Anda di halaman 1dari 28

BAHAN AJAR

Budaya Kerja
Materi e-learning

Badan Kepegawaian dan Diklat


Pemerintah Kota Surabaya

Ifron Hady Susanto

i
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ..............................................................................................
DAFTAR ISI ...........................................................................................................
BAB I. PENDAHULUAN ................................................ ......................................
BAB II. Dasar-dasar Budaya Kerja…………………………………………………….
2.1. Definisi Budaya Organisasi……………………………………………
2.2. Nilai-nilai Organisasi………………………………...…………………
2.3. Difinisi Budaya Kerja ………………………………………………….
2.4. Model Budaya Kerja…………..……………………………………….
BAB III. Pengembangan Budaya Kerja……………………………………………….
3.1. Perubahan Budaya Kerja……………. ……………………………….
3.2. Faktor yang Mempengaruhi ……………….…………………………
BAB IV. Manfaat Budaya Kerja..............................................................................
BAB V. PENUTUP .................................................................................................
Kesimpulan...........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………….

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Pasca lengsernya rezim Suharto pada akhir dekade 90-an, pemerintah menginisiasi
programe reformasi birokrasi untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good
governance) guna memperbaiki citra buruk birokrasi yang massive. Hingga saat ini,
berbagai agenda perubahan terus dilakukan, termasuk melakukan restrukturisasi
organisasi, menyempurnakan peraturan perudangan dan prosedur, me-redesign
strategi pembangunan agar lebih tepat sasaran dan berdaya guna, menyelenggarakan
berbagai program capacity building bagi aparatur negara, dsb. Namun demikian,
nampaknya semua ikhtiar yang dilakukan masih belum mampu menjadikan negara
yang sudah merdeka selama 73 tahun ini berdiri sejajar dengan negara-negara maju
lainnya, seperti negara-negara dibenua Eropah, Amerika, Jepang, Korea Selatan, dll.

Data statistik dari beberapa fenomena makro yang ada menunjukkan berbagai
kelemahan yang dialami bangsa ini. Ada sektor-sektor yang mengalami peningkatan,
termasuk peringkat daya saing Indonesia yang menurut data dari The Global
Competitiveness Report 2017-2018 menenpatkan Indonesia pada nomor urut ke-36
di antara 137 negara yang disurvey, meningkat lima level dibanding tahun
sebelumnya. Namun secara umum, masih banyak bidang-bidang pembangunan lain
yang masih tertinggal dan membutuhkan keseriusan semua pihak untuk
memperbaikinya.

Laporan Human Development Report (HDR) 2017, misalnya menyebutkan pada tahun
2015-2016 Index Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia ada diurutan 113 dari 188
negara. Dari aspek produktivitas, Asian Productivity Organization (APO) mencatat
pada tahun 2015 produktivitas per pekerja Indonesia menempati urutan kesebelas
dari 20 negara Asia yang memiliki produktivitas baik. Di tingkat ASEAN, Indonesia
masih berada di urutan ke-4 diantara sepuluh negara anggotanya sehingga perlu
dilakukan percepatan peningkatan produktivitas untuk mengejar ketertinggalan dari
negara-negara lain. Data lain yang juga perlu diamati, adalah rendahnya Indeks

1
persepsi korupsi, yang hanya menempatkan Indonesia pada peringkat ke-96 dari 180
negara pada tahun 2017 menurut data dari Transparancy International.

Disamping itu masih banyak ditemui praktek-praktek budaya kerja negative yang harus
segera dirubah, yang membuat citra buruk pemerintah semakin kelam, termasuk:
rendahnya komitmen dan kompetensi kerja, kurangnya professionalism dalam
penyelesaian tugas, masih banyak karyawan yang lebih mengedepankan prestice
daripada prestasi, bahkan tidak sedikit yang belum memahami makna keadilan dan
keterbukaan dalam pelayanan masyarakat. Disamping itu masih sering dijumpai
penyalahgunaan kewenangan dalam public policy yang berdampak secara langsung
kepada masyarakat, banyak keputusan-keputusan yang irrational yang dijumpai
karena motivasi KKN serta masih maraknya kasus gratifikasi dikalangan ASN.

Tidak aneh jika kemudian untuk mengatasi berbagai masalah yang melilit tersebut
pemerintah mereview kebijakan lama yang sudah usang dan menggantinya dengan
kebijakan baru yang lebih strategis. Yang utama, dan yang kemudian menjadi pondasi
bagi pelaksanaan agenda reformasi birokrasi adalah disahkannya Perpres Nomor 81
Tahun 2010 Tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010 – 2025 dan Permenpan
dan RB tentang Road Map Reformasi Birokrasi (RMRB) yang memuat rencana
tahapan dan sasaran kegiatan perubahan birokrasi pemerintahan. Sebagai payung
hukum untuk menyelesaikan masalah budaya kerja yang kontraproduktif pemerintah
menetapkan regulasi tentang pedoman pengembangan budaya kerja yang dituangkan
dalam Permenpan dan RB Nomor 39 Tahun 2012. Peraturan yang dimuat dalam
Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 751 ini ditetapkan oleh
pemerintah untuk menggantikan Kepmenpan Nomor 25/KEP/M.PAN/4/2002 tentang
Pedoman Pengembangan Budaya Kerja Aparatur Negara yang dirasakan sudah tidak
sesuai dengan dinamika dan perkembangan yang terjadi saat ini.

Ditetapkannya budaya kerja menjadi salah satu pilar dalam Grand Design Reformasi
Birokrasi adalah sangat tepat. Hal ini disebabkan karena budaya kerja tidak dapat
diabaikan dalam peningkatan kinerja organisasi, menurut Singh, Kavita (2001) budaya
kerja merupakan hal yang utama bagi setiap kegiatan dalam organisasi. Singh, Kavita,

2
(2001). Dari sini dapat diasumsikan bahwa reformasi birokrasi tanpa melibatkan
perubahan budaya kerja adalah naif. Karena justru dengan perubahan budaya kerjalah
prilaku karyawan dapat diperbaiki, dan dengan perbaikan ini performance organisasi
dapt ditingkatkan secara optimal.

Tidak itu saja, dengan perubahan ini diharapkan terjadi tranformasi dari birokrasi zona
nyaman (comfort zone) ke zona kompetitif (competitive zone) sehingga karyawan
senantiasa dituntut untuk integritas dan kinerjanya serta diharapkan selalu membuka
ruang inovasi untuk mencari solusi terhadap permasalahan yang dihadapi. Jika ini
dapat terwujud, Indonesia akan berada pada tahapan menuju negara maju dengan
level pemerintahan kelas dunia yang diharapkan mampu bersaing menghadapi
tantangan abad ke-21 melalui penerapan tata pemerintahan yang baik pada tahun
2025.

Sistematika penulisan: Bab II akan menjelaskan konsepsi dasar budaya kerja dengan
membedakannya dengan budaya organisasi. Nilai-nilai yang terkandung dalam
budaya kerja akan dikombinasikan dengan definisi budaya kerja untuk memberikan
pemahaman yang lebih nyata. Diahkir Ban dijabarkan model-model budaya kerja
untuk memahami kelemahan dan kekuatan masing-masing model. Bahasan utama
buku ini terletak di Bab III. Pembahasan diarahkan bagaimana mengatasi masalah
yang dihadapi bangsa ini terkait perubahan budaya kerja yang sedang diagendakan
serta factor-apa saja yang mempengaruhi perubahannya. Terakhir sebelum penutup
dijelaskan juga manfaat yang di dapat dari proses perubahan budaya kerja di
pemerintahan.

3
BAB II
Dasar-dasar Budaya Kerja

2.1. Definisi Budaya Organisasi


Secara implementative, konsep budaya kerja merupakan turunan dari budaya
organisasi. Selama beberapa dekade terakhir, konsep budaya organisasi telah
menghiasi berbagai forum diskusi yang dilakukan oleh para akademisi maupun
praktisi guna membahas kerterkaitan budaya dan organisasi dari berbagai
perspektif. Penelitian dan kajian juga tidak sedikit digagas guna memahami
budaya organisasi secara komprehensif dan keuntungannya bagi pengembangan
institusi/organisasi dimasa depan. Selain itu, studi tentang pengaruh budaya
organisasi terhadap prilaku pegawai juga banyak diprakarsai guna meningkatkan
efisiensi organisasi melalui pengingkatan antusiasme dan daya kreatifitas
karyawan. Sampai hari ini evolusi konsep ini tidak mengalami stagnasi,
sebaliknya berkembang dengan massive yang tidak hanya berkutat di ranah
private namun juga sudah merambah pengaplikasiannya di sector public.

Terminologi budaya dalam konteks organisasi pertama kali diperkenalkan oleh


Elliot Jaques, seorang psycoanalyst dan ilmuan bidang social berkebangsaan
Canada. Pada tahun 1951, setelah melakukan penelitian selama dua tahun
tentang pengembangan kehidupan social komunitas industry, beliau menerbitkan
sebuah buku berjudul “The Changing Culture of a Factory: A Study of Authority
and Participation in an Industrial Setting”. Buku dengan tebal 341 halaman ini
mengupas berbagai aspek social di perusahaan yang berkaitan dengan deskripsi,
analisis, dan pengembangan perilaku. Sejak saat itu wacana tentang budaya
organisasi mendapatkan space yang luas untuk dijadikan sebagai objek kajian
para akademisi maupun praktisi. (Jacquest, Elliot: 1951).

4
Dalam perkembangan selanjutnya, mucul berbagai istilah baru dalam diskursus
pembahasan tentang konsep budaya organisasi. Pada tahun 1960-an sampai
dengan 1970-an istilah iklim organisasi (organizational climate) sering digunakan
dan mewarnai debat public diantara para akademisi dan praktisi dalam
membahas isu-isu properti di lingkungan kerja yang diasumsikan sebagai
kekuatan utama dalam mempengaruhi perilaku karyawan. Pada akhir tahun 1980-
an sampai dengan tahun 1990-an para menejer, ahli-ahli ilmu social dan ilmuan
bidang organisasi sering menggunakan istilah budaya perusahaan (corporate
cultue/company culture), budaya tempat kerja (workplace culture) dan budaya
bisnis (business culture) dalam mendiskusikan sistem nilai yang menjadi
pedoman para pekerja dalam melakukan aktivitas sehari-hari di tempat kerja.

Sejalan dengan perkembagan tersebut, definisi budaya organisasi juga


mengalami fase yang dinamis ditinjau dari perspektif pembahasannya. Beberapa
ahli memfokuskan diskusinya pada tataran konstruksi budaya organisasi, seperti
Needle (2004) yang berpendapat bahwa budaya organisasi mewakili nilai-nilai
kolektif, keyakinan dan prinsip-prinsip anggota organisasi dan merupakan produk
dari faktor-faktor seperti sejarah, produk, pasar, teknologi, strategi, jenis
karyawan, gaya manajemen, dan nasional budaya.
Sementara ahli-ahli yang lain lebih menggarisbawahi pembahasan definisnya
pada komponen perilaku (behavior) karyawan, dan bagaimana budaya organisasi
dapat secara langsung mempengaruhi cara berperilaku. Flamholtz dan Randle
(2011), menyatakan bahwa budaya organisasi adalah "kepribadian perusahaan",
yang terdiri dari nilai, keyakinan, dan norma yang mempengaruhi perilaku orang
sebagai anggota organisasi. Dalam pernyataan yang senada, Ravasi & Schultz,
(2006) juga berargumentasi bahwa budaya organisasi adalah seperangkat asumsi
bersama yang memandu apa yang terjadi dalam organisasi dengan
mendefinisikan perilaku yang sesuai untuk berbagai situasi dan keadaan.
Demikian halnya dengan Pemerintah Indonesia, definisi yang digunakan dalam
Permenpan yang mengatur budaya kerja juga menggunakan pendekatan
behaviour dengan mendefinisikanya sebagai sistem nilai bersama dalam suatu
organisasi yang menjadi acuan bagaimana para pegawai melakukan kegiatan

5
untuk mencapai tujuan atau cita-cita organisasi (Permenpan dan RB Nomor: 39
Tahun 2012 tentang Pedoman Pengembangan Budaya Kerja Budaya).

Dari berbagai macam definisi yang telah dikemukakan di atas, dapat ditarik intisari
bahwa budaya organisasi dikembangkan dari kumpulan norma, nilai dan
keyakinan dari orang-orang yang berada dalam lingkungan organisasi yang dapat
dilihat secara jelas dalam perilaku individu dan kelompoknya. Selain itu, budaya
organisasi juga berfungsi sebagai panduan bagi karyawan dalam menyelesaikan
pekerjaan untuk mencapai tujuan atau cita-cita organisasi.

2.2. Nilai-nilai Organisasi


Diakui atau tidak setiap organisasi memiliki nilai, ada yang tertulis ada juga yang
tidak. Dalam kehidupan sehari-hari mereka tidak hanya tercermin dalam prilaku
dan tindakan tapi juga merupakan guidance dan motivator yang dapat digunakan
untuk menggerakkan sikap dan tindakan. Dalam sudut pandang ini nilai dipahami
sebagai landasan etika yang menjadi panduan bagi setiap individu untuk berpikir,
bersikap, bertindak dan mengambil keputusan secara benar. Dengan kata lain,
nilai tidak hanya mengekspresikan apa yang diperjuangkan tapi juga menentukan
definisi baik dan buruk sesuatu yang dilakukan Robbins & Mukerji (1994).
Nilai-nilai budaya yang bersumber dari ajaran agama, falsafah negara dan
kebiasaan, secara teknis dapat di-breakdown menjadi lima, yaitu nilai-nilai:
1. Sosial, melilputi: nilai kemanusiaan, keamanan, persamaan, efisiensi, dll.;
2. Demokratik meliputi: kepatuhan, kebebasan, ketepatan, dll.
3. Birokratik, meliputi: spesialisasi, tujuan, rasional, stabilitas,
4. Profesional, meliputi: keahlian, wewenang, komitmen, disiplin, dll.
5. Ekonomik, meliputi: efisiensi, nilai, tergantung kekuatan pasar Dezonda R.
Pattipawae, (2011).

2.3. Definisi Budaya Kerja


Kemajuan suatu negara/bangsa dapat diukur melalui kualitas sumber daya
manusia yang dimiliki. Semakin maju negara/bangsa tersebut semakin tinggi pula
kualitas sumber daya manusianya. Hal ini berarti bahwa manusia sebagai salah

6
satu elemen dalam organisasi memiliki peran yang penting sebagai driving force
yang menentukan maju atau mundurnya suatu organisasi. Herbert Simon,
seorang ahli ekonomi dan politik dari Carnegie University, Amerika, menyatakan
bahwa organisasi merupakan perkumpulan dari manusia, maka apa yang
dilakukan oleh organisasi akan ditentukan oleh manusianya. (Alauddin Sidal,
2005). Tentu saja hal ini tidak mengurangi peran penting aspek non-human dalam
pencapaian prestasi sebuah organisasi. Namun demikian dukungan sarana dan
prasarana yang “hebat”, seperti penggunaan instrument kerja yang up to date, IT
berteknologi tinggi, sisitem kerja yang canggih, dll. tersebut tidak akan mampu
menorehkan prestasi maksimal apabila unsur manusia yang menggerakkan
teknologi tersebut tidak mendapat perhatian yang optimal.

Ada beberapa aspek yang mempengaruhi tinggi atau rendahnya kualitas sdm
dalam sebuah organisasi, salah satunya adalah budaya, yang dapat dianggap
sebagai aset yang tidak berwujud yang dimiliki organisasi sebagai suatu bentuk
kekayaan intelektual. Jika budaya yang dibangun "positif", maka organisasi
tersebut akan mampu mewujudkan visi dan misinya menjadi realita. Namun
sebaliknya jika "negatif", ia akan menjadi hambatan pada pencapaian target
kinerja yang sudah direncanakan, dan sangat mungkin dapat mengarah pada
penurunan performance atau bahkan kehancuran.

Konsep budaya tentu saja dapat disematkan kedalam berbagai kegiatan manusia,
termasuk di dunia pekerjaan atau yang sering disebut dengan budaya kerja.
Secara aplikatif budaya kerja memiliki arti yang beragam. Dalam Grand Design
Birokrasi, misalnya, budaya kerja diartikan sebagai sikap dan perilaku individu
dan kelompok yang didasari atas nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan telah
menjadi sifat serta kebiasaan dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan sehari-
hari. Dalam Bahasa yang senada Triguno (2001) mendefinisikan budaya kerja
sebagai falsafah yang didasari oleh pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang
menjadi sifat, kebiasaan, dan kekuatan pendorong, membudaya dalam kehidupan
suatu kelompok masyarakat atau organisasi yang tercermin dari sikap menjadi
perilaku, kepercayaan, cita-cita, pendapat dan tindakan yang terwujud sebagai

7
kerja atau bekerja. Sementara Pettigrew, (1979) mengidentifikasi "budaya kerja
sebagai sistem makna kerja yang diterima secara pribadi dan kolektif, beroperasi
untuk kelompok tertentu pada waktu tertentu".

Definisi lain juga disampaikan oleh beberapa ilmuan yang mengkaitkan budaya
kerja dengan efektifitas hasil suatu pekerjaan dan dampak positif yang dapat
dihasilkannya. Menurut Peters dan Waterman (1982), misalnya, "Budaya kerja
didefinisikan sebagai sistem nilai bersama” yang menghasilkan kinerja tinggi
dalam organisasi". Sementara Taliziduhu Ndraha mendefinisikan budaya kerja
dalam bukunya Teori Budaya Kerja sebagai” sekelompok pikiran dasar atau
program mental yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan efisiensi kerja dan
kerjasama manusia yang dimiliki oleh suatu golongan masyarakat”. Manfaat lain
yang juga muncul dari budaya kerja adalah terciptanya nilai-nilai yang tidak
terlihat tetapi berharga secara ekonomi, psikologis, sosial dan spiritual, seperti
rekreasi, relaksasi, kenyamanan dan kedamaian yang dapat memberi semangat
baru, inspirasi dan dukungan dalam pelaksanaan pekerjaan.

2.4. Model-model Budaya Kerja


Tuntutan dunia kerja yang semakin tinggi tentang capaian performance organisasi
menyebabkan perkembangan study dan pratek budaya kerja semakin terbuka.
Kondisi ini akhirnya membuka peluang bagi diversifikasi model-model budaya
kerja di tataran praktis organisasi. Beberapa ilmuan telah melakukan idealisasi
terhadap deskripsi konsep budaya kerja yang diklasifikasikan menjadi beberapa
model. Murray and Siew Peng Yong, (1992) mengklasifikasikan model-model
budaya kerja menjadi enam model dan mengkaitkannya dengan gaya
kepemimpinan tertentu yang dipraktekkan dalam suatu organisasi. (Murray and
Siew Peng Yong, 1992). Model-model tersebut adalah sebagai berikut:
a) Budaya Kerja Autoritarian
Karakteristik model ini ditandai dengan menonjolnya peran pemimpin yang
sering dielu-elukan sebagai ‘pahlawan’ dan memiliki kekuasaan serta otoritas
yang sangat kuat dalam mengendalikan jalannya organisasi. Pekerja dituntut
untuk memberikan loyalitas yang tinggi kepada pemimpinan dan instruksi

8
yang diberikan bersifat ‘top down’. Kondisi seperti ini menyebabkan ruang
diskusi tidak berjalan dan karyawan tidak bebas memberikan feedback atau
kritik, bahkan dalam banyak kasus mereka cenderung bersikap ‘manut’, dan
‘pingin selamet” (ingin selamat) untuk menjaga posisi dan kepentingan
mereka sendiri. Bentuk budaya seperti ini sering dipraktekkan dalam
organisasi bersekala kecil seperti bisnis keluarga atau UKM.

b) Budaya Kerja Birokratik

Secara etimonologi, model ini dapat dipahami sebagai budaya kerja yang
memilliki rantai komando berbentuk piramida dimana struktur diisi dengan
tingkatan level yang berbeda berdasarkan hirarki kewewenangan dan
tanggungjawab yang jelas, rasional dan formal. Penerapan aturan atau
prosedur didasarkan atas prinsip imparsial, dimana setiap orang harus tunduk
pada hukum yang sama dan menerima perlakuan yang tidaki dskriminatif.
Untuk memastikan efisiensi dan efektivitas pekerjaan ditetapkan job
specialisasi, dimana pekerjaan hanya dilakukan berdasarkan specialisasi yang
dimiliki masing-masing karyawan. Pada saat yang bersamaan manajemen
juga memberlakukan system meritokrasi. Dengan system ini
gaji/imbalan/reward diberikan kepada karyawan disesuaikan dengan
keahlian/jabatan atau prestasinya.

Model budaya ini sering ditemukan di instansi pemerintah yang biasanya


berkaitan erat dengan public service. Biasanya tipikal budaya yang dibangun
masih belum bisa menghindarkan dari kekacauan menurut Supriyatno, Budi
(2009) bahkan sering mengabaikan budaya, nilai-nilai moral, etika, tatakrama
dan sopan santun dalam implememtasi pelaksanaan tugasnya khususnya
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

c) Budaya Kerja Fungsional


Dalam konsep budaya kerja fungsional, struktur organisasi dibuat secara
fleksibel, dimana interaksi dan pembagaian kerja (job division) didasarkan
pada fungsi atau keahlian yang dimiliki oleh masing-masing anggota. Proyek-
proyek penting yang mendapat prioritas tinggi akan ditanggani oleh karyawan

9
atau team yang dianggap paling ‘qualified”. Sementara pekerjaan yang
dianggap ‘biasa’ akan diserahkan kepada anggota atau team lain di level yang
lebih rendah. Team dibentuk berdasarkan kontrak waktu yang telah
ditetapkan. Setelah pekerjaan selesai akan dibentuk team baru dengan tugas
yang baru pula. Budaya kerja yang juga disebut ‘project-based culture’ ini
secara praktek sering ditemui di negara-negara barat (western countries),
seperti di negara-negara Eropah, Amerika dan Canada.

d) Budaya Kerja Individualistik


Individualistic dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti suatu paham
yang menganggap manusia secara pribadi perlu diperhatikan (Kamus Besar
Bahasa Indonesia) Dalam konsep budaya kerja, terminology ini berkaitan
dengan entitas yang memfokuskan aktifitas atau kegiatannya pada sosok
individu bukan pada kolektivitas kelompok. Secara aplikasi budaya ini dapa
dilihat pada profesi konsultan dan pengacara. Atau juga dapat dilihat pada
profesi guru/dosen/professor yang mempunyai kepandaian dan keterampilan
di atas rata-rata. Dengan reputasi yang dimiliki, mereka akan menjadi tulang
punggung (back bone) untuk menarik pelajar/mahasiswa untuk bergabung.
Dengan reputasi istimewa seperti ini mereka seringkali kurang ‘patuh’ pada
peraturan dan prosedur yang berlaku.

System reward dan punishment yang diterapkan dalam model budaya kerja ini
biasanya menggunakan meritokrasi. Dalam system ini, gaji / imbalan /
penghargaan akan diberikan sesuai dengan kinerja yang dicapai. Semakin
tinggi kinerjanya semakin tinggi pula reward yang akan diterima. Disamping itu
mereka juga memiliki pandangan yang kuat tentang eksistensi asosiasi atau
serikat organisasi. Biasanya mereka berasosiasi dalam kelompok-kelompok
profesi untuk menyuarakan dan menlindungi kepentingannya.

e) Budaya Kerja Tawar Menawar


Secara umum konsep budaya kerja ini bertumpukan pada hubungan antara
pemilik (owner) dan karyawan. Untuk mencapai solusi terhadap perbedaan

10
yang ada, para pihak biasanya melakukan aktivitas tawar-menawar
(bargaining position) untuk mencapai posisi win-win (tidak ada pihak yang
dikalahkan). Tawar menawar dilakukan dalam bentuk konsultasi atau
perundingan berdasarkan peraturan dan prosedur yang telah disepakati
bersama. Meskipun perbedaan yang terjadi sangat tajam namun sering
berakhir di meja perundingan tanpa ada pihak yang dirugikan. Peran serikat
pekerja dalam model ini sangat urgen. Mereka dibentuk tidak hanya
menyuarakan hak-hak pekerja tapi yang utama membantu menjembatani
perbedaan yang timbul antara pemilik usaha dan pekerja.

f) Budaya Kerja Kolektif


Berbeda dengan model individualistic, budaya kerja kolektif lebih menekankan
pentingnya factor kebersamaan (kolektivitas) dalam proses pekerjaan.
Keterlibatan karyawan dalam memberikan feedback atau ide untuk
meningkatkan kinerja organisasi sangat dihargai. Ha ini dipahami karena
karyawan adalah ‘pemilik proses kerja’ dan merekalah yang sehari-hari
berkecimpung dengan tugasnya sehingg lebih mengetahui sistem dan
tatacara kerja dibanding orang lain. Dengan situasi ini, manajemen memberi
peluang yang lebih luas kepada mereka untuk mengemukakan ide dan
kreativitas guna memperbaiki proses kerja, sistem dan prosedur. Ide atau
kreativitas dari karyawan biasanya disampaikan kepada atasan untuk disetujui
sebelum diputuskan menjadi kebijakan organisasi. Di Jepang proses ini
disebut ho-ren-jadi, yaitu gabungan suku kata pertama dari tiga kata kerja:
Houkoku (laporan), renraku (kontak), soudan (berkonsultasi). Ini artinya
karyawan harus selalu memberi tahu atasan tentang apa yang dilakukan. Dan
sekecil apapun setiap keputusan yang diambil harus melalui rantai komando
dan mendapatkan persetujuan dari ‘boss’.

11
BAB III
Pengembangan Budaya Kerja

3.1. Perubahan Budaya Kerja


Proses pengembangan budaya kerja yang telah dilakukan pemerintah sejak
dikeluarkannya Perpres RI Nomor: 81 Tahun 2010 Tentang Grand Design
Reformasi Birokrasi 2010-2025 menunjukkan keseriusan dalam upaya
mewujudkan tata pemerintahan yang baik. Guna menjamin keberhasilan
pelaksanaannya, dibutuhkan pengembangan budaya kerja yang
comprehensive dan sustainable dengan penanaman nilai-nilai baru yang akan
menjadi pedoman “bagaimana individu di dalam organisasi berpikir, bersikap,
bertindak dan mengambil keputusan.” Bermula dari titik ini diharapkan akan
muncul etos kerja baru yang dapat berfungsi sebagai pendorong atau
penggerak terbangunnya perilaku kerja yang diinginkan.

Dengan kata lain “change is a must”, perubahan adalah keharusan untuk


memperbaiki tatanan nilai yang tidak baik menjadi lebih baik. Kalimat ini harus
dipahami dengan mendalam oleh setiap karyawan karena perubahan budaya
kerja tidak hanya penting bagi organisasi untuk dapat beradapasi dengan relita
baru tapi juga mampu meningkatkan kinerja dan kepuasan kerja. Dewasa ini
atmosfer birokrasi telah mengalami metamorphosis yang ekstrim dalam
memenuhi tuntutan masyarakat yang semakin komplek. Birokrasi sebagai
suatu system pemerintahan yang terorganisasi secara hierarkis tidak dapat
melepaskan diri gelombang perubahan yang terjadi. Dalam konteks reformasi
birokrasi, organisasi pemerintah sebagai wadah yang menjalankan tatanan
dalam kehidupan pemerintahan dituntut untuk dapat beradaptasi agar bisa
tetap “survive”,

Merubah nilai-nilai budaya kerja yang sudah lama (old-fashion culture) dan
mengakar bukanlah sesuatu yang quick fix walaupun juga bukan sesuatu yang

12
impossible. Upaya ini membutuhkan tidak hanya komitment, disiplin dan
semangat yang berlapis saja dari seluruh “stakeholders” yang terlibat, namun
juga memerlukan dukungan resources yang kuat karena akan memakan waktu
yang lama untuk menjadikan birokrasi yang “out of date” menjadi “world class
bureaucracy”.

Agar tidak mengulangi perubahan-perubahan masa lalu yang sifatnya partial


dan tidak memberikan hasil yang maksimal, maka diperlukan suatu manajemen
perubahan (change manajemen) yang tepat, tersturktur dan comprehensive,
baik dari sudut pandang individu atau organisasinya.

Langkah awal (initial stage) yang harus dilakukan dalam proses


pengembangan ini adalah memformulasikan nilai-nilai yang akan dimunculkan
sebagai budaya kerja organisasi dan diyakini mampu mengantarkan organisasi
mewujudkan visi dan misinya. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat yang
disampaikan oleh Iman Sudirman (2005) bahwa “Budaya organisasi yang
seharusnya dikembangkan dalam organisasi adalah budaya organisasi yang
sesuai dengan visi, misi, dan tujuan organisasi”. Dalam merumuskan nilai-nilai
baru yang akan menggantikan nilai-nilai lama yang sudah usang haruslah
memperhatikan bahwa nilai tersebut:
 Harus dapat dipercaya bahwa mereka akan mampu mencapai visi dan misi
yang diharapkan.
 Harus didasarkan pada praktik yang dikenal dan dapat dilaksanakan setiap
karyawan. Sumber nilai-nilai tersebut dapat menggunakan referensi dari:
ajaran agama, falsafah negara, dan kebiasaan yang berkembang baik
dalam masyarakat/adat. Untuk melengkapi nilai-nilai tersebut Syed
Othman Alhabsi (2005) menambahkan bahwa budaya kerja dibentuk oleh
sistem, prosedur, dan struktur organisasi. Ketiganya harus selaras dan
sejalan dengan nilai-nilai yang dipegang, individu yang ada dalam
organisasi.

13
Untuk dapat mengasilkan rumusan nilai-nilai budaya baru yang comprehensive
disarankan untuk melibatkan semua pihak baik dari unsur pimpinan maupun staf
untuk duduk bersama menetapkan nilai-nilai organisasi, dengan melihat visi,
misi, tugas pokok dan fungsi organisasi, aturan-aturan dan kebijakan atau
perundang-undangan. Kelebihannya selain dapat membangun sense of
belonging diantara para peserta secara lebih cepat sehingga sosialisasi dan
internalisasi akan lebih singkat juga dapat meminimalkan resistensi atau
keengganan pegawai yang tidak ingin berubah. Hal ini dikarenakan semua
pegawai diberi kesempatan untuk menjadi bagian dalam proses perubahan
organisasi. Sedang teknik penggalian dan perumusannya dapat menggunakan
wawancara, workshop, focul group discussion, dll. Semua dapat disesuaikan
dengan ketersediaan waktu, anggarn dll.

a. Langkah selanjutnya adalah eksekusi. Ada tiga langkah yang diusulkan


Lewin (Uyung Sulaksana, 2004), yang disebut metode “beku-cair-beku”
(pen) yakni: Pencairan (unfreezing). Ilustrasinya: sebelum merubah
bentuk es batu dari kotak menjadi bulat, langkah awalnya adalah cairkan
terlebih dahulu esnya. Aktivitas yang dilakukan adalah menciptakan
kesadaran untuk menanamkan pemahaman tentang situasi yang
dihadapi yang menyebabkan pernurunan performance organisasi.
Contohnya memberikan briefing kepada karyawan yang berkerja di front
office kantor pelayanan satu atap untuk senantiasa memberikan
pelayanan prima (excellent service) kepada masyarakat dengan
mempertimbangkan kecepatan waktu, akurasi / ketepatan pelayanan,
kesopanan dan keramahan, tanggung jawab dalam komplain pelanggan,
dll. Langkah kedua, melakukan evaluasi dan mencari solusi untuk
melakukan perbaikan terhadap budaya kerja lama. Fase ini adalah yang
paling sulit karena akan menyebabkan orang kehilangan keseimbangan
dan melakukan resistensi untuk menolak perubahan. Komunikasi
memegang peran yang sangat penting tujuannya agar karyawan dapat
memperoleh informasi yang memadai tentang perubahan yang akan
segera terjadi, dan keuntungan apa yang akan didapat. Idenya adalah

14
bahwa semakin mereka tahu tentang perubahan, semakin termotivasi
mereka untuk menerima perubahan.

b. Perubahan (changing). Ilustrasinya: setelah es mencair rubahlah


bentuknya dari kotak menjadi bulat dengan cara memasukkan air
kedalam cetakan yang diinginkan. Tahap ini adalah tahap eksekusi,
dimana organisasi harus bertransisi atau pindah ke budaya kerja yang
baru. Ini adalah saat dimana setiap karyawan harus struggle dan mulai
mempelajari perilaku, proses, dan cara berpikir baru. Semakin matang
persiapannya, semakin mudah untuk menyelesaikannya. Contohnya
menginstruksikan kepada karyawan untuk merubah prilaku pelayanan
dari yang tidak baik menjadi baik, dengan kesopanan dan ramah tamah,
penuh tanggung jawab dalam komplain pelanggan, dll. Komunikasi juga
sangat penting agar masing-masing orang yang berada dilingkaran
perubahan menjadi akrab dengan perubahan itu sendiri.

c. Pembekuan/pemantapan (refreezing). Ilustrasinya: setelah es


dimasukkan dalam cetakan selanjutnya dibekukan kembali untuk
mendapatkan bentuk yang diinginkan. Tahap ini disimboliskan sebagai
aktivitas untuk memantapkan, menstabilkan, dan mensolidkan budaya
kerja baru setelah dilakukan perubahan. Tujuannya adalah untuk
memastikan bahwa karyawan tidak kembali ke metode atau cara berpikir
lama. Memastikan bahwa perubahan tidak kehilangan arah dan harus
ditanamkan kedalam budaya organisasi serta dipelihara sebagai cara
keja dan berpikir baru di organisasi. Penghargaan dan pengakuan positif
sering diberikan kepada individu-individu yang berprestasi untuk
memperkuat proses perubahan menuju keadaan baru. Diyakini treatment
seperti ini akan terus merangsang motivasi untuk berkarya.

Dari sini jelas bahwa pemahaman peran dan pengaruh budaya kerja dalam
manajemen perubahan adalah sangat penting. Karena perubahan seringkali
dipersepsi oleh karwanan sebagai “movement” yang akan merusak tatanan dan
mengancam segala bentuk kepentingan yang sudah lama terbangun. Contohnya
15
adalah pada saat pemerintah hendak merubah pelaksanaan lelang manual
menjadi e-procurement. Tidak sedikit penolakan yang diekspresikan karyawan
untuk menentangnya bahkan memboikotnya. Mereka takut sistem baru ini nanti
akan menggeser peran mereka dan diganti orang lain yang qualifed, kesulitan
untuk mendapatkan ketrampilan yang dibutuhkan, teknologi baru akan membuat
pekerjaan semakin monoton, dan menutup kemungkinan terjadinya
“kongkalikong” dalam proses pelaksanaanya. Perubahan seperti ini tentu akan
menimbulkan gejolak bila tidak ditangani dengan bijak. Sehingga pemahaman
yang comprehensive terkait budaya kerja sangat diperlukan untuk
mengantisipasi terjadinya gejolak penolakan.

Untuk mendapatkan hasil yang maksimal dari proses perubahan adalah


“gampang-gampang susah”. Ada banyak factor yang mempengaruhi
kesuksesannya. Agar mendapatkan hasil yang diinginkan, beberapa hal penting
yang harus dipahami dengan seksama oleh para decision maker, antara lain:

1. Perubahan budaya kerja secara alamiah hendaknya dilaksanakan secara


evolusioner. Artinya harus dilakukan secara bertahap. Dikawatirkan kalau
dilakukan secara cepat akan mengakibatkan culture shock, yaitu suatu
keadaan dimana psikology seseorang mengalami guncangan yang
disebabkan karena terpaksa atau dipaksa untuk keluar dari zona nyaman
yang berbeda dari kondisi awal. Kondisi ini akan berakibat pada penurunan
performance organisasi. “There is no growth in comfort zone and there is
no comfort in growh zone”.

2. Perubahan budaya kerja harus dilakukan secara terstuktur dan


comprehensive. Diperlukan perencanaan yang matang untuk menghindari
segala bentuk kekeliruan yang bisa berakibat fatal, misalnya menimbulkan
resistensi yang kuat diantara para karyawan sehingga tidak terbangun trust
yang akhirnya berakibat dihentikanya proyek dan terganggunya
keseimbangan sosial organisasi. Selain itu perubahan budaya juga harus
dilaksanakan secara berkesinambungan (sustainable). Karena perubahan

16
ini menyangkut secara langsung prilaku yang tercermin dari nilai-nilai yang
diadopsi, diinternalisasi dan dipraktekkan dalam kurun waktu yang lama
sehingga untuk merubahnya juga harus dilakukan secara terus-menerus

Setelah penyusunan langkah-langkah konseptual perubahan budaya kerja


selesai dilaksanakan, proses selanjutnya adalah dilakukan pengaplikasian
dilapangan. Terdapat dua acara yang bisa dilakukan untuk melakukannya dan
dua-duanya harus dilakukan secara bersama-sama yakni:

a. Melalui role model, yakni praktik keteladanan yang dilakukan oleh para
pemimpin organisasi dengan menunjukkan penerapan nilai-nilai yang
diekspresikan lewat perilaku, contoh, atau keberhasilan yang dapat ditiru
oleh orang lain, terutama karyawan yang lebih muda. Menurut social
learning theory yang dikemukakan oleh Bettinghaus, dkk. (1994), bahwa
sebagian besar perilaku manusia dipelajari dengan cara pengamatan
melalui peragaan (modeling): dari mengamati orang lain terbentuk suatu ide
mengenai bagaimana perilaku yang baru ditampilkan, dan menyebabkan
informasi ini dipergunakan sebagai panduan untuk bertindak.

b. Melalui penciptaan situasi atau kondisi yang didukung oleh sistem


administrasi dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi secara
intensive sehingga dapat mengintegrasikan antar individu dalam organisasi
untuk dapat melakukan penyesuaian diri dengan nilai-nilai yang baru.

3.2. Faktor yang Mempengaruhi


Budaya kerja yang dikembangkan organisasi dipengaruhi oleh berbagai aspek
yang beragam. Masing-masing organisasi memiliki background yang berbeda
dalam pembentukan budaya kerjanya. Diskusi dikalangan akademisi dan praktisi
dalam membahas dan mengkaji tema ini juga tidak bersifat homogen. Londong
(2011) misalnya, menyebutkan ada delapan faktor yang memengaruhi budaya
kerja karyawan, termasuk: budaya organisasi yang sudah dibangun sejak lama
dan mengakar kuat dalam prilaku orang-orang yang ada di dalamnya, budaya luar

17
yang terbentuk dari proses interaksi antar individua atau komunitas dari luar
organisasi, misi perusahaan yang tertuang sebagai suatu pernyataan tentang apa
yang harus dilakukan dalam mewujudkan visi organisasi, keinginan untuk diakui
dan keinginan untuk terpenuhinya rasa aman serta keinginan untuk berprestasi.

Ilmuan lain yang juga melakukan kajian terkait masalah ini adalah Apriyanti,
Afrizal, Barkaw, dll. Rangkuman dari hasil kajian mereka menemukan beberapa
factor yang mempengaruhi buaya kerja, diantaranya adalah; inovasi, tanggung
jawab, orientasi pada hasil, pengetahuan, sistem kerja, dan motivasi,
kepemimpinan, teknologi, reward and punishment, serta politik, Serta kemampuan
beradaptasi, integrasi sosial, moral, serta persepsi terhadap perkerjaan.

Dua factor lain yang perlu disajikan, karena factor ini mempengaruhi dua
perusahaan besar yang saat ini merajai di bidangnya. Faktor yang pertama
adalah seleksi (recruitment) karyawan. Dianggap istimewa karena aktivitas ini
memiliki kontribusi langsung dalam menentukan the right man on the right position
suatu organisasi. Contoh nyata dialami oleh Samsung, sebuah perusahaan
elektronik global asal korea memiliki budaya kerja yang unik. Guna menunjang
keberhasilan dalam iklim persaingan global, perusahaan ini menempatkan
karyawan secara terbalik. Perusahaan-perusahaan Samsung di Korea lebih
banyak didominasi pekerja asal Korea, sementara perusahaan-perusahaan
Samsung yang tersebar di seluruh dunia lebih banyak merekrut karyawan non-
Korea dibandingkan dengan orang Korea. Dalam kaitan ini, alasan yang
melatarbelakangi adalah untuk menciptakan atmosfer “kekeluargaan” dalam
interaksi social organisasi sehingga tercipta suatu kondisi yang kondusif dalam
membangun kebersamaan. Kebersamaan inilah yang menjadi kekuatan Samsung
dalam mengahadapi persaingan global.

Jadi jelas menurut Tika (2008:120) bahwa: “…terciptanya budaya kerja


yang baik dan ditunjang oleh kerja sama dengan sesama karyawan, akan
tercapai hasil yang dapat meningkatkan kinerja karyawan.

18
Faktor yang terakhir adalah interaksi social dan motivasi. Faktor ini menjadi salah
satu elemen yang menjadikan Google sebagai perusahaan multinasional dengan
pengguna lebih dari sekitar 82 juta orang perbulan. Perusahaan yang
mempekerjakan kurang lebih 85 ribu orang ini sejak awal pendirianya telah
mengembangkan kultur yang sangat informal dan menyenangkan dengan hirarki
perusahaan yang hampir tidak terlihat serta teknik motivasi dengan menggunakan
kebijakan inovasi waktu istirahat (Innovation Time Off). Dengan kebijakan ini
karyawan didorong untuk menghabiskan 20% dari waktu kerja mereka untuk
istirahat. Diakui oleh Marissa Mayer, Wakil Presiden Google bahwa setengah dari
produk-produk baru yang diluncurkan pada tahun 2005 berasal dari Innovation
Time Off.

Factor-faktor yang mempengaruhi budaya kerja di atas adalah fakta dan sudah
banyak di rasakan oleh berbagai organisasi. Mereka telah dijadikan landasan bagi
penciptaan budaya kerja yang diharapkan mampu memberikan output bagi
peningkatan kinerja organisasi. Namun dalam praktek sehari-hari ada elemen lain
yang justru mendegradasi atau menghambat timbulnya budaya kerja. Penelitian
yang dilakukan oleh Sinha et al. (2010) tentang dampak budaya kerja pada level
motivasi karyawan mengungkap bahwa perbedaan budaya (different culture) yang
terjadi antara organisasi dan pekerja merupakan suatu hambatan dalam budaya
kerja. Sementara Afendi (2009) menyatakan bahwa prasangka buruk, prinsip
yang tidak sesuai, pengalaman pahit, prioritas yang rendah terhadap kerja, sudut
pandang yang negatif terhadap kerja, pembanding, dan literatur adalah factor-
faktor yang dapat menjadi penghambat budaya kerja.

19
BAB IV
Manfaat Budaya Kerja

Setiap organisasi dibangun dari kebudayaannya. Mereka dapat menjadi kekuatan


positif yang dapat mengantarkan imajinasi menjadi kenyataan atau bahkan destructive
power yang meluluhlantahkan mimpi dalam hitungan cepat. Peters dan Waterman,
Imam Mudjiono menegaskan pentingnya budaya tersebut dengan mengatakan bahwa
organisasi yang efektif itu mempunyai kebudayaan internal. Organisasi bisa menjadi
kuat berkat adanya mutu yang sangat baik dari organisasi itu sendiri. Salah satu
contoh yang masih update adalah keberhasilan Starbuck, perusahaan kopi Amerika
terbesar di dunia yang memiliki lebih dari 20.000 kedai kopi yang tersebar di 61
negara. Menurut Behar, mantan Wakil Presiden Eksekutif Operasi Starbuck,
keberhasilan perusahaanya menorehkan penghasilan bersih US$ 2,885 miliar (2017)
tidak ditentukan oleh factor produk kopinya sendiri tapi lebih banyak ditentukan oleh
factor kepemimpinan dan budaya yang khas dan superior yang mempengaruhi prilaku
orang. Jadi jelas di sini, budaya kerja yang dibangun dengan baik akan menghasilkan
situasi yang baik yang pada akhirnya berbuah menjadi kinerja yang positive. Banyak
manfaat yang dapat dipetik dari budaya kerja, diantaranya adalah”

a. Manfaat bagi pegawai. Budaya kerja memiliki manfaat yang sangat penting
dalam dunia pekerjaan yang dapat mengantarkan seorang individu menjadi
karyawan yang baik. Beberapa manfaat tersebut antara lain: memberi
kesempatan untuk berperan dan mengaktualisasikan diri dilingkungan kerja,
memperluas wawasan, menumbuhkan rasa disiplin, sense of belonging, rasa
tanggung jawab akan tugas yang diemban serta meningkatkan kemampuan
untuk mendapat pengakuan dan kebanggaan serta penghargaan dan
prestasi kerja.

Budaya kerja juga memiliki keterkaitan erat dengan profit, produktivitas dan
evektifitas kerja. Mereka dibentuk dan dipraktekkan melalui modifikasi pola
komunikasi dengan tujuan untuk menanamkan rasa kepercayaan diri,

20
semangat disiplin yang tinggi serta kerja sama yang kuat diantara para
karyawan. Organisasi dengan budaya kerja yang unggul akan menghasilkan
output yang yang lebih baik. Menurut Djarot Subianto (2000), hal ini
disebabkan karena karyawan yang diserahi tugas mengetahui dan
memahami secara baik tanggungjawabnya dan bagaimana cara
menyelesaikan pekerjaan tersebut” (what to do and how to do it). Manfaat
budaya kerja bagi instansi.

Manfaat budaya kerja yang dirasakan seorang pekerja tentu akan berkorelasi
terhadap keberhasilan organisasi. Mereka akan mendapatkan manfaatnya
baik secara langsung maupun tidak. Diantara manfaat yang dirasakan adalah
munculnya keterbukaan diantara individu yang menimbulkan rasa
kebersamaan dan jiwa gotong royong sehingga dapat mengefektifkan
saluran komunikasi dan sinkronisasi dalam menghadapi dinamika organisasi
yang dinamis. Keberhasilan me-manage suasana kerja seperti ini akan
mendorong munculnya kreativitas pegawai dalam menghadapi berbagai
hambatan-hambatan yang dihadapi organisasi dalam pelaksanaan kerjanya.
Secara alami kondisi ini juga akan memunculkan sifat-sifat kepemimpinan
yang partisipatif diantara karyawan yang biasanya diasah melalui capacity
building dan interaksi intensive yang membuahkan pengalaman kerja.

Dalam kehidupan berorganisasi budaya kerja tidak hanya memisahkan dan


membedakan antara satu organisasi dengan lainnya tapi juga menjadi
identitas yang akan mengungkap nilai, ambisi dan keunggulan kompetitif
(competitive advantage) organisasi tersebut. Keunggulan ini menjadi daya
tarik dan motivasi bagi para pencari kerja yang ‘qualified’ untuk bergabung,
terutama bagi organisasi yang memiliki budaya kerja yang baik dan melabeli
dirinya sebagai “best place to work”. Organisasi seperti ini bahkan mampu
mempertahankan karyawannya walaupun dengan kompensasi yang tidak
lebih besar dibanding para competitor. Flamholtz, (1999), menyebutkan
bahwa kemampuan mempertahankan human capital seperti ini sebagai
strategic asset mengingat biaya perekrutan dan pelatihan karyawan
membutuhkan biaya yang tidak kecil.
21
BAB V
PENUTUP

Proses perubahan budaya kerja yang telah dilakukan pemerintah sejak 2010
Tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 dengan merubah nilai-nilai
budaya kerja yang sudah lama (old-fashion culture) adalah sesuatu yang tidak bisa
ditunda. Upaya ini membutuhkan tidak hanya komitment, disiplin dan semangat
yang tinggi dari semua pihak yang terlibat. Agar tidak terulang seperti yang dahulu,
perubahan yang dilakukan saat ini hendaklah dilakukan dengan pendekatan
manajemen perubahan (change manajemen) yang tepat, tersturktur dan
comprehensive, baik dari sudut pandang individu atau organisasinya.

Langkah-langkah yang dilakukan dalam proses perubahan ini dimulai dengan


memformulasikan nilai-nilai dan melakukan perubahan terhadap nilai-nilai negarif
yang yang disesuaikan dengan visi, misi, dan tujuan organisasi dengan metode cair-
beku-cair. Keberhasilan proses perubahan ini akan membawa manfaat bagi
peningkatan kinerja aparatur pemerintah sehingga dapat mendekatkan langkah-
langkah yag diambil dengan target tujuan pembangunan jangka Panjang.

22
DAFTAR PUSTAKA

Afendi, Moh., (2009), “Merealisasikan Budaya kerja Kelas Pertama di dalam


Perkhidmatan Awam Menerusi Pelaksanaan Konsep ESQ WAY 165”. Jurnal
Manajemen Malaysia.

Afrizal, (2008), “Unsur-Unsur yang Mempengaruhi Budaya Kerja Birokrasi


pemerintahan”. (http://afrizalbob.multiply.com/journal/item/1/=/journal/item
diakses 30 November 2008).

Apriyanti, Ira, (2008). “Work Culture Among Argo-Entrepreneurs”, Tesis Fakultas


Pertanian Universitas Putra Malaysia, Malaysia.

Barkow, Ben, (2002), “Factors of Group Work Culture Which Influence the Safety of
Power Line Mainteners”. Toronto.

Bettinghaus, Edwin P, Michael J. Cody, (1994), “Persuasive Communication”. Fortworth:


Harcourt Brace College Publisher

Dezonda R. Pattipawae, (2011), “Penerepan Nilai-nilai Dasar Budaya Kerja dan Prinsip-
prinsip Organisasi Budaya Kerja Pemerintah dengan Baik dan Benar” Jurnal
Sasi Vol. 17 No.3

Djarot Subianto, (2000), “Budaya Kerja Era Digital”, Jakarta: PPM Lembaga Manajemen.

Flamholtz, E.G, (1999), “Human Resource Accounting: Advances in Concepts, Methods


and Applications 3rd ed”. Kluwer Academics Dordrecht.

Flamholtz, E. G and Randle, Yvonne, (2011), "Corporate Culture: The Ultimate Strategic
Advantage," Stanford University Press, Stanford California.

Imam Moedjiono, (2002), “Kepemimpinan dan Keorganisasian”, Yogyakarta: UII Press.

Jacquest, Elliot, (1951), “The Changing Culture of a Factory: A Study of Authority and
Participation in an Industrial Setting,” Tavistock Pub., England.
Kamus Besar Bahasa Indonesia: https://kbbi.web.id/individualisme.

Londong, Dedy, (2011), “Budaya Kerja.” (http://dedylondong.blogspot.com/2011-


10/budaya-kerja.html, diakses 6 Oktober 2011).

Matthwes dan Thakkar, (2012). “Managing Cross-Cultural Environment in...”, (PDF


Download Available). Available from:
https://www.researchgate.net/publication/315993063_Managing_Cross-
Cultural_Environment_in_Samsung_Company_Strategy_in_Global_Business

23
Needle, David, (2004). “Business in Context: An Introduction to Business and Its
Environment”. ISBN 978-1861529923.

Nur Hasliza B. J., Nor Azlin BN, Nur Azzarina B. K., Normah B. Z. (2015), “Leadership
Style Head of Polytechnic Department and Regard with to Work Culture”,
Journal of Education and Practice www.iiste.org ISSN 2222-1735 (Paper)
ISSN 2222-288X (Online) Vol.6, No.15.

Permenpan dan RB Nomor: 39 Tahun 2012 tentang “Pedoman Pengembangan Budaya


Kerja Budaya”.

Peter T.J., and Waterman, A.A., (1982), “In Search of Excellence”, Harper & Row, New
York.

Pettigrew, A., (1979). “On Studying Organizational Culture”, Administrative Science


Quarterly, 24.

Ravasi, D.; Schultz, M., (2006), “Responding to organizational identity threats: Exploring
the role of organizational culture”. Academy of Management Journal, 49.

Robbins & Mukerji (1994), “Managing Organizational”. New York, Prentice Hall.

Sidal, Alauddin, (2005), “Manusia dan Budaya Kerja”.


www.geocities.com/nikzafri/lo.htm/.

Sinha, S., Singh, Ajay Kr., Dutt, Rajul, (2010), “Impact of Work Culture on Motivation
Level of Employees in Selected Public-Sector Companies in India”. Delhi
Business Review Vol. 11

Singh, Kavita, (2001), “Work Values and Work Culture in India Organizations Evidence
from Automobile Industry Delhi”, Business Review? Vol. 2, No. 2, July –
December.

Sudirman, (2005), “Budaya Organisasi,” Hand Out.

Sulaksana, Uyung, (2004), “Manajemen Perubahan”, Yogjakarta: Pustaka Pelajar.

Supriyatno, Budi, (2009), “Mengenal Budaya Kerja Birokrasi”, CV. Media Brilian.

Syed Othman Alhabshi, (2005), “Mengamalkan Budaya Kerja Berpasukan yang Komited
dan Bermotivasi”. www.geocities.com/nikzafri/lo.htm/

Taliziduhu Ndraha, (2003), “Teori Budaya Organisasi”, Cetakan Kedua, PT. Rineka
Cipta, Jakarta.

Tika, H. Moh. Pabundu, Drs. M.M, (2008), “Budaya Organisasi dan Peningkatan Kinerja
Perusahaan”, Jakarta, Bumi Aksara

24
Triguno. Prasetya, (2001), “Sumber Daya Manusia”, Bumi Aksara, Jakarta.

BIODATA PENULIS

25
COPY SLIDES

26

Anda mungkin juga menyukai