Anda di halaman 1dari 5

Dampak Pemanasan Global Terhadap Sektor Perikanan Serta

Upaya Mitigasinya

Zainal Imron Hidayat


NIM 16950179

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan pada
Magister Ilmu Lingkungan Institut Teknologi Yogyakarta

MAGISTER ILMU LINGKUNGAN


FAKULTAS TEKNIK LINGKUNGAN
INSTITUT TEKNOLOGI YOGYAKARTA
2017
Dampak Pemanasan Global Terhadap Sektor Perikanan Serta
Upaya Mitigasinya

Pemanasan Global memiliki efek yang sangat besar terhadap dunia perikanan. Bagi
Indonesia sendiri, sebagai negara dengan luas laut mencakup sekitar 70 % dari luas wilayah,
maka dampak bagi sektor ini sangatlah terasa. Pemanasan Global menyebabkan terjadinya
perubahan iklim, dimana segala dinamika atmosfer akan mengalami perubahan yang besar
dan akan memberi dampak, misalnya terbentuknya cuaca buruk dan ekstrim. Bagi sektor
kelautan dan perikanan sendiri, cuaca buruk dan ektrim yang diikuti dengan gelombang
besar, badai, dan rob yang terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia telah menyengsarakan
kehidupan nelayan dan pembudidaya ikan, khususnya pembudidaya tambak di kawasan
pesisir laut. Ratusan ribu nelayan tidak bisa melaut dan terdapat pula ancaman nelayan hilang
akibat tergulung ombak besar. Jikapun ada daerah-daerah pesisir dan laut yang agak teduh,
nelayan harus menangkap ikan lebih jauh dari daratan ke tengah laut, karena daerah
penangkapan ikan (fishing grounds) nya semakin jauh ke arah laut lepas. Hal ini tentu telah
menyebabkan peningkatan biaya melaut. Ribuan hektar tambak di Pantura mengalami rusak
berat akibat terjangan gelombang, rob, dan badai. Pembudidaya rumput laut, baik jenis
Gracilaria sp yang ditambak maupun jenis Eucheuma cotonii yang di laut, di beberapa
daerah Pantura, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan NTB, banyak yang mengalami
penurunan produktivitas. Hal ini disebabkan karena airnya menjadi lebih tawar dan keruh,
atau terlanda rob.
Dampak lain Pemanasan Global salah satunya adalah menyebabkan penurunan
produksi ikan. Pemanasan global menjadi penyebab naiknya permukaan air laut, turunnya
produksi ikan di beberapa daerah di Indonesia, serta turunnya kualitas dan persediaan air
tanah. Belum lagi, kenaikan permukaan laut akan menyebabkan semakin intensifnya abrasi
oleh air laut. Kita sudah tahu bahwa abrasi di beberapa daerah sudah mencapai taraf yang
mengkhawatirkan, belum lagi intrusi air laut ke sumur-sumur penduduk. Kemudian, dampak
pemanasan global selanjutnya adalah rusaknya ekosistem karang-karang di laut. Rahayu
(2009) menyatakan bahwa lautan menyerap CO 2 dari atmosfer sekitar 2.2 giga ton per tahun
atau 30% dari total CO2 yang dihasilkan oleh aktivitas manusia. CO2 yang masuk kedalam
laut berbentuk asam karbonat (carbonic acid) yang akan membuat laut semakin asam. Hal ini
akan membuat pH air laut turun dan juga menurunkan konsentrasi ion karbonat.
Berkurangnya ion karbonat akan menurunkan kemampuan karang untuk membangun
kerangka dan struktur kerang tulang punggung gugusan koral. Perubahan suhu laut yang
mendadak dapat berdampak negatif, yaitu menurunnya kualitas hingga kerusakan ekosistem
laut dan pesisir seperti pemutihan (bleaching) terumbu karang dan kematian budidaya pesisir.
Suhu optimum untuk pertumbuhan terumbu karang adalah 25°C-29°C. Peningkatan suhu
permukaan laut antara 1°C hingga 2°C biasanya akan diikuti oleh bleaching pada koloni yang
tidak tahan terhadap perubahan lingkungan. Pada waktu El Nino kuat yang terjadi pada tahun
1997-1998, coral bleaching terjadi di beberapa wilayah perairan pesisir seperti Sumatera
Barat, Sumatera bagian timur, Kepulauan Seribu, Bali, Karimunjawa, Gili Lombok, dan
Kalimantan Timur (Hendiarti, 2009). Sehingga dapat disimpulkan bahwa pertukaran gas
CO2 antara laut dan atmosfer dikarenakan perubahan suhu air laut (menghangat) akan
berdampak pada penambahan gas CO2 di atmosfer. Para ilmuwan dari Universitas Plymouth
di Inggris melakukan evaluasi dampak karbon dioksida yang diserap laut melalui sebuah
studi di lubang CO2 alamiah yang ditemukan di Laut Mediterania. Studi tersebut
menunjukkan bahwa di dekat lubang dasar laut ini, CO 2 membuat air menjadi lebih asam dan
mengakibatkan hilangnya keanekaragaman laut dalam perbandingan yang sama dengan
pengasaman. Karena berkurangnya kalsium di air yang asam, kerangka keong menjadi
hancur dan terumbu karang tidak dapat terbentuk.
Selanjutnya, adalah penurunan populasi ikan-ikan hiu dan anjing laut. Studi baru-baru
ini yang dimuat dalam jurnal Pelestarian Biologi menyatakan bahwa populasi dari banyak
spesies ikan hiu yang berkurang dengan cepat membuat para ilmuwan prihatin tentang
dampaknya terhadap ekosistem laut secara keseluruhan. Kelompok-kelompok pelestarian
menyerukan agar dilakukan langkah-langkah global untuk melindungi ikan hiu itu, bahkan
beberapa jenis hampir lenyap sama sekali. Setelah tidak terlihat selama lebih dari 50 tahun,
anjing laut di Karibia atau India Barat sekarang dinyatakan punah. Anjing laut subtropis yang
pernah ditemukan secara berlimpah di Laut Karibia, Teluk Meksiko, dan sebelah barat
Samudera Atlantik, pada dasarnya diburu sampai punah. Dua spesies berhubungan lainnya,
anjing laut Mediteranian dan Hawai baru-baru ini terdaftar sebagai satwa yang terancam
punah, dengan perlindungan intensif yang diperlukan untuk menghindari kepunahan.
Dampak lainnya adalah penurunan salinitas (tingkat keasinan) air laut. Sejak akhir
tahun 1960-an, sebagian besar air Samudra Atlantik Utara menjadi kurang asin (Mahale,
2009). Penyebabnya adalah peningkatan jumlah air tawar yang masuk ke laut akibat
pemanasan global. Kini untuk pertama kalinya para peneliti mengukur aliran air tawar yang
masuk, memungkinkan mereka untuk memperkirakan efek jangka panjang terhadap lautan
dunia. Perubahan iklim di belahan bumi utara telah melelehkan gletser dan membawa lebih
banyak hujan dan menyebabkan lebih banyak air tawar mengalir ke laut. Akibat langsungnya
adalah kenaikan permukaan air laut dan tenggelamnya wilayah pesisir. Bila banyaknya air
tawar yang masuk ke laut mengubah aliran ini baik musiman maupun jangka panjang maka ia
akan mempengaruhi banyak hal, mulai terbentuknya badai hingga banjir dan udara panas
maupun dampak ekologi terhadap kehidupan organisme di laut. Pengaruh lainnya adalah
dengan mencairnya es di kutub, maka akan meningkatkan permukaan air laut. Kenaikan suhu
permukaan ini juga menyebabkan mencairnya permukaan es di dunia yang keseluruhannya
seluas 23 juta km2 maka air laut akan naik 1,7 % atau sekitar 180 ft, yang bisa
menenggelamkan 20 tingkat gedung Empire State di New York.
Pemanasan global juga berdampak pada organisme-organisme yang hidup di laut.
Hasil penelitian Global Coral Reef Monitoring Network menunjukkan, lebih dari dua pertiga
terumbu karang di seluruh dunia telah rusak, bahkan terancam punah (Arvian, 2006).
Ancaman ini tak lain karena adanya pemanasan global yang tengah terjadi. Laporan yang
dipublikasikan awal minggu ini menyebutkan, berbagai ancaman dapat berisiko bagi
kelangsungan terumbu karang, semisal polusi, pencemaran, penangkapan ikan berlebihan,
kenaikan temperatur, dan penggunaan sianida dan bom untuk menangkap ikan. Pasalnya,
kenaikan temperatur secara mendadak meski kecil menyebabkan terumbu karang "memutih"
karena terlepasnya ganggang dari jaringan terumbu. Laporan Global Coral Reef Monitoring
Network juga menyebutkan kepunahan terumbu karang menyebabkan hilangnya daerah
pesisir, dan membuka peluang terjadinya pengikisan yang disebabkan gelombang laut.
Meningkatnya temperatur, kenaikan jumlah CO 2 yang dirasakan air laut membuat
jumlah karang yang dapat mengeras karena kapur atau tengah membentuk terumbu menurun.
Sebab itu, para peneliti yang tergabung dalam Global Coral Reef Monitoring
Network mengusulkan pengurangan emisi gas CO2 dan efek rumah kaca lainnya untuk
menyelamatkan terumbu (Arvian, 2006). Kerusakan terumbu karang secaa tidak langsung
mengancam kehidupan organisme lain yang menghuni terumbu karang. Selain itu terumbu
karang juga dikenal sebagai tempat mencari makan dan memijah bagi sebagian besar
organisme. Kerusakan terumbu karang bisa berdampak punahnya sebagian besar organisme.
Salah satu keuntungan pemanasan global yaitu pada Caulerpa taxiola yang merupakan
tumbuhan lunak berwarna hijau cerah berukuran kecil, hidup di wilayah perairan pasifik
tropis yang mati apabila suhu turun di bawah 700 F.
Terdapat tiga strategi adaptasi yang dapat dilakukan di lingkup sektor kelautan dan
perikanan dalam meminimalisir atau bahkan menghindari dampak negatif dari Pemanasan
Global. Strategi adaptasinya adalah sebagai berikut :
1) Pendekatan protektif (membuat perlindungan), yaitu dengan menanam tanaman
(mangrove dan tumbuhan pantai lainnya) atau bangunan (pemecah gelombang, groin,
pematang, dan lainnya) yang secara langsung dapat menahan kenaikan muka laut,
hantaman gelombang besar dan rob.
2) Pendekatan akomodatif atau melakukan penyesuaian baik secara fisik maupun sosial-
ekonomi dan budaya hidup. Contohnya adalah : (1) masyarakat pesisir beralih ke
mata pencaharian lain yang kemungkinan tidak akan terkena dampak perubahan
iklim, (2) pengembangan spesies budidaya yang tahan terhadap kenaikan suhu, banjir,
dan dampak perubahan iklim lainnya (misalnya melalui rekayasa genetik dan
aklimatisasi), dan (3) pengembangan teknologi produksi (perikanan tangkap maupun
perikanan budidaya) baru yang sesuai dengan keadaan yang bakal terjadi akibat
perubahan iklim global.
3) Pola retreat (mundur), dengan bermukim, membangun infrastruktur dan bangunan
jauh dari bibir pantai atau membuat dan mengimplementasikan tata ruang berbasis
perubahan iklim global.

Daftar Pustaka

Bayong T., 1999. Klimatologi Umum. Penerbit ITB. Bandung.


Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu, 2001., Pengelolaan Sumber Daya Pesisir
dan Lautan Secara Terpadu, Pradnya Paramita, Jakarta.
IPCC 2007: Climate change 2007: Mitigation. Contribution of Working Group III to the
Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change
[B.Metz, O. R. Davison, P. R. Bosch, R. Dave, and L. A. Meyer (eds)],
Cambridge: Cambridge University Press.
IPCC. 2007. Impacts, Adaptation and Vulnerability. Working Group II IPCC, Cambridge
University Press.

Anda mungkin juga menyukai