Anda di halaman 1dari 26

Bahan Kuliah: Ilmu Perundang-undangan

Dosen Pengampu: DR Ronny Bako, SH, MH. Advokat


Hanya dapat dipergunakan di lingkungan FH UPH.
LECTURER NOTES 8:
KEAJEGAN UU SEBAGAI HUKUM DI MASYARAKAT
PENGANTAR
Ketika suatu UU sudah diundangkan dan diberlakukan di masyarakat, maka
sejak itulah UU tersebut menjadi hukum di masyarakat. Konsekuensi UU sebagai
hukum, maka UU tersebut berlaku untuk setiap orang yang ada di Indonesia ataupun
berlaku bagi orang asing yang melakukan perbuatan hukum di Indonesia sesuai
dengan peristiwa atau peristiwa hukum yang dilakukan oleh orang tersebut. UU sebagai
hukum dapat diartikan bahwa hukum tersebut akan diterapkan dan ditegakkan di
masyarakat. Penerapan hukum atas UU tersebut diartikan adanya makna hukum yang
boleh dilakukan atau makna hukum yang disuruh untuk dilakukan. Sedangkan
penegakan hukum di masyarakat dapat diartikan sebagai makna hukum yang disuruh
untuk dilakukan karena adanya sangsi hukum atau makna hukum yang dilarang untuk
dilakukan karena adanya sangsi hukum yang akan dijatuhkan atau adanya proses
hukum yang akan terjadi.
UU yang tertulis tersebut bersifat normative, artinya UU hanya merupakan kata
atau kalimat dalam UU tersebut, atau dapat disebut sebagai hukum yang tertulis atau
hukum yang tersurat dalam UU tersebut. Tetapi ketika UU tersebut diundangkan berarti
terjadi perubahan makna hukum dari yang normative menjadi makna hukum yang
empiris. Makna hukum yang empiris yaitu bagaimana makna hukum yang tertulis atau
normative tersebut dapat diberlakukan di masyarakat sesuai dengan fakta, fakta
hukum dalam arti hokum positif atau bisa terjadi fakta hokum dalam arti hokum
negative, seperti, konflik, sengketa, kasus atau perkara.
Sifat empiris UU tersebut bisa terjadi dalam 2 segi, yaitu 1) hukum yang
normative menjadi hukum yang empiris manakala aturan tertulis tersebut terjadi di
masyarakat, serta adanya 2) empirical case atau hokum positif atau hokum negatif yang
terjadi di masyarakat dimana terdapat lebih dari 1 hukum tertulis atau lebih dari 1 UU,
misal pembunuhan (hukum pidana) karena hutang piutang (hukum perdata)

105
Copyrights by Ronny Bako (rshbako@fhuph2023).
This is paper is protected by The Indonesian Copyrights Law. Should you wish to copy or reproduce
any part of this paper, a prior written approval from the writer shall first be obtained.
Bahan Kuliah: Ilmu Perundang-undangan
Dosen Pengampu: DR Ronny Bako, SH, MH. Advokat
Hanya dapat dipergunakan di lingkungan FH UPH.
Salah hal terpenting dalam hukum bahwa UU yang merupakan hukum tidaklah
sempurna, karena UU dibentuk untuk kebutuhan masyarakat, atau UU diciptakan untuk
mengakomodasi perbuatan hukum dan peristiwa hukum di masyarakat yang belum ada
hukumnya. Oleh sebab itu wajar apabila UU sebagai hukum tidak bersifat abadi, karena
ketidak abadian tersebut membuat hukum dapat diterima di masyarakat atau hukum
tidak dapat diterima masyarakat.
Semua dinamika di masyarakat bisa menghasilkan hal yang normal ataupun hal
yang tidak normal. Dinamika di masyarakat yang bersifat normal dapat diartikan bahwa
masyarakat menyadari adanya hukum bagi masyarakat atau hukum tersebut memaksa
masyarakat untuk mematuhi apa yang tertulis dalam UU tersebut. Misal setiap orang
Indonesia yang telah berusia 17 tahun wajib memiliki identitas diri dan hal yang
mengenai identitas diri telah diatur dalam UU tentang Administrasi Kependudukan.
Contoh lainnya adanya kewajiban memiliki paspor dan visa bagi setiap warga negara
yang akan melakukan perjalanan ke luar negeri. Hal ini sesuai dengan pengaturan
sejumlah UU, antara lain UU tentang Keimigrasian.
Inti utama dari UU diberlakukan di masyarakat yaitu terjadi social engineering,
berupa UU yang bersifat normative tersebut diberlakukan di masyarakat sehingga
masyarakat dipaksa untuk menerima hukum tersebut ataupun ada kemungkinan hukum
tersebut tidak selamanya bisa menjawab permasalahan yang terjadi di masyarakat.
Tetapi tujuan dari hukum yaitu terjadinya kepastian hukum di masyarakat atau
terjadinya keadilan di masyarakat. Oleh sebab itu hukum tetap harus menjawab segala
hal yang terjadi di masyarakat.

106
Copyrights by Ronny Bako (rshbako@fhuph2023).
This is paper is protected by The Indonesian Copyrights Law. Should you wish to copy or reproduce
any part of this paper, a prior written approval from the writer shall first be obtained.
Bahan Kuliah: Ilmu Perundang-undangan
Dosen Pengampu: DR Ronny Bako, SH, MH. Advokat
Hanya dapat dipergunakan di lingkungan FH UPH.

KEAJEGAN UU SEBAGAI HUKUM YANG NORMATIF


UU bersifat ajeg karena UU sebagai hukum normative sebagai hukum yang
tertulis atau hukum yang tersurat. Sifat keajegan tersebut tampak dari apa yang tertulis
atau apa yang tersurat dalam UU tersebut sebagai hukum. Pembaca UU hanya
membaca yang tertulis dan yang tersurat dalam UU tersebut. Pembaca UU tidak boleh
menambah atau mengurangi kata atau kalimat dalam UU tersebut. Bahkan pembaca
UU tidak boleh memberikan makna baru atau makna tambahan dalam UU tersebut.
Misal dalam UU Perkawinan jelas tertulis bahwa perempuan kawin usia 16 tahun dan
laki2 kawin usia 19 tahun. Apa yang tertulis atau tersurat itulah hukumnya.
Keajegan hukum normative menjadi batas utama atau dasar dari hukum
tersebut, misal kalau disebutkan usia 19 tahun bagi laki2 menikah, maka keajegannya
disebut batas dasar usia kawin yaitu 19 tahun. Pembuat UU juga menyadari bahwa
dalam praktek bisa saja aturan hukum tersebut tidak sama dengan apa yang terjadi di
masyarakat, tetapi karena keajegan hukum maka jelas apa yang tertulis atau apa yang
tersurat merupakan batas dasar dari hukum tersebut.
Hal yang harus diingat dari keajegan hukum normative tersebut, bahwa apapun
yang tertulis dan tersurat dalam setiap UU tetap merupakan hukum, dan hukum
tersebut wajib dihormati oleh setiap orang sejak UU tersebut diundangkan.

CIRI-CIRI UU SEBAGAI HUKUM NORMATIF


Ada beberapa ciri UU sebagai hukum normative, yaitu:
1. UU sebagai hukum tidak dapat bicara kepada pembaca UU;
2. Pembaca UU yang harus dapat mengartikan apa yang tertulis dalam UU
tersebut;
3. Pembaca UU dalam membaca UU tersebut yaitu membaca dalam bahasa yang
tertulis, misal bahasa yang tertulis dalam UU yaitu Bahasa Indonesia; (disebut
konsep Reading);

107
Copyrights by Ronny Bako (rshbako@fhuph2023).
This is paper is protected by The Indonesian Copyrights Law. Should you wish to copy or reproduce
any part of this paper, a prior written approval from the writer shall first be obtained.
Bahan Kuliah: Ilmu Perundang-undangan
Dosen Pengampu: DR Ronny Bako, SH, MH. Advokat
Hanya dapat dipergunakan di lingkungan FH UPH.
4. Dalam memberikan makna dalam UU tersebut, maka membaca UU mengartikan
apa yang tertulis, baik untuk dilaksanakan segera (reading in law) atau apa yang
tertulis tidak segera dilaksanakan (reading by law);
5. Dalam membaca UU tersebut seringkala pembaca diperhadapkan untuk
mengartikan dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa hukum, hal ini bisa
terjadi karena dalam setiap UU pasti dijumpai istilah2 hukum (English
troublesome);
6. Setiap hukum yang tertulis dalam UU masih bersifat diksi (sesuatu yang dapat
terjadi) dan bisa menjadi fiksi (sesuatu kejadian yang dapat terjadi dengan
adanya beberapa contoh);
7. Dalam membaca UU tersebut,pembaca dapat memperkirakan apakah fiksi2
dalam UU tersebut dapat terjadi di masyarakat (fiksi ke fakta), atau apakah fakta
tersebut dapat terjadi menurut hukum (fakta ke fakta hukum)?
8. Setiap yang tertulis dalam UU dipandang sebagai hukum apabila memenuhi
unsur hukum, yaitu:
a. Ada perbuatan, yaitu DO menjadi Done, Do menjadi Doing, atau Do telah
menjadi Did;
b. Ada peralihan dari Perbuatan menjadi Perbuatan hukum (boleh, suruh atau
larang);
c. Ada peristiwa dalam bentuk : Keadaan, Kejadian dan Keadaan yang diikuti
menjadi Kejadian;
d. Ada peralihan dari peristiwa menjadi Peristiwa Hukum (satu arah atau jamak
arah);
e. Ada Subyek hukum, yaitu siapa Orang Pribadi atau siapa Badan Hukum;
f. Ada pihak dalam subyek hukum tersebut, baik 1) Para Pihak, 2) Dua Pihak
dan/atau 3) Pihak Lain;
g. Siapa yang bertanggungjawab secara tertulis atau tersurat dalam UU
tersebut?
h. Siapa yang bertanggungggugat secara tersirat dalam UU tersebut?

108
Copyrights by Ronny Bako (rshbako@fhuph2023).
This is paper is protected by The Indonesian Copyrights Law. Should you wish to copy or reproduce
any part of this paper, a prior written approval from the writer shall first be obtained.
Bahan Kuliah: Ilmu Perundang-undangan
Dosen Pengampu: DR Ronny Bako, SH, MH. Advokat
Hanya dapat dipergunakan di lingkungan FH UPH.
Tabel 16
Hukum Normatif dalam UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

UU sebagai Hukum Normatif Makna Hukum Pembaca UU


Pasal 6: Perbuatan : Do Kapan didirikan?
Perseroan didirikan untuk Yaitu didirikan 1. Sudah didirikan (did)
jangka waktu terbatas atau 2. Sedang didirikan (done)
tidak terbatas sebagaimana 3. Akan didirikan (doing)
ditentukan dalam anggaran
dasar
Perbuatan hukum: Perseroan didirikan kapan saja oleh
Boleh didirikan para pemegang saham
Disuruh : Sebagaimana ditentukan dalam
Didirikan anggaran dasar
Peristiwa: Apa peristiwa
Keadaan; Didirikan
Kejadian; atau Untuk jangka waktu terbatas atau tidak
terbatas
Kejadaan diikuti Didirikan untuk jangka waktu terbatas
kejadian atau tidak terbatas
Peristiwa hukum: didirikan untuk jangka waktu terbatas
Jamak arah atau tidak terbatas sebagaimana
ditentukan dalam anggaran dasar
Subyek Hukum:
Orang Pribadi atau Setiap orang dapat mendirikan PT
Badan hukum Setiap badan hukum dapat mendirikan
PT
Pihak:
Para Pihak Para pemegang saham
Tanggungjawab:
Siapa Para pemegang saham
bertanggungjawab
Tanggunggugat: Notaris yang membuat akta perseroan
Siapa Pemerintah yang mengesahkan akta
bertanggunggugat perseroan

109
Copyrights by Ronny Bako (rshbako@fhuph2023).
This is paper is protected by The Indonesian Copyrights Law. Should you wish to copy or reproduce
any part of this paper, a prior written approval from the writer shall first be obtained.
Bahan Kuliah: Ilmu Perundang-undangan
Dosen Pengampu: DR Ronny Bako, SH, MH. Advokat
Hanya dapat dipergunakan di lingkungan FH UPH.
KEAJEGAN HUKUM YANG NORMATIF MENJADI HUKUM YANG
EMPIRIS
Sifat hukum empiris terjadi manakala setiap UU diundangkan untuk diberlakukan
di masyarakat. Pada fase UU menjadi hukum yang empiris, maka ada beberapa fase
yang membuat hukum normative menjai hukum yang empiris, antara lain:
1. Hukum yang diterima secara sukarela, karena sejak UU diundangkan maka
dianggap setiap harus harus tahu dan menerimanya.Hal ini sejalan dengan
adagium UU yang terdapat setelah pasal terakhir pada setiap UU, yaitu pada
kalimat, “agar setiap orang mengetahuinya dan menempatkan dalam lembaran
negara…..”
2. Hukum yang berlaku di masyarakat karena ada syarat-syarat yang ditentukan
dalam suatu UU, misal dalam UU tentang Mahkamah Konstitusi disebutkan
syarat untuk menjadi hakim konstitusi.
3. Hukum yang berlaku di masyarakat sebagai hukum yang efektif yaitu hukum
yang berlaku secara sukarela serta hukum yang berlaku karena adanya syarat-
syarat dalam suatu UU. UU yang efektif biasanya masa keberlakuan UU sangat
terbatas atau ada tenggat waktunya. Misal UU tentang APBN yang berlaku untuk
1 tahun anggaran tertentu.
4. Hukum yang berlaku di masyarakat dengan “paksaan” karena jelas disebutkan
untuk setiap orang atau setiap warga negara. Misal UU tentang BPJS yang
menyebutkan bahwa setiap warga negara Indonesia wajib terdaftar dalam BPJS.
5. Hukum yang berlaku di masyarakat mengalami pertentangan dari masyarakat,
Pertentangan ini bisa terjadi karena 1) factor pribadi dimana yang bersangkutan
tidak cocok atau tidak suka dengan UU tersebu atau 2) factor bahwa UU tersebut
tidak sesuai dengan konstitusi negara atau peraturan perundang-undangan
lainnya. Makna pertentangan diartikan sesuatu yang tertulis dalam UU ketika di
masyarakat, aturan tertulis tersebut ditambahkan atau dikurangi norma
hukumnya. Bagi orang pribadi yang tidak suka dengan hukum tersebut dengan
menentang hukum tersebut, maka orang tersebut tidak mau melakukan aturan
tertulis tersebut. Sedangkan bagi orang yang berpandangan bahwa aturan
110
Copyrights by Ronny Bako (rshbako@fhuph2023).
This is paper is protected by The Indonesian Copyrights Law. Should you wish to copy or reproduce
any part of this paper, a prior written approval from the writer shall first be obtained.
Bahan Kuliah: Ilmu Perundang-undangan
Dosen Pengampu: DR Ronny Bako, SH, MH. Advokat
Hanya dapat dipergunakan di lingkungan FH UPH.
tertulis tersebut tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, maka yang
bersangkutan bisa menggugat UU ke Mahkamah Konstitusi dan menggugat
aturan hukum di bawah UU ke Mahkamah Agung.
6. Hukum yang berlaku di masyarakat mengalami pelanggaran, atau hukum yang
tertulis tersebut dilanggar oleh orang pribadi atau orang tertentu. Pelanggaran
hukum tersebut bisa dilakukan secara disengaja atau tidak disengaja.
Enam fase di atas yang membuktikan terjadinya peralihan dari hukum tertulis yang
normative menjadi hukum yang tertulis menjadi empiris sesuai dengan tingkat fase
yang ada di masyarakat. Sehingga dalam praktek selama ini tidak heran bahwa tidak
selamanya hukum yang tertulis dalam UU dapat efektif di masyarakat. Tingkat
keefektifan hukum tertulis di masyarakat harus dilihat pada fase pemberlakuan hukum
tertulis di masyarakat.
Setiap pembaca UU dapat memberikan makna hukum terhadap UU yang
normative tersebut yang akan menjadi empiris di masyarakat sesuai dengan salah 1
fase hukum di atas. Contoh UU APBN yang dibentuk setiap tahun dan berlaku untuk
satu tahun tertentu, maka termasuk dalam fase nomor 4, yaitu Hukum yang berlaku di
masyarakat dengan “paksaan” hanya berlaku selama 1 tahun anggaran saja yang
mengikat pemerintah pusat terhadap kementerian, lembaga dan daerah otonom yang
menggunakan UU APBN tersebut.

111
Copyrights by Ronny Bako (rshbako@fhuph2023).
This is paper is protected by The Indonesian Copyrights Law. Should you wish to copy or reproduce
any part of this paper, a prior written approval from the writer shall first be obtained.
Bahan Kuliah: Ilmu Perundang-undangan
Dosen Pengampu: DR Ronny Bako, SH, MH. Advokat
Hanya dapat dipergunakan di lingkungan FH UPH.
HUKUM EMPIRIS DI MASYARAKAT
Hukum empiris di masyarakat terjadi bisa karena 1) suatu kejadian sudah terjadi
sebelum adanya aturan hukum yang normative atau 2) dengan aturan yang normative
sudah bisa “diduga” suatu a) fiksi hukum atau b) fakta hukum atau c) terjadinya hokum
negatif.

Suatu Kejadian yang sudah terjadi sebelum adanya aturan hukum yang normative
Hal yang harus diingat bahwa tidak semua peristiwa hukum atau perbuatan
hukum di masyarakat diatur dalam suatu UU. Di masyarakat peristiwa hukum dan
perbuatan hukum lebih berkembang dan dinamis bila dibandingkan dengan suatu
hukum normative. Hal ini bisa terjadi karena hukum yang normative lebih bersifat statis,
sedangkan perkembangan di masyarakat lebih dinamis. Sehingga tidak heran tidak
selamanya hukum normative dapat menjadi hal yang empiris di masyarakat.
Untuk menjawab kejadian di masyarakat belum ada hukumnya dalam bentuk
UU, maka inisiatif untuk membentuk UU bisa berasal dari DPR, Presiden atau DPD (UU
yang berhubungan dengan otonomi daerah).

Dugaan suatu peristiwa hukum


Setiap peristiwa hukum atau perbuatan hukum yang tertulis dalam UU sebagai
hukum yang normative, secara teori dapat dimungkinkan menduga suatu peristiwa
hukum atau perbuatan hukum. Dugaan ini bisa dilatar belakangi karena adanya fiksi
hukum dalam setiap hukum normative. Setiap pembaca UU dapat membuat suatu fiksi
hukum terhadap semua yang diatur tertulis dalam UU.
Fiksi hukum dapat menjadi fakta hukum dan fakta hukum dapat menjadi kasus
hukum. Makna kata “dapat” diartikan bisa menjadi fakta hukum atau kasus hukum atau
tidak selamanya fiksi hukum dapat menjadi fakta hukum dan kasus hukum. Oleh sebab
itu para pembentuk UU sudah bisa memperkirakan hal empiris apa yang akan terjadi
dengan dibentuknya suatu UU.

112
Copyrights by Ronny Bako (rshbako@fhuph2023).
This is paper is protected by The Indonesian Copyrights Law. Should you wish to copy or reproduce
any part of this paper, a prior written approval from the writer shall first be obtained.
Bahan Kuliah: Ilmu Perundang-undangan
Dosen Pengampu: DR Ronny Bako, SH, MH. Advokat
Hanya dapat dipergunakan di lingkungan FH UPH.
Ciri2 Hukum Empiris
Ada beberapa ciri hukum empiris di masyarakat, yaitu:
1. Adanya hukum yang ditentang oleh masyarakat dalam bentuk a) hukum
kebolehan yang tidak dikerjakan (contoh usia perkawinan 16 tahun dan 19 tahun,
tidak dilaksanakan pada usia perkawinan tersebut), b) hukum suruhan yang tidak
dikerjakan (contoh rambu lalu lintas merah, tapi pengemudi sengaja melanggar
rambu lalu lintas tersebut). Ada factor tersendiri mengapa hukum tersebut
ditentang oleh masyarakat.
2. Ada hukum yang sengaja dilanggar atau ada niat (mensrea) untuk melanggar
hukum tersebut. Ciri dari hukum yang dilanggar seperti kaedah suruhan yang
tidak dikerjakan (Misal dalam UU Hukum Perdata, usia dewasa 21 - 27 tahun
untuk minta harta ke orang tua, tapi tidak dikerjakan oleh seorang anak), atau ciri
hukum larangan yang sengaja dilanggar dan sudah ada tahu ada sanksi hukum
terhadap larangan tersebut (misal UU Tindak Pidana Korupsi, masih saja ada
orang yang sengaja melakukan tindak pidana korupsi).
3. Ciri subyektif hukum seperti a) peristiwa hukum, b) perbuatan hukum, c) subyek
hukum, dan d) pihak, terjadi di masyarakat. Misal dalam kasus pembunuhan
seorang anak kecil oleh orang tuanya, 4 ciri subyektif hukum terpenuhi.
4. Adanya sejumlah barang bukti yang menjadi alat bukti, baik alat bukti menurut
hukum pidana dan/atau alat bukti menurut hukum perdata.
5. Terjadinya peningkatan dari conflik – sengketa- kasus dan ke perkara. Hal ini
terjadi tidak ada upaya untuk tidak meningkatkan hal tersebut, misal mencegah
konfilik menjadi sengketa, mencegah sengketa menjadi kasus, dan mencegah
kasus menjadi perkara. Tindakan pencegahan tahapan tersebut, karena tidak
ada upaya untuk mendamaikan atau menyelesaikan perkara di luar hukum, baik
penyelesaian hukum yang diatur dalam hukum, atau penyelesaian hukum
melalui arbitrase.

113
Copyrights by Ronny Bako (rshbako@fhuph2023).
This is paper is protected by The Indonesian Copyrights Law. Should you wish to copy or reproduce
any part of this paper, a prior written approval from the writer shall first be obtained.
Bahan Kuliah: Ilmu Perundang-undangan
Dosen Pengampu: DR Ronny Bako, SH, MH. Advokat
Hanya dapat dipergunakan di lingkungan FH UPH.
HUKUM YANG EMPIRIS DARI ATAU KE HUKUM YANG NORMATIVE
Hukum empiris bisa berasal dari hukum yang normative atau hukum yang
empiris membuat suatu hukum normative yang baru. Ada beberapa fase yang
mendukung teori ini, antara lain:
1) Adanya Putusan Badan Peradilan terhadap suatu peristiwa hukum di
masyarakat, dimana isi putusan badan peradilan tersebut sudah sesuai dengan
aturan yang hukum normative;
2) Adanya Putusan Badan Peradilan terhadap suatu peristiwa hukum di masyarakat
bisa tidak sesuai dengan hukum yang normative. Hal ini bisa terjadi karena a) isi
putusan sesuai dengan fakta dalam persidangan, atau b) hakim boleh
menemukan hukum (rechtsvinding).
3) Adanya gugatan UU ke Mahkamah Konstitusi atau gugatan terhadap peraturan
perundang-undangan ke Mahkamah Agung. Hal gugatan ini mencerminkan
bahwa hukum normative tidak sesuai dengan fakta di masyarakat termasuk
adanya pribadi tertentu yang memandang hukum normative tersebut telah
bertentangan atau melanggar kehendak di masyarakat.

Jadi semua hal yang terjadi di masyarakat bisa didasarkan hukum normative
yang sudah ada, atau kejadi di masyarakat telah terjadi walau belum ada hukum dalam
bentuk UU. Jadi tidak ada jaminan di masyarakat semua hal telah diatur oleh hukum.
Oleh sebab itu disini peran dari negara untuk membentuk hukum tersebut.

114
Copyrights by Ronny Bako (rshbako@fhuph2023).
This is paper is protected by The Indonesian Copyrights Law. Should you wish to copy or reproduce
any part of this paper, a prior written approval from the writer shall first be obtained.
Bahan Kuliah: Ilmu Perundang-undangan
Dosen Pengampu: DR Ronny Bako, SH, MH. Advokat
Hanya dapat dipergunakan di lingkungan FH UPH.
HUKUM HARUS MENJAWAB
UU di masyarakat diharapkan bisa menjawab dinamika di masyarakat. Di satu
sisi hukum bisa menjawab dinamika di masyarakat, tetapi di sisi lain bisa saja hukum
tersebut tidak bisa menjawab dinamika di masyarakat tersebut. Kedua hal ini
dimungkinkan baik secara teori maupun secara praktek. Di sisi teori, UU sebagai
hukum tersebut merupakan hasil ciptaan pembuat UU untuk mengatasi dinamika di
masayrakat atau sesuatu yang memerlukan pengaturan di masyarakat. Di sisi praktek
di masyarakat, bisa terjadi UU tersebut memaksa masyarakat untuk mematuhi hukum
tersebut atau bisa saja apa yang diatur dalam UU tersebut tidak cocok dengan
dinamika di masyarakat.
Apapun hal yang terjadi di masyarakat, hukum harus menjawab dinamika yang
terjadi di masyarakat. Untuk itu bagaimana hukum menjawab dinamika masyarakat
menjadi hal yang terpenting, baik bagi masyarakat ataupun bagi pembuat hukum itu
sendiri. Ada 2 teori untuk menjawab bagaimana hukum harus menjawab dinamika di
masyarakat. Pertama hukum yang dibentuk memaksa masyarakat untuk taat dan patuh
atas penerapan dan penegakan hukum di masyarakat. Kedua, hukum yang dibentuk
tidak sesuai dengan kondisi dinamika di masyarakat, sehingga hukum tersebut diubah
karena segala dinamika di masyarakat
Ketika hukum dituntut untuk menjawab permasalahan yang terjadi di
masyarakat, hal yang terpenting yaitu bagaimana dinamika di masyarakat itu sendiri.
Bisa saja terjadi dinamika di masyarakat dalam kondisi yang normal ataupun terjadinya
yang tidak normal atas dinamika masyarakat tersebut.
Pentingnya hukum untuk menjawab hal yang terjadi di masyarakat, dapat
dilakukan melalui dua hal yaitu: 1) menerapkan kepastian hukum yang terkandung
dalam setiap UU, sebelum suatu peristiwa hukum terjadi, atau 2) menggunakan
keadilan hukum di badan peradilan apabila telah terjadi peristiwa hukum, perbuatan
hukum, subyek hukum dan pihak dalam hukum hukum tersebut.
Bagi orang yang mengedepankan kepastian hukum tersebut, maka orang
tersebut lebih menggunakan hukum sebagai panglima, sedangkan bagi orang yang
menggunakan keadilan hukum di badan peradilan, maka orang tersebut lebih
115
Copyrights by Ronny Bako (rshbako@fhuph2023).
This is paper is protected by The Indonesian Copyrights Law. Should you wish to copy or reproduce
any part of this paper, a prior written approval from the writer shall first be obtained.
Bahan Kuliah: Ilmu Perundang-undangan
Dosen Pengampu: DR Ronny Bako, SH, MH. Advokat
Hanya dapat dipergunakan di lingkungan FH UPH.
menggunakan hukum sebagai politik hukum. Jadi berdasarkan dua prinsip ini,
dikembalikan ke masyarakat dan negara dalam menggunakan hukum di masyarakat,
apakah mengedepankan kepastian hukum atau menggunakan keadilan hukum. Dalam
teori hukum, apapun yang dipilih atau digunakan oleh setiap orang, maka kedua pilihan
hukum tersebut sah-sah saja, karena tidak ada yang berani mengatakan kepastian
hukum lebih bagus dari keadilan hukum dan sebaliknya.

HUKUM YANG MENGUBAH MASYARAKAT


Hal terpenting atau hal yang terutama yang harus diketahui bahwa hukum
diciptakan untuk menghasilkan ketentraman dan keamanan di masyarakat. Hukum
tidak berkeinginan terjadinya hal yang tidak tentram atau hal yang tidak aman di
masyarakat. Untuk itu hukum diciptakan untuk mengatasi hal tersebut. Ketika hukum
diciptakan diharapkan dapat mengubah segala hal yang terjadi di masyarakat.
Ketika suatu UU diberlakukan, maka UU sebagai hukum akan memaksa
masyarakat untuk patuh dan taat kepada hukum tersebut. Kepatuhan hukum dalam
bentuk penerapan hukum dan penegakan hukum. Ketaatan hokum terjadi apabila
kepatuhan hukum ini memaksa masyarakat untuk mengubah agar sesuai dengan apa
yang tertulis dalam hukum tersebut. Oleh karena itu ketika masyarakat patuh dan aat
akan hukum tersebut, maka otomatis hukum akan mengubah masyarakat. Contoh
sederetan UU sebagai hukum yang mengubah masyarakat, antara lain:
1. Setiap orang dewasa wajib memiliki identitas. UU Administrasi Kependudukan.
2. Setiap orang yang akan menikah tunduk pada UU Perkawinan.
3. Setiap orang Indonesia wajib memiliki BPJS sebagaimana diatur dalam UU
BPJS.
4. Setiap orang yang terlibat tindak pidana narkotika atau korupsi akan dikenakan
sanksi hukuman pemidanaan sesuai dengan UU tersebut.
Ciri utama dari hukum yang mengubah masyarakat tersebut dikembalikan
kepada norma hukum sebagiamana teori ilmu hukum pada umumnya, yaitu Kaedah
Hukum Kebolehan, Suruhan atau Larangan. Ketika macam kaedah hukum inilah yang

116
Copyrights by Ronny Bako (rshbako@fhuph2023).
This is paper is protected by The Indonesian Copyrights Law. Should you wish to copy or reproduce
any part of this paper, a prior written approval from the writer shall first be obtained.
Bahan Kuliah: Ilmu Perundang-undangan
Dosen Pengampu: DR Ronny Bako, SH, MH. Advokat
Hanya dapat dipergunakan di lingkungan FH UPH.
memaksa masyarakat untuk mematuhi hukum tersebut sesuai dengan jenis kaedah
hukum yang dimaksud dalam setiap UU.
Hukum yang mengubah masyarakat bisa sekarang sukarela ataupun secara
paksaan. Sifat sukarela ini sesuai dengan sifat fakultatif dalam UU tersebut, baik
kaedah kebolehan ataupun kaedah suruhan sebagaimana diatur dalam UU tersebut.
Sifat paksaan dari hukum yang mengubah masyarakat sesuai dengan sifat imperative
dalam UU tersebut,
Tabel 17
Hukum Yang Mengubah Masyarakat

Dinamika di Sifat Kaedah Hukum UU


masyarakat
Perempuan 16 Sifat sukarela Kaedah Kebolehan UU Perkawinan
tahun dan pria 19
tahun boleh
menikah
Setiap warganegara Kaedah Suruhan UU BPJS
yang ingin hidup
sehat memiliki
BPJS

Orang yang Sifat Paksaan Kaedah Suruhan UU Lalu Lintas


bepergian ke luar Devisa
negeri dibatasi
dalam membawa
uang
Setiap orang yang Kaedah Larangan UU Tindak Pidana
korupsi atau Korupsi
menyalahgunakan
wewenang akan
dihukum

117
Copyrights by Ronny Bako (rshbako@fhuph2023).
This is paper is protected by The Indonesian Copyrights Law. Should you wish to copy or reproduce
any part of this paper, a prior written approval from the writer shall first be obtained.
Bahan Kuliah: Ilmu Perundang-undangan
Dosen Pengampu: DR Ronny Bako, SH, MH. Advokat
Hanya dapat dipergunakan di lingkungan FH UPH.
HUKUM YANG DIUBAH OLEH MASYARAKAT
Sesuai dengan prinsip hukum yaitu hukum yang tidak abadi atau hukum yang
tidak langgeng bisa terjadi karena tingginya dinamika di masyarakat. Adapun dinamika
di masyarakat bisa terjadi dalam beberapa perspektif, antara lain:
1. Hukum tidak sesuai dengan perkembangan jaman, baik karena keberlakukan UU
lebih dari 10 tahun atau dinamika di masyarakat lebih cepat dibandingkan hukum
itu sendiri. Misal di era saat ini semua menggunakan media sosial, sedangkan
hukum yang mengatur media sosial tidak dapat mengikuti perkembangan media
sosial yang ada.
2. Hukum yang diberlakukan di masyarakat di tentang oleh pengguna hukum di
masyarakat karena hukum tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan ataupun
keingian orang yang bersangkutan. Misal ada orang tertentu enggan memiliki
BPJS atau orang yang tidak mau memiliki NPWP walaupun penghasilannya di
atas PTKP (UU Pajak Penghasilan jo UU Ketentuan Umum Perpajakan);
3. Hukum yang diberlakukan di masyarakat dilanggar oleh masyarakat, walaupun
masyarakat menyadari adanya sangsi hukuman pemidanaan terhadap
pelanggaran hukum tersebut. Misal UU yang melakukan tindak pidana korupsi.
4. Hukum yang diberlakukan dimasyarakat dilanggar dilakukan dan melakukan
perlawanan hukum ke badan peradilan. Misal melakukan pengujian UU ke
Mahkamah Konstitusi dan/atau melakukan pengujian peraturan pelaksanana UU
ke Mahkamah Agung.
Berdasarkan perspektif di atas, maka hukum yang ada harus diubah sesuai
dengan perspektif hukum di atas. Ada beberapa model hukum yang menyebabkan
hukum diubah oleh perspekstif di atas, antara lain:
1. Dalam hal perspektif perkembangan masyarakat tinggi intensitasnya sehingga
hukum yang ada tidak bisa untuk diterapkan atau ditegakkan, maka hukum yang
ada harus diubah. Bentuk pengubahan hukum dimaksud dengan melakukan a)
perubahan hukum atau perubahan UU yang ada, misal UU Informasi Transaksi
Elektronik atau b) melakukan penggantian hukum atau penggantian UU yang
ada. Misal dinamika pencucian uang di masyarakat.
118
Copyrights by Ronny Bako (rshbako@fhuph2023).
This is paper is protected by The Indonesian Copyrights Law. Should you wish to copy or reproduce
any part of this paper, a prior written approval from the writer shall first be obtained.
Bahan Kuliah: Ilmu Perundang-undangan
Dosen Pengampu: DR Ronny Bako, SH, MH. Advokat
Hanya dapat dipergunakan di lingkungan FH UPH.
2. Dalam hal perspektif terjadinya pertentangan hukum di masyarakat karena
adanya masyarakat yang tidak ingin mematuhi hukum, maka hukum yang ada
diubah dengan memberikan peraturan pelaksanaan dari UU tersebut agar
penerapan hukum ataupun penegakan hukum dapat dijalankan. Misal UU
Pengampunan Pajak diikuti dengan sejumlah Peraturan Menteri Keuangan yang
mendukung UU Pengampunan Pajak tersebut.
3. Dalam hal perspektif terjadinya pelangaran hukum di masyarakat, maka hukum
yang ada diubah melalui proses hukum formil yang terkait dengan dugaan
pelanggaran hukum tersebut ataupun memperluas cakupan hukum yang terkait
dengan hukum tersebut. Proses hukum yang diubah melalui jalur hukum formil
karena UU yang bersifat materil belum membuat aturan hukum formil yang lebih
lengkap. Sedangkan memperluas cakupun hukum yang terkait dengan
pelanggaran hukum tersebut, karena ternyata dengan satu UU tidak bisa
menjangkau pelanggaran hukum tersebut atau ingin agar orang tidak lagi mudah
melakukan tindak pidana pelanggaran tersebut. Misal dalam tindak pidana
korupsi sudah digunakan hukum terkait dengan tindak pidana pencucian uang.
4. Dalam hal perspektif hukum pelanggaran hukum yang diikuti dengan
pertentangan hukum, maka hukum yang diubah yaitu bukan mengubah hukum
atau UU yang ada, tetapi bagaimana penegak hukum melawan pihak yang ingin
melakukan pengujian UU atau pengujian peraturan pelaksanaan UU tersebut.

119
Copyrights by Ronny Bako (rshbako@fhuph2023).
This is paper is protected by The Indonesian Copyrights Law. Should you wish to copy or reproduce
any part of this paper, a prior written approval from the writer shall first be obtained.
Bahan Kuliah: Ilmu Perundang-undangan
Dosen Pengampu: DR Ronny Bako, SH, MH. Advokat
Hanya dapat dipergunakan di lingkungan FH UPH.
SKEMA HUKUM DI MASYARAKAT
Hal yang harus diketahui bagaimana hukum mengatur kebutuhan di masyarakat,
yaitu:
1) Adanya perbuatan di masyarakat. Perbuatan merupakan hal yang diatur dalam
masyarakat sesuai dengan hukum yang normative. Perbuatan sebagai DO dan
dapat menjadi perbuatan dalam arti DID, atau DONE atau DOING.
2) Adanya perbuatan hukum di masyarakat. Perbuatan hukum merupakan hal yang
diatur dalam masyarakat sesuai dengan hukum yang normative, yaitu dalam
bentuk a)kaedah kebolehan, b) kaedah suruhan dan c) kaedah larangan.
3) Adanya peristiwa di masyarakat dan peristiwa di masyarakat sesuai dengan
hukum yang normative, yaitu a) keadaan, b) kejadian dan/atau c) keadaan dan
kejadian
4) Adanya peristiwa hukum di masyarakat dan peristiwa hukum di masyarakat
sesuai dengan hukum yang normative
5) Adanya kaedah antar pribadi sebagai PIHAK, baik pihak dalam arti a) dua pihak,
b) para pihak atau c) pihak lain.
6) Adanya subyek hukum dari pihak tersebut, dalam bentuk a) Orang Pribadi
dan/atau b) Badan hukum.

120
Copyrights by Ronny Bako (rshbako@fhuph2023).
This is paper is protected by The Indonesian Copyrights Law. Should you wish to copy or reproduce
any part of this paper, a prior written approval from the writer shall first be obtained.
Bahan Kuliah: Ilmu Perundang-undangan
Dosen Pengampu: DR Ronny Bako, SH, MH. Advokat
Hanya dapat dipergunakan di lingkungan FH UPH.
CONTOH PENDAPAT HUKUM TERKAIT DENGAN TEORI DI ATAS

Ringkasan Kliping Berita

Pada hari Senin, 24 Febuari 2020 Bea Cukai Ngurah Rai berhasil mengamankan
seorang WNI yang mencoba menyelundupkan ekspor Ilegal sebanyak 10.008 ekor bayi
Lobster. Tersangka yang berinisial AH (24) asal Meral, Riau diciduk saat melakukan
upaya percobaan penyelundupan ekspor bayi lobster di area Apron nomor B36, Bandar
Udara I Gusti Ngurah “Upaya percobaan ekspor ilegal berupa baby lobster dilakukan
oleh seorang penumpang pria melalui Pesawat Air Asia QZ504 Rute Denpasar-
Singapura," kata Plh Kepala Kantor Bea Cukai Ngurah Rai, I Bagus Putu Ari Sudana,
saat menggelar konferensi pers, di Kantor Bea Cukai Ngurah Rai, Senin (24/2/2020).
Dia mengatakan penangkapan mulanya berdasar informasi masyarakat. Petugas kami
memantau sekitar pukul 06.00 WITA dari check in area, ruang tunggu keberangkatan,
sampai mengikuti bus yang mengangkut tersangka dari Gate 6B menuju pesawat. "Saat
dilakukan pemeriksaan terhadap AH, dia kedapatan membawa delapan bungkus bayi
lobster yang disimpan di dalam tas," ujarnya.
Dia merincikan, timnya menemukan barang bukti sebanyak tujuh kantong plastik
berisi bayi lobster jenis pasir sebanyak 9.028 ekor dan satu kantong plastik berisi bayi
lobster jenis Mutiara sebanyak 980 ekor dengan total seluruhnya sebanyak 10.008
ekor.
Barang bukti tersebut disembunyikan tersangka dalam tas ransel berwarna hitam.
Pihaknya memperkirakan nilai jual atas keseluruhan barang bukti tersebut ditaksir
sebesar Rp1,5 miliar.
"Saat ini sedang dilakukan penyidikan lebih lanjut. Kami mengapresiasi kerja sama dari
berbagai pihak, harapannya agar kerja sama ini dapat tetap terjaga," jelasnya.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERKAITAN DENGAN ARTIKEL


SAYA ADALAH:
1. Undang-Undang No 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan.
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 155/PMK. 04/2008 Tentang Pemberitahuan
Pabean
3. Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-21/BC/2018 Tentang
Pemberitahuan Pabean Ekspor

121
Copyrights by Ronny Bako (rshbako@fhuph2023).
This is paper is protected by The Indonesian Copyrights Law. Should you wish to copy or reproduce
any part of this paper, a prior written approval from the writer shall first be obtained.
Bahan Kuliah: Ilmu Perundang-undangan
Dosen Pengampu: DR Ronny Bako, SH, MH. Advokat
Hanya dapat dipergunakan di lingkungan FH UPH.
PENDAPAT HUKUM PUTRI KURNIA SARI1
Ketika suatu Undang-Undang sudah disahkan dan diundangkan, maka Undang-
Undang tersebut sudah menjadi hukum dan mempunyai konsekuensi dimana semua
masyarakat yang ada Indonesia, baik itu Warga Negara Indonesia atau Warga Negara
Asing harus mematuhi Undang-Undang tersebut. UU sebagai hukum tersebut akan
diterapkan dan ditegakkan di masyarakat. Penerapan Hukum berarti hukum yang boleh
dilakukan atau makna hukum yang disuruh untuk dilakukan sedangkan Penegakan
Hukum memiliki makna hukum yang disuruh untuk dilakukan atau dilarang untuk
dilakukan karena adanya sanksi hukum yang akan dijatuhkan atau adanya proses
hukum yang akan terjadi. UU yang tertulis memiliki sifat normatif tapi sifat tersebut
dapat berubah menjadi empiris ketika UU sudah diudangkan. Makna hukum yang
empiris adalah bagaimana makna hukum normatif tersebut dapat diberlakukan di
masyarakat sesuai dengan fakta hukum atau kasus hukum yang terjadi di masyarakat.
Sifat empiris UU tersebut bisa terjadi dalam 2 segi, yaitu 1) hukum yang normatif
menjadi hukum yang empiris manakala aturan tertulis tersebut terjadi di masyarakat,
serta adanya 2) empirical case atau kasus yang terjadi di masyarakat dimana terdapat
lebih dari satu hukum tertulis atau lebih dari suatu UU.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan telah disahkan dan
diundangkan pada tanggal 15 November tahun 2006, maka sejak 15 November 2016
Undang-Undang tersebut adalah hukum dan seluruh masyarakat di Indonesia harus
mematuhi segala peraturan perundang-undangan yang ada di dalam UU tersebut. UU
Kepabeanan akan diterapkan dan ditegakkan di masyarakat dan telah terjadi
perubahan dari UU Kepabeanan yang bersifat normatif menjadi empiris karena adanya
kasus yang terjadi di masyarakat, seperti contohnya kasus penyelundupan 10.008 Bayi
Lobster dari Bali menuju Singapura.

1 Jawaban UAS Putri Kurnia Sari, NIM 01051180211 dalam UAS April 2020
122
Copyrights by Ronny Bako (rshbako@fhuph2023).
This is paper is protected by The Indonesian Copyrights Law. Should you wish to copy or reproduce
any part of this paper, a prior written approval from the writer shall first be obtained.
Bahan Kuliah: Ilmu Perundang-undangan
Dosen Pengampu: DR Ronny Bako, SH, MH. Advokat
Hanya dapat dipergunakan di lingkungan FH UPH.
Keajegan UU Sebagai Hukum Normatif
UU bersifat ajeg karena UU sifatnya yang normatif. Sifat keajegan tersebut
tampak dari apa yang tertulis atau apa yang tersurat dalam UU tersebut sebagai
hukum. Pembaca UU hanya membaca yang tertulis dan yang tersurat dalam UU
tersebut. Pembaca UU tidak boleh menambah atau mengurangi kata atau kalimat
dalam UU tersebut. Ada beberapa ciri UU sebagai hukum normatif seperti:
1. UU sebagai hukum tidak dapat bicara kepada pembaca UU;
2. Pembaca UU yang harus dapat mengartikan apa yang tertulis dalam UU
tersebut;
3. Dalam memberikan makna dalam UU tersebut, maka membaca UU mengartikan
apa yang tertulis, baik untuk dilaksanakan segera (reading in law) atau apa yang
tertulis tidak segera dilaksanakan (reading by law);
4. Setiap hukum yang tertulis dalam UU masih bersifat diksi (sesuatu yang dapat
terjadi) dan bisa menjadi fiksi (sesuatu kejadian yang dapat terjadi dengan
adanya beberapa contoh)
5. Dalam membaca UU tersebut, pembaca dapat memperkirakan apakah fiksi2
dalam UU tersebut dapat terjadi di masyarakat (fiksi ke fakta), atau apakah fakta
tersebut dapat terjadi menurut hukum (fakta ke fakta hukum)?

Pembuat UU juga menyadari bahwa dalam praktek bisa saja aturan hukum tersebut
tidak sama dengan apa yang terjadi di masyarakat, tetapi karena keajegan hukum
maka jelas apa yang tertulis atau apa yang tersurat merupakan batas dasar dari hukum
tersebut.

123
Copyrights by Ronny Bako (rshbako@fhuph2023).
This is paper is protected by The Indonesian Copyrights Law. Should you wish to copy or reproduce
any part of this paper, a prior written approval from the writer shall first be obtained.
Bahan Kuliah: Ilmu Perundang-undangan
Dosen Pengampu: DR Ronny Bako, SH, MH. Advokat
Hanya dapat dipergunakan di lingkungan FH UPH.
Keajegan Hukum Normatif Menjadi Hukum Empiris
Sifat hukum empiris terjadi manakala setiap UU diundangkan untuk diberlakukan
di masyarakat. Pada fase UU menjadi hukum yang empiris, maka ada beberapa fase
yang membuat hukum normative menjadi hukum yang empiris, salah satunya bahwa
Hukum yang diterima secara sukarela, karena sejak UU diundangkan maka dianggap
setiap harus harus tahu dan menerimanya. Hal ini sejalan dengan adagium UU yang
terdapat setelah pasal terakhir pada setiap UU, yaitu pada kalimat, “agar setiap orang
mengetahuinya dan menempatkan dalam lembaran negara…..”
Menurut Putri terkait dengan teori di atas, UU Kepabeanan tidak bisa berbicara
kepada pembaca dan pembaca harus dapat mengartikan apa yang tertulis di UU
Kepabeanan. UU Kepabeanan juga telah diterima secara sukarela sejak diundangkan
pada tahun 2006 dan masyarakat dianggap mengetahui isi dari UU tersebut. Jika
dihubungkan dengan kasus penyelundupan lobster di bandara Ngurah Rai Bali,
tersangka yang berinisial AH akan membaca UU Kepabeanan dengan read in law
(untuk segera dilaksanakan) karena ia akan melakukan kegiatan ekspor dan AH sudah
pastinya tahu dan mengerti bahwa semua orang yang ingin melakukan kegiatan ekspor,
harus mengisi pemberitahuan pabean ekspor dan jika ia tidak melakukannya maka
akan ada tanggung gugat yang harus ia laksanakan. Keajegan UU Kepabeanan dalam
kasus ini adalah semua orang harus memenuhi kewajiban pabean dengan mengisi
pemberitahuan pabean dan karena keajegan tersebut, semua aturan yang diatur dalam
UU Kepabeanan menjadi jelas batas dasarnya. Terdapat 3 peraturan perundang-
undangan yang mengatur tentang pemberitahuan pabean yaitu UU No 17 Tahun 2006
tentang Kepabeanan, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 155/PMK. 04/2008 Tentang
Pemberitahuan Pabean dan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-
21/BC/2018 Tentang Pemberitahuan Pabean Ekspor.
Untuk Pengertian pemberitahuan pabean terdapat dalam Pasal 1 angka 7 UU
Kepabeanan yaitu: “Pemberitahuan pabean adalah pernyataan yang dibuat oleh orang
dalam rangka melaksanakan kewajiban pabean dalam bentuk dan syarat yang
ditetapkan dalam Undang-Undang ini.”

124
Copyrights by Ronny Bako (rshbako@fhuph2023).
This is paper is protected by The Indonesian Copyrights Law. Should you wish to copy or reproduce
any part of this paper, a prior written approval from the writer shall first be obtained.
Bahan Kuliah: Ilmu Perundang-undangan
Dosen Pengampu: DR Ronny Bako, SH, MH. Advokat
Hanya dapat dipergunakan di lingkungan FH UPH.
Aturan kewajiban pemberitahuan pabean dan sanksi atas pelanggaran tertulis di
Pasal 11A ayat (1) dan Pasal 102a huruf a UU Kepabeanan:
Pasal 11A ayat (1) berbunyi:
“Barang yang akan diekspor wajib diberitahukan dengan pemberitahuan
pabean.”
Pasal 102a huruf a berbunyi:
“Setiap orang yang:
a. mengekspor barang tanpa menyerahkan pemberitahuan pabean;
b. dengan sengaja memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang ekspor dalam
pemberitahuan pabean secara salah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11A
ayat (1) yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan negara di bidang
ekspor;
c. memuat barang ekspor di luar kawasan pabean tanpa izin kepala kantor
pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11A ayat (3);
d. membongkar barang ekspor di dalam daerah pabean tanpa izin kepala kantor
pabean; atau
e. mengangkut barang ekspor tanpa dilindungi dengan dokumen yang sah
sesuai dengan pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9A
ayat (1),
dipidana karena melakukan penyelundupan di bidang ekspor dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).”

Berdasarkan pasal tersebut juga dapat terlihat bahwa ada perubahan sifat UU
dari diksi (sesuatu yang dapat terjadi) menjadi fiksi (sesuatu kejadian yang dapat
terjadi) kemudian menjadi fakta dan akhirnya menjadi fakta hukum. Dari pasal yang
mengatur tentang kewajiban pemberitahuan pabean menjadi menjadi sesuatu kejadian
penyelundupan yang dapat terjadi (fiksi) kemudian berubah menjadi fakta dimana
seseorang, di dalam kasus ini AH melakukan tindakan penyelundupan lobster sampai

125
Copyrights by Ronny Bako (rshbako@fhuph2023).
This is paper is protected by The Indonesian Copyrights Law. Should you wish to copy or reproduce
any part of this paper, a prior written approval from the writer shall first be obtained.
Bahan Kuliah: Ilmu Perundang-undangan
Dosen Pengampu: DR Ronny Bako, SH, MH. Advokat
Hanya dapat dipergunakan di lingkungan FH UPH.
akhirnya menjadi fakta hukum yaitu AH melanggar pasal 102a karena melakukan
penyelundupan lobster.

Hukum Empiris Di Masyarakat


Dugaan suatu peristiwa hukum
Setiap peristiwa hukum atau perbuatan hukum yang tertulis dalam UU sebagai
hukum yang normatif, secara teori dapat dimungkinkan menduga suatu peristiwa
hukum atau perbuatan hukum. Dugaan ini bisa dilatar belakangi karena adanya fiksi
hukum dalam setiap hukum normatif. Setiap pembaca UU dapat membuat suatu fiksi
hukum terhadap semua yang diatur tertulis dalam UU. Fiksi hukum tersebut dapat
menjadi fakta hukum, oleh sebab itu para pembentuk UU sudah bisa memperkirakan
hal empiris apa yang akan terjadi dengan dibentuknya suatu UU.

Ciri-Ciri Hukum Empiris


1. Ada hukum yang sengaja dilanggar atau ada niat (mensrea) untuk melanggar
hukum tersebut.
2. Ciri subyektif hukum seperti a) peristiwa hukum, b) perbuatan hukum, c) subyek
hukum, dan d) pihak, terjadi di masyarakat.
3. Adanya sejumlah barang bukti yang menjadi alat bukti, baik alat bukti menurut
hukum pidana dan/atau alat bukti menurut hukum perdata.

Putri setuju bahwa Hukum Empiris di Masyarakat karena memang dengan


membaca UU Kepabeanan saya bisa menduga suatu peristiwa hukum atau perbuatan
hukum yang akan terjadi di masyarakat. Dari membaca Pasal 11a saya dapat menduga
bahwa dapat terjadi suatu peristiwa hukum atau perbuatan hukum yaitu tindakan
penyelundupan dan benar saja di masyarakat banyak terjadi kasus penyelundupan,
salah satunya adalah kasus penyelundupan lobster di bandara Ngurah Rai Bali. Dan
kasus tersebut memenuhi ciri-ciri hukum empiris yaitu pasal 11a sengaja dilanggar oleh
AH, kemudian kasus penyelundupan tersebut memenuhi ciri-ciri subjektif yaitu subyektif
hukum seperti:
126
Copyrights by Ronny Bako (rshbako@fhuph2023).
This is paper is protected by The Indonesian Copyrights Law. Should you wish to copy or reproduce
any part of this paper, a prior written approval from the writer shall first be obtained.
Bahan Kuliah: Ilmu Perundang-undangan
Dosen Pengampu: DR Ronny Bako, SH, MH. Advokat
Hanya dapat dipergunakan di lingkungan FH UPH.
a. Peristiwa Hukum : Peristiwa hukum 1 arah yaitu penyelundupan lobster
b. Perbuatan hukum : Penyelundupan lobster di bandara Ngurah Rai Bali
c. Subyek hukum : Orang Pribadi (AH) dan Badan Hukum (Kantor Bea Cukai)
d. Pihak : Dua Pihak yaitu AH dengan Kantor Bea Cukai
Kemudian ada sejumlah barang bukti yaitu tujuh kantong plastik berisi bayi lobster jenis
pasir sebanyak 9.028 ekor dan satu kantong plastik berisi bayi lobster jenis Mutiara
sebanyak 980 ekor dengan total seluruhnya sebanyak 10.008 ekor yang bisa dijadikan
sebagai alat bukti di menurut hukum pidana di pengadilan.

HUKUM HARUS MENJAWAB


UU di masyarakat diharapkan bisa menjawab dinamika di masyarakat. Di sisi
teori, UU sebagai hukum tersebut merupakan hasil ciptaan pembuat UU untuk
mengatasi dinamika di masayrakat atau sesuatu yang memerlukan pengaturan di
masyarakat. Di sisi praktek di masyarakat, bisa terjadi UU tersebut memaksa
masyarakat untuk mematuhi hukum. Apapun hal yang terjadi di masyarakat, hukum
harus menjawab dinamika yang terjadi di masyarakat. Untuk itu bagaimana hukum
menjawab dinamika masyarakat menjadi hal yang terpenting, baik bagi masyarakat
ataupun bagi pembuat hukum itu sendiri. Ada 2 teori untuk menjawab bagaimana
hukum harus menjawab dinamika di masyarakat. Pertama, hukum yang dibentuk
memaksa masyarakat untuk patuh atas penerapan dan penegakan hukum di
masyarakat. Kedua, hukum yang dibentuk tidak sesuai dengan kondisi dinamika di
masyarakat, sehingga hukum tersebut diubah karena segala dinamika di masyarakat.
Pentingnya hukum untuk menjawab hal yang terjadi di masyarakat, dapat
dilakukan melalui dua hal yaitu: 1) menerapkan kepastian hukum yang terkandung
dalam setiap UU, sebelum suatu peristiwa hukum terjadi, atau 2) menggunakan
keadilan hukum di badan peradilan apabila telah terjadi peristiwa hukum, perbuatan
hukum, subyek hukum dan pihak dalam hukum hukum tersebut. Jadi berdasarkan dua
prinsip ini, dikembalikan ke masyarakat dan negara dalam menggunakan hukum di
masyarakat, apakah mengedepankan kepastian hukum atau menggunakan keadilan
hukum.
127
Copyrights by Ronny Bako (rshbako@fhuph2023).
This is paper is protected by The Indonesian Copyrights Law. Should you wish to copy or reproduce
any part of this paper, a prior written approval from the writer shall first be obtained.
Bahan Kuliah: Ilmu Perundang-undangan
Dosen Pengampu: DR Ronny Bako, SH, MH. Advokat
Hanya dapat dipergunakan di lingkungan FH UPH.
Menurut Puteri bahwa UU Kepabeanan dibuat untuk menjawab dinamika yang
terjadi di masyarakat dan kedua teori untuk menjawab menjawab dinamika di
masyarakat berhubungan dengan UU Kepabeanan. Teori pertama, hukum yang
dibentuk memaksa masyarakat untuk patuh atas penerapan dan penegakan hukum di
masyarakat. Sebelum UU No 17 Tahun 2006 disahkan, UU yang mengatur
Kepabeanan adalah UU No 10 Tahun 1995 dimana UU No 10 Tahun 1995 tersebut
dibuat dengan bentuk memaksa agar masyarakat bisa patuh. Kemudian masuk ke
Teori Kedua dimana hukum yang dibentuk tidak sesuai dengan kondisi dinamika di
masyarakat, sehingga hukum tersebut diubah karena segala dinamika di masyarakat.
Dikarenakan beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995
tentang Kepabeanan sudah tidak sesuai dengan penyelenggaraan kepabeanan maka
perlu dilakukan perubahan atas UU tersebut, sebagai contoh dalam Pasal 11 ayat (3)
UU Kepabeanan Tahun 1995, ayat tersebut berbunyi:
“Pengangkut yang tidak memberitahukan barang yang diangkut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) dikenai sanksi administrasi berupa denda
sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).”
Seiring dengan perkembangan zaman, sanksi ini dapat dikatakan ringan dan tidak akan
membuat masyarakat takut akan konsekuensi pelanggaran kewajiban pemberitahuan
pabean. Maka dari itu, sanksi tersebut diubah dalam UU Kepabeanan Tahun 2006
menjadi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (Pasal 102a)
Kemudian hal yang dapat dilakukan untuk menjawab hal yang terjadi di
masyarakat juga berhubungan dengan kasus penyelundupan lobster di bandara Ngurah
Rai Bali. Yang pertama, dengan menerapkan kepastian hukum yang terkandung dalam
setiap UU, sebelum suatu peristiwa hukum terjadi. UU Kepabeanan telah menerapkan
kepastian hukum di dalam pasal 11A dan pasal 102a tetapi sayangnya masih ada saja
masyarakat yang sengaja melanggar aturan tersebut. Dan hal tersebut mengarahkan
kita ke tindakan kedua yaitu dengan menggunakan keadilan hukum di badan peradilan
apabila telah terjadi peristiwa hukum, perbuatan hukum, subyek hukum dan pihak

128
Copyrights by Ronny Bako (rshbako@fhuph2023).
This is paper is protected by The Indonesian Copyrights Law. Should you wish to copy or reproduce
any part of this paper, a prior written approval from the writer shall first be obtained.
Bahan Kuliah: Ilmu Perundang-undangan
Dosen Pengampu: DR Ronny Bako, SH, MH. Advokat
Hanya dapat dipergunakan di lingkungan FH UPH.
dalam hukum hukum tersebut. Dikarenakan tindakan penyelundupan tersebut sudah
terjadi, maka tindakan yang dapat dilakukan selanjutnya adalah dengan membawa
kasus tersebut ke pengadilan agar pelaku dapat diadili dengan hukum.

Hukum Yang Diubah Oleh Masyarakat


Sesuai dengan prinsip hukum yaitu hukum yang tidak abadi atau hukum yang
tidak langgeng bisa terjadi karena tingginya dinamika di masyarakat. Adapun dinamika
di masyarakat bisa terjadi adalah Hukum tidak sesuai dengan perkembangan jaman,
baik karena keberlakukan UU lebih dari 10 tahun atau dinamika di masyarakat lebih
cepat dibandingkan hukum itu sendiri.
Berdasarkan perspektif di atas, maka hukum yang ada harus diubah sesuai
dengan perspektif hukum di atas. Ada beberapa model hukum yang menyebabkan
hukum diubah oleh perspekstif di atas, antara lain: dalam hal perspektif perkembangan
masyarakat tinggi intensitasnya sehingga hukum yang ada tidak bisa untuk diterapkan
atau ditegakkan, maka hukum yang ada harus diubah. Bentuk pengubahan hukum
dimaksud dengan melakukan a) perubahan hukum atau perubahan UU yang ada atau
b) melakukan penggantian hukum atau penggantian UU yang ada.
Putri setuju bahwa Hukum dapat diubah oleh masyarakat, termasuk UU No 10
Tahun 1995 tentang Kepabeanan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
zaman dan dinamika kegiatan ekspor dan impor di masyarakat lebih cepat
dibandingkan hukum itu sendiri sehingga hukum tidak bisa untuk diterapkan atau
ditegakkan dengan baik, maka dari itu pemerintah melakukan perubahan atas UU
tersebut. Dan terbentuklah UU No 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan.

129
Copyrights by Ronny Bako (rshbako@fhuph2023).
This is paper is protected by The Indonesian Copyrights Law. Should you wish to copy or reproduce
any part of this paper, a prior written approval from the writer shall first be obtained.
Bahan Kuliah: Ilmu Perundang-undangan
Dosen Pengampu: DR Ronny Bako, SH, MH. Advokat
Hanya dapat dipergunakan di lingkungan FH UPH.
Tugas Mahasiswa:
1. Sebutkan contoh keajegan hukum yang normative dalam UU anda.
2. Sebutkan contoh bahwa ada suatu kejadian yang sudah terjadi sebelum adanya
UU anda.
3. Sebutkan contoh dari fase hukum normative menjadi hukum yang empiris sesuai
dengan UU anda.
4. Sebutkan dugaan suatu peristiwa hukum yang terkait dengan UU anda.
5. Sebutkan contoh hukum empiris yang berasal dari hukum normative dalam UU
anda
6. Sebutkan contoh hukum empiris yang membuat suatu hukum baru karena
adanya peristiwa hukum tertentu
7. Sebutkan contoh dari hukum yang mengubah masyarakat yang terkait dengan
UU anda.
8. Sebutkan contoh dari hukum yang diubah oleh masyarakat sesuai dengan
perspektif yang ada di masyarakat.
9. Ambil kasus atau perkara yang terjadi di masyarakat, dengan memetakan a)
Perbuatan, b) Perbuatan Hukum, c) Peristiwa, d) Peristiwa Hukum, e) Pihak dan
f) Subyek hukum.
10. Sebutkan siapa yang bertanggungjawab dalam satu pasal tertentu dalam UU
anda, baik tanggungjawab yang tersurat dalam UU anda atau tanggungjawab
yang tersirat dalam UU anda.
11. Sebutkan yang bertanggunggugat dalam satu pasal tertentu dalam UU anda,
baik tanggunggugat yang tersurat dalam UU anda atau tanggunggugat yang
tersirat dalam UU anda.
12. Mengapa hal tentang tanggungjawab dan tanggung gugat perlu diatur dalam UU.

130
Copyrights by Ronny Bako (rshbako@fhuph2023).
This is paper is protected by The Indonesian Copyrights Law. Should you wish to copy or reproduce
any part of this paper, a prior written approval from the writer shall first be obtained.

Anda mungkin juga menyukai