Anda di halaman 1dari 18

REALITAS DAKHIL PADA MASA NABI

MAKALAH

Disusu Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Ad-Dakhil

Disusun oleh:

Ima Nurhikmah 1191030087

Kiki Ratnasari 1191030100

Muhammad Ali Setiawan 1191030132

M Yusuf Hilmi Fithori 1191030120

R Muhammad Farhal Azkya 1191030185

Rizaldi Erdin Prawira 1191030198

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI

BANDUNG

2022
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahiim

Puji serta syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat
dan karunianya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah Ad-Dakhil dengan judul
“Realitas Dakhil Pada Masa Nabi”. Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Ad-Dakhil program studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Sunan
Gunung Djati Bandung.

Terima kasih kami ucapkan kepada Baoak Ecep Ismail, M. Ag. selaku dosen pengampu
mata kuliah Ad-Dakhil yang telah membimbing kami dan juga teman-teman yang telah
berpartisipasi aktif dalam mencari bahan-bahan materi untuk menyusun tugas ini sehingga
memungkinkan terselesaikan makalah ini, meskipun masih terdapat banyak kekurangan.

Akhir kata, kami berharap mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi
kami dan bagi pembaca. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna,
mengingat keterbatasan kemampuan dan pengetahun kami. Oleh karena itu dengan segala hormat
kami menerima kritik dan saran dari semua pihak.

Bandung, November 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................Error! Bookmark not defined.


DAFTAR ISI..................................................................................Error! Bookmark not defined.
BAB I .............................................................................................Error! Bookmark not defined.
PENDAHULUAN .........................................................................Error! Bookmark not defined.
A. Latar Belakang ....................................................................Error! Bookmark not defined.
B. Rumusan Masalah ...............................................................Error! Bookmark not defined.
C. Tujuan Pembahasan ............................................................Error! Bookmark not defined.
BAB II............................................................................................Error! Bookmark not defined.
PEMBAHASAN ............................................................................Error! Bookmark not defined.
D. Realitas Dakhil Pada Masa Nabi.........................................Error! Bookmark not defined.
E. Contoh-contoh Dakhil Pada masa Nabi ..............................Error! Bookmark not defined.
F. Surat AL-Baqarah ayat 189 ................................................Error! Bookmark not defined.
G. Surat al-an’am 82 ................................................................Error! Bookmark not defined.
H. Surat al-Insyiqaq ayat 8 ......................................................Error! Bookmark not defined.
BAB III ..........................................................................................Error! Bookmark not defined.
PENUTUP......................................................................................Error! Bookmark not defined.
I. Kesimpulan .........................................................................Error! Bookmark not defined.
J. Saran ...................................................................................Error! Bookmark not defined.

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam menfasirkan al-Qur’an, seorang mufasir kerap terpengaruh oleh
pemahaman-pemahaman dan latar belakang kelimua serta ideologinya. Akibatnya, ia tidak
mampu “membunyikan” al-Qur’an secara objektif. Ketika objektivitas penafsiran hilang
maka hasil penafsirannya akan jauh dari makna yang dimaksud. Walhadil, al-Qur’an tidak
lagi dapat “berbicara” tentang dirinya, tapi justru semakin menjauh dari pesan-pesan
universalnya.
Keadaan itu semakin memprihatinkan ketika ditemukan fakta bahwa di dalam
kitab-kitab tafsir terdapat sejumlah sumber data penafsiran yang tidak da[at
dipertanggungjawabkan keabsahannya, semacam riwayat israiliyat, hadis palsu dan
pendapat para pendahulu yang tak jelas asal-usulnya. Inilah yang kemudian dikenal dengan
istilah ad-dakhil fi at-tafsir (infiltrasi penafsiran).
Al-Dakhîl sebagai suatu disiplin ilmu yang tersusun secara sistematis baru dikenal
pada akhir abad yang lalu. Sekalipun demikian namun prinsip-prinsip dasar ilmu ini telah
ada pada masa Nabi saw, bahkan pada masa periode Mekah ketika Nabi berdakwah di kota
Mekah al-Mukarromah. Al-dakhīl dalam tafsir yaitu suatu metode atau cara penafsiran
yang tidak memiliki sumber penetapannya dalam islam, bertentangan dengan ruh al-
Qur’an dan bertolak belakang dengan akal sehat, sehingga memunculkan pemahaman yang
tidak tetap terhadap al-Qur’an.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dibahas dalam karya ilmiah ini adalah :
1. Bagaimana realitas dakhil pada masa Nabi?
2. Apa saja contoh-contoh dakhil pada masa Nabi?
C. Tujuan Pembahasan
Tujuan pembahasan karya ilmiah ini adalah :
1. Mengetahui realitas dakhil pada masa Nabi;
2. Mengetahui contohcontoh dakhil pada masa Nabi

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Realitas Dakhil Pada Masa Nabi


Al-Dakhîl sebagai suatu disiplin ilmu yang tersusun secara sistematis baru dikenal
pada akhir abad yang lalu. Sekalipun demikian namun prinsip-prinsip dasar ilmu ini telah
ada pada masa Nabi saw, bahkan pada masa periode Mekah ketika Nabi berdakwah di kota
Mekah al-Mukarromah. Al-dakhīl dalam tafsir yaitu suatu metode atau cara penafsiran
yang tidak memiliki sumber penetapannya dalam islam, bertentangan dengan ruh al-
Qur’an dan bertolak belakang dengan akal sehat, sehingga memunculkan pemahaman yang
tidak tetap terhadap al-Qur’an.
Ketika orang kafir atau sahabat melakukan kekeliruan dalam penafsiran Alquran
dan selanjutnya Nabi saw membantah atau meluruskan kekeliruan itu maka pada
hakikatnya beliau menyingkapkan aldakhîl pada tafsir. Berikut dikemukakan beberapa
contoh kekeliruan dalam penafsiran Al-Quran pada masa Nabi saw, dan bantahan atau
koreksi beliau atasnya.

B. Contoh-contoh Dakhil Pada masa Nabi


1. Surat Al-Anbiya ayat 98

َْ‫صبُْْ َجهَنَّ َْمْاَنتُمْْلَهَاْ ٰو ِردُون‬ ّْ ٰ ْ‫ن‬


َ ‫للاِْ َح‬ ِْ ‫اِنَّ ُكمْْ َو َماْتَعبُدُونَْْ ِمنْْدُو‬

innakum wa mâ ta‘budûna min dûnillâhi ḫashabu jahannam, antum lahâ wâridûn


Sesungguhnya kamu (orang kafir) dan apa yang kamu sembah selain Allah adalah
bahan bakar (neraka) Jahanam. Kamu (pasti) masuk ke dalamnya.
a. Ibnu Katsir
1. Abu Bakar ibn Mardawih meriwayatkan dari Muhammad ibn Ali ibn Sahl dari
Muhammad ibn Hasan al-Anmathi dari Ibrahim ibn Muhammad ibn 'Ar'arah
dari Yazid ibn Abi Hakam dari al-Hakam (Ibn Abban) dari Ikrimah bahwa Ibnu
Abbas berkata, "Abdullah ibn al-Zab'ari menemui Rasulullah saw. dan berkata,

2
'Anda mengklaim bahwa Anda menerima wahyu (Sungguh, kamu (orang kafir)
dan apa yang kamu sembah selain Allah, adalah bahan bakar Jahannam. Kamu
(pasti) masuk ke dalamnya.)? Ia bertanya lagi, 'Matahari, bulan, malaikat,
Uzair, Isa ibn Maryam juga disembah. Apakah semua objek sembahan ini akan
masuk neraka bersama tuhan-tuhan kami?' Lalu turunlah dua ayat berikut ini;
QS. Az-Zukhruf: Ayat 57-58 (Juz 25)

َْ‫صدْون‬
ِ َ‫كْ ِمن ْهُْي‬ ْ ً َ‫بْابنُْْ َمريَ َْمْ َمث‬
َْ ‫لْاِ َذاْقَو ُم‬ ِ ‫َولَ َّماْض‬
َْ ‫ُر‬
Ketika putra Maryam (Isa) dijadikan perumpamaan, tiba-tiba kaummu (suku
Quraisy) bersorak karenanya.

ِ َ‫َّلْبَلْْهُمْْقَومْْخ‬
َْ‫ص ُمون‬ ْ َّ ِ‫كْا‬
ْ ً ‫ّلْ َجد‬ َ ْ‫َوقَالُ ْٓواْ َء ٰالِهَتُنَاْخَيرْْاَمْْهُ َْوْ َما‬
َْ َ‫ض َربُو ْهُْل‬
Mereka berkata, “Manakah yang lebih baik, tuhan-tuhan kami atau dia (Isa)?”
Mereka tidak memberikan (perumpamaan itu) kepadamu, kecuali dengan
maksud membantah saja. Sebenarnya mereka adalah kaum yang suka
bertengkar.
QS. Al-Anbiya': Ayat 101 (Juz 17)

ٰٰۤ ُ ٰ
َْ‫كْعَنهَاْ ُمب َعدُون‬
َْ ‫ول ِى‬ ْْٓ ‫نْال َّ ِذينَْْ َسبَقَتْْلَهُمْْ ِّمنَّاْالحُسن‬
‫ىْا‬ َّْ ِ‫ا‬
Sesungguhnya orang-orang yang telah ada (ketetapan) yang baik untuk
mereka dari Kami, mereka akan dijauhkan (dari neraka).

Hadis ini diriwayatkan oleh al-Hafiz Abu Abdullah di dalam karyanya al-
Ahâdîts al-Mukhtârah.
2. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari ayahnya dari Qubaishah ibn Uqbah dari
Sufyan al-Tsauri dari al-A'amasy dari sahabat-sahabatnya bahwa Ibnu Abbas
berkata, "Ketika ayat (Sungguh, kamu (orang kafir) dan apa yang kamu sembah
selain Allah, adalah bahan bakar Jahannam. Kamu (pasti) masuk ke dalamnya.)
turun, kaum musyrikin berkomentar, 'Malaikat, Uzair dan Isa juga disembah
selain Allah.' Lalu turunlah ayat berikut ini;
QS. Al-Anbiya': Ayat 100 (Juz 17)

3
ْ َ ْ‫لَهُمْْفِيهَاْ َزفِيرْْ َّوهُمْْفِيهَا‬
َْ‫ّلْيَس َمعُون‬
Mereka merintih dan menjerit di dalamnya (neraka) dan mereka di dalamnya
tidak dapat mendengar (apa pun).
3. Abi Kadinah meriwayatkan dari 'Atha ibn al-Saib dari Sa'id ibn Jubair bahwa
Ibnu Abbas berkata, "Ketika ayat (Sungguh, kamu (orang kafir) dan apa yang
kamu sembah selain Allah, adalah bahan bakar Jahannam. Kamu (pasti) masuk
ke dalamnya.) turun, kaum musyrikin berkomentar, 'Malaikat, Uzair dan Isa
juga disembah selain Allah.' Lalu turunlah ayat 101 surah al-Anbiyâ.”
Muhammad ibn Ishaq ibn Yasar di dalam karyanya al-Sîrah meriwayatkan
bahwa pada suatu hari Rasulullah saw. duduk di masjid bersama al-Walid ibn
al-Mughirah. Kemudian datang al- Nadhar ibn al-Harits dan duduk di dekat
majlis Nabi saw., sedang di masjid ada beberapa orang musyrik lainnya.
Rasulullah saw. menyampaikan risalahnya kepada mereka. Al-Nadhar
menyangkal pembicaraan Nabi saw., tetapi Nabi saw. dapat mematahkan
argumentasinya sehingga al-Nadhar kalah dalam perdebatan itu. Nabi saw.
membaca ayat 98, 99 dan 100 dari surah al-Anbiyâ (seperti yang disebut di
atas). Nabi saw. berangkat meninggalkan masjid. Tidak lama kemudian
Abdullah al-Zab'ari al-Sahmi datang ke majlis itu. Al-Walid ibn al- Mughirah
berkata kepadanya, 'Demi Allah, baru saja al-Nadhar ibn al-Harits kalah dalam
berdebat dengan cucu Abdul Muthalib. Muhammad mengklaim bahwa kita dan
tuhan-tuhan sembahan kita ini akan menjadi kayu bakar neraka jahannam.'
Abdullah ibn al-Zab'ari berkomentar, 'Demi Allah, bila saya bertemu dengan
Muhammad niscaya saya akan mengalahkannya dalam berdebat. Tanyalah ia,
apakah semua yang disembah selain Allah akan masuk neraka jahannam beserta
para penyembahnya? Bukankah kita menyembah malaikat, orang Yahudi
menyembah Uzair, orang Nasrani menyembah al-Masih Isa ibn Maryam?' al-
Walid dan yang ada di majlis itu kagum mendengar ucapannya itu. Mereka
berpendapat bahwa ia telah mematahkan argumentasi Nabi saw. Seseorang
menyampaikan ucapan Abdullah ibn al-Zab'ari itu kepada Nabi saw. Beliau
bersabda, 'Semua yang senang disembah selain Allah akan masuk neraka

4
beserta para penyembahnya. Pada hakikatnya mereka menyembah setan dan
yang menyuruh mereka menyembahnya.' Lalu turunlah ayat 101 dan 102 surah
al-Anbiyâ.”
Menurut Ibnu Katsir bahwa maksud orang-orang yang telah ada untuk
mereka ketetapan yang baik dari Kami adalah Nabi Isa a.s., Uzair dan para
pendeta yang saleh lagi taat yang dipertuhankan oleh orang-orang yang sesat.
Ibnu Katsir menegaskan bahwa ucapan Abdullah al-Zab'ari ini sangat salah,
karena orang yang diajak bicara dalam ayat di atas adalah penduduk kota
Makkah yang menyembah berhala. Berhala adalah benda mati yang tidak
berakal. Ayat ini mencela dan menghina para penyembahnya. Kalimat dan apa
yang kamu sembah selain Allah tidak mungkin dipahami mencakup Isa al
Masih a.s., Uzair dan makhluk berakal lainnya yang saleh, taat dan tidak rela
dipertuhankan. Al-Thabari di dalam kitab tafsirnya menegaskan bahwa
pronomina Mâ digunakan oleh bangsa Arab untuk sesuatu yang tidak berakal.
Abdullah al-Zab'ari akhirnya masuk Islam dan menjadi salah seorang penyair
terkemuka. Ia mohon maaf kepada Nabi saw. atas kesalahannya itu dan berjanji
tidak akan mengulanginya lagi. Ia bersair sebagai berikut;
Wahai Rasulullah, lidahku meralat semua perkataanku yang salah ketika
aku jahat. Ketika aku mengikuti langkah kesesatan setan, dan yang mengikuti
langkahnya pasti celaka.
Sebab kerancuan pemahamannya terhadap ayat tersebut adalah karena
memahami pronomina Mâ dengan pengertian umum. Pemahaman ini dengan
tanpa mempertimbangkan dua aspek, yaitu;
1) Makna leksikal pronomina Mâ. Makna leksikal pronomina Mâ dalam
bahasa Arab adalah kata ganti sesuatu yang tidak berakal. Dengan
demikian kata itu tidak mencakup persona berakal seperti malaikat dan
para nabi.
2) Ayat-ayat lain dan dalil logika. Nabi selalu membacakan ayat-ayat
Alquran di hadapan mereka yang menerangkan ketinggian posisi para
malaikat dan nabi di sisi Allah. Mereka paham ayat-ayat itu. Mereka
juga mengetahui bahwa bahwa para nabi telah berjuang maksimal

5
dalam menegakkan risalah tauhid dan bahwa mereka tidak rela
dipertuhankan. Mereka juga mendengar dan paham ayat-ayat Alquran
yang menegaskan bahwa seseorang tidak akan memikul dosa orang lain.
Ayat-ayat Alquran dan dalil logika ini sudah cukup kuat untuk
mempersempit makna pronomina Mâ. Seandainya aspek pertama tidak
cukup kuat sebagai dalil, karena pronomina Mâ sering juga digunakan
untuk kata ganti sesuatu yang berakal, maka aspek kedua sudah cukup
sebagai dalil penyempitan makna kata itu.16

b. Al-Razi
Al-Razi dalam menafsirkan ayat-ayat ini menyatakan bahwa pertanyaan dan
pernyataan al-Zab'ari ini salah dilihat dari lima aspek, yaitu;
1. Yang diajak bicara dalam pronomina kum (kamu, pronomina persona jamak)
dalam ayat 98 surah al-Anbiyâ di atas (Sesungguhnya kamu dan apa yang kamu
sembah selain Allah, adalah umpan jahannam, kamu pasti masuk ke dalamnya)
adalah kaum musyrik kota Makah yang menyembah berhala.
2. Ayat memakai pronomina Mâ (apa, pronomina pengganti barang sesuatu, atau
kata ganti tak tentu) dan bukan memakai Man (siapa, pronomina persona yang
tidak tentu). Pronomina Mâ tidak mencakup persona berakal.
3. Para penyembah malaikat tidak mengklaim bahwa para malaikat itu tuhan.
4. Sekalipun dengan asumsi bahwa pronomina Mâ dapat digunakan sebagai
pronomina barang sesuatu dan pronomina persona, tetapi kata Mâ di ayat ini
khusus untuk pronomina barang sesuatu. Pengkhususan ini atas dasar dalil-dalil
akal dan wahyu yang mengindikasikan bahwa para malaikat, Isa al-Masih dan
Uzair adalah makhluk maksum dan mulia. Inilah yang dimaksud oleh ayat
berikutnya, yaitu;
QS. Al-Anbiya': Ayat 101 (Juz 17)

ٰٰۤ ُ ٰ
َْ‫كْعَنهَاْ ُمب َعدُون‬
َْ ‫ول ِى‬ ْْٓ ‫نْال َّ ِذينَْْ َسبَقَتْْلَهُمْْ ِّمنَّاْالحُسن‬
‫ىْا‬ َّْ ِ‫ا‬
Sesungguhnya orang-orang yang telah ada (ketetapan) yang baik untuk mereka
dari Kami, mereka akan dijauhkan (dari neraka).

6
Sungguh, sejak dahulu bagi orang-orang yang telah ada (ketetapan) yang baik
dari Kami, mereka itu akan dijauhkan (dari neraka).
5. Kaum musyrik kota Mekah, penyembah berhala, pada hakikatnya adalah
menyembah setan, seperti jawaban yang diberikan Rasulullah saw. kepada
mereka. Bila jawaban ini didebat dengan pernyataan berikut ini, 'Setan adalah
persona berakal, pronomina Mâ tidak mencakup setan, lalu mengapa Nabi saw.
menggunakannya sebagai kata ganti setan?' Jawabannya adalah seolah-olah
Nabi saw. berkata kepada mereka, 'Bila kamu berasumsi bahwa pronomina Mâ
mencakup persona berakal, maka pertanyaan kamu itu sendiri salah.
Al-Alusi dalam menafsirkan ayat ini mengatakan bahwa jika pendapat yang
mengatakan bahwa sebenarnya penggunaan pronomina Mâ utuk persona
berakal dapat diterima, maka tidak dapat dibantah pula bahwa sebenarnya pada
ayat tersebut ada dalil logika yang mengkhususkan makna kata itu. Mayoritas
ulama berpendapat bahwa dalil logika dapat mengkhususkan makna. Hanya
sekelompok kecil ulama teologi yang tidak menerima pendapat ini. Dalil
logikanya adalah mustahil seseorang disiksa karena kesalahan orang lain,
kecuali jika ia sendiri rela dengan kesalahan orang lain itu. Semua orang berakal
tidak akan berasumsi bahwa Isa al-Masih, Uzair dan para malaikat rela dan
senang dipertuhankan oleh manusia. Inilah dalil logika yang mengiringiayat ini.
Sedang ayat 101 surah al-Anbiyâ (Sesungguhnya orang-orang yang telah
ada untuk mereka ketetapan yang baik dari Kami, mereka itu dijauhkan dari
neraka.) adalah dalil wahyu yang memperkuat dan mempertegas dalil logika
yang sudah ada. Pengakuan Abdullah al-Zab`ari bahwa ia melakukan kesalahan
dalam menafsirkan Alquran adalah bukti yang kuat atas kekeliruan itu.
2. Surat AL-Baqarah ayat 189
Dakhil ini terjadi pada periode dakwah Madinah, yang penyebabnya adalah ijtihad
yang tanpa melengkapi syarat-syaratnya dengan baik. Dakhîl kedua ini bukan karena
tidak paham bahasa Alquran, tetapi karena ketergesa-gesaan yang merupakan sifat
umum manusia. Sifat umum manusia ini seperti disebut dalam al-Anbiyâ; 37 dan al-
Isrâ; 11. Bila dakhîl pertama dilakukan oleh orang yang masih musyrik, maka dakhîl
kedua ini dilakukan oleh salah seorang sahabat yang mulia. Dakhîl yang dilakukan oleh

7
sahabat ini seharusnya menjadi iktibar bagi semua kaum muslimin. Bila seorang
sahabat yang bertemu dan bergaul dengan Nabi, melihat dan mengetahui sebab-sebab
turunnya Alquran dan memperoleh berkat kenabian masih salah dalam memahami
sebagian Alquran, maka apatah lagi kaum muslimin yang hidup setelah priode sahabat!
Kesalahan beliau tersebut seharusnya memperingatkan kaum muslimin bahwa tafsir
Alquran adalah masalah besar, penting dan krusial. Karena itu penafsiran Alquran
harus dilakukan dengan penuh ketelitian, kehati-hatian dan melengkapi syarat-
syaratnya.19 Ayat tentang awal waktu imsak adalah ayat berikut ini
ْ‫َو ُكلُوا ْ َواش َربُوا ْ َحتَّى ْيَتَبَيَّنَ ْلَ ُك ُم ْالخَيطُ ْاْلَبيَضُ ْ ِمنَ ْالخَي ِط ْاْلَس َو ِد ْ ِمنَ ْالفَج ِر ْثُ َّم ْأَتِموا ْالصِّ يَا َم ْإِلَى ْالْلَّي ِل‬
Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan
benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam
Pada mulanya ayat ini turun tanpa kata Min al-Fajr. Kemudian turun lagi untuk kedua
kalinya dengan penambahan kata itu. Ketika ayat turun dengan tanpa kata Min al-Fajr,
maka kata benang putih dan benang hitam terbuka dan mungkin untuk dipahami
dengan dua makna, yaitu; a. makna denotatifnya yang literal yaitu benang putih dan
benang hitam dalam arti yang sebenarnya, dan b. makna metaforisnya yaitu cahaya
siang dan kegelapan malam. Dengan demikian kedua makna tersebut dapat diterima
dan tidak salah. Setelah ayat tersebut turun lagi untuk kedua kalinya dengan
penambahan kata Min al-Fajr, maka tertutuplah kemungkinan untuk dipahami dengan
makna denotatifnya yang literal. Karena kata Min al-Fajr berfungsi sebagai penjelasan
yang menutup rapat kemungkinan penafsiran ayat itu dengan makna denotatifnya atau
sebagai penegas makna metaforisnya. Tetapi setelah ayat tersebut turun untuk kedua
kalinya dengan penambahan kata Min al-Fajr, masih ada seorang sahabat yang
memahaminya dengan makna denotatif yang literal dengan tanpa melihat
konteksnya.20 Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat di atas menyatakan bahwa di
samping hubungan seksual, Allah Taala juga meghalalkan makan dan minum kepada
orang berpuasa di bagian malam manapun yang ia kehendaki. Batas waktu penghalalan
tersebut berakhir pada jelasnya cahaya waktu pagi hari dari kegelapan malam. Batas
waktu ini diungkapkan dengan ungkapan benang putih dari benang hitam. Ungkapan
terakhir ini masih samar dan tidak jelas. Kesamaran makna itu dihapus dengan kalimat
Min al-Fajr (yaitu fajar). Selanjutnya beliau memaparkan beberapa riwayat, antara lain

8
a. Hadis Pertama
Dari Sa`îd ibn Abi Maryam, dari Abu Ghassân Muhammad ibn Mutharrif, dari Abu
Hâzim, bahwa Sahl ibn Sa`d berkata; "Pada mulanya ayat (Makan dan minumlah
hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam) turun
dengan tanpa kalimat Min al-Fajr. Ada sahabat yang akan berpuasa mengikat
kakinya dengan benang putih dan benang hitam. Batas waktu imsak baginya
adalah ketika ia dapat membedakan warna kedua benang itu. Lalu Allah
menurunkan kembali ayat di atas dengan penambahan kalimat Min al-Fajr.
Mereka pun mengetahui bahwa makna (benang hitam) adalah (kegelapan) malam
dan makna (benang putih) adalah (cahaya) siang."
b. Hadis kedua
Dari Husyaim, dari Hushain, dari al-Sya`bi, bahwa `Adiy ibn Hâtim berkata;
"Ketika ayat (Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara
benang putih dan benang hitam) turun (dengan tanpa kalimat Min al-Fajr) saya
mengambil dua utas igal,23 igal pertama berwarna hitam dan yang kedua
berwarna putih. Saya meletakkan keduanya di bawah bantal saya. Saya tidak dapat
membedakan warna keduanya dengan jelas. Pada pagi harinya saya menghadap
Rasulullah saw dan melaporkan yang saya lakukan. Beliau bersabda, 'Kalau
begitu, bantalmu sangat lebar. Maksud ayat adalah terangnya cahaya siang dari
kegelapan malam.' "
Ibnu Katsir dalam menafsirkan kalimat Kalau begitu, bantalmu sangat lebar
menyatakan bahwa maksud benang putih adalah cahaya siang sedang maksud
benang hitam adalah kegelapan malam. Dengan demikian seandainya bantal 'Adi
ibn Hatim dapat memuat cahaya siang dan kegelapan malam, maka pastilah
bantalnya itu seluas ufuk timur dan barat.
c. Hadis ketiga
Dari Mûsa ibn Ismâ`îl, dari `Awânah, dari Hushain, bahwa al-Sya`bi berkata;
`Adiy mengambil seutas igal berwarna putih dan seutas igal lain berwarna hitam.
Pada malam hari ia memperhatikan kedua igal itu, tetapi ia tidak dapat
membedakan kedua warnanya. Pada pagi harinya ia berkata, 'Wahai Rasulullah,

9
saya meletakkan dua igal di bawah bantal saya.' Beliau bersabda, 'Kalau benang
putih dan hitam berada di bawah bantalmu, maka bantalmu itu pasti sangat lebar.'
d. Hadis Keempat
Dari Qutaibah ibn Sa`îd, dari Jarîr, dari Mutharrif, dari al-Sya`bi, bahwa `Adiy
ibn Hâtim ra berkata, “Wahai Rasulullah, apakah maksud kalimat benang putih
dari benang hitam, apakah yang dimaksud adalah benang biasa?' Beliau
menjawab, 'Sesungguhnya tengkukmu sangat lebar jika engkau dapat melihat
kedua benang itu. Tidak, maksudnya adalah kegelapan malam dan cahaya siang.'
Sebagian pensyarah hadis menafsirkan kalimat Sesungguhnya tengkukmu
sangat lebar pada hadis di atas dalam arti kebodohan. Ibnu Katsir tidak sependapat
dengan penafsiran ini dan menilainya lemah.
Menurut al-Alusi hadis di atas (hadis tentang turunnya ayat ini sebanyak
dua kali dengan penambahan kata min al-Fajri pada yang kedua) tidak
mengindikasikan bahwa kaum muslimin tidak memahami makna ayat ini dan
karenanya perlu penjelasan tambahan. Bisa saja mereka sudah memahami maksud
ayat tersebut, karena makna metaforis kata itu sudah populer bagi mereka. Sedang
penambahan penjelasan hanya untuk sebagian mereka yang belum memahaminya
secara akurat.
Al-Razi mengatakan bahwa ada indikator absolut yang mengindikasikan
bahwa makna benang putih dan benang hitam adalah makna metaforisnya, yaitu
cahaya di awal siang dan kegelapan di penghujung malam. Salah satu indikator itu
adalah kata al-Fajr. Fajar disebut dengan al-Fajr karena sifatnya yang yanfajiru
minhu al-nur (sumber pancaran cahaya, tempat cahaya menyingsing).
Ketulusan niat dalam menafsirkan Alquran patut dihargai dan disyukuri.
Namun keberanian tanpa persiapan yang wajar dan pertimbangan yang matang
adalah suatu kekeliruan
3. Surat al-an’am 82
ٰٰۤ ُ ُ
َْ‫كْلَهُ ُْمْاّلَمنُْْ َوهُمْْمهتَدُون‬
َْ ‫ول ِى‬ ‫اَلَّ ِذينَْْ ٰا َمنُواْ َولَمْْيَلبِس ُْٓواْاِي َمانَهُمْْ ِبظلمْْا‬
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan syirik,
mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mereka mendapat petunjuk.

10
Ayat di atas menerangkan syarat memperoleh kebahagiaan, kebaikan dan
keamanan di dunia dan akhirat. Syaratnya adalah beriman dan tidak melakukan
kelaliman. Kata zhulm (kezaliman) di ayat tersebut adalah dalam bentuk nakirah
(indefinite noun) dan berada dalam konteks negasi (penyangkalan, al-nafy). Karena dua
kondisi yang terakhir ini (nakirah dan negasi), kata zhulm (kelaliman) mengindikasikan
makna yang general. Dengan demikian kebahagiaan, kebaikan dan keamanan di dunia
dan akhirat hanya diperoleh oleh orang beriman yang mampu menghindari segala
bentuk kezaliman, dosa dan kesalahan, baik yang besar maupun yang kecil. Dengan
redaksi lain, hanya para nabi yang masuk surga, karena hanya mereka yang maksum.
Syarat ini sangat berat dan sulit. Tetapi inilah penafsiran yang benar berdasarkan
kaedah tata bahasa; al Nakirah fî siyâq al-nafyi tufîdu al-'umûm (Kata nakirah yang
dalam konteks negasi mengindikasikan makna yang general). Disamping kaedah tata
bahasa ini, banyak pula ayat-ayat Alquran yang menegaskan bahwa Islam adalah
agama yang mudah, ringan, toleran dan moderat. Ayat-ayat tersebut antara lain
menegaskan bahwa Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kemampuannya (al-Baqarah; 286), bahwa Allah sekali-kali tidak menjadikan untuk
kaum muslimin dalam agama sesuatu kesempitan (al-Hajj; 78), bahwa Allah
menghendaki kemudahan bagi kaum muslimin dan tidak menghendaki kesukaran bagi
mereka (al-Baqarah; 185) dan bahwa Allah hendak memberikan keringanan kepada
kaum muslimin (al-Nisâ; 28). Lalu apakah kata zhulm di ayat tersebut bermakna umum
berdasarkan tata bahasa di atas, atau bermakna khusus berdasarkan ayat-ayat lain yang
menegaskan bahwa Islam adalah agama yang ringan, toleran, dan moderat? Ketika para
sahabat mendengar ayat tersebut, sebagian mereka memahaminya dengan makna
general. Ketergesa-gesaaan mereka dalam memahami ayat dengan makna general
tanpa mempertimbangkan makna kontekstual ayat-ayat lain mendorong mereka ke
bentuk dakhîl dalam tafsir. Sekalipun ketergesa-gesaan itu karena tingginya tingkat
ketakwaan mereka dan ambisi mereka untuk mendapat ampunan Allah Taala.
Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat di atas menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan orang-orang yang beriman dan tidak menutupi iman mereka dengan kezaliman
adalah orangorang yang hanya beribadah kepada dan untuk Allah Taala yang tiada
sekutu bagi-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Sedang

11
maksud mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itulah orang-
orang yang mendapat petunjuk ialah mereka mendapat keamanan di hari kiamat dan
mendapat petunjuk di dunia dan akhirat. Selanjutnya beliau memaparkan beberapa
riwayat, antara lain;
a. Hadis Pertama
Yang artinya :
Dari Muhammad ibn Ja`far, dari Syu`bah, dari Sulaimân, dari Ibrâhîm, dari
`Alqamah, bahwa `Abdullâh berkata, “Ketika ayat (Orang-orang yang beriman
dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kelaliman) (ayat 82 surah al-
An`âm) turun sebagian sahabat berkata, „siapakah di antara kita yang tidak
melalimi dirinya?‟ Lalu turunlah ayat (sesungguhnya mempersekutukan (Allah)
adalah benar-benar kezaliman yang besar)(ayat 13 surah Luqman).
b. Hadis kedua
Dari Abu Mu`awiyah, dari al-A`masy, dari Ibrâhîm, dari `Alqamah, bahwa
`Abdullâh berkata, “Ketika ayat (Orang-orang yang beriman dan tidak
mencampuradukkan iman mereka dengan kelaliman) (ayat 82 surah al-An`âm)
turun, para sahabat merasa keberatan (merasa dituntut melakukan sesuatu yang
sulit dilaksanakan), lalu mereka bertanya, 'Wahai Rasulullah, siapakah di antara
kami yang tidak melalimi dirinya?' Beliau menjawab, 'Maksud ayat bukan seperti
yang kamu pahami. Bukankah kamu telah membaca ayat tentang nasihat seorang
hamba yang taat? Yang berkata (wahai anakku, janganlah engkau
mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-
benar kezaliman yang besar)(ayat 13 surah Luqman). Sesungguhnya maksud kata
kezaliman (di al-An`âm, 82) itu adalah mempersekutukan Allah Taala.
c. Ibnu Abi Hatim berkata, "Beberapa orang sahabat dan tabiin juga menafsirkan kata
kezaliman pada ayat 82 surah al-An`âm itu dengan mempersekutukan Allah Taala,
mereka antara lain; Abu Bakar al Shiddiq, Umar, Ubaiy ibn Ka'ab, Salman,
Huzaifah, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, 'Amru ibn Syarahbil, Abu Abdurrahman al
Silmi, Mujahid, Ikrimah, al Nakha'i, al Dhahhak, Qatadah, al Suddi dan lain lain.
Konteks ayat juga mengindikasikan bahwa zhulm di sini bermakna syirik.
Karena konteks ayat 74 sampai dengan 82 adalah dialog ketauhidan antara Nabi

12
Ibrahim a.s. dengan kaum dan ayahnya. Substansi ayat-ayat ini adalah
penyangkalan adanya sekutu bagi Allah Taala, dan tidak berkaitan dengan masalah-
masalah amal saleh dan pahala.
Ayat sebelumnya (al-An`âm 81) adalah pertanyaan Nabi Ibrahim a.s.
kepada kaumnya tentang siapa yang paling berhak memperoleh keamanan, orang
musyrik atau orang mukmin? Sedang ayat ini (al-An`âm 82) adalah jawabannya.
Dengan demikian makna kontekstual dari zhulm adalah syirik. Makna kontekstual
ini tidak mengindikasikan bahwa selain syirik bukan kezaliman. Karena tanwîn
pada kata zhulm berfungsi sebagai ta`zhîm atau indikator hiperbolis. Jadi maksud
ayat orang yang tidak menutupi iman mereka dengan kezaliman adalah orang yang
tidak menutupi iman mereka dengan kezaliman yang sangat besar. Makna
kontekstual lain dapat juga dilihat dari aspek generalisasinya. Karena makna
denotatif kata yang umum adalah individualnya yang paling sempurna (al-
Mutabâdir min al-muthlaq akmalu afrâdihi).
4. Surat al-Insyiqaq ayat 8
ٗ ‫} فَ َس ۡوفَْْيُ َحا َسبُْْ ِح َسابٗ اْيَ ِس‬
{ ‫يرا‬
"Maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah"
Salah satu nikmat Allah Taala kepada orang mukmin pada hari kiamat ialah
mendapat kemudahan dalam pemerikasaan amal (hisab, perhitungan amal).
Kemudahan dalam pemeriksaan amal bagi orang mukmin dapat dipahami antara lain
dengan;
a. Orang mukmin menjalani penyelidikan terhadap segala amalnya, sekalipun proses
penyelidikan itu singkat, mudah, tidak memberatkan dan tidak mempersulitnya.
Penafsiran ini senada dengan makna literal ayat.
b. Orang mukmin tidak menjalani penyelidikan sama sekali. Ia bebas murni, aman
dan selamat dari segala bentuk penyelidikan, termasuk penyelidikan yang sangat
sederhana dan mudah. Penafsiran ini sesuai dengan makna kontekstual yang
mengindikasikan bahwa kemudahan dalam pemeriksaan amal adalah suatu nikmat.
Karena nikmat dalam hisab yang besar dan bernilai adalah bebas murni dari segala
bentuk penyelidikan yang membuat orang mukmin yang dihisab gembira dan
senang atas pemberian "vonis" bebas murni itu.

13
(Dakhil)
Dari Ismâ`îl, dari Ayyûb, dari Abdullâh ibn Abi Mulaikah bahwa `Aisyah berkata,
“Rasulullah saw bersabda "Barang siapa diperiksa (dihisab) pada hari kiamat
maka ia akan disiksa". Saya bertanya, "Bukankah Allah menyatakan bahwa (dia
akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah?)” Beliau menjawab, "Maksud
pemeriksaan yang mudah itu bukanlah pemeriksaan (dalam arti yang sebenarnya),
tetapi sekedar pemaparan. Karena barang siapa menjalani proses pemeriksaan
maka ia akan disiksa."
Aisyah r.a., isteri Rasulullah saw., memahaminya dengan penafsiran yang
sesuai dengan makna literalnya. Karena itu ia sungguh terkejut ketika yang
didengarnya dari Nabi Muhammad saw. kontradiktif dengan pemahamannya. Yaitu
ketika Nabi menerangkan bahwa maksud kemudahan dalam pemeriksaan amal
adalah sekedar pemaparan dan pertunjukan amal. Ibnu Katsir dalam menafsirkan
ayat di atas menyatakan bahwa maksud pemeriksaan yang mudah adalah
pemeriksaan dengan tanpa penyidikan dan penyelidikan terhadap semua amal-amal
yang kecil. Karena orang yang menjalani penyidikan dan penyelidikan terhadap
amal-amalnya secara rinci pasti celaka.
Al-Razi dalam menafsirkan ayat ini mengatakan bahwa maksud
pemeriksaan yang muda adalah bahwa orang mukmin yang diperiksa melihat
seluruh amalnya, yang baik maupun yang buruk. Amal salehnya mendapat balasan
yang baik, sedang amal jahatnya diampuni. Tiada penyelidikan dan pertanyaan
dalam bentuk apapun terhadapnya. Karena pertanyaan seperti; Apa alasan dan
argumentasi anda sehingga anda melakukan dosa ini? pasti orang yang diperiksa
tidak dapat menjawabnya dengan jawaban yang dapat meringankan dan
membebaskannya dari siksa. Selanjutnya bila jawaban itu tidak dapat diberikannya
dan pasti tidak dapat, maka ia merasa dipermalukan. Konteks adalah salah satu alat
bantu utama dalam menafsirkan Alquran. Pengabaiannya sering berdampak kepada
kekeliruan, seperti yang dilakukan Aisyah ra di atas.

14
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Al-Dakhîl sebagai suatu disiplin ilmu yang tersusun secara sistematis baru dikenal
pada akhir abad yang lalu. Sekalipun demikian namun prinsip-prinsip dasar ilmu ini telah
ada pada masa Nabi saw, bahkan pada masa periode Mekah ketika Nabi berdakwah di kota
Mekah al-Mukarromah. Al-dakhīl dalam tafsir yaitu suatu metode atau cara penafsiran
yang tidak memiliki sumber penetapannya dalam islam, bertentangan dengan ruh al-
Qur’an dan bertolak belakang dengan akal sehat, sehingga memunculkan pemahaman yang
tidak tetap terhadap al-Qur’an.
Beberapa contoh dakhil pada masa Nabi, diantarnya:
1. Tafsir surat al-Nabiya ayat 98
2. Tafsir surat al-Baqarah ayat 187
3. Tafsir surat al-An’am ayat 82
4. Tafsir surat al-Insyiqaq ayat 8
B. Saran
Kami menyarankan kepada saudara muslim sahabat Al-Quran bahwa dalam
membaca kitab tafsir tidak harus selalu kita meyakininya tetap harus hati-hati dan juga
menyaring setiap informasi yang diterima karena bagaimana pun seorang mufassir juga
manusia yang tidak luput dari kesalahan. Lebih baik lagi ketika kita mempelajari kitab
tafsir dibarengi dengan guru yang memahami tentang ilmu Al-Quran dan Tafsir untuk
menghindari pemahaman yang salah dan keliru.

15

Anda mungkin juga menyukai