Anda di halaman 1dari 6

Ketika awal dimulainya era penjilidan kitab suci, fungsi sampul buku tidak lebih untuk

melindungi isi naskah yang telah disatukan. Kini, ketika buku telah menjadi salah satu
komoditas, cara menyajikan pelindung isi naskah pun telah berubah. Goresan kuas para
pelukis banyak menghias sampul buku. Sampul buku tidak lagi sekadar pelindung, tetapi
telah menjadi galeri bagi karya para pelukis ataupun perupa.

Buku berjudul Di Bawah Langit Tak Berbintang karya Utuy Tatang Sontani yang terbit
di bawah bendera Pustaka Jaya dapat dijadikan contoh. Buku terbitan tahun 2001 ini
dibungkus dengan sampul karya perupa yang aktif dalam kegiatan Jaringan Kerja Budaya
(JKB), Alit Ambara. Bahkan, dipakainya karya-karya para seniman untuk sampul buku
ini sudah dimulai oleh penerbit Pustaka Jaya sejak tahun 1971. Karya-karya pelukis
seperti Nashar, Wakidjan, IP Ma’aruf, Nana Banna, atau Popo Iskandar turut menghias
buku-buku sastra keluaran penerbit yang dikomandani Ayip Rosidi itu.

Alit Ambara

Kini Pustaka Jaya tidak sendirian. Jejak penerbit itu diikuti oleh penerbit Bentang Budaya
yang juga pada beberapa buku keluaran penerbit Yogyakarta ini memanfaatkan karya-
karya pelukis dan perupa seperti Joko Pekik, Dadang Kristanto, Agung Kurniawan, dan
Jumaldi Alfi. Kerja sama penerbit dengan para perupa atau pelukis ini menjadikan buku
tidak hanya sebagai sebuah karya intelektual, tetapi sekaligus juga karya seni.
Agung Kurniawan-Leak

Kecenderungan memanfaatkan karya perupa atau pelukis untuk dijadikan sampul sebuah
buku, di satu sisi merupakan sebuah kolaborasi kerja antara penerbit dan seniman dan
menjadikan buku tersebut sebuah karya seni. Di sisi lain, para perupa atau pelukis
mendapatkan medium untuk menggelar karya-karya mereka. Penciptaan medium baru ini
memungkinkan para perupa tetap bebas berkreasi seperti halnya ketika menuangkan
kreativitas melalui medium lukisan.

Ada dua proses yang biasanya berlangsung di dalam kolaborasi ini. Pertama, perupa
sudah membuat lukisan sebelum para penerbit mengetahuinya. Ketika para penerbit
mempunyai naskah yang isinya dianggap cocok untuk dicitrakan dengan karya si perupa,
terjadilah kolaborasi itu. Seperti yang terjadi pada karya Alfi. Ia membuat sebuah lukisan
yang menurut Buldan, dari penerbit Bentang, sangat liris dan naratif. Karya ini, menurut
dia, sangat pas untuk dijadikan kover bagi buku karya Leo Tolstoy yang berjudul
Kalender Kearifan, Pikiran Bijak Hari ke Hari.
“Ketika memilih dan membaca naskah Leo Tolstoy itu, saya langsung ingat karya Alfi
ini. Saya merasa lukisan itu sangat tepat untuk dijadikan sampul buku ini. Lukisan itu
saya potret, lalu di-scan, di-cropping sana-sini, sesuai kebutuhan desain,” papar Buldan.

Begitu pula ketika Bentang hendak menerbitkan buku Emha Ainun Nadjib berjudul
Gerakan Punokawan. Sebelum naskah buku ini akan diterbitkan, Buldan sudah
mempunyai koleksi lukisan Joko Pekik tentang punokawan. “Menurut saya, sampai saat
ini belum ada pelukis yang mampu menggambarkan punokawan atau petani dengan
begitu hidup seperti yang dilakukan Joko Pekik. Artinya, petani maupun punokawan
dilukiskan tidak sekadar sebagai obyek eksotisme, tetapi mengekspresikan sesuatu,” jelas
Buldan yang lulusan jurusan Desain Komunikasi Visual Institut Seni Indonesia (ISI).

Proses kedua, penerbit mempunyai naskah dan meminta perupa untuk membuatkan
lukisan sesuai isi naskah. Dalam proses ini, perupa akan membaca naskah dan
menginterpretasikan isi naskah. Berdasarkan interpretasi inilah ia menentukan gagasan
utama yang hendak disampaikan naskah yang dituangkan lewat goresan kuasnya. Seperti
yang dilakukan Alit Ambara ketika membuat lukisan untuk buku Di Bawah Langit Tak
Berbintang.

“Saya membaca naskah, dan dari situ saya menangkap gagasan tentang penderitaan yang
dialami para eksil, orang Indonesia yang dianggap kiri oleh rezim Orde Baru yang sedang
berada di luar negeri pada saat peristiwa tahun 1965 terjadi, dan karena itu tidak dapat
kembali ke Tanah Air. Karena konteks cerita itu adalah negeri Cina masa kekuasaan Mao
Zedong, maka saya membuat lukisan siluet Mao dan orang- orang eksil yang dalam
keadaan menderita,” tutur Alit Ambara, lulusan jurusan Seni Rupa Institut Kesenian
Jakarta (IKJ).

Pada proses kedua terjadi diskusi antara penerbit dan perupa meskipun perupa tetap bebas
menentukan citra yang akan dilukisnya. “Prinsipnya, hasil diskusi itu bukan mutlak harus
diikuti oleh perupa seperti halnya seorang ilustrator yang mengikuti apa yang
diperintahkan. Ia hanya menjadi pedoman perupa atau pelukis untuk membuat citra
lukisannya,” jelas Buldan.

Paparan ini disetujui pula oleh Alfi yang sudah menghasilkan sekitar 40-an karya lukis
untuk sampul buku. “Lukisan yang saya hasilkan semuanya berkaitan dengan proses
pencarian pribadi. Kuncinya adalah karya yang mau dihasilkan itu ada kedekatan tidak
dengan apa yang sedang saya pikirkan. Seandainya ada, berarti saya dengan mudah
mengerjakannya. Tetapi, kalau tidak ada kedekatan dan saya paksakan untuk berkarya,
hasilnya hanya berupa goresan tanpa jiwa. Kalau terjadi demikian, terpaksa saya katakan
kepada penerbit bahwa saya tidak bisa meneruskan membuat lukisan untuk sampul buku
tersebut,” tutur Alfi.

Saat ini juga terdapat kecenderungan bahwa jenis buku yang memanfaatkan karya para
perupa atau pelukis untuk sampulnya adalah buku-buku sastra, seni, dan filsafat. Hampir
tak ada buku-buku jenis How To, seperti buku-buku psikologi, manajemen, ataupun
komputer, yang memajang karya para perupa. Hal ini diakui pula oleh penerbit Bentang.
“Ada jenis-jenis buku yang mungkin justru menjadi tidak bagus kalau diberikan ilustrasi
para perupa. Buku manajemen atau komputer, misalnya, cukup ditutupi oleh karya
seorang desainer dengan penguasaan aspek-aspek visual tertentu,” jelas Buldan.

Jumaldi Alfi

Kecenderungan ini, menurut Sumbo Tinarbuko-seorang pengamat desain dan pengajar di


jurusan Desain Komunikasi Visual ISI-berkaitan dengan upaya mendongkrak oplah jenis-
jenis buku yang terbilang nonpraktis. “Pembaca buku- buku sastra, filsafat, sosial politik,
kan, terbatas jumlahnya. Ini sangat berbeda dengan buku-buku seperti marketing atau
komputer yang biasanya cukup laris. Oleh karena itu, buku-buku jenis sastra tadi perlu
dibantu dengan sampul yang menarik,” tutur Tinarbuko.

Fenomena sampul buku memakai karya perupa ini, menurut Sumbo Tinarbuko,
merupakan pengemasan cara saji buku ataupun ekspresi seni yang bervariasi.
“Analoginya adalah ada mi yang disajikan dengan cara dibungkus dan ada yang dimakan
di tempat dengan piring atau mangkok,” paparnya.

Variasi tersebut tak bisa dimungkiri, menurut Sumbo, karena itu adalah hasil kedekatan
dan kreativitas para penerbit yang secara jeli mampu menangkap media ekspresi seni
rupa alternatif selain yang selama ini sudah dikenal. Hal ini juga bisa kita lihat
kecenderungan cerpen-cerpen di surat kabar yang mulai menggunakan ilustrasi dari karya
para pelukis atau perupa.
“Meskipun ini adalah hasil rekayasa kawan-kawan pers, hal itu jelas memperkaya dunia
seni rupa kita dan memberi tantangan baru bagi para desainer komunikasi visual untuk
terbuka terhadap berbagai macam material,” tandas pengajar yang juga menjadi
konsultan desain komunikasi visual itu.

Yang Mendobrak Selera Pasar

Pembaca kini dapat menikmati seni rupa dalam sampul buku dengan berbagai gaya
lukisan dan desain warna yang sangat memikat. Gambar demikian menarik lantaran
merupakan gabungan dari dua disiplin ilmu yang sebenarnya terpisah, yaitu seni rupa dan
desain grafis. Desain sampul yang demikian seakan sudah menjadi genre baru dalam
dunia sampul buku negeri ini. Kreasi demikian tidak lepas dari sosok Harry Wahyu, atau
lebih dikenal dengan si “Ong”. Pria kelahiran Madiun, 22 Desember 1958, ini sempat
mengenyam pendidikan di Akademi Seni Rupa Indonesia, Yogyakarta, jurusan Grafic
Art, dan mempelajari seni murni tahun 1980.

Bersama rekan-rekannya dari jurusan Arsitektur UGM, Yogyakarta, Ong mendirikan


kelompok Salahuddin Press tahun 1983 yang salah satu kegiatannya siap sedia menerima
permintaan penerbit untuk membuat ilustrasi sampul buku. Semula usahanya itu
dilakukan guna mencari tambahan biaya. Namun, ternyata profesinya ini menjadi mata
pencaharian.

Ketertarikannya pada sampul buku lahir setelah dia mengamati sampul kaset kelompok
musik Yes asal Inggris yang tidak menampilkan personel group bandnya, tetapi ilustrasi.
Sangat berbeda dengan desain sampul kaset Indonesia yang selalu didominasi oleh sosok
sang artis. Ternyata, bahasa visual dapat memberi inspirasi dan menciptakan kesan dari
yang melihatnya. “Sang tokoh tidak perlu ada, tetapi justru menampilkan kesan yang
lebih hebat bagi penggemarnya,” lanjut Ong.

Melihat persoalan baginya tidak harus selalu mengikuti mainstream yang berlaku. Inilah
yang dilakukan Ong dalam setiap pengamatannya sekaligus dalam berkarya. Ketika dia
diminta membuat ilustrasi sampul buku, misalnya, Ong tidak peduli dengan kaidah-
kaidah yang sudah mapan saat itu. Namun, dia berkarya untuk menghasilkan sesuatu
yang terbaik dengan menggunakan segala pengetahuan yang dimilikinya. “Saya enggak
mau ngikutin pasar, biar pasar yang ikut kita aja. Kalo kita selalu ngikutin selera pasar,
kan, enggak akan berkembang, enggak pinter-pinter nanti pasarnya,” ungkapnya.

Prinsip ini dibuktikan ketika dia membuat ilustrasi sampul buku yang berkaitan dengan
agama Islam. Ong tidak membuat ilustrasi dengan mengambil nuansa Timur Tengah,
tetapi gambar orang bersepeda yang berhenti di bawah pohon kelapa untuk melaksanakan
shalat. Mendesain sampul buku baginya merupakan sesuatu pekerjaan yang sangat
menyenangkan dan berlaku sangat universal. Hingga kini lebih kurang sudah 500 desain
sampul buku yang dibuatnya.
Cover Karya Alit Ambara dan Rully Susanto

Jika Ong lebih banyak berkiprah di Yogyakarta, di Jakarta nama Rully Susanto cukup
dikenal sebagai pendesain sampul buku yang berkarakter. Rully bergabung di
Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). Ia mengaku secara tidak sengaja berkecimpung
dalam dunia perbukuan. Menurut dia, sebagian besar lulusan sekolah desain sebenarnya
lebih banyak memilih bekerja di bidang advertising yang dianggap memiliki gengsi
tinggi. Setelah bidang advertising, lulusan sekolah desain lebih suka memilih sebagai
tenaga desain grafis yang khusus memproduksi logo, profil perusahaan, dan sejenisnya.
“Jadi, posisi desain grafis di penerbitan itu kurang gengsinya, mungkin ujung-ujungnya
kepada penghargaan yang diterima,” ungkap Rully.

Namun, ia punya pertimbangan sendiri yang mengarahkan langkahnya memasuki dunia


perbukuan. Menurut Rully, menjadi desainer buku harus mampu menguasai beberapa
persoalan teknis yang saling terkait, yaitu penguasaan tipografi, kualitas ilustrasi, kualitas
foto, dan komposisi. Dengan penguasaan itulah, seorang desainer buku mampu berkiprah.

Sumber: Kompas dan beberapa sumber lain.

Anda mungkin juga menyukai