Present
YUDIANSAH,SH.,
SLAMET SURYANTO,SH.,
NOVA APRIYANTO, SH.,
- Bahwa advokat adalah salah satu unsur dalam sistem penegakan hukum yang
memiliki posisi penting, mengingat advokat dalam proses peradilan bertujuan
sebagai mekanisme kontrol terhadap penyelenggaraan proses peradilan yang
diselenggarakan oleh negara. dalam melakukan pembelaan terhadap kliennya
akan selalu ada dalam setiap tingkat peradilan;
- Bahwa advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab
dalam menegakkan hukum, perlu dijamin dan dilindungi oleh undang-undang
demi terselenggaranya upaya penegakan supremasi hukum;
Mengingat advokat sebagai salah satu unsur sistem peradilan merupakan salah satu
pilar dalam menegakkan supremasi hukum dan hak asasi manusia. Selain dalam proses
peradilan, peran Advokat juga terlihat di jalur profesi di luar pengadilan. Kebutuhan
jasa hukum Advokat di luar proses peradilan pada saat sekarang semakin meningkat,
sejalan dengan semakin berkembangnya kebutuhan hukum masyarakat terutama dalam
memasuki kehidupan yang semakin terbuka dalam pergaulan antarbangsa. Melalui
pemberian jasa konsultasi, negosiasi maupun dalam pembuatan kontrak-kontrak
dagang, profesi Advokat ikut memberi sumbangan berarti bagi pemberdayaan
masyarakat serta pembaharuan hukum nasional khususnya di bidang ekonomi dan
perdagangan, termasuk dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
Sejalan dengan tujuan negara diatas maka untuk memperkuat Calon Sarjana
Hukum yang Profesional dan Berintegritas khususnya bagi alumnus Mahasiswa Fakultas
Hukum Universitas Mataram Nusa Tenggara Barat maka dalam hal ini, Badan Esketuif
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mataram bekerjasama Dengan Kantor Advokat
& Konsultan Hukum “Yudiansah & ASSOCIATES menyelenggarakan “Diiklat Kelas
Profesi Hukum” dengan Goal Setting Mencetak generasi Sarjana Hukum yang
Profesional dan Berintegritas lingkup Universitas Mataram ” tentunya juga dalam hal ini
tentunya pula melibatkan unsur penegak hukum lainnya di wilayah Hukum Provinsi
Nusa Tenggara barat sehingga setidaknya dapat menguasai dan memahami sekelumit
materi dalam sistem peradilan di Indonesia.
Akhirul kalam mellaui modul praktis ini yang bersumber dari beberapa buku serta
pengalaman pribadi penyusun dalam dunia praktisi advokat semoga dapat
bermanfaat untuk pemahaman seputar yeknis pendampingan hukum.
YUDIANSAH
A. Pendahuluan
Selain itu Disamping ketentuan syarat yang sebutkan tadi, masih ada syarat lain yang
ditentukan oleh organisasi Advokat diantaranya:
1. Mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat (PKPA)
2. Mengikuti ujian profesi Advokat
3. Pengangkatan Advokat
4. Pengambilan sumpah.
Sehingga dengan demikian dapatlah dikatakan untuk menjadi seorang advokat harus
memiliki kompetensi yang mumpuni selaku seorang yuris. Advokat didalam
menjalankan profesinya berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang
dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan dengan wilayah kerja
seluruh wilayah NKRI vide pasal 5 ayat (1) (2) Undang undang a quo
HAK DAN KEWAJIBAN ADVOKAT
a. Pasal 14, Advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam
membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan
dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-
undangan;
b. Pasal 15, Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela
perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode
etik profesi dan peraturan perundang-undangan;
c. Pasal 18, Advokat dalam menjalankan tugas profesinya dilarang membedakan
perlakuan terhadap klien berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan,
ras atau latar belakang sosial dan budaya. Advokat tidak dapat diidentikkan
dengan kliennya dalam membela perkara klien oleh pihak yang berwenang dan
atau masyarakat;
d. Pasal 19, Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau
diperoleh dari kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh
Undang-undang. Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan klien
termasuk perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan atau
pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik
Advokat;
e. Pasal 20, Advokat dilarang memegang jabatan lain yang bertentangan dengan
kepentingan tugas dan martabat profesinya. Advokat dilarang memegang
jabatan lain yang meminta pengabdian sedemikian rupa sehingga merugikan
profesi Advokat atau mengurangi kebebasan dan kemerdekaan dalam
menjalankan tugas profesinya. Advokat yang menjadi pejabat negara tidak
melaksanakan tugas profesi Advokat selama memangku jabatan tersebut;
f. Pasal 21, Advokat berhak menerima honorarium atas jasa hukum yang telah
diberikan kepada kliennya. besarnya honorarium atas jasa hukum sebagaimana
dimaksud ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah pihak
KEWENANGAN ADVOKAT
Salah satu Element dasar (Fundamental Elementary) yang wajib dimiiki oleh seorang
pengemban profesi hukum termasuk advokat didalam menjalankan profesinya adalah
pemahaman akan metode penalaran hukum (Legal Reasoning), hal ini penting dan
mutlak dimiliki oleh seorang Yuris, dimana Pemahaman akan penalaran hukum secara
sistematis akan membangun Skema berpikir yang terdiri dari Logica Hukum,
Argumentasi hukum yang berujung lahirnya Legal Opinion yang banyak membantu
seorang Yuris dalam menjalankan Praktiknya berdasarkan kajian Penalaran hukum
tersebut.
salah satu metode yang digunakan dalam penalaran hukum adalah konstruksi hukum
yang merupakan alat-alat yang dipakai untuk menyusun bahan hukum yang dilakukan
secara sistematis dalam bentuk bahasa dan istilah yang baik. Menyusun yang dimaksud
adalah menyatukan apa yang termasuk dalam satu bidang yang sama, satu pengertian
yang sama. Istilah pencurian misalnya adalah suatu konstruksi hukum, yaitu suatu
pengertian tentang semua perbuatan mengambil barang dengan maksud untuk dimiliki
secara melawan hukum (Pasal 362 KUHP). Jadi apakah perbuatan itu disebut maling,
nyolong, nyopet, apakah ia mengambil benda tidak berwujud (listrik) atau berwujud,
kesemuanya apabila dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, maka
perbuatan itu disebut pencurian.
Penafsiran Hukum
Selanjutnya alat bantu dalam penalaran hukum adalah kemampuan penafsiran hukum
bertujuan untuk mencari dan menemukan Original intent atau makna asli dari kehendak
pembentuk undang-undang yang telah dinyatakan oleh pembuat undang-undang dalam
1
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1993, h.
suatu norma positif yang pada prkatiknya dianggap secara kurang jelas sehingga untuk
menemukan original intent dibutuhkan penafsiran jenis fenfsiran yakni ;
a. Penafsiran Autentik Jenis ini adalah penafsiran yang pasti terhadap arti kata-kata itu
sebagaimana yang diberikan oleh pembentuk UU, atau penafsiran ini sudah ada
dalam penjelasan pasal demi pasal, misalnya Pasal 98 KUHP : arti waktu ”malam”
berarti waktu antara matahari terbenam dan matahari terbit; Pasal 101 KUHP:
“ternak” berarti hewan yang berkuku satu, hewan memamah biak dan babi (periksa
KUHP Buku I Titel IX). Dikatakan penafsiran otentik karena tertulis secara resmi
dalam undang-undang artinya berasal dari pembentuk UU itu sendiri, bukan dari
sudut pelaksana hukum yakni hakim. Dalam penafsiran bermakna hakim
kebebasannya dibatasi. Hakim tidak boleh memberikan arti diluar dari pengertian
autentik. Sedangkan diluar KUHP penafsiran resmi dapat dilihat dari ketentuan-
ketentuan umum dan penejelasan pasal demi pasal;
b. Penafsiran Tata Bahasa Hakim harus memperhatikan arti yang lazim suatu
perkataan di dalam penggunaan bahasa sehari-hari yang digunakan masyarakat
yang bersangkutan, atau hubungan antara suatu perkataan dengan perkataan
lainnya. Bekerjanya penafsiran ini ialah dalam hal untuk mencari pengertian yang
sebenarnya dari suatu rumusan norma/unsurnya. Sebagai contoh dapat
dikemukakan hal yang berikut : Suatu peraturan perundangan melarang orang
memarkir kendaraannya pada suatu tempat tertentu. Peraturan tersebut tidak
menjelaskan apakah yang dimaksudkan dengan istilah “kendaraan” itu. Orang lalu
bertanya-tanya, apakah yang dimaksudkan dengan perkataan “kendaraan” itu,
Apakah hanya kendaraan bermotor saja ataukah termasuk juga sepeda. Contoh lain
kata “dipercayakan” sebagaimana dirumuskan dalam dalam pasal 432 KUHP secara
gramatikal diartikan dengan “diserahkan”, kata “meninggalkan” dalam pasal 305
KUHP diartikan secara gramatikal dengan “menelantarkan”;
c. Penafsiran Historis Sejarah hukumnya, yang diselidiki maksudnya berdasarkan
sejarah terjadinya hukum tersebut. Sejarah terjadinya hukum dapat diselidiki dari
memori penjelasan, laporan-laporan perdebatan dalam DPR dan surat menyurat
antara Menteri dengan Komisi DPR yang bersangkutan, misalnya rancangan UU,
memori tanggapan pemerintah, notulen rapat/sidang, pandangan-pandangan
umum, dan lain-lain. Sejarah undang-undangnya, yang diselidiki maksud pembentuk
UU pada waktu membuat UU itu, misalnya denda f 25.-, sekarang ditafsirkan
dengan uang Republik Indonesia sebab harga barang lebih mendekati pada waktu
KUHP. d. Penafsiran Sosiologi Penafsiran oleh hakim dengan memperhatikan
keperluan yang ada di dalam masyarakat, dengan catatan bahwa hakim harus
menjaga jangan sampai mereka mengambil alih tugas dan kewenangan badan
legislatif.
Logika Hukum
Ada dua cara berpikir yang dapat kita gunakan untuk mendapatkan kebenaran yaitu
melalui metode induksi dan deduksi.
1. Induksi adalah cara berpikir untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum dari
kasus-kasus yang bersifat individual. Penalaran ini dimulai dari kenyataan-kenyataan
yang bersifat khusus dan terbatas dan diakhiri dengan pernyataan yang bersifat
umum. Secara singkat dapat dikatakan bahwa “Proses berpikir induksi adalah
berdasarkan proposisi khusus ke proposisi umum”; Induksi merupakan cara berpikir
di mana ditarik kesimpulan umum dari berbagai kasus yang bersifat individual,
selain itu metode induksi ialah cara penanganan terhadap suatu objek tertentu
dengan jalan menarik kesimpulan yang bersifat umum atau bersifat lebih umum
berdasarkan atas pemahaman atau pengamatan terhadap sejumlah hal yang
bersifat khusus. Logika induktif merupakan suatu ragam logika yang mempelajari
asas-asas penalaran yang betul dari sejumlah hal khusus sampai pada suatu
kesimpulan umum yang bersifat boleh jadi.;
2. Deduksi adalah serangkaian kegiatan berpikir yang merupakan kebalikan dari
penalaran induksi. Deduksi adalah cara berpikir dari pernyataan yang bersifat umum
menuju kesimpulan yang bersifat khusus atau dengan kata lain lain “Proses berpikir
deduksi adalah berdasarkan proposisi umum ke proposisi khusus, Logika deduksi
merupakan cara berpikir dimana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik
kesimpulan yang bersifat khusus, selain itu metode deduksi ialah cara penanganan
terhadap sesuatu objek tertentu dengan jalan menarik kesimpulan mengenai hal-hal
yang bersifat umum. Logika deduktif adalah suatu ragam logika yang mempelajari
asas-asas penalaran yang bersifat deduktif, yakni suatu penalaran yang menurunkan
suatu kesimpulan sebagai kemestian dari pangkal pikirnya sehingga bersifat betul
menurut bentuk saja. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya
mempergunakan pola pikir yang dinamakan silogismus. Pernyataan yang
mendukung silogismus ini disebut premis yang kemudian dapat dibedakan sebagai
permis mayor dan permis minor. Kesimpulan merupakan pengetahuan yang didapat
dari penalaran deduktif berdasarkan kedua permis tersebut. Logika deduktif
membicarakan cara-cara untuk mencapai kesimpulan-kesimpulan bila lebih dahulu
telah diajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai semua atau sejumlah ini di antara
suatu kelompok barang sesuatu. Kesimpulan yang sah pada suatu penalaran
deduktif selalu merupakan akibat yang bersifat keharusan dari pertnyaan-
pertanyaan yang lebih dahulu diajukan. Pembahasan mengenai logika deduktif itu
sangat luas dan meliputi salah satu di antara persoalan-persoalan yang menarik.
Sistematika metode IRAC LON FUHLER
Salah satu hal penting dalam mengolah kemampuan Analisa hukum adalah perumusan
masalah,karena pada praktiknya seringkali seorang advokat didatangi oleh seseorang
yang menceritakan permasalahan yang sedang dihadapi, dan seringkali pula kegagalan
membangun argumentasi hukum disebabkan oleh salahnya perumusan masalah atau
pemataan masalah yang berakibat gugatan ditolak atau tidak dapat diterima.
A. Identifikasi Masalah
Hal mendasar yang harus dimiliki seorang yuris professional adalah penguasan
background knowledge dasar dasar ilmu hukum, kemudian mengenlai fakt fakta
hukukum yang terdiri atas:
Contoh :
Seorang istir yang emndatangi adna untuk berkosnultasi mengenai suatu permasalahan
hukum, dia iningin melaporkan tetangganya yang seringkali mengoitimidasi baik secara
fisik maupun psikologi suaminya, memang berdasrakan cerita perempuan tersbeut
sumainya memiliki hutang usaha kepada tetangganya tersebut,dkarenakn suaminya
bangkrut maka suaminya tidak mampu membayar hutangnya, kemudian suatu hari
diketemukan sumainya meninggal bunuh diri dengan minum racun tikus, perempuan ini
ingin meminta bantuan anda untuk menuntuk tetanggannya tersebut.
Catatan:
Pada contoh tersebut orang umum mungkin akan melihat adanya [ersoalan yang
dianggap sbegaai fakta hukum, namun bagi seorang yuris yang jeli maka dia akan
mengatakan bahwa issue hukum dalam peristiwa itu masih terlalu kabur.
B. Merumuskan masalah
Setelah mampu mengindentifikasi isu hukum maka tahapan selanjutnya adalaah
perumusan masalah dalam suatu kalimat. Isu tersebut dituangkan dalam ebberapa
bentuk :
1. Dirumuskan dalam bentuk pertanyaan dnegan menggunakan kalimat tanya;
2. Dirumuskan dalam bentuk perynataan;
3. Disampaikan dalam bentuk uraian singkat atas fakta yang paling penting
kemudian disusul dengan kalimat pertanyaan.
Bnetu bentuk pertnayan yang dapat dirumuskan dalam suatu LO anatara lain
Materi yang perlu dikuasai Sebagai seorang pembela dalam perkara pidana advokat
sudah semestinya memberikan pengarahan-pengarahan dan penjelasan-penjelasan
tentang duduk persoalan. Nasihat yang diberikan penasihat hukum atau pembela
tidak boleh keluar dari lingkaran surat tuduhan Jaksa Penuntut Umum. Sebelum
bertindak seorang penasihat hukum setidak-tidaknya harus memiliki :
Tujuan penyidikan dalam prekara pidana tidak lain adalah membuat terang suatu
perbuatan pidana, untuk mengetahui ada tidaknya perbuatan pidana maka dapat
diamati dari :
Contoh ilustrasi kasus Diwilayah hukum Mataram pada tanggal 26 mei 2023
terjadi pembunuhan dengan tersangka Najam, Najam karena tidak tahan
sisksaan petugas akhirnya mengakui tuduhan petugas tersebut bahwa
pembunuhan terjadi pada 26 mei 2023 di Mataram olehnya. Kemudian
berdasarkan penelusuran Advokat berdasarkan keterangan saksi-saksi dibawah
sumpah yang diajukan penasihat hukum dan surat ketrangan yang diperoleh dari
hasil investigasi advokat diketahui najam sedang opname disebuah Puskesmas
Turida Sandubaya sampai dengan 1 juni 2023, berdasarkan hasil pembuktian
yang diajukan penasihat hukum dapat membuktikan kebenaran bahwa terdakwa
bukan pembunuh, terkait atas dengan soal waktu melakukan perbuatan pidana.
A akrim mengatakan, bahwa pemuatan waktu tersebut adalah untuk
kepentingan persoalan yang berhubungan dengan hukum pidana sebagai berikut
:
1. Berlakunya Surat dakwaan Pasal 1 Ayat atau 2 KUHP, pembuatan surat
dakwaan harus dengan sendirinya menegtahui apakah pada waktu terjadinya
kejahatan tersbeut, telah ada epraturan hukum yang menghukumnya
ataukah sesuatu peraturan yang sudah ada masih berlaku terkait atas
eksistensi dari suatu norma pidana tersebut;
2. Semua hal dalam mana unsur etrdakwa sewaktu melakukan kejahatan
tersebut memegang peranan penting umpamanya terdakw anak-anak dna
delik Susila yang memuat persyaratan tentang umur terdakwa;
3. Daluwarsa (Pasal 78-82 KUHP);
4. Penentuan adanya perbuatan berulang recidive (pasal 486 KUHP-488 KUHP);
5. Kemampuan pertanggungjawaban seperti gangguan kejiwaaan dan ingatan
(pasal 37 KUHP);
6. Waktu terjaidnya pidana apakah malam hari, apakah pada saat bencana.
b. Pemberitaan pers
Salah satu peristiwa yang terkenal di Indonesia pernah menimpa terpidana
Sengkon dan Karta yang pada 14 november 1980 mengalami skorsing sementara
dari menjalani hukuman atas permintaan Kepala Kejaksaan Negeri Bekasi,
kemudian pada tanggal 1 Desember 1980 meneglurakan PERMA Nomor 1 Tahun
1980 untuk dapat melakukan peninjauan Kembali atas perkara pidana yang telah
Incraht dengan dasar adanya bukti baru ( Novum), pengacara Sengkon dan
karta tidak tinggal diam dan segera mengajukan permohonan agar putusan
hukuman sengkon dan karta ditinjau Kembali, oleh Mahkmah Agung RI, tanggal
30 januari 1981 menurut putusan sidang terbuka Mahkmaah Agung keduanya
dinyatakan bebas, dari segala tuntutan hukum, disini jelaslah bahwa
pemberitaan pers merupakan sumber informasi yang dapat dipergunakan oelh
pengacara sebagai media pembelaan atas putusan pengadilan yang bisa saja
keliru;
Dari hasil komunikasi ini maka akan ditentukan platform strategi pembelaan yang
dengan formulasi yang tepat agar terdakwa bisa bebas, atau dilepas, atau setidak-
setidaknya kalaun memang terdakwa mengakui perbuatannya agar terdakwa
dihukum seringan-ringanya (clementee). Dalam tahap penututan ini hal hal yang
harus diperhatikan advokat adalah :
1. Dasar Hukum Surat Dakwaan, apakah surat dakwaan itu jelas atau tidak,
misalnya terdakwa didakwakan rumusan pasal 378 KUHP namuan dalam
dakwaan JPU tidak menyebutkan secara spesifik unsur perbuatan penipuan pasal
378 KUHP tersebut, serta tidak merumuskan kewenangan apa dari pengadilan
untuk memeriksa dan mengadili perkara dimaksud, maka Langkah selanjutnya
adalah seorang penasihat hukum memiliki bahan tangkisan atau eksepsi dari
dakwaan JPU tersebut;
2. Harus diketahui pada waktu kejahatan apakah terdakwa berada dalam tempat
kejadian eprkara sebagaimana dituduhkan dalam surat dakwaan, hal ini bertalian
dengan pasal 1 ayat 2 KUHP;
3. Apakah perbuatan pidana yang didakwakan JPU sudah daluwarsa atau belum hal
ini bertalian dengan ketentuan pasal 74 KUHP dan pasal 76 s/d 85 KUHP tentang
gugurnya hak menuntut;
4. Apakah Dakwaan tersbeut merupakan perkara Nebis in Idem atau tidak
Point keberatan disini secara ekplisit memang tidak diatur dalam pasal 156 (1)
KUHAP namun menurut yahya harahap 3 keberatan dimaksud terkait atas
objection dalam system common law yang berarti perkara yang diajukan
terhadap terdakwa tidak tepat atau illegal. Sehingga dalam hal ini keberatan
merupakan hak dari terdakwa yang tidak dapat dihalangi atau dikesampingkan
dalam suatu acara pidana. Keberatan dari terdakwa yang dijaukan oleh
penasehat hukum harus dipertimbangkan dan dijawab oleh hakim dalam
putusannya dan hakim harus bersikap tegas bahwa keberatan diterima atau
ditolak.
3
Yahya Harahap, 1993,Pembahasan dan penerapan KUHAP, Pustaka Kartimi, Jakarta, Hal.123
4
Gatot Supramono, 2020, Teknis Membuat Keberatan Surat Dakwaan, Kencana, Jakarta Hal. 83
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa sikap memandang tidak
selamanya surat dakwaan selalu benar, maka maka mutlak dakwaan tersebut
dibaca oleh penasihat hukum secara baik dan cermat,teliti, dari awal sampai
akhir kalimat per kalimat, sehingga dapat memamhami ruh dari dakwaan JPU
tersebut. Dengan membaca dakwan setidak-tidaknya akan dipahami lingkup
Perkara pidana yang didkawakan JPU meliputi:
Salah satu hal yang musti diperhatikan dalam dakwaan adalah kualitas terdakwa
selaku subjek hukum, hal ini erat kaitannya dengan macam macam subjek
hukum tersebut, yang dapat saja subjek hukum tersebut kualitas personal
perorangan, dan kualitas selaku korporasi.bila suatud akwaan merujuk pada
kUHP maka yang dijadikan terdakwa selsalu dipastikan adalah orang karena
kosntruksi KUHP tidak mengenal subejk hukum korporasi sebagai pelaku. Hal ini
berbeda dengan dakwaan yang nerujuk pada delik pidana diluar KUHP, speerti
UU Narkotika, UU Pertmbangan mineral UU Pemebrnatasna tindak Pidana
Korupsi, UU lingkungan hidup, UU Perikanan.
.F2. Tempat Tindak Pidana Didakwakan
Jika perbuatannya tegrolong Tindak pidana korupsi maka tidak sulit untuk
mengetahuinya, karena pengadilan tindak pidana korupsi hanya ada satu di
setiap Provinsi,namun apabila ketentuan pidananya pidum sebagaimana diatur
KUHP atau Pidana Narkotika maka Ketika disidangkandipenhadilan negeri
dikabupaten atau dikota merupakan bahan terdakwa atau penasihat hukum
untuk mengajukan keberatan terhadap surat dakwaan tentang kewenangan
relative pengadilan.
Contoh : misalnya najamudin didakwa dengan pencurian pada pasal 362 KUHP,
maka uraian tindak pidana yang didakwakan harus menggambarkan adanya
perbuatan mengambil barang orang ,barang yang diambil tersebut milik orang
lain. dengan tujuan untuk dimiliki dan perbuatannya dilakukan dengan melawan
hak. Apabila salah satu unsur perbuatan pencurian dimaksud tidak tergambarkan
seperti perbuatannya dilakukan dilakukan melawan hak maka dakwaan menjadi
tidak jelas dan kabur, jadi harus ada uraiannya dari semua unsur pencurian yang
ada dalam pasal tersebut.
5
Ibid
6
Gatot supramono, 1998, Bagaimana Mendampingi Seseorang Di Pengadilan , Jakarta, djambatan hal. 81
7
Kuffal, HMA, KUHAP dalam Praktik Hukum, Malang, UMMM Press 2003 Hal. 223
.f5. Uraian Dakwaan Subsidairitas Sama Kalimatnya
Sebagai contoh pernah ada pada perkara korupsi tahun 2009 dipekanbaru. 8
Dakwaan primair didasarkan pada pasal 2 (1) UU Tipikor dan dakwaan subsidair
didasarkan pada pasal 3 UU Tipikor yang uraiannya sama kalimatnya.
Berhubungan uraiannya sama mak terdapat ekjanggalan, karena bila diteliti
unsur pasal 2 (1) tersebut adalah perbuatannya dilakukan secara melawan
hukum, sedangkan salah satu unsur pasal 3 UU Tipikor yaitu pebuatannya
dilakukan dengan cara penyelahgunaan kewenangan atas jabatan atau
kedudukannya. Sehingga uraiannya tidak nyambung dengan unsurnya. Selain
dakwaan subsidairitas dalam praktik juga ditemukan ada surat dakwaan yang
dibuat alternatif yang uraianya sama, nemun jumlahnya tidak banyak, dakwaan
kesatu dengan dakwaan kedua uraian tindak pidana materielnya sama
kalimatnya sama tetapi dengan dasar hukum yang berbeda.
8
Op cit (Gatot Supramono I Teknis Membuat Keberatan Surat Dakwaan)
Sebagaimana telah diketahui dalam acara pidana terdapat 5 bentuk dakwaan
yakni dakwaan tunggal, dakwaan alternatif, dakwaan subsidairitas,dakwaan
kumulatif, dakwaan ca,puran (kombinasi), masing masing dakwaan mempunyai
ciri sendiri dan tidak perlu dibahas Kembali disini.
Semua materi perkara harus sudah pernah dilakukan penyidikan dan hasilnya
tertuang di dalam berita acara penyidikan. Ruang lingkup perbuatan yang
didkawakan harus bersumber dari hasil penyidikan,apabila materi surat dakwaan
tidak sejalan merupakan bahan bagi penasehat hukum terdakwa untuk
9
Ibid Hal 118
dituangkan dalam surat keberatannya. Contoh kasus, dalam perkara pidana
korupsi kasus transmigrasi10 Tahun 1989 di Kabupaten Selayar. Dalam jalannya
persidangan diketahui terdakwa melakukan perbuatan pembangunan rumah dan
pembangunan jalan untuk kepentingan transmigransi local jedua pembangunan
tersebut bermasalah, karena tidak sesuai perencanaan pembangunan, akan
tetapi setelah surat dakwaan diteliti dan dipelajari dan dihubungkan dengan
berkas perkara penyidikan ternyata diketahui hanya pembangunan rumah saja
yang di sidik sedangkan pembangunan jalan tidak pernah dilakukan penyidikan
oleh penyidik.surat dakwaan yang demikian tersa janggal karean perbuatan surat
terdakwa dalam surat dakwaan diperluas dengan sumber data yang tidak jelas,
bahkan anehnya keterangan saksi saksi dalam persidangan seolah olah
membenarkan dakwaan JPU, dengan demikian Surat dakwaan batal dmei hukum
karena tidak sejalan dengan KUHAP yang harus dibuat sesuai dengan hasil
penyidikan.
Bagaimanakah cara menyusun pledoi? Secara umum tidak ada suatu teori yang
baku bagaimana teknik menyusun pledoi (pembelaan). Sementara itu pledoi
merupakan sebuah instrument yang sangat penting dari pekerjaan seorang
pengacara (lawyer) dalam mendampingi seorang terdakwa dalam persidangan.
Dengan kedudukannya yang penting itu, bagaimanakah cara menyusun dan apa
isi sebuah pledoi ? KUHAP sendiri tidak mengatur secara terperinci terhadap apa
yang disebut dengan pembelaan (pledoi), termasuk tidak memberikan
pengertian terhadap apa yang disebut dengan pembelaan (pledoi) itu sendiri.
Jika penuntut umum bisa fokus saja pada pembuktian dakwaannya dalam surat
tuntutan, sementara pengacara tidak bisa hanya fokus dengan pembelaannya
dengan mengabaikan surat tuntun penuntut umum. Tidak ada keharusan
memang, seorang pengacara harus membahas surat tuntutan penuntut umum,
tetapi seorang pengacara yang sungguh-sungguh dan professional pasti tidak
akan mengabaikan surat tututan penuntut umum. Mengelola pembelaan dalam
dua kondisi seperti itu pun belumlah cukup, karena kemudian soal isi atau apa
yang diuraikan dalam pledoi akan menjadi penentu, apakah seorang pengacara
telah menyikapi dua kondisi itu dengan baik dan maksimal. Di lain hal, pledoi
yang dibuat secara implisit memperlihatkan pula kualitas dan professional
seorang pengacara, terlepas dari soal apakah pleedoi yang diberikan diterima
atau tidak oleh hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan. Tetapi yang
jelas sebuah pleedoi yang baik merupakan sebuah dokumen persidangan hasil
kerja seorang pengcara dan akan menjadi acuan untuk mengajukan upaya
10
Ibid Hal 119
hukum yang tersedia apabila seorang terdakwa tidak puas dengan putusan
hakim.
Namun seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwa tidak ada satu acuan
yang baku bagaimana bentuk, susunan dan isi dari sebuah pledoi, dan hal itu
menyiratkan bahwa bentuk, susunana dan isi pledoi tumbuh dan berkembang
dari praktek pekerjaan seorang pengacara. Dalam praktek bisa diamati
terlihatnya bentuk dan susunan pledoi yang berbeda antara satu pengacara
dengan pengacara yang lain.
Meskipun demikian dalam beberapa literatur dikemukakan apa yang menjadi isi
dari sebuah pledoi seperti; alasan dan dasar pembelaan; secara teknis dalam
pledoi hampir selalu dikedepankan soal adanya:
Di lain pihak terkait pula dengan materi terkait perkara yang ada pada diri
pengacara yang akan didalaminya selama dalam proses pemeriksaan. Tanpa
ada objek atau materi yang menjadi fokus yang ingin didalami
pengacara dalam proses pemeriksaan perkara, maka adalah mustahil
lahir sebuah pledoi yang baik dan yang mungkin terjadi adalah sebuah
pledoi yang “kering”. Bahkan tidak mungkin merugikan kepentingan hukum
terdakwa sendiri atau jauh dari apa yang diharapkan dan dipahami terdakwa.
Menyusun sebuah pledoi adakalanya lebih sulit dari menyusun sebuah karya
ilmiah. Sebuah pledoi terikat dengan fakta-fakta yang terungkap dalam
persidangan, sedangkan sebuah karya ilmiah bebas memilih literatur dan data
yang diperlukan serta tidak terikat dengan nasib seseorang. Sebuah karya ilmiah
menjadikan kasus sebagai data atau bahan kajiannnya, sebaliknya sebuah pledoi
membutuhkan teori atau ajaran hukum untuk mendukung, menguatkan
kesimpulan pembuktian unsur pidana dari pasal yang didakwakan yang ditarik
dari fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan.
Di dalam praktek atau dalam sebuah pledoi tidak jarang juga ditemukan adanya
pleedoi disusun penuh dengan pengedepanan teori-teori atau ajaran hukum dan
minim porsi fakta hukum dari perkara yang dihadapi. Ada juga kemungkinan
sebuah pledoi penuh dengan fakta-fakta tetapi minim dukungan teori atau ajaran
hukum. Kedua kecenderungan ini tentu sama jeleknya bagi sebuah penyusunan
pledoi, dan sama-sama berpotensi pledoi akan Tampak tidak maksimal. Idealnya
adalah kombinasi antara fakta yang terungkap dalam persidangan dengan
dukungan atau diperkuat teori/ajaran hukum. Meskipun dalam penguraiannya
dalam pledoi sebuah teori tidak ekplisit disebutkan, sebuah teori biasa saja
“terbenih” atau terkandung dalam penguraian penyusunan kesimpulan dari
fakta-fakta yang dihimpun dalam sebuah pembuktian unsur pidana.
Tetapi sekali lagi, tidak ada cara yang baku bagaimana susunan, isi dan cara
mengungkapkan isi sebuah pledoi. Selain menyusun pledoi bersandar pada
esensi dari pledoi itu sendiri, juga disangat dipengaruhi oleh style dan
pengalaman sang pengacara sendiri menangani perkara. Bentuk, isi dan cara
pengungkapan sebuah pledoi dengan pledoi yang lain tidak akan sama meskipun
dari seorang pengacara yang sama. Artinya isi dan susunan pledoi juga
tergantung pada kondisi atau situasi yang mengelingkupi sebuah perkara yang
dihadapi dan karenanya sebuah pledoi memiliki sifat dinamis.
Menurut hemat kami, masih perlu ditambahkan dalam hal pemidanaan dengan
kualifikasi pembebasan, yakni: Ke-3: jika salah satu unsur atau lebih dari
pertanggungjawaban pidana: perbuatan pidana yang bersifat melawan hukum,
mampu bertanggung jawab, sengaja atau alpa dan tidak alasan pemaaf, tidak
terbukti. Maka atas dasar ketiga hal tersebut di atas, terdakwa harus diputus
pembebasan atau vrijspraak
Putusan pembebasan dari terdakwa yang demikian ini dinamakan dalam liberatur
sebagai zuivere vrijspraak (Mr. JM van Bemmelen). Rumusan DR. Mr. Wiryono
Prodjodikoro, sebagaimana tersebut di atas, juga terdapat dalam rumusan Pasal
183 KUHAP, yang isinya menyatakan: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana
kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti
yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar
terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Maka dari Pasal
183 KUHAP ini menunjukkan bahwa yang dianut sistem pembuktian, ialah sistem
negatif menurut undang-undang (negatif wettelijk) dengan menyebutkan adanya
dua alat bukti yang sah serta adanya keyakinan bahwa terdakwa bersalah.
Penyebutan dua alat bukti merupakan limitatif suatu pembuktian minimum yang
ditetapkan oleh undang-undang (Pasal 184 KUHAP), karena itu Hakim tidak
diizinkan untuk menyimpang dalam menjatuhkan putusannya. 11
11
Martiman Projohsmijojo, strategi memenangkan perkara, Jakarta, Pradnya Paramita, 2002, Hal 40-45
Bahwa disamping adanya putusan yang mengandung pembebasan, terdapat
pula putusan yang mengandung pelepasan dari tuntutan hukum ( ontslag
vanrechtservolging) sebagaimana diatur dengan pengertian Pasal 191 ayat (2)
atau Pasal 314 HIR. Pasal 191 ayat (2) KUHAP berbunyi: “Jika pengadilan
berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti,
tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa
diputus lepas dari segala tuntutan hukum.”
Ketentuan di atas sama dengan Pasal 314 HIR, ayat (1), yang isinya: “Jika
Pengadilan Negeri menimbang, bahwa perbuatan yang menyebabkan orang
dituduh ditarik ke muka hakim betul terang, akan tetapi tiada menjanjikan
kejahatan atau pelanggaran maka Pengadilan Negeri melepaskan orang yang
dituduh itu dari segala tuntutan hukum karena perkara itu (Naskah dari Mr. R.
Tresna).
Bila seseorang hendak mengajukan tuntutan hukum di muka Pengadilan, oleh karena
merasa haknya dilanggar oleh pihak lain, maka ia wajib atau tidak menggunakan jasa
advokat. Peradilan di Indonesia tidak menganut sistem kewajiban beracara dengan
menggunakan jasa advokat, seperti halnya pernah berlaku dahulu di zaman Hindia
Belanda, pada era Raad vanjustitie (Pengadilan Tinggi) yang wajib menggunakan jasa
advokat. Adalah lain yang berlaku pada sistem HIR yaitu tidak wajib menggunakan jasa
advokat, sehingga setiap orang baik sebagai penggugat ataupun tergugat dapat
langsung menghadap di muka Pengadilan Negeri. Apabila orang yang dipanggil
menghadap Pengadilan sebagai tergugat ataupun penggugat dapat memberikan surat
kuasa untuk mewakilinya di muka Hakim, maka surat kuasa tersebut diberikan kepada
seorang advokat, pengacara ataupun penasihat hukum.
ialah persetujuan dimana seseorang bertindak sebagai pemberi kuasa dan pihak lain
bertindak sebagai penerima kuasa untuk dan atas nama pemberi kuasa melakukan
suatu perbuatan atau tindakan ( Pasal 1792 BW)
2. Cara Pemberian Kuasa
Pemberian surat kuasa dimaksud dapat dilakukan dengan akta notaris ataupun surat
di bawah tangan, bahkan dapat dilakukan secara lisan di muka Hakim yang
mengadili perkaranya. Ada kuasa yang diberikan secara cuma-cuma, artinya tidak
diberikan upah, kecuali ditentukan lain; juga kuasa dapat diberikan secara diam-
diam, artinya kuasa demikian dapat disimpulkan dari tindakan atau perbuatan yang
nyata dilakukan oleh seseorang. Namun cara terakhir ini, tidak bisa dilakukan
untuk menjalankan pekerjaan di muka Hakim.
3. Kuasa Khusus
Ada beberapa macam / jenis kuasa yang dapat diberikan oleh pemberi kuasa
kepada penerima kuasa. Kuasa yang diberikan untuk menghadap di muka Hakim
adalah kuasa khusus, didasarkan pada Pasal 123 ayat 2 H IR / 147 ayat 2 RBG,
artinya kuasa untuk menghadapi perkara atau hal tertentu, bukan sebagai kuasa
umum. Kuasa umum berarti kuasa untuk segala hal atau segala perbuatan, dengan
titik berat apa pengurusan (beheren, management, Pasal 1795 BW). Kuasa Yang
Ditunjuk Dalam Surat Gugat diletakkan pada Pasal 124 ayat 1 HIR / Pasal 147 ayat
1 RBG. Dalam gugat, maka penggugat sekaligus menunjuk dengan mencantumkan :
nama penerima kuasa, secara jelas dan terang, agar dia bertindak sebagai kuasa.
Kuasa Subtitutie. Kuasa demikian diberikan oleh penerima kuasa, agar dia bisa
mewakili penerima kuasa dalam melakukan tindakan. Kuasa substitutie dapat
diberikan bilamana kuasa dari prinsipal berisi pula wewenang untuk mengalihkan
kuasa tersebut secara keseluruhan atau sebagiannya.
Asas Actor Sequitur Forum Rei (asas yang berwenang adalah pengadilan
tempat tinggal penggugat)
5. Gugatan dalam sengketa Perdata adalah menarik pihak lain (tergugat) ke muka
Hakim Pengadilan yang daerahnya meliputi tempat tinggal tergugat. Hali ini tersurat
dalam Pasal 118 H IR / 142 RBG. Dalam Pasal 118 ayat (1) H IR / 142 RBG,
dikatakan bahwa gugatan perdata yang dalam tingkat pertama masuk wewenang
Pengadilan Negeri, harus diajukan dengan surat gugatan, yang ditanda tangani oleh
penggugat atau orang yang dikuasakan menurut Pasal 123 H IR / 117 RBG, kepada
Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya terletak tempat tinggal tergugat
atau jika tidak diketahui tempat tinggalnya, tempat tergugat sebenarnya berdiam.
HIR/RBG ini tidak memberikan penjelasan tentang “tempat tinggal” maupun
“tempat kediaman”, karena harus dicari di tempat lain. HIR/RBG juga tidak
memuat ketentuan, bagaimana jika yang digugat itu bertempat tinggal di luar
Indonesia.
Dalam Pasal 17 KUHPerdata, dikatakan bahwa “tempat tinggal” adalah tempat
dimana seseorang menempatkan pusat kediamannya. Secara formalnya, “tempat
tinggal” dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP), atau Surat Izin
Mengemudi, Kartu Keluarga (KK) seseorang. Jadi, “tempat tinggal” diartikan dimana
seseorang tercatat sebagai penduduk di desa yang disebut dalam KTP tersebut dan
dimana dia berdiam diri.
Lain halnya dengan “tempat kediaman”, adalah tempat dimana kebiasaan dia
berada disitu; mungkin kebiasaannya (di) tempat peristirahatan, mungkin tempat
bermain, misalnya tempat olah raga, bowling, bahkan warung kopi, di m ana dia
sering berada di situ. Dalam hal tempat kediaman orang yang digugat berada di luar
wilayah Indonesia, maka ketentuan Pasal 99 ayat (3) H IR memberikan petunjuk,
bahwa jika yang digugat tidak mempunyai tempat tinggal yang nyata di Indonesia,
maka tuntutan terhadapnya dapat diajukan kepada Pengadilan Negeri di tempat
tinggal yang menggugat.
Pengecualian asas Actor Sequitur Forum Rei
Dalam Pasal 118 H IR / 142 RBG, terdapat pengecualian asas Actor Sequitur Forum
Rai, yakni jika:
a) Lebih dari seorang tergugat Jika lebih dari seorang tergugat, maka penggugat
dapat memilih Pengadilan Negeri dari tempat tinggal salah satu dari tergugat;
b) Domisili pilihan Jika kedua belah pihak (penggugat dan tergugat) memilih tempat
tinggal tetap dengan akta tertulis, maka penggugat dapat mengajukan gugat
kepada Ketua Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal penggugat, atau
jika gugatan mengenai barang tak bergerak, gugat diajukan kepada Ketua
Pengadilan Negeri dalam daerah hukumnya barang itu terletak, ( idomicilie
keuze)
c) Obyek barang tak bergerak Jika tidak diketahui tempat tinggalnya yang tetap,
maka gugat diajukan kepada Ketua Pengadilan dalam daerah hukum tempat
tinggal penggugat, atau jika gugatan mengenai barang tak bergerak,- gugat
diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dalam daerah hukumnya barang itu
terletak.
Selain itu masih terdapat pengecualian yang terdapat dalam KUHPerdata,
Rechtsvordering (Rv) dan Undang-undang Perkawinan (UU Nomor 1 tahun 1974),
antara lain ialah:
a. Tergugat kurang cakap bertindak Jika tergugat kurang cakap, misalnya kurang
sehat akal pikirannya, untuk menghadap ke muka Hakim, gugatan diajukan
kepada Ketua Pengadilan Negeri tempat tinggal orang tuanya, atau walinya, atau
pengampunya (Pasal 21 KUHPerdata);
b. Buruh di tempat majikan Jika buruh menginap ditempat majikannya, yang
berwenang mengadili adalah Pengadilan Negeri tempat tinggal majikan itu (Pasal
22 B W);
c. Kepailitan Jika dalam hal kepailitan, yang berwenang mengadili adalah
Pengadilan Negeri yang menyatakan tergugat pailit. (Pasal 99 ayat 15 Rv);
d. Pembatalan Perkawinan Jlika menyangkut permohonan pembatalan perkawinan,
yang berwenang ialah Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama dalam daerah
hukum di mana perkaw inan itu dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua
suami-istri, suami atau istri.(Pasal 25 jis 63 (1) b, UU Nomor 1 tahun 1974, Pasal
38 (1) dan (2) Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975);
e. Penjaminan Jika menyangkut hal penjaminan ( vrijwaring), yang berwenang
untuk mengadili adalah Pengadilan Negeri yang pertama dimana pemeriksaan
dilakukan (Pasal 99 ayat 14 Rv). f);
f. Perceraian Jika gugatan perceraian dapat diajukan kepada Pengadilan Negeri di
tempat kediaman penggugat, dalam hal tergugat bertempat tinggal di luar
negeri, gugatan diajukan di tempat kediaman penggugat dan Ketua Pengadilan
Negeri menyampaikan permohonan tersebut kepada tergugat melalui perwakilan
Republik Indonesia setempat (Pasal 40 jis Pasal 63 (1) b, UU nom or 1 tahun
1974, Pasal 20 (2) dan (3) PP nomor 9 tahun 1975).
HIR / RBG tidak mengadakan pembedaan seperti acara Rv, bahkan jika seseorang
tidak bisa merumuskan tuntutan, boleh saja hanya memohon dengan kata-kata
sederhana “memohon putusan yang adil” ( ex aequo et bono). HIR/RBG tidak
menetapkan syarat-syarat bagi isi gugatan, kecuali jika sengketanya telah
diputuskan oleh Hakim Perdamaian di desa. Putusan Hakim Perdamaian itu harus
dilampirkan. Pada waktu gugatan diajukan, penggugat dapat ditolong oleh Ketua
Pengadilan, sehingga cara memformulasikan gugatan dapat diperbaiki. Sedikitnya
gugatan harus berisi gambaran tentang kejadian materiil ( materiele gebeuren) yang
menjadi dasar gugatan.
Di muka sidang kejadian-kejadian materiil dapat dijelaskan lebih lanjut, sehingga
kemudian menjadi jelas bagi pengadilan dan bagi tergugat, selain itu HIR/RBG juga
tidak mengharuskan penggugat untuk memformulasikan secara konkret apa yang
dituntut. Dalam jurisprudensi terakhir membolehkan tuntutan terutama (primer),
diikuti dengan tuntutan pengganti (subsider), supaya Hakim mengadili menurut
keadilan yang benar, supaya Hakim memberi keadilan.
7. Perubahan tuntutan (eis)
HIR / RBG tidak rnemuat peraturan tentang hal perubahan tuntuan hal Ini bukan
berarti bahwa perubahan tuntutan tidak diperbolehkan. Perubahan tuntutan atau
tambahan tuntutan tidak boleh melewati batas-batas kejadian materiil yang menjadi
dasar gugatan.
Hakim perdata harus menjaga agar perubahan/ tambahan tidak merugikan
tergugat. maka selayaknya tergugat diberi kesempatan untuk membela
kepentingannya. Beberapa bentuk perubahan tuntutan :
a. Tuntutan dicabut HIR/RBG tidak memuat aturan tentang pencabutan gugatan.
Dalam praktek, pencabutan sering terjadi atas anjuran Ketua Pengadilan, sebab
gambaran kejadian materiil dalam gugatan telah banyak menyimpang dari
keadaan yang nyata. Pencabutan selalu terjadi dengan persetujuan tergugat, jika
pemeriksaan telah dimulai;
b. kumulasi Gugatan HIR/RBG tidak memuat peraturan tentang penggabungan
dari beberapa gugatan menjadi satu. Jika seseorang mempunyai lebih dari satu
tuntutan, yang semuanya menuju kepada satu tujuan yang sama, maka dengan
dipenuhinya salah satu tuntutan itu, tuntutan-tuntutan yang lain tercapai juga,
oleh karena maksud bersama telah tercapai. Jurisprudensi mengatakan bahwa
antara gugatan-gugatan yang digabungkan itu harus ada hubungan batin
(innerlijk sarnenhang) atau connexiteit. Pengumpulan demikian akan
memudahkan proses dalam menghindarkan putusan-putusan yang saling
bertentangan.
8. Gugatan reconventie atau gugatan balik, yaitu dimana tergugat dalam
jawabannya kemudian balik menuntut penggugat untuk sengketa yang lain atau
sengketa yang sama. Gugatan balik dalam sengketa yang sama itu sebenarnya
bukan gugatan balik, tetapi hakikatnya adalah jawaban belaka yang berisikan
penolakan. Kapan gugatan balik itu diajukan? Pasal 132 H IR / 158 RBG tidak
mengatur dalam hal ini, hanya mengatakan dapat diajukan pada waktu jawaban.
Berarti saat mengajukan gugatan balik adalah jawaban pertama atau jawaban
kedua [duplik).
9. Gugatan kabur (obscurelibell) atau tidak jelas
Gugatan dinyatakan kabur, berarti tidakjelas (duidelijk) maka ada hal-hal yang tidak
jelas, yakni adalah dasar hukum gugatan, karena posita ( rechtsfeiten) atau kejadian-
kejadian tidak mendukung dasar hukum, atau dengan kata lain antara dasar gugatan
tidak sesuai (bertentangan) dengan kejadian atau'kenyataan yang riil (sebenarnya).
Sehingga tidak bisa dikonkritisir dalam bentuk petitum yang tegas artinya tepat;
contoh: batas-batas tanah tidak jelas, ukuran dan luas tidak tepat, tidak ditemukan
persengketaan yang menjadi obyek, serta kurang pihak.
Jika sebaliknya tergugat tidak hadir pada sidang pertama, dan tidak ada wakilnya
serta tidak dipanggil sah:
a. Pengadilan dapat m enunda dan memanggil lagi untuk kedua kalinya, pada sidang
lain (Pasal 126 HIR);
b. Gugatan Penggughat dapat dikabulkan dengan verstek.
Arti Verstek
Verstek adalah pernyataan, bahwa tergugat tidak hadir, meskipun ia menurut hukum
acara harus datang. Verstek itu hanya dapat dinyatakan, jika tergugat tidak datang
dalam sidang pertama. Jika ia hadir pada hari sidang pertama dan kemudian pada
sidang berikutnya tidak hadir, maka putusan verstek tidak dapat diambil, bahkan akan
diperiksa terus seperti perkara biasa, yaitu sebagai perkara kontradictoir
(optegenspraak).
11. Anasir Gugatan
Meskipun tergugat tidak hadir pada sidang pertama, jika bunyi gugatan tak dapat
diterima jika gugatan itu sendiri tak berdasarkan hukum, atau gugatan ditolak, jika
gugatan itu sendiri tak beralasan (Pasal 125 ayat (1) HIR).
Gugatan mempunyai 2 analis:
a. Posita, adalah kejadian/peristiwa hukum yang diajukan penggugat, seperti
anggapan bahwa penggugat adalah pemilik tanah;
b. Petitum, adalah tuntutan (eis) yang didasarkan atas posita tersebut.
Gugatan tidak diterima (niet ontvankelijk verklaard), jika: Posita tidak membenarkan
petitum. Contoh: Kasus penggugat mendalilkan posita perjanjian jual beli, dan petitum
minta supaya tergugat dihukum membayar harga tebusan. Dalam hal demikian gugatan
dinyatakan n. o.
Gugatan ditolak jika: Posita tidak mendukung atau membenarkan petitum. Contoh:
Penggugat meminta agar tergugat membayar harga jual beli, tetapi kejadian hukum
tidak ada gambaran terjadinya jual beli mutlak, yang sebenarnya terjadi adalah jual beli
ojoden atau jual beli gadai.
12. Perlawanan Terhadap Putusan Verstek
Tergugat yang dihukum dengan verstek boleh mengajukan perlawanan (Pasal 129 ayat
(1) perlawanan diajukan dalam waktu 14 hari setelah putusan verstek diberitahukan
kepada tergugat inpesoon. Jika putusan itu tidak diterima inpesoon, maka perlawanan
boleh diterima pada hari kedelapan sesudah teguran ( aan maning) atau delapan hari
setelah eksekusi. Dalam hal acara perlawanan { perzet procedure), yang melawan
(opposant) menjadi tergugat lagi dan yang dilawan [ geopposeerde) menjadi penggugat
lagi (Pasal 129 ayat (3)). Jika yang dilawan pada hari sidang tidak hadir maka untuk
kedua kalinya, maka perkara akan diperiksa secara kontradiktoir. Sebaliknya jikayang
melawan pada sidang tidak datang, maka untuk kedua kalinya ia akan dihukum dengan
verstek, sedang perlawanan terhadap putusan ini akan tidak diterima (Pasal 129 ayat
(5)).
13. Jawaban
Pasal 121 ayat (2) HIR, tergugat dapat menjawab dengan lisan atau tulisan. Jawaban
dapat:
1. Mengaku atau;
2. Menyangkal atau bantahan.
Apabila tergugat tidak menjawab hanya menyerahkan kepada kebijaksanaan Hakim, itu
tidak boleh diartikan tergugat tidak mengakui dan tidak membantah, sehingga dengan
demikian tergugat masih berhak mengajukan bantahan ditingkat banding.
14. Eksepsi
(Pasal 136HIR) Kecuali eksepsi tentang tidak berkuasanya Hakim, semua eksepsi
harus dimajukan bersama dengan pokok perkara. Eksepsi adalah bantahan yang
menangkis tuntutan sedang pokok perkara tidak langsung disinggung. Eksepsi sebagai
jawaban tidak langsung, sedangkan bantahan merupakan jawaban langsung mengenai
pokok perkara. Jenis Eksepsi:
1. Eksepsi tidak berkuasanya Hakim (Pasal 136 HIR) terdiri dari :
a. Eksepsi kekuasaan absolut (Pasal 134 HIR);
b. Eksepsi kekuasaan relatif (Pasal 125 ayat (2) dan Pasal 133 HIR).
2. Eksepsi nebis in idem;
3. Eksepsi kadaluarsa
4. Eksepsi diskualifikasi
15. Jawaban Tergugat
Jawaban mengenai pokok perkara harus dibuat:
1) Jelas;
2) Singkat;
3) Berisi;
4) langsung mengenai pokok permasalahan;
5) dengan alasan-alasan yang mendasar
a. tidak mengakui tuntutan penggugat dengan jaw aban utangnya sudah lenyap,
sebab penggugat mempunyai utang pada tergugat (kompensasi);
b. mengajukan tuntutan reconventie supaya penggugat conventie bayar
utangnya.
2) tuntutan reconventie bisa berdiri sendiri. (zelfstandig) lihat contoh (b) di atas.
17. Kumpulan Jurisprudensi
1. Jurisprudensi terkait Eksepsi.
a. Putusan M.A. ta n g g a l 13 September 1973 No. 1340 K / S ip /
1971, dengan kaidah hukum, dengan kaidah hukum Eksepsi
mengenai kompetensi relatif yang diajukan sebagai keberatan kasasi
karena telah dilanggar oleh judex factie tidak dapat dibenarkan; karena
berdasarkan Pasal 133 H IR eksepsi tersebut harus diajukan pada
jawaban pertama, hal ini tidak dapat diajukan lagi.;
b. Putusan M .A . t a n g g a l 3 0 D e s e m b e r 1975 No . 361 K /
S i p / 1973 dengan kaidah hukum, Karena tangkisan tergugat
tanggal 28 Oktober 1968 bukan merupakan tangkisan dalam arti eksepsi,
tetapi jawaban (verweer), sedang menurut Pasal 162 RBG yang diputus
bersama-sama dengan pokok perkara ialah tangkisan dalam arti eksepsi,
putusan Hakim pertama terhadap tangkisan tergugat-terbanding tersebut
adalah keliru maka harus dibatalkan.
2. Jurisprudensi Gugat Balik.
a. Putusan M.A. N o. 239 K / S ip / 1968 dengan kaidah hukum,
Gugatan balik dapat diajukan selama masih berlangsung jawab-
menjawab, karena dalam Pasal 158 RB G /132 H IR hanya disebut
“jawaban” saja, dan misalnya duplikan merupakan jawaban, meskipun
bukan jawaban pertama;
b. Putusan MA ta n g g a l 18-4 1973 No. 642 K / S ip / 1972
dengan kaidah hukum, Karena gugatan reconventie diajukan setelah
8 kali sidang dan setelah pengeluaran saksi-saksi, gugatan balik ini harus
dinyatakan tidak dapat diterima.
c. Putusan MA ta n g g a l 25-3-1975 No. 1057 K / S ip / 1973
dengan kaidah hukum, Karena gugatan balik tidak didasarkan inti
gugatan dalam convIentie melainkan berdiri sendiri (terpisah), dengan
tidak diterimanya gugatan conventie tidak dengan sendirinya gugatan
dalam reconventie ikut tidak dapat diterima;
d. Putusan M.A. ta n g g a l 28-11-1973 No. 466 K / S ip / 1973
dengan kaidah hukum, Karena gugatan conventie ditujukan kepada
tergugat conventie pribadi, gugatan balik yang diajukan penggugat
reconventie/ tergugat conventie dalam kedudukannya yang berhubungan
dengan perusahaan berdasarkan Pasal 131 a H IR harus dinyatakan tidak
dapat diterima.
3. Jurisprudensi Tuntutan Provisionil
Putusan MA ta n g g a l 7 M ei 1958 N o. 4 K / S ip / 1958,dengan
kaidah hukum, menentukan tuntutan provisionil yang tercantum dalam
Pasal 180 HIR hanyalah untuk memperoleh tindakan-tindakan sementara
selama proses berjalan; t
untutan provisionil yang mengenai pokok perkara { boden geschil) tidak
dapat diterima;
4. Jurisprudensi Gugatan Insidentil
Putusan M.A. ta n g g a l 26 November 1975 No. 224 K / S ip / 1975
dengan kaidah hukum, Acara yang mengatur tentang gugatan insidentil
tidak terdapat dalam hukum acara yang berlaku, tetapi karena hal itu perlu
dan berguna untuk penyelesaian perkara ini, dengan pedoman pada acara
yang mengatur hal ini dalam Rv, Pengadilan Tinggi dapat menerima gugatan
insidentil itu untuk diperiksa dan diputus bersamaan gugatan pokok.
Gugatan dengan tuntutan Subsider Dalam mengadili suatu gugatan yang di
dalamnya terkandung tuntutan “ subsider” yang dimaksud minta supaya
Hakim mengadili menurut keadilan yang baik ( naar goede justie recht doen),
hendaknya dilakukan sedemikian rupa sehingga di satu pihak tidak dirugikan
pihak lawan di dalam melakukan pembelaan.
5. Jurisprudensi Tuntutan Revindikasi
Putusan M.A. ta n g g a l 5-6-1957 No. 108 K / S ip / 1956, dengan
kaidah hukum, Tuntutan revindikasi dapat langsung diadakan terhadap
orang yang mengusai barang sengketa tanpa lebih dulu meminta
pembatalan atas jual beli mengenai barang tersebut yang telah dilakukan
pemegangannya dengan pihak ketiga.
18. Mengubah dan Menambah Surat Gugat
HIR tidak mengatur mengenai perubahan atau penambahan surat gugatan, sehingga
Hakim leluasa untuk menentukan sampai dimana diperkenankan.
1. Kepentingan kedua belah pihak jangan sampai dirugikan, terutama pada tergugat,
dalam membela diri;
2. Tidak mengubah atau menambah posita, hingga menjadi posita yang lain dari
posita semula Contoh:
a. -Gugatan perceraian semula didasarkan atas perzinahan, diubah menjadi
perselisihan yang tidak bisa didamaikan;
b. Gugatan semula ganti rugi atas dasar cidra janji, diubah menjadi ganti rugi atas
dasar paksaan atau penipuan;
c. Tuntutan semula tidak semua ahli waris digugat lalu ditambah dengan semua
ahli waris.
19. Pengurangan Tuntutan
Dalam hal ini selalu diperkenankan, misalnya semua tuntutan agar 4 bidang tanah
diserahkan, diubah menjadi 2 sawah saja.
Proses dengan pihak ketiga diatur dalam Rv Pasal 279-282. Syarat pihak ketiga masuk
dalam proses ialah berkepentingan. Artinya kepentingannya akan terganggu, jika dia
tidak mencampuri proses atau dengan cara mencampuri proses dia mempertahankan
kepentingannya.
a) voeging Jika pihak ketiga akan membela pihak penggugat atau tergugat disebut
voeging. Misalnya A berhutang, mencampuri proses yang diajukan sebagai borg. A
itu dapat menolong borgnya dan dia berkepentingan bahwa borg itu akan dihukum.
b) Tussenkomst Putusan M.A.R.I t a n g g a l 3 -1 2 -1 9 7 1 No . 1043 K / S i p /
1971 27, Jika pihak ketiga tidak membela salah satu pihak, melainkan membela
kepentingannya sendiri, disebut tussenkomst. Misalnya A dan B bersengketa tentang
hak atas tanah, kemudian C memasuki proses, dengan mengatakan tanah itu milik
saya (C).
c) Vrijwaring (penanggungan) Adalah pemanggilan pihak ketiga dalam proses untuk
menanggung (menjamin), agar supaya tergugat bebas dari penuntutan yang
merugikan. Misalnya A membeli tanah dari B; selang beberapa lama C menggugat A
dengan dalil tanah itu miliknya; kemudian A memanggil B untuk memberikan
jaminan bahwa jual beli tanah dari B kepada A.
d) Jurisprudensi Penarikan pihak ketiga ke dalam perkara. Putusan MA ta n g g a l 13
M aret 1979 N o. 141 K / S ip / 1978 . Pengikutsertaan pihak ketiga dalam suatu
proses perdata yang sedang berjalan, ditentukan oleh ada tidaknya permintaan
untuk itu dari para pihak atau pihak ketiga di luar perkara yang merasa
berkepentingan.
e) Intervensi. PUTUSAN MA ta nggal 16-12-1976 Judex factie mempunyai pengertian
yang salah mengenai istilah intervensi dan pembantah. Intervensi (ictussenkomst)
adalah pihak ketiga yang tadinya berdiri di luar acaRa sengketa, kemudian diizinkan
masuk ke dalam acara yang sedang berjalan untuk membela kepentingannya
sendiri. Sedangkan pembantah adalah pihak ketiga yang membela kepentingannya
sendiri, tetapi berada di luar acara yang sedang berjalan dan perkaranya tidak
disatukan dengan perkara pokok antara penggugat dan tergugat. Oleh karena itu
interventient tidak dapat merangkap menjadi pembantah dalam sa tu perkara yang
sama
Berdasarkan uraian diatas terkait atas teknis Pendampingan Dalam Lapangan Perdata
maka dapatlah disimpulkan bahwa Lingkup Acara Perdata sangatlah ajek sehingga disini
tidak berbeda dengan lapangan pidana, sehingga disini peran pemahaman legal
reasoning mutlak dibutuhkan dalam menganalisa suatu kasus yang sedang ditangani.
3. Skema Acara Peradilan Agama
Peradilan agama berwenang memeriksa berwenang memeriksa, mengadili, memutus
dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai ketentuan
peraturan Perundang-undangan. Kewenangan pengadilan agama sebagaimana diatur
dalam UU No 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU No.7 Tahun 1989 tentang
peradiilan agama yaitu :
1. Perkawinan;
2. Waris;
3. Wasiat;
4. Hibah;
5. Zakat;
6. Infaq;
7. Shodaqoh;
8. Ekonomi syariah
Sumber hukum peradilan agama:
1. Yang terdapat dalam UU Nomor 7 tahun 1989;
2. Yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum;
3. Peraturan perundang-undangan menjadi inti Hukum Acara Perdata Peradilan
Umum, antara lain:
a. HIR (Het Herziene Inlandsche Reglement) atau disebut juga RIB (Reglement
Indonesia yang di Baharui);
b. Rgb (Rechts Reglement Buitengewesten) atau disebut juga Reglement untuk
daerah Seberang, maksudnya untuk luar Jawa-Madura;
c. Rv (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering) yang zaman jajahan
Belanda dahulu berlaku untuk Raad van Justitie;
d. BW (Burgerlijke Wetboek) atau disebut juga Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata Eropa;
e. Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989, tentang peradilan umum
A. Prosedur Penerimaan Perkara Pada Pengadilan Agama
Pengadilan Agama merupakan salah satu penyelenggara kekuasaan kehakiman yang
memberikan layanan hukum bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam
mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-undang Nomor 7 tahun
1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3
tahun 2006 dan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009. Susunan organisasi
Kepaniteraan Pengadilan Agama terdiri dari empat unsur, yaitu Sub atau urusan
kepaniteraan permohonan, sub atau urusan kepaniteraan gugatan, sub atau urusan
kepaniteraan hukum, dan kelompok tenaga fungsional kepaniteraan.
Untuk melaksanakan tertib administrasi perkara di Pengadilan Agama dan dalam rangka
penyelenggaraan administrasi peradilan yang seragam, baik, dan tertib. Ketua
Mahkamah Agung RI dengan suratnya tertanggal 24 Januari 1991 No.
KMA/001/SK/1991 telah menetapkan pola-pola pembinaan dan pengendalian
administrasi perkara.
A. Tahap Pembuatan Gugatan
1. Meja Satu:
1. Surat permohonan atau gugatan tertulis, kecuali bagi yang buta huruf yang
manamenyampaikan ke pada kuasanya atau pada pengadilan agama ke ketua
hakim seperti pada kasus gugatan cerai. Surat gugatan atu surat permohonan yang
di buat sendiri atau lewat kuasanya di tunjukan ke pengadilan yang berwenang;
2. Foto copy identitas seperti KTP;
3. Vorschot biaya perkara dan bagi yang miskin dapat mengajukan dispensasi biaya
dengan membawa surat keterangan miskin dari kelurahan atau kecamatan;
4. Surat keterangan kematian untuk perkara waris;
5. Surat izin dari komandan bagi TNI atau POLRI, surat izin atasan bagi PNS (untuk
perkara poligami);
6. Surat persetujuan tertulis dari istri atau istri-istrinya (untuk perkara poligami);
7. Surat keterangan penghasilan (untuk perkara poligami);
8. Salinan atau foto copy akta nikah (untuk perkara gugat cerai, permohonan cerai,
gugatan nafkah,istri, dan lain-lain);
9. Salinan atau foto copy akta cerai (untuk perkara nafkah iddah, gugatan tentang
mut’ah).;
10. Surat keterangan untuk bercerai dari kelurahan.
Perkara yang telah terdaftar di pengadilan agama oleh panitera diampaikan kepada
ketua pengadilan agama untuk dapat menunjuk majelis hakim yang memeriksa,
memutus, dan mengadili perkara dengan suatu penetapan yang disebut penetapan
majelis hakim (PMH) yang terdiri satu orang hakim sebagai ketua majelis dan dua
orang hakim sebagai hakim anggota serta panitera siding. Apabila belum ditetapkan
panitera yang ditunjuk, majelis hakim dapat menunjuk panitera sidang sendiri.
3. Tahap Pemeriksaan Permohonan atau Gugatan
Pada hari sidang telah ditentukan apabila satu pihak atai kedua belah pihak tidak hadir
maka persidangan ditunda dan menetapkan hari sidang berikutnya kepada yang hadir
diperintahkan menghadiri sidang berikutnya tanpa dipanggil dan yang tidak hadir
dilakukan pemanggilan sekali lagi. Dalam praktek pemanggilan pihak yang tidak hadir
dilakukan maksimal tiga kali apabila :
a. Penggugat tidak hadir maka gugatan gugur. Tergugat tidak hadir maka pemeriksaan
dilanjutkan dengan putusan verstek atau putusan tanpa hadirnya pihak tergugat;
b. Apabila terdapat beberapa tergugat yang hadir ada yang tidak hadir, pemeriksaan
tetap dilakukan dan kepada yang tidak hadir dianggap tidak menggunakan haknya
untuk membela diri;
c. Penggugat dan tergugat hadir, maka Pemeriksaan dilanjutkan sesuai dengan hukum
yang berlaku
12
Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2012), Hlm 53-54.
13
M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2005), Hlm 35.
14
Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2012), Hlm 128.
I. PRODUK HUKUM PERADILAN AGAMA
Putusan
Putusan yang dikeluarkan Pengadilan Agama harus memuat hal- hal sebagai
berikut60:
a. Kepala putusan Putusan harus memuat kepala putusan yang meliputi
“Putusan”, kemudian diikuti dibawahnya dengan nomor putusan yang diambil
dari nomor perkara, lalu dilanjutkan dengan kalimat
“Bismillahirrahmanirrahim” sesuai dengan pasal 57 ayat 2 UU No. 7 tahun
1989. Kemudian dilanjutkan dengan kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan yang Maha Esa”;
b. Nama pengadilan dan jenis perkara Pengadilan Agama mana yang memeriksa
perkara misalnya Pengadilan Agama Surakarta yang memeriksa perkara
gugat cerai pada pengadilan tingkat pertama;
c. Identitas para pihak Identitas para pihak minimal harus mencantumkan nama,
alamat, umur, agama, dan dipertegas dengan status para pihak sebagai
penggugat dan tergugat;
d. Duduk perkara Memuat tentang:
1) Uraian lengkap isi gugatan;
2) Pernyataan sidang dihadiri para pihak;
3) Pernyataan upaya perdamaian;
4) Uraian jawaban tergugat;
5) Uraian replik;
6) Uraian duplik;
7) Uraian kesimpulan para pihak;
8) Pembuktian para pihak.
e. Pertimbangan hukum Putusan hakim juga harus memberikan pertimbangan
hukum terhadap perkara yang disidangkannya. Pertimbangan hukum
biasanya dimulai dengan kata-kata
“Menimbang … dan seterusnya”. Dalam pertimbangan hukum hakim
mempertimbangkan peristiwa, dalil gugatan, bantahan, eksepsi tergugat,
pasal-pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan maupun hukum
yang tidak tertulis, serta dihubungkan dengan alat-alat bukti yang ada.
Setelah itu hakim menarik kesimpulan tentang terbukti atau tidaknya gugatan
itu;
f. Amar putusan, Amar putusan merupakan isi dari putusan itu sendiri dan
jawaban petitum dalam surat gugatan yang diajukan oleh penggugat. Amar
putusan dimulai dengan kata “Mengadili” kemudian diikuti petitum
berdasarkan pertimbangan hukum. Di dalamnya diuraikan hal- hal yang
dikabulkan dan hal-hal yang ditolak atau tidak diterima. Para hakim dalam
menyusun amar putusan haruslah memperhatikan hal-hal berikut:
1) Harus bersifat tegas dan lugas;
2) Terperinci dan jelas maksudnya (tidak samar-samar);
3) Memperhatikan sifat dari putusan yang akan dijatuhkan apakah konstitutif,
deklaratoir atau condemnatoir;
4) Ditulis secara ringkas, padat, dan terang;
g. Penutup Memuat kapan putusan dijatuhkan dan dibacakan dalam
persidangan yang terbuka untuk umum, majelis hakim yang memeriksa,
panitera yang membantu, kehadiran para pihak dalam pembacaan putusan.
Putusan ditandatangani oleh majelis hakim dan panitera yang ikut sidang dan
pada akhir putusan dimuat perincian biaya perkara.
Kekuatan Putusan Peradilan Agama
pengadilan mempunyai 3 kekuatan yaitu 15: kekuatan mengikat (bindende kracht),
kekuatan bukti (bewijzende kracht), dan kekuatan eksekusi (executoriale kracht).
Suatu putusan mempunyai kekuatan mengikat dan mempunyai kekuatan bukti
ialah setelah putusan tersebut memperoleh kekuatan hukum yang tetap ( in
kracht). Suatu putusan dikatakan in kracht apabila upaya hukum seperti verzet,
banding, kasasi tidak dipergunakan dan tenggang waktu untuk itu sudah habis
atau telah mempergunakan upaya hukum tersebut dan sudah selesai. Upaya
hukum terhadap putusan yang telah in kracht tidak ada lagi, kecuali permohonan
peninjauan kembali ke Mahkamah Agung tetapi hanya dengan alasan-alasan
sangat tertentu sekali. Putusan yang sudah in kracht dapat dimohonkan
peninjauan kembali ke Mahkamah Agung tidak terhalang untuk dieksekusi
sehingga dikatakan mempunyai kekuatan eksekusi. Suatu putusan dikatakan
mempunyai kekuatan bukti misalnya putusan cerai karena mempunyai bukti
otentik terjadinya cerai.
Penetapan
Pengertian Penetapan Penetapan disebut al-Isbat (Arab) atau beschiking (Belanda)
yaitu yaitu produk Pengadilan Agama dalam arti bukan peradilan yang
sesungguhnya yang diistilahkan jurisdicto voluntaria. Dikatakan bukan peradilan
yang sesungguhnya karena di sana hanya ada pemohon yang memohon untuk
ditetapkan tentang sesuatu sedangkan ia tidak perkara dengan lawan. Dalam
literature lain penetapan adalah salah satu produk Pengadilan Agama dalam
memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara.
Penetapan merupakan keputusan atas perkara permohonan. Penetapan bertujuan
untuk menetapkan suatu keadaan atau suatu status tertentu bagi diri pemohon.
Amar putusan dalam penetapan bersifat declaratoir yaitu menetapkan atau
menerangkan saja. Penetapan mengikat pada diri pemohon dan penetapan tidak
mempunyai kekuatan eksekutorial.
Bentuk dan Isi Penetapan Bentuk dan isi penetapan hampir sama dengan bentuk
dan isi putusan namun terdapat sedikit perbedaan yaitu:
a. Identitas pihak-pihak pada permohonan dan pada penetapan hanya memuat
identitas termohon. Kalaupun dimuat identitas termohon akan tetapi termohon
bukanlah pihak;
b. Tidak akan ditemui kata-kata “Berlawanan Dengan” seperti pada putusan;
c. Tidak akan ditemui kata-kata “Tentang Duduknya Perkara” seperti pada putusan
melainkan langsung diuraikan apa permohonan pemohon;
d. Amar penetapan bersifat declaratoire atau constitutoire.;
e. Kalau ada putusan didahului kata-kata “Memutuskan” maka pada penetapan
dengan kata “Menetapkan”;
f. Biaya perkara selalu ditanggung oleh pemohon sedangkan pada putusan
dibebankan kepada salah satu pihak yang kalah atau ditanggung bersama-sama
oleh pihak penggugat dan tergugat tetapi dalam perkara perkawinan tetap selalu
kepada penggugat atau pemohon;
15
Sunarto, Peran Aktif Hakim Dalam Perkara Perdata, (Jakarta: Prenada Media Group, 2014), hlm. 197.
g. Dalam penetapan tidak mungkin ada reconventie atau interventie atau
vrijwaring.
Kekuatan Penetapan Putusan mempunyai 3 kekuatan dan berlaku untuk pihak-pihak
maupun untuk dunia luar (pihak ketiga) tetapi penetapan hanya berlaku untuk
pemohon sendiri, untuk ahli warisnya dan untuk orang yang memperoleh hak
daripadanya. Contoh penetapan seperti pengesahan nikah bagi keperluan pensiun
Pegawai Negeri Sipil dari suami-istri yang tidak ada sengketa antara keduanya,
tetapi dulu-dulunya mereka kawin belum begitu tertib pencatatan nikah sehingga
tidak mempunyai akta nikah.
DAFTAR PUSTAKA
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya
Bakti, Jakarta
Hendra Whaanu Prabani, Panduan lengkap Menyusun Perjanjian Publik dan
dokumen hukum di Instansi pemerintah cetakan 1, Bandung, alfabeta
Kuffal, HMA, KUHAP dalam Praktik Hukum, Malang, UMMM Press 2003
Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012),
Sunarto, Peran Aktif Hakim Dalam Perkara Perdata, (Jakarta: Prenada Media Group,
2014