidikan yang khas, lembaga

pendidikan yang di dalamnya terdapat proses-proses sosial yang kompleks, dan

lembaga pendidikan yang dalam perjalanan sejarahnya turut serta membangun

tradisi dan budaya di Indonesia.

Lebih jauh lagi, Pendidikan Agama Islam multikultural di pesantren telah

berkembang selama bertahun-tahun. Pesantren menjadi tempat yang cocok untuk

mengembangkan pendidikan multikultural karena lingkungan yang kondusif dan

tradisi yang kuat dalam memperkenalkan ajaran agama Islam. Para santri di

pesantren dikenalkan dengan beragam budaya dan tradisi dari berbagai daerah,

yang membuat mereka lebih terbuka dan toleran terhadap perbedaan. Selain itu,
pesantren juga memiliki program-program yang mengajarkan bahasa asing,

seperti bahasa Arab dan Inggris, yang membantu santri untuk lebih mengenal

dunia luar dan berinteraksi dengan orang dari berbagai latar belakang.

Multikulturalisme di pesantren ini dapat dilakukan juga melalui pengajaran

bahasa asing, pengenalan budaya negara lain, dan juga pengajaran tentang

perbedaan dalam agama. Dengan pendidikan agama Islam multikultural,

diharapkan para santri dapat menjadi individu yang memahami dan menghormati

perbedaan, serta mampu berinteraksi dengan baik dengan masyarakat yang

berbeda. Namun, perlu diperhatikan juga bahwa pendidikan agama islam

multikultural di pesantren harus dijalankan dengan tetap mengutamakan prinsip-

prinsip ajaran islam yang benar dan tidak mengabaikan nilai-nilai dasar ajaran

islam.

Pendidikan multikultural dalam pesantren tersebut adalah pendidikan yang

memperkenalkan dan menghormati perbedaan budaya dalam proses pembelajaran.

Dan proses pembelajaran yang dalam penelitian ini kemudian disebut sebagai

kulturisasi, melibatkan pengenalan dan pemahaman tentang beragam budaya dan

tradisi yang ada di sekeliling kita. Kulturisasi dapat dilakukan melalui berbagai

cara, seperti pelajaran sejarah dan sosial, kegiatan seni dan budaya, dan

pengalaman melalui perjalanan dan interaksi dengan individu dari budaya yang

berbeda.

Kulturisasi adalah proses dimana suatu kelompok atau masyarakat

mengadopsi atau mengintegrasikan norma, nilai, tradisi, dan budaya dari

kelompok atau masyarakat lain. Ini dapat terjadi melalui kontak langsung atau
tidak langsung, dan dapat menyebabkan perubahan dalam cara hidup, cara

berpikir, dan cara bersosialisasi dari kelompok atau masyarakat yang

terkulturisasi.

Kulturisasi yang terjadi melalui kontak langsung dapat terjadi melalui

berbagai cara, diantaranya: (1) Perdagangan: Kontak langsung melalui

perdagangan dapat menyebabkan pertukaran budaya antara kelompok atau

masyarakat yang berbeda. (2) Pendudukan: Suatu kelompok atau masyarakat

dapat dikulturisasi saat digulingkan atau dibebaskan oleh kelompok atau

masyarakat lain. (3) Kolonisasi: Kelompok atau masyarakat yang diduduki atau

dikolonisasi dapat dikulturisasi oleh kelompok atau masyarakat penjajah. (4)

Pendidikan: Kontak langsung melalui pendidikan dapat menyebabkan kulturisasi,

karena orang yang belajar dapat mengadopsi norma, nilai, tradisi, dan budaya dari

kelompok atau masyarakat yang mengajar. (5) Kerja sama antar negara : kerja

sama antar negara juga dapat memicu kulturisasi dengan cara saling berinteraksi

dan mengadopsi budaya satu sama lain. Tentu saja dalam penelitian ini, penulis

akan lebih berfokus pada kulturisasi langsung yang terjadi melalui proses

pendidikan.

Dalam penelitian ini, secara khusus, peneliti melakukan kajian yang

mendalam terhadap Aqobah International School (AIS) Jombang yang merupakan

salah satu pondok pesantren yang terletak di Kota Jombang. AIS berdiri pada

tahun 2020 sebagai pengembangan atas pesantren yang telah didirikan lebih

dahulu oleh KH. Ahmad Junaidi Hidayat, SH yaitu Pondok Pesantren Al Aqobah.

Kekhasan pesantren ini adalah salah satu misinya yaitu berupaya melakukan
kulturisasi terhadap masyarakat kalangan menengah keatas. Misi ini dilakukan

atas berbagai pandangan terhadap fenomena pendidikan dan kehidupan sosial di

Indonesia.

AIS memandang bahwa perkembangan global dapat mempengaruhi

perubahan dalam budaya lokal, termasuk "tercerabutnya budaya lokal." Hal ini

dapat terjadi karena pengaruh budaya asing yang diterima oleh kalangan sosial

menengah ke atas yang cenderung lebih terbuka dan memiliki akses yang lebih

luas terhadap informasi dan teknologi global. Ini dapat menyebabkan budaya

tradisional yang ada di tempat tersebut diabaikan atau ditinggalkan. Namun

demikian, patut diingat pula bahwa perkembangan global juga dapat membawa

dampak positif, seperti peningkatan kesempatan ekonomi dan pendidikan serta

pertukaran budaya yang menyenangkan.

Proses "tercerabutnya budaya lokal" tersebut dapat terjadi melalui beberapa

cara, di antaranya: (1) globalisasi ekonomi: perkembangan perdagangan global

dan investasi asing dapat mempengaruhi perubahan gaya hidup dan pola konsumsi

yang diterima oleh kalangan sosial menengah ke atas yang cenderung lebih

terbuka, (2) media dan teknologi: akses yang lebih luas terhadap media global dan

teknologi dapat mempengaruhi persepsi dan pandangan seseorang terhadap

budaya lokal, serta meningkatkan minat terhadap budaya asing, (3) pendidikan:

pendidikan global yang diterima oleh kalangan sosial menengah ke atas dapat

mempengaruhi persepsi mereka terhadap budaya lokal dan meningkatkan minat

terhadap budaya asing, (4) mobilitas: perjalanan dan migrasi dapat mempengaruhi
persepsi seseorang terhadap budaya lokal dan meningkatkan minat terhadap

budaya asing.

Lebih jauh AIS melihat bahwa diantara efek negatif dari fenomena

perkembangan global adalah kecenderungan masyarakat menjadi lebih

individualistik dan materialistis. Dua hal ini agaknya cukup berseberangan dengan

doktrin Pancasila yang mengedepankan persatuan dengan sikap religius dan

kepekaan sosial yang tinggi. Sila pertama Pancasila adalah ketuhanan yang maha

esa, yang artinya panglima dalam kehidupan berbangsa dan bahkan setiap

individu yang hidup di dalamnya haruslah ketuhanan dan bukan materi semata.

Demikian pula doktrin persatuan dan demokrasi tampaknya akan dapat berfungsi

secara efektif jika masyarakatnya memiliki kepekaan sosial yang tingi.

Efek negatif tersebut, yang dapat berkontribusi pada kecenderungan

individualisme dan materialisme, dapat menyebabkan pergeseran nilai-nilai

masyarakat dari yang seharusnya mengedepankan persatuan dan kepekaan sosial

yang tinggi, seperti yang diatur dalam doktrin Pancasila. Namun, perkembangan

global juga dapat memberikan dampak positif jika dikelola dengan baik dan

didukung oleh kebijakan yang tepat.

Oleh karena itu, AIS memandang dunia pesantren perlu hadir di kalangan

menengah ke atas sebagai alat dan sarana untuk mengembangkan budaya islam

multikultural ala pesantren sebagai kontra terhadap sikap materialistis dan

individualistik. Selain itu, pesantren dapat mengembangkan program-program

yang dapat menarik minat masyarakat menengah ke atas, seperti pendidikan

kewirausahaan, manajemen, dan bisnis berbasis syariah. Selain itu, pesantren juga
dapat mengadakan kegiatan-kegiatan sosial dan budaya yang dapat menunjukkan

nilai-nilai islam yang multikultural dan menjadi sarana untuk meningkatkan

kesadaran akan pentingnya budaya islam dalam kehidupan sehari-hari.

Sehingga dalam penelitian ini, proses kulturisasi yang dilakukan oleh AIS

terhadap kalangan sosial menengah keatas akan menjadi fokus utama untuk

diinvestigasi. Topik ini menjadi unik dan menarik karena belum banyak pesantren

yang melakukan upaya tersebut, sehingga hal-hal yang nantinya akan ditemukan

dalam penelitian ini dapat menjadi suatu acuan yang bermanfaat untuk dapat

dikembangkan menjadi suatu teori dalam upaya yang serupa.

1.2. Fokus dan Masalah Penelitian

Berangkat dari konteks penilitian di atas, fokus penelitian pada penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1.2.1. Apa saja Budaya Islam Multikultural yang ditanamkan melalui

kulturisasi di Aqobah Internasional School (AIS) Jombang?

1.2.2. Bagaimana kulturisasi Budaya Islam Multikultural di Aqobah

Internasional School (AIS) dalam ruang lingkup pendidikan?

1.2.3. Bagaimana kulturisasi Budaya Islam Multikultural di Aqobah

Internasional School (AIS) dalam ruang lingkup kehidupan sosial?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan konteks penelitian di atas, tujuan penelitian ini adalah sebagai

berikut:
1.3.1. Untuk mengetahui Budaya Islam Multikultural yang ditanamkan

melalui kulturisasi di Aqobah Internasional School (AIS) Jombang.

1.3.2. Untuk mengetahui bagaimana kulturisasi Budaya Islam

Multikultural di Aqobah Internasional School (AIS) dalam ruang

lingkup pendidikan.

1.3.3. Untuk mengetahui bagaimana kulturisasi Budaya Islam

Multikultural di Aqobah Internasional School (AIS) dalam ruang

lingkup kehidupan sosial.

1.4. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini baik baik dalam ranah teori maupun praktis

diantaranya adalah sebagai berikut:

1.4.1. Kegunaan Teoritis

Dalam ranah teori, penelitian ini diharapkan menjadi salah satu sumber

rujukan dalam rangka membangun suatu teori tentang kulturisasi yang terjadi di

pesantren secara umum. Kulturisasi ini dapat berupa proses yang terjadi di dalam

pesantren terhadap para santriya, demikian juga proses kulturisasi pesantren

terhadap masyarakat pada umumnya.

Selai itu, penelitian ini dimaksudkan untuk membangun suatu bangunan

pengetahuan ilmiah yang komprehensif melengkapi apa yang telah disampaikan

oleh KH. Abdurrahman Wahid yang menyatakan bahwa pesantren adalah sebagai

suatu subkultur. Sehingga temuan-temuan pada penelitian ini diharapkan dapat

melengkapi dan selanjutnya memperkuat asusmi tersebut.


Di samping itu, penelitian ini juga berguna dalam rangka merumuskan

bangunan pengetahuan yang komprehensif tentang multikulturalisme yang ada di

pesantren.

1.4.2. Kegunaan Praktis

a. Bagi Lembaga

bagi lembaga, penelitian ini dapat berfungsi sebagai acuan dalam melihat

dirinya sendiri yang untuk selanjutnya dapat berguna dalam proses evaluasi

pendidikan, menetapkan indikator-indikator monitoring, dan referensi dalam

merumuskan program-program strategisnya. Acuan tersebut kemudian dapat

menjadi refleksi yang bersifat ilmiah, sehingga lembaga dapat merumuskan hal-

hal apa saja yang merupakan unsur utama dalam pengelolaan pendidikan dan

kehidupan sosial di dalamnya, sehingga ia dapat menentukan aspek apa sajakah

yang perlu dipertahankan dan aspek apa sajakah yang dapat dimodifikasi,

dikembangkan dan bahkan diubah.

b. Bagi peneliti

Bagi peneliti, penelitian ini dapat berguna sebagai rumusan awal tentang

proses kulturisasi yang ada di pesantren dimana untuk selanjutnya dapat

digunakan sebagai acuan untuk menetukan fokus dan lokus penelitian lebih lanjut.

Penelitian lanjutan ini dapat berupa penelitian kuantitatif untuk dapat dilakukan

verifikasi atas temuan-temuan pola dalam penelitian ini atau dapat pula penelitian

kualitatif yang lain pada lokus yang lain untuk menemukan pola-pola baru yang

berkaitan dengan tema kulturisasi di pesantren.


1.5. Penegasan Istilah

Beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian ini merupakan istilah-

istilah yang telah banyak digunakan dalam dunia akademik, sehingga penegasan

istilah yang berlaku untuk penelitian ini perlu dilakukan untuk menghindari

miskonsepsi terhadap istilah-istilah tersebut.

Kulturisasi adalah proses dimana suatu kelompok atau masyarakat

mengadopsi atau mengintegrasikan norma, nilai, tradisi, dan budaya dari

kelompok atau masyarakat lain. Ini dapat terjadi, dalam konteks penelitian ini,

melalui kegiatan pendidikan yang terstruktur dan kontak langsung yang terjadi di

kehiduan sosial sehari-hari, dan dapat menyebabkan perubahan dalam cara hidup,

cara berpikir, dan cara bersosialisasi dari kelompok atau masyarakat yang

terkulturisasi.

Budaya Islam multikultural adalah konsep di mana nilai-nilai dan praktik-

praktik dari agama Islam digabungkan dengan keanekaragaman budaya yang

berbeda dari berbagai masyarakat. Ini mencakup penerimaan dan penghormatan

terhadap perbedaan budaya dan latar belakang sosial, serta integrasi nilai-nilai

Islam dalam kehidupan sehari-hari masyarakat multikultural.

International school dalam penelitian ini adalah international school dalam

naungan pondok pesantren. Sehingga international school ala pesantren ini adalah

jenis sekolah yang mengintegrasikan nilai-nilai dan metode pengajaran dari

pesantren tradisional dengan pendidikan internasional modern. Hal ini mencakup

penerapan kurikulum internasional yang sesuai dengan standar global, namun juga
mencakup pelajaran agama dan budaya Islam sebagai bagian integral dari

pengajaran. Sekolah ini juga mengutamakan pendidikan karakter dan moral yang

didasarkan pada ajaran agama terutama ajaran agama yang khas pesantren.
BAB II

KAJIAN TEORI

2.1. Penelitian Terdahulu

2.2. Kulturisasi

Istilah kulturisasi telah banyak digunakan dalam dunia akademik dalam

berbagai macam konteks. Banyak diantaranya digunakan untuk mendeskripsikan

proses internalisasi budaya dalam konteks pasca perang. Menurut Tomlinson,

kulturisasi adalah proses di mana satu budaya mengambil alih budaya lain dan

mengubahnya untuk menyesuaikan dengan cara hidup dan nilai-nilai yang

dianggap superior. Proses ini dapat terjadi secara sadar atau tidak sadar, dan dapat

terjadi melalui kontak langsung atau melalui media dan teknologi.1

Tomlinson menekankan bahwa proses kulturisasi sangat erat kaitannya

dengan imperialisme, di mana satu negara atau kekuatan global mengambil alih

kekuasaan atas negara lain atau kelompok masyarakat. Dalam konteks ini,

kulturisasi dapat digambarkan sebagai cara bagi negara atau kekuatan global

untuk mengambil alih budaya dan nilai-nilai negara atau kelompok masyarakat

yang dikuasai, dan mengubahnya untuk menyesuaikan dengan cara hidup dan

nilai-nilai yang dianggap superior.

Tomlinson juga menyoroti bahwa kulturisasi seringkali mengakibatkan

kehilangan budaya asli dan nilai-nilai dari masyarakat yang dikuasai, serta

menimbulkan masalah sosial dan politik. Namun, ia juga mencatat bahwa

1
John Tomlinson, “Cultural Imperialism: a Critical Introduction” (Baltimore: John Hopkins
University Press, 1991),
kulturisasi dapat menyebabkan perubahan positif, termasuk dalam hal

perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan.

Sementara itu ada pula yang menggunakan istilah kulturisasi dalam konteks

kolonialisasi. Hal ini seperti apa yang dikemukakan oleh Derek Gregory, seorang

profesor geografi yang menulis tentang kulturisasi. Menurutnya kulturisasi adalah

proses di mana satu budaya mengambil alih budaya lain dan mengubahnya untuk

menyesuaikan dengan cara hidup dan nilai-nilai yang dianggap superior. Proses

ini dapat terjadi secara sadar atau tidak sadar, dan dapat terjadi melalui kontak

langsung atau melalui media dan teknologi.2

Derek Gregory menjelaskan bahwa kulturisasi tidak hanya terjadi antara

negara atau kekuatan global yang lebih kuat dengan negara atau kelompok

masyarakat yang lebih lemah, tetapi juga dapat terjadi antar budaya yang sama

atau setara. Dalam hal ini, kulturisasi dapat diartikan sebagai proses di mana satu

budaya mengambil alih dan mengubah budaya lain untuk menyesuaikan dengan

cara hidup dan nilai-nilai yang dianggap superior.

Derek Gregory juga menyoroti bahwa kulturisasi seringkali mengakibatkan

kehilangan budaya asli dan nilai-nilai dari masyarakat yang dikuasai, serta

menimbulkan masalah sosial dan politik. Namun, ia juga mencatat bahwa

kulturisasi dapat menyebabkan perubahan positif, termasuk dalam hal

perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan.

2
Derek Gregory, “The colonial present : Afghanistan, Palestine, Iraq” (Malden, MA: Blackwell
Pub, 2004),
Namun demikian, pada penelitian ini, kulturisasi digunakan dalam konteks

adopsi budaya oleh santri terhadap subkultur pesantren yang telah ada

sebelumnya. Pemilihan istilah kulturisasi pada konteks ini berdasarkan pengakuan

KH. Abdurrahman Wahid yang menyatakan pesantren sebagai subkultur.

Meskipun, lebih jauh ia juga menyatakan bahwa istilah subkulktur itu sendiri

perlu dikembangkan lebih jauh dalam ranah ilmiah sebagai bentuk kehati-hatian

agar tidak menimbulkan kesalahfahaman di kalangan intelektual. Lebih jauh lagi,

ia menyatakan bahwa pesantren telah menjadi subkultur terlebih karena ia

merupakan unit masyarakat yang bahkan secara fisik terpisah dengan masyarakat

umum. Keterpisahan tersebut menjadikan pesantren dalam perjalanannya telah

membangun suatu kebudayaan turunan yang berbeda dengan masyarakat secara

umum. Demikianlah sehingga KH. Abdurrahman Wahid menyebut bahwa

pesantren telah menjadi subkultur yang hidup di tengah-tengah budaya

masyarakat yang telah ada.3

Ketika pesantren dinyatakan sebagai sebuah subkultur, maka proses

seseorang untuk dapat mengadopsi subkultur yang ada dalam pesantren tersebut

dalam konteks ini disebut dengan kulturisasi. Sehingga kulturisasi didefinisikan

sebagai proses dimana suatu kelompok atau masyarakat mengadopsi atau

mengintegrasikan norma, nilai, tradisi, dan budaya dari kelompok atau masyarakat

lain. Ini dapat terjadi, dalam konteks penelitian ini, melalui kegiatan pendidikan

yang terstruktur dan kontak langsung yang terjadi di kehiduan sosial sehari-hari,

3
Abdurrahman Wahid, “Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren”, (Yogyakarta: LkiS, 2007),
hlm. 2
dan dapat menyebabkan perubahan dalam cara hidup, cara berpikir, dan cara

bersosialisasi dari kelompok atau masyarakat yang terkulturisasi.

2.3. Subkultur Pesantren

Sebelum membahas tentang subkultur pesantren, perlu pula dibahas

pengertian budaya secara umum. Maka dari itu, beberapa ahli memberikan

definisi dari sudut pandangnya masing-masiang. Diantaranya adalah Edward B.

Tylor yang menyatakan bahwa budaya adalah keseluruhan dari apa yang diketahui

dan diterima oleh suatu kelompok orang sebagai cara hidup mereka. Dalam

definisi ini, kita dapat memahami bahwa aspek-aspek budaya adalah sangat luas

dimana keseluruhan apa yang diketahui dan diterima masyarakat mencakup

banyak hal dalam kehidupan. Sehingga di dalamnya tentu mencakup tata nilai,

norma, pengetahuan, tata cara hidup yang diadopsi dan lain sebagainya.4

Sementara itu, Clifford Geertz menyatakan bahwa budaya adalah sistem

simbolik yang membantu kita memahami dan memberikan makna pada dunia di

sekitar kita. Dari definisi ini dapat kita fahami bahwa Geertz lebih menekankan

bahwa aspek kebudayaan yang benar-benar membedakan antara satu dengan

lainnya ada pada simbol-simbol budaya yang berwujud praktik-praktik

kebudayaan yang khas antar budaya.5 Dengan sudut ini pula ia melakukan studi

untuk mengidentifikasi sistem kepercayaan masyarakat jawa. Diantara hasil studi

4
Francis E. Merril, Society and Culture an Introduction to Sociology, Third Edition, hal 129
5
Cliffort Geertz, “Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa”, (Depok:
Komunitas Bambu, 2013)
tersebut adalah bahwa ia mengklasifikasikan agama masyarakat jawa menjadi tiga

golongan, yakni: abangan, santri, dan priyayi.6

Di sisi lain, Ralph Linton mengemukakan bahwa budaya adalah sekumpulan

alat mental yang kita gunakan untuk memahami dan mengatasi masalah hidup.

Dari sudut pandang ini, Linton menyoroti budaya dari aspek individual dimana

budaya dipandang sebagai alat individu untuk memahami dan mengatasi masalah

hidup. Dengan demikian budaya dipandang sebagai suatu kebutuhan individu

dalam rangka hidup berdampingan dengan manusia dan alam sebagai sarana ia

untuk dapat bertahan hidup.7

Dalam sudut pandang yang lain, Koentjaraningrat menyatakan bahwa

kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia

dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan

belajar.8 Hal ini artinya senada dengan apa yang disampaikan oleh Tyler bahwa

kebudayaan mencakup aspek yang sangat luas. Lebih jauh, hal tersebut berarti

bahwa hampir seluruh tindakan manusia adalah “kebudayaan” karena hanya amat

sedikit tindakan manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang tak perlu

dibiasakannya dengan belajar, yaitu hanya beberapa tindakan naluri beberapa

refleks, beberapa tindakan akibat proses fisiologi, atau kelakuan apabila ia sedang

membabi buta.

6
Cliffort Geertz, “Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa”, (Depok:
Komunitas Bambu, 2013)
7
Ralph Linton, “The Cultural Backgroun of personality”, (New York : Appleton-Century-Crofts,
1945)
8
Koentjaraningrat, “Pengantar Ilmu Antropologi”, (Jakarta: Rineka Cipta, 1979), hlm. 180
Lebih jauh lagi, Koentjaraningrat membedakan tiga gejala kebudayaan, yaitu:

(1) ideas, (2) activities, dan (3) artefacts, lalu kemudian membagi wujud

kebudayaan menjadi tiga hal:

1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-

nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.

2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan

berpola dari manusia dalam masyarakat

3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia

Tiga hal di atas akan digunakan sebagai pisau analisis dalam rangka untuk

membedah apa yang terjadi pada konteks penelitian ini. Namun demikian,

pesantren di sini tidak dipandang sebagai suatu kebudayaan yang utuh. Hal ini

seperti dinyatakan oeh Abdurrahman Wahid bahwa tidak semua aspek kehidupan

dalam pesantren berwatak subkultural, bahkan aspek-aspek utamanya pun ada

yang bertentangan dengan batasa-batasan yang biasanya diberikan pada sebuah

subkultur.9

Lebih jauh lagi, Abdurrahman Wahid menyatakan bahwa pesantren disebut

sebagai subkultur hanya dilandaskan pada kriteria-kriteria minimal, yaitu:

1. Eksistensi pesantren sebagai sebuah lembaga kehidupan yang

menyimpang dari pola kehidupan umum di negeri ini

2. Terdapatnya sejumlah penunjang yang menjadi tulang punggung

kehidupan pesantren

9
ibid
3. Berlangsungnya proses pembentukan tata nilai yang tersendiri dalam

pesantren, lengkap dengan simbol-simbolnya

4. Adanya daya tarik keluar sehingga memungkinkan masyarakat sekitar

menganggap pesantren sebagai alternatif ideal bagi sikap hidup yang ada

di masyarakat itu sendiri

5. Berkembangnya suatu proses pengaruh-memengaruhi dengan masyarakat

di luarnya, yang akan berkulminasi pada pembentukan nilai-nilai baru

yang secara universal diterima kedua belah pihak.

Cakupan pesantren sebagai subkultur tersebut kemudian oleh Zamakhsyari

Dhofier diberikan sebuah perhatian yang cukup terperinci di dalam bukunya

“Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai”. Ia menuturkan bahwa

ada elemen-elemen pokok sehingga sebuah pesantren absah disebut pesantren.

Elemen-elemen tersebut ialah adanya pondok, masjid, pengajaran kitab-kitab

Islam klasik, santri, dan kyai.10

Pondok merupakan asrama dimana para santri tinggal dan hidup bersama

dengan sesama santri, guru, dan kyai. Sehingga pondok menjadi sarana bagi

berlangsungnya kehidupan sosial dimana dalam kehidupan tersebut

memungkinkan terjadinya hubungan sosial yang kompleks layaknya pada

kehidupan masyarakat pada umumnya. Pondok tersebut akhirnya menjadi

semacam laboratorium kehidupan dimana sistem tata nilai yang diambil dari

ajaran-ajaran Islam diimplementasikan. Di samping itu, kehidupan pondok yang

10
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai” (Jakarta: LP3ES,
1994) hlm. 44
terpisah dari masyarakat umum memberikan keuntungan terutama dalam hal

filterisasi pengaruh budaya luar yang barangkali tidak sesuai dengan tata nilai

yang telah terbangun di pondok.

Sementara masjid merupakan simbol keislaman dimana melaluinya ajaran-

ajaran Islam mendapatkan legitimasi dan penghormatan yang sesuai. Di dalamnya

juga berlangsung praktik-praktik peribadatan sebagai sarana internalisasi tata nilai

keislaman sesuai yang diajarkan pada kitab-kitab Islam klasik. Lebih lanjut, kitab-

kitab Islam klasik merupakan sumber tata nilai yang dijalankan di pesantren.

Bersumber dari kitab-kitab itulah ajaran-ajaran khas pesantren lahir termasuk

ajaran tentang multikulturalisme. Pada umumnya, pesantren mengemban tugas

pelestarian ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jamaah yang tentu saja sumber-sumber

literasinya berasal dari kitab-kitab klasik ini, sehingga keberadaan kitab-kitab

adalah suatu keharusan bagi sebuah pesantren.

Di sisi yang lain, keberadaan fasilitas dan sarana berupa pondok dan masjid,

begitu juga sarana literasi berupa kitab-kitab klasik adalah merupakan kebutuhan

fisik bagi keberadaan pondok pesantren, maka keberadaan kyai dan santri adalah

inti dari pesantren itu sendiri. Santri merupakan orang-orang yang menimba ilmu

di pesantren sekaligus subjek kehidupan sosial di pesantren, sementara kyai

adalah guru, pembimbing spiritual, dan penjaga tata nilai di pondok pesantren.

Kombinasi keduanya ditambah elemen-elemen fisik yang lain memungkinkan

terjadinya kulturisasi di pesantren sehingga dapat membentuk subkultur

pesantren. Subkultur pesantren ini pada gilirannya akan mampu membentuk


karakter individu baik yang ada di dalam pesantren, atau mempengaruhi

kebudayaan yang lebih luas di tengah-tengah masyarakat.

2.4. Kerangka Pikiran

Santri

Kulturisasi

ideas activities artefacts

 Ajaran kitab-kitab  Model perilaku kyai  Pondok/asrama


klasik  Tradisi kepesantrenan  Masjid
 Petuah-petuah kyai  Kehidupan sosial para  Gedung sekolah
 Visi dan misi santri di pesantren  Bentuk fisik kitab
pesantren  Kegiatan pendidikan klasik
formal  Prasarana penunjang
 Kegiatan pendidikan lain
non-formal

Santri multikultural
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian ethnografi. Seperti

dinyatakan oleh Ary, Jacobs, dan Sorensen:11

“Ethnography is the in-depth study of naturally occurring behavior within a

culture or entire social group. It seeks to understand the relationship between

culture and behavior, with culture referring to the shared beliefs, values,

concepts, practices, and attitudes of a specific group of people”

Ethnografi adalah sebuah studi mendalam tentang perilaku yang terjadi secara

natural di dalam sebuah kebudayaan atau kelompok sosial tertentu. Penelitian ini

berupaya memahami hubungan antara budaya dan perilaku, dengan merujuk pada

keyakinan bersama, nilai-nilai, konsep, praktik, dan sikap dari sebuah kelompok

masyarakat tertentu.

Pendekatan ini sesuai dengan fokus penelitian terutama karena secara alamiah

penelitian ini akan berupaya memahami ideas, activities, dan artefacts dari suatu

kelompok masyarakat yang disebut dengan pesantren. Sehingga pendekatan ini

dipilih sebagai desain penelitian ini.

11
Donald Ary, Lucy Jacobs, Chris Sorensen, “Introduction to Research in Education Eigth Edision”,
(Belmont: Wadsworth, 2010), hlm. 459
B. Kehadiran Peneliti

Kehadiran peneliti dalam penelitian ini berperan sebagai perencana,

pelaksana, pengumpul data, penganalisis, penafsir data, serta melaporkan hasil

penelitian.12 Peneliti hadir untuk menemukan permasalahan yang akan diteliti baik

secara langsung maupun tidak langsung. Prosedur yang peneliti gunakan melalui

3 tahap yaitu:

1. Peneliti hadir secara langsung dilokasi penelitian sebagai instrumen utama

dalam pengumpulan data.

2. Peneliti melakukan analisis sejak awal secara terus menerus sepanjang

pelaksanaan penelitian.

C. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Aqobah International School (AIS) Jl. Bakalan 1

Ngasem Jombok Ngoro Jombang Jawa Timur. AIS adalah sebuah pondok

pesantren yang dikemas dalam wujud international school untuk dapat menarik

minat dari kalangan sosial menengah keatas. Hal ini menjadikan profil AIS sesuai

dengan konteks dan fokus penelitian yang dibutuhkan oleh peneliti.

D. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling

dan snowball sampling. Purposive sampling merupakan teknik pengambilan

12
Nana S. Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Rosdakarya, 2009), 77.
sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini,

maksudnya peneliti memilih subyek yang dianggap menguasai keadaan dan

gejala-gejala yang diteliti dan bersifat otoritatif dalam informasi yang dibutuhkan

penelitian. Sedangkan snowball sampling merupakan teknik pengambilan sumber

data, yang pada mulanya jumlahnya sedikit, lama-lama menjadi besar.13

Penentuan sumber data dengan menggunakan teknik purposive sampling ini

berarti pemilihan informan sepenuhnya dilakukan dan ditentukan oleh peneliti

sendiri, yaitu sesuai dengan pertimbangan peneliti tentang maksud dan tujuan.14

Dengan kata lain sampel informan yang dipilih dikarenakan informan tersebut

memiliki informasi yang mendalam mengenai penelitian yang dilakukan ini.

E. Teknik Pengumpulan Data

Data merupakan faktor penting dalam penelitian, untuk itu diperlukan teknik

tertentu dalam pengumpulan data. Teknik pengumpulan data yang penulis

gunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Observasi

Observasi adalah metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara

mengamati dan mencatat secara sistematik gejala-gejala yang diselidiki. Kegiatan

yang dilakukan dengan pengamatan secara langsung di AIS yakni dengan

pengumpulan data yang berhubungan dengan penyusunan penelitian ini serta

menggali data dari sumber data yang berupa peristiwa, tempat, benda, rekaman

13
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan:Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif Dan R & D
(Bandung: Alfabeta, 2010), 300.
14
Sukandarrumidi, Metode Penelitian:Petunjuk Praktis Untuk Peneliti Pemula
(Yogyakarta:Gadjah Mada University Press, 2012), 65.
dan gambar. Ini dilakukan dengan cara peneliti melibatkan diri secara langsung

pada kegiatan yang dilakukan oleh subjek penelitian dalam lingkungannya, selain

juga itu juga mengumpulkan data secara sistematik dalam bentuk catatan

lapangan.

2. Wawancara

Wawancara yaitu sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara

(interviewer) untuk memperoleh informasi dari terwawancara (interviewee).15

Dalam hal ini peneliti akan melakukan wawancara kepada informan kunci dari

AIS Jombang yaitu pengasuh/kyai, para ustadz pengajian kitab, para guru dan staf

lainnya.

3. Dokumentasi

Dokumentasi berasal dari kata dokumen yang artinya barang-barang tertulis.

Metode ini digunakan untuk mendapatkan data-data tentang proses kulturisasi di

AIS Jombang. Dokumentasi yang dimaksud berupa gambar/foto, atau catatan-

catatan lain yang berhubungan dengan fokus penelitian.16

F. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan model Miles dan

Huberman, yaitu data reduction (reduksi data), data display (penyajian data),

conclution drawing/verification (penarikan kesimpulan/verifikasi). Berikut

penjelasannya:

15
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik,... 98..
16
Ahmad Tanzeh, Pengantar Metode Penelitian (Yogyakarta:Teras, 2009), 185.
1. Reduksi Data

Data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup banyak, maka perlu

dicatat secara teliti dan dirinci melakukan penelitian di lapangan maka jumlah

data yang akan diperoleh semakin banyak, komplek dan rumit. Oleh karena itu

perlu segera dilakukan analisis data melalui reduksi data. Mereduksi data berarti

merangkum, memilih hal-hal pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting,

dicari tema dan polanya dan membuang yang tidak perlu.17

2. Penyajian Data

Penyajian data (data display) dilakukan untuk memudahkan bagi peneliti

guna membuat gambar secara keseluruhan atau bagian tertentu dari penelitian.

Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah menyajikan data, yaitu

menyampaikan informasi berdasarkan data yang diperoleh dan disusun dalam

naratif.

3. Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan dilakukan dengan memverifikasi secara terus menerus

sepanjang proses penelitian berlangsung, yaitu sejak awal memasuki penelitian

dan selama proses pengumpulan data.

Penarikan kesimpulan/verifikasi merupakan kegiatan terpenting, karena sudah

memahami dan memaknai berbagai hal yang ditemui dari mulai melakukan

pencatatan peraturan-peraturan, pola-pola, pernyataan, arahan, sebab-akibat, dan

berbagai proposisi, kesimpulan yang perlu diverifikasi yang berupa suatu

pengulangan dengan gerak cepat, sebagai pikiran kedua yang timbul melintas

17
Sugiyono, Ibid., 338.
pada penelitian waktu menulis dengan melihat kembali (fieldnotes) atau catatan

lapangan.

G. Pengecekan Keabsahan Data

Penelitian ini menggunakan beberapa teknik keabsahan data. Berikut Teknik

pengecekan keabsahan data yaitu:

1. Perpanjangan Keikutsertaan

Peneliti dalam penelitian kualitatif berperan sebagai instrument.

Keikutsertaan peneliti sangat menentukan dalam pengumpulan data dan tidak

hanya dilakukan dalam waktu singkat, tetapi memerlukan waktu perpanjangan

keikutsertaan pada latar penelitian.18

2. Triangulasi

Triangulasi adalah Teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan

sesuatu yang lain. Teknik triangulasi yang paling banyak digunakan ialah

pemeriksaan melalui sumber lainnya, seperti:19

a) Triangulasi sumber yaitu membandingkan data yang diperoleh dari

obeservasi wawancara maupun dari apa yang disampaikan oleh narasumber serta

membandingkan dari keadaan ditempat peneltian.

b) Triangulasi metode yaitu dengan menggunakan beberapa strategi untuk

menemukan derajat kepercayaan dari beberapa sumber data dengan metode

lainnya.

18
M.Djunaidi Ghony, dkk, Analisis dan Interprestasi Data Penelitian Kualitatif,
(Bandung:PT.Refika Aditama, 2020), 200.
19
Ibid, 201-204.
c) Triangulasi teori yaitu pengecekan data bukan hanya melalui satu teori

saja namun derajat kepercayaannya dapat dilakukan dengan memperbanyak teori

lainnya.
DAFTAR RUJUKAN

Abdurrahman Wahid, “Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren”,


(Yogyakarta: LkiS, 2007)

Ahmad Tanzeh, Pengantar Metode Penelitian (Yogyakarta:Teras, 2009)

Cliffort Geertz, “Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan


Jawa”, (Depok: Komunitas Bambu, 2013)

Derek Gregory, “The colonial present : Afghanistan, Palestine, Iraq” (Malden,


MA: Blackwell Pub, 2004)

Donald Ary, Lucy Jacobs, Chris Sorensen, “Introduction to Research in Education


Eigth Edision”, (Belmont: Wadsworth, 2010)

Francis E. Merril, Society and Culture an Introduction to Sociology, Third Edition

John Tomlinson, “Cultural Imperialism: a Critical Introduction” (Baltimore: John


Hopkins University Press, 1991)

Koentjaraningrat, “Pengantar Ilmu Antropologi”, (Jakarta: Rineka Cipta, 1979)

M.Djunaidi Ghony, dkk, Analisis dan Interprestasi Data Penelitian Kualitatif,


(Bandung:PT.Refika Aditama, 2020)

Nana S. Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Rosdakarya,


2009)

Ralph Linton, “The Cultural Backgroun of personality”, (New York : Appleton-


Century-Crofts, 1945)

Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan:Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif Dan R


& D (Bandung: Alfabeta, 2010)

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik,... 98..

Sukandarrumidi, Metode Penelitian:Petunjuk Praktis Untuk Peneliti Pemula


(Yogyakarta:Gadjah Mada University Press, 2012),

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai”


(Jakarta: LP3ES, 1994)

Anda mungkin juga menyukai