Anda di halaman 1dari 53

KANTOR ADVOKAT & KONSULTAN HUKUM

“YUDIANSAH, SH & ASSOCIATES”


Alamat : Jln. Dahlia Gang Seruni No. 10, Kampung Melayu Tengah, Kecamatan
Ampenan - Kota Mataram - NTB - Tlp. 087865921400 – 082342843755

Present

MODUL PRAKTIS DIKLAT PELATIHAN


PROFESI HUKUM

Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas


Mataram Bekerjasama Dengan

Kantor Advokat Yudiansah & Associates


Menyelenggarakan :

“Diklat Pelatihan Kelas Profesi Hukum


Universitas Mataram Tahun 2023”
Oleh :

YUDIANSAH,SH.,
SLAMET SURYANTO,SH.,
NOVA APRIYANTO, SH.,

Mataram, 18 Oktober 2023


Kata Pengantar

Indonesia Telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003


Tentang Advokat lebih dari 1 dasawarsa tepatnya pada tanggal 5 April tahun 2003
dengan rasio legis:

- Bahwa advokat adalah salah satu unsur dalam sistem penegakan hukum yang
memiliki posisi penting, mengingat advokat dalam proses peradilan bertujuan
sebagai mekanisme kontrol terhadap penyelenggaraan proses peradilan yang
diselenggarakan oleh negara. dalam melakukan pembelaan terhadap kliennya
akan selalu ada dalam setiap tingkat peradilan;
- Bahwa advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab
dalam menegakkan hukum, perlu dijamin dan dilindungi oleh undang-undang
demi terselenggaranya upaya penegakan supremasi hukum;
Mengingat advokat sebagai salah satu unsur sistem peradilan merupakan salah satu
pilar dalam menegakkan supremasi hukum dan hak asasi manusia. Selain dalam proses
peradilan, peran Advokat juga terlihat di jalur profesi di luar pengadilan. Kebutuhan
jasa hukum Advokat di luar proses peradilan pada saat sekarang semakin meningkat,
sejalan dengan semakin berkembangnya kebutuhan hukum masyarakat terutama dalam
memasuki kehidupan yang semakin terbuka dalam pergaulan antarbangsa. Melalui
pemberian jasa konsultasi, negosiasi maupun dalam pembuatan kontrak-kontrak
dagang, profesi Advokat ikut memberi sumbangan berarti bagi pemberdayaan
masyarakat serta pembaharuan hukum nasional khususnya di bidang ekonomi dan
perdagangan, termasuk dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan.

Kemudian Dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum dalam


kehidupan bermasyarakat dan bernegara, peran dan fungsi Advokat sebagai profesi
yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab merupakan hal yang penting, di samping
lembaga peradilan dan instansi penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan.
Melalui jasa hukum yang diberikan, Advokat menjalankan tugas profesinya demi
tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan,
termasuk usaha memberdayakan masyarakat dalam menyadari hak-hak fundamental
mereka di depan hukum maka diundangkanlah Undang – undnag Advokat pada tahun
2003.

Sejalan dengan tujuan negara diatas maka untuk memperkuat Calon Sarjana
Hukum yang Profesional dan Berintegritas khususnya bagi alumnus Mahasiswa Fakultas
Hukum Universitas Mataram Nusa Tenggara Barat maka dalam hal ini, Badan Esketuif
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mataram bekerjasama Dengan Kantor Advokat
& Konsultan Hukum “Yudiansah & ASSOCIATES menyelenggarakan “Diiklat Kelas
Profesi Hukum” dengan Goal Setting Mencetak generasi Sarjana Hukum yang
Profesional dan Berintegritas lingkup Universitas Mataram ” tentunya juga dalam hal ini
tentunya pula melibatkan unsur penegak hukum lainnya di wilayah Hukum Provinsi
Nusa Tenggara barat sehingga setidaknya dapat menguasai dan memahami sekelumit
materi dalam sistem peradilan di Indonesia.

Harapannya, dengan semakin banyaknya alumnus Mahasiswa Fakultas Hukum


Universitas Mataram Nusa Tenggara Barat maka tercetak Generasi Insan hukum Yang
yang Profesional dan Berintegritas dalam tataran praktis supremasi penegakan hukum
di wilayah Nusa Tenggara Barat Pada khusunya dan Indonesia pada umumnya.

Akhirul kalam mellaui modul praktis ini yang bersumber dari beberapa buku serta
pengalaman pribadi penyusun dalam dunia praktisi advokat semoga dapat
bermanfaat untuk pemahaman seputar yeknis pendampingan hukum.

Mataram, 16 Oktober Tahun 2023

ADVOKAT PADA KANTOR YUDIANSAH & ASSOCIATES

YUDIANSAH
A. Pendahuluan

Selayang Pandang Profesi Advokat


Kekuasaan kehakiman di indonesia mengalami perubahan yang sangat mendasar
sejak reformasi, diawali dengan adanya TAP MPR RI Nomor X/MPR/1999 Tentang
pokok-pokok Reformasi pembangunan dengan rangka penyelamatan dan Normalisasi
kehidupan nasional sebagai haluan negara menurut adanya pemisahan yang tegas
antara fungsi-fungsi yudikatif dan eksekutif, Kekuasaan kehakiman di indonesia
dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung Dan Badan Peradilan Yang Dibawahnya
Dalam Lingkungan Peradilan Umum, Lingkungan Peradilan Agama, Lingkungan
Peradilan Militer, Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara Dan Oleh Sebuah
Mahkmah Konstitusi, beranjak dari sistim peradilan Indonesia tersebut diatas maka
dibutuhkanlah keseimbangan (chek and balancei) dalam praktik yudikatif, maka
disinilah peran nyata advokat sebagai salah satu unsur catur warsa peradilan sangat
mutlak dibutuhkan.
Advokat sendiri bila merujuk pada Undang udang advokat memiliki definisi adalah
orang yang berprofesi memberikan jasa hukum baik didalam maupun di luar
pengadilan yang memenuhi persyaratan undang-undang ini. ( pasal 1 ayat:1
Undang-undang Advokat nomor 18 tahun 2003), sebagai sebuah profesi mulia
(Officium Nobile) maka profesi ini memiliki kualifikasi persyaratan dalam
pengangkatannya sebagaimana ternormatifkasi dalam pasal 3 ayat 1 UU Nomor 18
tahun 1983 yakni :
1. Warganegara Republik Indonesia
2. Bertempat tinggal di Indonesia
3. Tidak berstatus pegawai negeri atau pejabat negara
4. Berusia sekurang-kurangnya 25 tahun
5. Berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum sebagaimana
dimaksud pada pasal 2 ayat 1
6. Lulus ujian yang diadakan oleh organisasi Advokat;
7. Magang sekurang-kurangnya 2 tahun terus-menerus pada kantor Advokat
8. Tidak pernah di pidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam
dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih
9. Berprilaku baik jujur bertanggung jawab adil dan mempunyai integritas yang
tinggi.

Selain itu Disamping ketentuan syarat yang sebutkan tadi, masih ada syarat lain yang
ditentukan oleh organisasi Advokat diantaranya:
1. Mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat (PKPA)
2. Mengikuti ujian profesi Advokat
3. Pengangkatan Advokat
4. Pengambilan sumpah.
Sehingga dengan demikian dapatlah dikatakan untuk menjadi seorang advokat harus
memiliki kompetensi yang mumpuni selaku seorang yuris. Advokat didalam
menjalankan profesinya berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang
dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan dengan wilayah kerja
seluruh wilayah NKRI vide pasal 5 ayat (1) (2) Undang undang a quo
HAK DAN KEWAJIBAN ADVOKAT
a. Pasal 14, Advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam
membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan
dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-
undangan;
b. Pasal 15, Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela
perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode
etik profesi dan peraturan perundang-undangan;
c. Pasal 18, Advokat dalam menjalankan tugas profesinya dilarang membedakan
perlakuan terhadap klien berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan,
ras atau latar belakang sosial dan budaya. Advokat tidak dapat diidentikkan
dengan kliennya dalam membela perkara klien oleh pihak yang berwenang dan
atau masyarakat;
d. Pasal 19, Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau
diperoleh dari kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh
Undang-undang. Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan klien
termasuk perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan atau
pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik
Advokat;
e. Pasal 20, Advokat dilarang memegang jabatan lain yang bertentangan dengan
kepentingan tugas dan martabat profesinya. Advokat dilarang memegang
jabatan lain yang meminta pengabdian sedemikian rupa sehingga merugikan
profesi Advokat atau mengurangi kebebasan dan kemerdekaan dalam
menjalankan tugas profesinya. Advokat yang menjadi pejabat negara tidak
melaksanakan tugas profesi Advokat selama memangku jabatan tersebut;
f. Pasal 21, Advokat berhak menerima honorarium atas jasa hukum yang telah
diberikan kepada kliennya. besarnya honorarium atas jasa hukum sebagaimana
dimaksud ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah pihak
KEWENANGAN ADVOKAT

Dalam menjalankan fungsi dan tugasnya advokat seharusnya dilengkapi oleh


kewenangan sama dengan halnya dengan penegak hukum lain seperti polisi, jaksa dan
hakim Kewenangan advokat dalam sistem penegakan hukum menjadi sangat penting
guna menjaga keindependensian advokat dalam menjalanakan profesinya dan juga
menghindari adanya kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh penegak hukum yang
lain. Kewenangan tersebut diperlukan selain untuk menciptakan kesetaraan diantara
aparat penegak hukum juga untuk menghindari adanya multi tafsir diantara aparat
penegak hukum yang lain dan kalangan advokat itu sendiri terkait dengan kewenangan.

Sementara UU No. 18 2003 tentang Advokat tidak mengatur tentang


kewenangan Advokat di dalam menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai
aparat penegak hukum Dengan demikian maka terjadi kekosongan norma
hukum terkait dengan kewenangan Advokat tersebut. perlu diketahui bahwa
profesi advokat adalah merupakan organ negara yang menjalankan fungsi negara.
dengan demikian maka profesi Advokat sama dengan kepolisian, kejaksaan dan
kehakiman sebagai organ negara yang menjalankan fungsi negara. bedanya adalah
kalau Advokat adalah lembaga privat yang berfungsi publik sedangkan kepolisian,
kejaksaan dan kehakiman adalah lembaga publik.
kewenangan Advokat dari segi kekuasaan yudisial, Advokat dalam sistem kekuasaan
yudisial ditempatkan untuk menjaga dan mewakili masyarakat. sedangkan hakim, jaksa
dan polisi ditempatkan untuk mewakili kepentingan negara. Pada posisi seperti ini
kedudukan, fungsi dan peran advokat sangat penting terutama di dalam menJaga
keseimbangan diantara kepentingan negara dan masyarakat.

B. Kemampuan Penalaran Hukum bagi advokat

Salah satu Element dasar (Fundamental Elementary) yang wajib dimiiki oleh seorang
pengemban profesi hukum termasuk advokat didalam menjalankan profesinya adalah
pemahaman akan metode penalaran hukum (Legal Reasoning), hal ini penting dan
mutlak dimiliki oleh seorang Yuris, dimana Pemahaman akan penalaran hukum secara
sistematis akan membangun Skema berpikir yang terdiri dari Logica Hukum,
Argumentasi hukum yang berujung lahirnya Legal Opinion yang banyak membantu
seorang Yuris dalam menjalankan Praktiknya berdasarkan kajian Penalaran hukum
tersebut.

Secara sederhana Legal Reasoning dapatlah diartikan “Legal Reasoning adalah


penalaran tentang hukum yaitu pencarian “reason” tentang hukum atau pencarian
dasar tentang bagaimana seorang hakim memutuskan perkara/ kasus hukum, seorang
pengacara mengargumentasi-kan hukum dan bagaimana seorang ahli hukum menalar
hukum.1 Pengertian lainnya dari legal reasoning adalah “suatu kegiatan untuk mencari
dasar hukum yang terdapat di dalam suatu peristiwa hukum, baik yang merupakan
perbuatan hukum (perjanjian, transaksi perdagangan, dan lain-lain) ataupun yang
merupakan kasus pelanggaran hukum (pidana, perdata, ataupun administratif) dan
memasukkannya ke dalam peraturan hukum yang ada”.

Konstruksi Hukum (rechtsconstructie)

salah satu metode yang digunakan dalam penalaran hukum adalah konstruksi hukum
yang merupakan alat-alat yang dipakai untuk menyusun bahan hukum yang dilakukan
secara sistematis dalam bentuk bahasa dan istilah yang baik. Menyusun yang dimaksud
adalah menyatukan apa yang termasuk dalam satu bidang yang sama, satu pengertian
yang sama. Istilah pencurian misalnya adalah suatu konstruksi hukum, yaitu suatu
pengertian tentang semua perbuatan mengambil barang dengan maksud untuk dimiliki
secara melawan hukum (Pasal 362 KUHP). Jadi apakah perbuatan itu disebut maling,
nyolong, nyopet, apakah ia mengambil benda tidak berwujud (listrik) atau berwujud,
kesemuanya apabila dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, maka
perbuatan itu disebut pencurian.

Penafsiran Hukum

Selanjutnya alat bantu dalam penalaran hukum adalah kemampuan penafsiran hukum
bertujuan untuk mencari dan menemukan Original intent atau makna asli dari kehendak
pembentuk undang-undang yang telah dinyatakan oleh pembuat undang-undang dalam
1
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1993, h.
suatu norma positif yang pada prkatiknya dianggap secara kurang jelas sehingga untuk
menemukan original intent dibutuhkan penafsiran jenis fenfsiran yakni ;

a. Penafsiran Autentik Jenis ini adalah penafsiran yang pasti terhadap arti kata-kata itu
sebagaimana yang diberikan oleh pembentuk UU, atau penafsiran ini sudah ada
dalam penjelasan pasal demi pasal, misalnya Pasal 98 KUHP : arti waktu ”malam”
berarti waktu antara matahari terbenam dan matahari terbit; Pasal 101 KUHP:
“ternak” berarti hewan yang berkuku satu, hewan memamah biak dan babi (periksa
KUHP Buku I Titel IX). Dikatakan penafsiran otentik karena tertulis secara resmi
dalam undang-undang artinya berasal dari pembentuk UU itu sendiri, bukan dari
sudut pelaksana hukum yakni hakim. Dalam penafsiran bermakna hakim
kebebasannya dibatasi. Hakim tidak boleh memberikan arti diluar dari pengertian
autentik. Sedangkan diluar KUHP penafsiran resmi dapat dilihat dari ketentuan-
ketentuan umum dan penejelasan pasal demi pasal;
b. Penafsiran Tata Bahasa Hakim harus memperhatikan arti yang lazim suatu
perkataan di dalam penggunaan bahasa sehari-hari yang digunakan masyarakat
yang bersangkutan, atau hubungan antara suatu perkataan dengan perkataan
lainnya. Bekerjanya penafsiran ini ialah dalam hal untuk mencari pengertian yang
sebenarnya dari suatu rumusan norma/unsurnya. Sebagai contoh dapat
dikemukakan hal yang berikut : Suatu peraturan perundangan melarang orang
memarkir kendaraannya pada suatu tempat tertentu. Peraturan tersebut tidak
menjelaskan apakah yang dimaksudkan dengan istilah “kendaraan” itu. Orang lalu
bertanya-tanya, apakah yang dimaksudkan dengan perkataan “kendaraan” itu,
Apakah hanya kendaraan bermotor saja ataukah termasuk juga sepeda. Contoh lain
kata “dipercayakan” sebagaimana dirumuskan dalam dalam pasal 432 KUHP secara
gramatikal diartikan dengan “diserahkan”, kata “meninggalkan” dalam pasal 305
KUHP diartikan secara gramatikal dengan “menelantarkan”;
c. Penafsiran Historis Sejarah hukumnya, yang diselidiki maksudnya berdasarkan
sejarah terjadinya hukum tersebut. Sejarah terjadinya hukum dapat diselidiki dari
memori penjelasan, laporan-laporan perdebatan dalam DPR dan surat menyurat
antara Menteri dengan Komisi DPR yang bersangkutan, misalnya rancangan UU,
memori tanggapan pemerintah, notulen rapat/sidang, pandangan-pandangan
umum, dan lain-lain. Sejarah undang-undangnya, yang diselidiki maksud pembentuk
UU pada waktu membuat UU itu, misalnya denda f 25.-, sekarang ditafsirkan
dengan uang Republik Indonesia sebab harga barang lebih mendekati pada waktu
KUHP. d. Penafsiran Sosiologi Penafsiran oleh hakim dengan memperhatikan
keperluan yang ada di dalam masyarakat, dengan catatan bahwa hakim harus
menjaga jangan sampai mereka mengambil alih tugas dan kewenangan badan
legislatif.
Logika Hukum

Ada dua cara berpikir yang dapat kita gunakan untuk mendapatkan kebenaran yaitu
melalui metode induksi dan deduksi.

1. Induksi adalah cara berpikir untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum dari
kasus-kasus yang bersifat individual. Penalaran ini dimulai dari kenyataan-kenyataan
yang bersifat khusus dan terbatas dan diakhiri dengan pernyataan yang bersifat
umum. Secara singkat dapat dikatakan bahwa “Proses berpikir induksi adalah
berdasarkan proposisi khusus ke proposisi umum”; Induksi merupakan cara berpikir
di mana ditarik kesimpulan umum dari berbagai kasus yang bersifat individual,
selain itu metode induksi ialah cara penanganan terhadap suatu objek tertentu
dengan jalan menarik kesimpulan yang bersifat umum atau bersifat lebih umum
berdasarkan atas pemahaman atau pengamatan terhadap sejumlah hal yang
bersifat khusus. Logika induktif merupakan suatu ragam logika yang mempelajari
asas-asas penalaran yang betul dari sejumlah hal khusus sampai pada suatu
kesimpulan umum yang bersifat boleh jadi.;
2. Deduksi adalah serangkaian kegiatan berpikir yang merupakan kebalikan dari
penalaran induksi. Deduksi adalah cara berpikir dari pernyataan yang bersifat umum
menuju kesimpulan yang bersifat khusus atau dengan kata lain lain “Proses berpikir
deduksi adalah berdasarkan proposisi umum ke proposisi khusus, Logika deduksi
merupakan cara berpikir dimana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik
kesimpulan yang bersifat khusus, selain itu metode deduksi ialah cara penanganan
terhadap sesuatu objek tertentu dengan jalan menarik kesimpulan mengenai hal-hal
yang bersifat umum. Logika deduktif adalah suatu ragam logika yang mempelajari
asas-asas penalaran yang bersifat deduktif, yakni suatu penalaran yang menurunkan
suatu kesimpulan sebagai kemestian dari pangkal pikirnya sehingga bersifat betul
menurut bentuk saja. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya
mempergunakan pola pikir yang dinamakan silogismus. Pernyataan yang
mendukung silogismus ini disebut premis yang kemudian dapat dibedakan sebagai
permis mayor dan permis minor. Kesimpulan merupakan pengetahuan yang didapat
dari penalaran deduktif berdasarkan kedua permis tersebut. Logika deduktif
membicarakan cara-cara untuk mencapai kesimpulan-kesimpulan bila lebih dahulu
telah diajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai semua atau sejumlah ini di antara
suatu kelompok barang sesuatu. Kesimpulan yang sah pada suatu penalaran
deduktif selalu merupakan akibat yang bersifat keharusan dari pertnyaan-
pertanyaan yang lebih dahulu diajukan. Pembahasan mengenai logika deduktif itu
sangat luas dan meliputi salah satu di antara persoalan-persoalan yang menarik.
Sistematika metode IRAC LON FUHLER

a) Issue/ Permasalahan:Apa sebenarnya yang secara khusus diperdebatkan para


pihak;
b) Rule : Ketentuan hukum apakah yang mengatur isu tersebut;
c) Argument : Mengaplikasikan dan menguji hukum dan fakta, yakni apakah ada
sisi yang dapat dibela?: Fakta-fakta hukum apa yang relevan dengan aturan
hukum tersebut;
d) Analysis : Menerapkan aturan hukum terhadap fakta-fakta hukum;
e) Conclusion : Setelah menerapkan aturan hukum tersebut terhadap fakta-fakta
hukum, hasil-hasil apa yang diperoleh menjadi suatu kesimpulan.

Berdasarkan uraian diatas maka dapatlah disimpulkan secara terang dan


jelas bahwa Kemampuan penalaran hukum merupakan komptensi dan / atau
pengetahuan dasar yang harus dimiliki seorang advokat yang berfungsi
sebagai media pemetaaan kasus atau media Analisa kasus dalam melahirkan
Argumentasi hukum, legal opinion maupun melahirkan strategi pembelaan
bagi advokat dalam menjalankan kewajiban profesinya.

Salah satu manfaat Legal reasoning adalah kemampuan penyusunan Legal


opinion, ynag seringkali dimintakan pada seorang advokat, berikut bentuk
format legl opinion

Format Pembuatan legal Opinion model TREAC2

JUDUL LEGAL OPINION


(Tuliskan dengan singkat Isu tau permasalahan hukum
2
Hendra Whaanu Prabani, Panduan lengkap Menyusun Perjnajian Publik dan dokumen hukum di Instansi
pemerintah cetakan 1, Bandung, alfabeta, Hal 170
yang akan dijawab dari suatu permasalahan yang akan dikaji)
a. Legal Isue/Toipik Sentence (Rumusan permasalhan dibuat dnegan
pernyataan)
Tips. Pastikan rumusan permaslaahan tersebut merupakan isu hukum dan berhati
hati dengan dicta (Saran).
b. Brief Answer
Nyatakan jawaban singkat sebagai sebuah hipotesis atau sebagai sebuah jawaban
definitive(kesimpulan sementara)
c. Rule
List seluruh peraturan perundang-undangan terkait dengan permasalahan yang
akan dikaji
d. Rule Explanation
Jelaskan konsep-konsep yang diatur dalam perundang-undangan dnegan
menggunakan bahan hukum sekunder atau bahan hukum lainnya.misalnya
gunakan rumusan ketentuan yang diatur dalam peraturan pelaksana seperti surat
edaran, juknis juklak dan pendapat ahli hukum
e. Discusion/analysis
Analisa fakta-fakta hukum yang ada, dengan menggunakan norma hukum, jika
perlaku atau fakta-fkata tersebut masuk dalam kualifikasi konsep hukum yang
terdapat dalam bahan hyukum maka implikasinya perbuatan tersebut akan
membawa ajkibat hukum.
Tips. Apabila Analisa dirasakan terlalu Panjang dan luas maka gunakan tehnik
point heading atau sub sub bagian untuk emmudahkan pembaca mengikuti alur
legal opinion
f. Counter Argument
Bila perlu Perhitungkan Pula tangkisan yang mungkin disampaikan oleh Pihak
lawan
g. Conclusion/rekomendation
- Rumuskan kesimpulan apabila diperlukan karena pada asasnya kesimpulan
telah ada pada bagian brief answer;
- Rekomendasi diperlukan pada saat menulis legal advice sedangkan LO yang
ditujukan untuk menjawab permasalahan hukum ada kalanya tidak
memerlukan rekomendasi.

C. Teknis Analisa Hukum


Analisa hukum merupakan kegiatan penelahaan dan interpretasi atas fakta-fakat
yang merupakan salah satu aktivitas advokat dalam menjalankan kewajiban
profesinya, sumber sumber bahan Analisa ini terdiri atas bahan hukum primer dan
sekunder yang ebrupa Peraturan perundang-undangan,peraturan kebijakan, maupun
peraturan pelaksana lainnya.
Langkah Langkah melakukan anlisa hukum
1. (Analysis /DIscusion)
Hal pertama adalah mengiventarisir atau mengelompokkan peraturan
perundang-undangan dan fakta fakta hukum terkait aatau atas permaslaahan
yang akan dikaji, dengan cara sebagai berikut :
a. Mengemukakan fakta hukum, dengan mengemukakan fakta hukum secara
obyektif dan naratif sesuai dengan runutan kejadian atau peristiwanya, fakta
tersbeut terdiri dari : perbuatan hukum, peristiwa hukum dan keadaan, dalam
menyajikan fakta hukum seorang legal drafter hatrus berhati berhati dengan
dicta atau sesuatu yang sebenarnya bukan facta, namun karena disampaikan
sedemikian rupa maka akan anampak seperti fakta hukum, mislanya ada
cerita najam meninggal bunuh diri akrena cek cok dengan kekasihnya, dalam
hal ini memang benar najam meninggal, tetapi apakah hal ini terkadnung
adanya isuue hukum yang masih harus didalami lebih lanjut.
b. Menelaaah fakta Hukum, yakni setelah mengumpulkan fakta-fakta hukum
langkah selanjutnya adalah mengolah fakta tersebut dengan bahan hukum
yang etrsedia, pada level hukum positif , konsep-konsep hukum atas fakta
tersebut pada umunya telah terumuskan secara jelas dan pasti dalam Bahasa
perundang-undangan, selanjutnya tinggal menafsirkan fakta fakta hukum
yang ada dalam isi dari undnag-undang tersebut, jika perilaku fakta hukum
tersebut masuk dalam kualifikasi konsep hukum yang terdapat dalam norma
atau bahan hukum mak implikasinya perbuatan tersebut akan membaw
aakibat hukum akibat hukum tersebut dapat berupa sanksi hukum, kurungan,
denda , ganti rugi dan sebagainya;
c. Menetapkan hukumnya, setelah emnemukan norma konkrit Langkah
berokutnya adalah menetapkan hukumnya atas fakta hukum tersebut.
Mislanya kasus pidana korupsi [ejabat, unsur utama adalah penyalahgunaan
wewenang, konsep penyalahgunaan wewenang tersebut harus dijelaskan
dengan jelas sehingga terang untuk menilai apakah perbuatan itu
penyalahgunaan wewenang atau bukan.

D. Teknis perumusan Masalah

Salah satu hal penting dalam mengolah kemampuan Analisa hukum adalah perumusan
masalah,karena pada praktiknya seringkali seorang advokat didatangi oleh seseorang
yang menceritakan permasalahan yang sedang dihadapi, dan seringkali pula kegagalan
membangun argumentasi hukum disebabkan oleh salahnya perumusan masalah atau
pemataan masalah yang berakibat gugatan ditolak atau tidak dapat diterima.

A. Identifikasi Masalah

Hal mendasar yang harus dimiliki seorang yuris professional adalah penguasan
background knowledge dasar dasar ilmu hukum, kemudian mengenlai fakt fakta
hukukum yang terdiri atas:

1. Perbuatan seperti, kelalaian, pencurian, pembunuhan dll;


2. Peristiwa hukum seperti kelahiran, kematian, pengesahan dll;
3. Keadaan seperti dibawah umur, dibawah pengampuan dll
Sorang yuris perlu jeli benar mengnali isu hukum yang emnajdi bagian cerota seorang
klien, seringkali hal yang diceritakan tersebut tidka seluruhnya merupakan issue hukum
atau permasalahan hukum atau bahkan tidka emngandung issue hukum sama sekali.
Kemmapuan ini yang haru dimiliki oelh seorang yuris untuk mengklarifikasi atau
memebrikan panduan kepada klien sehingga akhirnya akan dieprleh isuue hukum yang
akan dipecahkan.

Contoh :

Seorang istir yang emndatangi adna untuk berkosnultasi mengenai suatu permasalahan
hukum, dia iningin melaporkan tetangganya yang seringkali mengoitimidasi baik secara
fisik maupun psikologi suaminya, memang berdasrakan cerita perempuan tersbeut
sumainya memiliki hutang usaha kepada tetangganya tersebut,dkarenakn suaminya
bangkrut maka suaminya tidak mampu membayar hutangnya, kemudian suatu hari
diketemukan sumainya meninggal bunuh diri dengan minum racun tikus, perempuan ini
ingin meminta bantuan anda untuk menuntuk tetanggannya tersebut.

Catatan:

Pada contoh tersebut orang umum mungkin akan melihat adanya [ersoalan yang
dianggap sbegaai fakta hukum, namun bagi seorang yuris yang jeli maka dia akan
mengatakan bahwa issue hukum dalam peristiwa itu masih terlalu kabur.

B. Merumuskan masalah
Setelah mampu mengindentifikasi isu hukum maka tahapan selanjutnya adalaah
perumusan masalah dalam suatu kalimat. Isu tersebut dituangkan dalam ebberapa
bentuk :
1. Dirumuskan dalam bentuk pertanyaan dnegan menggunakan kalimat tanya;
2. Dirumuskan dalam bentuk perynataan;
3. Disampaikan dalam bentuk uraian singkat atas fakta yang paling penting
kemudian disusul dengan kalimat pertanyaan.
Bnetu bentuk pertnayan yang dapat dirumuskan dalam suatu LO anatara lain

1. Bagaimanakah kedudukan hukum?


2. Apakah terdapat upaya hukum yang dapat ditempuh?
3. Bagaimana Tindakan yangs ehausnya diambil?
4. Argumetasi hukum apakah yang disampaikan?
5. Apakah terdapat tanggung jawab hukum?
Contoh

MEKANISME ADMNSITRATIF YANG DAPAT DITEMPUH BAGI ASN UNTUK DAPAT


BEKERJA DILUAR ISNTANSI ASALNYA

1. Bagaimanakah mekanisme pebantuan ASN atau penempatan ASN untuk


dipekerjakan diluar instansi induknya?
2. Apakah meknaisme tersebut memungkinkan untuk dimanfaatkan seoran asn
untuk diperbantukan di instansi non pemerintah?

E. Asistensi Penyelesaian Perkara non Litigasi


Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan sejalan dengan Afirmasi hukum Undang
Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dalam undang -undang
aquo ditentukan

a. Pasal 58 Upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan di luar


pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian
sengketa;
b. Pasal 59
(1) Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar
pengadilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis
oleh para pihak yang bersengketa;
(2) Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan
mengikat para pihak;
(3) Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela,
putusan dilaksanakan berdasarkan perintah ketua pengadilan negeri atas
permohonan salah satu pihak yang bersengketa.
c. Pasal 60
(1) Menentukan Alternatif penyelesaian sengketa merupakan lembaga
penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati
para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi,
negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli;
(2) Penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hasilnya dituangkan dalam kesepakatan tertulis.
(3) Kesepakatan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat
final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik.
d. Pasal 61 Ketentuan mengenai arbitrase dan penyelesaian sengketa di luar
pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58, Pasal 59, dan Pasal 60 diatur
dalam undang-undang.

Berdasarkan uraian diatas terkait atas bentuk penylesaian sengekte diluar


jalur atau yang dikenal dengan alternative dispute resolution (ADR)
merupakan pranata hukum yang disediakan hukum dalam meneylesaikan
persoalan baik dalam ranah pidana maupun ranah perdata yang saat ini telah
terkaomodir dalam hukum positif Indonesia dan merupakan salah satu
bentuk media bagi advokat dalam menyelesaikan perkara diluar jalur litigasi
baik mediasi, negosiasi, abitrase, musyawarah, konsiliasi, ngeosiais maupun
konsiyasi.

F. Teknis Pendampingan Hukum Advokat


1. Pendampingan Dalam Lapangan Hukum Pidana

Proses persiapan Pemberian Bantuan Hukum

Materi yang perlu dikuasai Sebagai seorang pembela dalam perkara pidana advokat
sudah semestinya memberikan pengarahan-pengarahan dan penjelasan-penjelasan
tentang duduk persoalan. Nasihat yang diberikan penasihat hukum atau pembela
tidak boleh keluar dari lingkaran surat tuduhan Jaksa Penuntut Umum. Sebelum
bertindak seorang penasihat hukum setidak-tidaknya harus memiliki :

1. Surat kuasa Khusus dari tersangka atau terdakwa ;


2. memiliki berkas berita acara sumpah;
3. KTP pemberi kuasa, KTP Penerima Kuasa;
4. Kartu Tanda Anggota yang dikeluarkan oleh organisasi Advokat
Peran Advokat Dalam tingkat penyidikan

Tujuan penyidikan dalam prekara pidana tidak lain adalah membuat terang suatu
perbuatan pidana, untuk mengetahui ada tidaknya perbuatan pidana maka dapat
diamati dari :

a. Adanya laporan atau pengaduan.dari laporan dan pengaduan tersebut suatu


perbuatan pidana, tindak pidana,peristiwa pidana dan delik dapat menjadi terang
apabila dapat terjawab 7 macam pertanyaan :
1. Pertama, apa yang terjadi (Kejahatan/pelanggaran)?;
2. kedua dimana perbuatan itu dilakukan (Tempatnya)?;
3. ketiga kapan dilakukan (waktunya)?;
4. keempat dengan apa perbuatan itu dilakukan (alat yang dipakai)?;
5. kelima Bagaimana perbuatan itu dilakukan (cara melakukan)/;
6. Keenam Mengapa perbuatan itu tejadi (alasan-alasanya),ketujuh siapa yang
melakukannya.

Contoh ilustrasi kasus Diwilayah hukum Mataram pada tanggal 26 mei 2023
terjadi pembunuhan dengan tersangka Najam, Najam karena tidak tahan
sisksaan petugas akhirnya mengakui tuduhan petugas tersebut bahwa
pembunuhan terjadi pada 26 mei 2023 di Mataram olehnya. Kemudian
berdasarkan penelusuran Advokat berdasarkan keterangan saksi-saksi dibawah
sumpah yang diajukan penasihat hukum dan surat ketrangan yang diperoleh dari
hasil investigasi advokat diketahui najam sedang opname disebuah Puskesmas
Turida Sandubaya sampai dengan 1 juni 2023, berdasarkan hasil pembuktian
yang diajukan penasihat hukum dapat membuktikan kebenaran bahwa terdakwa
bukan pembunuh, terkait atas dengan soal waktu melakukan perbuatan pidana.
A akrim mengatakan, bahwa pemuatan waktu tersebut adalah untuk
kepentingan persoalan yang berhubungan dengan hukum pidana sebagai berikut
:
1. Berlakunya Surat dakwaan Pasal 1 Ayat atau 2 KUHP, pembuatan surat
dakwaan harus dengan sendirinya menegtahui apakah pada waktu terjadinya
kejahatan tersbeut, telah ada epraturan hukum yang menghukumnya
ataukah sesuatu peraturan yang sudah ada masih berlaku terkait atas
eksistensi dari suatu norma pidana tersebut;
2. Semua hal dalam mana unsur etrdakwa sewaktu melakukan kejahatan
tersebut memegang peranan penting umpamanya terdakw anak-anak dna
delik Susila yang memuat persyaratan tentang umur terdakwa;
3. Daluwarsa (Pasal 78-82 KUHP);
4. Penentuan adanya perbuatan berulang recidive (pasal 486 KUHP-488 KUHP);
5. Kemampuan pertanggungjawaban seperti gangguan kejiwaaan dan ingatan
(pasal 37 KUHP);
6. Waktu terjaidnya pidana apakah malam hari, apakah pada saat bencana.

b. Pemberitaan pers
Salah satu peristiwa yang terkenal di Indonesia pernah menimpa terpidana
Sengkon dan Karta yang pada 14 november 1980 mengalami skorsing sementara
dari menjalani hukuman atas permintaan Kepala Kejaksaan Negeri Bekasi,
kemudian pada tanggal 1 Desember 1980 meneglurakan PERMA Nomor 1 Tahun
1980 untuk dapat melakukan peninjauan Kembali atas perkara pidana yang telah
Incraht dengan dasar adanya bukti baru ( Novum), pengacara Sengkon dan
karta tidak tinggal diam dan segera mengajukan permohonan agar putusan
hukuman sengkon dan karta ditinjau Kembali, oleh Mahkmah Agung RI, tanggal
30 januari 1981 menurut putusan sidang terbuka Mahkmaah Agung keduanya
dinyatakan bebas, dari segala tuntutan hukum, disini jelaslah bahwa
pemberitaan pers merupakan sumber informasi yang dapat dipergunakan oelh
pengacara sebagai media pembelaan atas putusan pengadilan yang bisa saja
keliru;

Peran Advokat Dalam Tingkat Penuntutan

Seorang advokat harus membnagun komunikasi dengan kliennya selaku tersangka


atau terdakwa, komunikasi dasar yang dibangun tersbeut meliputi :
1. Mengapa sampai ditangkap dan ditahan dlam perkara ini;
2. Menggali cerita atau informasi sterang terangnya secara langsung;
3. Mampu memperoleh bukti-bukti dalam pembelaan atas hak hukum klien

Dari hasil komunikasi ini maka akan ditentukan platform strategi pembelaan yang
dengan formulasi yang tepat agar terdakwa bisa bebas, atau dilepas, atau setidak-
setidaknya kalaun memang terdakwa mengakui perbuatannya agar terdakwa
dihukum seringan-ringanya (clementee). Dalam tahap penututan ini hal hal yang
harus diperhatikan advokat adalah :

1. Dasar Hukum Surat Dakwaan, apakah surat dakwaan itu jelas atau tidak,
misalnya terdakwa didakwakan rumusan pasal 378 KUHP namuan dalam
dakwaan JPU tidak menyebutkan secara spesifik unsur perbuatan penipuan pasal
378 KUHP tersebut, serta tidak merumuskan kewenangan apa dari pengadilan
untuk memeriksa dan mengadili perkara dimaksud, maka Langkah selanjutnya
adalah seorang penasihat hukum memiliki bahan tangkisan atau eksepsi dari
dakwaan JPU tersebut;
2. Harus diketahui pada waktu kejahatan apakah terdakwa berada dalam tempat
kejadian eprkara sebagaimana dituduhkan dalam surat dakwaan, hal ini bertalian
dengan pasal 1 ayat 2 KUHP;
3. Apakah perbuatan pidana yang didakwakan JPU sudah daluwarsa atau belum hal
ini bertalian dengan ketentuan pasal 74 KUHP dan pasal 76 s/d 85 KUHP tentang
gugurnya hak menuntut;
4. Apakah Dakwaan tersbeut merupakan perkara Nebis in Idem atau tidak

Taktik dan Strategi Membela Perkara Pidana


Pemahaman mendasar posisi masing masing dalam suatu perkara pidana ;

1. Pandangan terdakwa dilukisan sebagai pandangan subjektif dari posisi yang


subjektif;
2. Pandangan penasehat hukum dari terdakwa digambarkan sebagai pandangan
objektof darinposisi subjektif;
3. Pandangan Jaksa adalah pandangan subjektif dari posisi yang objektif;
4. Pandangan hakim dinyatakan sebagai pandangan objektif dari posisi yang
objektif pula.

1. Teknis Membuat Keberatan terhadap Surat Dakwaan


a. Memahami Inti Keberatan/Eksepsi

Pemeriksaan sidang pengadilan tidak dapat dilanjutkan sebelum terdakwa


mengerti pidana apa yang didakwakan kepadanya vide pasal 51 (2) dan Pasal
155 (2) huruf b KUHAP. Ketentuan ini merupakan implementasi Hak asasi
terdakwa untuk menjaga Fair Trial bagi terdakwa.apabila telah memhamai isi
dakwaan selanjutnya mengajukan eksepsi/keberatan.

Point keberatan disini secara ekplisit memang tidak diatur dalam pasal 156 (1)
KUHAP namun menurut yahya harahap 3 keberatan dimaksud terkait atas
objection dalam system common law yang berarti perkara yang diajukan
terhadap terdakwa tidak tepat atau illegal. Sehingga dalam hal ini keberatan
merupakan hak dari terdakwa yang tidak dapat dihalangi atau dikesampingkan
dalam suatu acara pidana. Keberatan dari terdakwa yang dijaukan oleh
penasehat hukum harus dipertimbangkan dan dijawab oleh hakim dalam
putusannya dan hakim harus bersikap tegas bahwa keberatan diterima atau
ditolak.

b. Pandangan dakwaan tidak selalu benar

Dalam membuat keberatan ini seorang penasehat hukum setidaknya mempunyai


pandangan bahwa surat dakwaan yang dibuat Penutut umum dalam perkara
tersebut tidak selalu benar adanya, karena potensi kekeliruan pada asasnya
tetap ada, yang menandakan manusia tidak sempurna. Kekeliruan dakwaan ini
pernah terjadi pada tahun 2000 pada perkara Syakir mantan walikota
Tegal,perkara tersebut diputus batal demi hukum karena hakim menilai surat
dakwaan batal demi hukum.4

c. Membaca Dakwaan Dengan Cermat

3
Yahya Harahap, 1993,Pembahasan dan penerapan KUHAP, Pustaka Kartimi, Jakarta, Hal.123
4
Gatot Supramono, 2020, Teknis Membuat Keberatan Surat Dakwaan, Kencana, Jakarta Hal. 83
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa sikap memandang tidak
selamanya surat dakwaan selalu benar, maka maka mutlak dakwaan tersebut
dibaca oleh penasihat hukum secara baik dan cermat,teliti, dari awal sampai
akhir kalimat per kalimat, sehingga dapat memamhami ruh dari dakwaan JPU
tersebut. Dengan membaca dakwan setidak-tidaknya akan dipahami lingkup
Perkara pidana yang didkawakan JPU meliputi:

1. Apakah benar terdakwa pelakunya;


2. Apakah penuntut umum tidak keliru sasaran di dalam mendakwa pada surat
dakwaannya;
3. Apakah jelas perbuatan pidana yang didakwakan;
4. Apakah Perbuatan dan epristiwa pidana yang dialami terdkawa memiliki
korelasi yang nyata dengan dakwaan
d. Isi keberatan/Tangkisan/Ekspepsi Tidak Memasuki Materi Perkara

Apabila seorang penasihat hukum sudah memahami Teknik membuat dakwaan


maka akan mudah tampil dalam menganalisis bobot kualitas suatu dakwaan
yang diajukan JPU. Keberatan atau tangkisan dakwaan tim Penasehat hukum,
tidak bileh emmasuki materi tindak pidana yang didakwakan karena bagian
keberatan atau tangkisan ini secara hukum hanya mengatur sanggahan atas
dkawaan JPU.sangkalan dalam materi dakwaan hanya dapat dilakukan dalam
egnda pembuktian, apabila dalam Kebertaan tersebut materinya berisi materi
pokok perkara, maka akan mudah dipatahkan oleh JPU sewaktu mengajukan
keberatan atau tanggapan eksepsi dan emmang dalam praktiknya eksepsi jarang
sekali diterima oleh hakim didalam putusan selanya.

e. Isi Eksepsi/keberatan menggunakan pilihan kata yang sopan

Meskipun menemukan kejanggalan, kelemahan dalam suatu surat


dakwaannamun sudah seharusnya dalam emmbuta ekspepsi emnggunakan diksi
atau pilihan kata yang sopan sehingga majelis hakim dan penutut umum tidak
tersinggung dengan keberatan yang disampaikan

f. Lingkup Materi Eksepsi

.F1. Kualitas Subjek Hukum yang menjadi Terdakwa

Salah satu hal yang musti diperhatikan dalam dakwaan adalah kualitas terdakwa
selaku subjek hukum, hal ini erat kaitannya dengan macam macam subjek
hukum tersebut, yang dapat saja subjek hukum tersebut kualitas personal
perorangan, dan kualitas selaku korporasi.bila suatud akwaan merujuk pada
kUHP maka yang dijadikan terdakwa selsalu dipastikan adalah orang karena
kosntruksi KUHP tidak mengenal subejk hukum korporasi sebagai pelaku. Hal ini
berbeda dengan dakwaan yang nerujuk pada delik pidana diluar KUHP, speerti
UU Narkotika, UU Pertmbangan mineral UU Pemebrnatasna tindak Pidana
Korupsi, UU lingkungan hidup, UU Perikanan.
.F2. Tempat Tindak Pidana Didakwakan

Tempat terjadinya peristiwa pidana memiliki korelasi pada kewenangan relative


pengadilan untuk meemriksa dan mengadili perkara pidana, hal ini berkesesuian
dengan prinsip berlakunya KUHAP dimana tempat tindak pidana berlangsung
disitulah pengadilan yang berwenang mengadili.

Sebagai contoh bebrapa tahun lalu sebelum pusat pemerintahan Kabupaten


Lombok Barat pindah ke wilayah Gerung, pusat pemerintahan , baik pendopo
rumah dinas jabatan bupati, kantor perangkat daerah berada diwilayah kota
mataram yang memang dalam sejarahnya Lombok barat merupakan kabupaten
induk dari kota Mataram sebelum adanya pemekaran wilayah, Kembali pada
pembahasan terkait tempat tindak pidana didakwakan, dengan sebuah ilustrasi
posisi, pendopo dan kantor Perangkat Daerah pemkab Lombok Barat yang
berekedudukan di wilayah kota Mataram jauh dari pusat pemerintahan Lombok
Barat, apabila terjadi tindak pdiana yang dilakukan oleh Bupati dan jajarannya.
Pengadilan manakah yang mengadili perkara tersebut, apakah Pengadilan Negeri
Mataram atau Pengadilan Negeri Lombok Barat.

Jika perbuatannya tegrolong Tindak pidana korupsi maka tidak sulit untuk
mengetahuinya, karena pengadilan tindak pidana korupsi hanya ada satu di
setiap Provinsi,namun apabila ketentuan pidananya pidum sebagaimana diatur
KUHP atau Pidana Narkotika maka Ketika disidangkandipenhadilan negeri
dikabupaten atau dikota merupakan bahan terdakwa atau penasihat hukum
untuk mengajukan keberatan terhadap surat dakwaan tentang kewenangan
relative pengadilan.

.f.3. Kesesuaian Waktu Tindak Pidana Dalam Surat Dakwaan

Waktu terjadinya peristiwa pidana meruapakn salah satu komponen penting


yang harus diuraikan dalam dakwaan, karena waktu ini memiliki korelasi dengan
hapusnya waktu untuk memperkarakan seseorang yang terlibat tindak pidana.
Mengenai hapusnya tindak pidana diatur dalam BAB VIII PAsal 77 dan Pasal 78
KUHP.

Adapun ketentuan pasal 78 KUHP :

Ayat (1) : Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa:

1. Mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan


percetakan sesudah satu tahun;
2. Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan,
atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun;
3. Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga
tahun, sesudah dua belas tahun;
4. Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup, sesudah delapan belas tahun.
Selanjutnya dalam ayat (2) ditentukan “ Bagi orang yang pada saat melakukan
perbuatan umurnya belum delapan belas tahun, masing-masing tenggang
daluwarsa di atas dikurangi menjadi sepertiga”.Dengan mengetahui daluwarsa
penututan perkara pidana diatas , maka seorang penasehat hukum dapat
mengajukan keberatan terhadap surat dakwaan apabila perkara yang dibelanya
dikethaui jenis serta ancaman tindak pidananya dan benar benar telah daluwarsa
sehingga terdakwa tidak dapat lagi diperiksa dan diadili di pengadilan.

Selain berhubungan dengan daluwarsa tersebut, waktu yang disebutkan dalam


surat dakwaan juga berhubungan dengan waktu sseorang bekerja atau berdinas
khususnya bagi mereka yang anggota militer aktif. Dalam praktik pernah ada
beberapa kejaidan seseorang pensiunan TNI, Ketika perkaranya dijaukan
penuntutan bahwa yang bersangkutan dahulu tidak diketahui pernah dinas
dalam TNI, akan tetapi setelah perkaranya diperiksa diepngadilan negeri baru
terungkap yang bersangkutan pada saat terjadi tindak pidana adalah seorang
Militer aktif, maka dengan terungkapnya hal ini, pengadilan negeri tidak
berwenang memeriksa dan mengadili tersangka. 5 Hal ini sesuai dengan
yurisprudensi No.1. PKM/Kr/1974 Tanggal 3 Oktober 1973 dengan terdakwa
Boenyamin.6

.f4. Uraian Dakwaan tidak Singkron dengan Rumusan Deliknya

Lazimnya sebuah dakwaan harus mampu merumuskan unsur-unsur tindak


pidana atau delik yang didakwakan secara jelas dalam artian tumusan unsur-
unsur delik harus dapat dipadukan dan dijelaskan dalam bentuk uraian fakta
perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa. Uraian unsur-unsur atau penhertian
yuridis tindak pidana atau delik yang dirumuskan dalam pasal yang didakwakan
harus dapat dijelaskan atau digambarkan dalam bentuk fakta perbuatan atau
perbuatan materiel yan dilakukan terdakwa.7 Apabila surat dakwaan JPU yang
didakwakan pada terdakwa terlihat tidak sejalan dengan rumusan deliknya maka
disnilah point keberatan atas dakwaan JPU diajukan oleh penasehat hukum.

Contoh : misalnya najamudin didakwa dengan pencurian pada pasal 362 KUHP,
maka uraian tindak pidana yang didakwakan harus menggambarkan adanya
perbuatan mengambil barang orang ,barang yang diambil tersebut milik orang
lain. dengan tujuan untuk dimiliki dan perbuatannya dilakukan dengan melawan
hak. Apabila salah satu unsur perbuatan pencurian dimaksud tidak tergambarkan
seperti perbuatannya dilakukan dilakukan melawan hak maka dakwaan menjadi
tidak jelas dan kabur, jadi harus ada uraiannya dari semua unsur pencurian yang
ada dalam pasal tersebut.

5
Ibid
6
Gatot supramono, 1998, Bagaimana Mendampingi Seseorang Di Pengadilan , Jakarta, djambatan hal. 81
7
Kuffal, HMA, KUHAP dalam Praktik Hukum, Malang, UMMM Press 2003 Hal. 223
.f5. Uraian Dakwaan Subsidairitas Sama Kalimatnya

Pada praktikya jarang ditemukan perkara yang masuk pengadilan diajukan


dengan dakwaan tunggal. Hal ini terjadi karena JPU tidak ingin menanggung
risiko kegagalan jika menggunakan dakwaan tunggal yang berakibat terdakwa
bebas.oleh karena itu pada praktiknya banyak perkara pidana yang diajukan
pengadilan dangan dakwaan berlapis berupa dakwaaan subsidairitas,dengan
tujuan jika dakwan primair tidak terbukti maka dakwaan subsidair tersebut
biasanya dapat dibuktikan.

Diantara sejumlah surat dakwaan yang dakwaannya disusun secara subsidairitas


apabila diteliti dengan seksama dakwaan yang satu dengan yang lainnya,
dengan kalimat yang sama bahkan sampai tanda boc titik dan komanya sama,
Adapun yang berebda hanya pasal dakwaan yang emnjadi dasar hukum surat
dakwaan.

Dakwaan yang demikian menjadi membingungkan karena terdakwa didakwa


dengan 2 tindak pidana yang berbeda akan tetapi keduanya dengan uraian yang
sama. Hal ini terjadi manakala penuntut umum tidak mau repot dan ingin
pekerjaan cepat selesai sehingga menggunakan cara copy paste dakwaan
primair. Dari situ akan terlihat uraian tindak pidana materielnya pasti ada yang
tidak sinkron dengan rumusan deliknya.

Sebagai contoh pernah ada pada perkara korupsi tahun 2009 dipekanbaru. 8
Dakwaan primair didasarkan pada pasal 2 (1) UU Tipikor dan dakwaan subsidair
didasarkan pada pasal 3 UU Tipikor yang uraiannya sama kalimatnya.
Berhubungan uraiannya sama mak terdapat ekjanggalan, karena bila diteliti
unsur pasal 2 (1) tersebut adalah perbuatannya dilakukan secara melawan
hukum, sedangkan salah satu unsur pasal 3 UU Tipikor yaitu pebuatannya
dilakukan dengan cara penyelahgunaan kewenangan atas jabatan atau
kedudukannya. Sehingga uraiannya tidak nyambung dengan unsurnya. Selain
dakwaan subsidairitas dalam praktik juga ditemukan ada surat dakwaan yang
dibuat alternatif yang uraianya sama, nemun jumlahnya tidak banyak, dakwaan
kesatu dengan dakwaan kedua uraian tindak pidana materielnya sama
kalimatnya sama tetapi dengan dasar hukum yang berbeda.

Jika diketemukan kondisi demikian, dengan tindak pidana yang didakwakan


berbeda jenisnya maka tidak mungkin uraian perbuatannya bisa sama sebab
cara melakukannya pun beda. Maka hal ini merupakan peluang bagi penasihat
hukum untuk menanggapi didalam keberatan terhadap surat dakwaan.

.f6. Kekeliruan Konstruksi Dakwaan

8
Op cit (Gatot Supramono I Teknis Membuat Keberatan Surat Dakwaan)
Sebagaimana telah diketahui dalam acara pidana terdapat 5 bentuk dakwaan
yakni dakwaan tunggal, dakwaan alternatif, dakwaan subsidairitas,dakwaan
kumulatif, dakwaan ca,puran (kombinasi), masing masing dakwaan mempunyai
ciri sendiri dan tidak perlu dibahas Kembali disini.

Konstruksi dakwaan dikatakan tidak benar manakala didalamnya isinya tidak


dibuat menyimpang dari ciri khasnya, misalnya untuk dakwaan tunggal hanya
berisi satu tindak pidana yang didakwakan terhadap terdakwa namun konstruksi
dakwaannya terrdiri dari dua atau tiga tindak pidana yang didakwakan. Mka
kondisi demikian sudah melenceng dari ciri khansya seharusnya surat dakwaan
disusun dengan dakwaan subsidairitas atau alternatif apabila indak pidana
sejenis, dalam putusan mahkamah agung RI nomor.1289 K/Pid/1984 tanggal 26
juni 1987 terdakwa didakwa JPU terdakwa didakwa penuntut dengan dakwaan
yang disusun secara tunggal akan tetapi didalam surat dakwaan itu terdakwa
didakwa melakukan 2 macam tindak pidana sekaligus yaitu pidana penggelapan
372 KUHP dan pidana penipuan 378 KUHP oelhakarena itu seharusnya terdakwa
didakwa dengan dakwaan alternatif. apabila dalam praktik dijumpai kondisi
demikian maka konstruksi dakwaan tersbeut meemenuhi kosntruksi dakwaan
yang kabur membingungkan kemudian dihubungkan dengan pasal 143 (2)
KUHAP huruf b jelas dakwaan tersebut memenuhi unsur dakwaan yang tidak
cermat, jelas dan elngkap dan berakibat batal demi hukum vide pasal 143 (3)
KUHAP.

.f7. Dasar Hukum Dakwaan Keliru

Sebagai contoh ditahun 2004 dalam perkara penipuan diwilayah hukum


Tangerang9 terdapat seroang terdakwa didakwa dengan rumusan delik pasal 378
KUHP,uraian perbuatan terdakwa dalam surat dakwaan disebutkan tentang cara-
cara perbuatan delik dilakukan terdakwa sampai korban menyerahkan barang-
barang dan merasa dibohongi serta dirugikan terdakwa, namun dibagian akhir
surat dakwaan, JPU mencantumkan pasal 375 KUHP sebagai dasar
hukumannya. Ketidaksinkronan anatara uraian materiel delik dengan dasar
hukum demikian menjadikan surta dakwaan menjadi kacau, janggal dan tidak
jelas, akibat eksalahan redaksi surat dakwaan menjadi kandas dipengadilan, dan
terdakwa tidak dapat diepriksa dan diadili dnegan dasar surat dakwaan tersebut.

.f8. Dakwaan tidak Didasarkan Hasil Penyelidikan

Semua materi perkara harus sudah pernah dilakukan penyidikan dan hasilnya
tertuang di dalam berita acara penyidikan. Ruang lingkup perbuatan yang
didkawakan harus bersumber dari hasil penyidikan,apabila materi surat dakwaan
tidak sejalan merupakan bahan bagi penasehat hukum terdakwa untuk
9
Ibid Hal 118
dituangkan dalam surat keberatannya. Contoh kasus, dalam perkara pidana
korupsi kasus transmigrasi10 Tahun 1989 di Kabupaten Selayar. Dalam jalannya
persidangan diketahui terdakwa melakukan perbuatan pembangunan rumah dan
pembangunan jalan untuk kepentingan transmigransi local jedua pembangunan
tersebut bermasalah, karena tidak sesuai perencanaan pembangunan, akan
tetapi setelah surat dakwaan diteliti dan dipelajari dan dihubungkan dengan
berkas perkara penyidikan ternyata diketahui hanya pembangunan rumah saja
yang di sidik sedangkan pembangunan jalan tidak pernah dilakukan penyidikan
oleh penyidik.surat dakwaan yang demikian tersa janggal karean perbuatan surat
terdakwa dalam surat dakwaan diperluas dengan sumber data yang tidak jelas,
bahkan anehnya keterangan saksi saksi dalam persidangan seolah olah
membenarkan dakwaan JPU, dengan demikian Surat dakwaan batal dmei hukum
karena tidak sejalan dengan KUHAP yang harus dibuat sesuai dengan hasil
penyidikan.

2. Tehnik membuat Nota Pembelaan

Bagaimanakah cara menyusun pledoi? Secara umum tidak ada suatu teori yang
baku bagaimana teknik menyusun pledoi (pembelaan). Sementara itu pledoi
merupakan sebuah instrument yang sangat penting dari pekerjaan seorang
pengacara (lawyer) dalam mendampingi seorang terdakwa dalam persidangan.
Dengan kedudukannya yang penting itu, bagaimanakah cara menyusun dan apa
isi sebuah pledoi ? KUHAP sendiri tidak mengatur secara terperinci terhadap apa
yang disebut dengan pembelaan (pledoi), termasuk tidak memberikan
pengertian terhadap apa yang disebut dengan pembelaan (pledoi) itu sendiri.

Jika penuntut umum bisa fokus saja pada pembuktian dakwaannya dalam surat
tuntutan, sementara pengacara tidak bisa hanya fokus dengan pembelaannya
dengan mengabaikan surat tuntun penuntut umum. Tidak ada keharusan
memang, seorang pengacara harus membahas surat tuntutan penuntut umum,
tetapi seorang pengacara yang sungguh-sungguh dan professional pasti tidak
akan mengabaikan surat tututan penuntut umum. Mengelola pembelaan dalam
dua kondisi seperti itu pun belumlah cukup, karena kemudian soal isi atau apa
yang diuraikan dalam pledoi akan menjadi penentu, apakah seorang pengacara
telah menyikapi dua kondisi itu dengan baik dan maksimal. Di lain hal, pledoi
yang dibuat secara implisit memperlihatkan pula kualitas dan professional
seorang pengacara, terlepas dari soal apakah pleedoi yang diberikan diterima
atau tidak oleh hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan. Tetapi yang
jelas sebuah pleedoi yang baik merupakan sebuah dokumen persidangan hasil
kerja seorang pengcara dan akan menjadi acuan untuk mengajukan upaya

10
Ibid Hal 119
hukum yang tersedia apabila seorang terdakwa tidak puas dengan putusan
hakim.

Namun seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwa tidak ada satu acuan
yang baku bagaimana bentuk, susunan dan isi dari sebuah pledoi, dan hal itu
menyiratkan bahwa bentuk, susunana dan isi pledoi tumbuh dan berkembang
dari praktek pekerjaan seorang pengacara. Dalam praktek bisa diamati
terlihatnya bentuk dan susunan pledoi yang berbeda antara satu pengacara
dengan pengacara yang lain.

Meskipun demikian dalam beberapa literatur dikemukakan apa yang menjadi isi
dari sebuah pledoi seperti; alasan dan dasar pembelaan; secara teknis dalam
pledoi hampir selalu dikedepankan soal adanya:

1. kekeliruan penuntut umum baik mengenai jenis tindak pidananya,


keliru dalam menafsirkan ketentuan peraturan perundang-
undangan, keliru menghubungkan keterangan saksi dengan barang
bukti;
2. ketidak sesuaian soal apa yang diuraikan dalam surat dakwaan
dengan apa yang dibuktikan dalam surat tuntutan;
3. adanya pengenyampingan alat-alat bukti;
4. adanya perbedaan keterangan saksi dalam BAP dengan apa yang
diterangkan saksi dalam persidangan;
5. adanya pengajuan barang bukti yang tidak relevan;
6. keterangan saksi yang melemahkan-kelemahan keterangan saksi
yang memberatkan dan keterangan saksi yang meringankan atau
melemahkan dakwaan yang dibaikan penuntut dan lain sebagainya.
Pendeknya acapkali sebagai versus terhadap surat tuntutan
penuntut umum.
Beberapa hal yang dikemukakan di atas merupakan kecenderungan dari sebuah
pledoi yang melakukan pembahasan terhadap surat tuntutan penuntut umum.
Sedangkan sebuah pleedoi yang bertolak dalam dua kondisi yakni mengkaji surat
tuntutan dan sekaligus membangun pembuktian dari sisi pandang pengcara
sendiri berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan yang
dikuasainya dengan baik dari pada semata-mata hanya berupa kontra terhadap
pembuktian penuntut Umum dalam surat tuntutan. Tidak mudah memang, tetapi
kuncinya terletak pada sejauh mana seorang pengacara menguasai materi
perkara dan menguasai fakta-fakta yang terungkap dalam pemeriksaan
persidangan. Ini tentu erat kaitannya dengan sejauh mana seorang pengacara
memberikan perhatian dan melakukan pencatatan terhadap segala hal yang
terjadi dalam ruang persidangan.

Di lain pihak terkait pula dengan materi terkait perkara yang ada pada diri
pengacara yang akan didalaminya selama dalam proses pemeriksaan. Tanpa
ada objek atau materi yang menjadi fokus yang ingin didalami
pengacara dalam proses pemeriksaan perkara, maka adalah mustahil
lahir sebuah pledoi yang baik dan yang mungkin terjadi adalah sebuah
pledoi yang “kering”. Bahkan tidak mungkin merugikan kepentingan hukum
terdakwa sendiri atau jauh dari apa yang diharapkan dan dipahami terdakwa.

Menyusun sebuah pledoi adakalanya lebih sulit dari menyusun sebuah karya
ilmiah. Sebuah pledoi terikat dengan fakta-fakta yang terungkap dalam
persidangan, sedangkan sebuah karya ilmiah bebas memilih literatur dan data
yang diperlukan serta tidak terikat dengan nasib seseorang. Sebuah karya ilmiah
menjadikan kasus sebagai data atau bahan kajiannnya, sebaliknya sebuah pledoi
membutuhkan teori atau ajaran hukum untuk mendukung, menguatkan
kesimpulan pembuktian unsur pidana dari pasal yang didakwakan yang ditarik
dari fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan.

Di dalam praktek atau dalam sebuah pledoi tidak jarang juga ditemukan adanya
pleedoi disusun penuh dengan pengedepanan teori-teori atau ajaran hukum dan
minim porsi fakta hukum dari perkara yang dihadapi. Ada juga kemungkinan
sebuah pledoi penuh dengan fakta-fakta tetapi minim dukungan teori atau ajaran
hukum. Kedua kecenderungan ini tentu sama jeleknya bagi sebuah penyusunan
pledoi, dan sama-sama berpotensi pledoi akan Tampak tidak maksimal. Idealnya
adalah kombinasi antara fakta yang terungkap dalam persidangan dengan
dukungan atau diperkuat teori/ajaran hukum. Meskipun dalam penguraiannya
dalam pledoi sebuah teori tidak ekplisit disebutkan, sebuah teori biasa saja
“terbenih” atau terkandung dalam penguraian penyusunan kesimpulan dari
fakta-fakta yang dihimpun dalam sebuah pembuktian unsur pidana.

Tetapi sekali lagi, tidak ada cara yang baku bagaimana susunan, isi dan cara
mengungkapkan isi sebuah pledoi. Selain menyusun pledoi bersandar pada
esensi dari pledoi itu sendiri, juga disangat dipengaruhi oleh style dan
pengalaman sang pengacara sendiri menangani perkara. Bentuk, isi dan cara
pengungkapan sebuah pledoi dengan pledoi yang lain tidak akan sama meskipun
dari seorang pengacara yang sama. Artinya isi dan susunan pledoi juga
tergantung pada kondisi atau situasi yang mengelingkupi sebuah perkara yang
dihadapi dan karenanya sebuah pledoi memiliki sifat dinamis.

3. Tehnis membuat Petitum dalam nota Pembelaan


kesempatan terakhir yang diberikan kepada terdakwa atau Penasihat Hukum
dipergunakan sebaik-baiknya, kemudian Jaksa Penuntut Umum dan terdakwa
atau Penasihat Hukum, sepakat untuk mengakhiri tuntutan dan pembelaan,
maka pengadilan bermusyawarah tentang segala sesuatu mengenai:
1. perbuatan mana yang sudah terang karena pemeriksaan oleh Hakim itu;
2. telah teranglah orang yang didakwa itu salah tentang perbuatan itu;
3. kejahatan apa yang terjadi karena hal itu;
4. hukuman mana yang harus dijatuhkan kepada orang yang didakwa itu.

Permusyawaratan hakim dalam UU Nomor 14 Tahun 2009 tentang Kekuasaan


kehakiman vide pasal 14 menentukan :

(1) Putusan diambil berdasarkan sidang permusyawaratan hakim yang bersifat


rahasia;
(2) Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan
pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa
dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan;
(3) Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat,
pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan;
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sidang permusyawaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Mahkamah
Agung.
Permusyawaratan Hakim ini diletakkan atas dasar bahwa susunan Pengadilan
merupakan kolegial serta asas Peradilan dilakukan "DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA"
Dalam KUHP asas putusan dalam musyawarah majelis dirumuskan dalam Pasal
182 ayat (6) yang menentukan dimana musyawarah itu merupakan hasil
pemufakatan bulat, kecuali jika hal itu setelah diusahakan tidak dicapai, maka
berlaku aturan:
a. putusan diambil dengan suara terbanyak;
b. jika ketentuan (a) tidakjuga diperoleh, putusan yang dipilih adalah pendapat
hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa.

Asas musyawarah ini dalam perkara pidana dimaksudkan untuk memperoleh


kebenaran sejati (materieele waarheid) dan bukan kebenaran formil ( formele
waarheid). Dalam musyawarah akan dipertanyakan masalah surat dakwaan dan
hal ikhwal yang terjadi oleh pemeriksaan Hakim.
Pasal 6 ayat (2) UU 48/2009 menentukan : Tidak seorang pun dapat dijatuhi
pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut
undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat
bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas
dirinya. Ketentuan ini menunjukkan bahwa dalam hukum acara pidana, harus
diikuti ajaran pembuktian yang disebut “negatieve wettelvjke bewijsleed'
Pembebasan Terdakwa (Vrijspraak)
Surat dakwaan menentukan batas atau ruang lingkup dari pemeriksa, ia memuat
semua unsur-unsur dari tindak pidana yang didakwakan serta memuat uraian
dari fakta-fakta (delictomschrving),dengan mencantumkan waktu dan tempat di
mana perbuatan dilakukan, sehingga surat dakwaan merupakan litis constatio.
Selain itu surat dakwaan menjadikan dasar putusan hakim yakni surat dakwaan
yang menurut bunyi terakhir yang sudah mengalami perubahan dan tambahan
sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 144 KUHAP Keputusan yang mengandung
pembebasan terdakwa atau vurijspraak, sebagaimana diatur dengan pengertian
yang tercantum dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP, yang isinya menyatakan: ‘Jika
pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan
terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah
dan meyakinkan, maka terdakwa harus diputus bebas.”
Ketentuan di atas sama dengan Pasal 313 HIR, yang isinya menyatakan: “Jika
pengadilan negeri berpendapat bahwa kesalahan orang yang dituduhkan tidak
terang, maka orang itu dibebaskan (naskah dari Mr. R. Tresna).
Dalam bukunya Hukum Acara Pidana di Indonesia, DR. Mr. Wiryono, pada
halaman 87, cetakan tahun 1962 menuliskan: “Ketiadaan bukti ini ada dua
macam:
a) Ke-1: ketiadaan bukti yang oleh undang-undang ditetapkan sebagai
minimum, yaitu adanya pengakuan terdakwa saja, tidak dikuatkan oleh alat
bukti lain;
b) Ke-2: minimum pembuktian yang ditetapkan oleh undang-undang telah
dipenuhi, misalnya sudah ada dua orang saksi atau dua penunjukkan atau
lebih, akan tetapi hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa;

Menurut hemat kami, masih perlu ditambahkan dalam hal pemidanaan dengan
kualifikasi pembebasan, yakni: Ke-3: jika salah satu unsur atau lebih dari
pertanggungjawaban pidana: perbuatan pidana yang bersifat melawan hukum,
mampu bertanggung jawab, sengaja atau alpa dan tidak alasan pemaaf, tidak
terbukti. Maka atas dasar ketiga hal tersebut di atas, terdakwa harus diputus
pembebasan atau vrijspraak

Putusan pembebasan dari terdakwa yang demikian ini dinamakan dalam liberatur
sebagai zuivere vrijspraak (Mr. JM van Bemmelen). Rumusan DR. Mr. Wiryono
Prodjodikoro, sebagaimana tersebut di atas, juga terdapat dalam rumusan Pasal
183 KUHAP, yang isinya menyatakan: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana
kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti
yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar
terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Maka dari Pasal
183 KUHAP ini menunjukkan bahwa yang dianut sistem pembuktian, ialah sistem
negatif menurut undang-undang (negatif wettelijk) dengan menyebutkan adanya
dua alat bukti yang sah serta adanya keyakinan bahwa terdakwa bersalah.
Penyebutan dua alat bukti merupakan limitatif suatu pembuktian minimum yang
ditetapkan oleh undang-undang (Pasal 184 KUHAP), karena itu Hakim tidak
diizinkan untuk menyimpang dalam menjatuhkan putusannya. 11

Lepas dari Tuntutan Hukum (ontslag vanrechtservolging)

11
Martiman Projohsmijojo, strategi memenangkan perkara, Jakarta, Pradnya Paramita, 2002, Hal 40-45
Bahwa disamping adanya putusan yang mengandung pembebasan, terdapat
pula putusan yang mengandung pelepasan dari tuntutan hukum ( ontslag
vanrechtservolging) sebagaimana diatur dengan pengertian Pasal 191 ayat (2)
atau Pasal 314 HIR. Pasal 191 ayat (2) KUHAP berbunyi: “Jika pengadilan
berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti,
tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa
diputus lepas dari segala tuntutan hukum.”

Ketentuan di atas sama dengan Pasal 314 HIR, ayat (1), yang isinya: “Jika
Pengadilan Negeri menimbang, bahwa perbuatan yang menyebabkan orang
dituduh ditarik ke muka hakim betul terang, akan tetapi tiada menjanjikan
kejahatan atau pelanggaran maka Pengadilan Negeri melepaskan orang yang
dituduh itu dari segala tuntutan hukum karena perkara itu (Naskah dari Mr. R.
Tresna).

Berdasarkan uraian diatas dpaatlah disimpulkan bahwa terkait tekni


pendampingan Advokat dalam lapangan pidana berada dalam tiap
tingkatan, baik Lidik, Sidik hingga Putusan bahksa sampai tahapan
eksekusi,yang menunjukan sehingga dalam hal ini kemampuan
asistensi/pendampingan dalam bentuk penguasaan materi perkara
mutlak dibutuhkan seorang advokat dalam melahirkan formulasi
hukum yang efektif tepat dan cepat dalam menjalankan kewajiban
profesinya.

2. Teknis Pendampingan Dalam Lapangan Hukum Perdata

Bila seseorang hendak mengajukan tuntutan hukum di muka Pengadilan, oleh karena
merasa haknya dilanggar oleh pihak lain, maka ia wajib atau tidak menggunakan jasa
advokat. Peradilan di Indonesia tidak menganut sistem kewajiban beracara dengan
menggunakan jasa advokat, seperti halnya pernah berlaku dahulu di zaman Hindia
Belanda, pada era Raad vanjustitie (Pengadilan Tinggi) yang wajib menggunakan jasa
advokat. Adalah lain yang berlaku pada sistem HIR yaitu tidak wajib menggunakan jasa
advokat, sehingga setiap orang baik sebagai penggugat ataupun tergugat dapat
langsung menghadap di muka Pengadilan Negeri. Apabila orang yang dipanggil
menghadap Pengadilan sebagai tergugat ataupun penggugat dapat memberikan surat
kuasa untuk mewakilinya di muka Hakim, maka surat kuasa tersebut diberikan kepada
seorang advokat, pengacara ataupun penasihat hukum.

1. Batasan Pengertian kuasa

ialah persetujuan dimana seseorang bertindak sebagai pemberi kuasa dan pihak lain
bertindak sebagai penerima kuasa untuk dan atas nama pemberi kuasa melakukan
suatu perbuatan atau tindakan ( Pasal 1792 BW)
2. Cara Pemberian Kuasa

Pemberian surat kuasa dimaksud dapat dilakukan dengan akta notaris ataupun surat
di bawah tangan, bahkan dapat dilakukan secara lisan di muka Hakim yang
mengadili perkaranya. Ada kuasa yang diberikan secara cuma-cuma, artinya tidak
diberikan upah, kecuali ditentukan lain; juga kuasa dapat diberikan secara diam-
diam, artinya kuasa demikian dapat disimpulkan dari tindakan atau perbuatan yang
nyata dilakukan oleh seseorang. Namun cara terakhir ini, tidak bisa dilakukan
untuk menjalankan pekerjaan di muka Hakim.

3. Kuasa Khusus

Ada beberapa macam / jenis kuasa yang dapat diberikan oleh pemberi kuasa
kepada penerima kuasa. Kuasa yang diberikan untuk menghadap di muka Hakim
adalah kuasa khusus, didasarkan pada Pasal 123 ayat 2 H IR / 147 ayat 2 RBG,
artinya kuasa untuk menghadapi perkara atau hal tertentu, bukan sebagai kuasa
umum. Kuasa umum berarti kuasa untuk segala hal atau segala perbuatan, dengan
titik berat apa pengurusan (beheren, management, Pasal 1795 BW). Kuasa Yang
Ditunjuk Dalam Surat Gugat diletakkan pada Pasal 124 ayat 1 HIR / Pasal 147 ayat
1 RBG. Dalam gugat, maka penggugat sekaligus menunjuk dengan mencantumkan :
nama penerima kuasa, secara jelas dan terang, agar dia bertindak sebagai kuasa.
Kuasa Subtitutie. Kuasa demikian diberikan oleh penerima kuasa, agar dia bisa
mewakili penerima kuasa dalam melakukan tindakan. Kuasa substitutie dapat
diberikan bilamana kuasa dari prinsipal berisi pula wewenang untuk mengalihkan
kuasa tersebut secara keseluruhan atau sebagiannya.

4. Kompetensi Dalam Hukum Acara Perdata dikenal dua macam wewenang


mengadili, ialah:
a. Wewenang mutlak (kompetensi absolut);
b. Wewenang relatif (kompetensi relatif).
Wewenang mutlak ialah menyangkut pembagian kekuasaan antara badan-badan
peradilan yang tidak sejenis; menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili
(attribute van recahtsmacht) dari peradilan yang tidak sama. Wewenang ini
menjawab pertanyaan: Badan peradilan jenis apa yang berwenang untuk mengadili
sengketa ini? Misalnya: Badan peradilan yang berwenang mengadili perceraian dari
suami-istri yang memeluk agama Islam dan atau Kristen Protestan atau Budha.
Misal lain: Perkara yang menyangkut kerahasiaan militer itu diadili oleh badan
peradilan apa? Pembatasan jurisdiksi masing-masing badan peradilan dapat
berlandaskan berbagai ketentuan perundang-undangan.

Wewenang Relatif Wewenang relatif ialah mengatur pembagian kekuasaan


mengadili antar pengadilan yang serupa atau sejenis ( distributie visit rechsmacht).
Ia menjawab pertanyaan Pengadilan Negeri mana yang mengadili sengketa
pembagian warisan golongan Cina; Pengadilan Agama mana yang berwenang
mengadili sengketa lisan. Wewenang relatif; mengatur pembagian pengadilan yang
sejenis tergantung dari tempat tinggal (domicili) tergugat. Dalam bahasa latin, asas
ini dikenal dengan sebutan “Actor Sequitur Forum Rei” (Pasal 118 H IR / 142 RBG).

Asas Actor Sequitur Forum Rei (asas yang berwenang adalah pengadilan
tempat tinggal penggugat)

5. Gugatan dalam sengketa Perdata adalah menarik pihak lain (tergugat) ke muka
Hakim Pengadilan yang daerahnya meliputi tempat tinggal tergugat. Hali ini tersurat
dalam Pasal 118 H IR / 142 RBG. Dalam Pasal 118 ayat (1) H IR / 142 RBG,
dikatakan bahwa gugatan perdata yang dalam tingkat pertama masuk wewenang
Pengadilan Negeri, harus diajukan dengan surat gugatan, yang ditanda tangani oleh
penggugat atau orang yang dikuasakan menurut Pasal 123 H IR / 117 RBG, kepada
Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya terletak tempat tinggal tergugat
atau jika tidak diketahui tempat tinggalnya, tempat tergugat sebenarnya berdiam.
HIR/RBG ini tidak memberikan penjelasan tentang “tempat tinggal” maupun
“tempat kediaman”, karena harus dicari di tempat lain. HIR/RBG juga tidak
memuat ketentuan, bagaimana jika yang digugat itu bertempat tinggal di luar
Indonesia.
Dalam Pasal 17 KUHPerdata, dikatakan bahwa “tempat tinggal” adalah tempat
dimana seseorang menempatkan pusat kediamannya. Secara formalnya, “tempat
tinggal” dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP), atau Surat Izin
Mengemudi, Kartu Keluarga (KK) seseorang. Jadi, “tempat tinggal” diartikan dimana
seseorang tercatat sebagai penduduk di desa yang disebut dalam KTP tersebut dan
dimana dia berdiam diri.
Lain halnya dengan “tempat kediaman”, adalah tempat dimana kebiasaan dia
berada disitu; mungkin kebiasaannya (di) tempat peristirahatan, mungkin tempat
bermain, misalnya tempat olah raga, bowling, bahkan warung kopi, di m ana dia
sering berada di situ. Dalam hal tempat kediaman orang yang digugat berada di luar
wilayah Indonesia, maka ketentuan Pasal 99 ayat (3) H IR memberikan petunjuk,
bahwa jika yang digugat tidak mempunyai tempat tinggal yang nyata di Indonesia,
maka tuntutan terhadapnya dapat diajukan kepada Pengadilan Negeri di tempat
tinggal yang menggugat.
Pengecualian asas Actor Sequitur Forum Rei
Dalam Pasal 118 H IR / 142 RBG, terdapat pengecualian asas Actor Sequitur Forum
Rai, yakni jika:
a) Lebih dari seorang tergugat Jika lebih dari seorang tergugat, maka penggugat
dapat memilih Pengadilan Negeri dari tempat tinggal salah satu dari tergugat;
b) Domisili pilihan Jika kedua belah pihak (penggugat dan tergugat) memilih tempat
tinggal tetap dengan akta tertulis, maka penggugat dapat mengajukan gugat
kepada Ketua Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal penggugat, atau
jika gugatan mengenai barang tak bergerak, gugat diajukan kepada Ketua
Pengadilan Negeri dalam daerah hukumnya barang itu terletak, ( idomicilie
keuze)
c) Obyek barang tak bergerak Jika tidak diketahui tempat tinggalnya yang tetap,
maka gugat diajukan kepada Ketua Pengadilan dalam daerah hukum tempat
tinggal penggugat, atau jika gugatan mengenai barang tak bergerak,- gugat
diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dalam daerah hukumnya barang itu
terletak.
Selain itu masih terdapat pengecualian yang terdapat dalam KUHPerdata,
Rechtsvordering (Rv) dan Undang-undang Perkawinan (UU Nomor 1 tahun 1974),
antara lain ialah:

a. Tergugat kurang cakap bertindak Jika tergugat kurang cakap, misalnya kurang
sehat akal pikirannya, untuk menghadap ke muka Hakim, gugatan diajukan
kepada Ketua Pengadilan Negeri tempat tinggal orang tuanya, atau walinya, atau
pengampunya (Pasal 21 KUHPerdata);
b. Buruh di tempat majikan Jika buruh menginap ditempat majikannya, yang
berwenang mengadili adalah Pengadilan Negeri tempat tinggal majikan itu (Pasal
22 B W);
c. Kepailitan Jika dalam hal kepailitan, yang berwenang mengadili adalah
Pengadilan Negeri yang menyatakan tergugat pailit. (Pasal 99 ayat 15 Rv);
d. Pembatalan Perkawinan Jlika menyangkut permohonan pembatalan perkawinan,
yang berwenang ialah Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama dalam daerah
hukum di mana perkaw inan itu dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua
suami-istri, suami atau istri.(Pasal 25 jis 63 (1) b, UU Nomor 1 tahun 1974, Pasal
38 (1) dan (2) Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975);
e. Penjaminan Jika menyangkut hal penjaminan ( vrijwaring), yang berwenang
untuk mengadili adalah Pengadilan Negeri yang pertama dimana pemeriksaan
dilakukan (Pasal 99 ayat 14 Rv). f);
f. Perceraian Jika gugatan perceraian dapat diajukan kepada Pengadilan Negeri di
tempat kediaman penggugat, dalam hal tergugat bertempat tinggal di luar
negeri, gugatan diajukan di tempat kediaman penggugat dan Ketua Pengadilan
Negeri menyampaikan permohonan tersebut kepada tergugat melalui perwakilan
Republik Indonesia setempat (Pasal 40 jis Pasal 63 (1) b, UU nom or 1 tahun
1974, Pasal 20 (2) dan (3) PP nomor 9 tahun 1975).

6. Ruang Lingkup tutuntan dalam surat gugatan


Pasal 118 H IR / 142 RBG tidak memuat ketentuan tentang isi surat gugat, juga
tidak membedakan macam-macam tuntutan. Lain halnya dengan Hukum Acara ( Rv)
bagi Raad vanjusdtie dan Hooggerechtshof (HGH), yang membedakan isi tuntutan,
yakni:

a) Tuntutan perkara kebendaan (zakelijke rechtsvordering) yaitu: mengenai milik


atas suatu benda yang tertentu dan pasti atau juga mengenai suatu hak benda;
b) Tuntutan kepribadian, yaitu mengenai perjanjian perdata, baik yang berdasar
persetujuan ataupun berdasarkan undang-undang;
c) Tuntuan campuran, yaitu yang sifatnya kepribadian maupun perbedaan seperti
tuntutan perkara warisan, pemisahan harta kekayaan, pemecahan dan
persekutuan penetapan batas pekarangan yang bersampingan.

HIR / RBG tidak mengadakan pembedaan seperti acara Rv, bahkan jika seseorang
tidak bisa merumuskan tuntutan, boleh saja hanya memohon dengan kata-kata
sederhana “memohon putusan yang adil” ( ex aequo et bono). HIR/RBG tidak
menetapkan syarat-syarat bagi isi gugatan, kecuali jika sengketanya telah
diputuskan oleh Hakim Perdamaian di desa. Putusan Hakim Perdamaian itu harus
dilampirkan. Pada waktu gugatan diajukan, penggugat dapat ditolong oleh Ketua
Pengadilan, sehingga cara memformulasikan gugatan dapat diperbaiki. Sedikitnya
gugatan harus berisi gambaran tentang kejadian materiil ( materiele gebeuren) yang
menjadi dasar gugatan.
Di muka sidang kejadian-kejadian materiil dapat dijelaskan lebih lanjut, sehingga
kemudian menjadi jelas bagi pengadilan dan bagi tergugat, selain itu HIR/RBG juga
tidak mengharuskan penggugat untuk memformulasikan secara konkret apa yang
dituntut. Dalam jurisprudensi terakhir membolehkan tuntutan terutama (primer),
diikuti dengan tuntutan pengganti (subsider), supaya Hakim mengadili menurut
keadilan yang benar, supaya Hakim memberi keadilan.
7. Perubahan tuntutan (eis)
HIR / RBG tidak rnemuat peraturan tentang hal perubahan tuntuan hal Ini bukan
berarti bahwa perubahan tuntutan tidak diperbolehkan. Perubahan tuntutan atau
tambahan tuntutan tidak boleh melewati batas-batas kejadian materiil yang menjadi
dasar gugatan.
Hakim perdata harus menjaga agar perubahan/ tambahan tidak merugikan
tergugat. maka selayaknya tergugat diberi kesempatan untuk membela
kepentingannya. Beberapa bentuk perubahan tuntutan :
a. Tuntutan dicabut HIR/RBG tidak memuat aturan tentang pencabutan gugatan.
Dalam praktek, pencabutan sering terjadi atas anjuran Ketua Pengadilan, sebab
gambaran kejadian materiil dalam gugatan telah banyak menyimpang dari
keadaan yang nyata. Pencabutan selalu terjadi dengan persetujuan tergugat, jika
pemeriksaan telah dimulai;
b. kumulasi Gugatan HIR/RBG tidak memuat peraturan tentang penggabungan
dari beberapa gugatan menjadi satu. Jika seseorang mempunyai lebih dari satu
tuntutan, yang semuanya menuju kepada satu tujuan yang sama, maka dengan
dipenuhinya salah satu tuntutan itu, tuntutan-tuntutan yang lain tercapai juga,
oleh karena maksud bersama telah tercapai. Jurisprudensi mengatakan bahwa
antara gugatan-gugatan yang digabungkan itu harus ada hubungan batin
(innerlijk sarnenhang) atau connexiteit. Pengumpulan demikian akan
memudahkan proses dalam menghindarkan putusan-putusan yang saling
bertentangan.
8. Gugatan reconventie atau gugatan balik, yaitu dimana tergugat dalam
jawabannya kemudian balik menuntut penggugat untuk sengketa yang lain atau
sengketa yang sama. Gugatan balik dalam sengketa yang sama itu sebenarnya
bukan gugatan balik, tetapi hakikatnya adalah jawaban belaka yang berisikan
penolakan. Kapan gugatan balik itu diajukan? Pasal 132 H IR / 158 RBG tidak
mengatur dalam hal ini, hanya mengatakan dapat diajukan pada waktu jawaban.
Berarti saat mengajukan gugatan balik adalah jawaban pertama atau jawaban
kedua [duplik).
9. Gugatan kabur (obscurelibell) atau tidak jelas
Gugatan dinyatakan kabur, berarti tidakjelas (duidelijk) maka ada hal-hal yang tidak
jelas, yakni adalah dasar hukum gugatan, karena posita ( rechtsfeiten) atau kejadian-
kejadian tidak mendukung dasar hukum, atau dengan kata lain antara dasar gugatan
tidak sesuai (bertentangan) dengan kejadian atau'kenyataan yang riil (sebenarnya).
Sehingga tidak bisa dikonkritisir dalam bentuk petitum yang tegas artinya tepat;
contoh: batas-batas tanah tidak jelas, ukuran dan luas tidak tepat, tidak ditemukan
persengketaan yang menjadi obyek, serta kurang pihak.

10. Acara Verstek


Jika pada sidang pertama, yang ditetapkan untuk mengadili perkara, salah satu pihak
tidak hadir maka berlakulah acara istimewa. Jika penggugat pada hari tersebut tidak
hadir dan tidak ada wakilnya yang disuruh hadir, dan panggilan itu sah maka:
a) Pengadilan dapat menunda dan memanggil lagi untuk kedua kalinya, pada sidang
lain (Pasal 126 HIR);
b) Gugatan Penggugat dapat digugurkan Dan dalam keadaan ia mengajukan ulang.

Jika sebaliknya tergugat tidak hadir pada sidang pertama, dan tidak ada wakilnya
serta tidak dipanggil sah:
a. Pengadilan dapat m enunda dan memanggil lagi untuk kedua kalinya, pada sidang
lain (Pasal 126 HIR);
b. Gugatan Penggughat dapat dikabulkan dengan verstek.

Arti Verstek
Verstek adalah pernyataan, bahwa tergugat tidak hadir, meskipun ia menurut hukum
acara harus datang. Verstek itu hanya dapat dinyatakan, jika tergugat tidak datang
dalam sidang pertama. Jika ia hadir pada hari sidang pertama dan kemudian pada
sidang berikutnya tidak hadir, maka putusan verstek tidak dapat diambil, bahkan akan
diperiksa terus seperti perkara biasa, yaitu sebagai perkara kontradictoir
(optegenspraak).
11. Anasir Gugatan
Meskipun tergugat tidak hadir pada sidang pertama, jika bunyi gugatan tak dapat
diterima jika gugatan itu sendiri tak berdasarkan hukum, atau gugatan ditolak, jika
gugatan itu sendiri tak beralasan (Pasal 125 ayat (1) HIR).
Gugatan mempunyai 2 analis:
a. Posita, adalah kejadian/peristiwa hukum yang diajukan penggugat, seperti
anggapan bahwa penggugat adalah pemilik tanah;
b. Petitum, adalah tuntutan (eis) yang didasarkan atas posita tersebut.
Gugatan tidak diterima (niet ontvankelijk verklaard), jika: Posita tidak membenarkan
petitum. Contoh: Kasus penggugat mendalilkan posita perjanjian jual beli, dan petitum
minta supaya tergugat dihukum membayar harga tebusan. Dalam hal demikian gugatan
dinyatakan n. o.
Gugatan ditolak jika: Posita tidak mendukung atau membenarkan petitum. Contoh:
Penggugat meminta agar tergugat membayar harga jual beli, tetapi kejadian hukum
tidak ada gambaran terjadinya jual beli mutlak, yang sebenarnya terjadi adalah jual beli
ojoden atau jual beli gadai.
12. Perlawanan Terhadap Putusan Verstek
Tergugat yang dihukum dengan verstek boleh mengajukan perlawanan (Pasal 129 ayat
(1) perlawanan diajukan dalam waktu 14 hari setelah putusan verstek diberitahukan
kepada tergugat inpesoon. Jika putusan itu tidak diterima inpesoon, maka perlawanan
boleh diterima pada hari kedelapan sesudah teguran ( aan maning) atau delapan hari
setelah eksekusi. Dalam hal acara perlawanan { perzet procedure), yang melawan
(opposant) menjadi tergugat lagi dan yang dilawan [ geopposeerde) menjadi penggugat
lagi (Pasal 129 ayat (3)). Jika yang dilawan pada hari sidang tidak hadir maka untuk
kedua kalinya, maka perkara akan diperiksa secara kontradiktoir. Sebaliknya jikayang
melawan pada sidang tidak datang, maka untuk kedua kalinya ia akan dihukum dengan
verstek, sedang perlawanan terhadap putusan ini akan tidak diterima (Pasal 129 ayat
(5)).
13. Jawaban
Pasal 121 ayat (2) HIR, tergugat dapat menjawab dengan lisan atau tulisan. Jawaban
dapat:
1. Mengaku atau;
2. Menyangkal atau bantahan.
Apabila tergugat tidak menjawab hanya menyerahkan kepada kebijaksanaan Hakim, itu
tidak boleh diartikan tergugat tidak mengakui dan tidak membantah, sehingga dengan
demikian tergugat masih berhak mengajukan bantahan ditingkat banding.
14. Eksepsi
(Pasal 136HIR) Kecuali eksepsi tentang tidak berkuasanya Hakim, semua eksepsi
harus dimajukan bersama dengan pokok perkara. Eksepsi adalah bantahan yang
menangkis tuntutan sedang pokok perkara tidak langsung disinggung. Eksepsi sebagai
jawaban tidak langsung, sedangkan bantahan merupakan jawaban langsung mengenai
pokok perkara. Jenis Eksepsi:
1. Eksepsi tidak berkuasanya Hakim (Pasal 136 HIR) terdiri dari :
a. Eksepsi kekuasaan absolut (Pasal 134 HIR);
b. Eksepsi kekuasaan relatif (Pasal 125 ayat (2) dan Pasal 133 HIR).
2. Eksepsi nebis in idem;
3. Eksepsi kadaluarsa
4. Eksepsi diskualifikasi
15. Jawaban Tergugat
Jawaban mengenai pokok perkara harus dibuat:
1) Jelas;
2) Singkat;
3) Berisi;
4) langsung mengenai pokok permasalahan;
5) dengan alasan-alasan yang mendasar

16. Gugat balik (reconventie)


(Pasal 132 a dan 132 b HIR) menentukan beberapa hal dalam gugat balik atau
rekoventie:
a. dalam kualitas yang sama/kedudukan baik penggugat maupun tergugat;
b. ditujukan kepada penggugat atau para penggugat;
c. diajukan bersama dalam jawaban, artinya bisa pada waktu jawaban atau pada
waktu duplik, bahkan pada waktu kesimpulan, namun tidak boleh setelah
putusan diucapkan;
d. materi lain atau materi sama dengan tuntutan penggugat terakhir ini
sebenarnya bukan gugat balik, melainkan jawaban belaka.
Manfaat Gugat Balik
1. menghemat ongkos;
2. mempermudah pemeriksaan (prosedur);
3. mempercepat penyelesaian sengketa;
4. menghindarkan putusan yang saling bertentangan
Batas-Batas mengajukan gugat balik
1) antara tuntutan conventie dan reconventie tidak harus ada hubungan
(samenhang),namun biasanya ada hubungan, misalnya: dalam gugatan utang-
piutang Tergugat bisa memilih:

a. tidak mengakui tuntutan penggugat dengan jaw aban utangnya sudah lenyap,
sebab penggugat mempunyai utang pada tergugat (kompensasi);
b. mengajukan tuntutan reconventie supaya penggugat conventie bayar
utangnya.
2) tuntutan reconventie bisa berdiri sendiri. (zelfstandig) lihat contoh (b) di atas.
17. Kumpulan Jurisprudensi
1. Jurisprudensi terkait Eksepsi.
a. Putusan M.A. ta n g g a l 13 September 1973 No. 1340 K / S ip /
1971, dengan kaidah hukum, dengan kaidah hukum Eksepsi
mengenai kompetensi relatif yang diajukan sebagai keberatan kasasi
karena telah dilanggar oleh judex factie tidak dapat dibenarkan; karena
berdasarkan Pasal 133 H IR eksepsi tersebut harus diajukan pada
jawaban pertama, hal ini tidak dapat diajukan lagi.;
b. Putusan M .A . t a n g g a l 3 0 D e s e m b e r 1975 No . 361 K /
S i p / 1973 dengan kaidah hukum, Karena tangkisan tergugat
tanggal 28 Oktober 1968 bukan merupakan tangkisan dalam arti eksepsi,
tetapi jawaban (verweer), sedang menurut Pasal 162 RBG yang diputus
bersama-sama dengan pokok perkara ialah tangkisan dalam arti eksepsi,
putusan Hakim pertama terhadap tangkisan tergugat-terbanding tersebut
adalah keliru maka harus dibatalkan.
2. Jurisprudensi Gugat Balik.
a. Putusan M.A. N o. 239 K / S ip / 1968 dengan kaidah hukum,
Gugatan balik dapat diajukan selama masih berlangsung jawab-
menjawab, karena dalam Pasal 158 RB G /132 H IR hanya disebut
“jawaban” saja, dan misalnya duplikan merupakan jawaban, meskipun
bukan jawaban pertama;
b. Putusan MA ta n g g a l 18-4 1973 No. 642 K / S ip / 1972
dengan kaidah hukum, Karena gugatan reconventie diajukan setelah
8 kali sidang dan setelah pengeluaran saksi-saksi, gugatan balik ini harus
dinyatakan tidak dapat diterima.
c. Putusan MA ta n g g a l 25-3-1975 No. 1057 K / S ip / 1973
dengan kaidah hukum, Karena gugatan balik tidak didasarkan inti
gugatan dalam convIentie melainkan berdiri sendiri (terpisah), dengan
tidak diterimanya gugatan conventie tidak dengan sendirinya gugatan
dalam reconventie ikut tidak dapat diterima;
d. Putusan M.A. ta n g g a l 28-11-1973 No. 466 K / S ip / 1973
dengan kaidah hukum, Karena gugatan conventie ditujukan kepada
tergugat conventie pribadi, gugatan balik yang diajukan penggugat
reconventie/ tergugat conventie dalam kedudukannya yang berhubungan
dengan perusahaan berdasarkan Pasal 131 a H IR harus dinyatakan tidak
dapat diterima.
3. Jurisprudensi Tuntutan Provisionil
Putusan MA ta n g g a l 7 M ei 1958 N o. 4 K / S ip / 1958,dengan
kaidah hukum, menentukan tuntutan provisionil yang tercantum dalam
Pasal 180 HIR hanyalah untuk memperoleh tindakan-tindakan sementara
selama proses berjalan; t
untutan provisionil yang mengenai pokok perkara { boden geschil) tidak
dapat diterima;
4. Jurisprudensi Gugatan Insidentil
Putusan M.A. ta n g g a l 26 November 1975 No. 224 K / S ip / 1975
dengan kaidah hukum, Acara yang mengatur tentang gugatan insidentil
tidak terdapat dalam hukum acara yang berlaku, tetapi karena hal itu perlu
dan berguna untuk penyelesaian perkara ini, dengan pedoman pada acara
yang mengatur hal ini dalam Rv, Pengadilan Tinggi dapat menerima gugatan
insidentil itu untuk diperiksa dan diputus bersamaan gugatan pokok.
Gugatan dengan tuntutan Subsider Dalam mengadili suatu gugatan yang di
dalamnya terkandung tuntutan “ subsider” yang dimaksud minta supaya
Hakim mengadili menurut keadilan yang baik ( naar goede justie recht doen),
hendaknya dilakukan sedemikian rupa sehingga di satu pihak tidak dirugikan
pihak lawan di dalam melakukan pembelaan.
5. Jurisprudensi Tuntutan Revindikasi
Putusan M.A. ta n g g a l 5-6-1957 No. 108 K / S ip / 1956, dengan
kaidah hukum, Tuntutan revindikasi dapat langsung diadakan terhadap
orang yang mengusai barang sengketa tanpa lebih dulu meminta
pembatalan atas jual beli mengenai barang tersebut yang telah dilakukan
pemegangannya dengan pihak ketiga.
18. Mengubah dan Menambah Surat Gugat

HIR tidak mengatur mengenai perubahan atau penambahan surat gugatan, sehingga
Hakim leluasa untuk menentukan sampai dimana diperkenankan.

Perubahan atau penambahan diizinkan asal:

1. Kepentingan kedua belah pihak jangan sampai dirugikan, terutama pada tergugat,
dalam membela diri;
2. Tidak mengubah atau menambah posita, hingga menjadi posita yang lain dari
posita semula Contoh:
a. -Gugatan perceraian semula didasarkan atas perzinahan, diubah menjadi
perselisihan yang tidak bisa didamaikan;
b. Gugatan semula ganti rugi atas dasar cidra janji, diubah menjadi ganti rugi atas
dasar paksaan atau penipuan;
c. Tuntutan semula tidak semua ahli waris digugat lalu ditambah dengan semua
ahli waris.
19. Pengurangan Tuntutan

Dalam hal ini selalu diperkenankan, misalnya semua tuntutan agar 4 bidang tanah
diserahkan, diubah menjadi 2 sawah saja.

20. Pencabutan gugatan


Pencabutan gugatan dalam acara perdata dapat dilakukan asal saja tergugat belum
menjawab; jika tergugat sudah menjawab, maka pencabutan perkara harus seizin
tergugat. Kalau gugatan dicabut, kedua belah pihak kembali kepada keadaan semula,
artinya seperti belum pernah ada perkara sebelumnya. Jika ada sitaan jaminan yang
diletakkan, harus diperintahkan untuk diangkat,sedangkan semua biaya perkara
termasuk biaya pengangkatan sitaan jaminan tersebut dibebankan kepada penggugat.
Jurisprudensi Perubahan gugatan.

A. Putusan M.A. RI. ta n g g a l 17-12-1975 No. 226 K / S ip / 1973, dengan


kaidah hukum Karena perubahan gugatan yang diajukan penggugat/terbanding
pada sidang tanggal 11 Februari 1969 adalah mengenai pokok perkara, maka
seharusnya gugatan itu ditolak.
B. Putusan M.A.RI. ta n g g a l 28-1-1959. No.2/K/ Sip/1959 dengan
kaidah hukum Keberatan pihak tergugat asli/ pembanding untuk kasasi terhadap
perubahan isi gugatan berupa pencabutan kembali sebagian dari barang yang
digugat dapat dibenarkan, karena ini pengurangan gugat itu dapat merugikan
baginya mengenai hal warisan dan gono-gini.
C. Putusan M.A.RI. ta n g g a l 14-10-1970 No. 546 K / S ip / 1970 dengan
kaidah hukum Perubahan gugatan itu dapat diterima apabila perubahan gugatan
itu dilakukan pada taraf pemeriksaan perkara sudah hampir selesai: pada saat dalil-
dalil,tangkisan-tangkisan, pembelaan-pembelaan, sudah habis dikemukakan dan
kedua belah pihak sebelumnya mohon keputusan.
D. Putusan M.A.R.I. ta n g g a l 30-9-1972 No. 334 K / S ip / 1972 dengan
kaidah hukum, Keberatan kasasi bahwa Pengadilan Tinggi telah merumuskan
posita penggugat tidak sesuai dengan dalil penggugat, dapat dibenarkan karena
dalil penggugat adalah “menempati” tanah sengketa dengan kekerasan sedang oleh
Pengadilan Tinggi diubah menjadi “meminjam”. Jurisprudensi mengizinkan
perubahan atau tambahan gugatan dari gugat asal hal ini tidak mengakibatkan
perubahan isi posita dan tergugat tidak dirugikan dalam haknya untuk membela diri.
21. Proses Acara dengan Pihak Ketiga
Ikut sertanya pihak ketiga dalam proses tidak diatur dalam H IR. Pasal 393 HIR
berbunyi:
(1) Dalam hal mengadili di hadapan Pengadilan Bumiputera tidak boleh diperhatikan
peraturan yang lebih atau yang lain daripada yang ditentukan dalam reglemen ini;
(2) Akan tetapi Gubernur Jenderal tinggal tetap memegang hak, sekedar tentang
mengadili perkara perdata, setelah berbicara dengan Mahkamah Tinggi di
Indonesia akan menetapkan lagi peraturan lain, yang lebih sesuai dengan
peraturan tuntutan hukum perdata di hadapan Pengadilan Eropa, untuk Pengadilan
Negeri di Jakarta, Semarang dan Surabaya. Jika nyata benar bahwa menurut
pengalaman, perlu sekali diadakan peraturan sedemikian dapat juga untuk
Pengadilan Negeri yang lain-lain, jika terdapat juga keperluan yang serupa. '
Ketentuan ayat (1) tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan karena praktek
memerlukan lembaga pihak ketiga masuk dalam proses perkara, maka ayat (2)
harus ditafsirkan, apabila Pengadilan Negeri menganggap perlu dan benar-benar
dibutuhkan, dengan mengambil alih lembaga-lembaga yang terdapat dalam Rv,
misalnya Voeging, tussenkomst, vrijwaring.

Proses dengan pihak ketiga diatur dalam Rv Pasal 279-282. Syarat pihak ketiga masuk
dalam proses ialah berkepentingan. Artinya kepentingannya akan terganggu, jika dia
tidak mencampuri proses atau dengan cara mencampuri proses dia mempertahankan
kepentingannya.
a) voeging Jika pihak ketiga akan membela pihak penggugat atau tergugat disebut
voeging. Misalnya A berhutang, mencampuri proses yang diajukan sebagai borg. A
itu dapat menolong borgnya dan dia berkepentingan bahwa borg itu akan dihukum.
b) Tussenkomst Putusan M.A.R.I t a n g g a l 3 -1 2 -1 9 7 1 No . 1043 K / S i p /
1971 27, Jika pihak ketiga tidak membela salah satu pihak, melainkan membela
kepentingannya sendiri, disebut tussenkomst. Misalnya A dan B bersengketa tentang
hak atas tanah, kemudian C memasuki proses, dengan mengatakan tanah itu milik
saya (C).
c) Vrijwaring (penanggungan) Adalah pemanggilan pihak ketiga dalam proses untuk
menanggung (menjamin), agar supaya tergugat bebas dari penuntutan yang
merugikan. Misalnya A membeli tanah dari B; selang beberapa lama C menggugat A
dengan dalil tanah itu miliknya; kemudian A memanggil B untuk memberikan
jaminan bahwa jual beli tanah dari B kepada A.
d) Jurisprudensi Penarikan pihak ketiga ke dalam perkara. Putusan MA ta n g g a l 13
M aret 1979 N o. 141 K / S ip / 1978 . Pengikutsertaan pihak ketiga dalam suatu
proses perdata yang sedang berjalan, ditentukan oleh ada tidaknya permintaan
untuk itu dari para pihak atau pihak ketiga di luar perkara yang merasa
berkepentingan.
e) Intervensi. PUTUSAN MA ta nggal 16-12-1976 Judex factie mempunyai pengertian
yang salah mengenai istilah intervensi dan pembantah. Intervensi (ictussenkomst)
adalah pihak ketiga yang tadinya berdiri di luar acaRa sengketa, kemudian diizinkan
masuk ke dalam acara yang sedang berjalan untuk membela kepentingannya
sendiri. Sedangkan pembantah adalah pihak ketiga yang membela kepentingannya
sendiri, tetapi berada di luar acara yang sedang berjalan dan perkaranya tidak
disatukan dengan perkara pokok antara penggugat dan tergugat. Oleh karena itu
interventient tidak dapat merangkap menjadi pembantah dalam sa tu perkara yang
sama

Berdasarkan uraian diatas terkait atas teknis Pendampingan Dalam Lapangan Perdata
maka dapatlah disimpulkan bahwa Lingkup Acara Perdata sangatlah ajek sehingga disini
tidak berbeda dengan lapangan pidana, sehingga disini peran pemahaman legal
reasoning mutlak dibutuhkan dalam menganalisa suatu kasus yang sedang ditangani.
3. Skema Acara Peradilan Agama
Peradilan agama berwenang memeriksa berwenang memeriksa, mengadili, memutus
dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai ketentuan
peraturan Perundang-undangan. Kewenangan pengadilan agama sebagaimana diatur
dalam UU No 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU No.7 Tahun 1989 tentang
peradiilan agama yaitu :
1. Perkawinan;
2. Waris;
3. Wasiat;
4. Hibah;
5. Zakat;
6. Infaq;
7. Shodaqoh;
8. Ekonomi syariah
Sumber hukum peradilan agama:
1. Yang terdapat dalam UU Nomor 7 tahun 1989;
2. Yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum;
3. Peraturan perundang-undangan menjadi inti Hukum Acara Perdata Peradilan
Umum, antara lain:
a. HIR (Het Herziene Inlandsche Reglement) atau disebut juga RIB (Reglement
Indonesia yang di Baharui);
b. Rgb (Rechts Reglement Buitengewesten) atau disebut juga Reglement untuk
daerah Seberang, maksudnya untuk luar Jawa-Madura;
c. Rv (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering) yang zaman jajahan
Belanda dahulu berlaku untuk Raad van Justitie;
d. BW (Burgerlijke Wetboek) atau disebut juga Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata Eropa;
e. Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989, tentang peradilan umum
A. Prosedur Penerimaan Perkara Pada Pengadilan Agama
Pengadilan Agama merupakan salah satu penyelenggara kekuasaan kehakiman yang
memberikan layanan hukum bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam
mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-undang Nomor 7 tahun
1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3
tahun 2006 dan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009. Susunan organisasi
Kepaniteraan Pengadilan Agama terdiri dari empat unsur, yaitu Sub atau urusan
kepaniteraan permohonan, sub atau urusan kepaniteraan gugatan, sub atau urusan
kepaniteraan hukum, dan kelompok tenaga fungsional kepaniteraan.
Untuk melaksanakan tertib administrasi perkara di Pengadilan Agama dan dalam rangka
penyelenggaraan administrasi peradilan yang seragam, baik, dan tertib. Ketua
Mahkamah Agung RI dengan suratnya tertanggal 24 Januari 1991 No.
KMA/001/SK/1991 telah menetapkan pola-pola pembinaan dan pengendalian
administrasi perkara.
A. Tahap Pembuatan Gugatan

Pada prinsipnya, prosedur penerimaan perkara di Pengadilan Agama ditentukan dengan


model unit, yang disebut meja satu, meja dua, meja tiga yang masing-masing unit
mempunyai tugas dan tanggung jawab sendiri-sendiri tetapi berkaitan satu dengan
yang lain. Pelaksanaan tugas unit-unit ini dilakukan oleh Sub Kepaniteraan Perkara di
bawah pengamatan langsung Wakil Panitera.

1. Meja Satu:

a) Menerima gugatan dan permohonan, termasuk permohonan banding, kasasi, PK,


maupun eksekusi, dengan catatan bahwa permohonan verzet tegen verstek tidak
didaftar sebagai perkara baru, tetapi denden verzet didaftar sebagai perkara
baru;
b) Menaksir biaya yang dituangkan dalam SKUM;
c) Menyerahkan surat gugat/permohonan, permohonan banding, kasasi, PK,
maupun eksekusi, yang telah dilengkapi dengan SKUM kepada yang
bersangkutan agar membayar biaya panjar perkara kepada pemegang kas;
d) Pemegang kas (Kasir) adalah bagian dari meja pertamayang bertugas antara
lain:
1. Menerima dan membukukan uang panjar biaya perkara yang tercantum pada
SKUM ke dalam jurnal keuangan yang bersangkutan (nomor jurnal dengan
nomor perkara);
2. Mengeluarkan dan membukukan/mencatat uang biaya administrasi dan biaya
proses perkara;
3. Seminggu sekali pemegang kas harus menyerahkan uang hak-hak
kepaniteraan kepada bendahara penerima untuk disetorkan ke Kas Negara,
yang dicatat pada kolom 13 KI-PA8;
4. Pencatatan masuk keluarnya uang perkara dalam buku induk keuangan
dilakukan oleh panitera atau staf yang ditunjuk
2. Meja Dua

a) Pada pokoknya Meja Dua ini bertugas untuk:


b) Mendaftar perkara yang masuk ke dalam buku register induk perkara perdata
sesuai dengan nomor perkara yang tercantum pada SKUM/surat
gugatan/permohonan. Pendaftaran perkara baru dapat dilaksanakan setelah
panjar biaya perkara lunas dibayar pada Pemegang Kas;
c) Mengisi kolom-kolom buku register dengan tertib, rapi, teliti, dan cermat,
seperti misalnya tentang penundaan sidang, sebab penundaan sidang, amar
putusan, PBT, dsb;
d) Menyerahkan berkas perkara yang diterima yang telah dilengkapi formulir
Penetapan Majelis Hakim (PMH) kepada Wakil Panitera untuk diteruskan
kepada Ketua Pengadilan Agama (KPA);
e) Menyerahkan berkas perkara yang telah ditentukan majelis hakimnya kepada
Ketua Majelis Hakim yang ditunjuk disertai formulir Penetapan Hari Sidang
(PHS)
3. Meja Tiga

a) menyiapkan dan menyerahkan salinan putusan apabila ada permintaan dari


para pihak;
b) Menerima dan memberikan tanda terima atas: memori/kontra memori
banding, memori/kontra memori kasasi, jawaban/tanggapan atas alasan PK;
c) Menyusun/menjahit/mempersiapkan berkas (tugas pembundelan berkas);
d) Mengatur giliran tugas jurusita/jurusita pengganti yang ditunjuk oleh
panitera
B. Penetapan Majelis Hakim (PMH) Penetapan majelis hakim Yaitu serangkaian
kegiatan penunjukan Majelis Hakim melalui suatu penetapan Penunjukan Majelis
Hakim (PMH) oleh Ketua Pengadilan. Penetapan Majelis Hakim, dilakukan:
(1) Dalam waktu 3 (tiga) hari kerja setelah proses registrasi perkara diselesaikan,
Petugas Meja dua menyampaikan berkas gugatan/permohonan kepada Wakil
Panitera untuk disampaikan kepada Ketua Pengadilan melalui Panitera;
(2) Selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) hari kerja ketua pengadilan
menetapkan Majelis Hakim yang akan menyidangkan perkara tersebut;

C. Penentuan Hari Sidang (PHS)


Penentuan Hari Sidang Yaitu penetapan hari akan dilaksanakan sidang yang
dituangkan dalam suatu Penetapan Hari Sidang (PHS) oleh Ketua Majelis Hakim.
Kemudian Juru sita pengganti memanggil para pihak untuk Hukum Acara Pengadilan
Agama hadir ke persidangan pada hari yang telah ditetapkan Ketua Majelis Hakim
dengan menggunakan relas panggilan.
1. Dalam waktu satu minggu setelah menerima berkas perkara majelis hakim/hakim
menentukan hari siding;
2. Setiap majelis hakim/hakim mempunyai jadwal persidangan yang tetap;
3. Penetapan hari sidang, dimusyawarahkan dengan sesama anggota majelis
hakim dan dicatat dalam buku agenda masing-masing;
4. Dalam menetapkan hari sidang yang disertai pemanggilan kepada para yang
berperkara, oleh majelis hakim/hakim memperhatikan jauh dekatnya tempat
tinggal para pihak dengan letaknya tempat persidangan;
5. Lama tenggang waktu antara pemanggilan para pihak dengan sidang paling
sedikit 3 (tiga) hari kerja, kecuali dalam hal-hal yang mendesak (Pasal 122
HIR/Pasal 146 RBg);
6. Apabila suatu perkara gugatan disertai dengan permohonan sita jaminan, majelis
hakim/hakim setelah bermusyawarah dapat membuat penetapan pelaksanaan
sita bersamaan dengan panggilan pertama kepada para pihak untuk menghadiri
sidang, apabila cukup alasan untuk itu;
7. pemeriksaan perkara cerai dilakukan selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari
sejak tanggal surat guguatan/permohonan didaftarkan di Pengadilan Agama.
(Pasal 68 (1) dan 80 (1) UU No. 7/1989).

B. Gugatan Dan Permohonana Pengadilan Agama


Pengertian Gugatan dan Permohonan Gugatan adalah surat yang diajukan oleh
penggugat pada ketua pengadilan yang berwenang yang memuat tuntutan hak yang di
dalamnya mengandung suatu sengketa dan melupakan dasar landasan pemeriksaan
perkara dan suatu pembuktian kebenaran suatu hak.

Sedangakan permohonan adalah suatu surat permohonan yang di dalamnya berisi


tuntutan hak perdata oleh satu pihak yang berkepentingan terhadap suatu hal yang
tidak mengandung sengketa. perbedaan dari gugatan dan permohonan yaitu, jika
gugatan ada suatu perkara antara penggugat dan tergugat maka permohonan hanya
satu pihak yang berkepentingan dan tanpa sebuah perkara atau sengketa, dalam
gugatan hakim berfungsi sebagai hakin yang mengadili dan memutuskan serta
berproduk vonis (putusan), sedangkan dalam permohonan hakim hanya menjalankan
fungsi eksekutif power (administratif) dan berproduk beschikking (penetapan), untuk
penetapan pada putusan gugatan.

mengikat kedua belah pihak (berkekuatan eksekutorial), sedang penetapan pada


permohonanhanya mengikat pemohon saja. Dalam gugatan terdapat istilah penggugat
dan tergugat, sedang dalam permohonan ada istilah pemohon dan termohon.
Penggugat bisa satu orang atau badan hukum atau lebih, sehingga aga istilah
penggugat I, II, III, dan seterusnya. Tergugatpun bisa I, II, III, dan seterusnya.
Gabungan penggugat atau tergugat disebut kumulasi subjektif. Sedang dalam
permohonan hanya satu pihak karena bukan suatu kasus perkara.

1. Pembuatan Surat Gugatan dan Permohonan


Gugatan harus diajukan secara tertulis oleh penggugat atau kuasanya dan bagi yang
buta huruf dapat mengajuakan secara lesan. Surat gugatan harus memuat
diantaranya:
1. Identitas para pihak (nama lengkap, gelar, alias, julukan, bin atau binti, umur,
agama, pekerjaan, tempat tinggal, dan statusnya sebagai penggugat atau
tergugat);
2. Posita atau position (fakta-fakta atau hubungan hukum yang terjadi antara dua
belah pihak) dan
3. Petita atau petitum (isi tuntutan).
Sedangkan untuk surat permohonan tidak jauh beda dengan isi dari surat gugatan yaitu
identitas, petita, dan posita. Hanya saja pada surat permohonan tidal dijumpai kalimat
“berlawanan dengan”, “duduk perkaranya”, dan “permintaan membayar biaya perkara
kepada pihak lain”. Kelengkapan dari surat gugatan atau surat permohonan
diantaranya:

1. Surat permohonan atau gugatan tertulis, kecuali bagi yang buta huruf yang
manamenyampaikan ke pada kuasanya atau pada pengadilan agama ke ketua
hakim seperti pada kasus gugatan cerai. Surat gugatan atu surat permohonan yang
di buat sendiri atau lewat kuasanya di tunjukan ke pengadilan yang berwenang;
2. Foto copy identitas seperti KTP;
3. Vorschot biaya perkara dan bagi yang miskin dapat mengajukan dispensasi biaya
dengan membawa surat keterangan miskin dari kelurahan atau kecamatan;
4. Surat keterangan kematian untuk perkara waris;
5. Surat izin dari komandan bagi TNI atau POLRI, surat izin atasan bagi PNS (untuk
perkara poligami);
6. Surat persetujuan tertulis dari istri atau istri-istrinya (untuk perkara poligami);
7. Surat keterangan penghasilan (untuk perkara poligami);
8. Salinan atau foto copy akta nikah (untuk perkara gugat cerai, permohonan cerai,
gugatan nafkah,istri, dan lain-lain);
9. Salinan atau foto copy akta cerai (untuk perkara nafkah iddah, gugatan tentang
mut’ah).;
10. Surat keterangan untuk bercerai dari kelurahan.

C. Kewenangan-kewennagan Peradilan Agama Tentang Gugatan dan


Permohonan
Kewenangan relatif atau relative competentie adalah kekuasaan dan wewenangan
yang diberikan antara pengadilan dalam lingkungan yang sama atau wewenang
yang berhubungan dengan wilayah hukum antara Pengadilan Agama dalam
lingkungan Peradilan Agama. Misalnya antara Pengadilan Agama Bandung dengan
Pengadilan Agama Bogor.
1. Kewenangan relatif perkara gugatan Pada dasarnya setiap gugatan diajukan ke
pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi
a. Gugatan diajukan kepada pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi
wilayah kediaman tergugat;
b. Bila tergugat lebih dari satu orang, maka gugatan dapat diajukan kepada
pengadilan yang wilayah hukumnya mengikuti tempat tinggal penggugat;
c. Bila tempat tinggal tergugat tidal di ketahui maka gugatan diajukan ke
pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal penggugat;
d. Bila objek perkara benda tidal bergerak maka gugatan diajukan ke pengadilan
yang wilayah hukumnya meliputi letak benda tidak bergerak tersebut;
e. Bila suatu akta tertulis domisili pilihan, gugatan diajukan ke pengadilan yang
domisilinya dipilih. Terdapat beberapa pengeculian kewenangan relative
perkara gugatan pada Pengadilan Agama diantaranya permohonan cerai talak
yang diatur dalam pasal 66 ayat (2) UU No.7 Tahun 1989 dan perkara gugat
cerai yang diatur dalam dalam pasal 73 UU No. 7 Tahun 1989
2. Kewenangan relatif perkara pemohonan Adapun kewenangan relatif dalam
perkara-perkara tertentu dalam UU No. 7 Tahun 1989, sebagai berikut:
a. Izin poligami diajukan di Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi
kediamannya pemohon
b. Permohonan dispensasi pernikahan yang salah satu calon mempelai atau
keduannya belum cukup umur;
c. Permohonan pencegahan perkawinan di ajukan ke Pengadilan Agama yang
wilayah hukumnya meliputi tempat pelaksanaan perkawinan;
d. Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agama
yang wilayah hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya pernikahan atau
tempat tinggal suami atau istri.
3. Kewenangan absolut atau absolute competentie adalah kekuasaan yang
berhubungan dengan jenis perkara dan sengketa kekuasaan pengadilan.
Kekuasaan pengadilan di lingkungan Peradilan Agama yaitu memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara perdata tertentu di kalangan golongan
rakyat tertentu (orang yang beragama Islam).
Kekuasaan absolute Pengadilan Agama diatur dalam pasal 49 UU No. 7 Tahun
1989 yang diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006. Pengadilan Agama berwenang
untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
1. Perkawinan
a. Izin beritri lebih dari Satu Hukum Acara Pengadilan Agama;
b. Izin melangsungkan pernikahan bagi yang belum berusia 21 tahun
dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada
perbedaan pendapat;
c. Dispensasi kawin;
d. Pencegahan perkawinan;
e. Penolakan perkawinan oleh pegawai pencatat nikah;
f. Pembatalan perkawinan;
g. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri;
h. Perceraian karena talak dan gugatan perceraian;
i. Penyelesaian harta Bersama;
j. Penguasaan anak atau hadlanah;
k. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan bila mana
bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidal dapat memenuhi;
l. Putusan tentang sah tidaknya seorang anak;
m. Putusan pencabutan kekuasaan orang tua;
n. Perwalian;
o. Penetapan asal usul anak;
p. Putusan untuk memberikan penolakan keterangan untuk melakukan
perkawinan campuran;
q. Pernyataan sah tidaknya perkawinan yang terjadi sebelum UU No. 1
Tahun 1974tentang perkawinan dan dijalankan menurut peraturan
lain.
2. Warisan;
3. Wasiat;
4. Hibah;
5. Wakaf;
6. Zakat;
7. Infaq;
8. Shodaqoh;
9. Ekonomi Syari’ah
D. iSi dan Ciri-Ciri Surat Gugatan dan Permohonan
1. Isi dan ciri-ciri permohonan :
a. Dalam membuat permohonan pada dasarnya memuat :
1. Identitas pemohon;
2. Uraian kejadian (posita);
3. Permohonan(petitum);
b. Permohonan ini merupakan kepentingan sepihak dari pemohon yang tidak
mengandung sengketa dengan pihak lain. Ciri dari voluntair ini diantaranya:
1) Masalah yang diajukan berisi kepentingan sepihak;
2) Permasalah yang diselesaikan di pengadilan biasanya tidak mengandung
sengketa;
3) Tidak ada pihak lain atau pihak ketiga yang dijadikan lawan.
2. Isi dan ciri-ciri gugatan :
a. Isi gugatan secara garis besar memuat hal-hal sebagai berikut:
1) Identitas para pihak Identitas para pihak meliputi nama, alamat, umur,
pekerjaan, agama, kewarganegaraan;
2) Uraian kejadian (posita) Berisi uraian kejadian atau fakta-fakta yang menjadi
dasar adanya sengketa yang terjadi dan hubungan hukum yang menjadi
dasar gugatan. Posita juga disebut fundamentum petendi;
3) Permohonan (petitum) Petitum atau tuntutan berisi rincian apa saja yang
diminta dan diharapkan penggugat untuk dinyatakan dalam putusan
penetapan kepada para pihak terutama pihak tergugat dalam putusan
perkara
3. Ciri – ciri dari gugatan ini diantaranya:
1) Ada pihak yang bertindak sebagai penggugat dan tergugat;
2) Pokok permasalahan hokum yang diajukan mengandung sengketa diantara
para pihak
E. Tata Cara Pengajuan Gugatan dan Pemohonan
Sebelum mengajukan permohonan atau gugatan ke pengadilan perlu diperhatika hal-
hal sebagai berikut:
a) Pihak yang berpekara : Setiap orang yang mempunyai kepentingan dapat menjadi
pihak dalam berpekara di pengadilan;
b) Kuasa : Pihak yang berpekara di pengadilan dapat menghadapi dan menghadiri
pemeriksaan persidangan sendiri atau mewakilkan kepada orang lain untuk
menghadiri persidangan di pengadilan;
c) Kewenangan Pengadilan: Kewenangan relative dan kewenangan absolut harus
diperhatikan sebelum me,buat permomohan atau gugatan yang di ajukan ke
pengadilan.
1. Tahap pembuatan permohonan atau Gugatan Permohonan atau gugatan
pada prinsipnya secara tertulis (pasal 18 HIR) namun para pihak tidak bisa baca tulis
(buta huruf) permohonan atau gugatan dapat dilimpahkan kepada hakim untuk disusun
permohonan gugatan keMudian dibacakan dan diterangkan maksud dan isinya kepada
pihak kemudian ditandatangani oleh ketua

2. Tahap pendaftaran pemohon atau gugatan


Setelah permohonan atau gugatan dibuat kemudian didaftarkan di kepaniteraan
pengadilan agama yang berwenang memeriksa dengan membayar biaya panjar
perkara. Dengan membayar biaya panjar perkara maka penggugat atau pemohon
mendapatkan nomor perkara dan tinggal menunggu panggilan sidang.

Perkara yang telah terdaftar di pengadilan agama oleh panitera diampaikan kepada
ketua pengadilan agama untuk dapat menunjuk majelis hakim yang memeriksa,
memutus, dan mengadili perkara dengan suatu penetapan yang disebut penetapan
majelis hakim (PMH) yang terdiri satu orang hakim sebagai ketua majelis dan dua
orang hakim sebagai hakim anggota serta panitera siding. Apabila belum ditetapkan
panitera yang ditunjuk, majelis hakim dapat menunjuk panitera sidang sendiri.
3. Tahap Pemeriksaan Permohonan atau Gugatan
Pada hari sidang telah ditentukan apabila satu pihak atai kedua belah pihak tidak hadir
maka persidangan ditunda dan menetapkan hari sidang berikutnya kepada yang hadir
diperintahkan menghadiri sidang berikutnya tanpa dipanggil dan yang tidak hadir
dilakukan pemanggilan sekali lagi. Dalam praktek pemanggilan pihak yang tidak hadir
dilakukan maksimal tiga kali apabila :

a. Penggugat tidak hadir maka gugatan gugur. Tergugat tidak hadir maka pemeriksaan
dilanjutkan dengan putusan verstek atau putusan tanpa hadirnya pihak tergugat;
b. Apabila terdapat beberapa tergugat yang hadir ada yang tidak hadir, pemeriksaan
tetap dilakukan dan kepada yang tidak hadir dianggap tidak menggunakan haknya
untuk membela diri;
c. Penggugat dan tergugat hadir, maka Pemeriksaan dilanjutkan sesuai dengan hukum
yang berlaku

F. Sita Jaminan Conservatoir beslaag

adalah sita terhadap barang-barang milik tergugat yang disengketakan status


kepemilikannya, atau dalam sengketa hutang piutang atau tuntutan ganti rugi. Sita
jaminan (Conservatoir Beslaag) ini diatur dalam pasal 227 HIR. Conservatoir beslaag
Adalah penyitaan terhadap harta benda bergerak milik tergugat atas kehendak
penggugat untuk menjamin gugatanya.adapun mengenai proses permohonan sita
jaminan adalah dilakukan dengan:
a. Permohonan sita jaminan dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan, oleh
karena itu permohonan sita jaminan menjadi bagian dari pokok gugatan yang
assesoris (diletakkan) pada pokok gugatan. Karena itu pula permohonan sita
jaminan tidak boleh berdiri sendiri tanpa ada perkara pokok dan perkara pokok
bisa ada tanpa sita jaminan. Permohonan sita jaminan itu biasanya dicantumkan
pada bagian akhir “fundamentum petendi” (tuntutan);
b. Permohonan sita jaminan dapat diajukan tersendiri asalkan didahului oleh
adanya gugatan pokok sebagai landasannya;
c. Permohonan sita jaminan dapat diajukan selama proses persidangan
berlangsung pada semua tingkat pengadilan
G. Proses Pemeriksaan Perkara Dalam Sidang Peradilan Agama
A. Sidang Pertama dan Pengertiannya
Sidang pertama bagi pengadilan mempunyai arti yang sangat penting dan
menentukan dalam beberapa hal, misalnya sebagai berikut;
1. Jika tergugat atau termohon (dalam perkara contentiosa) sudah dipanggil
dengan patut, ia atau kuasa sahnya tidak datang menghadap pada sidang
pertama, ia akan diputus verstek;
2. Jika penggugat atau pemohon sudah dipanggil dengan patut, ia atau kuasa
sahnya tidak datang menghadap pada sidang pertama, ia akan diputus
dengan digugurkan perkaranya;
3. Sanggahan (eksepsi) relatif hanya boleh diajukan pada sidang pertama. Kalau
diajukan sesudah itu, tidak akan diperhatikan lagi;
4. Gugat balik (reconventie) hanya boleh diajukan pada sidang pertama. Oleh
karena itu, sidang pertama harus jelas, apa maksud atau artinya, supaya
tidak salah, misalnya dalam 4 hal disebutkan di atas tadi.
Sidang pertama ialah sidang yang ditunjuk/ditetapkan menurut yang tertera
dalam penetapan hari sidang (PHS) yang ditetapkan oleh ketua majelis, atau
dapat juga diartikan sidang yang akan dimulai pertama kali menurut surat
panggilan yang disampaikan kepada penggugat/tergugat;
B. Jalannya Sidang Pertama
1. Tugas Panitera Sesaat Sebelum Sidang Panitera sidang, pada hari,
tanggal dan jam sidang yang telah ditentukan, mempersiapkan dan
men-chek segala sesuatunya untuk sidang. Setelah siap, panitera
melapor kepada ketua majelis, lalu panitera sidang siap menunggu diruang
sidangpada tempat duduk yang disediakan baginya dan telah siap memakai
baju panitera sidang. Selanjutnya majelis hakim memasuki ruang sidang
melalui pintu yang khusus untuknya, dalam keadaan sudah berpakaian toga
hakim. Begitu majelis hakim memasuki ruang sidang, penitera
mempersilahkan hadirin berdiri dan setelah hakim duduk, mempersilahkan
kembali hadirin untuk duduk. Tugas ini bukan hanya untuk sidang pertama
tetapi berlaku dalam segala persidangan;

2. Ketua Majelis Membuka Sidang Ketua majelis membuka sidang dan


sekaligus dinyatakan terbuka untuk umum dengan ketokan palu 1
atau 3 kali. Khusus untuk peradilan agama sebagai peradilan islam,
sebaliknya dibuka dengan membaca basmalah, misal “sidang
pengadilan agama ... dalam perkara ... antara penggugat ... berlawanan
dengan tergugat ... dibuka dengan sama-sama membaca basmalah dan
dinyatakan terbuka untuk umum.” UU Nomor 14 tahun 1970 pasal 17 (1)
mengharuskan semua sidang pemeriksaan perkara dipengadilan, terbuka
untuk umum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Tidak dipenuhinya
ketentuan itu menyebabkan putusan batal demi hukum dan ketentuan ini
berlaku untuk semua lingkungan peradilan di indonesia.Pasal 18 dari UU
tersebut mengatakan bahwa semua putusan pengadilan sah dan mempunyai
kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

Ketentuan ini berlaku untuk semua putusan termasuk penetapan, sekalipun


umpamanya sidang-sidang sebelumnya dilakukan dalam sidang tertutup.
Menurut UU No 14 tahun 1985, LN 1985-73 tentang mahkamah agung, tidak
dipenuhinya kewajiban sidang terbuka untuk umum ini dapat digunakan
sebagai salah satu alasan memohon kasasi. Sidang terbuka untuk umum
artinya siapa saja boleh mengikuti/mendengarkan jalannya sidang, boleh
masuk ruang sidang, asal tidak mengganggu atau membuat keonaran dalam
sidang. Juga pihak-pihak, bagi keperluan perkaranya, jika dirasa perlu boleh
merekam jalannya sidang dengan tape-recorder, sehingga mereka sesewaktu
dapat menyimak sidang bagi kepentingan pembelaan perkaranya. Sidang
tertutup dimungkinkan kalau ada ketentuan khusus atau ada alasan khusus
yang diajukan oleh pihak atau pihak-pihak yang menurut majelis dikabulkan.
Contoh bolehnya sidang tertutup karena ada ketentuan khusus, pasal 17 ayat
(3) UU Nomor 14 tahun 1970 menyebut, sidang permusyawaratan majelis
hakim bersifat rahasia, dan selalu dilakukan dalam sidang tertutup untuk
umum. Pasal 33 PP Nomor 9 tahun 1975 menyebut, pemeriksaan perkara
gugatan cerai selalu dilakukan dalam sidang tertutup untuk umum.
Pasal 68 ayat (2) UU Nomor 7 tahun 1989 menyebut, pemeriksaan
permohonan cerai talak dilakukan dalam sidang tertutup. Contoh sidang
tertutup atas permintaan pihak atau pihak-pihak yang dikabulkan oleh majelis
hakim, seperti karena perkaranya tersebut sangat berkaitan langsung dengan
nama baik, harkat dan martabat atau kesusilaan dan kehormatan pihak atau
pihak-pihak Pertimbangan hakim majelis mengabulkan sidang tertutup harus
dengan penetapan sela, tetapi cukup dicantumkan dalam berita acara sidang
saja, tidak perlu dengan penetapan tersendiri, sebab penetapan sela di situ
tidak mempengaruhi kepada putusan akhir ( eind vonnis) Sidang tertutup
untuk umum maksudnya ialah bahwa selain daripada yang berkepentingan
langsung atau nyang diizinkan oleh majelis hakim, harus meninggalkan ruang
sidang. Tentu saja diluar harus diawasi oleh petugas pengadilan agar tidak
ada yang menguping, termasuk mik dan speaker (pengeras suara) supaya
disingkirkan. Sesudah sidang dinyatakan terbuka untuk umum oleh ketua
majelis, ketua majelis mengizinkan pihak-pihak untuk memasuki ruang
sidang. Atas izin ini, panitera sidang atau petugas lain yang ditunjuk,
memanggil pihak-pihak untuk masuk dan duduk pada kursi yang disediakan
untuknya. Sebagaimana sudah disebutkan bahwa menurut etik sidang yang
baik, penggugat duduk disebelah kiri dari tergugat. Selanjutnya, ketua majelis
akan mulai menanyakan identitas pihak-pihak;
3. Ketua Majelis Menanyakan Identitas Pihak-pihak, Pertanyaan pertama
ketua majelis adalah nama penggugat dan nama tergugat, untuk mengatur
tempat duduknya. Lalu dilanjutkan dengan menanyakan identitas pihak-
pihak, dimulai dari penggugat, seterusnya tergugat, yang meliputi nama,
bin/binti, alias/julukan/gelar (kalau ada), umur, agama, pekerjaan, tempat
tinggal terakhir. Menanyakan identitas pihak-pihak di sini sangatlah formal,
artinya sekalipun mungkin saja sudah tahu/kenal dengan membaca surat
gugatan sebelumnya, namun menanyakan kembali di depan sidang ini adalah
perlu (mutlak). Perlu dikemukakan dua hal disini:
a. menanyakan identitas pihak-pihak, saksi-saksi atau lain-lain yang bersifat
kebijaksanaan umum dalam persidangan selalu oleh ketua majelis, sebab
ketua majelislah yang bertanggung jawab akan arahanya
pemeriksaan/sidang;
b. hakim yang baik dan manusiawi, apalagi sebagai hakim agama, hendaklah
selalu berusaha menggugah hati para pihak sehingga mereka tidak
merasa gentar yang akhirnya terbukalah tabir persoalan yang sebenarnya.
Setelah selesai masalah identitas, hakim menanyakan kepada para pihak,
apakah tidak ada hubungan keluarga atau hubungan semenda dengan
para hakim dan panitera yang sedang menyidangkan perkara. Kalau
dijawab ada, sidang akan memperbincangkan sejenak, apakah ada
kewajiban hakim untuk mengundurkan diri sehubungan dengan adanya
hubungan itu. Selanjutnya hakim akan menganjurkan damai antar pihak
yang berperkara.
4. Anjuran Damai Menurut HIR, anjuran damai dari hakim sudah dilakukan
(dalam sidang pertama) sebelum pembacaan surat gugatan. Hal ini seperti
kurang rasional, sebab bagaimana hakim tahu dan bisa menganjurkan damai
jika hakim sendiri belum tahu duduk perkaranya. Begitu pula, sebelum
penggugat membacakan gugatannya, apakah tidak mungkin penggugat
mengubah gugatannya. Anjuran damai sebenarnya dapat dilakukan kapan
saja sepanjang perkara belum diputus, tetapi anjuran damai pada permulaan
sidang pertama adalah bersifat “mutlak/wajib” dilakukan dan dicantumkan
dalam berita acara sidang, karena ada keharusan yang menyatakan
demikian, walaupun mungkin menurut logika, kecil sekali Pernah juga terjadi
perdamaian tetapi kebanyakan bukan terjadi dalam sidang pertama. Kalau
terjadi perdamaian maka dibuatkanlah akta perdamaian dimuka pengadilan
dan kekuatannya sama dengan putusan. Terhadap perkara yang sudah
terjadi perdamaian tidak boleh lagi diajukan perkara, kecuali tentang hal-hal
baru diluar itu. Akta perdamaian tidak berlaku banding sebab akta
perdamaian bukan keputusan pengadilan. Bila tidak terjadi perdamaian, hal
itu harus dicantumkan dalam Berita Acara Sidang, sidang akan dilanjutkan.
5. Pembacaan Surat Gugatan, sebagaimana sudah dikemukakan, sebaiknya
dilakukan mendahului dari anjuran damai dan pembacaan surat gugatan
selalu oleh penggugat atau oleh kuasa sahnya, kecuali kalau penggugat buta
huruf atau menyerahkannya kepada panitera sidang. Di tingkat banding dan
di tingkat kasasi lain halnya, yang membacakan segala berkas yang perlu itu,
adalah panitera langsung, sebab pihak tidak hadir lagi dimuka sidang. Selesai
gugatan dibacakan, majelis menganjurkan damai dan kalau tidak tercapai,
ketua majelis melanjutkan dengan menanyakan kepada tergugat, apakah ia
akan menjawab lisan atau tertulis dan kalau akan menjawab tertulis apakah
sudah siap atau memerlukan waktu berapa lama untuk itu. Bila keadaannya
seperti terakhir ini, tentu saja sidang kali itu akan ditutup, akan dilanjutkan di
kali yang lain. Jika tergugat akan menjawab lisan atau akan menjawab
tertulis tetapi sudah siap ditulisnya, sidang dilanjutkan dengan mendengarkan
jawaban tersebut. Jawaban pertama, baik lisan ataupun tertulis dari tergugat
ini disebut “replik” (cq. Replik 1), sedangkan jawaban penggugat atas
jawaban itu disebut “duplik” (cq. Duplik 1). Begitulah seterusnya, replik-
duplik, replik-duplik. Kalau replik-duplik tersebut berlangsung lisan, pihak
mau, hakim tidak keberatan, waktu mengizinkan, mungkin saja sidang
pertama itu berlangsung sampai pada tahap pembuktian bahkan mungkin
saja sampai pada tahap musyawarah majelis hakim, tetapi aneh sekali kalau
langsung sampai tahap pengucapan keputusan. Dikatakan aneh sebab
putusan baru boleh diucapkan setidak-tidaknya sudah dalam keadaan
terkonsep rapi (walaupun belum diketik) dan penulis merasa bahwa panitera
Pengadilan Agama, juga hakim-hakimnya, bukanlah komputer atau robot.
Perlu diingatkan bahwa hak bicara terakhir di depansidang selalu pada
tergugat, jadi replik-duplik belum akan berakhir sepanjang tergugat masih
ada yang akan dikemukakannya, kecuali kalau menurut majelis, sudah
ngawur alias tidak relevan. Itu berarti segala pemeriksaan dalam semua
tahap, selalu dimulai dari pihak penggugat dan diakhiri dari pihak tergugat,
tidak putar balik, apalagi terbalik.
6. Hal-hal yang Mungkin Terjadi dalam Sidang, Terutama dalam Sidang
Pertama Sebagaimana sudah diterangkan bahwa hal-hal yang mungkin
terjadi pada sidang pertama dan justru sangat berpengaruh, cukup banyak,
di antaranya akan diterangkan di bawah ini satu persatu.diantaranya :
1. Pihak-pihak Tidak Hadir di Muka Sidang Dalam perkara perdata,
kedudukan hakim adalah sebagai penengah di antara pihak yang
berperkara, ia perlu memeriksa (mendengarkan) dengan teliti terhadap
pihak-pihak yang berselisih itu. Itulah sebabnya pihakpihak pada
prinsipnya harus semua hadir di muka sidang. Berdasarkan prinsip ini
maka di dalam HIR misalnya, diperkenankan memanggil kedua kali
(dalam sidang pertama), sebelum ia memutus verstek atau digugurkan;
2. Penggugat Tidak Hadir (Perkaranya Digugurkan) Konsekuensinya adalah
perkara yang diajukan akan digugurkan. Penggugat yang tidak hadir ini
disebut dalam kitab Fiqh dengan istilah “almudda’y al gaib” sedangkan
putusan digugurkan disebut “al qada’u al masqut;
3. Tergugat Tidak Hadir (akan diputus verstek) Jika tergugat tidak hadir
dengan sebab-sebab yang tidak dapat diketahui maka majelis hakim
memutus perkara dan memberikan putusan verstek. Dalam kitab fiqh
islam memutus dengan verstek disebut “al qada’u ‘ala al ga’ib”;
4. Tergugat Sebagian Hadir dan Sebagian Tidak Hadir HIR Pasal 127
mengatur bahwa sidang wajib ditunda sampai kali yang lain. Terhadap
penggugat dan tergugat yang telah hadir diberitahukan langsung kapan
sidang selanjutnya, sedangkan terhadap tergugat yang belum hadir
diperintahkan untuk dipanggil lagi dengan surat panggilan. Pemeriksaan
terhadap perkara yang tergugatnya tidak hadir di sini berlangsung tanpa
bantuan tergugat, disebut pemeriksaan “ contradictoir” atau “op
tegenspraak”;
5. Penggugat/Tergugat Hanya Hadir di Sidang Pertama Pada sidang
pertama tergugat mungkin hadir tetapi pada sidang-sidang selanjutnya
tidak pernah hadir lagi bahkan sampai sidang pengucapan keputusan
juga tidak hadir. Kalau pengguggat sudah pernah hadir di sidang
pertama, sekalipun sidang-sidang selanjutnya atau bahkan pada waktu
pengucapan keputusan tidak hadir maka perkaranya tidak bisa lagi
digugurkan. Jadi berjalanlah seperti biasa, hanya saja tanpa bantuan
penggugat. Jika keadaan seperti itu terjadi pada tergugat atau termohon
(dalam perkara contentiosa) maka perkaranya tidak bisa lagi diputus
verstek, melainkan dengan putusan biasa tetapi tanpa bantuan tergugat
atau termohon;
6. Suatu Permasalahan Sebagaimana sudah sering dikemukakan bahwa di
lingkungan Peradilan Agama ada perkara permohonan yang melahirkan
adanya pemohon dan termohon tetapi perkara terebut dianggap perkara
peradilan yang sesungguhnya (jurisdiction contentiosa). Produk peradilan
agama terhadap perkara itu sendiri, kadangkala putusan kadangkala
penerapan. Dalam kaitannya dengan soal verstek, digugurkan, eksepsi,
reconventie, maka pemohon di situ harus dianggap penggugat dan
termohon harus dianggap tergugat, sekalipun produk pengadilan agama
mungkin penetapan. Itu sebagai konsekuensi bahwa termohon boleh
turut ke dalam proses, di mana ia berhak banding dan atau seterusnya
kasasi;
7. Proses dengan Tiga Pihak (Intervensi dan Vrijwaring)
a. Intervensi Intervensi (tussenkomst) adalah ikut sertanya pihak ketiga
untuk ikut dalam proses perkara itu atas alasan ada kepentingannya
yang terganggu. Intervensi diajukan karena pihak ketiga merasa
bahwa barang miliknya disengketakan/diperebutkan oleh penggugat
dan tergugat. Permohonan intervensi dikabulkan atau ditolak dengan
putusan sela. Apabila permohonan intervensi dikabulkan, maka ada
dua perkara yang diperiksa bersama-sama yaitu gugatan asal dan
gugatan intervensi;
b. Vrijwaring Vrijwaring adalah penarikan pihak ketiga untuk
bertanggung jawab (untuk membebaskan tergugat dari tanggung
jawab kepada penggugat). Vrijwaring diajukan dengan sesuatu
permohonan dalam proses pemeriksaan perkara oleh tergugat secara
lisan atau tertulis. Misalnya: tergugat digugat oleh penggugat karena
barang yang dibeli oleh penggugat mengandung cacat tersembunyi,
padahal tergugat membeli barang tersebut dari pihak ketiga, maka
tergugat menarik pihak ketiga ini, agar pihak ketiga tersebut
bertanggung jawab atas cacat itu.
8. Gugatan Kembali (Reconventie) Reconventie adalah salah-satu di antara
hal-hal yang mungkin terjadi dalam jawaban pertama tergugat;
9. Pencabutan Gugatan Pencabutan gugatan, baik penggugat sendirian atau
bersama-sama, boleh saja dilakukan, asal dengan cara tertentu. Kalau
penggugat terdiri dari beberapa orang, ada yang mencabut dan ada yang
tidak maka pencabutan hanya berlaku bagi yang mencabut saja,
sedangkan perkara tetap jalan. Jika pencabutan terjadi bukan atas
perdamaian antara penggugat dan tergugat melainkan atas kehendak
penggugat sendiri maka perkara itu masih boleh diajukan ke pengadilan
di kali yang lain (kalau ia mau) dengan prosedur perkara baru. Dengan
dicabutnya permohonan banding dan atau kasasi maka perkara banding
atau kasasi tersebut tidak boleh lagi dimohonkan kembali banding atau
kasasi sekalipun tenggang waktu banding atau kasasi belum berakhir;
10. Perubahan Gugatan Perubahan gugatan, termasuk penambahan atau
pengurangan tidak diatur dalam HIR atau RBg. Oleh karena itu, menurut
Prof.Subekti,S.H. (mantan ketua Mahkamah Agung), cukuplah kita
berpendapat bahwa perubahan, termasuk penambahan dan pengurangan
gugatan diperkenankan, asal perubahan tersebut tidak merugikan
kepentingan kedua belah pihak. Arti kata lain dari Perubahan gugatan
ialah :
a. Perubahan atau penambahan gugatan, sepanjang bukan
mengemukakan hal/tuntutan baru yang sama sekali lain daripada
yang semula, pada prinsipnya diperkenankan, dengan syarat dengan
persetujuan majelis hakim. Jika tergugat sudah menjawab, juga
ditambah dengan persetujuan tergugat;
b. Perubahan atau penambahan gugatan yang sama sekali lain
daripada yang semula, yang merupakan hal/tuntutan baru sama
sekali, tidak diperkenankan;
c. Majelis hakim dalam mempertimbangkan boleh atau tidaknya adalah
melihat kasus demi kasus. 11. Pihak Meninggal Dunia Dalam Surat
Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 5 tahun 1968 tertanggal 11
November 1968, ada diberikan petunjuk bahwa perkara kasasi yang
diajukan oleh ahli waris dalam hal pihak meninggal dunia, harus ada
surat keterangan keahli-warisan dari kepala desa/lurah yang
mewilayahi pihak yang meniggal dunia tersebut. Menurut Dr. H.
Roihan A. Rasyid, S.H., M.A. SEMA tersebut tidak berlaku bagi pihak
yang beragama islam. Tidak sah surat keterangan keahli-warisan
yang dikeluarkan oleh lurah/kepala desa dengan alasan sebagai
berikut. a. Menetapkan sah atau tidak sahnya ahli waris bagi mereka
yang beragama islam hanya sah jika diberikan oleh Pengadilan
Agama, lebih-lebih setelah berlakunya UU No. 7 tahun 1989. b.
Lurah/kepala desa, tidak semuanya beragama islam, yang tentunya
tidak tahu siapa ahli waris dan bukan ahli waris menurut islam. Dan
menurutnya, kalau pihak yang dalam proses berperkara itu
beragama islam dan meninggal dunia, perkaranya dapat dilanjutkan
oleh ahli warisnya yang sah melalui penetapan pengadilan agama;
7. Majelis Hakim
1. Hakim Majelis Sekurang-kurangnya Tiga Orang;
2. Pergantian Hakim Majelis’
3. Larangan Hakim Menyidangkan Perkara dan Hak Ingkar;
4. Sidang Keliling dan Berkamar;
5. Susunan Tempat Duduk Hakim;
6. Toga Hakim dan Baju Panitera.
8. Tahap-tahap Pemeriksaan Perkara, Pada sidang pertama ini, ada hal-hal
penting yang mungkin terjadi dan sangat berpengaruh terhadap proses
perkara, seperti eksepsi, reconventie, intervensi dan sebagainya, bahkan
mungkin juga tergugat/termohon tidak hadir tanpa alasan,
1. Tahap Jawab-Berjawab (Replik-Duplik) Hal yang perlu diingat disini:
a. Tergugat/termohon selalu mempunyai hak bicara terakhir;
b. Pertanyaan hakim kepada pihak hendaklah terarah, hanya
menanyakan yang relevant dengan hukum. Begitu juga replik-duplik
dari pihak;
c. Semua jawaban atau pertanyaan dari pihak ataupun dari hakim, harus
melalui dan izin dari ketua majelis;
d. Pertanyaan dari hakim kepada pihak, yang bersifat umum atau policy
arahnya sidang, selalu oleh ketua majelis. Bilamana pihak-pihak dan
hakim tahu dan mengerti jawaban atau pertanyaan mana yang terarah
dan relevant dengan hukum, tentunya proses perkara akan cepat,
singkat dan tepat.
2. Tahap pembuktian Hal-hal yang perlu ditekankan disini adalah:
a. Setiap pihak mengajukan bukti, hakim perlu menanyakan kepada
pihak lawannya, apakah ia keberatan/ tidak. Jika alat bukti saksi
yang dikemukakan, hakim juga harus member kesempatan kepada
pihak lawannya kalau-kalau ada sesuatu yang ingin ditanyakan oleh
pihak lawan tersebut kepada saksi;
b. Semua alat bukti yang disodorkan oleh pihak, harus disampaikan
kepada ketua majelis lalu ketua majelis memperlihatkannya kepada
para hakim dan pihak lawan dari yang mengajukan bukti;
c. Keaktifan mencari dan menghadirkan bukti di muka sidang adalah
tugas pihak itu sendiri dan hakim hanya membantu kalau diminta
tolong oleh pihak, seperti memanggil saksi .
3. Tahap penyusunan konklusi Setelah tahap pembuktian berakhir, sebelum
musyawarah majelis hakim, pihak-pihak boleh mengajukan konklusi
(kesimpulankesimpulan dari sidang-sidang menurut pihak yang
bersangkutan). Karena konklusi ini sifatnya membantu majelis, pada
umumnya konklusi tidak diperlukan bagi perkara-perkara yang simpel,
sehingga hakim boleh meniadakannya. Kita ingat bahwa hakim juga
manusia yang kemampuan ingatnya terbatas, di samping mungkin ada
diantara sidang-sidang yang hakim anggotanya berganti dan itulah
perlunya konklusi. Pihak yang sudah biasa berperkara, biasanya selalu
membuat catatan-catatan penting setiap suatu sidang berakhir, dan itulah
nanti yang akan diajukannya sebagai konklusi terakhir;
4. Musyawarah majelis hakim Menurut undang-undang, musyawarah majelis
hakim dilakukan secara rahasia, tertutup untuk umum. Semua pihak
maupun hadirin disuruh meninggalkan ruang sidang. Panitera sidang
sendiri, kehadirannya dalam musyawarah majelis hakim adalah atas izin
majelis. Dikatakan rahasia artinya, baik dikala musyawarah maupun
sesudahnya, kapan dan dimana saja, hasil musyawarah majelis tersebut
tidak boleh dibocorkan sampai ia diucapkan dalam keputusan yang
terbuka untuk umum. 80 | Hukum Acara Pengadilan Agama;
5. Pengucapan keputusan Pengucapan keputusan hanya boleh dilakukan
setelah keputusan selesai terkonsep rapi yang sudah ditanda tangani oleh
hakim dan panitera sidang. Selesai keputusan diucapkan, hakim ketua
majelis akan menanyakan kepada pihak, baik tergugat ataupun
penggugat, apakah mereka menerima keputusan ataukah tidak. Bagi
pihak yang hadir dan menyatakan menerima keputusan maka baginya
tertutup upaya hukum banding, bagi pihak yang tidak menerima dan pikir-
pikir dahulu baginya masih terbuka.

H. Pembuktian Pada Acara Peradilan Agama


Pembuktian merupakan salah satu rangkaian tindakan hakim dalam melaksanakan
tugas pokok pemeriksaan perkara yaitu mengonstatir perkara. Adapun tugas pokok
hakim dalam pemeriksaan perkara yang dilakukan secara berurut dan sistematis,
yaitu: pertama mengonstatir perkara yaitu melihat benar tidaknya peristiwa dan
fakta-fakta yang diajukan pihak-pihak yang berperkara, sebagaimana halnya
pembuktian. Kedua, mengualifisir peristiwa yang telah dikonstatir hukumnya atau
mengadili menurut hukum dan yang ketiga, menetapkan dan menerapkan
hukumnya untuk keadilan.12
Asas hukum pembuktian ini diatur dalam Pasal 163 HIR atau Pasal 283 RBg yang
berbunyi: “Barang siapa yang mengatakan ia mempunyai hak, atau ia menyebutkan
sesuatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang
lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu.” 13
Inti pokok dari pernyataan di atas dapat dirinci sebagai berikut:
1. Pihak yang mengatakan mempunyai hak harus membuktikan haknya
tersebut;
2. Pihak yang menyebutkan suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya harus
membuktikan adanya peristiwa tersebut;
3. Pihak yang menyebutkan suatu peristiwa untuk membantah hak orang lain
harus membuktikan adanya peristiwa tersebut14;

12
Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2012), Hlm 53-54.
13
M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2005), Hlm 35.
14
Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2012), Hlm 128.
I. PRODUK HUKUM PERADILAN AGAMA
Putusan
Putusan yang dikeluarkan Pengadilan Agama harus memuat hal- hal sebagai
berikut60:
a. Kepala putusan Putusan harus memuat kepala putusan yang meliputi
“Putusan”, kemudian diikuti dibawahnya dengan nomor putusan yang diambil
dari nomor perkara, lalu dilanjutkan dengan kalimat
“Bismillahirrahmanirrahim” sesuai dengan pasal 57 ayat 2 UU No. 7 tahun
1989. Kemudian dilanjutkan dengan kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan yang Maha Esa”;
b. Nama pengadilan dan jenis perkara Pengadilan Agama mana yang memeriksa
perkara misalnya Pengadilan Agama Surakarta yang memeriksa perkara
gugat cerai pada pengadilan tingkat pertama;
c. Identitas para pihak Identitas para pihak minimal harus mencantumkan nama,
alamat, umur, agama, dan dipertegas dengan status para pihak sebagai
penggugat dan tergugat;
d. Duduk perkara Memuat tentang:
1) Uraian lengkap isi gugatan;
2) Pernyataan sidang dihadiri para pihak;
3) Pernyataan upaya perdamaian;
4) Uraian jawaban tergugat;
5) Uraian replik;
6) Uraian duplik;
7) Uraian kesimpulan para pihak;
8) Pembuktian para pihak.
e. Pertimbangan hukum Putusan hakim juga harus memberikan pertimbangan
hukum terhadap perkara yang disidangkannya. Pertimbangan hukum
biasanya dimulai dengan kata-kata
“Menimbang … dan seterusnya”. Dalam pertimbangan hukum hakim
mempertimbangkan peristiwa, dalil gugatan, bantahan, eksepsi tergugat,
pasal-pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan maupun hukum
yang tidak tertulis, serta dihubungkan dengan alat-alat bukti yang ada.
Setelah itu hakim menarik kesimpulan tentang terbukti atau tidaknya gugatan
itu;
f. Amar putusan, Amar putusan merupakan isi dari putusan itu sendiri dan
jawaban petitum dalam surat gugatan yang diajukan oleh penggugat. Amar
putusan dimulai dengan kata “Mengadili” kemudian diikuti petitum
berdasarkan pertimbangan hukum. Di dalamnya diuraikan hal- hal yang
dikabulkan dan hal-hal yang ditolak atau tidak diterima. Para hakim dalam
menyusun amar putusan haruslah memperhatikan hal-hal berikut:
1) Harus bersifat tegas dan lugas;
2) Terperinci dan jelas maksudnya (tidak samar-samar);
3) Memperhatikan sifat dari putusan yang akan dijatuhkan apakah konstitutif,
deklaratoir atau condemnatoir;
4) Ditulis secara ringkas, padat, dan terang;
g. Penutup Memuat kapan putusan dijatuhkan dan dibacakan dalam
persidangan yang terbuka untuk umum, majelis hakim yang memeriksa,
panitera yang membantu, kehadiran para pihak dalam pembacaan putusan.
Putusan ditandatangani oleh majelis hakim dan panitera yang ikut sidang dan
pada akhir putusan dimuat perincian biaya perkara.
Kekuatan Putusan Peradilan Agama
pengadilan mempunyai 3 kekuatan yaitu 15: kekuatan mengikat (bindende kracht),
kekuatan bukti (bewijzende kracht), dan kekuatan eksekusi (executoriale kracht).
Suatu putusan mempunyai kekuatan mengikat dan mempunyai kekuatan bukti
ialah setelah putusan tersebut memperoleh kekuatan hukum yang tetap ( in
kracht). Suatu putusan dikatakan in kracht apabila upaya hukum seperti verzet,
banding, kasasi tidak dipergunakan dan tenggang waktu untuk itu sudah habis
atau telah mempergunakan upaya hukum tersebut dan sudah selesai. Upaya
hukum terhadap putusan yang telah in kracht tidak ada lagi, kecuali permohonan
peninjauan kembali ke Mahkamah Agung tetapi hanya dengan alasan-alasan
sangat tertentu sekali. Putusan yang sudah in kracht dapat dimohonkan
peninjauan kembali ke Mahkamah Agung tidak terhalang untuk dieksekusi
sehingga dikatakan mempunyai kekuatan eksekusi. Suatu putusan dikatakan
mempunyai kekuatan bukti misalnya putusan cerai karena mempunyai bukti
otentik terjadinya cerai.

Penetapan
Pengertian Penetapan Penetapan disebut al-Isbat (Arab) atau beschiking (Belanda)
yaitu yaitu produk Pengadilan Agama dalam arti bukan peradilan yang
sesungguhnya yang diistilahkan jurisdicto voluntaria. Dikatakan bukan peradilan
yang sesungguhnya karena di sana hanya ada pemohon yang memohon untuk
ditetapkan tentang sesuatu sedangkan ia tidak perkara dengan lawan. Dalam
literature lain penetapan adalah salah satu produk Pengadilan Agama dalam
memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara.
Penetapan merupakan keputusan atas perkara permohonan. Penetapan bertujuan
untuk menetapkan suatu keadaan atau suatu status tertentu bagi diri pemohon.
Amar putusan dalam penetapan bersifat declaratoir yaitu menetapkan atau
menerangkan saja. Penetapan mengikat pada diri pemohon dan penetapan tidak
mempunyai kekuatan eksekutorial.
Bentuk dan Isi Penetapan Bentuk dan isi penetapan hampir sama dengan bentuk
dan isi putusan namun terdapat sedikit perbedaan yaitu:
a. Identitas pihak-pihak pada permohonan dan pada penetapan hanya memuat
identitas termohon. Kalaupun dimuat identitas termohon akan tetapi termohon
bukanlah pihak;
b. Tidak akan ditemui kata-kata “Berlawanan Dengan” seperti pada putusan;
c. Tidak akan ditemui kata-kata “Tentang Duduknya Perkara” seperti pada putusan
melainkan langsung diuraikan apa permohonan pemohon;
d. Amar penetapan bersifat declaratoire atau constitutoire.;
e. Kalau ada putusan didahului kata-kata “Memutuskan” maka pada penetapan
dengan kata “Menetapkan”;
f. Biaya perkara selalu ditanggung oleh pemohon sedangkan pada putusan
dibebankan kepada salah satu pihak yang kalah atau ditanggung bersama-sama
oleh pihak penggugat dan tergugat tetapi dalam perkara perkawinan tetap selalu
kepada penggugat atau pemohon;
15
Sunarto, Peran Aktif Hakim Dalam Perkara Perdata, (Jakarta: Prenada Media Group, 2014), hlm. 197.
g. Dalam penetapan tidak mungkin ada reconventie atau interventie atau
vrijwaring.
Kekuatan Penetapan Putusan mempunyai 3 kekuatan dan berlaku untuk pihak-pihak
maupun untuk dunia luar (pihak ketiga) tetapi penetapan hanya berlaku untuk
pemohon sendiri, untuk ahli warisnya dan untuk orang yang memperoleh hak
daripadanya. Contoh penetapan seperti pengesahan nikah bagi keperluan pensiun
Pegawai Negeri Sipil dari suami-istri yang tidak ada sengketa antara keduanya,
tetapi dulu-dulunya mereka kawin belum begitu tertib pencatatan nikah sehingga
tidak mempunyai akta nikah.

Berdasarkan uraian diatas maka dapatlah dikatakan bahwa peradilan agama


merupakan salah satau acces to juctice bagi para pencari keadilan dalam ranah
perdata khusus.

DAFTAR PUSTAKA

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya
Bakti, Jakarta
Hendra Whaanu Prabani, Panduan lengkap Menyusun Perjanjian Publik dan
dokumen hukum di Instansi pemerintah cetakan 1, Bandung, alfabeta

Yahya Harahap, 1993,Pembahasan dan penerapan KUHAP, Pustaka Kartimi, Jakarta

Gatot Supramono, 2020, Teknis Membuat Keberatan Surat Dakwaan, Kencana,


Jakarta

Gatot supramono, 1998, Bagaimana Mendampingi Seseorang Di Pengadilan ,


Jakarta, djambatan

Kuffal, HMA, KUHAP dalam Praktik Hukum, Malang, UMMM Press 2003

Martiman Projohsmijojo, strategi memenangkan perkara, Jakarta, Pradnya Paramita,


2002

Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012),

M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah


Syar’iyah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005)

Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung: Citra Aditya


Bakti, 2012

Sunarto, Peran Aktif Hakim Dalam Perkara Perdata, (Jakarta: Prenada Media Group,
2014

Anda mungkin juga menyukai