Budaya Kerja
Materi e-learning
i
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ..............................................................................................
DAFTAR ISI ...........................................................................................................
BAB I. PENDAHULUAN ................................................ ......................................
BAB II. Dasar-dasar Budaya Kerja…………………………………………………….
2.1. Definisi Budaya Organisasi……………………………………………
2.2. Nilai-nilai Organisasi………………………………...…………………
2.3. Difinisi Budaya Kerja ………………………………………………….
2.4. Model Budaya Kerja…………..……………………………………….
BAB III. Pengembangan Budaya Kerja……………………………………………….
3.1. Perubahan Budaya Kerja……………. ……………………………….
3.2. Faktor yang Mempengaruhi ……………….…………………………
BAB IV. Manfaat Budaya Kerja..............................................................................
BAB V. PENUTUP .................................................................................................
Kesimpulan...........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………….
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Pasca lengsernya rezim Suharto pada akhir dekade 90-an, pemerintah menginisiasi
programe reformasi birokrasi untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good
governance) guna memperbaiki citra buruk birokrasi yang massive. Hingga saat ini,
berbagai agenda perubahan terus dilakukan, termasuk melakukan restrukturisasi
organisasi, menyempurnakan peraturan perudangan dan prosedur, me-redesign
strategi pembangunan agar lebih tepat sasaran dan berdaya guna, menyelenggarakan
berbagai program capacity building bagi aparatur negara, dsb. Namun demikian,
nampaknya semua ikhtiar yang dilakukan masih belum mampu menjadikan negara
yang sudah merdeka selama 73 tahun ini berdiri sejajar dengan negara-negara maju
lainnya, seperti negara-negara dibenua Eropah, Amerika, Jepang, Korea Selatan, dll.
Data statistik dari beberapa fenomena makro yang ada menunjukkan berbagai
kelemahan yang dialami bangsa ini. Ada sektor-sektor yang mengalami peningkatan,
termasuk peringkat daya saing Indonesia yang menurut data dari The Global
Competitiveness Report 2017-2018 menenpatkan Indonesia pada nomor urut ke-36
di antara 137 negara yang disurvey, meningkat lima level dibanding tahun
sebelumnya. Namun secara umum, masih banyak bidang-bidang pembangunan lain
yang masih tertinggal dan membutuhkan keseriusan semua pihak untuk
memperbaikinya.
Laporan Human Development Report (HDR) 2017, misalnya menyebutkan pada tahun
2015-2016 Index Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia ada diurutan 113 dari 188
negara. Dari aspek produktivitas, Asian Productivity Organization (APO) mencatat
pada tahun 2015 produktivitas per pekerja Indonesia menempati urutan kesebelas
dari 20 negara Asia yang memiliki produktivitas baik. Di tingkat ASEAN, Indonesia
masih berada di urutan ke-4 diantara sepuluh negara anggotanya sehingga perlu
dilakukan percepatan peningkatan produktivitas untuk mengejar ketertinggalan dari
negara-negara lain. Data lain yang juga perlu diamati, adalah rendahnya Indeks
1
persepsi korupsi, yang hanya menempatkan Indonesia pada peringkat ke-96 dari 180
negara pada tahun 2017 menurut data dari Transparancy International.
Disamping itu masih banyak ditemui praktek-praktek budaya kerja negative yang harus
segera dirubah, yang membuat citra buruk pemerintah semakin kelam, termasuk:
rendahnya komitmen dan kompetensi kerja, kurangnya professionalism dalam
penyelesaian tugas, masih banyak karyawan yang lebih mengedepankan prestice
daripada prestasi, bahkan tidak sedikit yang belum memahami makna keadilan dan
keterbukaan dalam pelayanan masyarakat. Disamping itu masih sering dijumpai
penyalahgunaan kewenangan dalam public policy yang berdampak secara langsung
kepada masyarakat, banyak keputusan-keputusan yang irrational yang dijumpai
karena motivasi KKN serta masih maraknya kasus gratifikasi dikalangan ASN.
Tidak aneh jika kemudian untuk mengatasi berbagai masalah yang melilit tersebut
pemerintah mereview kebijakan lama yang sudah usang dan menggantinya dengan
kebijakan baru yang lebih strategis. Yang utama, dan yang kemudian menjadi pondasi
bagi pelaksanaan agenda reformasi birokrasi adalah disahkannya Perpres Nomor 81
Tahun 2010 Tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010 – 2025 dan Permenpan
dan RB tentang Road Map Reformasi Birokrasi (RMRB) yang memuat rencana
tahapan dan sasaran kegiatan perubahan birokrasi pemerintahan. Sebagai payung
hukum untuk menyelesaikan masalah budaya kerja yang kontraproduktif pemerintah
menetapkan regulasi tentang pedoman pengembangan budaya kerja yang dituangkan
dalam Permenpan dan RB Nomor 39 Tahun 2012. Peraturan yang dimuat dalam
Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 751 ini ditetapkan oleh
pemerintah untuk menggantikan Kepmenpan Nomor 25/KEP/M.PAN/4/2002 tentang
Pedoman Pengembangan Budaya Kerja Aparatur Negara yang dirasakan sudah tidak
sesuai dengan dinamika dan perkembangan yang terjadi saat ini.
Ditetapkannya budaya kerja menjadi salah satu pilar dalam Grand Design Reformasi
Birokrasi adalah sangat tepat. Hal ini disebabkan karena budaya kerja tidak dapat
diabaikan dalam peningkatan kinerja organisasi, menurut Singh, Kavita (2001) budaya
kerja merupakan hal yang utama bagi setiap kegiatan dalam organisasi. Singh, Kavita,
2
(2001). Dari sini dapat diasumsikan bahwa reformasi birokrasi tanpa melibatkan
perubahan budaya kerja adalah naif. Karena justru dengan perubahan budaya kerjalah
prilaku karyawan dapat diperbaiki, dan dengan perbaikan ini performance organisasi
dapt ditingkatkan secara optimal.
Tidak itu saja, dengan perubahan ini diharapkan terjadi tranformasi dari birokrasi zona
nyaman (comfort zone) ke zona kompetitif (competitive zone) sehingga karyawan
senantiasa dituntut untuk integritas dan kinerjanya serta diharapkan selalu membuka
ruang inovasi untuk mencari solusi terhadap permasalahan yang dihadapi. Jika ini
dapat terwujud, Indonesia akan berada pada tahapan menuju negara maju dengan
level pemerintahan kelas dunia yang diharapkan mampu bersaing menghadapi
tantangan abad ke-21 melalui penerapan tata pemerintahan yang baik pada tahun
2025.
Sistematika penulisan: Bab II akan menjelaskan konsepsi dasar budaya kerja dengan
membedakannya dengan budaya organisasi. Nilai-nilai yang terkandung dalam
budaya kerja akan dikombinasikan dengan definisi budaya kerja untuk memberikan
pemahaman yang lebih nyata. Diahkir Ban dijabarkan model-model budaya kerja
untuk memahami kelemahan dan kekuatan masing-masing model. Bahasan utama
buku ini terletak di Bab III. Pembahasan diarahkan bagaimana mengatasi masalah
yang dihadapi bangsa ini terkait perubahan budaya kerja yang sedang diagendakan
serta factor-apa saja yang mempengaruhi perubahannya. Terakhir sebelum penutup
dijelaskan juga manfaat yang di dapat dari proses perubahan budaya kerja di
pemerintahan.
3
BAB II
Dasar-dasar Budaya Kerja
4
Dalam perkembangan selanjutnya, mucul berbagai istilah baru dalam diskursus
pembahasan tentang konsep budaya organisasi. Pada tahun 1960-an sampai
dengan 1970-an istilah iklim organisasi (organizational climate) sering digunakan
dan mewarnai debat public diantara para akademisi dan praktisi dalam
membahas isu-isu properti di lingkungan kerja yang diasumsikan sebagai
kekuatan utama dalam mempengaruhi perilaku karyawan. Pada akhir tahun 1980-
an sampai dengan tahun 1990-an para menejer, ahli-ahli ilmu social dan ilmuan
bidang organisasi sering menggunakan istilah budaya perusahaan (corporate
cultue/company culture), budaya tempat kerja (workplace culture) dan budaya
bisnis (business culture) dalam mendiskusikan sistem nilai yang menjadi
pedoman para pekerja dalam melakukan aktivitas sehari-hari di tempat kerja.
5
untuk mencapai tujuan atau cita-cita organisasi (Permenpan dan RB Nomor: 39
Tahun 2012 tentang Pedoman Pengembangan Budaya Kerja Budaya).
Dari berbagai macam definisi yang telah dikemukakan di atas, dapat ditarik intisari
bahwa budaya organisasi dikembangkan dari kumpulan norma, nilai dan
keyakinan dari orang-orang yang berada dalam lingkungan organisasi yang dapat
dilihat secara jelas dalam perilaku individu dan kelompoknya. Selain itu, budaya
organisasi juga berfungsi sebagai panduan bagi karyawan dalam menyelesaikan
pekerjaan untuk mencapai tujuan atau cita-cita organisasi.
6
satu elemen dalam organisasi memiliki peran yang penting sebagai driving force
yang menentukan maju atau mundurnya suatu organisasi. Herbert Simon,
seorang ahli ekonomi dan politik dari Carnegie University, Amerika, menyatakan
bahwa organisasi merupakan perkumpulan dari manusia, maka apa yang
dilakukan oleh organisasi akan ditentukan oleh manusianya. (Alauddin Sidal,
2005). Tentu saja hal ini tidak mengurangi peran penting aspek non-human dalam
pencapaian prestasi sebuah organisasi. Namun demikian dukungan sarana dan
prasarana yang “hebat”, seperti penggunaan instrument kerja yang up to date, IT
berteknologi tinggi, sisitem kerja yang canggih, dll. tersebut tidak akan mampu
menorehkan prestasi maksimal apabila unsur manusia yang menggerakkan
teknologi tersebut tidak mendapat perhatian yang optimal.
Ada beberapa aspek yang mempengaruhi tinggi atau rendahnya kualitas sdm
dalam sebuah organisasi, salah satunya adalah budaya, yang dapat dianggap
sebagai aset yang tidak berwujud yang dimiliki organisasi sebagai suatu bentuk
kekayaan intelektual. Jika budaya yang dibangun "positif", maka organisasi
tersebut akan mampu mewujudkan visi dan misinya menjadi realita. Namun
sebaliknya jika "negatif", ia akan menjadi hambatan pada pencapaian target
kinerja yang sudah direncanakan, dan sangat mungkin dapat mengarah pada
penurunan performance atau bahkan kehancuran.
Konsep budaya tentu saja dapat disematkan kedalam berbagai kegiatan manusia,
termasuk di dunia pekerjaan atau yang sering disebut dengan budaya kerja.
Secara aplikatif budaya kerja memiliki arti yang beragam. Dalam Grand Design
Birokrasi, misalnya, budaya kerja diartikan sebagai sikap dan perilaku individu
dan kelompok yang didasari atas nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan telah
menjadi sifat serta kebiasaan dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan sehari-
hari. Dalam Bahasa yang senada Triguno (2001) mendefinisikan budaya kerja
sebagai falsafah yang didasari oleh pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang
menjadi sifat, kebiasaan, dan kekuatan pendorong, membudaya dalam kehidupan
suatu kelompok masyarakat atau organisasi yang tercermin dari sikap menjadi
perilaku, kepercayaan, cita-cita, pendapat dan tindakan yang terwujud sebagai
7
kerja atau bekerja. Sementara Pettigrew, (1979) mengidentifikasi "budaya kerja
sebagai sistem makna kerja yang diterima secara pribadi dan kolektif, beroperasi
untuk kelompok tertentu pada waktu tertentu".
Definisi lain juga disampaikan oleh beberapa ilmuan yang mengkaitkan budaya
kerja dengan efektifitas hasil suatu pekerjaan dan dampak positif yang dapat
dihasilkannya. Menurut Peters dan Waterman (1982), misalnya, "Budaya kerja
didefinisikan sebagai sistem nilai bersama” yang menghasilkan kinerja tinggi
dalam organisasi". Sementara Taliziduhu Ndraha mendefinisikan budaya kerja
dalam bukunya Teori Budaya Kerja sebagai” sekelompok pikiran dasar atau
program mental yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan efisiensi kerja dan
kerjasama manusia yang dimiliki oleh suatu golongan masyarakat”. Manfaat lain
yang juga muncul dari budaya kerja adalah terciptanya nilai-nilai yang tidak
terlihat tetapi berharga secara ekonomi, psikologis, sosial dan spiritual, seperti
rekreasi, relaksasi, kenyamanan dan kedamaian yang dapat memberi semangat
baru, inspirasi dan dukungan dalam pelaksanaan pekerjaan.
8
yang diberikan bersifat ‘top down’. Kondisi seperti ini menyebabkan ruang
diskusi tidak berjalan dan karyawan tidak bebas memberikan feedback atau
kritik, bahkan dalam banyak kasus mereka cenderung bersikap ‘manut’, dan
‘pingin selamet” (ingin selamat) untuk menjaga posisi dan kepentingan
mereka sendiri. Bentuk budaya seperti ini sering dipraktekkan dalam
organisasi bersekala kecil seperti bisnis keluarga atau UKM.
Secara etimonologi, model ini dapat dipahami sebagai budaya kerja yang
memilliki rantai komando berbentuk piramida dimana struktur diisi dengan
tingkatan level yang berbeda berdasarkan hirarki kewewenangan dan
tanggungjawab yang jelas, rasional dan formal. Penerapan aturan atau
prosedur didasarkan atas prinsip imparsial, dimana setiap orang harus tunduk
pada hukum yang sama dan menerima perlakuan yang tidaki dskriminatif.
Untuk memastikan efisiensi dan efektivitas pekerjaan ditetapkan job
specialisasi, dimana pekerjaan hanya dilakukan berdasarkan specialisasi yang
dimiliki masing-masing karyawan. Pada saat yang bersamaan manajemen
juga memberlakukan system meritokrasi. Dengan system ini
gaji/imbalan/reward diberikan kepada karyawan disesuaikan dengan
keahlian/jabatan atau prestasinya.
9
atau team yang dianggap paling ‘qualified”. Sementara pekerjaan yang
dianggap ‘biasa’ akan diserahkan kepada anggota atau team lain di level yang
lebih rendah. Team dibentuk berdasarkan kontrak waktu yang telah
ditetapkan. Setelah pekerjaan selesai akan dibentuk team baru dengan tugas
yang baru pula. Budaya kerja yang juga disebut ‘project-based culture’ ini
secara praktek sering ditemui di negara-negara barat (western countries),
seperti di negara-negara Eropah, Amerika dan Canada.
System reward dan punishment yang diterapkan dalam model budaya kerja ini
biasanya menggunakan meritokrasi. Dalam system ini, gaji / imbalan /
penghargaan akan diberikan sesuai dengan kinerja yang dicapai. Semakin
tinggi kinerjanya semakin tinggi pula reward yang akan diterima. Disamping itu
mereka juga memiliki pandangan yang kuat tentang eksistensi asosiasi atau
serikat organisasi. Biasanya mereka berasosiasi dalam kelompok-kelompok
profesi untuk menyuarakan dan menlindungi kepentingannya.
10
yang ada, para pihak biasanya melakukan aktivitas tawar-menawar
(bargaining position) untuk mencapai posisi win-win (tidak ada pihak yang
dikalahkan). Tawar menawar dilakukan dalam bentuk konsultasi atau
perundingan berdasarkan peraturan dan prosedur yang telah disepakati
bersama. Meskipun perbedaan yang terjadi sangat tajam namun sering
berakhir di meja perundingan tanpa ada pihak yang dirugikan. Peran serikat
pekerja dalam model ini sangat urgen. Mereka dibentuk tidak hanya
menyuarakan hak-hak pekerja tapi yang utama membantu menjembatani
perbedaan yang timbul antara pemilik usaha dan pekerja.
11
BAB III
Pengembangan Budaya Kerja
Merubah nilai-nilai budaya kerja yang sudah lama (old-fashion culture) dan
mengakar bukanlah sesuatu yang quick fix walaupun juga bukan sesuatu yang
12
impossible. Upaya ini membutuhkan tidak hanya komitment, disiplin dan
semangat yang berlapis saja dari seluruh “stakeholders” yang terlibat, namun
juga memerlukan dukungan resources yang kuat karena akan memakan waktu
yang lama untuk menjadikan birokrasi yang “out of date” menjadi “world class
bureaucracy”.
13
Untuk dapat mengasilkan rumusan nilai-nilai budaya baru yang comprehensive
disarankan untuk melibatkan semua pihak baik dari unsur pimpinan maupun staf
untuk duduk bersama menetapkan nilai-nilai organisasi, dengan melihat visi,
misi, tugas pokok dan fungsi organisasi, aturan-aturan dan kebijakan atau
perundang-undangan. Kelebihannya selain dapat membangun sense of
belonging diantara para peserta secara lebih cepat sehingga sosialisasi dan
internalisasi akan lebih singkat juga dapat meminimalkan resistensi atau
keengganan pegawai yang tidak ingin berubah. Hal ini dikarenakan semua
pegawai diberi kesempatan untuk menjadi bagian dalam proses perubahan
organisasi. Sedang teknik penggalian dan perumusannya dapat menggunakan
wawancara, workshop, focul group discussion, dll. Semua dapat disesuaikan
dengan ketersediaan waktu, anggarn dll.
14
bahwa semakin mereka tahu tentang perubahan, semakin termotivasi
mereka untuk menerima perubahan.
Dari sini jelas bahwa pemahaman peran dan pengaruh budaya kerja dalam
manajemen perubahan adalah sangat penting. Karena perubahan seringkali
dipersepsi oleh karwanan sebagai “movement” yang akan merusak tatanan dan
mengancam segala bentuk kepentingan yang sudah lama terbangun. Contohnya
15
adalah pada saat pemerintah hendak merubah pelaksanaan lelang manual
menjadi e-procurement. Tidak sedikit penolakan yang diekspresikan karyawan
untuk menentangnya bahkan memboikotnya. Mereka takut sistem baru ini nanti
akan menggeser peran mereka dan diganti orang lain yang qualifed, kesulitan
untuk mendapatkan ketrampilan yang dibutuhkan, teknologi baru akan membuat
pekerjaan semakin monoton, dan menutup kemungkinan terjadinya
“kongkalikong” dalam proses pelaksanaanya. Perubahan seperti ini tentu akan
menimbulkan gejolak bila tidak ditangani dengan bijak. Sehingga pemahaman
yang comprehensive terkait budaya kerja sangat diperlukan untuk
mengantisipasi terjadinya gejolak penolakan.
16
ini menyangkut secara langsung prilaku yang tercermin dari nilai-nilai yang
diadopsi, diinternalisasi dan dipraktekkan dalam kurun waktu yang lama
sehingga untuk merubahnya juga harus dilakukan secara terus-menerus
a. Melalui role model, yakni praktik keteladanan yang dilakukan oleh para
pemimpin organisasi dengan menunjukkan penerapan nilai-nilai yang
diekspresikan lewat perilaku, contoh, atau keberhasilan yang dapat ditiru
oleh orang lain, terutama karyawan yang lebih muda. Menurut social
learning theory yang dikemukakan oleh Bettinghaus, dkk. (1994), bahwa
sebagian besar perilaku manusia dipelajari dengan cara pengamatan
melalui peragaan (modeling): dari mengamati orang lain terbentuk suatu ide
mengenai bagaimana perilaku yang baru ditampilkan, dan menyebabkan
informasi ini dipergunakan sebagai panduan untuk bertindak.
17
yang terbentuk dari proses interaksi antar individua atau komunitas dari luar
organisasi, misi perusahaan yang tertuang sebagai suatu pernyataan tentang apa
yang harus dilakukan dalam mewujudkan visi organisasi, keinginan untuk diakui
dan keinginan untuk terpenuhinya rasa aman serta keinginan untuk berprestasi.
Ilmuan lain yang juga melakukan kajian terkait masalah ini adalah Apriyanti,
Afrizal, Barkaw, dll. Rangkuman dari hasil kajian mereka menemukan beberapa
factor yang mempengaruhi buaya kerja, diantaranya adalah; inovasi, tanggung
jawab, orientasi pada hasil, pengetahuan, sistem kerja, dan motivasi,
kepemimpinan, teknologi, reward and punishment, serta politik, Serta kemampuan
beradaptasi, integrasi sosial, moral, serta persepsi terhadap perkerjaan.
Dua factor lain yang perlu disajikan, karena factor ini mempengaruhi dua
perusahaan besar yang saat ini merajai di bidangnya. Faktor yang pertama
adalah seleksi (recruitment) karyawan. Dianggap istimewa karena aktivitas ini
memiliki kontribusi langsung dalam menentukan the right man on the right position
suatu organisasi. Contoh nyata dialami oleh Samsung, sebuah perusahaan
elektronik global asal korea memiliki budaya kerja yang unik. Guna menunjang
keberhasilan dalam iklim persaingan global, perusahaan ini menempatkan
karyawan secara terbalik. Perusahaan-perusahaan Samsung di Korea lebih
banyak didominasi pekerja asal Korea, sementara perusahaan-perusahaan
Samsung yang tersebar di seluruh dunia lebih banyak merekrut karyawan non-
Korea dibandingkan dengan orang Korea. Dalam kaitan ini, alasan yang
melatarbelakangi adalah untuk menciptakan atmosfer “kekeluargaan” dalam
interaksi social organisasi sehingga tercipta suatu kondisi yang kondusif dalam
membangun kebersamaan. Kebersamaan inilah yang menjadi kekuatan Samsung
dalam mengahadapi persaingan global.
18
Faktor yang terakhir adalah interaksi social dan motivasi. Faktor ini menjadi salah
satu elemen yang menjadikan Google sebagai perusahaan multinasional dengan
pengguna lebih dari sekitar 82 juta orang perbulan. Perusahaan yang
mempekerjakan kurang lebih 85 ribu orang ini sejak awal pendirianya telah
mengembangkan kultur yang sangat informal dan menyenangkan dengan hirarki
perusahaan yang hampir tidak terlihat serta teknik motivasi dengan menggunakan
kebijakan inovasi waktu istirahat (Innovation Time Off). Dengan kebijakan ini
karyawan didorong untuk menghabiskan 20% dari waktu kerja mereka untuk
istirahat. Diakui oleh Marissa Mayer, Wakil Presiden Google bahwa setengah dari
produk-produk baru yang diluncurkan pada tahun 2005 berasal dari Innovation
Time Off.
Factor-faktor yang mempengaruhi budaya kerja di atas adalah fakta dan sudah
banyak di rasakan oleh berbagai organisasi. Mereka telah dijadikan landasan bagi
penciptaan budaya kerja yang diharapkan mampu memberikan output bagi
peningkatan kinerja organisasi. Namun dalam praktek sehari-hari ada elemen lain
yang justru mendegradasi atau menghambat timbulnya budaya kerja. Penelitian
yang dilakukan oleh Sinha et al. (2010) tentang dampak budaya kerja pada level
motivasi karyawan mengungkap bahwa perbedaan budaya (different culture) yang
terjadi antara organisasi dan pekerja merupakan suatu hambatan dalam budaya
kerja. Sementara Afendi (2009) menyatakan bahwa prasangka buruk, prinsip
yang tidak sesuai, pengalaman pahit, prioritas yang rendah terhadap kerja, sudut
pandang yang negatif terhadap kerja, pembanding, dan literatur adalah factor-
faktor yang dapat menjadi penghambat budaya kerja.
19
BAB IV
Manfaat Budaya Kerja
a. Manfaat bagi pegawai. Budaya kerja memiliki manfaat yang sangat penting
dalam dunia pekerjaan yang dapat mengantarkan seorang individu menjadi
karyawan yang baik. Beberapa manfaat tersebut antara lain: memberi
kesempatan untuk berperan dan mengaktualisasikan diri dilingkungan kerja,
memperluas wawasan, menumbuhkan rasa disiplin, sense of belonging, rasa
tanggung jawab akan tugas yang diemban serta meningkatkan kemampuan
untuk mendapat pengakuan dan kebanggaan serta penghargaan dan
prestasi kerja.
Budaya kerja juga memiliki keterkaitan erat dengan profit, produktivitas dan
evektifitas kerja. Mereka dibentuk dan dipraktekkan melalui modifikasi pola
komunikasi dengan tujuan untuk menanamkan rasa kepercayaan diri,
20
semangat disiplin yang tinggi serta kerja sama yang kuat diantara para
karyawan. Organisasi dengan budaya kerja yang unggul akan menghasilkan
output yang yang lebih baik. Menurut Djarot Subianto (2000), hal ini
disebabkan karena karyawan yang diserahi tugas mengetahui dan
memahami secara baik tanggungjawabnya dan bagaimana cara
menyelesaikan pekerjaan tersebut” (what to do and how to do it). Manfaat
budaya kerja bagi instansi.
Manfaat budaya kerja yang dirasakan seorang pekerja tentu akan berkorelasi
terhadap keberhasilan organisasi. Mereka akan mendapatkan manfaatnya
baik secara langsung maupun tidak. Diantara manfaat yang dirasakan adalah
munculnya keterbukaan diantara individu yang menimbulkan rasa
kebersamaan dan jiwa gotong royong sehingga dapat mengefektifkan
saluran komunikasi dan sinkronisasi dalam menghadapi dinamika organisasi
yang dinamis. Keberhasilan me-manage suasana kerja seperti ini akan
mendorong munculnya kreativitas pegawai dalam menghadapi berbagai
hambatan-hambatan yang dihadapi organisasi dalam pelaksanaan kerjanya.
Secara alami kondisi ini juga akan memunculkan sifat-sifat kepemimpinan
yang partisipatif diantara karyawan yang biasanya diasah melalui capacity
building dan interaksi intensive yang membuahkan pengalaman kerja.
Proses perubahan budaya kerja yang telah dilakukan pemerintah sejak 2010
Tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 dengan merubah nilai-nilai
budaya kerja yang sudah lama (old-fashion culture) adalah sesuatu yang tidak bisa
ditunda. Upaya ini membutuhkan tidak hanya komitment, disiplin dan semangat
yang tinggi dari semua pihak yang terlibat. Agar tidak terulang seperti yang dahulu,
perubahan yang dilakukan saat ini hendaklah dilakukan dengan pendekatan
manajemen perubahan (change manajemen) yang tepat, tersturktur dan
comprehensive, baik dari sudut pandang individu atau organisasinya.
22
DAFTAR PUSTAKA
Barkow, Ben, (2002), “Factors of Group Work Culture Which Influence the Safety of
Power Line Mainteners”. Toronto.
Dezonda R. Pattipawae, (2011), “Penerepan Nilai-nilai Dasar Budaya Kerja dan Prinsip-
prinsip Organisasi Budaya Kerja Pemerintah dengan Baik dan Benar” Jurnal
Sasi Vol. 17 No.3
Djarot Subianto, (2000), “Budaya Kerja Era Digital”, Jakarta: PPM Lembaga Manajemen.
Flamholtz, E. G and Randle, Yvonne, (2011), "Corporate Culture: The Ultimate Strategic
Advantage," Stanford University Press, Stanford California.
Jacquest, Elliot, (1951), “The Changing Culture of a Factory: A Study of Authority and
Participation in an Industrial Setting,” Tavistock Pub., England.
Kamus Besar Bahasa Indonesia: https://kbbi.web.id/individualisme.
23
Needle, David, (2004). “Business in Context: An Introduction to Business and Its
Environment”. ISBN 978-1861529923.
Nur Hasliza B. J., Nor Azlin BN, Nur Azzarina B. K., Normah B. Z. (2015), “Leadership
Style Head of Polytechnic Department and Regard with to Work Culture”,
Journal of Education and Practice www.iiste.org ISSN 2222-1735 (Paper)
ISSN 2222-288X (Online) Vol.6, No.15.
Peter T.J., and Waterman, A.A., (1982), “In Search of Excellence”, Harper & Row, New
York.
Ravasi, D.; Schultz, M., (2006), “Responding to organizational identity threats: Exploring
the role of organizational culture”. Academy of Management Journal, 49.
Robbins & Mukerji (1994), “Managing Organizational”. New York, Prentice Hall.
Sinha, S., Singh, Ajay Kr., Dutt, Rajul, (2010), “Impact of Work Culture on Motivation
Level of Employees in Selected Public-Sector Companies in India”. Delhi
Business Review Vol. 11
Singh, Kavita, (2001), “Work Values and Work Culture in India Organizations Evidence
from Automobile Industry Delhi”, Business Review? Vol. 2, No. 2, July –
December.
Supriyatno, Budi, (2009), “Mengenal Budaya Kerja Birokrasi”, CV. Media Brilian.
Syed Othman Alhabshi, (2005), “Mengamalkan Budaya Kerja Berpasukan yang Komited
dan Bermotivasi”. www.geocities.com/nikzafri/lo.htm/
Taliziduhu Ndraha, (2003), “Teori Budaya Organisasi”, Cetakan Kedua, PT. Rineka
Cipta, Jakarta.
Tika, H. Moh. Pabundu, Drs. M.M, (2008), “Budaya Organisasi dan Peningkatan Kinerja
Perusahaan”, Jakarta, Bumi Aksara
24
Triguno. Prasetya, (2001), “Sumber Daya Manusia”, Bumi Aksara, Jakarta.
BIODATA PENULIS
25
COPY SLIDES
26