DI
OLEH KELOMPOK:2
1. Fadel maleba
2.wahyulinda tandesa
3. Findri tadja
4.
5.
6.
Daftar isi
A.kata pengantar.................................................................................................................................
6.kesimpulan.........................................................................................................................................
B.DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................................
KATA PENGANTAR.
Segala puji bagi Allah Swt. yang telah memberikan nikmat serta hidayah-Nya
terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga kami bisa
menyelesaikan makalah mata pelajaran sejarah indonesia.
Selawat serta salam kita sampaikan kepada Nabi besar kita Muhammad saw.
yang telah memberikan pedoman hidup yakni Al-Qur'an dan sunah untuk
keselamatan umat di dunia.
Makalah ini merupakan satu di antara tugas mata pelajarah sejarah SMAN 1
GORONTALO UTARA
1. Sejarah Perlawanan Rakyat Minahasa Terhadap Spanyol
Sejarah perlawanan rakyat Minahasa, Sulawesi Utara, terhadap Spanyol terjadi tahun
1644 hingga 1654. Perang ini ditengarai disebabkan oleh ketidaksenangan rakyat
Minahasa terhadap usaha monopoli perdagangan yang dilakukan oleh Spanyol.
Pada abad ke-16, tepatnya tahun 1512, menjadi awal dari masuknya pengaruh bangsa
Eropa yaitu Portugis ke Nusantara yakni di Ternate, Maluku Utara. Kedatangan Portugis
ini bertujuan untuk menyebarkan agama Kristen Katolik sembari mencari rempah-
rempah yang akan dijual di pasar internasional.
Selanjutnya, pada 1521, Spanyol mengikuti jejak Portugis dengan mendarat di Tidore.
Seiring berjalannya waktu, kekuatan Portugis dan Spanyol semakin meluas di daerah
Sulawesi. Kedua bangsa Eropa ini berhasil memasuki daerah utara Sulawesi, tepatnya
wilayah Minahasa.
Misi penyebaran agama Kristen Katolik di Minahasa oleh Portugis dilanjutkan oleh
Spanyol sejak tahun 1580. Awalnya, keberadaan Spanyol diterima baik oleh rakyat
Minahasa. Pada 1606. sebuah armada pimpinan Christoval Suarez untuk mengikat
persahabatan antara Kerajaan Spanyol dengan rakyat Minahasa.
Akan tetapi, itikad baik dari rakyat Minahasa kepada disalahgunakan oleh Spanyo, juga
niat kaum misionaris mereka dalam menyebarkan agama Katolik harus tercoreng oleh
ulah para tentara.
Tindakan para prajurit Spanyol sangat menyakiti hati rakyat Minahasa. Mereka dengan
seenaknya merampas makanan, bahkan tega bertindak tidak senonoh terhadap kaum
perempuan di Minahasa, demikian tulis J.P. Tooy dan kawan-kawan dalam bukunya.
Ketidaksenangan rakyat atas perilaku tentara Spanyol memuncak pada 1644. Tentara
Spanyol yang sedang memasuki desa memukul dan melukai salah seorang pemimpin
rakyat Minahasa yang ada di Tomohon.
Dikutip dari Watuseke F.S. dalam Sejarah Minahasa (1968), rakyat Minahasa
menganggap perbuatan itu sudah keterlaluan dan menurunkan martabat serta harga diri
pemimpin yang dihormati oleh seluruh rakyat. Peristiwa ini pun menjadi tanda
dimulainya perlawanan rakyat Minahasa terhadap Spanyol.
Kondisi yang demikian membuat pasukan Spanyol semakin terdesak. Spanyol pun
harus mundur sampai ke Benteng Manado, karena kekuatan rakyat Minahasa yang
dibantu Belanda semakin kuat.
Pada akhirnya, Spanyol berhasil dikalahkan dan keluar dari Minahasa. Akan tetapi,
keluarnya Spanyol menjadi era baru masuknya Belanda dengan era penjajahan yang
baru pula.
Penyebab usaha kolonialisme di daerah ini karena para Bangsa Eropa melihat
kemampuan dataran gigir milik Suku Minahasa memproduksi beras dalam jumlah besar.
Perdagangan beras pertama dimulai dari kapal pertama milik Bangsa Belanda yang
mengangkut hasil perdagangan beras pada tahun 1608.
Pada tahun 1615 raja Kerajaan Babontehu yang berlokasi di Pulau Manado Tua
mengundang Lucas De Vergara yang merupakan Bangsa Spanyol untuk mengunjungi
Manado. Vergara pun mengirimkan dua orang pastor yang bernama Sciallamonte dan
Cosmas Pintto sebagai utusannya. Karena kedatangan kedua utusan inilah, maka pada
tahun 1617 dibangunlah sebuah benteng di wilayah Sungai Manarow sebagai
pemukiman, penyimpanan bahan-bahan dagang sekaligus sebagai benteng dari
serangan musuh yang populasinya terus bertambah pada tahun 1619 dengan bangsa
Spanyol yang lari dari Filipina karena perang.
Karena kegiatan berdagang yang semakin masif dan menguntungkan Bangsa Spanyol,
maka pada tahun 1623 Raja Spanyol memerintahkan pembuatan kapal niaga sebagai
alat transportasi pengangkutan hasil perdagangan serta renovasi benteng hingga
memiliki meriam dengan kaliber 9 mm. Pembangunan ini pun memperkuat posisi
Spanyol dan memukul mundur Bangsa Eropa lain, seperti Bangsa Portugis.[2] Lalu, pada
tahun 1627, Raja Spanyol memerintahkan pembangunan benteng di Manado untuk
mengantisipasi pemberian upeti beras yang akan dilakukan oleh Suku Minahasa.
Kepentingan Bangsa Spanyol ini didasari atas kebutuhan makanan yang besar untuk
para garnisun yang berada di Maluku.
Akhirnya, posisi Spanyol yang kuat mengancam kekuasaan raja, terutama terhadap
kuasanya terhadap suku alfuru karena pembelian beras yang awalnya melalui perantara
raja, kini bisa dilakukan langsung tanpa melalui perantara.
Selain pertempuran Belanda melawan Spanyol, Spanyol juga mengalami serangan dari
tentara pribumi pada tanggal 10 Agustus 1644 yang menewaskan pendeta Lorenza
Geralda. Peristiwa penyerbuan itu terjadi karena Spanyol telah melakukan kejahatan,
seperti pemaksaan, perampasan/perampokkan hasil pertanian serta penganiayaan dan
pemerkosaan terhadap perempuan Minahasa. Konflik ini juga diperparah dengan
Spanyol melukai pemimpin Tomohon. Seperti pernyataan yang disampaikan Juan
Iranzo, pemimpin Tomohon meminta bantuan terhadap 3 wilayah lainnya, yaitu
Pakasa'an Tonsea, Tondano dan Tontemboan. Akhirnya, keempat wilayah tersebut
melakukan penyerangan dengan beranggotakan 10.000 tentara.
Pada awalnya direncanakan perjanjian untuk tidak membunuh para pendeta, tapi para
pemimpin pasukan ini mengatakan bila para pendeta tidak dibunuh, maka mereka akan
terkena bencana karena dimukain dewa. Maka diambillah keputusan untuk tetap
membunuh para pendeta. Saat itu, Geralda lari ke gunung dan akhirnya dibunuh sambil
berlutut. Geralda meninggal pada tanggal 14 Agustus 1644 dan dikuburkan di Kali.
Setelah dibunuh, kepala lorenzo juga dipenggal dan diletakkan di tiang batu yang
mungkin juga telah direbus dan dimakan sebagai bagian upacara tarian
Rumages.Pendeta Juan Iranzo selamat karena diselamatkan oleh Ukung Lumi dengan
menyembunyikan dirinya di rumahnya selama semalam dan memindahkannya saat
subuh ke Lotta, Pineleng. Dia bersembunyi dari bulan Agustus 1644 sampai April 1645
di biaranya. Pada bulan April 1645, Iranzo melarikan diri ke Ternate melalui
Sangir.Seluruh cerita tentang pengalaman tentang serangan ini diceritakan oleg Iranzo
dari Filipina pada tanggal 4 Agustus 1645.Menurut Hendricus Benedictus Palar,
pertempuran ini berakhir hingga sekitar tahun 1646-1647.Meskipun, menurut Mieke
Shouten, Spanyol berhasil dipukul mundur keluar dari minahasa pada tahun 1645.
Spanyol akhirnya mundur ke Pulau Siau
Meskipun mengalami kekalahan pada tahun 1644, VOC masih saja mengunjungi
Minahasa diam- diam seperti untuk membeli beras dan berdagang di Wenang pada
periode 1645-1650.Spanyol kembali menyerang Minahasa dengan menguasai Uwuran
Amurang untuk menguasai beras dan hasil bumi, seperti dari Tondanouw dan
Pontak.Kemudian, para kepala walak pada tahun 1654 mengadakan musyawarah di
bukit Tindurukan Pinawetengan yang menhasilkan keputusan untuk meminta bantuan
terhadap V.O.C di Ternate dengan mengirim Ukung Lonto, Ukung Supit dan Ukung Ranti
dan sejumlah pasukan pengawal.[10] Kedatangan ini diterima oleh Arnold de Vlamingh
van Outhoorn selaku Gubernur Ternate yang meneruskan permintaan ini ke
pemerintahan VOC di Betawi. Niat para utusan ini juga diteruskan kepada Heeren XVII
yang berada di Belanda, bahwa pihak Minahasa ingin mengajak untuk membentuk
aliansi dan permintaan untuk membangun loji di Minahasa. Berdasarkan laporan yang
tertulis pada tanggal 10 Juli 1655, Jacob Hustaert pun dikirim untuk meninjau lokasi di
Wenang. Proses pendirian pun dilakukan setelah Hustaert berhenti menjabat dan
diteruskan oleh Simon Cos. Benteng kayu ini dibangun pada tahun 1657 dan ditanda
tangani oleh Aytomara dengan nama De Netherlandsche Vastigheit. Pembangunan
benteng akhirnya memperkokoh posisi Belanda dalam usaha mengusir SpanyolSelain
Benteng, pihak Belanda juga membangun perkubuan di di wilayah muara sungai
Temberan Selanjutnya kepemimpinan benteng diserahkan kepada Andriessen sekaligus
menjadi residen pertama Manado. Berdasarkan surat pada tanggal 30 Desember 1665,
perintah untuk memugar benteng dilakukan dengan menggantinya menjadi sebuah
benteng batu dengan nama Nieuw Amsterdam. Pada tahun 1703, benteng ini juga
diperkuat dengan penambahan tinggi hingga tiga setengah kaki dan dilengkapi enam
buah meriam.
Saat para pihak Spanyol menculik anak perempuan dari wilayah Ukung Tombulu yang
bernama Tendenuata, para pasukan Tombulu diperintahkan untuk mengejar dan
merebut kembali putrinya yang diculik. Pengejaran ini pun berhasil menolong sang putri
dalam keadaan selamat serta membunuh beberapa perwira dari Spanyol.
Saat Spanyol berada di wilayah Walak Toulour (nama lama Tondano), mereka merasa
marah atas sikap Ukung wilayah tersebut yang bernama Mononimbar karena tidak
menuruti perintah untuk memberikan hasil tanaman padi kepada Spanyol, meskipun
telah dibayar. Akibat perilaku ini, Pedro Alkasas berhasil memperdaya Mononimbar
dengan memberikannya wiski agar sang ukung mabuk. Saat keadaan mabuk, mereka
pun menangkap Mononimbar dan mengikatnya di pohon sampai tewas. Karena
pemimpinnya telah tewas, masyarakat tondano marah dan mememerangi warga
Spanyol sampai mundur samapai wilayah pantai timur Minahasa.
Setelah kalah di walak Tondano, Spanyol tetap berusaha menguasai walak Tonsea yaitu
Sawangan. Mereka menyerang wilaha ini bersama dengan Tidore dan berhasil
membunuh seorang Walian saat upacara ritual Poso sekaligus menangkap para
perempuan dan menjadikan mereka budak. Selanjutnya mereka juga memerangi walak
tonsea bersama dengan pasukan Bolaang Mongondouw serta Tidore di Pantai
Kaburukan. Walak Tonsea berhasil memenangkan peperangan ini dengan dipimpin oleh
beberapa Teterusan, seperti Rumopa Porong, Wenas, Dumanau, Lengkong, dan Wahani
sebagai pemimpin perang dan memukul mundur pasukan musuh tersebut keluar dari
pantai Kaburukan.